1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Impetigo adalah infeksi kulit superfisial yang ditandai dengan adanya nanah (pus) dan merupakan penyakit kulit akibat bakteri terbanyak yang diderita anak-anak, yakni 10% dari semua penyakit kulit dan merupakan penyakit kulit tersering ketiga setelah dermatitis dan kutil akibat virus (Hanakawa et al., 2002). Di Inggris, insidensi tahunan impetigo pada anak-anak dibawah empat tahun mencapai 2,8% dan untuk usia lima sampai dengan lima belas tahun mencapai 1,6% (George dan Rubin, 2003). Impetigo dibedakan menjadi dua, yakni impetigo nonbulosa yang disebabkan oleh Streptococcus β hemoliticus dan atau Staphylococcus aureus dan impetigo bulosa yang disebabkan oleh S. aureus (Djuanda, Hamzah, dan Aisah, 2005). Angka kematian dari komplikasi infeksi S. aureus ini kurang dari 5% pada anak-anak tetapi lebih dari 60% pada pasien dewasa (Stanley dan Amagai, 2006). Beberapa tahun terakhir penyebab utama impetigo beralih dari Streptococcus sp menjadi S. aureus
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Impetigo adalah infeksi kulit superfisial yang ditandai dengan adanya
nanah (pus) dan merupakan penyakit kulit akibat bakteri terbanyak yang
diderita anak-anak, yakni 10% dari semua penyakit kulit dan merupakan
penyakit kulit tersering ketiga setelah dermatitis dan kutil akibat virus
(Hanakawa et al., 2002). Di Inggris, insidensi tahunan impetigo pada anak-
anak dibawah empat tahun mencapai 2,8% dan untuk usia lima sampai
dengan lima belas tahun mencapai 1,6% (George dan Rubin, 2003).
Impetigo dibedakan menjadi dua, yakni impetigo nonbulosa yang
disebabkan oleh Streptococcus β hemoliticus dan atau Staphylococcus aureus
dan impetigo bulosa yang disebabkan oleh S. aureus (Djuanda, Hamzah, dan
Aisah, 2005). Angka kematian dari komplikasi infeksi S. aureus ini kurang
dari 5% pada anak-anak tetapi lebih dari 60% pada pasien dewasa (Stanley
dan Amagai, 2006). Beberapa tahun terakhir penyebab utama impetigo
beralih dari Streptococcus sp menjadi S. aureus (Koning et al., 2003).
S.aureus merupakan kuman patogen utama bagi manusia dan hampir setiap
orang pernah mengalami infeksi S. aureus dalam beberapa episode dalam
hidupnya dengan berbagai tingkat keparahan (Brooks et al., 1996).
S. aureus dapat mengekspresikan beberapa faktor virulen yang
bersifat antigenik yang terdiri dari protein permukaan yang berfungsi untuk
membentuk koloni pada jaringan target, invasin, bahan-bahan biokimiawi,
penyamaran secara imunologis, toksin yang melisiskan membran sel eukariot,
eksotoksin yang merusak jaringan penderita, serta kemampuan resistensi
2
terhadap antibiotik tertentu. Kemampuan resistensi S. aureus terhadap
beberapa jenis antibiotik didapatkan dengan mekanisme mutasi langsung
pada gen-gen kromosomnya atau melalui mekanisme didapat, yakni melalui
plasmid ekstrakromosom, partikel- partikel transdusin, transposon, atau
mekanisme penyusupan DNA lainnya (Anonim, 2005).
Mengingat cukup tingginya insidensi infeksi S. aureus dan adanya
kemampuan resistensi bakteri ini, maka diperlukan adanya pengembangan
temuan baru di bidang pengobatan yang efektif dan terjangkau bagi seluruh
masyarakat. Obat-obatan yang dikembangkan dapat berasal dari bahan kimia
tertentu maupun berasal dari pengobatan tradisional yang terjangkau (WHO,
2002). Pengobatan tradisional menggunakan tumbuh-tumbuhan yang terbukti
dapat mengatasi infeksi S. aureus adalah dengan memanfaatkan kunyit
(Curcuma domestica) (Singh et al., 2002).
Kunyit mengandung banyak zat yang sangat bermanfaat bagi
kesehatan. Sedikitnya terdapat dua puluh molekul yang mempunyai aktivitas
antibiotik, empat belas zat pencegah kanker, dua belas zat anti-inflamasi, dan
sepuluh zat antioksidan. Komposisi zat yang terkandung dalam kunyit
sendiri, terdiri dari 3-5% curcuminoid, 70% karbohidrat, 7% protein, 4%
mineral, dan sedikitnya mengandung 4% minyak esensial. Kunyit juga
mengandung vitamin, alkaloid lain, dan 1% resin (Jager, 2003).
Pada penelitian sebelumnya Singh et al., (2002) melaporkan bahwa
minyak esensial kunyit mempunyai aktivitas antimikroba terhadap isolat
S.aureus klinik dan standar. Hasilnya didapatkan pada isolat standar, minyak
esensial kunyit mempunyai aktivitas hambat lebih rendah dari pada isolat
3
klinik (Singh et al., 2002). Pada penelitian ini digunakan konsentrasi minyak
esensial kunyit yang sudah diketahui melalui uji pendahuluan sebesar 0%,
1%, 2%, 4%, dan 6% untuk mengetahui MIC (Minimum Inhibitory
Concentration).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya bahwa daya antimikroba
minyak esensial kunyit lebih efektif dibandingkan antibiotik standar dalam
menghambat pertumbuhan koloni S. aureus isolat klinik dengan metode
difusi. Peneliti melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek antimikroba
minyak esensial kunyit terhadap isolat klinik penderita impetigo secara
dilusi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Apakah minyak esensial kunyit (C. domestica) mempunyai
efek antimikroba terhadap pertumbuhan isolat S. aureus dari penderita
impetigo secara in vitro?
2. Berapakah MIC minyak esensial kunyit terhadap isolat S.
aureus dari penderita impetigo?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah minyak esensial kunyit
mempunyai efek antimikroba dalam menghambat pertumbuhan isolat S.
aureus dari penderita impetigo secara in vitro.
4
2. Untuk mengetahui MIC minyak esensial kunyit yang dapat
digunakan untuk menghambat pertumbuhan koloni isolat S. aureus dari
penderita impetigo.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Sebagai sumbangan terhadap wawasan ilmu pengetahuan, khususnya
dalam bidang pengobatan tradisional.
2. Manfaat Praktis
Untuk mendasari penelitian lebih lanjut guna mengetahui manfaat dan
efektivitas kunyit sebagai salah satu bahan pengobatan tradisional.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kunyit (Curcuma domestica)
1. Klasifikasi Kunyit
Kunyit (Curcuma domestica) merupakan salah satu tanaman
rempah sekaligus tanaman obat-obatan (Anonim, 2003). Kunyit
mempunyai habitat di daerah tropis dan merupakan tanaman tahunan
(parenial). Secara taksonomi kunyit merupakan anggota dari : (Anonim,
2003).
a. Divisio : Spermatophyta
b. Sub-diviso : Angiospermae
c. Kelas : Monocotyledoneae
d. Ordo : Zingiberales
e. Famili : Zungiberaceae
f. Genus : Curcuma
g. Species : Curcuma domestica Val.
2. Morfologi
Secara umum kunyit dapat dideskripsikan sebagai berikut:
(Anonim, 2003)
a. Tinggi 0,75- 1,00 m, tumbuh membentuk rumpun. Batang semu,
tegak, silindris, dan berwarna hijau kekuningan.
b. Batang atau rimpang kunyit seperti umbi, terdapat dalam tanah,
bercabang banyak, tebal dan berdaging seperti gasing, dan bagian
dalamnya berwarna kuning jingga.
c. Akar serabut berwarna coklat muda.
6
d. Berbau khas aromatik, rasa agak getir (agak pedas dan pahit).
e. Daun tanaman kunyit tunggal tersusun atas dua baris, bentuk daunnya
lanset, ujung daunnya lancip berekor, helaian daun biasanya lebar
dengan ibu tulang yang tebal, tulang-tulang cabang sejajar dan rapat
satu sama lain, serta berwarna hijau muda (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Tanaman Kunyit (C. domestica)Sumber: Anonim (2003).
3. Kandungan Kimia
Komposisi zat yang terkandung dalam kunyit terdiri dari 3-5%
curcuminoid, 70% karbohidrat, 7% protein, 4% mineral, dan sedikitnya
mengandung 4% minyak esensial. Kunyit juga mengandung vitamin,
alkaloid lain, dan 1% resin (Jager, 2003). Unsur pokok yang terkandung di
dalam kunyit disebut curcumin. Senyawa ini larut pada suhu 176-1770C
dan mempunyai sifat larut dalam ethanol, basa, keton, asam asetat, dan
kloroform (Araújo dan Leon, 2001).
Curcumin secara alami terkandung dalam kunyit (C. domestica)
yang dijual secara komersil sebagai turmeric, serbuk berwarna kuning
jingga yang digunakan sebagai bumbu dapur atau pewarna makanan alami.
aktivitas air (water activity/ aw), ion mineral, dan komposisi dari medium.
Volume inokulum yang sama yang ditanamkan pada masing-masing
konsentrasi perlakuan belum tentu mengandung jumlah sel yang sama.
Jumlah bakteri yang lebih sedikit pada inokulum konsentrasi 1% dapat
menyebabkan pertumbuhan S. aureus pada konsentrasi 1% lebih sedikit
dibandingkan konsentrasi 2% sehingga persentase penghambatan pada
konsentrasi 1% terkesan lebih besar dibandingkan konsentrasi 2%.
Kedua faktor tersebut diatas diduga disebabkan tidak adanya standar
jangka waktu pencampuran atau homogenitas ketika pencampuran medium
maupun ketika melakukan homegenisasi larutan suspensi kuman dengan
menggunakan vortex mixer yang menyebabkan terjadinya perbedaan
homogenitas pada setiap perlakuan. Hal ini menyebabkan penurunan efek
penghambatan pada konsentrasi 1% dan 2%.
36
Hal menarik lain dari hasil penelitian ini adalah terdapatnya
peningkatan rerata persentase penghambatan yang sangat mencolok pada
perlakuan konsentrasi 2% ke 4%. Penyebab hal tersebut adalah perbedaan
konsentrasi yang mencolok pada kedua perlakuan tersebut, yakni dengan
selisih dua persen. Selisih dua persen antara perlakuan 4% dengan 6% tidak
menyebabkan perbedaan rerata persentase penghambatan yang mencolok
dikarenakan pada konsentrasi 4% rerata persentase sudah mendekati 100%,
yakni 98, 13% .
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian efek antimikroba minyak esensial kunyit
terhadap pertumbuhan isolat S. aureus dari penderita impetigo disimpulkan:
1. Minyak esensial kunyit mempunyai efek antimikroba dalam menghambat
pertumbuhan isolat S. aureus dari penderita impetigo secara in vitro.
2. MIC minyak esensial kunyit terhadap S. aureus dari isolat penderita
impetigo sebesar 6%.
37
B. Saran
1. Penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas minyak esensial kunyit
dibandingkan dengan obat standar.
2. Penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis toksik dan dosis terapi
minyak esensial kunyit khususnya secara topikal dalam mengobati
impetigo.
3. Penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dan mengisolasi senyawa terpene
tertentu yang mempunyai efek antimikroba.
DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal, B. B, Bhatt, I.D., Ichikawa, H.,Ahn, K.S., Sethi, G., Sandur, S.K., Natarajan, C., Seeram, N., and Shishodia, S. 2006. Curcumin — Biological and Medicinal Properties.( on-line). http://www.indsaff.com/10%20Curcumin%20biological.pdf. Diakses 20 Juni 2008.
Amagai, M., Matsuyoshi, N., Wang, Z. H., Andl, C, and Stanley, J. R. 2000. Toxin In Bullous Impetigo And Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein 1.Nature Medicine. 6(11): 1275-77.
Andrews, Jennifer M. 2006. Determination of Minimum Inhibitory Concentrations.(on-line). www. http://www.im.microbios.org. Diakses 22 Juni 2008.
Anonim. 2005. Staphylococcus aureus. (on-line). www.textbookofbacteriology.net/staph.html. Diakses 20 Juni 2008.
Anonim. 2003. All About Curcuma Domestica . (on-line). http://toiusd.multiply.com/journal/item/222/aLL_aBoUt_CuRCuMa_DoMeSTiCa_068114016. Diakses 5 Juni 2008.
Araújo, CAC, Leon, LL. 2001. Biological Activities of Curcuma longa L. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. 96(5): 723-28.
Bremer, P. J, Fletcher, G. C.,and Osborne, C. 2004. Staphylococcus aureus.http://www.crop.cri.nz/home/research/marine/pathogens/staphylococcus.pdf. Diakses 20 Juni 2008.
Brooks, G.F, Butel, J. S, Ornston. N, Jawetz. E, Melnick. J.L, Adelberg. E.A. Mikrobiologi Kedokteran. Terjemahan oleh Edi Nugroho, RF Maulany. 1996. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Chowdhury, J.U., Nandi, N.C., Bhuiyan, M.N.I., and Mobarok, M.H. 2008. Essential Oil Constituents of The Rhizomes of Two Types of Curcuma longa of Bangladesh. Bangladesh Journal Of Scientific And Industrial Research. 43(2): 259-66.
Cole, Charles And Gazewood, John. 2007. Diagnosis and Treatment of Impetigo. (on-line). http://www.aafp.org/afp/20070315/859.pdf. Diakses 22 Juni 2008.
Çıkrıkçı,S., Mozioglu, E., Yılmaz,H. 2008.Biological Activity of Curcuminoids Isolated from Curcuma longa. AGC publication. 2(1): 19-24.
Dahlan, Sopiyudin. 2006. Statistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Arkans.
De Jager, Prashanti. 2003. Turmeric: The Ayurvedic Spice of Life. (on-line). http://www.bioponic.com/pdfs/TurmericAyurveda.pdf. Diakses 5 Juni 2008.
Djuanda, A. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Fournier, B. and Philpott, J.D. 2005. Recognition of Staphylococcus aureus by the Innate Immune System. American Society for Microbiology. 18(3): 521-40.
Gallucci N., Casero C., Oliva M., Zygadlo J. and Demo M. 2006. Interaction Between Terpenes and Penicillin On Bacterial Strains Resistant To Beta-Lactam Antibiotics. IDECEFYN. 10: 30-32.
George, A. and Rubin ,G. . 2003. A Systematic Review And Meta-Analysis Of Treatments For Impetigo. British Journal of General Practice. 53: 480-87.
Goel, Shruti. 2008. Bioprotective Properties Of Turmeric An Investigation Of The Antioxidant And Antimicrobial Activities. Journal of Young Investigators. 18: 20-23.
Hanakawa, Y., Schechter, N.M., Lin, C., Garza, L., Li, H., Yamaguchi, T., Fudaba, Y., Nishifuji, K., Sugai, M., Amagai, M., and Stanley J. R. 2002. Molecular Mechanisms Of Blister Formation In Bullous Impetigo And Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. The Journal of Clinical Investigation. 110(1): 53-60.
Koning, S., van Belkum, A., Snijders, S., van Leeuwen, W., Verbrug, H., Nouwen J., Veld,M., van Suijlekom-Smit, L. W. A., van der Wouden, J. C., and Verduin, C. 2003. Severity of Nonbullous Staphylococcus aureus Impetigo in Children Is Associated with Strains Harboring Genetic Markers for Exfoliative Toxin B, Panton-Valentine Leukocidin, and the Multidrug Resistance Plasmid pSK41. Journal Of Clinical Microbiology. 41(7): 3017–21.
Kluytmans ,Jan, Van Belkum, Alex, and Verbrugh, H. 1997. Nasal Carriage of Staphylococcus aureus: Epidemiology,Underlying Mechanisms, and Associated Risks. American Society for Microbiology.10 (3) : 505-20.
Kurnia, Irma H. 2006. Efektivitas Virgin Coconut Oil Dengan Pembanding Amoxicilin Dalam Menghambat Pertumbuhan Isolat S. aureus Pada Penderita Impetigo. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 34 hal. (Tidak dipublikasikan).
Leela, N.K., Tava, A., Shafi P.M., John, S.P. 2002. Chemical Composition Of Essential Oils Of Turmeric (Curcuma longa L.). Acta Pharm. 52 : 137–41.
Lewis, Lisa S.2007. Impetigo. (on-line). www.emedicine.com. Diakses 30 Juni 2008.
Liang, G., Yang, S., Jiang, L., Zhao, Y., Shao,L., Xiao, J., Ye, F., Li, Y., and Li, X. 2007. Synthesis and Anti-bacterial Properties of Mono-carbonyl Analogues of Curcumin. Chem. Pharm. Bull. 56 (2): 569-78.
McSweeney-Ryan, Sarah and Sandel, Megan . 2003. Impetigo. (On-line). http://www.cha.state.md.us/edcp/pdf_factsheets/Impetigo.pdf. Diakses 20 Juni 2008.
Natta, L., Orapin, K., Krittika, N. and Pantip, B. 2008. Essential Oil From Five Zingiberaceae For Anti Food-Borne Bacteria. International Food Research Journal. 15:1-10.
Park, B-S., Kim, J-G., Kim, M-R., Lee, S-E., Takeoka, G.R., Oh, K-B., Kim, J-H. 2005. Curcuma longa L. Constituents Inhibit Sortase A and Staphylococcus
aureus Cell Adhesion to Fibronectin. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 53: 9005-09.
Sikkema, J., De Bont, J. A. M., and Poolman, B. 1995. Mechanisms of Membrane Toxicity of Hydrocarbons. Microbiological Reviews. 21: 201-222.
Singh, R., Chandra, R., Bose, M., and Luthra, P. M. 2002. Antibacterial Activity Of Curcuma Longa Rhizome Extract On Pathogenic Bacteria. Current Science. 83(6) : 737-40.
Soemarno.1999. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinik. Akademi Analisis Kesehatan Yogyakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Yogyakarta.
Stanley, J.R and Amagai, M. 2006. Pemphigus, Bullous Impetigo, and the Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. The New England Journal of Medicine. 355: 1800-10.
Trombetta, D., Castelli, F., Sarpietro, M, G,, Venut,V., Cristani, M., Daniele, C., Saija, A., Mazzanti, G., and Bisignano, G. 2005 . Mechanisms of Antibacterial Action of Three Monoterpenes. Antimicrobial Agents And Chemotherapy. 49: 2474-78.
Ultee, A., Kets, E. P. W., and Smid, E. J. 1999. Mechanisms of Action of Carvacrol on the Food-Borne Pathogen Bacillus cereus. American Society for Microbiology. 65 (10): 4606–10.
Ungphaiboon, S., Supavita, T., Singchangchai, P., Sungkarak, S., Rattanasuwan, P., and Itharat, A. 2005. Study On Antioxidant And Antimicrobial Activities Of Turmeric Clear Liquid Soap For Wound Treatment Of HIV Patients. Songklanakarin J. Sci. Technol. 27(Suppl. 2) : 569-78.
Vaddi, H. K., Chi-Lui Ho, P., Chan,Y. W., and Chan, S. Y., 2003. Oxide Terpenes as Human Skin Penetration Enhancers of Haloperidol from Ethanol and Propylene Glycol and Their Modes of Action on Stratum Corneum. Biol. Pharm. Bull. 26(2): 220—228.
World Health Organization. 2002. WHO Traditional Medicine Strategy 2002–2005. (on-line). http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/. Diakses 5 Juni 2008.