Top Banner
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA AIR Oleh : WAHYU MAEKARATRI NIM. P27834113012 SEMESTER 3 REGULER KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA JURUSAN ANALIS KESEHATAN PROGRAM STUDI D4 2014 - 2015
73

analisa makanan minuman

Nov 16, 2015

Download

Documents

Jea Ayu Putri
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • LAPORAN PRAKTIKUM

    KIMIA AIR

    Oleh :

    WAHYU MAEKARATRI

    NIM. P27834113012

    SEMESTER 3 REGULER

    KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

    POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA

    JURUSAN ANALIS KESEHATAN

    PROGRAM STUDI D4

    2014 - 2015

  • Materi praktikum : Penentuan Aciditas

    Tujuan : 1. Melakukan standarisasi dengan titrasi alkalimetri

    2. Menetapkan kadar CO2 dalam sampel air sumur

    Metode : Alkalimetri

    Prinsip : Penetralan asam basa

    Aciditas dalam air dinetralkan dengan NaOH menggunakan

    indikator fenolftalein(PP).

    Reaksi : H2C2O4 + 2NaOH Na2C2O4 + 2H2O

    Tinjauan Pustaka :

    Asiditas adalah kemampuan air untuk menetralkan larutan basa / kapasitas kuantitatif

    air untuk bereaksi dengan basa kuat sehingga menstabilkan pH hingga mencapai 8,3 atau

    kemampuan air untuk mengikat OH- untuk mencapai pH 8,3 dari pH asal yang rendah.

    Semua air yang memiliki pH < 8,5 mengandung asiditas.

    Pada dasarnya, asiditas (keasaman) tidak sama dengan pH. Asiditas melibatkan dua

    komponen, yaitu jumlah asam, baik asam kuat maupun asam lemah (misalnya asam

    karbonat dan asam asetat), serta konsentrasi ion hidrogen. Menurut APHA (1976) dalam

    Effendi (2003), pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif air untuk

    menetralkan basa sampai pH tertentu, yang dikenal dengan base-neutralizing capacity

    (BNC); sedangkan Tebbut (1992) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa pH hanya

    menggambarkan konsentrasi ion hidrogen.

    Pada kebanyakan air alami, air buangan domestik, dan air buangan industri bersifat

    buffer karena sistem karbondioksida-bikarbonat. Pada titrasi beberapa asam lemah, dapat

    diketahui bahwa titik akhir stokiometri dari asam karbonat tidak dapat dicapai sampai pH

    sekitar 8,5. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua air yang memiliki pH < 8,5

    mempunyai sifat asiditas. Biasanya titik akhir phenophtalein pada pH 8,2 sampai 8,4

    digunakan sebagai titik referensi.

    Dari titrasi terhadap asam karbonat dan asam kuat, diketahui bahwa asiditas dari air

    alami disebabkan oleh CO2 yang merupakan agen efektif dalam air yang memiliki pH > 3,7

    atau disebabkan oleh asam mineral kuat yang merupakan agen efektif dalam air dengan pH

    < 3,7. Dapat dikatakan bahwa asiditas di dalam air disebabkan oleh CO2 terlarut dalam air,

    asam-asam mineral (H2SO4, HCl, HNO3), dan garam dari asam kuat dengan basa lemah.

  • Asiditas Total (Asiditas Phenophtalein)

    Asiditas total merupakan asiditas yang disebabkan adanya CO2 dan asam mineral.

    Karbondioksida merupakan komponen normal dalam air alami. Sumber CO2 dalam air

    dapat berasal dari adsorbsi atmosfer, proses oksidasi biologi materi organik, aktivitas

    fotosintesis, dan perkolasi air dalam tanah. Karbondioksida dapat masuk ke permukaan air

    dengan cara adsorbsi dari atmosfer, tetapi hanya dapat terjadi jika konsentrasi CO2 dalam

    air < kesetimbangan CO2 di atmosfer. Karbondioksida dapat diproduksi dalam air melalui

    oksidasi biologi dari materi organik, terutama pada air tercemar. Pada beberapa kasus, jika

    aktivitas fotosintesis dibatasi, konsentrasi CO2 di dalam air dapat melebihi keseimbangan

    CO2 di atmosfer dan CO2 akan keluar dari air. Air permukaan secara konstan mengadsorpsi

    atau melepas CO2 untuk menjaga keseimbangan dengan atmosfer.

    Air tanah dan air dari lapisan hypolimnion di danau dan reservoir biasanya

    mengandung CO2 dalam jumlah yang cukup banyak. Konsentrasi ini dihasilkan dari

    oksidasi materi organik oleh bakteri dimana materi organik ini mengalami kontak dengan

    air dan pada kondisi ini CO2 tidak bebas untuk keluar ke atmosfer. CO2 merupakan produk

    akhir dari oksidasi bakteri secara anaerobik dan aerobik. Oleh karena itu konsentrasi CO2

    tidak dibatasi oleh jumlah oksigen terlarut.

    Asiditas Mineral (Asiditas Metil Orange)

    Asiditas mineral merupakan asiditas yang disebabkan oleh asam mineral. Dapat juga

    disebut asiditas metil orange karena untuk menentukan titik akhir titrasi digunakan

    indikator metil orange untuk mencapai pH 3,7. Asiditas mineral di dalam air dapat berasal

    dari industri metalurgi, produksi materi organik sintetik, drainase buangan tambang, dan

    hidrolisis garam-garam logam berat.

    Asiditas mineral terdapat di limbah industri, terutama industri metalurgi dan produksi

    materi organik sintetik. Beberapa air alami juga mengandung asiditas mineral. Kebanyakan

    dari limbah industri mengandung asam organik. Kehadirannya di alam dapat ditentukan

    dengan titrasi elektrometrik dan gas chromatografi.

    Garam logam berat, terutama yang bervalensi 3, terhidrolisa dalam air untuk

    melepaskan asiditas mineral sesuai dengan reaksi (2.25).

    FeCl3 + 3 H2O Fe (OH)3 + 3 H+ + 3 Cl

    - (2.25)

    Kehadirannya dapat diketahui dari pembentukan endapan ketika pH larutan meningkat

    selama netralisasi. Air yang mengandung asiditas biasanya bersifat korosif sehingga

    memerlukan banyak biaya untuk menghilangkan/mengontrol substansi yang menyebabkan

  • korosi (umumnya CO2). Jumlah keberadaan asiditas merupakan faktor penting dalam

    penentuan metode pengolahan, apakah dengan aerasi atau netralisasi sederhana dengan

    kapur atau sodium hidroksida. CO2 merupakan pertimbangan penting dalam mengestimasi

    persyaratan kimia untuk pelunakan kapur/kapur soda. Dalam penelitian ini, digunakan

    titrasi asam basa dengan indikator phenophtalein (p) dan metil orange (m) sesuai reaksi

    (2.26) sampai (2.28).

    H+ + OH

    - H2O (2.26)

    CO2 + OH- HCO3

    - (2.27)

    HCO3 + H+ H2O + CO2 (2.28)

    Karbondioksida dan asiditas mineral dapat diukur dengan larutan standar menggunakan

    reagen alkaline. Asam mineral dapat diukur dengan titrasi pada pH 3,7 sehingga disebut

    asiditas metil orange. Titrasi contoh air pada pH mencapai 8,3 dapat mengukur asam

    mineral dan asiditas dari asam lemah. Asam mineral dapat dinetralkan ketika pH mencapai

    3,7. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam CaCO3. Karena CaCO3 memiliki berat

    ekivalen 50, maka N/50 NaOH digunakan sebagai agen penitrasi sehingga 1 ml ekivalen

    dengan 1 mg asiditas.

    Bahan : a. larutan H2C2O4 0,1000 N

    b. larutan NaOH 0,1 N

    c. Indikator PP 1%

    d.Aquades

    Alat : a. Labu Erlenmeyer 250 ml

    b. Buret 50 mL

    c. Pipet tetes

    d. Statif

    e. Beaker glass

    f. Pipet volume 10mL, 50mL

    Sampel : Air sumur

    Prosedur :

    1. Titrasi Standarisasi

    a. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa H2C2O4.2

    H2O yang dibutuhkan

    Pembuatan larutan primer : 250 mL H2C2O4.2 H2O 0,1000 N

  • m = N x V x BE

    = 0.1000 N x 0.25 L x

    = 1,5759 gram

    b. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 1,5869 gram

    c. Menghitung konsentrasi H2C2O4.2H2O terstandarisasi sesuai hasil

    penimbangan

    =

    = 0.1007 N

    d. Melarutkan dengan teliti H2C2O4.2H2O kedalam beaker glass

    e. Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan

    menambahkan aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok

    hingga homogen

    f. Mencuci dan mengisi buret dengan larutan NaOH 0.1 N

    g. Memipet 10.0 mL larutan H2C2O4.2H2O kedalam Erlenmeyer

    h. Menambahkan indikator PP 1 % sebanyak 1- 2 tetes

    i. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna dari jernih menjadi merah

    muda

    j. Mencatat volume titrasi dan menghitung konsentrasi NaOH.

    2. Penetapan Kadar

    a. Mengisi buret dengan larutan NaOH terstandarisasi

    b. Memipet 50,00 mL sampel kedalam labu erlenmeyer, dan menambahkan 1-2

    tetes indikator PP 1%.

    c. Melakukan titrasi dengan NaOH sampai terjadi perubahan warna dari jernih

    menjadi merah muda.

    d. Menghitung aciditas sebagai kadar CO2.

  • Hasil percobaan :

    Data titrasi standarisasi

    Volume H2C2O4. 2H2O

    (mL)

    Normalitas

    H2C2O4.2H2O (N)

    Volume

    NaOH (mL)

    Normalitas NaOH

    ( N )

    10,00 0,1007 V1 = 10,40 0,0968

    10,00 0,1007 V2 = 10,38 0,0970

    N rata-rata = 0,0969

    Data titrasi penetapan kadar

    Volume sampel (mL)

    Normalitas NaOH (N)

    Volume NaOH

    (mL)

    Kadar CO2 (mg/L)

    50,00 0,0969 V1 = 0,2 17,06

    50,00 0,0969 V2 = 0,3 25,59

    Kadar CO2 rata-rata =

    21,325

    Perhitungan :

    a. Titrasi standarisasi

    Diketahui : V H2C2O4.2 H2O = 10,00 mL

    N H2C2O4.2 H2O = 0,1007 N

    Vi NaOH = 10,40 mL

    Vii NaOH = 10,38 mL

    Maka Normalitas NaOH terstandarisasi :

    i. V H2C2O4.2 H2O x N H2C2O4.2 H2O = V NaOH x N NaOH

    10,00 mL x 0,1007 N = 10,40 mL x N NaOH

    N NaOH terstandarisasi = 0,0968 N

    ii V H2C2O4.2 H2O x N H2C2O4.2 H2O = V NaOH x N NaOH

    10,00 mL x 0,1007 N = 10,38 mL x N NaOH

    N NaOH terstandarisasi = 0,0970 N

    Maka Normalitas rata-rata NaOH terstandarisasi

  • = 0,0969 N

    i. Titrasi penetapan kadar

    Diketahui : V sampel untuk titrasi = 50,00 mL

    N NaOH = 0,0969 N

    Vi NaOH = 0,2 mL

    Vii NaOH = 0,3 mL

    i. Maka penetapan kadar CO2 :

    = 17,06 mg/L

    ii Maka penetapan kadar CO2 :

    = 25,59 mg/L

    Maka penetapan kadar CO2 rata-rata :

    = 21,325 mg/L

  • Pembahasan :

    Pada dasarnya, asiditas (keasaman) tidak sama dengan pH. Asiditas melibatkan dua

    komponen, yaitu jumlah asam, baik asam kuat maupun asam lemah (misalnya asam

    karbonat dan asam asetat), serta konsentrasi ion hidrogen. Pada dasarnya asiditas

    menggambarkan kapasitas kuantitatif air untuk menetralkan basa sampai pH tertentu dan

    pH hanya menggambarkan konsentrasi ion hidrogen saja

    Dari titrasi terhadap asam karbonat dan asam kuat, diketahui bahwa asiditas dari air

    alami disebabkan oleh CO2 yang merupakan agen efektif dalam air yang memiliki pH > 3,7

    atau disebabkan oleh asam mineral kuat yang merupakan agen efektif dalam air dengan pH

    < 3,7. Dapat dikatakan bahwa asiditas di dalam air disebabkan oleh CO2 terlarut dalam air,

    asam-asam mineral (H2SO4, HCl, HNO3), dan garam dari asam kuat dengan basa lemah.

    Konsentrasi CO2 ini dihasilkan dari oksidasi materi organik oleh bakteri dimana materi

    organik ini mengalami kontak dengan air dan pada kondisi ini CO2 tidak bebas untuk

    keluar ke atmosfer. CO2 merupakan produk akhir dari oksidasi bakteri secara anaerobik

    dan aerobik. Oleh karena itu konsentrasi CO2 tidak dibatasi oleh jumlah oksigen terlarut.

    Pada percobaan kali ini 50,0 ml larutan sampel ditetesi dengan 1-2 tetes indicator PP

    1% kemudian dititrasi dengan larutan standar NaOH 0,0969 N sampai terjadi perubahan

    warna dari jernih menjadi merah muda. Dari percobaan duplo yang telah dilakukan,

    didapatkan kadar CO2 dalam percobaan 1 sebesar 17,06 mg/L dan pada percobaan 2

    sebesar 25,59 mg/L, setelah di rata-rata didapatkan kadar CO2 sebesar 21,325 mg/L.

    Karbondioksida (CO2), merupakan gas yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan air

    renik maupun tinhkat tinggi untuk melakukan proses fotosintesis. Meskipun peranan

    karbondioksida sangat besar bagi kehidupan organisme air, namun kandungannya yang

    berlebihan sangat menganggu, bahkan menjadi racu secara langsung bagi biota budidaya,

    terutama dikolam dan ditambak (Kordi dan Andi,2009).

    Meskipun presentase karbondioksida di atmosfer relatif kecil, akan tetapi keberadaan

    karbondioksida di perairan relatif banyak, karena karbondioksida memiliki kelarutan yang

    relatif banyak.

    Karbondioksida (CO2) mempunyai peranan yang sangat besar bagi kehidupan

    organisme air. Senyawa tersebut dapat membantu dalam proses dekomposisi atau

    perombakan bahan organik oleh bakteri. Namun jika dalam keadaan yang berlebihan

    dapat mengganggu bahkan menjadi racun bagi beberapa jenis ikan (Barus, 2002)

  • Kandungan CO2 diperairan digunakan untuk melarutkan kapur, yaitu untuk mengubah

    senyawa menjadi kalsium bikarbonat Ca(HCO3-). Agar supaya bikarbonat menjadi mantap

    sejumlah karbondioksida (CO2) tertentu harus tetap berada dalam larutan Yang dapat

    memperbaiki dan mempertahankan kalsium (Hendra, 1988).

    Kadar karbondioksida (CO2) yang baik bagi organisme peraiaran yaitu kurang lebih 15

    ppm. Jika lebih dari itu sangat membahayakan karena menghambat pengikatan oksigen

    (O2). Lebih lanjut dikatakan kadar karbondioksida yang berlebih dapat diatasi dengan

    melakukan penggantian air secara rutin, mengurangi pertumbuhan ganggang yang terlalu

    lebat dan peningkatan peranan kincir air (Mujiman, 1989).

    Karbondioksida dari udara selalu bertukar dengan karbondioksida yang ada di air.

    Pada air yang tenang pertukaran ini sedikit, proses yang terjadi adalah difusi. Sehingga

    kadar yang di perlukan pertukarannya berubah lebih cepat dan air dipermukaan berpusar

    menuju kebagian dasar perairan (Sastrawijaya, 2000).

    Tinggi dan rendahnya suatu karbondioksida dalam perairan tidak lepas dari pengaruh

    parameter lain seperti oksigen, alkalinitas, kesadahan, suhu, cahaya dan sebagainya. Di

    mana semakin tinggi karbondioksida, maka oksigen yang di perlukan bertambah.

    Konsentrasi karbondioksida sangat erat hubungannya dengan konsentrasi oksigen terlarut

    dalam perairan, karena kandungan karbondioksida mempunyai konsentrasi yang hampir

    sama dengan konsentrasi oksigen terlarut (Soeyasa, 2001).

    Nilai alkalinitas akan menurun jika ketersediaan CO2 yang dibutuhkan untuk

    fotosintesis tidak memadai. Hal ini karena adanya proses difusi CO2 diudara kedalam air.

    Diperairan yang sadah, kandungan karbondioksida tidak terdapat dalam bentuk gas. Hal ini

    terjadi adanya pembentukan kalsium dan magnesium karbonat yang memiliki sifat

    kelarutan rendah sehingga mengalami presipitasi.

    Kelarutan karbondioksida (CO2) menurun diperairan, seiring dengan menurunnya

    proses respirasi yang dilakukan oleh organisme yang ada dalam perairan. Pada siang hari

    proses respirasi menurun disuatu perairan karena yang melakukan proses respirasi hanya

    organisme berupa ikan sedangkan fitoplankton tidak melakukan respirasi melainkan hanya

    melakukan fotosintesis (Zonnoveld, 1991).

    Kurangnya karbondioksida (CO2) terlarut dalam perairan utamanya pada siang hari

    dapat mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis yang dilakukan oleh organisme

    akuatik dan memperlambat pertumbuhan organisme tersebut dalam perairan.

  • Salah satu masalah dalam perairan adalah apabila terjadi peningkatan kadar

    karbondioksida terlarut. Hal ini sangat mempengaruhi aktivitas organisme yang ada di

    dalam utamanya persaingan dalam proses respirasi. Solusi yang dapat dilakukan apabila

    hal tersebut terjadi yaitu dengan cara pengaturan sirkulasi air dengan teratur dan dapat pula

    digunakan aerator apabila kondisi perairan kecil (Barus, 2002). Dikatakan Hendra (1988),

    penanggulanganya dapat dilakukan dengan menaikkan pH serta dengan menambahkan

    senyawa kimia yang bersifat basa, pada umumnya digunakan kapur.

    Kesimpulan :

    Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :

    1. Untuk melakukan titrasi penetapan kadar CO2 dengan sampel air sumur

    digunakan larutan standar sekunder NaOH sebesar 0,0969 N.

    2. Dalam proses penetapan kadar CO2 dengan sampel air sumur diperoleh kadar

    CO2 dalam sampel tersebut sebesar 21,325 mg/L

    Daftar pustaka :

    http://aswarpunyainfo.blogspot.com/2012/11/laporan-praktikum-karbondioksida-co2.html

    http://jujubandung.wordpress.com/2012/06/08/parameter-fisika-kimia-biologi-penentu-kualitas-

    air-2/

    http://mengukurkualitasair007.blogspot.com/

    http://aswarpunyainfo.blogspot.com/2012/11/laporan-praktikum-karbondioksida-co2.htmlhttp://jujubandung.wordpress.com/2012/06/08/parameter-fisika-kimia-biologi-penentu-kualitas-air-2/http://jujubandung.wordpress.com/2012/06/08/parameter-fisika-kimia-biologi-penentu-kualitas-air-2/http://mengukurkualitasair007.blogspot.com/

  • Materi praktikum : Penentuan Alkalinitas

    Tujuan : 1. Melakukan standarisasi dengan titrasi acidimetri.

    2. Menetapkan kadar CaCO3 dalam sampel air sumur

    Metode : Acidimetri

    Prinsip : Reaksi penetralan asam basa

    Suatu sampel air ditentukan pHnya dengan indikator kertas lakmus, indikator

    universal, dan pH meter. Selanjutnya sampel tersebut dititrasi dengan larutan

    standart HCl dengan indikator metil merah atau metil orange

    Reaksi : Na2B4O7 + 2 HCl H2B4O7 + 2 NaCl

    H2B4O7 + 5 H2O 4 H2BO3

    Tinjauan Pustaka :

    Alkalinitas adalah kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam tanpa

    menurunkan pH larutan atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity

    (ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen.

    Alkalinitas merupakan hasil reaksi terpisah dalam larutan dan merupakan analisa

    makro yang menggabungkan beberapa reaksi. Alkalinitas merupakan kemampuan

    air untuk mengikat ion positif hingga mencapai pH 4,5.

    Alkalinitas dalam air disebabkan oleh ion-ion karbonat (CO32-

    ), bikarbonat

    (HCO3-), hidroksida (OH

    -), borat (BO3

    2-), fosfat (PO4

    3-), silikat (SiO4

    4-),

    ammonia, asam organik, garam yang terbentuk dari asam organik yang resisten

    terhadap oksidasi biologis. Dalam air alami, alkalinitas sebagian besar disebabkan

    adanya bikarbonat, karbonat, dan hidroksida. Pada keadaan tertentu, keberadaan

    ganggang dan lumut dalam air menyebabkan turunnya kadar CO2 dan HCO3-

    sehingga kadar CO32-

    dan OH- naik dan pH larutan menjadi naik.

    Pada awalnya, alkalinitas adalah gambaran pelapukan batuan yang terdapat

    pada sistem drainase. Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang

    dapat melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat. Jika Me

    merupakan logam alkali tanah (misalnya kalsium dan magnesium), maka reaksi

    yang menggambarkan pelarutan batuan karbonat ditunjukkan dalam reaksi (2.29).

    MeCO3 + CO2 + H2O Me2+

    + 2HCO32-

    (2.29)

  • Kalsium karbonat merupakan senyawa yang memberi kontribusi terbesar

    terhadap nilai alkalinitas dan kesadahan di perairan tawar. Senyawa ini terdapat di

    dalam tanah dalam jumlah yang berlimpah sehingga kadarnya di perairan tawar

    cukup tinggi. Kelarutan kalsium karbonat menurun dengan meningkatnya suhu

    dan meningkat dengan keberadaan karbondioksida. Kalsium karbonat bereaksi

    dengan karbondioksida membentuk kalsium bikarbonat [Ca(HCO3)2] yang

    memiliki daya larut lebih tinggi dibandingkan dengan kalsium karbonat (CaCO3)

    (Cole, 1983 dalam Effendi 2003).

    Tingginya kadar bikarbonat di perairan disebabkan oleh ionisasi asam

    karbonat, terutama pada perairan yang banyak mengandung karbondioksida

    (kadar CO2 mengalami saturasi/jenuh). Reaksi pembentukan bikarbonat dari

    karbonat adalah reaksi setimbang dan mengharuskan keberadaan karbondioksida

    untuk mempertahankan bikarbonat dalam bentuk larutan. Jika kadar

    karbondioksida bertambah atau berkurang, maka akan terjadi perubahan kadar ion

    bikarbonat.

    Bikarbonat mengandung asam (CO2) dan basa (CO32-

    ) pada konsentrasi yang

    sama, seperti yang ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.30).

    2 HCO3 - CO2 + CO3

    2- + H2O (2.30)

    Selain karena bereaksi dengan ion H+, karbonat dianggap basa karena dapat

    mengalami hidrolisis menghasilkan OH- seperti persamaan reaksi (2.31).

    CO32-

    + H2O HCO3- + OH

    - (2.31)

    Sifat kebasaan CO32-

    lebih kuat daripada sifat keasaman CO2 sehingga pada

    kondisi kesetimbangan, ion OH- dalam larutan bikarbonat selalu melebihi ion H

    +.

    Akumulasi hidroksida menyebabkan perairan yang banyak ditumbuhi algae

    memiliki nilai pH yang tinggi, sekitar 9 10. Nilai alkalinitas sangat dipengaruhi

    oleh pH. Dengan kata lain, alkalinitas berperan sebagai sistem penyangga (buffer)

    agar perubahan pH tidak terlalu besar. Alkalinitas juga merupakan parameter

    pengontrol untuk anaerobic digester dan instalasi lumpur aktif.

    Alkalinitas ditetapkan melalui titrasi asam basa. Asam kuat seperti asam sulfat

    dan asam klorida dapat menetralkan zat-zat alkaliniti yang bersifat basa sampai

    titk akhir titrasi (titik ekivalensi) kira-kira pada pH 8,3 dan 4,5. Titik akhir ini

    dapat ditentukan oleh jenis indikator yang dipilih dan perubahan nilai pH pada

  • pHmeter waktu titrasi asam basa. Reaksi yang terjadi ditunjukkan dalam

    persamaan reaksi (2.32) sampai (2.34).

    OH- + H

    + H2O (pH = 8,3) (2.32)

    CO32-

    + H+ HCO3 - (pH = 8,3) (2.33)

    HCO3 - + H

    + H2O + CO2 (pH = 4,5) (2.34)

    Jumlah asam yang diperlukan untuk mencapai titik akhir pada pH 8,3 (sebagian

    dari alkalinitas total) dikenal sebagai nilai P (phenolphtalein) dan yang diperlukan

    sampai pH 4,3 dikenal sebagai nilai T (total alkalinity) atau M (metil orange).

    Air ledeng memerlukan ion alkalinitas dalam konsentrasi tertentu. Jika kadar

    alkalinitas terlalu tinggi dibandingkan kadar Ca2+

    dan Mg2+

    , air menjadi agresif

    dan menyebabkan karat pada pipa. Alkalinitas yang rendah dan tidak seimbang

    dengan kesadahan dapat menyebabkan timbulnya kerak CaCO3 pada dinding pipa

    yang memperkecil diameter/penampang basah pipa.

    Satuan alkalinitas dinyatakan dengan mg/liter kalsium karbonat (CaCO3) atau

    mili-ekuivalen/liter. Selain bergantung pada pH, alkalinitas juga dipengaruhi oleh

    komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion. Nilai alkalinitas perairan alami hampir

    tidak pernah melebihi 500 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas yang

    terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh oragnisme akuatik karena biasanya diikuti

    dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi.

    Nilai alkalinitas berkaitan erat dengan korosivitas logam dan dapat menimbulkan

    permasalahan pada kesehatan manusia, terutama yang berhubungan dengan iritasi

    pada sistem pencernaan (gastro intestinal). Nilai alkalinitas yang baik berkisar

    antara 30 500 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas > 40 mg/liter

    CaCO3 disebut perairan sadah (hard water), sedangkan perairan dengan nilai

    akalinitas < 40 mg/liter disebut perairan lunak (soft water). Untuk kepentingan

    pengolahan air, sebaiknya nilai alkalinitas tidak terlalu bervariasi

    Alkalinitas berperan dalam hal-hal sebagai berikut :

    Sistem penyangga (buffer)

    Bikarbonat yang terdapat pada perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi

    berperan sebagai penyangga (buffer capacity) perairan terhadap perubahan pH

    yang drastis. Jika basa kuat ditambahkan ke dalam perairan, maka basa tersebut

    akan bereaksi dengan asam karbonat membentuk garam bikarbonat dan akhirnya

    menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan ke dalam perairan, maka asam tersebut

  • akan digunakan untuk mengonversi karbonat menjadi bikarbonat dan bikarbonat

    menjadi asam karbonat. Fenomena ini menjadikan perairan dengan nilai

    alkalinitas total tinggi tidak mengalami perubahan pH secara drastis (Cole, 1988

    dalam Effendi 2003). Pada sistem penyangga, CO2 berperan sebagai asam dan ion

    HCO3- berperan sebagai garam.

    Koagulasi kimia

    Bahan kimia yang digunakan dalam proses koagulasi air atau air limbah bereaksi

    dengan air membentuk presipitasi hidroksida yang tidak larut. Ion hidrogen yang

    dilepaskan bereaksi dengan ion-ion penyusun alkalinitas, sehingga alkalinitas

    berperan sebagai penyangga untuk mengetahui kisaran pH optimum bagi

    penggunaan koagulan. Dalam hal ini, nilai alkalinitas sebaiknya berada pada

    kisaran optimum untuk mengikat ion hidrogen yang dilepaskan pada proses

    koagulasi.

    Pelunakan air (water softening)

    Alkalinitas adalah parameter kualitas air yang harus dipertimbangkan dalam

    menentukan jumlah soda abu dan kapur yang diperlukan dalam proses pelunakan

    (softening) dengan metode presipitasi yang bertujuan untuk menurunkan

    kesadahan.

    Perubahan pH yang terjadi pada perairan yang memiliki nilai alkalinitas rendah

    cukup besar, sedangkan perubahan pH yang terjadi pada perairan yang memiliki

    nilai alkalinitas sedang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa alkalinitas

    yang lebih tinggi memiliki sistem penyangga yang lebih baik.

    Alkalinitas biasanya dinyatakan sebagai :

    Alkalinitas phenophtalein

    Alkalinitas phenophtalein dapat diketahui dengan titrasi asam sampai mencapai

    pH dimana HCO3- merupakan spesies karbonat dominan (pH = 8,3).

    Alkalinitas total

    Alkalinitas total dapat diketahui dengan titrasi asam untuk mencapai titik akhir

    metil orange (pH = 4,5) dimana spesies karbonat dan bikarbonat telah dikonversi

    menjadi CO2.

  • Alkalinitas pada air memberikan sedikit masalah kesehatan. Alkalinitas yang

    tinggi menyebabkan rasa air yang tidak enak (pahit). Pengukuran asiditas-

    alkalinitas harus dilakukan sesegera mungkin dan biasanya dilakukan di tempat

    pengambilan contoh. Batas waktu yang dianjurkan adalah 14 hari.

    Bahan : a. Larutan Na2B4O7.10 H2O 0,1000 N

    b. Larutan HCl 0,1 N

    c. Indikator MM 1% atau MO 0,2 %

    Alat : a. Labu Erlenmeyer 250 ml

    b. Buret 50 mL

    c. Pipet tetes

    d. Statif

    e. Beaker glass

    f. Pipet volume 10mL, 50mL

    h. Kertas lakmus

    g. Indikator universal

    sampel : air sumur

    Prosedur :

    1. Titrasi Standarisasi

    a. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa Na2B4O7.10

    H2O yang dibutuhkan:

    Pembuatan larutan primer : 250 mL Na2B4O7.10 H2O 0,1000 N

    m = N x V x BE

    = 0.1000 N x 0.25 L x

    = 4,7671 gram

    b. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 4,7665 gram

    c. Menghitung konsentrasi Na2B4O7.10H2O terstandarisasi sesuai hasil

    penimbangan

    =

  • = 0.1000 N

    d. Melarutkan dengan teliti Na2B4O7.10 H2O kedalam beaker glass

    e. Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan

    menambahkan aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok

    hingga homogen

    f. Mencuci dan mengisi buret dengan larutan HCl 0.1 N

    g. Memipet 10.0 mL larutan Na2B4O7.10 H2O kedalam Erlenmeyer

    h. Menambahkan indikator MO 0.2 % sebanyak 5 tetes

    i. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna dari kuning menjadi orange

    j. Mencatat volume titrasi dan menghitung konsentrasi HCl.

    2. Penetapan Kadar

    a. Mengisi buret dengan larutan HCl terstandarisasi

    b. Memipet 50,00 mL sampel kedalam labu erlenmeyer, lalu menambahkan 1-2

    tetes indikator MO 0,2%.

    c. Melakukan titrasi dengan HCl sampai terjadi perubahan warna dari kuning

    menjadi merah orange.

    d. Mencatat volume titran dan menghitung kadar CaCO3 sebagai alkalinitas.

    Hasil percobaan :

    Data titrasi standarisasi

    Volume

    Na2B4O7.10 H2O

    (mL)

    Normalitas

    Na2B4O7.10 H2O

    (N)

    Volume HCl

    (mL)

    Normalitas HCl

    (N)

    10,00 0,1000 V1 = 13,00 0,0769

    10,00 0,1000 V2 = 13,10 0,0763

    N HCl rata-rata =

    0,0766

    Data titrasi penetapan kadar

    Volume sampel

    (mL)

    Normalitas HCl

    (N)

    Volume HCl

    (mL)

    Kadar CaCO3 (mg/L)

    50,00 0,0766 V1 = 3,80 582,68

    50,00 0,0766 V2 = 3,80 582,68

    Kadar CaCO3 rata-rata =

    582,68

  • Perhitungan :

    a. Titrasi standarisasi

    Diketahui : V Na2B4O7.10 H2O = 10,00 mL

    N Na2B4O7.10 H2O = 0,1000 N

    i. V HCl = 13,00 mL

    ii. V HCl = 13,10 mL

    Maka normalitas HCl terstandarisasi :

    V Na2B4O7.10 H2O x N Na2B4O7.10 H2O = V HCl x N HCl

    10,00 mL x 0,1000 N = 13,00 mL x N HCl

    N HCl terstandarisasi = 0,0769 N

    V Na2B4O7.10 H2O x N Na2B4O7.10 H2O = V HCl x N HCl

    10,00 mL x 0,1000 N = 13,10 mL x N HCl

    N HCl terstandarisasi = 0,0763 N

    Maka Normalitas rata-rata HCl terstandarisasi :

    = 0,0766 N

    b. Titrasi penetapan kadar

    Diketahui : V sampel untuk titrasi = 50,00 mL

    N HCl = 0,0766 mL

    Vi HCl = 3,80 mL

    i. Maka penetapan kadar CaCO3 :

  • = 582,68 mg/L

    Pembahasan :

    Pada percobaan kali ini 50,0 ml larutan sampel ditetesi dengan 5 tetes indicator MO

    2% kemudian dititrasi dengan larutan standar HCl 0,0766 N sampai terjadi perubahan

    warna dari kuning menjadi merah orange. Dari percobaan duplo yang telah dilakukan,

    didapatkan kadar CaCO3 dalam percobaan 1 sebesar 582,68 mg/L dan pada percobaan 2

    juga sebesar 582,68 mg/L, setelah di rata-rata didapatkan kadar CaCO3 sebesar 582,68

    mg/L.

    Peranan Alkalinitas Dalam Perairan

    Alkalinitas yang terdapat dalam perairan secara langsung tidak mempengaruhi adanya

    organisme akuatik, karena alkalinitas dalam perairan berperan sebagai penetral keasaman

    pH dalam perairan. kemudian pH inilah yang mempengaruhi organisme akuatik.

    Alkalinitas merupakan faktor kapasitas untuk menetralkan asam. Oleh karenanya kadang-

    kadang penambahan alkalinitas lebih banyak dibutuhkan untuk mencegah supaya air itu

    tidak menjadi asam (Lesmana, 2005).

    Proses penetralan keasaman pH terjadi karena adanya ion karbonat dan ion bikarbonat

    yang saling bereaksi. Dalam kondisi basa, ion bikarbonat akan membentuk ion karbonat

    dan melepaskan ion hidrogen yang bersifat asam sehingga keadaan pH menjadi netral.

    Sebaliknya bila keadaan terlalu asam, ion karbonat akan mengalami hidrolisa menjadi ion

    bikarbonat dan melepaskan hidrogen oksida yang bersifat basa, sehingga keadaan kembali

    netral (Arsyad, 1989).

    Kadar Alkalinitas

    Ikan tumbuh pada kisaran alkalinitas yang tinggi, tetapi nilai 120 400 mg/l adalah

    optimal. Kadar alkalinitas yang sangat rendah, air kehilangan kemampuan menyangga

    perubahan keasaman dan pH yang berfluktuasi sangat cepat sehingga dapat menggangu

    kehidupan ikan budidaya. Ikan sangat sensitif pada kondisi kadar alkalinitas yang rendah

    (Mintardji, 1984).

    Perairan dengan total alkalinitas yang tinggi telah berkaitan dengan endapan batu

    kapur tanah. Nilai kadar alkalinitas yang tinggi biasanya terdapat pada perairan dalam,

    dimana penguapan konsentrasi ion perairan lebih banyak terjadi dengan alkalinitas rendah

    ditemukan pada tanah berpasir dan tanah yang mengandung banyak bahan organik.

    Sebagian perairan yang tercemar bahan organik akan memiliki kadar alkalinitas yang

    rendah basa umumnya rasa seperti sabun, Suatu zat yang dapat mengubah lakmus merah

    menjadi biru, serta senyawa yang mengandung gugusan hirdroksil(OH)

    (http//ideiyanhariini.blogspot.com/2009/05/alkalinitas.html).

    Hubungan Alkalinitas Dengan Parameter Lain

  • Tinggi dan rendahnya alkalinitas dalam suatu perairan tidak lepas dari pengaruh

    parameter lain seperti pH, suhu, udara, cahaya, dan sebagainya. Di mana semakin tinggi

    alkalinitas, maka semua parameter tersebut akan mengikuti. Konsentrasi total alkalinitas

    sangat erat hubungannya dengan konsentrasi total kesadahan air, umumnya total alkalinitas

    mempunyai konsentrasi yang sama dengan konsentrasi total kesadahan (Anang, 1991).

    Besarnya pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa/alkalis).

    Nilai pH yang kurang dari 7 menunjukkan lingkugan yang masam sedangkan nilai diatas 7

    menunjukkan lingkungan yang basa (alkali). Sedangkan ph 7 disebut netral. Fluktuasi pH

    air sangat ditentukan oleh alkalinitas air tersebut. Apabila alkalinitasnya tinggi, maka air

    tersebut akan mudah mengembalikan pH nya (Sastrawijaya, 2000).

    Dampak alkalinitas dan Penanggulangan Alkalinitas

    Air yang baik digunakan dalam suatu budidaya sebaiknya air yang bersifat alkalis,

    sebab jika air yang bersifat alkalis dapat memungkinkan terjadinya proses perombakan

    bahan-bahan organik menjadi garam mineral yang dapat berlangsung dengan cepat

    (Effendi, 2003).

    Alkalinitas merupakan faktor kapasitas yang dapat menentukan kemasaman. pH

    Sehingga untuk mencegah penanggulangan terjadinya kemasaman tersebut, maka di

    netralkan dengan ion-ion bikarbonat yang memegang peranan penting dalam menentukan

    alkalinitas perairan (Rompas, 1998).

    Kesimpulan : Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :

    3. Untuk melakukan titrasi penetapan kadar CaCO3 dengan sampel air sumur

    digunakan larutan standar sekunder HCl sebesar 0,0766 N.

    4. Dalam proses penetapan kadar CaCO3 dengan sampel air sumur diperoleh

    kadar CaCO3 dalam sampel tersebut sebesar 582,68 mg/L

    Daftar pustaka :

    http://aswarpunyainfo.blogspot.com/2012/11/laporan-praktikum-

    alkalinitas.html

    http://jujubandung.wordpress.com/

    http://aswarpunyainfo.blogspot.com/2012/11/laporan-praktikum-alkalinitas.htmlhttp://aswarpunyainfo.blogspot.com/2012/11/laporan-praktikum-alkalinitas.htmlhttp://jujubandung.wordpress.com/

  • Materi praktikum : Penentuan Klorida

    Tujuan : 1. Melakukan standarisasi dengan titrasi argentometri

    2. Menetapkan kadar Cl pada sampel air sumur

    Metode : Argentometri

    Prinsip :

    Klorida dalam suasana netral diendapkan dengan AgNO3, membentuk AgCl .

    Kelebihan sedikit Ag+ dengan adanya indicator K2CrO4, akan terbentuk endapan merah

    bata pada titik titrasi

    Reaksi : AgNO3 + NaCl AgCl putih + NaNO3

    2AgNO3 + K2CrO4 Ag2CrO4 merah + 2KNO3

    Tinjauan Pustaka :

    Sekitar 3/4 dari klorin (Cl2) yang terdapat di bumi berada dalam bentuk larutan. Unsur

    klor dalam air terdapat dalam bentuk ion klorida (Cl-). Ion klorida adalah salah satu anion

    anorganik utama yang ditemukan pada perairan alami dalam jumlah yang lebih banyak

    daripada anion halogen lainnya. Klorida biasanya terdapat dalam bentuk senyawa natrium

    klorida (NaCl), kalium klorida (KCl), dan kalsium klorida (CaCl2). Selain dalam bentuk

    larutan, klorida dalam bentuk padatan ditemukan pada batuan mineral sodalite

    [Na8(AlSiO4)6]. Pelapukan batuan dan tanah melepaskan klorida ke perairan. Sebagian

    besar klorida bersifat mudah larut.

    Klorida terdapat di alam dengan konsentrasi yang beragam. Kadar klorida umumnya

    meningkat seiring dengan meningkatnya kadar mineral. Kadar klorida yang tinggi, yang

    diikuti oleh kadar kalsium dan magnesium yang juga tinggi, dapat meningkatkan sifat

    korosivitas air. Hal ini mengakibatkan terjadinya perkaratan peralatan logam. Kadar

    klorida > 250 mg/l dapat memberikan rasa asin pada air karena nilai tersebut merupakan

    batas klorida untuk suplai air, yaitu sebesar 250 mg/l (Rump dan Krist, 1992 dalam

    Effendi, 2003). Perairan yang diperuntukkan bagi keperulan domestik, termasuk air

    minum, pertanian, dan industri, sebaiknya memiliki kadar klorida lebih kecil dari 100

    mg/liter (Sawyer dan McCarty, 1978). Keberadaan klorida di dalam air menunjukkan

    bahwa air tersebut telah mengalami pencemaran atau mendapatkan rembesan dari air laut.

    Klorida tidak bersifat toksik bagi makhluk hidup, bahkan berperan dalam pengaturan

    tekanan osmotik sel. Klorida tidak memiliki efek fisiologis yang merugikan, tetapi seperti

    amonia dan nitrat, kenaikan akan terjadi secara tiba-tiba di atas baku mutu sehingga dapat

    menyebabkan polusi. Toleransi klorida untuk manusia bervariasi berdasarkan iklim,

  • penggunaannya, dan klorida yang hilang melalui respirasi. Klorida dapat menimbulkan

    gangguan pada jantung/ginjal.

    Di Indonesia, khlor digunakan sebagai desinfektan dalam penyediaan air minum untuk

    menghilangkan mikroorganisme yang tidak dibutuhkan. Beberapa alasan yang

    menyebabkan klorin sering digunakan sebagai desinfektan adalah sebagai berikut (Tebbut,

    1992 dalam Effendi, 2003) :

    Dapat dikemas dalam bentuk gas, larutan, dan bubuk (powder).

    Harga relatif murah.

    Memiliki daya larut yang tinggi serta dapat larut pada kadar yang tinggi.

    Residu klorin dalam bentuk larutan tidak berbahaya bagi manusia, jika terdapat dalam

    kadar yang tidak berlebihan.

    Bersifat sangat toksik bagi mikroorganisme, dengan cara menghambat aktivitas

    metabolisme mikroorganisme tersebut.

    Proses penambahan klor dikenal dengan klorinasi. Klorin yang digunakan sebagai

    desinfektan adalah gas klor yang berupa molekul klor (Cl2) atau kalsium hipoklorit

    [Ca(OCl)2]. Penambahan klor secara kurang tepat akan menimbulkan bau dan rasa pada

    air. Pada kadar klor kurang dari 1.000 mg/liter, semua klor berada dalam bentuk ion

    klorida (Cl-) dan hipoklorit (HOCl), atau terdisosiasi menjadi H

    + dan OCl

    -.

    Selain bereaksi dengan air, klorin juga bereaksi dengan senyawa nitrogen membentuk

    mono-amines, di-amines, tri-amines, N-kloramines, N-kloramides, dan senyawa nitrogen

    berklor lainnya. Monokloramines (NH2Cl) adalah bentuk senyawa klor dan nitrogen yang

    utama di perairan. Senyawa ini bersifat stabil dan biasanya ditemukan beberapa hari

    setelah penambahan klorin. Klor yang berikatan dengan senyawa kimia lain dikenal

    sebagai klorin terikat, sedangkan klorin bebas adalah ion klorida dan ion hipoklorit yang

    tidak berikatan dengan senyawa lainnya.

    Penentuan jumlah klorin di perairan diperlukan dalam proses pengolahan air baku

    untuk keperluan domestik dan pengolahan limbah cair yang menggunakan klorin sebagai

    desinfektan, untuk mengetahui kadar klorin yang tersisa di perairan.

    Metode Mohr (Argentometric) dapat digunakan untuk pemeriksaan klorida

    menggunakan larutan perak nitrat (0,0141 N) untuk mentitrasi sehingga dapat bereaksi

    dengan larutan N/71 dimana setiap mm ekivalen dengan 0,5 mg ion klorida. Pada titrasi,

    ion klorida dipresipitasi sebagai klorida putih perak berdasarkan persamaan reaksi (2.9).

    Ag+ + Cl

    - AgCl (Ksp = 3 x 10

    -10) (2.9)

  • Titik akhir dengan indikator potassium chromate dapat menunjukkan kehadiran Ag+.

    Ketika ion klorida mencapai 0, konsentrasi ion perak akan meningkat dimana kelarutan

    produk kromat perak meningkat dan terbentuk warna merah coklat sesuai dengan

    persamaan reaksi (2.10).

    2 Ag+ + CrO4

    2- Ag2CrO4 (Ksp = 5 x 10

    -12) (2.10)

    Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang

    akurat antara lain :

    Digunakan contoh air yang seragam, dianjurkan 100 ml, sehingga konsentrasi ion pada

    titik akhir titrasi konstan.

    pH berada dalam rentang 7 atau 8 karena Ag+ dipresipitasi sebagai AgOH pada pH

    tinggi dan CrO42-

    akan berubah menjadi Cr2O72-

    pada pH rendah.

    Jumlah indikator harus diperhatikan untuk mengukur konsentrasi Cr2O42-

    atau

    Ag2CrO4 yang terbentuk sangat cepat atau sangat lama.

    Alat : a. Buret volume 50 mL

    b. Pipet Volume 10mL , 50mL

    c. Beaker glass

    d. labu erlenmeyer 250mL

    e. statif

    bahan : a. Larutan NaCl 0,0100 N

    b. Larutan AgNO3 0,01 N

    c. K2CrO4 5%

    d. serbuk MgO

    sampel : air sumur

    Prosedur :

    A. Titrasi standarisasi

    a. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa NaCl yang

    dibutuhkan

    Pembuatan larutan primer 250 mL NaCl 0,0100 N

    m = N x V x BE

    = 0.0100 N x 0.25 L x

    = 0,14625 gram

    b. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 0,1545

    gram

    c. Menghitung konsentrasi NaCl terstandarisasi sesuai hasil penimbangan

  • =

    = 0,0106 N

    d. Melarutkan dengan teliti NaCl kedalam beaker glass

    e. Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan

    tambahkan aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok

    hingga homogen

    f. Mengisi buret dengan larutan AgNO3 0.01 N

    g. Memipet 10.0 mL larutan NaCl kedalam Erlenmeyer

    h. Menambahkan indikator K2CrO4 5 % 2 3 tetes

    i. Melakukan titrasi hingga terbentuk endapan merah bata

    j. Mencatat volume titrasi dan menghitung konsentrasi AgNO3.

    Penentuan kadar

    1. Mengecek pH sampel, jika sampel bersifat asam maka menambahkan bubuk MgO sampai

    suasananya sedikit basa

    2. Mengisi buret dengan larutan AgNO3 terstandarisasi

    3. Memipet 50,0 mL sampel lalu memasukannya ke dalam labu erlenmeyer

    4. Menambahkan indikator K2CrO4 5% 2-3 tetes

    5. Melakukan titrasi dengan AgNO3 sampai terbentuk endapan merah bata muda.

    6. Mengulangi prosedur no 1 4 dengan menggunakan aquadest sebagai blanko.

    7. Mencatat volume titran dan menghitung kadar Cl dalam sampel air sumur.

    Hasil percobaan :

    Data titrasi standarisasi

    Volume NaCl

    (mL)

    Normalitas NaCl

    (N)

    Volume AgNO3 (mL)

    Normalitas AgNO3 (N)

    10,00 0,0106 Vi = 10,05 0,0105

    10,00 0,0106 Vii = 9,50 0,0111

    N AgNO3 rata-rata =

    0,0108

    Data titrasi penetapan kadar menggunakan sampel air sumur

    Volume sampel (mL) Normalitas AgNO3

    (N)

    Volume AgNO3

    (mL)

    50,00 0,0108 Vi = 12,20

    50,00 0,0108 Vii = 10,70

  • Data titrasi penetapan kadar menggunakan blanko

    Volume sampel

    (mL)

    Normalitas AgNO3

    (N)

    Volume AgNO3 (mL)

    50,00 0,0108 V1 = 0,75

    50,00 0,0108 V2 = 0,62

    Perhitungan :

    a. Titrasi standarisasi

    Diketahui : V NaCl : 10,00 mL

    N NaCl : 0,0106 N

    Vi AgNO3 : 10,05 mL

    Vii AgNO3 : 9,50 mL

    Maka normalitas AgNO3 terstandarisasi :

    V NaCl x N NaCl = V AgNO3 x N AgNO3

    10,00 mL x 0,0106 N = 10,05 mL x N AgNO3

    N AgNO3 terstandarisasi = 0,0105 N

    V NaCl x N NaCl = V AgNO3 x N AgNO3

    10,00 mL x 0,0106 N = 9,50 mL x N AgNO3

    N AgNO3 terstandarisasi = 0,0111 N

    Maka Normalitas rata-rata AgNO3terstandarisasi

    = 0,0108 N

    b. Titrasi penetapan kadar

    Volume sampel untuk titrasi = 50,00 mL

    N AgNO3 = 0,0108 N

    V AgNO3 untuk titrasi sampel = 12,20 mL

    V AgNO3 untuk titrasi blanko = 0,75 mL

  • Maka penetapan kadar Cl :

    = 87,7986 mg/L

    Titrasi penetapan kadar percobaan ke 2

    Volume sampel untuk titrasi = 50,00 mL

    N AgNO3 = 0,0108 N

    V AgNO3 untuk titrasi sampel = 10,70 mL

    V AgNO3 untuk titrasi blanko = 0,62 mL

    Maka penetapan kadar Cl :

    = 77,2934 mg/L

    Maka kadar Cl rata-rata sebesar 82,546 mg/L

    Pembahasan :

    Klorida banyak ditemukan di alam, hal ini di karenakan sifatnya yang mudah larut.

    Kandungan klorida di alam berkisar < 1 mg/l sampai dengan beberapa ribu mg/l di dalam

    air laut. Air buangan industri kebanyakan menaikkan kandungan klorida demikian juga

    manusia dan hewan membuang material klorida dan nitrogen yang tinggi.

    Kadar Cl- dalam air dibatasi oleh standar untuk berbagai pemanfaatan yaitu air minum,

    irigasi dan konstruksi. Konsentrasi 250 mg/l unsure ini dalam air merupakan batas

    maksimal konsentrasi yang dapat mengakibatkan timbulnya rasa asin. Konsentrasi klorida

    dalam air dapat meningkat dengan tiba-tiba dengan adanya kontak dengan air bekas.

    Klorida mencapai air alam dengan banyak cara. Kotoran manusia khususnya urine,

    mengandung klorida dalam jumlah yang kira-kira sama dengan klorida yang dikonsumsi

    lewat makanan dan air. Jumlah ini rata-rata kira-kira 6 gr klorida perorangan perhari dan

    menambah jumlah Cl dalam air bekas kira-kira 15 mg/l di atas konsentrasi di dalam air

  • yang membawanya, disamping itu banyak air buangan dari industri yang mengandung

    klorida dalam jumlah yang cukup besar.

    Klorida dalam konsentrasi yang layak adalah tidak berbahaya bagi manusia. Klorida

    dalam jumlah kecil dibutuhkan untuk desinfectan. Unsur ini apabila berikatan dengan ion

    Na+dapat menyebabkan rasa asin, dan dapat merusak pipa-pipa air.

    Berdasarkan pada SNI 01-3553-1996, Kadar klorida pada air minum harus memenuhi

    persyaratan kualitas air minum yaitu sebesar 250 mg/l.

    Pada percobaan kali ini dilakukan beberapa tahapan yaitu untuk menentukan volume

    AgNO3 pada larutan blanko yang nantinya digunakan sebagai faktor pengurang untuk

    menentukan kadar Cl- dalam sampel dan untuk penentuan kadar Cl

    - dalam sampel. Sampel

    diambil 50,00 ml kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Kemudian langsung

    ditambahkan K2Cr2O7 2-3 tetes. Setelah itu larutan sampel dititrasi dengan larutan AgNO3

    0,0108 N. Titrasi dilakukan sampai warna larutan menjadi keruh dan terdapat endapan

    merah bata.

    Pada percobaan titrasi penetapan kadar Cl yang telah dilakukan, pada percobaan 1

    kadar Cl sebesar 87,7986 mg/L, pada percobaan 2 dengan sampel yang sama sebesar

    77,2934 mg/L, setelah di rata-rata didapatkan kadar Cl hasil sebesar 82,546 mg/L.

    Dari hasil yang didapatkan kadar Cl dalam air sumur masih jauh dibawah 250 mg/L,

    sehingga dapat dikatakan sampel tersebut masih layak untuk dikonsumsi sebagai air

    minum sesuai dengan SNI 01-3553-1996, asalkan dengan diberlakukan pengolahan yang

    baik dan benar, sehingga tidak akan mengganggu kesehatan bagi yang mengonsumsi.

    Kesimpulan : Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :

    5. Untuk melakukan titrasi penetapan kadar Cl dengan sampel air sumur digunakan

    larutan standar sekunder AgNO3 sebesar 0,0108 N.

    6. Dalam proses penetapan kadar AgNO3 dengan sampel air sumur diperoleh kadar CO2

    dalam sampel tersebut sebesar 82,2776 mg/L.

    Daftar pustaka :

    http://uphisufiana.blogspot.com/2011/12/laporan-praktikum-laboratorium.html

  • Materi Praktikum : Penentuan Kesadahan

    Tujuan Praktikum :1.Melakukan standarisasi dengan titrasi kompleksometri

    2.Menentukan kadar kesadahan total, Ca2+

    , dan Mg2+

    dalam sampel

    Metode : Kompleksometri

    Prinsip :

    kesadahan total, Ca2+

    , dan Mg2+

    ditentukan dengan cara

    titrasi langsung dengan larutan standart Na2Edta

    menggunakan indicator EBT pada pH 10

    Reaksi : Ca2+

    / Mg2+

    - EBT + Edta Ca2+

    / Mg2+

    - Edta + EBT

    Ca2+

    + murexide Ca2+

    - murexide

    Ca2+

    - murexide + Edta Ca2+

    - Edta + murexide

    Mg2+

    - murexide + Edta tidak beraksi

    Tinjauan pustaka :

    Kesadahan (hardness) disebabkan adanya kandungan ion-ion logam bervalensi banyak

    (terutama ion-ion bervalensi dua, seperti Ca, Mg, Fe, Mn, Sr). Kation-kation logam ini

    dapat bereaksi dengan sabun membentuk endapan maupun dengan anion-anion yang

    terdapat di dalam air membentuk endapan/karat pada peralatan logam. Kation-kation utama

    penyebab kesadahan di dalam air antara lain Ca2+

    , Mg2+

    , Sr2+

    , Fe2+

    , dan Mn2+

    . Anion-anion

    utama penyebab kesadahan di dalam air antara lain HCO3 -, SO4

    2-, Cl

    -, NO3

    -, dan SiO3

    2-.

    Air sadah merupakan air yang dibutuhkan oleh sabun untuk membusakan dalam jumlah

    tertentu dan juga dapat menimbulkan kerak pada pipa air panas, pemanas, ketel uap, dan

    alat-alat lain yang menyebabkan temperatur air naik.

    Kesadahan air berkaitan erat dengan kemampuan air membentuk busa. Semakin besar

    kesadahan air, semakin sulit bagi sabun untuk membentuk busa karena terjadi presipitasi.

    Busa tidak akan terbentuk sebelum semua kation pembentuk kesadahan mengendap. Pada

    kondisi ini, air mengalami pelunakan atau penurunan kesadahan yang disebabkan oleh

    sabun. Endapan yang terbentuk dapat menyebabkan pewarnaan pada bahan yang dicuci.

    Pada perairan sadah (hard), kandungan kalsium, magnesium, karbonat, dan sulfat biasanya

    tinggi (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003). Jika dipanaskan, perairan sadah akan

    membentuk deposit (kerak). Pada Tabel 2.5 diperlihatkan klasifikasi perairan berdasarkan

    nilai kesadahan.

  • Tabel 2.5 Klasifikasi Perairan Berdasarkan Nilai Kesadahan

    Kesadahan (mg/l CaCO3) Klasifikasi Perairan

    < 50 Lunak (soft)

    50 150 Menengah (moderately hard)

    150 300 Sadah (hard)

    > 300 Sangat sadah (very hard)

    Sumber : Peavy et al, 1985 dalam Effendi, 2003

    Nilai kesadahan air diperlukan dalam penilaian kelayakan perairan untuk

    kepentingan industri dan domestik. Tebbut (1992) dalam Effendi (2003)

    mengemukakan bahwa nilai kesadahan tidak memiliki pengaruh langsung terhadap

    kesehatan manusia. Nilai kesadahan juga digunakan sebagai dasar bagi pemilihan metode

    yang diterapkan dalam proses pelunakan air.

    Dampak dari air sadah sebagai berikut :

    Sabun sulit berbusa

    Sabun terbuat dari garam natrium dan potasium dari asam lemah. Jika terdapat ion kalsium

    dan magnesium, akan terbentuk Ca palmitat atau Mg palmitat dalam bentuk endapan

    sehingga sabun tidak berbusa.

    Pembentukan kerak pada boiler

    Dalam air terdapat bikarbonat (HCO3-). Dalam temperatur normal bentuk tersebut stabil,

    namun dalam temperatur tinggi akan menghasilkan kerak. Apabila terdapat Mg2+

    , maka

    CO2 akan terlepas dan pH air akan naik. Kerak yang timbul dapat mempersempit volume

    boiler dan meningkatkan tekanan pada boiler sehingga memungkinkan boiler meledak.

    Kerak pada pipa penyaluran air

    Pada pipa distribusi air, kerak dapat mengakibatkan pemampatan dan mempengaruhi aliran

    air karena kerak yang muncul akan menaikkan faktor kekasaran (c) dan mengakibatkan

    debit turun.

  • Air permukaan memiliki nilai kesadahan yang lebih kecil daripada air tanah. Perairan

    dengan nilai kesadahan kurang dari 120 mg/l CaCO3 dan lebih dari 500 mg/l CaCO3

    kurang baik bagi peruntukkan domestik, pertanian, dan industri. Namun, air sadah lebih

    disukai oleh organisme daripada air lunak.

    Kesadahan pada awalnya ditentukan dengan titrasi menggunakan sabun standar yang

    dapat bereaksi dengan ion penyusun kesadahan. Dalam perkembangannya, kesadahan

    ditentukan dengan titrasi menggunakan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid) atau

    senyawa lain yang dapat bereaksi dengan kalsium dan magnesium. Kation-kation yang

    biasa mengakibatkan kesadahan pada air diperlihatkan pada Tabel 2.6.

    Tabel 2.6. Kation-kation Penyusun Kesadahan dan Anion-anion Pasangan/Asosiasinya

    Kation Anion

    Ca2+

    HCO3 -

    Mg2+

    SO42-

    Sr2+

    Cl-

    Fe2+

    NO3-

    Mn2+

    SiO32-

    Sumber : Sawyer dan McCarty, 1978

    Kesadahan diklasifikasikan berdasarkan dua cara, yaitu berdasarkan ion logam (metal)

    dan berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam. Berdasarkan ion logam (metal),

    kesadahan dibedakan menjadi kesadahan kalsium dan kesadahan magnesium. Berdasarkan

    anion yang berasosiasi dengan ion logam, kesadahan dibedakan menjadi kesadahan

    karbonat dan kesadahan non-karbonat.

    Kesadahan Kalsium dan Magnesium

    Kalsium dan magnesium merupakan penyebab utama kesadahan air karena

    kandungannya dalam air lebih besar dibandingkan ion logam bervalensi dua lainnya.

    Kesadahan kalsium dan magnesium digunakan untuk menentukan jumlah kapur dan soda

    abu yang dibutuhkan dalam proses pelunakan air (lime-soda ash softening). Jika kesadahan

    kalsium sudah ditentukan, maka kesadahan magnesium

    dapat dicari dengan pengurangan kesadahan kalsium dengan kesadahan total sesuai

    persamaan (2.3).

    Kesadahan Total Kesadahan Kalsium = Kesadahan Magnesium (2.3)

  • Pada penentuan nilai kesadahan, keberadaan besi dan mangan dianggap sebagai

    pengganggu karena dapat bereaksi dengan pereaksi yang digunakan. Untuk mendapatkan

    kadar ion kalsium dan ion magnesium dari nilai kesadahan, digunakan persamaan (2.4) dan

    (2.5) (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).

    Kadar Ca2+

    (mg/liter) = 0,4 x kesadahan kalsium (2.4)

    Kadar Mg2+

    (mg/liter) = 0,243 x kesadahan magnesium (2.5)

    Kesadahan Karbonat dan Non-Karbonat

    Pada kesadahan karbonat, kalsium dan magnesium berasosiasi dengan ion CO32-

    dan

    HCO3-. Pada kesadahan non-karbonat, kalsium dan magnesium berasosiasi dengan ion

    SO42-

    , Cl-, dan NO3

    -. Kesadahan karbonat disebut kesadahan sementara karena sangat

    sensitif terhadap panas dan mengendap dengan mudah pada suhu tinggi. Kesadahan non-

    karbonat disebut kesadahan permanen karena kalsium dan magnesium yang berikatan

    dengan sulfat dan klorida tidak mengendap dan nilai kesadahan tidak berubah meskipun

    pada suhu tinggi.

    Kesadahan karbonat dan kesadahan non-karbonat dapat diketahui menggunakan persamaan

    (2.6 2.8) (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

    Apabila Alkalinitas Total < Kesadahan Total

    Maka Kesadahan Karbonat = Alkalinitas Total

    (2.6)

    Apabila Alkalinitas Total Kesadahan Total

    Maka Kesadahan Karbonat = Kesadahan Total

    (2.7)

    Kesadahan Non-karbonat = Kesadahan Total Kesadahan

    Karbonat

    (2.8)

    Metode Titrasi EDTA merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur

    kesadahan di dalam air menggunakan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) atau

    garam natriumnya sebagai titran. EDTA membentuk ion kompleks yang sangat stabil

    dengan Ca2+

    dan Mg2+

    , juga ion-ion logam bervalensi dua lainnya.

    Indikator Eriochrome Black T (EBT) merupakan indikator yang sangat baik untuk

    menunjukkan bahwa ion penyebab kesadahan sudah terkompleksasi. Indikator EBT yang

    berwarna biru ditambahkan pada air sadah (pH 10), membentuk ion kompleks dengan Ca2+

    dan Mg2+

    yang berwarna merah anggur. Pada saat titrasi dengan EDTA, ion-ion kesadahan

  • bebas dikompleksasi. EDTA mengganggu ion kompleks (M.EBT) karena mampu

    membentuk ion kompleks yang lebih stabil dengan ion-ion kesadahan. Hal ini

    membebaskan indikator EBT, dimana warna wine red berubah menjadi biru, menunjukkan

    titik akhir titrasi.

    Alat : 1. Erlenmeyer 250 mL

    2. Beaker Glass

    3. Buret 50 mL

    4. Pipet volume

    5. Pipet tetes

    Bahan : 1. Larutan CaCO3 0.005 M

    2. Larutan Na2EDTA 0.005 M

    3. larutan NaOH 3 M

    4. Larutan buffer pH 10

    5. Indikator EBT dan Murexid

    Prosedur :

    A. Penentuan faktor Edta

    1. Menimbang CaCO3 sebanyak 100 mg dan didapat hasil penimbangan

    seberat 100,8 mg kemudian melarutkannya dengan aquades hingga 250

    mL.

    2. Mencuci dan mengisi buret dengan larutan Na2Edta.

    3. Memipet 10,00 mL larutan CaCO3 ke dalam erlenmayer

    4. Menambah buffer pH 10 sebanyak 1- 2 mL

    5. Menambahkan indikator EBT secukupnya

    6. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna dari merah anggur

    menjadi biru keunguan konstan.

    7. Mencatat volume titrasi dan menghitung faktor Edta.

    B. Titrasi Penetapan Kesadahan Total

    1. Mengisi buret dengan larutan Na2EDTA

    2. Memipet 50.00 mL sampel kedalam Erlenmeyer

    3. Menambah 1- 2 mL buffer pH 10

  • 4. Menambahkan indikator EBT

    5. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna dari ungu menjadi biru

    prusi

    C. Titrasi Penetapan Kesadahan Ca2+

    1. Mengisi buret dengan Na2EDTA terstandarisasi

    2. Memipet 50.00 mL sampel kedalam Erlenmeyer

    3. Menambahkan larutan NaOH 3 N hingga pH mencapai 12 13 kemudian

    menambahkan indikator murexide

    4. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna dari ungu menjadi biru

    prusi

    A. Hasil Praktikum

    Penentuan faktor edta

    Berat CaCO3 (g) Volume Na2Edta (mL) Faktor Na2Edta (mg/mL)

    0,1008 8,4 mL 0,4762

    0,1008 8,7 mL 0,4598

    Factor Na2Edta = 0,468

    Titrasi Penetapan Kadar

    Volume Sampel ( mL ) Factor Edta T1 ( mL ) T2 (mL)

    50,00 0,4678 29,2 9,2

    50,00 0,4678 29,5 9,2

    Keterangan :

    Factor Edta adalah jumlah CaCO3 dengan 1 mL titrasi edta

    T1 = volume titrasi Edta pada penetapan kesadahan total

    T2 = volume titrasi edta pada penetapan kesadahan Ca2+

    Perhitungan :

    i. Faktor Edta

    Diketahui = 250 mL = 100 mg

    10 mL = 4 mg

    a. Percobaan 1

    CaCO3 10 mL = dibutuhkan 8,4 mL Edta saat titrasi

    Maka factor Edta = 1 mL edta

  • = 0,4762 mg/mL b. Percobaan 2

    CaCO3 10 mL = dibutuhkan 8,7 mL Edta saat titrasi

    Maka factor Edta = 1 mL edta

    = 0,4598 mg/mL Maka factor edta rata-rata = 0,468 mg/mL

    ii. Perhitungan kesadahan total

    Diketahui = faktor edta = 0,468 mg/mL

    Volume sampel untuk titrasi =50,00 mL

    Percobaan 1 = T1 = 29,2 mL

    Kesadahan Total = x 0.1oD

    = 0D

    = 15,31D

    Percobaan 1 = T1 = 29,5 mL

    Kesadahan Total = x 0.1oD

    = 0D

    = 15,47 D

    Maka kesadahan total rata-rata sebesar 15,39 D

    iii. Perhitungan kesadahan Ca2+

    Diketahui = factor edta = 0,468

    a. Percobaan 1 = T2 = 9,2 mL

    Kesadahan Ca2+

    = x 1 mg/L

    =

    = 34,48 D

  • iv. Perhitungan Kesadahan Mg2+

    Percobaan 1 = T1 = 29,2 mL

    T2 = 9,2 mL

    Maka Kesadahan Mg2+

    =

    = 45,47 D

    Percobaan 2 = T1 = 29,5 mL

    T2 = 9,2 mL

    Maka Kesadahan Mg2+

    =

    = 46,15 D

    Maka kesadahan Mg2+

    rata-rata sebesar : 45,81 D

    Pembahasan :

    Kesadahan total yaitu ion Ca2+

    dan Mg2+

    dapat ditentukan melalui titrasi dengan

    EDTA sebagai titran dan menggunakan indikator yang peka terhadap semua kation

    tersebut. Kejadian total tersebut dapat dianalisis secara terpisah misalnya dengan metode

    AAS (Automic Absorption Spectrophotometry) (Abert dan Santika, 1984).

    Asam Ethylenediaminetetraacetic dan garam sodium ini (singkatan EDTA) bentuk

    satu kompleks kelat yang dapat larut ketika ditambahkan ke suatu larutan yang

    mengandung kation logam tertentu. Jika sejumlah kecil Eriochrome Hitam T atau

  • Calmagite ditambahkan ke suatu larutan mengandung kalsium dan ion-ion magnesium

    pada satu pH dari 10,0 0,1, larutan menjadi berwarna merah muda. Jika EDTA

    ditambahkan sebagai satu titran, kalsium dan magnesium akan menjadi suatu kompleks,

    dan ketika semua magnesium dan kalsium telah manjadi kompleks, larutan akan berubah

    dari berwarna merah muda menjadi berwarna biru yang menandakan titik akhir dari titrasi.

    Ion magnesium harus muncul untuk menghasilkan suatu titik akhir dari titrasi. Untuk

    mememastikankan ini, kompleks garam magnesium netral dari EDTA ditambahkan ke

    larutan buffer.

    Penentuan Ca dan Mg dalam air sudah dilakukan dengan titrasi EDTA. pH untuk

    titrasi adalah 10 dengan indikator Eriochrom Black T (EBT). Pada pH lebih tinggi, 12,

    Mg(OH)2 akan mengendap, sehingga EDTA dapat dikonsumsi hanya oleh Ca2+

    dengan

    indikator murexide. Adanya gangguan Cu bebas dari pipa-pipa saluran air dapat di

    masking dengan H2S. EBT yang dihaluskan bersama NaCl padat kadangkala juga

    digunakan sebagai indikator untuk penentuan Ca ataupun hidroksinaftol. Seharusnya Ca

    tidak ikut terkopresitasi dengan Mg, oleh karena itu EDTA direkomendasikan.

    Pada percobaan pertama, dilakukan standarisasi terlebih dahulu pada Na2EDTA

    dengan menggunakan larutan baku primer CaCO3. Larutan baku primer ditambahkan 1-2

    mL buffer pH 10, kemudian ditambahkan indikator EBT secukupnya. Setelah itu dilakukan

    titrasi dengan Na2EDTA hingga terjadi perubahan warna dari biru gelap menjadi biru

    pepsi.

    Pada percobaan kedua dilakukan titrasi penetapan kesadahan. Sampel sebanyak 50,0

    mL dimasukkan kedalam Erlenmeyer, ditambahkan 1-2 mL buffer pH 10, kemudian

    ditambahkan indicator EBT secukupnya. Setelah itu dilakukan titrasi dengan Na2EDTA

    hingga terjadi perubahan warna dari biru gelap menjadi biru pepsi.

    Percobaan yang ketiga adalah untuk penetapan kesadahan Ca2+

    . Sampel sebanyak 50,0

    mL dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer, ditambahkan larutan NaOH 3 N sampai pH

    larutan menjadi 12-13, menambahkan indikator murexide. Kemudian dilakukan titrasi

    dengan larutan baku Na2EDTA sampai terjadi perubahan warna.

    Dari berbagai percobaan yang telah dilakukan, didapatkan kesadahan total sebesar

    15,39 D, kesadahan Ca2+

    sebesar 34,48 D, dan kesadahan Mg2+

    sebesar 45,81 D.

    Menurut WHO air dikatakan sadah jika kadar kesadahannya sekitar 120-180 mg/L ,

    sedangkan menurut Merck air dikatakan sadah jika mengandung 320-534 mg/L menurut

    EPA air yag dikatakan sadah jika mengandung CaCO3 sekitar 150-300 mg/L, dan menurut

    PERMENKES RI, 2010 batas maksimum kesadahan air minum yang dianjurkan yaitu 500

    mg/l CaCO3.

    Pada percobaan kali ini, dapat disimpulkan bahwa sampel air yang diuji tidak layak

    untuk dijadikan air minum. Sehingga apabila melewati batas maksimum maka harus

    diturunkan (pelunakan) (Bakti Husada, 1995 dalam Resthy, 2011).

    Kesimpulan : Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :

  • 7. Kadar kesadahan total dalam sampel air sumur tersebut sebesar : 15,39 D

    8. Kadar kesadahan Ca2+ dalam sampel air sumur tersebut sebesar : 34,48 D

    9. Kadar kesadahan Mg2+ dalam sampel air sumur tersebut sebesar : 45,81D

  • Materi Praktikum : Penentuan Oksigen Terlarut ( DO )

    Tujuan Praktikum : 1. Melakukan standarisasi dengan titrasi iodometri

    2. Menentukan kadar oksigen terlarut dalam sampel

    Metode : Iodometri

    Prinsip :

    Penetapan kadar oksigen terlarut (DO) metode winkler

    didasarkan pada penambahan larutan Mn valensi 2 dalam

    suasana alkali dalam botol bertutup basah. Adanya

    oksigen terlarut pengoksidasi dengan cepat sejumlah sama

    Mn(OH)2 yang terdispresi menjadi hidrooksida dengan

    valensi lebih tinggi. Adanya ion iodida dan pengasaman,

    Mn(OH)2 yang teroksidasi berubah lagi menjadi

    bervalensi 2 dengan melepaskan iodine yang bebas

    kemudian dititrasi dengan natrium thiosulfat dengan

    indicator amilum.

    Reaksi : Mn2+

    + 2 OH Mn(OH)2

    Mn(OH)2 + O2 MnO2 + 2OH-

    MnO2 + 2 I- Mn(OH)2 + I2 + 2OH

    -

    I2 + 2 S2O3

    2- S2O4

    2- + 2 I

    -

    Tinjauan pustaka :

    Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena

    oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik.

    Selain itu, oksigen juga menentukan biologik yang dilakukan oleh organisme aerobik dan

    anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan

    organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang ada pada akhirnya dapat

    memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik oksigen yang dihasilkan akan

    mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas

    (Salmin, 2000).

    Dissolved Oxygen (DO) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari

    fotosintesis dan absorbsi atmosfer atau udara. DO di suatu perairan sangat berperan dalam

    proses penyerapan makanan oleh mahkluk hidup dalam air. Untuk mengetahui kualitas air

    dalam suatu perairan, dapat dilakukan dengan mengamati beberapa parameter kimia seperti

    DO. Semakin banyak jumlah DO (dissolved oxygen), maka kualitas air semakin baik. Jika

    kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat

  • degradasi anaerobik yang mungkin saja terjadi. Satuan DO dinyatakan dalam persentase

    saturasi (Salmin, 2000).

    DO dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernafasan, proses metabolisme atau

    pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Di

    samping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik

    dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu

    proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan

    tersebut (Salmin, 2000).

    Kandungan Dissolved Oxygen (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal

    dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik) (Swingle, 1968) atau berdasarkan

    Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

    Pengendalian Pencemaran Air menegaskan bahwa kadar DO minimum yang harus ada

    pada air adalah >2 mg O2/lt. Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari

    1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet,

    1970).

    Metode titrasi dengan cara Winkler secara umum banyak digunakan untuk

    menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri.

    Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH atau

    KI, sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atan HCl maka

    endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2)

    yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi

    dengan larutan standar natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan menggunakan indikator larutan

    amilum (kanji) (Anonim, 2011)

    Dengan menggunakan metode titrasi Winkler dapat ditentukan kadar Dissolved

    Oxygen (DO) dari suatu perairan. Dari kandungan DO yang diperoleh, dapat diketahui

    apakah kandungan DO yang dibutuhkan oleh organisme air tercukupi atau tidak.

    Keberadaan oksigen di perairan sangat penting untuk diketahui sebab oksigen sangat

    penting bagi kehidupan. Banyaknya O2 terlarut dalam peerairan biasa disebut DO. Dilihat

    dari jumlahnya, oksigen terlarut adalah satu jenis gas terlarut dalam air pada urutan kedua

    setelah nitrogen. Namun jika dilihat kepentingannya bagi kehidupan, oksigen menempati

    urutan paling atas. Sumber utama oksigen dalam perairan adalah hasil difusi dari udara,

    terbawa melalui presipitasi (air hujan) dan hasil fotointesis fitoplankton. Sebaliknya,

    kandungan DO dalam air dapat berkurang karena dimanfaatkan oleh aktivitas respirasi dan

    perombakan bahan organik (Sumeru, 2008).

    Kekurangan oksigen dapat dialami karena terhalangnya difusi akibat stratifikasi

    salinitas yang terjadi. Rendahnya kandungan DO dalam air berpengaruh buruk terhadap

    kehidupan ikan dan kehidupan akuatik lainnya, dan jika tidak ada sama sekali DO

    mengakibatkan munculnya kondisi anaerobik dengan bau busuk dan permasalahan estetika

    (Sumeru, 2008).

  • Air mengalir pada umumnya kandungan oksigennya cukup karena gerakannya

    menjamin berlangsungnya difusi antara udara dan air. Bila pencemaran organik pada badan

    air, DO tersebut digunakan oleh bakteri untuk mengoksidasi bahan pencemar organik

    tersebut. Komposisi populasi hewan dalam air sangat erat hubungannya dengan kandungan

    oksigen. Kelarutan oksigen atmosfer dalam air segar atau tawar berkisar dari 14,6 mg/liter

    pada suhu 0o

    C hingga 7,1 mg/liter pada suhu 35o

    C pada tekanan satu atmosfer (Canter,

    1977).

    Alat : 1. Botol winkler

    2. Beaker Glass

    3. Buret 50 mL

    4. Pipet volume

    5. Pipet tetes

    Bahan : 1. H2SO4 4 N

    2. KI 10 %

    3. H2SO4 pekat

    4. MnSO4 20 %

    5. KIO3 0.1 N

    6. Indikator amilum 0,2%

    7. Na2S2O3 0.1 N

    8. ReagenO2

  • Prosedur Praktikum :

    1. Titrasi Standarisasi

    a. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa KIO3 yang

    dibutuhkan

    Pembuatan larutan primer : 250 mL KIO3 0,1000 N

    m = N x V x BE

    = 0.1000 N x 0.25 L x

    = 0,8917 gram

    b. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 0,8962 gram

    c. Menghitung konsentrasi KIO3 terstandarisasi sesuai hasil penimbangan

    =

    = 0.1005 N

    d. Melarutkan dengan teliti KIO3 kedalam beaker glass

    e. Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan tambahkan

    aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok hingga

    homogen

    f. Memipet 10.0 mL larutan KIO3 kedalam labu iod

    g. Menambahkan 10 mL H2SO4 4N

    h. Menambahkan 10 mL KI 10 %

    i. Meletakan didalam ruang gelap selama 15 menit

    j. Mengisi buret dengan larutan Na2S2O3 0.1 N

    k. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna sampai kuning muda

    l. Menambahkan indikator amilum 2 3 tetes ketika warna sudah kuning muda

    m. Mentitrasi kembali hingga warna jernih

    n. Mencatat volume titran dan menghitung konsentarsi Na2S2O3

    2. Titrasi Penetapan Kadar

    a. Sampel diisi kedalam botol oksigen hingga penuh dan menghindari

    terdapatnya gelembung udara

    b. Menambahkan 2 mL larutan MnSO4 20 % dan 2 mL reagen O2 kedasar botol

  • c. Menutup botol hati hati dan jangan ada gelembung

    d. Mengocok secara hati hati hingga terjadi endapan

    e. Mendiamkan hingga endapan terpisah sempurna dengan filtrat

    f. Setelah endapan terpisah dengan filtrat, dan membuang filtratnya

    g. Menambahkan Endapan yang tersisa dengan H2SO4 pekat

    h. Menyimpan kedalam ruang gelap selama 15 menit

    i. Mengisi buret dengan larutan Na2S2O3

    j. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna menjadi kuning muda

    k. Menambahkan indikator amilum 0.2 % sebanyak 2 3 tetes

    l. Melakukan titrasi kembali hingga warna menjadi jernih

    m. Mencatat volume titran

    Hasil Percobaan :

    Titrasi Standarisasi

    Volume KIO3 ( mL )

    Normalitas KIO3

    ( N )

    Volume Na2S2O3

    ( mL )

    Normalitas Na2S2O3 (N)

    10.0 0.1005 9,7 0,1036

    10.0 0.1005 10,6 0,0948

    N rata-rata = 0,0992

    Titrasi Penetapan Kadar

    Volume Sampel ( mL )

    Normalitas

    Na2S2O3

    ( N )

    Volume

    Na2S2O3

    ( mL )

    Kadar DO

    (mg/L)

    250.0 0,0992 1,9 6,0314

    250.0 0,0992 1,8 5,7139

    Kadar DO rata-rata =

    5,87265

    Perhitungan :

    a. Titrasi standarisasi

    Diketahui : V KIO3 = 10,00 mL

    N KIO3 = 0,1005 N

    Percobaan 1 = V Na2S2O3 = 9,7 mL

    Maka N Na2S2O3 terstandarisasi :

    V KIO3 x N KIO3 = V Na2S2O3 x N Na2S2O3

  • 10,00 mL x 0,1005 N = 9,7 mL x N Na2S2O3

    N Na2S2O3 terstandarisasi = 0,1036 N

    Percobaan 2 = V Na2S2O3 = 10,6 mL

    Maka N Na2S2O3 terstandarisasi :

    V KIO3 x N KIO3 = V Na2S2O3 x N Na2S2O3

    10,00 mL x 0,1005 N = 10,6 mL x N Na2S2O3

    N Na2S2O3 terstandarisasi = 0,0948 N

    Maka N rata-rata Na2S2O3 terstandarisasi : 0,0992 N

    b. Titrasi penetapan kadar

    Diketahui : v sampel untuk titrasi : 250,00 mL

    N Na2S2O3 : 0,0992 N

    Maka penetapan kadar DO

    Percobaan 1 = V Na2S2O3 = 1,9 mL

    Kadar DO =

    =

    = 6,0314 mg/L

    Percobaan 2 = V Na2S2O3 = 1,8 mL

    Kadar DO =

    =

    = 5,7139 mg/L

    Maka kadar DO rata-rata : 5,87265 mg/L

    Pembahasan :

    DO sering juga disebut dengan kebutuhan oksigen (Oxygen demand), merupakan salah

    satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Nilai DO yang biasa diukur dalam

    bentuk konsentrasi menunjukkan jumlah oksigen (O2) yang tersedia dalam suatu badan air.

    Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang

    bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar.

    Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota

  • air seperti ikan dan mikroorganisme. Selain itu kemampuan air untuk membersihkan

    pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Oleh sebab pengukuran

    parameter ini sangat dianjurkan di samping parameter lain.

    Di dalam air, oksigen memainkan peranan dalam menguraikan komponen-komponen

    kimia menjadi komponen yang lebih sederhana. Oksigen memiliki kemampuan untuk

    beroksidasi dengan zat pencemar seperti komponen organik sehingga zat pencemar

    tersebut tidak membahayakan. Oksigen juga diperlukan oleh mikroorganisme, baik yang

    bersifat aerob serta anaerob, dalam proses metabolisme. Dengan adanya oksigen dalam air,

    mikroorganisme semakin giat menguraikan kandungan zat pencemar dalam air. Reaksi

    yang terjadi dalam penguraian tersebut adalah :

    Jika reaksi penguraian komponen kimia dalam air terus berlaku, maka kadar oksigen

    pun akan menurun. Pada klimaksnya, oksigen yang tersedia tidak cukup menguraikan

    komponen kimia tersebut. Keadaan yang demikian merupakan pencemaran berat pada air.

    pada percobaan 1 kadar Oksigen terlarutnya sebesar 6,0314 mg/L, pada percobaan 2

    kadar oksigen terlarutnya sebesar 5,7139 mg/L dan didapatkan kadar oksigen terlarut rata-

    rata sebesar 5,87265 mg/L

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan

    Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air menegaskan bahwa kadar DO minimum

    yang harus ada pada air adalah >2 mg O2/L. Jadi, dapat dikatakan bahwa sampel yang

    digunakan tergolong baik, karena memenuhi baku standar yang telah ditetapkan.

    Kesimpulan : Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :

    1. Untuk melakukan titrasi penetapan kadar oksigen terlarut (DO) dengan

    sampel air sumur digunakan larutan standar sekunder Na2S2O3 sebesar

    0,0992 N.

    2. Dalam proses penetapan kadar oksigen terlarut (DO) dengan sampel air

    sumur diperoleh kadar oksigen terlarut dalam sampel tersebut sebesar

    5,87265 mg/L

    Daftar pustaka :

    http://uphisufiana.blogspot.com/2011/12/laporan-praktikum-laboratorium.html

  • Materi praktikum : Pemeriksaan BOD

    Tujuan praktikum :1.Melakukan titrasi dengan titrasi iodometri

    2.Menetapkan kadar D0 0 hari dan D0 5 hari

    Metode : iodometri

    Prinsip :

    Pengukuran BOD terdiri dari pengenceran sampel, inkubasi selama 5 hari pada suhu

    20C dan pengukuran oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi. Penurunan

    oksigen terlarut selama inkubasi menunjukkan banyaknya oksigen yang dibutuhkan

    oleh sampel air. Oksigen terlarut dianalisa dengan menggunakan metode Winkler.

    Dimana BOD adalah kadar DO 0 hari kadar DO 5 hari. Untuk penentuan DO 5 hari

    sampel yang diambil langsung di masukkan botol oksigen, di simpan selama 5 hari di

    tempat gelap atau dibungkus dengan kertas karbon, kemudian dianalisa sama seperti

    penetuan DO.

    Tinjauan pustaka :

    BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian

    senyawa organik pada kondisi aerobik. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa

    senyawa organik merupakan makanan bagi bakteri. Parameter BOD digunakan untuk

    menentukan tingkat pencemar oleh senyawa organik yang dapat diuraikan oleh bakteri.

    Percobaan BOD adalah peruji hayati (bioassay).

    Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang

    diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik.

    Pemecahan bahan organik diartikan bahwabahan organik ini digunakan oleh organisme

    sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (PESCOD,1973).

    Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air

    buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat

    hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang

    menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama

    organisme tersebut menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada

    kondisi yang harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD,

    contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari

    oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus

    berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya oksigen

    terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan mengingat kelarutan

  • oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar 9 ppm pads suhu 20C (SAWYER & MC

    CARTY, 1978).

    Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan bermacam-macam

    organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan

    air (H2O). Pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi dimana

    organisme hidup bertindak sebagai medium untuk menguraikan bahan organik menjadi

    CO2 dan H2O. Reaksi oksidasi selama pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktifitas

    biologis dengan kecepatan reaksi yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah

    populasi dan suhu. Karenanya selama pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan konstan

    pada 20C yang merupakan suhu yang umum di alam. Secara teoritis, waktu yang

    diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan organik terurai menjadi

    CO2 dan H2O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya dilaboratoriurn, biasanya

    berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa selama waktu itu persentase reaksi

    cukup besar dari total BOD. Nilai BOD 5 hari merupakan bagian dari total BOD dan nilai

    BOD 5 hari merupakan 70 80% dari nilai BOD total (SAWYER & MC CARTY, 1978).

    Metoda penentuan yang dilakukan adalah dengan metoda titrasi dengan cara WINKLER.

    Metoda titrasi dengan cara WINKLER secara umum banyak digunakan untuk menentukan

    kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang

    akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 den Na0H KI, sehingga akan

    terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atan HCl maka endapan yang terjadi

    akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan

    oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar

    natrium tiosulfat (Na2S203) dan menggunakan indikator larutan amilum (kanji).

    Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam

    BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic

    matter). Mays (1996) mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang

    digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap

    masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertianpengertian ini dapat dikatakan

    bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat

    juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable

    organics) yang ada di perairan. Faktor yang mempengaruhi hasil BOD adalah :

    Bibit biological yang dipakai

    pH jika tidak dekat dengan aslinya (netral)

    Temperatur jika selain 20 0C (68

    0F)

    Keracunan sampel

    Waktu inkubasi

  • Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar

    mencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan/

    sampel tersebut yang harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu. Hal ini untuk

    menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting

    diperhatikan mengingat kelarutan oksigen salam air terbatas dan hanya berkisar 9 ppm

    pada suhu 200C (Salmin. 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi BOD adalah jumlah

    senyawa organik yang diuraikan, tersedianya mirkoorganisme aerob dan tersedianya

    sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian tersebut (barus,

    1990 dalamSembiring, 2008). Oksidasi biokimia adalah proses yang lambat. Dalam waktu

    20 hari, oksidasi bahan organik karbon mencapai 95 99 %, dan dalam waktu 5 hari

    sekitar 60 70 % bahan organik telah terdekomposisi (Metcalf & Eddy, 1991). Lima hari

    inkubasi adalah kesepakatan umum dalam penentuan BOD. Jika sampel air BOD pada

    20 0C diukur berdasarkan fungsi waktu, maka akan diperoleh kurva seperti gambar

    7.8.10.untuk 10 sd 15 hari, kurva mendekati eksponensial, tapi sekitar 15 hari, kurva

    meningkat tajam yang menurunkankan kestabilan laju BOD. Karena panjangnya waktu dan

    kurvanya tidak datar, maka para engineer lingkungan mengambil secara universal untuk

    test standar pada 5 hari untuk prosedur BOD.

    Bahan :

    1. Buffer phosphat pH 7.2

    2. MgSO4

    3. CaCl2

    4. FeCl3

    5. Na2SO3 0,25N

    6. KIO3 0,025 N

    7. H2SO4 4 N

    8. KI 10 %

    9. H2SO4 pekat

    10. MnSO4 20%

    11. Indicator amilum 0.2 %

    12. Reagen 02

    Alat : 1. Botol oksigen

    2.Labu iod

    3. Buret 50 mL

  • 4. gelas ukur

    5. Pipet ukur

    Prosedur Praktikum

    1. Persiapan Air Pengencer

    Setiap 2,5 liter aquadest dalam botol penuh ditambahkan :

    2,5 mL buffer phosphat pH 7.2

    2,5 mL CaCl2

    2,5 mL MgSO4

    2,5 mL FeCl3

    Mencampur bahan diatas lalu dialiri udara dari pompa udara selama 30 menit

    2. Titrasi Standarisasi

    a. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa KIO3 yang

    dibutuhkan

    Pembuatan larutan primer : 100 mL KIO3 0,025 N

    m = N x V x BE

    = 0.025 N x 0.1 L x

    = 0,0892 gram

    b. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 0.0897 gram

    c. Menghitung konsentrasi KIO3 terstandarisasi sesuai hasil penimbangan

    =

    = 0.0251 N

    d. Melarutkan dengan teliti KIO3 kedalam beaker glass

    e. Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan tambahkan

    aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok hingga

    homogen

    f. Memipet 10.0 mL larutan KIO3 kedalam labu iod

    g. Menambahkan 10 mL H2SO4 4N

    h. Menambahkan 10 mL KI 10 %

  • i. Menaruh didalam ruang gelap selama 15 menit

    j. Mengisi buret dengan larutan Na2S2O3 0.1 N

    k. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna sampai kuning muda

    l. Menambahkan indikator amilum 2 3 tetes ketika warna sudah kuning muda

    m. Mentitrasi kembali hingga warna jernih

    n. Mencatat volume titran dan menghitung konsentrasi Na2S2O3

    3. Pengenceran Sampel

    Sesuai dengan hasil DO segera didapatkan kadar DO sebesar 5 maka

    pengencerannya dilakukan sebanyak 10 kali

    4. Tekhnik Sampel

    DO 0 hari

    a. Memipet 25.00 mL sampel kedalam botol oksigen 250 mL

    b. Menambahkan air pengencer hingga penuh

    c. Menambahkan 2 mL MnSO4 20 % dan 2 mL reagen O2 kedasar botol

    d. Menutup botol hati hati dan jangan ada gelembung

    e. Mengocok secara hati hati hingga terjadi endapan

    f. Mendiamkan hingga endapan terpisah sempurna dengan filtrat

    g. Setelah endapan terpisah dengan filtrate, Membuang filtrat

    h. Menambahkan Endapan yang tersisa dengan H2SO4 pekat

    i. Menyimpan kedalam ruang gelap selama 15 menit

    j. Mengisi buret dengan larutan Na2S2O3

    k. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna menjadi kuning muda

    l. Menambahkan indikator amilum 0.2 % sebanyak 2 3 tetes

    m. Melakukan titrasi kembali hingga warna menjadi jernih

    DO 5 hari

    a. Memipet 25.00 mL sampel kedalam botol oksigen 250 mL

    b. Menambahkan air pengencer hingga penuh

    c. Menyimpan selama 5 hari didalam ruang gelap

    d. Setelah lima hari, menambahkan 2 mL MnSO4 20 % dan 2 mL reagen O2

    kedasar botol

  • e. Menutup botol hati hati dan jangan ada gelembung

    f. Mengocok secara hati hati hingga terjadi endapan

    g. Mendiamkan hingga endapan terpisah sempurna dengan filtrat

    h. Setelah endapan terpisah dengan filtrate, buang filtrat

    i. Endapan yang tersisa ditambah dengan H2SO4 pekat

    j. Menyimpan kedalam ruang gelap selama 15 men