Top Banner
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo) AZWIN APRIANDI DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
84

Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Jan 18, 2016

Download

Documents

Aurel
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF

KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)

AZWIN APRIANDI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 2: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

RINGKASAN

AZWIN APRIANDI. C34070081. Aktivitas Antioksidan dan Komponen

Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo). Dibimbing oleh

NURJANAH dan ASADATUN ABDULLAH.

Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu jenis

Gastropoda air laut. Sebagai Gastropoda air laut, sampai saat ini keong ipong-

ipong hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Masyarakat meyakini bahwa

keong ipong-ipong ini bermanfaat untuk meningkatkan stamina tubuh dan

vitalitas. Akan tetapi fakta ilmiah yang mendukung manfaat dari keong tersebut

belum ada. Sehingga perlu dilakukan pengkajian atau penelitian mengenai

komponen bioaktif yang terkandung pada keong ipong-ipong, yang mungkin

memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Pengkajian ini dilakukan sebagai salah

satu langkah untuk mengetahui pamanfaatan keong ipong-ipong dimasa

mendatang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan

zat gizi (air, lemak, protein, abu dan abu tidak larut asam), aktivitas antioksidan

dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong ipong-ipong. Pengujian

yang digunakan meliputi analisis proksimat, uji kuantitatif aktivitas antioksidan

dengan metode DPPH, dan uji fitokimia.

Keong ipong-ipong pada penelitian ini berasal dari Desa Gebang, Kota

Cirebon, Jawa Barat. Rendemen cangkang, isi dan jeroan keong ipong-ipong

berturut-turut sebesar 69,69%, 22,08% dan 8,22%, sangat potensial dan ekonomis

untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Keong ipong-ipong mengandung air sebesar

73,07%, protein sebesar 18,28%, lemak sebesar 0,57%, abu sebesar 2,77%,

abu tidak larut asam sebesar 0,15% dan karbohidrat sebesar 5,2%.

Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas

antioksidan yang terlihat dari nilai IC50 yang diperoleh. Nilai IC50 dari ekstrak

kloroform daging dan jeroan sebesar 9210 ppm dan 2825 ppm, ekstrak etil asetat

nya sebesar 6825 ppm dan 4600 ppm dan ekstrak metanolnya sebesar 1513,8 ppm

dan 994,47 ppm. Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong ini

mengandung 6 dari 9 komponen bioaktif yang diuji dengan metode fitokimia,

antara lain alkaloid, steroid, karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino

bebas. Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas

fisiologis yang positif bagi kesehatan tubuh manusia. Salah satunya adalah

kandungan steroid pada keong ipong-ipong. Hal ini membuktikan manfaat dari

keong tersebut secara empiris yang dipercayai dapat meningkatkan stamina tubuh

serta vitalitas.

Page 3: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF

KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)

AZWIN APRIANDI

C34070081

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan

di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 4: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Judul : AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN

BIOAKTIF KEONG IPONG-IPONG

(Fasciolaria salmo)

Nama : Azwin Apriandi

NRP : C34070081

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pemimbing II

Dr. Ir. Nurjanah, MS Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M.

NIP.1959 1013 1986 01 2 002 NIP. 1983 0405 2005 01 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc

NIP.19610410 198601 1 002

Tanggal Lulus : 17 FEBRUARI 2011

Page 5: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul “Aktivitas

Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo)

“adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2010

Azwin Apriandi

C34070081

Page 6: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat, rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan

penyusunan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar

Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi

hasil penelitian ini berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada

Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu penulis selama penyusunan skripsi ini , terutama kepada:

1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M. selaku

dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan

yang telah diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi

Hasil Perairan.

3. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi

Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah banyak membantu

penulis selama proses penyusunan skripsi.

4. Pak Haris Fadillah selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun,

yang telah memberikan motivasi serta dukungannya kepada penulis.

5. Keluarga terutama Bapak, ibu dan Adik yang telah memberikan semangat,

materil dan doanya, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

6. Novi Winarti yang telah memberi semangat dan motivasi kepada penulis

selama menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman THP 44, 43, 42 yang telah banyak memberikan masukan

dan informasi-informasi penting pada penulis sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

Page 7: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Penulis menyadari bahwa masih banyak banyak kekurangan dalam

penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga

tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, September 2010

Azwin Apriandi

C34070081

Page 8: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kepulauan Riau pada tanggal

2 April 1990 sebagai anak pertama dari dua bersaudara

pasangan Darwin dan Azizah, S.Pd.I.

Penulis memulai jenjang pendidikan formal di

MI Baitul Mubin Alai Kecamatan Kundur (tahun 1995-

2001), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya

di MTsN Tanjungbatu Kundur (tahun 2001-2004),

pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Kundur dan lulus pada

tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis memperoleh Beasiswa Utusan Daerah

(BUD) untuk melanjutkan pendidikan kuliah ke Institut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi

kemahasiswaan, seperti Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan sebagai

anggota divisi peduli pangan. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata

kuliah Biokimia Hasil Perairan 2009-2010 dan 2010-2011, asisten praktikum mata

kuliah Biotoksikologi Hasil perairan 2010-2011, asisten mata kuliah Teknologi

Pengolahan Hasil Perairan 2010-2011 dan koordinator asisten mata kuliah

Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan 2010-2011

Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan

penelitian yang berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif

Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo) “di bawah bimbingan

Dr. Ir. Nurjanah, MS. dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M.

Page 9: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI …………………………………………………………….. vii

DAFTAR TABEL ……………………………………………………..... ix

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… x

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… xi

1 PENDAHULUAN…………………………………………………..... 1

1.1 LatarBelakang …………………………………………………..... 1

1.2 Tujuan …………………………………………………………….. 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………... 3

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong

(Fasciolaria salmo)……………………………………………….… 3

2.2 Antioksidan ………………………….……………………............ 4

2.2.1 Fungsi antioksidan…………………..……………………… 5

2.2.2 Jenis-jenis antioksidan ……………...…………………….... 6

2.2.1.1 Antioksidan sintetik…………..……………………. 6

2.2.1.2 Antioksidan alami...…………..……………………. 7

2.3 Uji Aktivitas Antioksidan ………………………..……………....... 8

2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif…………………….………………..... 9

2.5 Metabolit Sekunder………….………………….………………..... 11

2.6 Analisis Fitokimia………………………..………………………... 11

2.6.1 Alkaloid …………………….…………………………….... 12

2.6.2 Steroid/triterpenoid ………………………………………... 13

2.6.3 Flavonoid ………………………………………………….. 14

2.6.4 Saponin ……………………………………………………. 14

2.6.5 Fenolhidrokuinon ………………………………………..... 15

2.6.6 Karbohidrat ………………………………………………... 16

2.6.7 Gulapereduksi …………………………………………….. 16

2.6.8 Peptida …………………………………………………….. 17

2.6.9 Asam amino ………………………………………………... 17

3 METODOLOGI……………………...…..…………………………... 19

3.1 Waktu dan Tempat …………………………….....….………….… 19

3.2 Bahan dan Alat ………………………......……..….……………... 19

3.3 Metode Penelitian ……………………………….………………... 20

3.3.1 Pengambilan dan preparasi bahan baku..……………........... 20

3.3.2 Analisis proksimat ..…………….…..…………………….... 21

Page 10: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

1) Analisis kadar air (AOAC 2005) ………………………. 21

2) Analisis kadar abu (AOAC 2005) ……………………… 21

3) Analisis kadar protein (AOAC 1980) ………………….. 22

4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) …………………… 22

5) Analisis kadar abu tidak larut asam menurut

SNI 01-3836-2000 (BSN 2000) ………………………… 23

3.3.3 Analisis antioksidan dengan metode DPPH…………........... 23

1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988dalam

Darusman et al.1995)………………………………….. 23

2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 dalam

Hanani et al. 2005) ……………………………………. 26

3.3.4 Uji fitokimia (Harborne 1984) …………………………….. 27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………….... 30

4.1 Karakteristik Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo) …………… 30

4.1.1 Rendemen …………………………………………………. 31

4.1.2 Komposisi kimia ……………………………………………. 32

1) Kadar air ……………………………………………….. 33

2) Kadar lemak …………………………………………… 34

3) Kadar protein ………………………………………….. 35

4) Kadar abu ……………………………………………… 35

5) Kadar abu tidak larut asam ……………………………. 36

6) Kadar karbohidrat ……………………………………... 37

4.2 Ekstraksi Komponen Bioaktif pada Keong Ipong-Ipong ..……….. 37

4.2.1 Ekstrak kasar ………………………………………………. 38

4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar ……………………. 40

1) Alkaloid ………………………………………………... 41

2) Steroid …………………………………………………. 43

3) Karbohidrat ……………………………………………. 44

4) Gula pereduksi …………………………………………. 46

5) Peptida …….……………………………………………. 46

6) Asam amino ……………………………………………. 47

4.3 Aktivitas Antioksidan …………………………………………….. 48

5 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………… 56

5.1 Kesimpulan ……………………………………………………….. 56

5.2 Saran ………………………………………………………………. 56

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 57

LAMPIRAN……………………………………………………………... 62

Page 11: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang

dan operkulum keong ipong-ipong.………………………… 30

2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong ipong-ipong.………. 40

3. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT………………... 50

4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging

keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)……………………... 50

5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan

keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)……………………... 51

Page 12: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo).………………………. 3

2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida 6

3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine .. 9

4. Struktur alkaloid ……………………………………………... 12

5. Struktur steroid …………………………..…………………... 13

6. Struktur umum saponin…...…………….……………………. 15

7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong

(Fasciolaria salmo)…………………………………………………….. 26

8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang

Cirebon………………………………………………………….. 30

9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan)

keong ipong-ipong……………………………………………... 31

10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2)…..……………... 33

11. Rendemen ekstrak kasar keong ipong-ipong …..……………... 38

12. Garfik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya... 51

13. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging

keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya………………... 52

14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan

keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya………………... 52

Page 13: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Bentuk cangkang keong ipong-ipong…. ……....……….…... 63

2. Perhitungan rendemen keong ipong-ipong …………………. 63

3. Perhitungan analisis proksimat …………………..………..... 63

4. Data ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong….. 65

5. Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya ...... 66

6. Perubahan warna yang mengindikasikan reaksi perdaman DPPH 68

7. Perhitungan persen inhibisi dan IC50..…………………….… 68

8. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak daging dan jeroan keong

ipong-ipong…………………………………....…………….. 70

9. Gambar-gambar selama proses ekstraksi...……..…………….. 71

Page 14: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semakin majunya zaman menyebabkan semakin tingginya tuntutan

terhadap aktivitas dunia kerja. Kondisi ini akan memaksa masyarakat untuk

berpindah kepada hal-hal yang bersifat instant termasuk pola makannya. Makanan

instant dapat mengandung xenobiotik (pengawet, zat warna, penyedap rasa,

pestisida, logam berat atau zat kimia lain) yang beresiko akumulasi jangka

panjang. Xenobiotik dapat menjadi radikal bebas di dalam tubuh manusia.

Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa reaktif, yang secara

umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan

di kulit terluarnya (winarsi 2007). Adanya radikal bebas di dalam tubuh manusia

dapat menimbulkan berbagai penyakit yaitu serangan jantung, kanker, stroke,

gagal ginjal, penuaan dini, dan penyakit kronik lainnya (Prasad et al. 2009;

Saha et al. 2008). radikal bebas dapat ditangkal atau diredam dengan pemberian

antioksidan atau dengan mengkonsumsi antioksidan (Salimi 2005; Halliwell 2007;

Kubola & Siriamornpun 2008; Mohsen & Ammar 2009). Antioksidan adalah

senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada

radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam (Sunardi 2007).

Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai dapat menurunkan resiko terkena

penyakit degeneratif yaitu kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, dan lain-lain.

Antioksidan terdapat secara alami dalam hampir semua bahan pangan, baik yang

berasal dari daratan maupun perairan. Bahan pangan yang berasal dari perairan

contohnya kelas Gastropoda, banyak mengandung komponen-komponen

antioksidan. Adapun jenis-jenis Gastropoda yang telah diteliti dan mengandung

antioksidan antara lain, Lobiger serradifalci dan Oxynoe olivacea (Cavas 2004)

Viviparus ater (Campanella et al. 2005), lintah laut (Discodoris sp.) (Andriani

2009; Nurjanah 2009), keong mata merah (Cerithedia obtusa) (Prabowo 2009),

keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) (Susanto 2010), Keong papaya

(Melo sp.) (Tias 2010), Lymnaea stagnalis (Vorontsova et al. 2010), adalagi jenis

Pleuroploca trapezium (Anand et al. 2010). dan lain sebagainya. Selain

Page 15: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

mengandung antioksidan, Gastropoda juga mengandung berbagai macam

komponen bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Komponen-

komponen biaoktif tersebut seperti jenis alkaloid, steroid, flavonoid, saponin,

fenol hidrokuinon, dan lain sebagainya (Harborne 1987).

Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu jenis

Gastropoda air laut yang pemanfaatannya belum begitu banyak. Secara empiris

keong ipong-ipong dipercayai dapat meningkatkan stamina tubuh serta vitalitas.

Akan tetapi data-data ilmiah yang mendukung khasiat dari keong tersebut belum

ada. Sehingga perlu dilakukan pengkajian mengenai komponen bioaktif yang

terkandung di dalam tubuh keong ipong-ipong. Komponen-komponen bioaktif

tersebut diharapkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Pengkajian ini

bermanfaat untuk mengetahui pemanfaatan dari keong ipong-ipong dimasa yang

akan datang.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan

zat gizi (air, lemak, protein, abu, abu tidak larut asam, dan karbohidrat), aktivitas

antioksidan dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong ipong-ipong

(Fasciolaria salmo) dari Cirebon, Jawa Barat.

Page 16: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

Keong ipong-ipong merupakan salah satu spesies dari kelas Gastropoda,

dan merupakan kelompok Moluska. Moluska merupakan filum yang paling

berhasil menduduki berbagai habitat. Terdapat lebih dari 60.000 spesies hidup dan

15.000 spesies fosil. Hidup sejak periode Cambrian, dan diduga sampai sekarang

sedang puncak perkembangan evolusinya (Suwignyo et al. 2005). Berikut dapat

kita lihat kalisifikasi toksonomis dari keong ipong-ipong menurut Dance (1977).

Filum : Moluska

Kelas : Gastropoda

Ordo : Neogastropoda

Famili : Fasciolariidae

Genus : Fasciolaria

Spesies : Fasciolaria salmo.

Bentuk morfologi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

Moluska memiliki keragaman yang sangat besar, hal ini dapat dilihat dari struktur

dan habitatnya. Komoditas ini menempati semua lingkungan laut, mulai dari tepi

laut berbatu yang merupakan daerah deburan ombak sampai ke hydrothermal vent

di laut dalam (Castro dan Huber 2007). Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

merupakan salah satu spesies dari kelas gastropoda yang memiliki bentuk

cangkang seperti kerucut dari tabung yang melingkar seperti konde (gelung,

Page 17: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

worl). Puncak kerucut merupakan bagian yang tertua yang disebut apex, terdapat

bulu-bulu kecil sekeliling cangkang dan memiliki warna kuning kehijauan.

Cangkang dari keong terdiri dari 4 lapisan. Lapisan paling luar adalah

periostrakum, yang merupakan lapisan tipis terdiri dari bahan protein seperti zat

tanduk, disebut conchiolin atau conchin. Lapisan ini terdapat endapan pigmen

beraneka warna, yang menjadikan banyak cangkang siput terutama spesies laut

termasuk keong ipong-ipong ini yang memiliki warna sangat indah, kuning, hijau

cemerlang dengan bercak-bercak merah atau garis-garis cerah. Periostrakum

berfungsi untuk melindungi lapisan di bawahnya yang terdiri dari kalsium

karbonat terhadap erosi. Lapisan kalsium karbonat terdiri dari 3 lapisan atau lebih,

yang terluar adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella dan paling

dalam adalah lapisan nacre atau hypostracum (Suwignyo et al. 2005).

Keong ipong-ipong merupakan kelas Gastropoda yang hidup di laut.

Gastropoda yang hidup di laut dapat dijumpai di berbagai jenis lingkungan dan

bentuknya telah beradaptasi dengan lingkungannya tersebut (Nontji 1987). Di laut

dalam gastropoda dapat hidup sampai pada kedalaman 5000 meter

(Plaziat 1984). Barnes (1987) menyebutkan beberapa jenis dari gastropoda hidup

menempel pada subtrat yang keras, akan tetapi ada juga yang hidup di subtrat

seperti pasir dan lumpur. Gastropoda juga dapat hidup di zona litoral, daerah

pasang surut dengan menempel pada terumbu karang, laut dalam maupun dangkal

bahkan ada yang hidup di air tawar (Berry 1972). Dilingkungan laut gastropoda

dapat ditemukan di daerah benthik, antara bebatuan dan pada subtrat lunak

(lumpur).

2.2 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,

membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen

dan nitrogen reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan mempunyai peran

berupa penghambatan proses aterosklerosis, yaitu merupakan komplikasi dari

penyakit diabetes mellitus yang sangat berperan untuk terjadinya penyakit jantung

koroner (Musthafa et al. 2000). Rohman dan Riyanto (2005) menyatakan bahwa

antioksidan adalah sebagai senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas

dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit karsinogenis, kardiovaskuler dan

Page 18: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

penuaan. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem

pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi paparan radikal

berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari

luar) (Wiji dan Sugrani 2009).

2.2.1 Fungsi antioksidan

Fungsi utama antioksidan yaitu dapat digunakan sebagi upaya untuk

memperkecil tejadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil

terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian

dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam

makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan

Sunardi 2007). Antioksidan juga dapat menetralkan radikal bebas, seperti enzim

SOD (Superosida Dismutase), gluthatione, dan katalase. Antioksidan dapat

diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E

dan berkaroten serta senyawa fenolik (Prakasih 2001; Frei 1994; Trevor 1995

diacu dalam Andayani et al. 2008). Musthafa dan Lawrence (2000) menambahkan

bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir atau meredam

dampak negatif dari radikal bebas.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi.

Fungsi utama antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan

disingkat (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai

antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat

ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara

turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding

radikal bebas. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder, yaitu memperlambat laju

autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai

autooksidasi dengan pengubahan radikal bebas kebentuk lebih stabil

(Gordon 1990).

Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah dapat

menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi. Penambahan tersebut dapat

menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2).

Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif

stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul

Page 19: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

tertentu membentuk radikal bebas baru (Gordon 1990). Menurut

Hamilton (1983), radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk

produk non radikal dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal bebas (Sumber: Gordon 1990).

Antioksidan juga dapat berperan dalam menekan prolifersi (perbanyakan)

sel kanker, karena antioksidan berfungsi menutup jalur pembentukan sel ganas

(blocking agent) (Trilaksani 2003). Selain itu antioksidan juga berperan sebagai

agen antiaging yang melindungi kulit dari proses pengrusakan oleh paparan sinar

matahari dan radikal bebas, yang dapat menimbulkan keriput dan penuaan pada

kulit (Suryowinoto 2005).

2.2.2 Jenis-jenis antioksidan

Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya

antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan

yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami ( antioksidan

hasil ekstraksi bahan alami).

2.2.2.1 Antioksidan sintetik

Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diizinkan penggunaan

untuk makanan yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT),

propil galat (PG), Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan

tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk

tujuan komersial (Buck 1991). Antioksidan BHA memiliki kemampuan

antioksidan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari ketahanannya terhadap tahap-

tahap pengelolaan maupun stabilitasnya pada produk akhir seperti lemak hewan

yang digunakan dalam pemanggangan, akan tetapi BHA relatif tidak efektif jika

ditambahkan pada minyak tanaman. Antioksidan BHA bersifat larut lemak dan

tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih,

bersifat volatil sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas

(Buck 1991; Coppen 1983).

Inisiasi ; R* + AH --------------------------RH + A*

Propagasi : ROO* + AH ------------------------- ROOH + A*

Page 20: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, antioksidan ini akan

memberi efek sinergis yang baik jika digunakan bersama antioksidan BHA.

Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena

relatif murah. Antioksidan sintetik lainnya yaitu propil galat. Propil galat

mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik

cairnya 148⁰C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga

kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat

berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta

memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck 1991).

Antioksidan TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak

dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan

antioksidan yang baik pada proses penggorengan tetapi rendah pada proses

pembakaran. Jika antioksidan TBHQ digabungkan dengan antioksidan BHA,

maka akan memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada proses

pemanggangan dan akan memberikan manfaat yang lebih luas . antioksidan

TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan

cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan

Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa (Buck 1991).

Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir

disetiap minyak tanaman. Akan tetapi saat ini tokoferol telah dapat diproduksi

secara kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, larut

dalam lipid karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari

tokoferol belum diketahui, tetapi α-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E.

Di dalam jaringan hidup, aktivitas antioksidan tokoferol cenderung

α->β->γ->δ-tokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik

δ->γ->β->α-tokoferol (Belitz dan Grosch 1987). Urutan tersebut kadang bervariasi

tergantung pada substrat dan kondisi-kondisi lain seperti suhu.

2.2.2.2 Antioksidan Alami

Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa

antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa

antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa

antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan

Page 21: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992). Menurut Pratt dan Hudson (1990),

kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal

dari tumbuhan.

Menurut Pratt dan Hudson (1990) senyawa antioksidan alami umumnya

adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan

flavonoid,turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik

polifungsional. Ditambahkan oleh Pratt (1992), golongan flavonoid yang memiliki

aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan

kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam

klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah

multifungsional dan dapat beraksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas,

pengkelat logam, dan peredam terbentuknya singlet oksigen.

2.3 Uji Aktivitas Antioksidan

Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui

melalui uji aktivitas antioksidan. Terdapat berbagai metode pengukuran aktivitas

antioksidan. Pada prisipnya metode-metode tersebut digunakan untuk

mengevaluasi adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh senyawa

antioksidan yang terdapat dalam bahan pangan atau contoh ekstrak bahan alam

(Setyaningsih 2003).

Salah satu metode yang umum digunakan yaitu dengan menggunakan

radikal bebas stabil diphenilpycrylhydrazil (DPPH). Metode ini, larutan DPPH

yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan,

sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat non-

radikal yang tidak barbahaya sebagaimana dapat dilihat pada gambar 3. berikut.

Meningkatnya jumlah diphenilpycrilhydrazine akan ditandai dengan berubahnya

warna ungu pada larutan menjadi warna kuning pucat (Molyneux 2004).

Gambar 3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine

Page 22: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (Inhibitor

Concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau

sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin

besar aktivitas antioksidan maka nilai IC50 akan semakin kecil.

Molyneux (2004) menyatakan bahwa .Suatu senyawa antioksidan dinyatakan baik

jika nilai IC50-nya semakin kecil.

2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif

Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak

digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan

baku. Ekstraksi dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan komponen yang

diinginkan dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga

komponen yang diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973),

menambahkan ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa

zat menjadi komponen-komponen yang terpisah. Proses ekstraksi bertujuan untuk

mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung

komponen-komponen aktif.

Selama proses ekstraksi terdapat gaya yang bekerja akibat adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi di luar

sel. Bahan pelarut yang mengalir ke dalam ruang sel akan menyebabkan

protoplasma membengkak dan bahan yang terkandung di dalam sel akan terlarut

sesuai dengan kelarutannya (Voight 1994).

Menurut Ansel (1989) dan Winarno et al. 1973, ekstraksi dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic phase. Cara aqueus phase

dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan

dengan menggunakan pelarut organik. Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi

dapat berlangsung bila terdapat kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa

yang diekstrak dengan senyawa pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut

yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi

antara zat telarut dengan pelarut. Senyawa polar akan larut pada pelarut polar

juga, begitu juga sebaliknya.

Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah

kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH,

Page 23: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

dan lain sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut

adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk

diuapkan, dan harga (Harborne 1987). Harborne (1987) mengelompokkan metode

ekstraksi menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi

sederhana terdiri atas:

a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam

pelarut dengan atau tanpa pengadukan;

b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;

c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perklorasi digunakan untuk

melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;

d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas:

a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk

melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;

b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana

sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang

berlawanan;

c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang

menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz

2.5 Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder adalah suatu zat yang dibiosintesis terutama dari

banyak metabolit-metabolit primer seperti asam amino, asetol koenzim-A, asam

mevalonat, dan zat antara (Intermediate) dari alur shikimat (Shikimic acid)

(Herbert 1995). Metabolit sekunder sangat bervariasi jumlah dan jenisnya dari

setiap organisme. Beberapa dari senyawa tersebut telah diisolasi sebagian

diantaranya memberikan efek fisiologis dan farmakologis yang lebih dikenal

sebagai senyawa kimia aktif (Copriady et al. 2005).

Makhluk hidup dapat menghasilkan bahan organik sekunder (metabolit

sekunder) atau bahan alami melalui reaksi sekunder dari bahan organik primer

(karbohidrat, lemak, protein). Bahan organik sekunder (metabolit sekunder) ini

umumnya merupakan hasil akhir dari suatu proses metabolisme. Bahan ini

Page 24: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

berperan juga pada proses fisiologi. Bahan organik sekunder itu dapat dibagi

menjadi tiga kelompok besar yaitu : fenolik, alkaloid dan terpenoid, tetapi pigmen

dan porfirin juga termasuk di dalamnya (Purwanti 2009).

Zat metabolit sekunder memiliki banyak jenis, adapun jenis dari metabolit

sekunder yang dapat kita ketahui antara lain kumarin (Copriandy et al. 2005),

azadirachtin, salanin, meliatriol, nimbin (Samsudin 2008). Pemanfaatan dari zat

metabolit sekunder sangat banyak.Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai

antioksidan, antibiotik, antikanker, antikoagulan darah, menghambat efek

karsinogenik (Copriandy et al. 2005), selain itu metabolit sekunder juga dapat

dimanfaatkan sebagai antiagen pengendali hama yang ramah lingkungan

(Samsudin 2008).

2.6 Analisis Fitokimia

Analisis fitokimia adalah analisis yang mencangkup pada aneka ragam

senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu

mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya,

penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harborne 1987). Senyawa

fitokimia bukanlah zat gizi , namun kehadirannya dalam tubuh dapat membuat

tubuh lebih sehat, lebih kuat dan lebih bugar (Astawan dan Kasih 2008). Alasan

melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif

penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar

bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987).

2.6.1 Alkaloid

Alkaloid pada umumnya mencangkup senyawa bersifat basa yang

mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai

bagian dari sistem siklik (Harborne 1987). Sirait (2007) menyatakan alkaloid

adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk

berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid biasanya tanpa warna,

seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit

yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Alkaloid merupakan

turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan

suatu golongan heterogen. Secara fisik, alkaloid dipisahkan dari kandungan

Page 25: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai Kristal

hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987).

Senyawa alkaloid dikelompokkan menjadi tiga antara lain, alkaloid

sesungguhnya, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah

racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis yang luas, hampir tanpa

terkecuali bersifat basa, umumnya mengandung nitrogen dalam cincin

heterosiklik, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat ditanaman

sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif

sederhana dimana di dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin

heterosiklik, dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat

basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, dan biasanya

senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996). Berikut struktur kimia dari

alkaloid pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur alkaloid (Sumber: Pulatova dan Khazanovich 1962)

2.6.2 Steroid/Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,

yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa

alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna,

berbentuk Kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif (Harborne 1987).

Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen

sebenarnya, steroid, saponin, dan glokisida jantung (cardiac glycoside). Beberapa

triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit (Sirait 2007).

Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat

diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, sehingga

golongan senyawa ini cenderung tidak larut air (Wilson dan Gisvold 1982).

Page 26: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Adapun contohnya seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D.

Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu

lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan

dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Hasil penelitian Silva et al. (2002)

menunjukkan bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata

memiliki aktivitas anti-inflamasi, walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek

hemolitik yang tidak diinginkan. Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas

hemolitik karena steroid memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada

membran eritrosit. Struktur dari steroid dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur steroid (Sumber: Shaddack 2005)

2.6.3 Flavonoid

Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua

inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki

karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B

biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo 1996). Senyawa ini

dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah

ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol,

oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak

(Harborne 1987).

Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu

menunjukkan pita swrapan kuat pada daerah spectrum UV dan spectrum tampak.

Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan

aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-

Page 27: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar

sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon,

glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon dan isoflavon (Harborne 1987)

Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja

antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson 1995). Adapun

fungsi flavonoid dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung,

hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi berkerja

sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait 2007).

2.6.4 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam

lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula

pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam

air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat

(Winarno 1997). Selain itu saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang

menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering

menyebabkan heomolisis sel darah merah (Robinson 1995). Sifatnya sebagai

senyawa aktif permukaan disebabkan adanya kombinasi antara aglikon lipofilik

dengan gula yang bersifat hidrofilik (Houghton dan Raman 1998). Banyak

saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum

ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu

mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti

terpercaya akan adanaya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin

karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum

disajikan pada Gambat 6.

Gambar 6. Struktur umum saponin (Sumber: Yamasaki 1999)

Page 28: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

2.6.5 Fenol Hidrokuinon

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan

mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua

gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu

juga terdapat fenol monosiklik sedarhana, fenilpropanoi, dan kuinon fenolik

(Harborne 1987).

Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti

kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang

berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan

identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon,

naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama

biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo

dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol

tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan

hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987).

Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit

dalam air, tetapi umunya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan

terdeteksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi

yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa

tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara.

Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang

dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut diudara (Harborne 1987).

Antioksidan yang termasuk dalam golonhan ini biasanya mempunyai

intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak bewarna dan banyak

digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian

besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan

sintesis, serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak.

Beberapa contoh yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon gossypol,

pyrogallol, catechol resorsinol dan eugenoli (Ketaren 1986).

2.6.6 Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan

yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman

Page 29: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

dengan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO2)

yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan

karbohidrat sederhana glukosa dan oksigen yang dilepas di udara

(Almatsier 2006).

Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida,

serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari

lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10

monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri

lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 2008). Karbohidrat mempunyai

peran penting untuk mencegah pemecahan protein tubuh yang berlebihan,

timbulnya ketosis, kehilangan mineral dan berguna untuk metabolisme lemak dan

protein dalam tubuh (Budiyanto 2002).

2.6.7 Gula pereduksi

Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya

gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada

glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak

mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,

sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus

glukosanya (Winarno 2008).

Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan

Benedict dan Fehling (reduksi Cu2+

menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi

Ag+

menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk

mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes

(Pine et al. 1988) .

Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida

disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul

karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat

maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengandung

kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion

Cu2+

menjadi Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. adanya natrium

karbohidrat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah.

Endapan yang terbentuk dapat bewarna hijau, kuning atau merah bata. Warna

Page 30: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa

(Poedjiadi 1994).

2.6.8 Peptida

Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptide (-CONH-) dengan

melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini cenderung untuk berjalan

ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan

banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis tidak memerlukan energi. Gugus

karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam

amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air

(Winarno 2008).

2.6.9 Asam amino

Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim akan

dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah

gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hydrogen dan gugus R yang

terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α, serta gugus R

merupakan rantai cabang. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai

konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam

amino L yang merupakan komponen protein (Winarno 2008).

Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk

ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus

amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi.

Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang

rendah misalnya pada pH 1.0 gugus karboksilatnya tidak terdisosiasi, sedang

gugus aminonya menjadi ion. Pada pH tinggi misalnya pada pH 11.0 karboksilnya

terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak (Winarno 1997).

Ninhidrin adalah pereaksi yang digunakan secara luas untuk mengukur

asam amino secara kuantitatif. Pereaksi itu bereaksi dengan hampir semua asam

amino, menghasilkan senyawa bewarna lembayung (prolina memberikan warna

kuning) (Pine et al. 1988).

Page 31: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

3 METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai April 2010.

Sampel diambil di Desa Gebang, kota Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Proses

preparasi sampel dan penghitungan rendemen dilakukan di Laboratorium

Karakteristik Bahan Baku, analisis aktivitas antioksidan, pengukuran kadar abu

dan abu tidak larut asam dan fitokimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi

Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kadar air, protein dan lemak

dilaksanakan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, Pusat

Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Proses evaporasi ekstrak

dilakukan di Laboratorium Penelitian 1, Departemen Biokimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Identifikasi keong dilakukan di

laboratorium Biologi Mikro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah keong ipong-

ipong (Fasciolaria salmo). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis

proksimat meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 p.a. pekat,

asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl

red (1:2) berwarna merah muda, larutan HCl 0.1 N, pelarut lemak (n-heksana p.a),

larutan HCl 10%, larutan AgNO3 0.10 N, dan akuades. Bahan-bahan yang

dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak keong ipong-ipong,

kristal 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), metanol, antioksidan sintetik BHT

(Butylated Hydroxytoluena) sebagai pembanding dan es. Bahan-bahan yang

dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner, pereaksi Meyer,

pereaksi Dragendroff (uji alkaloid), kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat

(uji steroid), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoid), air panas, larutan

HCl 2 N (uji saponin), etanol 70%, larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon),

peraksi Molisch, asam sulfat pekat (uji Molisch), pereaksi Benedict (uji Benedict),

pereaksi Biuret (uji Biuret), dan larutan Ninhidrin 0.1% (uji Ninhidrin). Alat-alat

Page 32: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi pisau, sudip, cawan porselen,

timbangan digital, aluminium foil, gegep, desikator, oven, kompor listrik, tanur

pengabuan, kertas saring Whatman bebas abu dan bebas lemak, kapas bebas

lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator, labu

Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, gelas ukur, grinder,

homogenizer, sentrifuse, vacuum evaporator, corong terpisah, botol vial, gelas

piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, pipet tetes,

tabung reaksi, vortex, sendok plastik dan gelas piala.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengambilan

sampel, tahapan perhitungan rendeman, tahap analisis kimia keong ipong-ipong

berupa analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu, dan abu tidak larut

asam), tahap pembuatan ekstrak kasar keong ipong-ipong, uji kuantitatif aktivitas

antioksidan dan uji fitokimia

3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku

Pengambilan sampel keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) dilakukan di

pantai kota Cirebon, provinsi Jawa Barat . Pengambilan sampel dilakukan dengan

mengambil keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) pada subtrat lumpur yang

ditempati keong tersebut. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) tersebut

kemudian dimasukan dalam wadah berisi air laut perairan tempat hidupnya. Hal

ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup keong ipong-ipong selama

proses transportasi ke laboratorium karakteristik bahan baku di Institut Pertanian

Bogor. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penentuan ukuran dan berat rata-rata

dari 30 ekor keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) secara acak. Kemudian

sampel dihitung rendemennya (cangkang dan daging) dengan rumus:

Daging-daging keong ipong-ipong yang telah dipisahkan dari

cangkangnya, dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan daging

dalam bentuk segar yang akan diuji kadar air, abu, lemak, protein, dan abu larut

asam. Bagian kedua merupakan daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

Rendemen (%) = (Bobot contoh (g)/Bobot total (g)) x 100%

Page 33: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

dan jeroan yang akan dikeringkan dan nantinya akan diekstrak untuk diuji

aktivitas antioksidannya dan fitokimia.

3.3.2. Analisis proksimat (AOAC 2005)

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk

memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar

air, abu, lemak, protein dan abu larut asam.

1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah

mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam.

Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan

dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali

hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan

tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau

hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut

dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya

ditimbang kembali.

Perhitungan kadar air :

% Kadar air = B - C x 100%

B - A

Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)

2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu

105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang

hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke

dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak

berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu

600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.

Kadar abu ditentukan dengan rumus:

% Kadar abu = C - A x 100%

B - A

Page 34: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram)

B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

3) Analisis kadar protein (AOAC 1980)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap

yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan

metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian

dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium

dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410oC selama kurang lebih

1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu

Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian dilakukan

proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam

labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan

2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda.

Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka

proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi

perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko

dianalisis seperti contoh.

Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% N = (ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100%

Mg contoh x faktor koreksi alat *

*) Faktor koreksi alat = 2,5

% Kadar protein = % N x faktor konversi *

*) Faktor Konversi = 6,25

4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada

kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya

dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus

dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan

disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam

ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (benzena).

Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu

Page 35: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi

pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak

kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven

pada suhu 105oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya

konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak daging keong ipong-ipong:

% Kadar lemak = (W3- W2) x 100%

W3

Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak kosong (gram)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

5) Analisis Abu kadar abu tidak larut asam menurut SNI-01-3836-2000

(BSN 2000)

Larutkan abu bekas pengukuran kadar abu total dengan penembahan

25 ml HCl 10%. Didihkan selama 5 menit, saring larutan dengan kertas saring

bebas abu dan cuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kemudian keringkan

kertas saring dalam pengering listrik (oven), setelah dikeringkan kertas saring

dimasukkan di dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya

kemudian abukan dalam tanur listrik pada suhu 600⁰C. Setelah dilakukan

pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang

beratnya dan diukur kadar abu tidak larut asam dengan rumus:

Kadar abu tidak larut asam = Berat abu (g) x 100%

Berat sampel awal (g)

3.3.3. Analisis antioksidan dengan Metode DPPH

1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988)

Pada tahap ini ada beberapa langkah, yaitu persiapan sampel dan ekstraksi

bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, daging keong ipong-ipong dan jeroan

yang telah diambil dari perairan pantai kota Cirebon,segera dikeringkan dengan

panas matahari selama 3 hari. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk

mengurangi kadar air dalam bahan. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa

air bebas dalam bahan berada dalam jumlah yang rendah, sehingga proses

pembusukan, hidrolisis komponen bioaktif dan oksidasi dalam sampel selama

dilakukan maserasi dapat dihindari. Apabila kadar air bebas dihilangkan, maka aw

Page 36: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

akan turun hingga 0,80 (batas maksimal) sehingga pertumbuhan mikroba dapat

dikurangi dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak, seperti hidrolisis atau

oksidasi lemak dapat dihindari. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat

dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia

(Winarno 2008).

Kadar air yang berkurang dalam sampel juga sangat berguna saat

dilakukan proses evavorasi. Ketika proses ekstraksi dilakukan pada sampel basah,

air akan bermigrasi dari bahan ke dalam lingkungan (pelarut) dalam jumlah yang

cukup banyak. Air yang memiliki titik didih lebih tinggi dari pelarut, akan sangat

sukar dan lama dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan suhu

rendah (sesuai dengan titik didih pelarut). Apabila pemanansan dilakukan dengan

menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 ºC pada tekanan udara 1 atm, maka

komponen bioaktif yang memiliki sifat antioksidan dikhawatirkan dapat rusak

oleh panas. Sampel yang kering diduga akan menyumbangkan air dalam jumlah

yang kecil pada larutan ekstrak.

Isi cangkang keong ipong-ipong (daging dan jeroan) yang telah kering

tersebut kemudian dihaluskan dengan blender, sehingga didapat tekstur yang

halus. Ukuran sampel yang lebih kecil (bubuk/tepung) diharapkan dapat

memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut,

sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif dapat berjalan dengan maksimal.

Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang

digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat (Quinn 1988). Metode ini

digunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu kloroform

p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a (polar). Ketiga pelarut

ini dipilih karena memiliki titik didih yang lebih rendah dari titik didih air,

sehingga dapat mudah diuapkan saat proses vacuum evavorasi (500 mmHg,

50 ºC). pada tekanan udara 1 atm (760 mmHg), kloroform memiliki titik didih

sebesar 61 ºC , metanol sebesar 65 ºC dan etil asetat 77 ºC. palarut etanol tidak

dipilih untuk menggantikan pelarut metanol (polar) karena titik didihnya jauh

lebih tinggi dibandingkan metanol, yaitu 78 ºC (Lehninger 1988).

Prabowo (2009) menyatakan, kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat

adalah rendemen ekstrak yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses

Page 37: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

ekstraksi tunggal. Proses ekstraksi bertingkat ini justru dipilih karena penelitian

ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang

terdapat dalam keong ipong-ipong berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi

bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel

yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif

tersebut terlarut pada pelarut lain yang bukan merupakan pelarutnya. Hal ini

diduga dapat terjadi pada proses ekstraksi tunggal menggunakan metanol.

Metanol merupakan pelarut polar yang juga dapat melarutkan komponen non

polar dan semi polar di dalamnya. Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat

dihindari dengan melakukan proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan

ekstraksi menggunakan pelarut non polar (kloroform p.a) terlebih dahulu,

dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat p.a.) dan terakhir menggunakan

pelarut polar (metanol p.a.).

Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut

kloroform p.a. sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan

menggunakan orbital shaker 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian

disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga didapat filtrat dan residu.

Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat p.a. 100 ml

selama 48 jam dengan diberikan goyangan dengan orbital shaker 8 rpm,

sedangkan filtrat ekstrak kloroform yang diperoleh dievavorasi hingga pelarut

memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada

suhu 50 ºC.

Hasil proses maserasi ke-2 selanjutnya disaring dengan kertas

Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol p.a. sebanyak

100 ml dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan

orbital shaker 8 rpm. Filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi

sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum

evavorator pada suhu 50 ºC.

Hasil maserasi ke-3 dengan pelarut metanol, disaring dengan kertas saring

Whatman 42. Filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievavorasi sehingga semua

pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu

50 ºC, sedangkan residu yang tersisa dibuang. Proses ini akan menghasilkan

Page 38: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol yang kental. Proses

ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong

(Fasciolaria salmo) (Sumber: Quinn 1988)

2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958)

Ekstrak kasar keong ipong-ipong dari hasil ekstraksi bertingkat

menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), pelarut etil asetat p.a. (semi

polar), dan pelarut metanol p.a. (polar), dilarutkan dalam metanol p.a. dengan

konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan

sebagai pembanding dan kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam

25 gr Sampel

Maserasi dengan kloroform

selama 48 jam

Penyaringan

Residu

Maserasi dengan etil

asetat selama 48 jam

Penyaringan

Evaporasi

Ekstrak kloroform

Maserasi dengan

metanol selama 48 jam

Residu

Penyaringan

Residu

Filtrat

Filtrat Evaporasi

Ekstrak etil asetat

Filtrat Evaporasi

Ekstrak metanol

Page 39: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang

akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol

dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan

dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari.

Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah

dibuat, masing-masing diambil 4.5 ml dan direaksikan dengan 500 µl larutan

DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran

tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit dan diukur

absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800

pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur

untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan

mereaksikan 4,5 ml pelarut metanol dengan 500 µl larutan DPPH 1 mM dalam

tabung reaksi. Larutan blanko ini dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu,

aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding

BHT dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai

berikut:

% inhibisi = (A blanko – A sampel) x 100%

A blanko

Nilai konsentrasi sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT)

dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan

regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan

y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor concentration 50%) dari

masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang

akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan

sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) yang dibutuhkan untuk

mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%.

3.3.4. Uji fitokimia (Harborne 1984)

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen-

komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar keong ipong-ipong yang

memiliki aktivitas antioksidan tertinggi. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji

Page 40: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict,

Biuret dan Ninhidrin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984).

a. Alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2N

kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff,

pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan

pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan

pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl2 dengan

0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml

dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan

cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram

kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml

dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat

dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan

40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium

iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan

dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi

ini berwarna jingga.

b. Steroid/ triterpenoid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi

yang kering. Lalu, ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes

asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali

kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif.

c. Flavonoid

Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil

alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama)

dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah,

kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.

Page 41: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

d. Saponin (uji busa)

Saponin dapat dideteksi denan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil

selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan

adanya saponin.

e. Fenol Hidrokuinon (pereaksi FeCl3)

Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan

yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan

FeCl3 5%. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya

senyawa fenol dalam bahan.

f. Uji Molisch

Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml

asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya

karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan

cairan.

g. Uji Benedict

Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi

Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya

warna hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula

pereduksi.

h. Uji Biuret

Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret.

Campuran dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu

menunjukkan hasil uji positif adanya peptida.

i. Uji Ninhidrin

Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan Ninhidrin

0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya

larutan berwarna biru menunjukkan reaksi positif terhadap adanya asam amino.

Page 42: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

Bentuk morfologi keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa

Gebang, Cirebon, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang Cirebon

Sampel keong ipong-ipong yang didapat, dilakukan preparasi untuk

mengeluarkan isi cangkang (daging dan jeroan), serta memisahkan dari

operkulum yang masih menempel. Bentuk cangkang, isi cangkang (daging dan

jeroan) kemudian diamati karakteristik fisiknya. Hasil pengamatan karakteristik

fisik cangkang, operkulum dan isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada

Tabel 1. Bentuk cangkang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan

operkulum keong ipong-ipong

Karakteristik Fisik Cangkang Isi Cangkang Operkulum

Warna

Coklat

kekuningan,

berbulu halus

Daging: krem

Jeroan :

hijau, hitam,

putih (Saluran

dan kelenjar

pencernaan).

Putih krem

(gonad)

Coklat cerah

Tekstur Keras

Daging: kenyal

Jeroan: lunak

dan mudah

hancur bila

ditekan.

Tipis, lembut dan

mudah dipatahkan.

Page 43: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna

cangkang coklat kekuningan dan terdapat bulu-bulu halus. Komponen penyusun

cangkang keong ipong-ipong adalah kalsium karbonat. Isi cangkang keong ipong-

ipong dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian daging dan jeroan. Bagian dari

daging bewarna krem dan teksturnya kenyal, sedangkan bagian jeroannya yaitu

ada yang bewarna hijau, hitam, putih yang merupakan bagian saluran dan kelenjar

pencernaan, sedangkan yang bewarna putih krem merupakan bagian gonad.

Bagian jeroan ini bersifat lunak dan mudah hancur bila ditekan. Operkulum

keong-ipong bewarna coklat cerah, tipis, lembut dan mudah dipatahkan.

Proses karakteristik ini dilakukan guna mengetahui sifat dari bahan baku

yang digunakan. Sifat bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja, tetapi

juga sifat kimia. Hal ini dikarenakan sifat fisik maupun kimia dari bahan baku

yang digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakteristik fisik

keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini telah diamati dan

dijelaskan di atas, sehingga perlu dilakukan pengukuran rendemen dan analisis

kandungan gizi keong ipong-ipong dengan uji proksimat.

4.1.1 Rendemen

Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat bagian bahan yang

dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendeman digunakan untuk

mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi nilai

rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga

pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif.

Perhitungan rendemen cangkang, isi cangkang (daging dan jeroan) dapat

dilihat di lampiran 2. Nilai rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan

jeroan) keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong

ipong-ipong

Page 44: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Rendemen cangkang lebih dari setengah berat keong ipong-ipong utuh,

yaitu sebesar 69,69%. Hal ini menunjukkan bahwa cangkang keong ipong-ipong

berpotensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber kalsium.

Suwignyo et al. (2005) menyatakan cangkang gastropoda tersusun atas kalsium

karbonat. Lapisan kalsium karbonat yang terdapat pada cangkang terdiri dari

3 lapisan antara lain perismatik, lamella dan nacre.

Rendemen isi cangkang (daging dan jeroan) sebesar 30% yang terdiri dari

22,08% dari daging dan 8,22% dari jeroan. Selain cangkang, isi cangkang keong

ipong-ipong juga berpotensi untuk dimanfaatkan dengan jumlahnya yang berkisar

30% tersebut. Pemanfaatannya bisa berupa dijadikan lauk pauk sebagai sumber

protein hewani dan asam amino. Protein dan asam-asam amino berfungsi sebagai

zat pembangun pada tubuh manusia serta membantu dalam proses metabolisme

tubuh manusia (Winarno 2008).

Hasil perhitungan pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa cangkang, isi

cangkang (daging dan jeroan) memiliki rendemen masing-masing sebesar

69,69%, 22,08% dan 8,22%. Apabila ketiga nilai rendemen tersebut dijumlahkan,

maka jumlahnya tidak mencapai 100%. Hal ini diduga sisa berat yang hilang

selama proses preparasi merupakan berat air yang terkurung dalam cangkang dan

tidak terikat di dalam jaringan. Air ini terbuang ketika isi cangkang dikeluarkan

dan ditiriskan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Persentasi air yang hilang ini

sekitar 0,01%. Air ini terperangkap dalam cangkang saat operkulum menutup

rapat lubang aperture.

4.1.2 Komposisi kimia

Kandungan gizi pada isi cangkang keong ipong-ipong dapat diketahui

dengan melakukan analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk

memperoleh data tentang komposisi kimia dalam suatu bahan. Komposisi kimia

tersebut diantaranya kandungan air, protein, lemak, abu, abu tidak larut asam dan

karbohidrat. Kadar karbohidrat dalam keong ipong-ipong diperoleh melalui

perhitungan by difference. Selain analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu

dan karbohidrat), pengujian abu tidak larut asam juga dilakukan. Pengujian abu

tidak larut asam pada keong ipong-ipong dilandasi karena keong ipong-ipong

merupakan golongan Gastropoda yang hidup di perairan laut berlumpur dan

Page 45: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

menempel pada substrat. Keong ipong-ipong di duga mengandung abu tidak larut

asam yang berasal dari mineral-mineral dalam lumpur yang ikut masuk ke dalam

saluran pencernaannya, ketika keong ipong-ipong sedang melakukan aktivitas

makan. Hasil analisis proksimat isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat

pada Gambar 10 dan cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2)

1) Kadar air

Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan.

Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena

air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan.

Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan

pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang

dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan

pangan yang dapat mempercepat pembusukan (Winarno 2008). Hasil pengukuran

kadar air menunjukkan bahwa keong ipong-ipong memiliki kadar air yang cukup

tinggi, yaitu sebesar 73,07%.

Page 46: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Prinsip análisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

megukur berat air yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan

dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III

(Winarno 2008). Air tipe III ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang

hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler,

serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan unutk pertumbuhan mikorba

dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi (Winarno 2008). Tingginya air tipe III ini

pada keong ipong-ipong, dapat menyebabkan keong ipong-ipong mudah sekali

mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar.

Hal ini karena air tipe ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan

juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya

enzim protease seperti katepsin.

2) Kadar lemak

Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak yang

terkandung pada isi cangkang keong ipong-ipong. Lemak merupakan komponen

yang larut dalam pelarut organik seperti heksan, eter dan kloroform. Menurut

Poedjiadi (1994), lemak hewan umumnya berupa padatan pada suhu ruang,

sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak dapat

dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan

karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan 1 gram lemak dapat menghasilkan

9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang

dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat

digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (A, D, E dan K)

(Winarno 2008; Belitz et al. 2009).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung

lemak dalam kadar yang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 0,57%. kadar lemak

yang rendah dapat disebabkan karena kandungan air keong ipong-ipong sangat

tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun secara

drastis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar air

umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak (Yunizal et al. 1998).

Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar

air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi.

Page 47: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Kandungan lemak keong ipong-ipong ini lebih rendah daripada kandungan

lemak pada daging keong air laut lainnya dari Genus Cerithidea, yaitu sebesar

2,55% (Prabowo 2009). Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa

faktor, yaitu umur, hábitat, ukuran dan tingkat kematangan gonad.

3) Protein

Pengukuran protein pada bahan pangan digunakan untuk mengetahui

kemampuan bahan pangan sebagai sumber protein atau tidak. Protein merupakan

makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida.

Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, serta berperan sebagai zat

pembangun dan pengatur. Protein merupakan sumber asam amino yang

mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun

karbohidrat. Molekul protein juga mengandung unsur logam seperti besi dan

tembaga (Winarno 2008).

Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian besar

jaringan tubuh (Winarno 2008). Hal ini terbukti dari hasi análisis proksimat keong

ipong-ipong yang disajikan pada Gambar 10. Nilai kadar protein keong ipong-

ipong merupakan nilai terbesar kedua setelah air. Komponen lemak, abu, abu

tidak larut asam dan karbohidrat memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan

dengan protein.

Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa keong ipong-pong

memiliki protein dalam jumlah yang tinggi, yaitu sebesar 18,28%. jumlah ini jauh

lebih tinggi jika dibandingkan dengan keong air laut lainnya seperti dari Genus

Cerithidea yang mengandung protein sebesar 9,85% (Prabowo 2009). Variasi ini

dapat disebabkan oleh bebrapa faktor, yaitu hábitat, umur, makanan yang dicerna,

laju metabolisme, laju pergerakan dan tingkat kematangan gonad.

4) Kadar abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral

yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan

organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga

dikenal sebagi zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-

bahan organik akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah

disebut sebagai kadar abu (Winarno 2008).

Page 48: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Hasil pengujian kadar abu total menunjukakan bahwa keong ipong-ipong

mengandung kadar abu sebesar 2,77%, ini jauh lebih rendah dari kadar abu yang

terkandung dalam Genus Cerithidea yaitu sebesar 5,73% (Prabowo 2009). Tinggi

rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan lingkungan

hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan

mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya.

Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda

dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan

memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.

5) Kadar abu tidak larut asam

Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam,

yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak

larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau

logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam

juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan

dalam proses pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003).

Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa keong

ipong-ipong mengandung residu abu tidak larut asam sebesar 0,15%. Nilai kadar

abu yang diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1%, seperti yang

disyaratkan oleh Food Chemical Codex (1991) untuk produk kappa-karaginan

food grade. Kadar abu tidak larut asam ini diduga berasal dari material-material

abu tidak larut asam yang terdapat di perairan tempat keong ipong-ipong hidup,

seperti pasir, lumpur, silika dan batu. Mineral tidak larut asam ini ikut masuk ke

dalam saluran pencernaan keong ipong-ipong ketika keong ipong-ipong sedang

melakukan aktivitas makan, kemudian mengendap di dalamnya karena tidak dapat

dieksresikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Adriyanti (2009) dan Nurjanah (2009) pada lintah laut

(Discodoris ap.) yang juga termasuk dalam kelas Gastropoda dan hidup

menempel pada substrat dasar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

lintah laut yang telah dibuang jeroannya memiliki kadar abu tidak larut asam yang

lebih rendah dari pada lintah laut yang tidak dibuang jeroannya, sehingga dapat

disimpulkan bahwa tempat tertimbunnya material tidak larut asam dalam tubuh

Page 49: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Gastropoda adalah pada bagian jeroannya. Nurjanah (2009) menambahkan bahwa

komponen abu tidak larut asam ini dapat merusak kinerja organ ginjal jika

dikonsumsi dalam jumlah yang besar.

6) Kadar karbohidrat

Karbohidrat merupakan komponen organik yang paling banyak tersebar di

permukaan bumi. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme hewan dan

tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak

digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari

karbohidrat sebesar 4 kkal (Belitz et al. 2009). Karbohidrat juga mempunyai

peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa,

warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 2008).

Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference

menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung karbohidrat sebesar 5,2%.

Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode

penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar

juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008). Kadar karbohidrat yang

terhitung ini diduga berupa glikogen dan serat kasar. Hal ini dikarenakan

karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen

(Winarno 2008).

4.2 Ekstrak Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong

Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak

digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan

baku. Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari

suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga komponen yang

diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973), menambahkan

ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi

komponen-komponen yang terpisah. Proses ekstraksi bertujuan untuk

mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung

komponen-komponen aktif. Proses ekstraksi pada penelitian ini meliputi proses

pengeringan sampel, penghancuran sampel sampai menjadi bubuk, maserasi

dengan pelarut, penyaringan dan evavorasi menggunakan vacuum rotary

evaporator. Sampel yang digunakan merupakan daging dan jeroan keong ipong-

Page 50: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

ipong. Proses ekstraksi yang dilakukan merupakan ekstraksi bertingkat

menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar) dan

metanol p.a. (polar).

4.2.1 Ekstrak kasar

Proses evaporasi filtrat dari masing-masing hasil maserasi pelarut akan

menghasilkan ekstrak kasar keong ipong-ipong yang kental dan berbeda tingkat

kepolarannya. Ketiga ekstrak tersebut memiliki warna coklat tua berbentuk pasta

kental dan memiliki bau yang khas. Hasil ekstraksi menggunakan tiga jenis

pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda, akan menghasilkan

rendemen ekstrak yang berbeda-beda pula. Rendemen ekstrak merupakan

perbandingan jumlah ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah sampel awal yang

diekstrak. Rendemen ekstrak dinyatakan dalam persen, sama halnya dengan nilai

rendemen bahan. Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut dapat dilihat

pada diagram batang pada Gambar 11. Proses perhitungan rendemen ekstrak dari

masing-masing pelarut dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 11. Rendemen ekstrak kasar keong ipong-ipong

Diagram batang di atas menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak kasar

dari ketiga pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya dari daging dan jeroan keong

Page 51: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

ipong-ipong. Berdasarkan diagram di atas untuk daging dan jeroan, ekstrak

kloroform memiliki rendemen terkecil, yaitu secara berurutan 0,24% dan 1,98%.

sedangkan ekstrak metanol merupakan ekstrak yang memiliki rendemen yang

terbesar antara daging dan jeroan, yaitu secara berurutan 10,77% dan 13,66%.

akan tetapi secara umum antara daging dan jeroan, dari ketiga pelarut tersebut,

ekstrak kasar dari jeroan memiliki nilai rendemen yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan ekstrak kasr dari daging keong ipong-ipong. Data tersebut

menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang paling banyak terkandung dalam

jeroan maupun daging keong ipong-ipong merupakan komponen bioaktif yang

memiliki sifat polar karena dapat larut dalam pelarut polar, yaitu metanol.

Komponen bioaktif keong ipong-ipong yang bersifat non polar dan semi polar

terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit.

Hasil ekstrak yang diperoleh akan sangat bergantung pada beberapa faktor

antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan,

ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi,

serta perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Harborne 1984).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Salamah et al. (2008) menunjukkan

bahwa maserasi dengan jenis pelarut yang berbeda akan menghasilkan rendemen

ekstrak yang berbeda pula. Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian ini,

dimana kadar komponen komponen bioaktif yang bersifat polar, semi polar dan

non polar terdapat dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan pelarut

yang berbeda akan melarutkan senyawa-senyawa yang berbeda-beda bergantung

tingkat kepolarannya dan tingkat ketersediannya dalam bahan yang diekstrak.

Menurut Susanto (2010), kandungan komponen bioaktif yang bersifat

polar pada filum molusca umumnya terdapat dalam jumlah yang lebih banyak

dibandingkan komponen-komponen bioaktif lain yang bersifat non polar dan semi

polar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian ini, dimana kadar ekstrak metanol

(polar) keong ipong-ipong terdapat dalam jumlah yang paling banyak. Pernyataan

diatas juga didukung oleh hasil penelitian Salamah et al. (2008) pada kijing

taiwan (Anandonta woodiana Lea.) dan Nurjanah (2009) pada lintah laut

(Discodoris sp.), Prabowo (2009) pada keong mata merah (Cerithedia obtusa) dan

Susanto (2010) pada keong mas (Pomachea cunaliculata Lamarck), yang mana

Page 52: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

ekstrak polar dari masing-masing komoditas tersebut terdapat dalam jumlah yang

lebih banyak jika dibandingkan dengan ekstrak semi polar dan non polar.

4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar

Ekstrak kasar keong ipong-ipong yang diperoleh dari ekstraksi serbuk

keong ipong-ipong menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar),

etil asetat p.a. (semi polar), dan metanol p.a. (polar) diuji komponen bioaktifnya

menggunakan metode fitokimia. Pengujian ini akan menghasilkan komponen

bioaktif apa saja yang terlarut pada tiap-tiap pelarut tersebut.

Uji fitokimia dipilih karena dapat mendeteksi komponen bioaktif yang tidak

terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga terhadap metabolit primer

yang memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptida

(Kannan et al. 2009). Uji fitokimia yang dilakukan meliputi pengujian pada

kompenen karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino sebagai metabolit

primer, sedangkan untuk metabolit sekunder dilakukan uji alkaloid, steroid,

flavonoid, saponin, fenol hirdokuinon (Harborne 1984). Uji fitokimia yang

dilakukan pada penelitian ini, meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin,

fenol hidrokuinon, uji Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Adapun

hasil uji fitokimia ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat

dilihat pada Tabel 2

Tabel 2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong ipong-ipong

Uji

EKSTRAK

Kloroform Etil Asetat Metanol

Daging Jeroan Daging Jeroan Daging Jeroan

Alkaloid:

a. Dragendorf - - + - + +

b. Meyer - + - - - -

c. Wegner - - + + + +

Steroid ++ ++ + + + +

Flavonoid - - - - - -

Saponin - - - - - -

Fenol

Hidroquinon - - - - - -

Molisch + + + + + +

Benedict - - - - + -

Biuret - - - - ++ ++

Ninhidrin - - - - ++ ++

Page 53: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Keterangan:

+ : Lemah

++: Kuat

Hasil pengujian fitokimia pada Tabel 2 menunjukkan bahwa ekstrak kasar

daging dan jeroan dengan menggunakan pelarut metanol keong ipong-ipong

mengandung komponen bioaktif yang lebih banyak dibandingkan dua ekstrak

dengan pelarut lainnya. Komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak daging dan

jeroan dengan pelarut metanol antara lain alkaloid, steroid, karbohidrat, protein,

gula pereduksi dan asam amino. Komponen bioaktif yang yang terdeteksi pada

ektrak daging dan jeroan dengan menggunakan pelarut etil asetat antara lain,

alkaloid, steroid dan karbohidrat. Komponen biaoktif yang terdeteksi pada ektrak

jeroan dengan pelarut kloroform antara lain alkaloid, steroid dan karbohidrat,

sedangkan untuk ektrak dagingnya hanya terdeteksi steroid dan karbohidrat.

Berdasarkan Gambar 11 untuk ekstrak jeroan dengan pelarut etil asetat memiliki

rendemen yang lebih besar jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut

kloroform, sehingga dapat ditarik kesimpulan awal bahwa ekstrak jeroan dengan

pelarut etil asetat mengandung komponen lain selain ketiga komponen bioaktif

yang dikandungnya dan/atau ekstrak etil asetat mengandung komponen alkaloid,

steroid dan karbohidrat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan ekstrak

jeroan dengan pelarut kloroform. Hal ini disebabkan ekstrak yang diperoleh dari

hasil proses ekstraksi pada penelitian ini masih berupa ekstrak kasar, sehingga

perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan kromatografi , hal ini

bertujuan untuk mengetahui komponen lain apa saja yang terkandung dalam

ekstrak tersebut beserta jumlahnya. Berdasarkan hasil dari uji fitokimia ini

menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung 6 dari 9 komponen yang

diuji dengan metode fitokimia Harborne (1984).

1) Alkaloid

Komponen alkaloid merupakan substansi dasar yang memiliki satu atau

lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan bergabung dalam satu sistem siklis,

yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1984). Komponen alkaloid ini ditemukan pada

ekstrak jeroan dan ditiap-tiap pelarut, sedangkan untuk ekstrak daging, alkaloid

hanya ditemukan pada pelarut etil asetat dan metanol, akan tetapi tidak ditemukan

Page 54: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

pada pelarut kloroform. Bioaktif jenis dari alkaloid ini umunya larut pada pelarut

organik non polar, akan tetapi ada beberapa kelompok seperti pseudoalkaloid dan

protoalkaloid, kelompok ini larut pada pelarut polar seperti air (Lenny 2006).

Pelarut organik yang digunakan pada penelitian ini adalah pelarut kloroform p.a.,

tetapi pada ekstrak daging keong ipong-ipong tidak menunjukkan reaksi positif

adanya alkaloid. Ekstrak daging yang menunjukkan hasil yang positif justru

dengan pelarut etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a. (polar). Hal ini

menunjukkan bahwa bagian daging keong ipong tidak mengandung alkaloid

(sesungguhnya) yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung protoalkaloid dan

pseudoalkaloid saja. Akan tetapi pada ekstrak jeroannnya mengandung alkaloid

(sesungguhnya) yang bersifat racun. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif

sederhana dimana nitrogen-nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin

heterosiklik, sedangkan pseudoalkaloid merupakan komponen alkaloid yang tidak

diturunkan dari prekursor asam amino dan biasanya bersifat basa (Lenny 2006).

Bioaktif alkaloid yang terdapat pada ekstrak metanol dan etil asetat pada

ekstrak daging dan ekstrak kloroform, etil asetat dan metanol di jeroan pada

keong ipong-ipong ini dapat digolongkan sebagai hasil metabolisme sekunder dari

keong ipong-ipong sendiri. Kutchan (1995) menyatakan bahwa, alkaloid

digolongkan sebagai metabolit sekunder karena kelompok molekul ini merupakan

substansi organik yang tidak bersifat vital bagi organisme yang menghasilkannya,

tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa komponen alkaloid pada keong ipong-

ipong ini juga berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh keong ipong-ipong

sendiri

Alkaloid berasal dari sejumlah kecil asam amino antara lain ornitin dan

lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik; fenilalanin dan tirosin yang menurunkan

alkaloid jenis isokuinolin; dan triftopan yang menurunkan alkaloid jenis indol.

Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi

Mannich, dimana menurut reaksi ini suatu aldehid berkondensasi dengan suatu

amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam

iminium, diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa

suatu enol atau fenol (Lenny 2006). Reaksi Mannich ini terjadi juga dalam

jaringan tubuh keong ipong-ipong yang turut menghasilkan alkaloid.

Page 55: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada juga yang

memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara

luas dalam pengobatan (Harborne 1984). Komponen alkaloid pada ekstrak

keong ipong-ipong ini diduga juga memiliki sifat antioksidan, sama seperti jenis

alkaloid yang ditemukan oleh Porto et al. (2009) pada daun Psychotria

brachyceras yaitu brachycerine, yang memiliki aktivitas antioksidan dan juga

berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C). Alkaloid

jenis isokuinolin diduga berhubungan erat dengan senyawa alkaloid tipe quinin,

dan diduga pula memiliki aktivitas sebagai obat malaria seperti quinine

(Putra 2007). Hal ini menekankan bahwa perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut

tentang jenis alkaloid yang terkandung dalam ekstrak metanol dengan

menggunakan reagen alkaloid, kromatografi, atau metode spektra (UV, IR, MS

dan NMR) (Harborne 1984). Ketika jenis alkaloidnya telah diketahui dengan

jelas, maka fungsi fisiologisnya pun dapat ditentukan dengan tepat.

2) Steroid

Adapun pengujian yang telah dilakukan dan digunakan secara luas untuk

mendeteksi triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang

memberikan warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid. Triterpenoid

merupakan komponen dengan kerangka karbon yang terdiri dari 6 unit isoprene

dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C30 hidrokarbon asiklik). Triterpenoid

memiliki struktur siklik yang kompleks, sebagian besar terdiri atas alkohol,

aldehid, atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna, jernih, memiliki

titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit dikarakterisasi

(Harborne 1984).

Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin

cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan

hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks,

hormon adrenal, asam empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini

steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1984).

Adapun komponen steroid yang terdeteksi pada ekstrak daging dan jeroan

keong ipong-ipong ini diduga merupakan hormon adrenal dan hormon seks

(progesterone, 17-β-estradiol, testosterone, 4-androstene-dione dan cortisol)

Page 56: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

seperti steroid yang terdeteksi pada Achatina fulica yang juga merupakan

Gastropoda (Bose et al. 1997). Steroid ini juga diduga memiliki efek peningkat

stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi. Menurut hasil penelitian yang

dilakukan oleh Setzer (2008), triterpenoid alami juga memiliki aktivitas antitumor

karena mempunyai kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II,

dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA

dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat

mengikat DNA.

Berdasarkan hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa komponen

triterpenoid/steroid ini terdeteksi pada ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan

keong ipong-ipong yang memiliki tingkat polaritas yang berbeda. Prekursor dari

pembentukan triterpenoid/steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar

(Harborne 1984), sehingga diduga triterpenoid/steroid dapat larut pada pelarut

organik (non polar). Hal ini menekankan bahwa sangatlah wajar apabila

triterpenoid/steroid terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut

kloroform (non polar) ataupun ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut etil

asetat (semipolar) keong ipong-ipong. Hasil penelitian ini juga menunjukkan

bahwa triterpenoid/steroid juga terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan

dengan pelarut metanol (polar). Hal ini dapat terjadi mengingat metanol

merupakan pelarut polar, yang juga dapat mengekstrak komponen lainnya yang

bersifat non polar ataupun semipolar. Schimidt dan Steinhart (2001) menyatakan

bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan

hasil yang berbeda nyata.

3) Karbohidrat

Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk

melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama

dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati),

transportasi energi (sukrosa), serta pembangun dinding sel (selulosa)

(Harborne 1984). Karbohidrat mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul

yang berbeda-beda. Karbohidrat umumnya aman untuk dikonsumsi

(tidak beracun). Rumus kimia karbohidrat umumnya Cx(H2O)y (Fennema 1996).

Page 57: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ketiga ekstra kasar daging dan

jeroan keong ipong-ipong positif mengandung unsur karbohidrat. Hasil

pengujian ini mendukung hasil analisis proksimat karbohidrat keong ipong-ipong,

yaitu sebesar 5.2%. Komponen serat kasar ini tidak ada yang terlarut pada ketiga

pelarut yang digunakan dan tertinggal sebagai residu selama proses filtrasi,

sehingga karbohidrat yang terdeteksi dari hasil uji fitokimia pada ketiga ekstrak

kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong bukanlah komponen serat kasar,

tetapi komponen glikogen yang terekstrak pada ketiga pelarut dengan tingkat

kepolaran yang berbeda. Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya

berbentuk glikogen, dan dapat dipecah menjadi D-glukosa (Winarno 2008).

Karbohidrat yang memiliki berat molekul rendah, umumnya mempunyai

banyak kegunaan. Karbohidrat berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan,

perlindungan dari luka dan infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing

(Harborne 1984). Karbohidrat di dalam tubuh manusia berguna untuk mencegah

ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan

berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008).

Hasil positif pengujian kandungan karbohidrat dengan menggunakan

pereaksi Molisch ini diikuti dengan reaksi positif pengujian kandungan gula

pereduksi pada ektrak metanol dari daging, akan tetapi tidak diikuti reaksi positif

pada ekstrak daging dengan pelarut kloroform dan etil asetat, serta ekstrak jeroan

pada ketiga pelarut tersebut untuk ekstrak kasar keong ipong-ipong dengan

menggunakan pereaksi Benedict. Ekstrak daging keong ipong-ipong dengan

metanol terdapat gula jenis aldosa, sedangkan untuk ekstrak daging dengan

pelarut kloroform dan etil asetat dan ekstrak jeroan dari ketiga pelarut tersebut

diduga gula pereduksi yang terdapat dalam ketiga ekstrak keong ipong-ipong

tersebut didominasi oleh gula pereduksi jenis ketosa, bukan jenis aldosa. Pada

pereaksi Benedict yang tidak alkali, komponen aldosa dapat terdeteksi tetapi

komponen ketosa tidak. Ketosa hanya akan terdeteksi pada suasana alkali saja,

seperti pada pereaksi Fehling. Hal ini dikarenakan, ketosa akan terisomerisasi

menjadi aldosa pada suasana alkali dan dapat mereduksi tembaga (II) menjadi

tembaga (I) yang akan mengendap sebagai Cu2O yang berwarna merah bata

(Fennema 1996).

Page 58: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

4) Gula pereduksi

Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya

gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada

glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak

mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,

sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus

glukosanya (Winarno 2008).

Hasil pengujian fitokimia untuk gula pereduksi, terdeteki pada ekstrak

kasar daging dengan pelarut metanol, sedangkan untuk kedua pelarut lainnya pada

ekstrak daging tidak terdeteksi, begitu juga pada ekstrak jeroan untuk ketiga

pelarut yang digunakan. Terdeteksinya gula pereduksi pada ekstrak metanol

daging keong ipong-ipong ini menandakan bahwa, pada ekstrak daging tersebut

terdapat gula jenis aldosa. Terdeteksinya gula pereduksi ini disebabkan karena

gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict

dan Fehling (reduksi Cu2+

menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi Ag

+

menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk

mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes

(Pine et al. 1988) .

5) Peptida

Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam

amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik

unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari

molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat. Transisi dari polipeptida

menjadi protein tidak banyak dijelaskan, tetapi batasan pengertian protein

umumnya diasumsikan sebagai rantai peptida yang memiliki berat molekul sekitar

10 kDa atau mengandung kurang lebih 100 residu asam amino (Lehninger 1988;

Belitz et al. 2009).

Berdasarkan hasil pengujian fitokimia, komponen peptida ini terdeteksi

pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan ekstrak metanol. Sedangkan pada

kedua pelarut lainnya tidak telihat reaksinya begitu pula pada kedua pelarut

lainnya pada ekstrak jeroan. Pada ekstrak daging, peptide yang terdeteksi diduga

jenis protein yang berasal yang merupakan komponen metabolit primer,

Page 59: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

sedangakan untuk peptida yang terdeteksi pada ekstrak jeroan diduga jenis

hormon tertentu. Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata.

Salah satunya adalah peptida pendek enkefalin, hormon yang dibentuk dalam

pusat sistem syaraf. Hormon ini berperan sebagai analgesik alami dalam tubuh

yang dapat meniadakan rasa sakit ketika molekul-molekul ini berikatan dengan

reseptor spesifik pada sel tertentu dalam otak, yang biasanya berikatan dengan

morfin, heroin dan jenis candu lainnya (Lehninger 1988). Hasil penelitian

Kannan et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang

memiliki berat molekul <5 kDa memiliki aktivitas antikanker. Fraksi peptida

tersebut memiliki nilai IC50 sekitar 750 ppm setelah diujikan pada sel kanker

kolon (HCT-116) dan sel kanker payudara (HTB-26).

6) Asam amino

Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino

dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim.

Sebuah asam amino tersusun atas sebuah atom α-carbon yang berikatan secara

kovalen dengan sebuah atom hidrogen, sebuah gugus amino, dan sebuah gugus

rantai R. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai konfigurasi L,

kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L

yang merupakan komponen protein (Fennema 1996; Winarno 2008).

Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan pereaksi Ninhidrin

terdeteksi asam amino pada ekstrak kasar daging dan jeroan pada pelarut

metanol, akan tetapi tidak terdeteksi pada kedua pelarut lainnya untuk kedua

ekstrak tersebut. Asam amino yang terdeteksi ini diduga asam amino-asam amino

yang dihasilkan dari proses hidrolisis protein, serta asam amino-asam amino non

protein (bukan penyusun protein). Kamil et al. (1998) menyatakan bahwa, asam

amino-asam amino yang terlarut pada pelarut metanol ini merupakan asam amino

yang memiliki sifat polar (hidrofilik), baik yang bermuatan ataupun yang tidak

bermuatan, seperti arginin, histidin, lisin (asam amino polar bermuatan), treonin

(asam amino polar tak bermuata). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak

kloroform (non polar) ataupun ekstrak etil asetat (semipolar) tidak mengandung

asam amino. Hal ini diduga karena asam amino-asam amino non polar ini

terdapat dalam jumlah yang sangat kecil pada sampel keong ipong-ipong yang

Page 60: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terdeteksi oleh pereaksi Ninhidrin

0,10% pada ekstrak kloroform ataupun ekstrak etil asetat.

Hasil positif pada pengujian kandungan asam amino ini didahului dengan

hasil positif pada pengujian peptida menggunakan pereaksi Biuret pada ekstrak

daging dan jeroan dari metanol. Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua

atau lebih molekul asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini

dibentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan

gugus α-amino dari molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat

(Lehninger 1988; Belitz et al. 2009). Tidak terdeteksinya komponen-komponen

yang berikatan peptida ini diduga karena komponen-komponen tersebut telah

terhidrolisis sempurna menghasilkan asam amino-asam amino penyusunnya yang

terdeteksi pada uji Ninhidrin ekstrak metanol. Pembentukan ikatan peptida

memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan

energi, sehingga reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah

hidrolisis daripada sintesis (Winarno 2008).

4.3 Aktivitas Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,

membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen

reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Keberadaan senyawa antioksidan ini dalam

suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Uji

aktivitas antioksidan pada tiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-

ipong yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda, dilakukan dengan

menggunakan metode uji DPPH.

Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak

digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan

sebagai antioksidan (Molyneux 2004). Metode pengujian ini berdasarkan pada

kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas.

Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH)

(Vattem dan Shetty 2006). Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang

stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol

(Molyneux 2004). Sifat stabil ini dikarenakan radikal bebas ini memiliki satu

elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak

Page 61: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan sebuah

warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan

etanol ataupun metanol (Molyneux 2004).

Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas

DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya

memerlukan sedikit sampel, akan tetapi jumlah pelarut pengencer yang diperlukan

dalam pengujian ini cukup banyak. Pelarut yang digunakan adalah metanol.

metanol dipilih sebagai pelarut karena metanol dapat melarutkan kristal DPPH

(Molyneux 2004; Suratmo 2009) dan juga memiliki sifat yang dapat melarutkan

komponen non polar di dalamnya, hal ini mengingat ketiga ekstrak yang diuji

memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda.

Antioksidan pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah

antioksidan sintetik BHT (butylated hydroxytoluene). Larutan BHT pada

penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm melalui proses

pengenceran larutan stok BHT 250 ppm. Konsentrasi larutan ekstrak kasar daging

dan jeroan keong ipong-ipong yang diuji dengan metode DPPH ini adalah sebesar

200, 400, 600 dan 800 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh melalui proses

pengenceran dari masing-masing larutan stok ekstrak kasar daging dan jeroan

keong ipong-ipong 1000 ppm. Perhitungan pembuatan larutan stok dan proses

pengencerannya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila

senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH,

yang ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning pucat

(Molyneux 20004). Perubahan warna ini hanya tampak pada larutan BHT yang

diberi larutan DPPH 1 mM dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 oC,

sedangkan pada larutan ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang

telah diberi perlakuan sama tidak terlalu menunjukkan perubahan warna yang

signifikan. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan

keong ipong-ipong yang diuji terlalu kecil dan jauh dari nilai konsentrasi ekstrak

yang dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50% (IC50). Perubahan warna yang

mengindikasikan adanya reaksi peredaman radikal bebas DPPH oleh senyawa

Page 62: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

antioksidan pada larutan BHT dan larutan ekstrak daging dan jeroan keong

ipong-ipong, dapat dilihat pada Lampiran 6.

Intensitas perubahan warna yang terjadi pada larutan BHT dan larutan

ekstrak kasar keong ipong-ipong ini dapat diukur absorbansinya dengan

menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Setelah itu,

perhitungan persen inhibisi dan IC50 dari antioksidan BHT dan masing-masing

ekstrak kasar keong ipong-ipong dapat dilakukan. Persen inhibisi adalah

kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang

berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. Nilai IC50 sendiri merupakan salah

satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari

pengujian DPPH. Nilai IC50 ini dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat

yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai

IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneux 2004).

Perhitungan persen inhibisi dan IC50 dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil uji

aktivitas antioksidan BHT dapat dilihat pada Tabel 3 dan hasil uji antioksidan

masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat dilihat

pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 3. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT

Sampel % Inhibisi IC50 (ppm)

BHT 2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm

4,91 12,55 23,67 79,37 89,45

Tabel 4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging keong ipong-

ipong (Fasciolaria salmo)

Sampel Daging % Inhibisi

IC50 (ppm) 200 ppm 400 ppm 600 ppm 800 ppm

Ekstrak Kloroform 22,90 24,14 24,61 25,19 9210

Ekstrak Etil Asetat 23,85 24,23 24,42 26,52 6825

Ekstrak Metanol 33,93 34,60 38,02 41,82 1513,8

Page 63: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Tabel 5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan keong ipong-

ipong (Fasciolaria salmo)

Sampel Jeroan % Inhibisi

IC50 (ppm) 200 ppm 400 ppm 600 ppm 800 ppm

Ekstrak Kloroform 13,49 15,30 21,19 21,38 2825

Ekstrak Etil Asetat 15,39 15,87 17,96 20,24 4600

Ekstrak Metanol 19,96 28,13 33,84 43,63 994,47

Empat konsentrasi larutan BHT (2, 4, 6 dan 8 ppm) yang digunakan dalam

penelitian ini dipilih berdasarkan hasil penelitian Hanani et al. (2005), dimana

dengan menguji keempat konsentrasi tersebut, diperoleh nilai IC50 BHT sebesar

3,81 ppm. Penelitian ini, nilai IC50 BHT yang diperoleh sebesar 4,91 ppm. Nilai

IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperoleh Hanani et al. (2005)

dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan bahwa antioksidan BHT merupakan

antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat (< 50 ppm) menurut klasifikasi

Blois (1958) dalam Molyneux (2004). Pengujian aktivitas antioksidan BHT ini

menghasilkan hubungan antara konsentrasi BHT yang digunakan dengan persen

inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Garfik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya

Berdasarkan hasil pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa ekstrak kasar

daging dan jeroan keong ipong-ipong juga memiliki aktivitas antioksidan seperti

BHT, walaupun aktivitasnya tergolong lemah. Ketiga ekstrak kasar daging dan

Page 64: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

jeroan keong ipong-ipong ini memiliki kekuatan penghambatan yang berbeda-

beda antara yang satu dengan lainnya. Pengujian aktivitas antioksidan dari

masing-masaing ekstrak kasar menghasilkan hubungan antara konsentrasi ekstrak

kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang digunakan dengan persen

inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.

Gambar 14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging keong ipong-ipong

dengan persen inhibisinya.

Gambar 15. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong

dengan persen inhibisinya.

Page 65: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Grafik pada Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa persen inhibisi

tertinggi selalu dihasilkan oleh larutan yang mengandung konsentrasi ektrak kasar

daging dan jeroan yang terbanyak, yaitu larutan dengan konsentrasi 800 ppm

(pada masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong).

Sedangkan, persen inhibisi terendah selalu dihasilkan oleh larutan yang

mengandung konsentrasi atau ekstrak kasar daging dan jeroan paling sedikit, yaitu

larutan dengan konsentrasi 200 ppm (pada masing-masing ekstrak kasar daging

dan jeroan). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar

daging dan jeroan keong ipong-ipong yang ditambahkan, maka semakin tinggi

pula persen inhibisi yang akan dihasilkan. Pernyataan ini sesuai dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005), yang menyatakan bahwa

persentase penghambatan (persen inhibisi) terhadap aktivitas radikal bebas akan

ikut meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak.

Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi

(Molyneux 2004). Tabel 4 dan 5 di atas menunjukkan bahwa ekstrak metanol

daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas antioksidan yang lebih

besar dari dua ekstrak yang lainnya, ditandai dengan nilai IC50-nya yang terkecil,

yaitu 1513,8 dan 994,47 ppm. Sedangkan, ekstrak kloroform dari daging keong

ipong-ipong merupakan ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan yang paling

lemah. Hal ini terbukti dari nilai IC50-nya yang terbesar, yaitu 9210 ppm. Akan

tetapi pada ekstrak kasar jeroan, ekstrak jeroan dengan etil asetat memiliki

aktivitas antioksidan yang paling lemah yaitu sebesar 4600 ppm.

Walaupun rendemen ekstrak kloroform lebih sedikit dari rendemen ektrak

kasar jeroan dengan kloroform, tetapi aktivitas antioksidannya lebih kuat. Hal ini

diduga karena pada ekstrak kasar jeroan dengan kloroform terdapat komponen

bioaktif tertentu seperti alkaloid. Alkaloid telah diketahui memiliki aktivitas

antioksidan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Porto et al. (2009), yang

menunjukkan bahwa komponen alkaloid pada daun Psychotria brachyceras yaitu

brachycerine, memiliki aktivitas antioksidan dan berperan sebagai pelindung dari

radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C).

Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai

IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml,

Page 66: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai

IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 dalam Molyneux 2004).

Menurut klasifikasi ini, ketiga esktrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong

tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC50-nya

lebih besar dari 0,20 mg/ml atau 200 ppm. Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas

antioksidan dari BHT.

Data-data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa antioksidan BHT memiliki

aktivitas yang lebih kuat dari senyawa-senyawa antioksidan yang terdapat pada

ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Hal ini terlihat dari

nilai IC50 BHT yang jauh berbeda dengan nilai IC50 dari masing-masing ekstrak

kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Nilai IC50 antioksidan BHT jauh

lebih kecil dari nilai IC50 ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-

ipong. Hal ini dapat terjadi dikarena ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong

yang digunakan dalam pengujian ini masih tergolong sebagai ekstrak kasar

(crude). Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan

merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam

pelarut selama proses ekstraksi.

Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi

tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni

dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.

Contohnya adalah komponen alkaloid yang terdeteksi pada ekstrak kasar jeroan

pada ketiga pelarut dan ekstrak daging pada etil asetat dan metanol. Komponen

alkaloid murni dari ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong diduga memiliki

aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi dari ekstrak kasarnya. Hal ini

menunjukan bahwa perlu dilakukan pemurnian pada ekstrak kasar daging dan

jeroan keong ipong-ipong tersebut. Setelah ekstrak yang telah dimurnikan

tersebut diperoleh,maka pengujian aktivitas antioksidannya pun perlu dilakukan.

Ekstrak kasar daging dengan kloroform dari keong ipong-ipong yang

bersifat non polar tidak sepenuhnya benar jika dinyatakan memiliki aktivitas

antioksidan yang paling lemah, walaupun berdasarkan hasil uji DPPH

menunjukkan bahwa nilai IC50-nya cukup besar. Hal ini dapat terjadi apabila

pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak memiliki sifat kepolaran yang

Page 67: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

berbeda dengan ekstrak tersebut. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan DPPH

pada penenlitian ini adalah metanol yang memiliki sifat polar, sehingga dapat

diduga bahwa komponen bioaktif yang bersifat non polar pada ekstrak kloroform

tidak larut sepenuhnya pada pelarut ini. Jumlah komponen bioaktif yang terlarut

pada masing-masing pelarut akan berbeda dan pada akhirnya akan berpengaruh

pada nilai IC50 yang dihasilkan. Nilai IC50 akan semakin besar jika ekstrak yang

terlarut pada pelarut yang digunakan semakin sedikit. Hal ini menyebabkan perlu

dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode pengujian

lainnya yang universal, baik untuk komponen bioaktif yang bersifat polar, semi

polar ataupun non polar. Metode DPPH merupakan salah satu metode pengujian

aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi komponen antioksidan yang bersifat

polar, karena kristal DPPH sendiri hanya dapat larut dan memberikan absorbansi

maksimum pada pelarut etanol ataupun metanol seperti yang dikemukakan oleh

Vattem dan Shetty (2006) ; Amrun dan Umiyah (2005); serta Molyneux (2004).

Page 68: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) yang berasal dari Desa Gebang,

Kota Cirebon, Jawa memiliki rendemen daging (22,08%), jeroan (8,22%) dan

cangkang (69,69%), yang sangat potensial dan ekonomis untuk dimanfaatkan

lebih lanjut. Keong ipong-ipong ini mengandung air yang cukup tinggi (73,07%),

lemak yang rendah (0,57%), protein dalam jumlah yang tinggi (18,28%), abu

(2,77%), abu tidak larut asam (0,15%) dan karbohidrat (5,2%).

Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas

antioksidan yang sangat lemah jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan

BHT. Walaupun begitu, ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong ini

mengandung 6 komponen bioaktif yang terdeteksi melalui uji fitokimia, yaitu

komponen alkaloid, steroid, karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino.

Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas fisiologis

yang positif bagi tubuh manusia. Selain itu adanya kandungan steroid pada keong

ipong-ipong membuktikan khasiat dari keong tersebut secara empiris yang dapat

meningkatkan stamina tubuh dan vitalitas.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan

penelitian lanjutan berupa pemurnian ekstrak dan pengujian aktivitas antioksidan

ekstrak murni tersebut, serta penentuan struktur bangun komponen bioaktif pada

ekstrak murni dengan spektrum UV, IR dan NMR. Identifikasi senyawa-senyawa

bioaktif lainnya dalam ekstrak daging dan jeroan dari keong ipong-ipong

menggunakan GC-MS (gaschromatography mass spectroscopy). Penentuan

komposisi asam lemak, vitamin dan mineral juga perlu dilakukan. Selain itu,

perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dari steroid yang terkandung di dalam

tubuh keong ipong-ipong, dikaitkan dengan pengaruh pengolahan.

Page 69: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier Y. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keenam. Jakarta: Gramedia.

Amrun MH, Umiyah. 2005. Pengujian antiradikal bebas difenilpikril hidrazil

(DPPH) ekstrak buah kenitu (Chrysophyllum cainito L.) dari daerah

sekitar Jember. Jurnal Ilmu Dasar 6(2):110-114.

Anand P, Chellaram C, Kumaran S, Shanthini CF. 2010. Biochemical

composition and antioxidant activity of Pleuroploca trapezium meat.

J. Chem. Pharm. 2(4):526-535

Andriyanti R. 2009. Ekstraksi senyawa aktif antioksidan dari lintah laut

(Discodoris sp.) asal perairan Kepulauan Belitung [skripsi]. Bogor:

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Ansel. 1989. Pengatur Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1980. Official Method of

Anaalysis of The Association of Official Analytical of Chemist.

Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of

Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist.

Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.

Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT

Gramedia.

Barnes, R. D. 1987. Invertebrate Zoology. Fith edition. Sounders College

Publishing.

Belitz , H.D. dan W. Grosch.1978. Food Chemistry. Berlin: Springer Verlag.

Berry, A. J. 1972. Fauna Zonatio in Mangrove Swamps. Malaysia: Departement

of Zoology, University of Malaya

Blois, MS.1958. Antioxidant determinations by the use of a stable free radical.

Journals Nature 181: 1199-1200.

Bose R, Majumdar C, Bhattacharya S. 1997. Steroids in Achatina fulica

(Bowdich): steroid profile in haemolymph and in vitro release of

steroids from endogenous precursors by ovotestis and albumen gland.

Comp Biochem Physiol 116C(3):179-182.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. Teh Kering Dalam Kemasan.

Jakarta:SNI-01-3836-2000

Page 70: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Budiyanto AK. 2002. Dasar-dasar Ilmu Gizi. Malang: Universitas

Muhammadiyah Malang.

Buck DF. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive User’s Handbook. UK: Blackie Academic & Profesional, Glasgow.

Campanella L, Gatta T, Ravera O. 2005. Relationship between anti-oxidant

capacity and manganese accumulation in the soft tissues of two

freshwater molluscs: Unio pictorum mancus (Lamellibranchia,

Unionidae) and Viviparus ater (Gastropoda, Prosobranchia). J. Limnol

64(2): 153-158

Cavas L, Yurdakoc K, Yokes B. 2004. Antioxidant status of Lobiger serradifalci

and Oxynoe olivacea (Opisthobranchia, Mollusca). Journal of

Experimental Marine Biology and Ecology 314:227-235

Coppen, P.P 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton,

editor. Rancidity in Foods. London: Applied Science Publishers.

Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005. Isolasi dan karakterisasi senyawa kumarin

dari kulit buah jeruk nipis (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis 2:13-

15.

Dance P S. 1977. The Encyclopedia of Sheel. London: Blanford Press.

Fennema OR, editor. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker,

Inc.

Food Chemical Codex. 1992. Carrageenan. Washington: National Academy

Press

Gordon, M.H 1990. The Mechanism of Antioxidants Action In Vitro. Di dalam:

B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. London: Elsivier Applied

Science.

Halliwell B. 2007. Dietary polyphenols: good, bad, or indifferent for your health.

J. Cardiovascular Research 73:341–347.

Hamilton, R.J. 1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di dalam: J.C. Allen

dan R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. London: Applied

science Publishers.

Hanani E, Mun’im A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam

spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu

Kefarmasian 2(3):127-133.

Harborne JB. 1984. Phytochemical methods. Ed ke-2. New York: Chapman and

Hall.

Page 71: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Herbert R B. 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder.Diterjemahkan: Srigandono

dari, The Biosintesis of Secondary Metabolites. Semarang: IKIP

Semarang Press.

Huber M E, Castro P,. 2007. Marine Biology Sixth ed. New York: The MC.Graw

Hill Companies, inc.

Hughes, R.H. 1986. A Fungtional Biology of Marine Gastropods. First Published.

USA: John Hopkins University Press.

Kannan A, Hettiarachchy N, Narayan S. 2009. Colon and breast anti-cancer

effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The Open

Bioactive Coumpounds Journal 2:17-20.

Kasih AL. 2007. Ekstraksi komponen antioksidan dan antibakteri dari biji lotus

(Nelumbium nelumbo) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pangan,

Institut Pertanian Bogor.

Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI

Press.

Kubola J, Siriamornpun S. 2008. Phenolic contents and antioxidant activities of

bitter gourd (Momordica charantia L.) leaf, stem and fruit fraction

extracts in vitro. J.Food Chemistry 110:881–890.

Kutchan TM. 1995. Alkaloid biosynthesis: the basis for metabolic engineering of

medical plants. The Plant Cell 7:1059-1070.

Lawrence S G, Musthafa Z, Seweang A. 2000. Radikal Bebas sebagai Prediktor

Aterosklerosis pada Tikus Wistar Diabetes Melitus. Jurnal Cermin

Dunia Kedokteran 127: 32-33

Lehninger AL. 1988. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Thenawidjaja M, penerjemah.

Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.

Lenny S. 2006. Senyawa flavonoida, fenilpropanoida dan alkaloida. Medan:

Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Sumatera Utara.

Mohsen SM, Ammar ASM. 2009. Total phenolic contents and antioxidant activity

of corn tassel extracts. J.Food Chemistry 112:595–598.

Molyneux P. 2004. The use of the stable free radical dyhenylpicrylhydrazil

(DPPH) for estimating antioxidant activity. Journals science and

technology: 26:211-219

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Page 72: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Nuraini AD. 2007. Ekstraksi komponen antibakteri dan antioksidan dari biji

teratai (Nymphaea pubescens Wild) [skripsi]. Bogor: Fakultas

Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Nurjanah. 2009. Karakterisasi lintah laut (Discodoris sp.) dari perairan pantai

Pulau Buton sebagai antioksidan dan antikolesterol [disertasi]. Bogor:

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pierleimena E H. 2002. Potensi Pemanfaatan Beberapa Jenis Keong Laut

(Molusca: Gastropoda). Jurnal Hayati: 9:97-99.

Plaziat, C. J. 1984. Mollusc Distribution in Mangal. Washinton: Dr. W. Junk

Published.

Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.

Porto DD, Henriques AT, Fett-Neto AG. 2009. Bioactive alkaloids from South

American Psychotria and related species. The Open Bioactive

Compounds Journal 2:29-36.

Prabowo TT. 2009. Uji aktivitas antioksidan dari keong matah merah (Cerithidea

obtusa) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

Pertanian Bogor.

Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T.

Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food

and Their Effects on Health H. Washington DC: American Society.

Pratt, D.E. dan B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidants not Exploited

Comercially. Di dalam : B.J.F.Hudson, editor. Food Antioxidants.

London: Elsevier Applied Science.

Purwati E. 2009. Profil komponen bioaktif tanaman kava-kava

(Pipermethysticum, Forst, f) dengan pelarut etanol dan methanol

[skripsi]. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang.

Putra SE. 2007. Alkaloid: senyawa organik terbanyak di alam. http://www.chem-

is-try.org/artikel_kimia/biokimia/alkaloid_senyawa_organik_terbanyak

di_alam/. [20 Februari 2010].

Quinn R J. 1988. Chemistry of Aqueous Marine Extracts: Isolation Techniques in

Bioorganic Marine Chemistry, Vol. 2.Verlag Berlin Heidelberg:Springer

Robinson T. 1995. Kandungan organik tumbuhan tinggi. Edisi keenam.

Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: The

organic constituents of higher plants.

Page 73: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Rohman A, Riyanto S. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemuning

(Murraya paniculata (L) Jack) secara in-vitro. Majalah Farmasi

Indonesia 16(3):136-140.

Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen

bioaktif dari kijing taiwan (Anadonta woodiana Lea.) sebagai senyawa

antioksidan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11(2):119-132.

Salimi KY. 2005. Aktivitas antioksidan dan antihiperkolestrolemia ekstrak beta

glukan dari Saccharomyces cerevisiae pada tikus putih. [tesis]. Bogor:

Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Samsudin. 2008. Azadirachtin Metabolit Sekunder dari Tanaman Mimba sebagai

Bahan Insektisida Botani. Lembaga Pertanian Sehat.

Sarastani D et al. 2002. Aktivitas antiksidan ekstrak dan fraksi ekstrak biji atung

(Parinarium glaberrimum). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan

XII(2):149-156

Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah mada

University Press.

Schmidt G, Steinhart H. 2001. Impact of extraction solvents on steroid

contents

determined in beef. Journal of Food chemistry. 76: 83-88.

Setyaningsih A. 2003. Studi pendahuluan bahan aktif dari bintang laut

(Astropecten sp.) sebagai antioksidan [skripsi]. Bogor: Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Setzer WN. 2008. Non-intercalative triterpenoid inhibitors of topoisomerase II: a

molecular docking study. The Open Bioactive Compounds Journal

1:13-17.

Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: ITB.

Sunardi, Kucahyo I. Uji aktivitas antioksidan ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa

bilimbi, L.) terhadap 1,1 diphenyl-2- pycrylhidrazil (DPPH). Makalah

Seminar Nasional Teknologi 2007. Yogyakarta, 24 November 2007.

Suryowinoto S. 2005. Mengenal beberapa senyawa pada tanaman yang berperan

sebagai antiaging. InfoPOM 6(3):7-11.

Suwignyo S. et al.. 2005. Avertebrata Air Jilid 1. Jakarta: Penebar Swadaya.

Vattem DA, Shetty K. 2006. Biochemical Markers for Antioksidan Functionality.

Di dalam: Shetty K, Paliyath G, Pometto AL, Levin RE, editor.

Functional Foods and Biotechnology. Boca Raton: CRC Press.

Page 74: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada

Universitas press.

Vorontsova YA, Yurlova NI, Vodyanitskaya SN, Glupov VV. 2010. Activity of

detoxifying and antioxidant enzymes in the pond snail Lymnaea

stagnalis (Gastropoda: Pulmonata) during invasion by Trematode

Cercariae. Journal of Evolutionary Biochemistry and Physiology 46(1):

28-34

Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah kimia organik bahan alam: flavonoid

(quercetin). Makasar: Program S2 Kimia, FMIPA, Universitas

Hasanuddin.

Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1973. Ekstraksi dan Khromatografi,

Elektroforesis. Bogor: Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Pertanian.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisus

Yunizal, Murtini JT, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulrokhim, Carkipan. 1998. Prosedur

Analisis Kimiawi Ikan dan Produk Olahan Hasil-Hasil Perikanan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

Page 75: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

LAMPIRAN

Page 76: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Lampiran 1. Bentuk cangkang keong ipong-ipong

Tampak bawah Tampak atas

Lampiran 2. Perhitungan rendemen keong ipong-ipong

Berat total : 1046 gram

Berat cangkang : 729 gram

Berat daging : 231 gram

Berat jeroan : 86 gram

Lampiran 3. Perhitungan analisis proksimat

a. Kadar air

b. Kadar lemak

Page 77: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

c. Kadar protein

d. Kadar abu

e. Abu tidak larut asam

Ulangan 1 = 0.1 %

Ulangan 2 = 0.2 %

f. Kadar karbohidrat (by difference)

% Kadar karbohidrat = 100% - (73.075 + 0.575 + 18.28 + 2.77 + 0.15) %

= 5.2 %

Page 78: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Lampiran 4. Data ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong

Jenis Pelarut

Berat Sampel Kering (g) Berat ekstrak (g) Rendemen (%)

Daging Jeroan Daging Jeroan Daging Jeroan

Kloroform 25 25 0.0615 0.496 0.246 1.984

Etil Asetat 25 25 0.3346 1.603 1.3384 6.412

Metanol 25 25 2.6928 3.417 10.7712 13.668

a. Ekstrak kloroform

- Daging

- Jeroan

b. Ekstrak etil asetat

- Daging

- Jeroan

c. Ekstrak methanol

- Daging

- Jeroan

Page 79: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Lampiran 5. Perhitungan pembuatan larutan stock dan pengencerannya

a. DPPH 0,001 M sebanyak 50 ml (Mr = 394 g/mol)

Konsentrasi =

0,001 M =

berat DPPH =

DPPH sebanyak 0,0197 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.

b. Standar BHT 250 ppm sebanyak 50 ml

Stok BHT 250 ppm =

= 12,5 mg = 0,0125 g

BHT sebanyak 0,0125 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.

BHT 2 ppm =

=

=

0,08 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

BHT 4 ppm =

=

=

0,16 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

BHT 6 ppm =

=

=

0,24 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

BHT 8 ppm =

=

=

0,32 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

Page 80: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

c. Larutan ekstrak 1000 ppm sebanyak 50 ml

Stok ekstrak 1000 ppm =

= 50 mg = 0,05 g

Ekstrak sebanyak 0,05 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.

Ekstrak 200 ppm =

=

=

2 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

Ekstrak 400 ppm =

=

=

4 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

Ekstrak 600 ppm =

=

=

6 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

Ekstrak 800 ppm =

=

=

8 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

Page 81: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Lampiran 6. Perubahan warna yang mengindikasikan reaksi peredaman

DPPH

.

BHT + DPPH 1 mM Ekstrak Kloroform + DPPH 1 mM

Ekstrak Etil Asetat + DPPH 1 mM Ekstrak Metanol + DPPH 1 mM

Lampiran 7. Perhitungan persen inhibisi dan IC50

a. Persen inhibisi dan IC50 pada BHT

Sampel Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

%

Inhibisi

Persamaan regresi

linear IC50 (ppm)

Blanko 0 1,052

4,91 BHT

2 0,920 12,55

y = 14,32x – 20,35 4 0,803 23,67

6 0,217 79,37

8 0,111 89,45

1) Persen inhibisi

BHT 2 ppm =

BHT 4 ppm =

BHT 6 ppm =

BHT 8 ppm =

Page 82: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

2) IC50

y = 14,32x – 20,34

50 = 14,32x – 20,34

70,34 = 14,32x

x = 4,91 ppm

IC50 untuk BHT adalah 4,91 ppm. b. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daging dengan pelarut kloroform

- Daging

Sampel

Daging

Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

%

Inhibisi

Persamaan

regresi linear

IC50

(ppm)

Blanko 0 1,052

9210 Kloroform

200 0.811 22.90 y = 0.003x +

22.37

400 0.798 24.14

600 0.793 24.61

800 0.787 25.19

Sampel

Daging

Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

%

Inhibisi

Persamaan regresi

linear IC50 (ppm)

Blanko 0 1,052

6825 Etil

Asetat

200 0.801 23.85

y = 0.004x + 22.70

400 0.797 24.23

600 0.795 24.42

800 0.773 26.52

- Jeroan

Sampel

Daging

Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

%

Inhibisi

Persamaan

regresi linear

IC50

(ppm)

Blanko 0 1,052

1513.8 metanol

200 0.695 33.93 y = 0.013x +

30.32

400 0.688 34.60

600 0.652 38.02

800 0.612 41.82

Sampel

Jeroan

Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

%

Inhibisi

Persamaan regresi

linear

IC50

(ppm)

Blanko 0 1,052

2825 Kloroform

200 0.910 13.49 y = 0.014x +

10.45

400 0.891 15.30

600 0.829 21.19

800 0.827 21.38

Page 83: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

Lampiran 8. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak daging dan jeroan keong

ipong-ipong

a. Ekstrak kloroform

Ekstrak Daging Ekstrak Jeroan

b. Ekstrak etil asetat

Ekstrak Daging Ekstrak Jeroan

Sampel

Jeroan

Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

%

Inhibisi

Persamaan

regresi linear

IC50

(ppm)

Blanko 0 1,052

4600 Etil asetat

200 0.890 15.39 y = 0.008x +

13.20

400 0.885 15.87

600 0.863 17.96

800 0.839 20.24

Sampel

Jeroan

Konsentrasi

(ppm) Absorbansi

%

Inhibisi

Persamaan

regresi linear

IC50

(ppm)

Blanko 0 1,052

994.47 Metanol

200 0.842 19.96 y = 0.038x +

12.21

400 0.756 28.13

600 0.696 33.84

800 0.593 43.63

Page 84: Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria .pdf

c. Ekstrak methanol

Ekstrak Daging Ekstrak Jeroan

Lampiran 9. Gambar-gambar selama proses ekstraksi

Proses pengadukan dengan orbital shaker Proses filtrasi hasil maserasi

Rotary vacuum evaporator Proses evaporasi filtrat