Top Banner
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Istilah remaja adolesence berasal dari kata adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1994). Masa remaja dimulai pada saat anak perempuan mengalami menstruasi yang pertama atau menarche, sedangkan pada anak laki-laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Waktu terjadi proses kematangan seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini dipengaruhi oleh asupan zat gizi pada saat anak-anak. Kematangan seksual di negara miskin berjalan lebih lama dibandingkan di negara yang lebih maju. Hal ini dipengaruhi oleh status sosial ekonomi di masing-masing negara (Arisman 2004). Batasan usia remaja sangat beragam. Tidak satupun angka yang pasti dapat memberikan tanda bahwa individu sedang berada pada masa remaja. Beberapa ahli memberikan batasan usia remaja yang berbeda-beda. Monks et al. (1982) mengemukakan suatu analisa yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja yang secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagiannya: 1) 12-15 tahun termasuk masa remaja awal, 2) 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan, dan 3) 18-21 tahun termasuk remaja akhir. Banyak para ahli mengemukakan berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja. Dari berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja, disimpulkan bahwa secara teoritis dan empiris, rentang usia remaja berada dalam usia 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Jika dibedakan atas remaja awal dan akhir, maka remaja awal berada pada usia 12 atau 13 tahun sampai 17 atau 18 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 17 atau 18 tahun hingga usia 21 atau 22 tahun (Panuju & Umami 1999). Pada masa ini terjadi keunikan pertumbuhan dan perkembangan karakteristiknya yaitu sebagai berikut (Husaini & Husaini 1989): 1. Pertumbuhan fisik yang sangat cepat (adolescent growth spurt). 2. Pertumbuhan dan perkembangan pada remaja putri terjadi lebih awal, yaitu pada usia 11-13 tahun, sehingga pada usia 13-14 tahun remaja putri terlihat lebih tinggi dan besar. 3. Pertumbuhan remaja putra dan putri berbeda dalam besar dan susunan tubuh sehingga kebutuhan gizinya pun berbeda.
13

aKE dan AKP

Jan 21, 2016

Download

Documents

Misty Olida

akp
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: aKE dan AKP

5

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Istilah remaja adolesence berasal dari kata adolescere yang berarti

“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1994). Masa remaja dimulai

pada saat anak perempuan mengalami menstruasi yang pertama atau menarche,

sedangkan pada anak laki-laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Waktu

terjadi proses kematangan seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini

dipengaruhi oleh asupan zat gizi pada saat anak-anak. Kematangan seksual di

negara miskin berjalan lebih lama dibandingkan di negara yang lebih maju. Hal

ini dipengaruhi oleh status sosial ekonomi di masing-masing negara (Arisman

2004).

Batasan usia remaja sangat beragam. Tidak satupun angka yang pasti

dapat memberikan tanda bahwa individu sedang berada pada masa remaja.

Beberapa ahli memberikan batasan usia remaja yang berbeda-beda. Monks et al.

(1982) mengemukakan suatu analisa yang cermat mengenai semua aspek

perkembangan dalam masa remaja yang secara global berlangsung antara umur

12-21 tahun, dengan pembagiannya: 1) 12-15 tahun termasuk masa remaja awal,

2) 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan, dan 3) 18-21 tahun

termasuk remaja akhir.

Banyak para ahli mengemukakan berbagai pendapat mengenai batasan

usia remaja. Dari berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja, disimpulkan

bahwa secara teoritis dan empiris, rentang usia remaja berada dalam usia 12-21

tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Jika dibedakan atas remaja awal

dan akhir, maka remaja awal berada pada usia 12 atau 13 tahun sampai 17 atau

18 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 17 atau 18 tahun hingga usia 21

atau 22 tahun (Panuju & Umami 1999).

Pada masa ini terjadi keunikan pertumbuhan dan perkembangan

karakteristiknya yaitu sebagai berikut (Husaini & Husaini 1989):

1. Pertumbuhan fisik yang sangat cepat (adolescent growth spurt).

2. Pertumbuhan dan perkembangan pada remaja putri terjadi lebih awal, yaitu

pada usia 11-13 tahun, sehingga pada usia 13-14 tahun remaja putri terlihat

lebih tinggi dan besar.

3. Pertumbuhan remaja putra dan putri berbeda dalam besar dan susunan

tubuh sehingga kebutuhan gizinya pun berbeda.

Page 2: aKE dan AKP

6

4. Pertumbuhan fisik dan pematangan fungsi-fungsi tubuh adalah proses akhir

dari masa remaja. Keadaan ini menentukan pada waktu dewasa seperti

bertambah pendek atau tinggi, lamban atau energik, ulet atau pasrah.

5. Terjadi perubahan hormon seks.

Remaja merupakan kelompok usia yang sedang berada dalam fase

pertumbuhan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar

jumlahnya. Pada remaja laki-laki kegiatan jasmaniah sangat meningkat, karena

pada masa inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya seperti atletik,

mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan sebagainya. Bila konsumsi berbagai

sumber zat gizi tidak ditingkatkan, mungkin terjadi defisiensi terutama defisiensi

vitamin-vitamin. Defisiensi sumber energi akan menyebabkan kelompok remaja

langsing bahkan kurus (Sediaoetama 2000).

Tidak sedikit survei yang mencatat ketidakcukupan asupan zat gizi para

remaja. Mereka bukan hanya melewatkan waktu makan (terutama sarapan)

dengan alasan sibuk, tetapi juga terlihat sangat senang mengkonsumsi junk food

(Johnson et al. 1994 dalam Arisman 2004). Disamping itu, kekhawatiran menjadi

gemuk telah memaksa mereka untuk mengurangi jumlah pangan yang

seharusnya dikonsumsi (Brownel et al. 1994 dalam Arisman 2004). Diet tersebut

disusun berdasarkan pengaruh teman-teman sebaya, bukan hasil konsultasi

dengan para ahli di bidangnya. Beberapa remaja cenderung menabukan jenis

makanan tertentu. Sikap ini terbentuk karena sifat remaja yang sering mencoba

hal baru (Arisman 2004).

Pola Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan diartikan sebagai cara seseorang atau

sekelompok orang dalam memilih dan mengkonsumsi pangan sebagai

tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologi, budaya dan sosial serta

ekonomi. Pola konsumsi dinamakan pula kebiasaan makan, kebiasaan pangan

atau pola pangan. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi cara makan dan

kebiasaan pangan individu, tiga faktor yang terpenting adalah ketersediaan

pangan, pola sosial budaya dan faktor pribadi (Riyadi 2006).

Wulandari (2000) menyatakan konsumsi pangan secara garis besar

adalah kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok

orang dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal atau beragam. Ada tiga hal

yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kuantitas dan ragam pangan yang

tersedia dan diproduksi, pendapatan, dan tingkat pengetahuan gizi. Menurut

Page 3: aKE dan AKP

7

Sanjur (1982) konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan

sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat

maupun keluarga.

Khomsan dan Sulaeman (1996) menyatakan pangan mempunyai fungsi

yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pangan merupakan kebutuhan

dasar manusia yang terpenting dalam peningkatan kualitas fisik, mental dan

kecerdasan. Disamping untuk menghilangkan rasa lapar, fungsi utama dari

makanan adalah sebagai sumber kehidupan. Yaitu sebagai sumber zat gizi untuk

memenuhi kebutuhan tubuh akan energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin,

mineral, air dan sebagainya sehingga kita mampu melaksanakan segala aktivitas

kehidupan dengan sehat dan kuat. Fungsi lainnya dari makanan adalah sebagai

sumber kenikmatan karena makanan memberikan cita rasa yang enak dan

menyenangkan.

Manusia makan untuk hidup dan bukan sebaliknya hidup untuk makan

maka berdasar fungsi makanan untuk kehidupan ini, apa yang dimakan oleh

seseorang haruslah dapat menjamin bahwa makanan tersebut dapat memenuhi

kebutuhan zat gizinya, tidak menimbulkan gejala kesakitan dan kejiwaan (aman)

dan tentunya harus dapat memenuhi selera (Khomsan & Sulaeman 1996).

Sediaoetama (2000) menyatakan bahwa konsumsi makanan adalah faktor yang

berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang. Konsumsi makanan

yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan

menyebabkan masalah gizi.

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan

dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan seperti tata krama,

frekuensi makan, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makan,

distribusi makan antar anggota keluarga. Kebiasaan makan adalah suatu

perilaku yang berhubungan dengan makan seseorang, pola makanan atau

susunan hidangan yang dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota

keluarga (Suhardjo 1989).

Kebiasaan makan remaja sangat khas dan berbeda jika dibandingkan

dengan usia lainnya, kebiasaan makan mereka seperti 1) tidak makan, terutama

makan pagi atau sarapan, 2) kegemaran makan snack dan kembang gula, 3)

mereka cenderung memilih-milih makanan, ada makanan yang disukai dan ada

makanan yang tidak disukai. Jenis makanan tersebut berbeda untuk tiap budaya

Page 4: aKE dan AKP

8

dan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, remaja terutama putri biasanya

percaya bahwa mereka dapat mengontrol berat badannya dengan cara tidak

makan pagi atau siang (Robert & Williams 1996 dalam Waluya 2007).

Kebiasaan makan anak remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara

lain teman sebaya, keadaan emosional, pelaksanaan diet, penurunan berat

badan, lingkungan termasuk snack dan fast food, dan pengetahuan gizi remaja

(Burton et al. 1988). Ketidakcukupan makan pada remaja usia sekolah

disebabkan karena 1) asupan yang lebih rendah dari yang dianjurkan, seperti

meninggalkan salah satu waktu makan misalnya sarapan, 2) makan siang yang

tidak mencukupi karena makan di luar rumah, 3) pemilihan makanan,

membiarkan anak memilih makanan tanpa petunjuk orang dewasa, 4) kurang

mengkonsumsi daging, sayur, telur, buah dan 5) pengeluaran uang jajan untuk

makanan rendah kalori (Burton et al. 1988).

Pada masa ini, remaja mulai memilih makanan yang disukai dan tidak

disukai. Pemilihan makanan remaja biasanya tidak didasarkan pada kandungan

gizinya, melainkan didasarkan pada kesenangan dan kegiatan sosialisasi agar

tidak kehilangan status. Aktivitas remaja banyak dilakukan di luar rumah dan

sangat dipengaruhi oleh rekan sebayanya. Hal tersebut terkadang membuat

mereka tidak lagi makan bersama keluarga di rumah (Khomsan 2002).

Truswell (1999) dalam Kusumaningsih (2007) menjelaskan sepuluh hal

yang terkait dengan kebiasaan makan pada remaja, yaitu:

1. Meninggalkan makan lengkap, terutama sarapan.

2. Mengemil, biasanya dilakukan pada sore hari atau setelah pulang sekolah

dan umumnya snack yang dikonsumsi rendah kalori.

3. Mulai mengkonsumsi fast food. Remaja umumnya tidak memilih makanan

yang seimbang dari yang ditawarkan dan disediakan serta tidak tersedia

informasi yang cukup tentang komposisi gizi dari fast food.

4. Makanan yang tidak konvensional, yang dimakan dalam bentuk kombinasi

dimana anggota keluarga yang lain tidak terlalu membutuhkannya, namun

sering ditambahkan untuk mencukupi kebutuhan zat gizi.

5. Mulai mengkonsumsi alkohol. Konsumsi alkohol adalah hal yang paling

berbahaya dari kebiasaan makan remaja yang baru. Alkohol dihubungkan

dengan kecelakaan yang menjadi penyebab kematian tertinggi pada usia 15-

24 tahun.

Page 5: aKE dan AKP

9

6. Soft drink, jenis minuman ini rendah kalori dan dapat menghambat

penyerapan kalsium di dalam tubuh.

7. Kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu makanan. Kesukaan terhadap

makanan dipengaruhi oleh budaya dan berbeda antara laki-laki dan

perempuan.

8. Asupan energi yang tinggi, banyak remaja melewati masa ini dengan makan

yang lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa, kadang-kadang

mencapai 4000 kal.

9. Kekurangan zat gizi tertentu, seperti besi dan kalsium. Menurut beberapa

penelitian kekurangan vitamin A, vitamin C, zink dan besi umumnya terjadi

pada remaja perempuan yang mengalami menstruasi, dan membatasi

asupan makanan mereka.

10. Diet pada remaja.

Kebiasaan makan dapat berubah karena pendidikan dan pengetahuan

tentang gizi dan kesehatan, serta aktivitas perdagangan makanan. Selain itu,

tingkat pendapatan juga merupakan salah satu faktor utama dalam

mempengaruhi kebiasaan makan, dimana secara signifikan, dengan

meningkatnya pendidikan, konsumsi makan mahal akan dibeli dan dikonsumsi

lebih banyak. Terkait dengan pendapatan, jumlah anggota keluarga juga

berpengaruh secara tidak langsung terhadap kebiasaan makan seseorang,

karena jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap pendapatan

perkapita yang akan menentukan kemampuan pembelian makan (Hartog et al.

dalam Waluya 2007)

Penilaian Konsumsi Makanan

Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai cara untuk mengukur

keadaan konsumsi pangan yang kadang-kadang merupakan salah satu cara

yang digunakan untuk menilai status gizi. Penilaian konsumsi pangan dilakukan

dengan cara survei (Suhardjo et al. 1980). Survei diet atau penilaian konsumsi

makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi

perorangan atau kelompok (Supariasa et al. 2001)

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi

makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan

kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi

makan. Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali

informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh

Page 6: aKE dan AKP

10

bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui

jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi

dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar

lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar

Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (Supariasa et

al. 2001).

Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang

bersifat kuantitatif adalah metode recall 24 jam. Prinsip dari metode recall 24 jam,

dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi

pada periode 24 jam yang lalu. Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-

ulang dan harinya tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali

(1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk

menggambarkan kebiasaan makan individu (Supariasa et al. 2001). Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut,

dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan

variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur 1997 dalam

Supariasa et al. 2001).

Penentuan jumlah hari recall sangat ditentukan oleh keragaman jenis

konsumsi antar waktu, antar tipe responden dalam memperoleh pangan. Metode

recall membutuhkan biaya yang sangat murah dan tidak memakan waktu yang

banyak. Kekurangannya adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena

mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang dan tergantung dari keahlian

tenaga pencatatan dalam mengkonversi URT ke dalam satuan berat serta

adanya variasi URT antar daerah, dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran

antar responden (besar, sedang, kecil, dll) (Kusharto & Sadiyyah 2006).

Selain recall terdapat metode food frequency, metode ini digunakan untuk

memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau

makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, dan bulan. Frekuensi

pangan digunakan untuk menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok

pangan tertentu (Supariasa et al. 2001). Selain itu, dengan metode ini dapat

diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena

periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu

berdasarkan rengking konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan

dalam penelitian epidemiologi gizi. Kuesionernya mempunyai dua komponen

utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan. Frekuensi

Page 7: aKE dan AKP

11

konsumsi pangan dikelompokkan menjadi empat yaitu sering (≥5 kali/minggu),

kadang-kadang (3-4 kali/minggu), jarang (1-2 kali/minggu) dan tidak pernah (0

kali/minggu).

Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang

disebut “adolescence growth spurt”, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang

relatif besar jumlahnya. Pada remaja laki-laki kegiatan jasmaniah sangat

meningkat, karena biasanya pada umur inilah perhatian untuk olahraga sedang

tinggi-tingginya, seperti atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan

sebagainya. Remaja putri sangat mementingkan bentuk badannya, sehingga

banyak yang berdiit tanpa nasihat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan

gizi (Sediaoetama 2000).

Gaya hidup dan kebiasaan makan cenderung berubah ketika masa

remaja, hal ini sangat mempengaruhi asupan zat gizi (Ricket 1996). Berbagai

alasan yang telah dikemukakan di atas menuntut agar kebutuhan zat gizi remaja

dapat tercukupi dengan baik. Kebutuhan zat gizi remaja secara rinci dapat dilihat

pada tabel berikut ini.

Tabel 1 Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja dan dewasa awal

Zat Gizi Perempuan (tahun) Laki-laki (tahun)

13-15 16-18 19-29 13-15 16-18 19-29

Energi (Kal) 2350 2200 1900 2400 2600 2550

Protein (g) 57 55 50 60 65 60

Kalsium (mg) 1000 1000 800 1000 1000 800

Besi (mg) 26 26 26 19 15 13

Vit A (RE) 600 600 500 600 600 600

Vit E (mg) 15 15 15 15 15 15

Vit B1 (mg) 1,1 1,1 1,0 1,2 1,3 1,3

Vit C (mg) 65 75 75 75 90 90

Folat (mg) 400 400 400 400 400 400

Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI (2004)

Pangan Hewani

Bahan makanan hewani adalah bahan makanan yang berupa atau

berasal dari hewan atau produk-produk yang diolah dengan menggunakan

bahan dasar asal hewan. Pangan hewani mempunyai berbagai keunggulan

dibanding pangan nabati. Pertama, pangan hewani terasa gurih atau enak

karena mengandung protein dan lemak yang banyak. Kedua, pangan hewani

mengandung protein yang lebih berkualitas karena mudah digunakan tubuh dan

memiliki komposisi asam amino yang lengkap. Ketiga, pangan hewani

mengandung berbagai zat gizi mineral yang tinggi dan mudah digunakan oleh

Page 8: aKE dan AKP

12

tubuh. Misalnya kalsium pada susu, zat besi, zink dan selenium yang banyak di

dalam daging, hati dan telur. Kalsium dan zink berperan dalam pertumbuhan

dan berbagai proses dalam tubuh. Zat besi bersama zat gizi lainnya berperan

dalam pembentukan sel-sel darah merah hemoglobin. Hemoglobin berguna

untuk membawa oksigen ke seluruh bagian tubuh. Bila kadar hemoglobin rendah

(anemia) maka tubuh kekurangan oksigen, badan menjadi lemah, konsentrasi

belajar dan stamina atau produktivitas kerja menjadi menurun.

Keempat, pangan hewani mengandung zat gizi vitamin yang unik.

Misalnya vitamin A dalam hati dan kuning telur yang mudah digunakan tubuh.

Kemudian vitamin B12 yang tidak terdapat pada pangan nabati. Vitamin B12

yang kaya dalam pangan hewani berperan penting dalam pembentukan sel

darah merah yang menangkap oksigen bagi tubuh dan dalam pembentukan

myelin syaraf (Hardinsyah 2008).

Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam-asam amino yang

dikandungnya. Pola asam amino pada protein hewani merupakan yang terbaik

untuk memenuhi kebutuhan manusia karena polanya menyerupai pola

kebutuhan asam amino manusia. Oleh karena itu, apabila pangan hewani

digunakan sebagai sumber protein tunggal dalam jumlah memenuhi kebutuhan

manusia maka ia memberikan semua asam-asam amino esensial dalam jumlah

cukup. Kelebihan asam-asam amino esensial dapat digunakan untuk mensintesis

asam-asam amino nonesensial. Pangan sumber protein hewani adalah daging,

ayam, ikan, telur, susu, dan produk olahannya (Riyadi 2006).

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau

sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan

utilisasi (utilization) zat gizi makanan. Penilaian terhadap status gizi seseorang

atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang

tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Riyadi 2001). Supariasa et al.

(2001) menyatakan status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh

konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jagka

waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi

empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.

Status gizi seseorang atau sekelompok orang tidak selalu sama dari

masa ke masa karena merupakan interaksi dari berbagai faktor. Menurut Riyadi

Page 9: aKE dan AKP

13

(2001), faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah konsumsi

pangan dan status kesehatan.

Keadaan status gizi remaja pada umumnya dipengaruhi oleh pola

konsumsi makan. Kebanyakan dari mereka konsumsi zat gizinya rendah, hal ini

disebabkan oleh keterbatasan makanan atau membatasi sendiri makanannya

karena faktor ingin langsing (Karyadi 1995). Jika konsumsi makan seorang

remaja kurang dari angka kecukupan yang dianjurkan dan hal ini berangsur-

angsur lama, maka akan berpengaruh terhadap status gizi remaja.

Status gizi dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu melalui penilaian

konsumsi pangan, antropometri, biokimia, dan klinis. Setiap cara penilaian status

gizi tersebut melengkapi cara yang lainnya, dengan demikian membantu dalam

penyediaan indikator tambahan untuk mendukung penilaian yang lebih lengkap

(Riyadi 1995).

Antropometri sudah digunakan pada remaja dalam konteks yang

berhubungan dengan status gizi dan kesehatan. IMT direkomendasikan sebagai

dasar indikator antropometri untuk kekurusan (thinness) dan overweight pada

masa remaja. BB/U dianggap tidak informatif atau menyesatkan bila tidak ada

informasi tentang TB/U. Pendekatan konvesional terhadap kombinasi

penggunaan BB/U dan TB/U untuk menilai massa tubuh dianggap aneh dan

memberikan hasil yang bias. Data referensi BB/TB memiliki keuntungan karena

tidak memerlukan informasi tentang umur kronologis. Tetapi, hubungan BB/TB

berubah secara dramatis menurut umur dan menurut status kematangan seksual

selama remaja (Riyadi 2001).

Karena berbagai keterbatasan tersebut, IMT menurut umur (IMT/U)

direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini

memerlukan informasi tentang umur. Indikator ini juga sudah divalidasi sebagai

indikator lemak tubuh total pada persentil atas, dan indikator ini juga sejalan

dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa. Indeks

massa tubuh diukur dengan menggunakan rumus IMT=BB/TB2 (kg/m2).

Status gizi kelompok orang ditentukan melalui suatu perhitungan statistik

dengan menghitung angka nilai hasil penimbangan dibandingkan dengan angka

rata-rata atau median dan standar deviasi (SD) dari suatu angka acuan standar

WHO. Rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai Z-Skor adalah (Supariasa

et al. 2001) :

Z-Skor = Nilai Individu Subyek – Nilai Median Baku Rujukan Nilai Simpangan Baku Rujukan

Page 10: aKE dan AKP

14

Rumus di atas dapat digunakan untuk menghitung nilai Z-Skor dari suatu

nilai IMT/U. Nilai Z-Skor yang diperoleh kemudian dapat digunakan untuk

menentukan jenis status gizi anak umur di atas 5 tahun sampai 19 tahun.

Karakteristik Keluarga

Karakteristik Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan

atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun nonpangan selama satu tahun

terakhir. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung

lebih dominan daripada kebutuhan nonpangan. Sebaliknya, jika pendapatan

meningkat maka pengeluaran untuk nonpangan akan semakin besar, mengingat

kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000). Hal ini sesuai

dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan maka persentase

pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil.

Berbagai faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi pertumbuhan anak.

Faktor sosial ekonomi tersebut antara lain pendidikan, pekerjaan, teknologi,

budaya dan pendapatan keluarga. Faktor tersebut di atas akan berinteraksi satu

dengan yang lainnya sehingga dapat mempengaruhi masukan zat gizi dan

infeksi pada anak (Supariasa et al. 2001).

Besar Keluarga. Menurut Berg (1986) besar keluarga mempunyai

pengaruh pada konsumsi pangan, jumlah anak yang menderita kelaparan pada

keluarga besar empat kali lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil.

Pada keluarga dengan keadaan ekonomi kurang, jumlah anak yang banyak akan

mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga

kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan perumahan pun tidak terpenuhi.

Besar kecilnya anggota keluarga dapat mempengaruhi pemenuhan gizi

anggota keluarga terutama keluarga miskin. Semakin besar anggota keluarga

maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi akan semakin meningkat,

sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan pangan keluarga akan tinggi

(Lumenta 1987).

Pendidikan Orang tua. Keadaan gizi seorang anak banyak ditentukan

oleh perilaku pengasuhannya. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila

pendidikan dan pengetahuan dalam bidang gizi yang dimiliki orang tua baik maka

keadaan gizi anak juga baik (Riyadi 2006). Tingkat pendidikan baik secara

langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar

anggota keluarga, karena pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola pikir,

Page 11: aKE dan AKP

15

dan kerangka pikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian yang nantinya

merupakan bekal dalam berkomunikasi.

Pendidikan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar untuk

mendapatkan pekerjaan yang baik (Gunarsa & Gunarsa 1995). Suhardjo et al.

(1988) menyatakan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh maka

kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik juga semakin besar

sehingga akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh seseorang.

Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin luas

wawasan berpikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Hal

tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi

(Soewondo & Sadi 1990). Latar belakang pendidikan ibu berpengaruh terhadap

perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal konsumsi

pangan keluarga sehari-hari. Tingkat pendidikan ibu juga menentukan aksesnya

kepada pengasuhan yang tepat dan akses ke sarana kesehatan (Engle et al.

1997). Menurut Nurmawati (1995) orang yang berpendidikan tinggi cenderung

memilih pangan yang lebih baik, dalam jumlah dan mutu dibandingkan yang

berpendidikan lebih rendah.

Pendapatan Keluarga. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang

paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi.

Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan keadaan

status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan

menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini

akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al.

1990).

Faktor pendapatan mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan

kebiasaan makan masyarakat. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat

dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut. Pendapatan keluarga

akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan keluarga. Tingkat pendapatan

yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar dalam memilih makanan

yang baik dalam jumlah dan jenis (Suhardjo 1989). Jenis pekerjaan yang dimiliki

seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas makanan karena

jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima.

Menurut Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan

berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya.

Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan

Page 12: aKE dan AKP

16

pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan

pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang

harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya

pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya

perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan

dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat

berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis

yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti

mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging.

Menurut Winarno (1993), tingkat ekonomi (pendapatan) yang rendah

dapat mempengaruhi pola makan. Pada tingkat pendapatan yang rendah,

sebagian besar pengeluaran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan

dengan berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal ini disebabkan makanan

yang mengandung banyak karbohidrat lebih murah dibandingkan dengan

makanan sumber zat besi, sehingga kebutuhan zat besi akan sulit terpenuhi, dan

dapat berdampak pada terjadinya anemia gizi besi.

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan

dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk

dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan

yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup

sehat (Notoatmodjo 1993).

Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan

kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang

dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al. 1985).

Pengetahuan gizi menjadi andalan yang menentukan konsumsi pangan. Individu

yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk

menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan,

sehingga konsumsi pangan mencukupi kebutuhan (Nasoetion & Khomsan 1995).

Amelia (2008) menyatakan bahwa pengetahuan gizi merupakan

landasan penting untuk terjadi perubahan sikap dan perilaku gizi. Perilaku yang

didasari pengetahuan akan bertahan lebih lama, oleh sebab itu penting bagi

remaja untuk memperoleh bekal pengetahuan gizi dari berbagai sumber seperti

sekolah, media cetak, maupun media elektronik. Tingkat pengetahuan gizi

seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan

Page 13: aKE dan AKP

17

yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang

bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan

semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati et al. 1992).

Pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan yaitu 1)

status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, 2)

setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu

menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal,

pemeliharaan dan energi dan 3) ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu

sehingga penduduknya dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi

kesejahteraan gizi (Harper et al. 1986)