TINJAUAN PUSTAKA Remaja Istilah remaja adolesence berasal dari kata adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1994). Masa remaja dimulai pada saat anak perempuan mengalami menstruasi yang pertama atau menarche, sedangkan pada anak laki-laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Waktu terjadi proses kematangan seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini dipengaruhi oleh asupan zat gizi pada saat anak-anak. Kematangan seksual di negara miskin berjalan lebih lama dibandingkan di negara yang lebih maju. Hal ini dipengaruhi oleh status sosial ekonomi di masing-masing negara (Arisman 2004). Batasan usia remaja sangat beragam. Tidak satupun angka yang pasti dapat memberikan tanda bahwa individu sedang berada pada masa remaja. Beberapa ahli memberikan batasan usia remaja yang berbeda-beda. Monks et al. (1982) mengemukakan suatu analisa yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja yang secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagiannya: 1) 12-15 tahun termasuk masa remaja awal, 2) 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan, dan 3) 18-21 tahun termasuk remaja akhir. Banyak para ahli mengemukakan berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja. Dari berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja, disimpulkan bahwa secara teoritis dan empiris, rentang usia remaja berada dalam usia 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Jika dibedakan atas remaja awal dan akhir, maka remaja awal berada pada usia 12 atau 13 tahun sampai 17 atau 18 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 17 atau 18 tahun hingga usia 21 atau 22 tahun (Panuju & Umami 1999). Pada masa ini terjadi keunikan pertumbuhan dan perkembangan karakteristiknya yaitu sebagai berikut (Husaini & Husaini 1989): 1. Pertumbuhan fisik yang sangat cepat (adolescent growth spurt). 2. Pertumbuhan dan perkembangan pada remaja putri terjadi lebih awal, yaitu pada usia 11-13 tahun, sehingga pada usia 13-14 tahun remaja putri terlihat lebih tinggi dan besar. 3. Pertumbuhan remaja putra dan putri berbeda dalam besar dan susunan tubuh sehingga kebutuhan gizinya pun berbeda.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja
Istilah remaja adolesence berasal dari kata adolescere yang berarti
“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1994). Masa remaja dimulai
pada saat anak perempuan mengalami menstruasi yang pertama atau menarche,
sedangkan pada anak laki-laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Waktu
terjadi proses kematangan seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini
dipengaruhi oleh asupan zat gizi pada saat anak-anak. Kematangan seksual di
negara miskin berjalan lebih lama dibandingkan di negara yang lebih maju. Hal
ini dipengaruhi oleh status sosial ekonomi di masing-masing negara (Arisman
2004).
Batasan usia remaja sangat beragam. Tidak satupun angka yang pasti
dapat memberikan tanda bahwa individu sedang berada pada masa remaja.
Beberapa ahli memberikan batasan usia remaja yang berbeda-beda. Monks et al.
(1982) mengemukakan suatu analisa yang cermat mengenai semua aspek
perkembangan dalam masa remaja yang secara global berlangsung antara umur
12-21 tahun, dengan pembagiannya: 1) 12-15 tahun termasuk masa remaja awal,
2) 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan, dan 3) 18-21 tahun
termasuk remaja akhir.
Banyak para ahli mengemukakan berbagai pendapat mengenai batasan
usia remaja. Dari berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja, disimpulkan
bahwa secara teoritis dan empiris, rentang usia remaja berada dalam usia 12-21
tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Jika dibedakan atas remaja awal
dan akhir, maka remaja awal berada pada usia 12 atau 13 tahun sampai 17 atau
18 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 17 atau 18 tahun hingga usia 21
atau 22 tahun (Panuju & Umami 1999).
Pada masa ini terjadi keunikan pertumbuhan dan perkembangan
karakteristiknya yaitu sebagai berikut (Husaini & Husaini 1989):
1. Pertumbuhan fisik yang sangat cepat (adolescent growth spurt).
2. Pertumbuhan dan perkembangan pada remaja putri terjadi lebih awal, yaitu
pada usia 11-13 tahun, sehingga pada usia 13-14 tahun remaja putri terlihat
lebih tinggi dan besar.
3. Pertumbuhan remaja putra dan putri berbeda dalam besar dan susunan
tubuh sehingga kebutuhan gizinya pun berbeda.
6
4. Pertumbuhan fisik dan pematangan fungsi-fungsi tubuh adalah proses akhir
dari masa remaja. Keadaan ini menentukan pada waktu dewasa seperti
bertambah pendek atau tinggi, lamban atau energik, ulet atau pasrah.
5. Terjadi perubahan hormon seks.
Remaja merupakan kelompok usia yang sedang berada dalam fase
pertumbuhan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar
jumlahnya. Pada remaja laki-laki kegiatan jasmaniah sangat meningkat, karena
pada masa inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya seperti atletik,
mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan sebagainya. Bila konsumsi berbagai
sumber zat gizi tidak ditingkatkan, mungkin terjadi defisiensi terutama defisiensi
vitamin-vitamin. Defisiensi sumber energi akan menyebabkan kelompok remaja
langsing bahkan kurus (Sediaoetama 2000).
Tidak sedikit survei yang mencatat ketidakcukupan asupan zat gizi para
remaja. Mereka bukan hanya melewatkan waktu makan (terutama sarapan)
dengan alasan sibuk, tetapi juga terlihat sangat senang mengkonsumsi junk food
(Johnson et al. 1994 dalam Arisman 2004). Disamping itu, kekhawatiran menjadi
gemuk telah memaksa mereka untuk mengurangi jumlah pangan yang
seharusnya dikonsumsi (Brownel et al. 1994 dalam Arisman 2004). Diet tersebut
disusun berdasarkan pengaruh teman-teman sebaya, bukan hasil konsultasi
dengan para ahli di bidangnya. Beberapa remaja cenderung menabukan jenis
makanan tertentu. Sikap ini terbentuk karena sifat remaja yang sering mencoba
hal baru (Arisman 2004).
Pola Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan diartikan sebagai cara seseorang atau
sekelompok orang dalam memilih dan mengkonsumsi pangan sebagai
tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologi, budaya dan sosial serta
ekonomi. Pola konsumsi dinamakan pula kebiasaan makan, kebiasaan pangan
atau pola pangan. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi cara makan dan
kebiasaan pangan individu, tiga faktor yang terpenting adalah ketersediaan
pangan, pola sosial budaya dan faktor pribadi (Riyadi 2006).
Wulandari (2000) menyatakan konsumsi pangan secara garis besar
adalah kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok
orang dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal atau beragam. Ada tiga hal
yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kuantitas dan ragam pangan yang
tersedia dan diproduksi, pendapatan, dan tingkat pengetahuan gizi. Menurut
7
Sanjur (1982) konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan
sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat
maupun keluarga.
Khomsan dan Sulaeman (1996) menyatakan pangan mempunyai fungsi
yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pangan merupakan kebutuhan
dasar manusia yang terpenting dalam peningkatan kualitas fisik, mental dan
kecerdasan. Disamping untuk menghilangkan rasa lapar, fungsi utama dari
makanan adalah sebagai sumber kehidupan. Yaitu sebagai sumber zat gizi untuk
memenuhi kebutuhan tubuh akan energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin,
mineral, air dan sebagainya sehingga kita mampu melaksanakan segala aktivitas
kehidupan dengan sehat dan kuat. Fungsi lainnya dari makanan adalah sebagai
sumber kenikmatan karena makanan memberikan cita rasa yang enak dan
menyenangkan.
Manusia makan untuk hidup dan bukan sebaliknya hidup untuk makan
maka berdasar fungsi makanan untuk kehidupan ini, apa yang dimakan oleh
seseorang haruslah dapat menjamin bahwa makanan tersebut dapat memenuhi
kebutuhan zat gizinya, tidak menimbulkan gejala kesakitan dan kejiwaan (aman)
dan tentunya harus dapat memenuhi selera (Khomsan & Sulaeman 1996).
Sediaoetama (2000) menyatakan bahwa konsumsi makanan adalah faktor yang
berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang. Konsumsi makanan
yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan
menyebabkan masalah gizi.
Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan
dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan seperti tata krama,
frekuensi makan, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makan,
distribusi makan antar anggota keluarga. Kebiasaan makan adalah suatu
perilaku yang berhubungan dengan makan seseorang, pola makanan atau
susunan hidangan yang dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota
keluarga (Suhardjo 1989).
Kebiasaan makan remaja sangat khas dan berbeda jika dibandingkan
dengan usia lainnya, kebiasaan makan mereka seperti 1) tidak makan, terutama
makan pagi atau sarapan, 2) kegemaran makan snack dan kembang gula, 3)
mereka cenderung memilih-milih makanan, ada makanan yang disukai dan ada
makanan yang tidak disukai. Jenis makanan tersebut berbeda untuk tiap budaya
8
dan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, remaja terutama putri biasanya
percaya bahwa mereka dapat mengontrol berat badannya dengan cara tidak
makan pagi atau siang (Robert & Williams 1996 dalam Waluya 2007).
Kebiasaan makan anak remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain teman sebaya, keadaan emosional, pelaksanaan diet, penurunan berat
badan, lingkungan termasuk snack dan fast food, dan pengetahuan gizi remaja
(Burton et al. 1988). Ketidakcukupan makan pada remaja usia sekolah
disebabkan karena 1) asupan yang lebih rendah dari yang dianjurkan, seperti
meninggalkan salah satu waktu makan misalnya sarapan, 2) makan siang yang
tidak mencukupi karena makan di luar rumah, 3) pemilihan makanan,
membiarkan anak memilih makanan tanpa petunjuk orang dewasa, 4) kurang
mengkonsumsi daging, sayur, telur, buah dan 5) pengeluaran uang jajan untuk
makanan rendah kalori (Burton et al. 1988).
Pada masa ini, remaja mulai memilih makanan yang disukai dan tidak
disukai. Pemilihan makanan remaja biasanya tidak didasarkan pada kandungan
gizinya, melainkan didasarkan pada kesenangan dan kegiatan sosialisasi agar
tidak kehilangan status. Aktivitas remaja banyak dilakukan di luar rumah dan
sangat dipengaruhi oleh rekan sebayanya. Hal tersebut terkadang membuat
mereka tidak lagi makan bersama keluarga di rumah (Khomsan 2002).
Truswell (1999) dalam Kusumaningsih (2007) menjelaskan sepuluh hal
yang terkait dengan kebiasaan makan pada remaja, yaitu:
1. Meninggalkan makan lengkap, terutama sarapan.
2. Mengemil, biasanya dilakukan pada sore hari atau setelah pulang sekolah
dan umumnya snack yang dikonsumsi rendah kalori.
3. Mulai mengkonsumsi fast food. Remaja umumnya tidak memilih makanan
yang seimbang dari yang ditawarkan dan disediakan serta tidak tersedia
informasi yang cukup tentang komposisi gizi dari fast food.
4. Makanan yang tidak konvensional, yang dimakan dalam bentuk kombinasi
dimana anggota keluarga yang lain tidak terlalu membutuhkannya, namun
sering ditambahkan untuk mencukupi kebutuhan zat gizi.
5. Mulai mengkonsumsi alkohol. Konsumsi alkohol adalah hal yang paling
berbahaya dari kebiasaan makan remaja yang baru. Alkohol dihubungkan
dengan kecelakaan yang menjadi penyebab kematian tertinggi pada usia 15-
24 tahun.
9
6. Soft drink, jenis minuman ini rendah kalori dan dapat menghambat
penyerapan kalsium di dalam tubuh.
7. Kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu makanan. Kesukaan terhadap
makanan dipengaruhi oleh budaya dan berbeda antara laki-laki dan
perempuan.
8. Asupan energi yang tinggi, banyak remaja melewati masa ini dengan makan
yang lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa, kadang-kadang
mencapai 4000 kal.
9. Kekurangan zat gizi tertentu, seperti besi dan kalsium. Menurut beberapa
penelitian kekurangan vitamin A, vitamin C, zink dan besi umumnya terjadi
pada remaja perempuan yang mengalami menstruasi, dan membatasi
asupan makanan mereka.
10. Diet pada remaja.
Kebiasaan makan dapat berubah karena pendidikan dan pengetahuan
tentang gizi dan kesehatan, serta aktivitas perdagangan makanan. Selain itu,
tingkat pendapatan juga merupakan salah satu faktor utama dalam
mempengaruhi kebiasaan makan, dimana secara signifikan, dengan
meningkatnya pendidikan, konsumsi makan mahal akan dibeli dan dikonsumsi
lebih banyak. Terkait dengan pendapatan, jumlah anggota keluarga juga
berpengaruh secara tidak langsung terhadap kebiasaan makan seseorang,
karena jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap pendapatan
perkapita yang akan menentukan kemampuan pembelian makan (Hartog et al.
dalam Waluya 2007)
Penilaian Konsumsi Makanan
Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai cara untuk mengukur
keadaan konsumsi pangan yang kadang-kadang merupakan salah satu cara
yang digunakan untuk menilai status gizi. Penilaian konsumsi pangan dilakukan
dengan cara survei (Suhardjo et al. 1980). Survei diet atau penilaian konsumsi
makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi
perorangan atau kelompok (Supariasa et al. 2001)
Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi
makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan
kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi
makan. Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali
informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh
10
bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui
jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi
dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar
lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar
Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (Supariasa et
al. 2001).
Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang
bersifat kuantitatif adalah metode recall 24 jam. Prinsip dari metode recall 24 jam,
dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi
pada periode 24 jam yang lalu. Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-
ulang dan harinya tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali
(1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk
menggambarkan kebiasaan makan individu (Supariasa et al. 2001). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut,
dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan
variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur 1997 dalam
Supariasa et al. 2001).
Penentuan jumlah hari recall sangat ditentukan oleh keragaman jenis
konsumsi antar waktu, antar tipe responden dalam memperoleh pangan. Metode
recall membutuhkan biaya yang sangat murah dan tidak memakan waktu yang
banyak. Kekurangannya adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena
mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang dan tergantung dari keahlian
tenaga pencatatan dalam mengkonversi URT ke dalam satuan berat serta
adanya variasi URT antar daerah, dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran