Top Banner
akal dan wahyu dalam pandangan ibnu rushd dan ibn taymiyyah Dalam sejarah pemikiran Islam persoalan hubungan antara akal dan wahyu merupakan issue yang selalu hangat diperd ebatkan oleh mutakallimun dan filosof. Issue ini menjadi penting karena ia memiliki kaitan dengan argumentasi -argumentasi mereka dalam pembahasan tentang konsep Tuhan, konsep Ilmu Ilmu, konsep etika dan lain sebagainya. ( Untuk diskusi tentang etika George F Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University Press, 1985) Mereka berorientasi pada usaha untuk membuktikan kesesuaian atau hubungan antara akal dan wahyu. (Lihat A.J.Arberry, Revelation and Reason in Islam). Dalam konteks ini konsep akal, wahyu dan ta’wil menjadi topik yang penting. Filosof Muslim terpenting yang berusaha membuktikan hubungan antara akal dan wahyu adalah Ibn Rushd (520 H/ 1126 A-595/ 1198) penulis buku Fasl al-Maqal dan Ibn Taymiyyah 662/ 1263 – 728/1328 A.H. penulis buku Dar’ Ta’arud al-‘aql wa al-naql (sebelumnya diberi judul muwafaqat sarih al- ma’qul ‘ala sahih al-manqul). Yang pertama mencoba menjelaskan “hubungan” sedang yang kedua berusaha menghindarkan pertentangan atau menjelaskan “kesesuaian”. Akan tetapi Arberry menganggap karya Ibn Rushd itu sebagai percobaan terakhir untuk membuktikan hubungan antara akal dan wahyu, sedangkan Ibn Taymiyyah digambarkan sebagai orang yang menghentikan percobaan ini. Sejatinya keduanya berasumsi sama bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena situasi sosial dan latar belakang pemikiran mereka tidak sama kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda . Ibn Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan bahwa sains dan falsafah bertentangan dengan agama tapi juga oleh konflik-konflik yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian Ibn Taymiyyah difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan filsafat seperti yang nampak dalam amalan-amalan bid’ah di masyarakat. (Lihat Bello, Iysa A., Medieval Islamic Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989. Ibn Taymiyyah, “Haqiqat Madhhab al-Ittihadiyyah” dalam Majmu‘at al-Fatawa, Cairo, Matba ‘ah al- Hukumah, 1966). Prinsip hubungan Ibn Rushd Dalam membahas masalah akal dan wahyu Ibn Rushd menggunakan prinsip hubungan (ittisal) yang dalam argumentasi -argumentasinya mencoba mencari hubungan antara agama dan falsafah. Argumentasi-argumentasinya adalah dengan: Pertama, menentukan kedudukan hukum daripada belajar falsafah. Menurutnya belajar falsafah adalah belajar ilmu tentang Tuhan, yaitu kegiatan filsosofis yang mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud (al-mawjudat) yang merupakan pertanda adanya Pencipta (Sani‘), karena al-mawjudat adalah produk dari ciptaan. Lebih sempurna ilmu kita tentang hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat ) lebih sempurna pula ilmu kita tentang Tuhan. Karena wahyu (shar‘) menggalakkan aktiviti bertafakkur tentang al-mawjudat ini, maka belajar falsafah diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu. Kedua membuat justifikasi bahwa kebenaran yang diperolehi daripada demonstrasi (al-burhan) sesuai dengan kebenaran yang diperolehi daripada wahyu. Disini ia berargumentasi bahwa di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk memahami segala yang wujud. Karena nazar ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum, metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al- mawjudat), Hasil dari proses berfikir demonstrtif ini adalah kebenaran dan tidak dapat bertentangan dengan kebenaran wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran. Kedua-dua thesis diatas merupakan asas bagi kesimpulan Ibn Rushd selanjutnya yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-Qur’an. Bagaimanapun thesis diatas masih menyimpan satu pertanyaan: adakah kebenaran yang diperoleh akal tidak akan bercanggah dengan kebenaran wahyu? Jawapan pertanyaan ini
34

Akal Dan Wahyu

Jul 01, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

akal dan wahyu dalam pandangan ibnu rushd dan ibn taymiyyah Dalam sejarah pemikiran Islam persoalan hubungan antara akal dan wahyu merupakan issue yang selalu hangat diperd ebatkan oleh mutakallimun dan filosof. Issue ini menjadi penting karena ia memiliki kaitan dengan argumentasi -argumentasi mereka dalam pembahasan tentang konsep Tuhan, konsep Ilmu Ilmu, konsep etika dan lain sebagainya. ( Untuk diskusi tentang etika George F Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University Press, 1985) Mereka berorientasi pada usaha untuk membuktikan kesesuaian atau hubungan antara akal dan wahyu. (Lihat A.J.Arberry, Revelation and Reason in Islam). Dalam konteks ini konsep akal, wahyu dan tawil menjadi topik yang penting. Filosof Muslim terpenting yang berusaha membuktikan hubungan antara akal dan wahyu adalah Ibn Rushd (520 H/ 1126 A-595/ 1198) penulis buku Fasl alMaqal dan Ibn Taymiyyah 662/ 1263 728/1328 A.H. penulis buku Dar Taarud al-aql wa al-naql (sebelumnya diberi judul muwafaqat sarih al-maqul ala sahih al-manqul). Yang pertama mencoba menjelaskan hubungan sedang yang kedua berusaha menghindarkan pertentangan atau menjelaskan kesesuaian. Akan tetapi Arberry menganggap karya Ibn Rushd itu sebagai percobaan terakhir untuk membuktikan hubungan antara akal dan wahyu, sedangkan Ibn Taymiyyah digambarkan sebagai orang yang menghentikan percobaan ini. Sejatinya keduanya berasumsi sama bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena situasi sosial dan latar belakang pemikiran mereka tidak sama kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda . Ibn Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan bahwa sains dan falsafah bertentangan dengan agama tapi juga oleh konflik-konflik yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian Ibn Taymiyyah difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan filsafat seperti yang nampak dalam amalan-amalan bidah di masyarakat. (Lihat Bello, Iysa A., Medieval Islamic Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989. Ibn Taymiyyah, Haqiqat Madhhab al-Ittihadiyyah dalam Majmuat al-Fatawa, Cairo, Matba ah alHukumah, 1966). Prinsip hubungan Ibn Rushd Dalam membahas masalah akal dan wahyu Ibn Rushd menggunakan prinsip hubungan (ittisal) yang dalam argumentasi -argumentasinya mencoba mencari hubungan antara agama dan falsafah. Argumentasi-argumentasinya adalah dengan: Pertama, menentukan kedudukan hukum daripada belajar falsafah. Menurutnya belajar falsafah adalah belajar ilmu tentang Tuhan, yaitu kegiatan filsosofis yang mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud (al-mawjudat) yang merupakan pertanda adanya Pencipta (Sani), karena al-mawjudat adalah produk dari ciptaan. Lebih sempurna ilmu kita tentang hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat ) lebih sempurna pula ilmu kita tentang Tuhan. Karena wahyu (shar) menggalakkan aktiviti bertafakkur tentang al-mawjudat ini, maka belajar falsafah diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu. Kedua membuat justifikasi bahwa kebenaran yang diperolehi daripada demonstrasi (al-burhan) sesuai dengan kebenaran yang diperolehi daripada wahyu. Disini ia berargumentasi bahwa di dalam al-Quran terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk memahami segala yang wujud. Karena nazar ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-aqli), maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum, metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-mawjudat), Hasil dari proses berfikir demonstrtif ini adalah kebenaran dan tidak dapat bertentangan dengan kebenaran wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran. Kedua-dua thesis diatas merupakan asas bagi kesimpulan Ibn Rushd selanjutnya yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk mentawilkan al-Quran. Bagaimanapun thesis diatas masih menyimpan satu pertanyaan: adakah kebenaran yang diperoleh akal tidak akan bercanggah dengan kebenaran wahyu? Jawapan pertanyaan ini tidak dinyatakan secara jelas, akan tetapi dapat difahami dari teori Ibn Rushd kemampuan akal dalam memahami wahyu, dan tentang wahyu yang diklassifikasikan kedalam makna. Berasaskan pada kemampuan akal manusia, Ibn Rushd membahagi masyarakat kedalam tiga kelompok: Pertama kelompok yang tidak dapat menafsirkan al-Quran, Kedua, kelompok yang memiliki kemampuan menafsirkan secara dialektik dan ketiga kelompok yang mampu menafsirkan secara demonstratif yang disebut ahl al-burhan. (Lihat G.Hourani, Averoes On the Harmony of Religion and Philosophy, London, Luzac & Co, 1976, 65) Akal dalam klassifikasi ini difahami sebagai kemampuan untuk berfikir dan memahami. Sedangkan wahyu dibahagi kedalam tiga bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu : 1) Teks yang maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode retorik, dialektik dan demonstratif); 2) Teks yang maknanya hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari: a) makna zahir, yaitu teks yang mengandungi simbol-simbol (amthal ) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud. b) makna batin yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahl al-burhan.; 3) teks yang bersifat ambiguos

antara zahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal. Nampaknya, yang dimaksud Ibn Rushd sebagai hubungan (ittisal) adalah hubungan antara ayat-ayat yang mengandungi makna batin dan kemampuan akal untuk memahami dengan metode demonstratif. Maka itu menurutnya perkataan al-rasikhun fi al-ilm. (Quran (3:7) adalah mereka yang memiliki pengetahuan berdasarkan metode demonstrasi, yaitu para filosof. Dari klassifikasi diatas agaknya jawapan yang diberikan Ibn Rushd jelas bahwa pertentangan antara akal dan wahyu tidak terjadi apabila akal difahami sebagai al-burhan. Namun demikian, Ibn Rushd tetap mengakui adanya kemungkinan pertentangan antara ahl al-burhan dan teks wahyu. Dan untuk itu solusi yang terbaik menurutnya adalah seperti cara pengambilan hukum Fiqh. Dalam kes tertentu pengetahuan tentang al-mawjud tidak disebutkan dalam wahyu dan dalam kes yang lain disebutkan. Jika tidak disebutkan maka ia harus disimpulkan daripadanya, seperti qiyas dalam Fiqh. Jika pengetahuan itu disebutkan dan makna zahirnya betentangan dengan hasil pemikiran demonstratif maka diselesaikan dengan dua cara: Pertama dengan interpretasi secara majazi (alegorik) atau kiasan makna zahir itu sesuai dengan aturan-aturan bahasa Arab yang berlaku, yaitu menterjemahkan arti sesuatu ekspresi dari yang bersifat metaforikal kepada pengertian yang sesungguhnya. Kedua dengan mencari semua makna zahir dalam al-Quran yang bersesuaian dengan interpretasi alegorik atau yang mendekati makna alegorik itu. Akan tetapi untuk mentawilkan secara majazi makna ayat zahir pada alternatif pertama Ibn Rushd tidak hanya bersandar pada aturan-aturan Bahasa Arab sahaja, ia juga menetapkan aturan berasaskan pada kejelasan simbol dan benda yang disimbolkan untuk menentukan apakah sesuatu ayat zahir boleh ditawilkan atau tidak. Jika makna zahir sesuatu ayat adalah seperti arti yang dimaksudkan (al-mana al-mawjud fi nafsihi), ayat itu tidak perlu ditawilkan. Jika zahir ayat-ayat itu adalah simbol-simbol belaka dan bukan arti yang sesungguhnya daripada zahirnya ayat-ayat itu harus ditawilkan sesuai dengan kesesuaian antara simbol (almithal ) dengan benda yang disimbolkan (al-mumaththal ). Jika simbol dan benda yang disimbulkan dapat mudah diketahui maka setiap orang boleh mentawilkannya. Tapi jika simbol dan benda yang disimbolkan sukar diketahui atau jika simbol-simbol itu mudah diketahui tapi benda yang disimbolkan sukar untuk diketahui atau jika benda yang disimbulkan dapat difahami dengan mudah tapi simbol-simbol ayat itu tidak dapat begitu saja diketahui, maka ayat-ayat ini hanya boleh ditawilkan oleh yang berilmu dan tidak boleh diungkapkan kepada orang awam kecuali dengan penjelasan yang berbeda . Disini Ibn Rushd tidak menjelaskan lebih jauh tentang standard pengetahuan al-mithal dan al-mumaththal atau kreteria untuk membenarkan kesahihan pengetahuan mereka tentang kedua-dua hal itu. Nampaknya asas yang digunakan Ibn Rushd dalam tawil adalah Bahasa Arab yang merujuk kepada kebiasaan (adat lisan al-Arab) dan kejelasan simbol serta benda yang disimbolkan, terutama adalah kemampuan akal memahami maknanya dengan menggunakan metode demonstratif. Akan tetapi standard bahasa Arab dengan simbolsimbol itu tidak dikaitkan dengan bahasa sebagai simbol suatu konsep yang dijelaskan Nabi dan difahami oleh para sahabat dan tabiin. Demikian pula proses tawil yang dijelaskan seakan-akan menggambarkan bahwa pengetahuan ahl al-burhan adalah taken for granted, benar. Ini bermakna bahwa kebenaran wahyu perlu dikaji ulang dan tidak memberikan ruang untuk menjelaskan proses bagaimana seharusnya pengetahuan demonstrasi dikaji ulang . Pandangan ini boleh difahami sebagai mendahulukan akal daripada wahyu, yaitu pandangan yang bertentangan dengan pemikiran salaf, seperti al-Ghazzali, Ibn Hazm, Ibn Taymiyyah atau lainnya. Dengan membatasi makna perkataan al-rasikhun fi al-ilm berarti ia memberikan otoritas mentawilkan makna batin alQuran kepada filosof, tanpa mempertimbangkan otoritas Nabi dan para sahabat. Hal ini membahayakan kemutlakan kebenaran wahyu, walhal pengetahuan para filosof tentang realitas (wujud), yang diperolehi dari metode demonstrasi belum dapat dikatakan final. Dalam masalah doktrin ketuhanan atau konsep tentang Tuhan, misalnya, falsafah Yunani masih mengandung pertentangan dan berbeda dari konsep dalam al-Quran. Jika Ibn Rushd membahas lebih detail konsep akal tanpa membatasi pada metode demonstrasi falsafah Yunani kesesuaian akal dan wahyu dapat difahami lebih jelas. Prinsip kesesuaian Ibn Taymiyyah Prinsip kesesuaian Ibn Taymiyyah yang berarti tanpa pertentangan tercemin dari judul kitabnya yang menggunakan perkataan muwafaqat dan dar taarud. Meskipun implikasi makna perkataan ini hampir sama dengan perkataan ittisal dalam pandangan Ibn Rushd, tapi prinsip-prinsip yang digunakan berbeda, terutama dalam memahami makna akal (aql ) dan dalam menjabarkan wahyu (al-naql, al-sam). Prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah ini dapat difahami dari komentar dan jawabannya terhadap masalah yang dibahas oleh filosof dan mutakallimun khususnya Fakhr al-Din al-Razi, yaitu : bagaimanakah penyelesaiannya jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Dari kesemua pembahasan Ibn Taymiyyah sekurang-kurangnya terdapat tiga prinsip utama yang dimaksud untuk menjawab masalah itu dan membangun prinsip kesesuaian antara akal dan wahyu. Ketiga-tiga prinsip itu ialah sebagai berikut: Pertama, bahwa rasional atau tradisional bukanlah sifat yang boleh menentukan sesuatu itu benar atau salah, diterima atau ditolak. Ia hanyalah metode atau jalan untuk mengetahui sesuatu. Jika sesuatu itu berasal dari tradisi (al-sam) semestinya ia bersifat rasional, sifat tradisional tidak bertentangan dengan sifat rasional. Shariah terkadang bersifat tradisional dan terkadang rasional; bersifat tradisional (samiyyan) jika ia menetapkan dan menunjukkan sesuatu, dan bersifat rasional jika ia memperingatkan dan menunjukkan sesuatu hal. Kedua, jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, maka prioritas diberikan kepada wahyu dan menolak akal. Akal tidak mungkin diberi prioritas karena melalui akal kebenaran wahyu dibuktikan. Jika akal diberi prioritas sedangkan akal itu sendiri boleh berbuat salah, maka ia tidak boleh menjadi alat untuk menentukan kebenaran, lagipun disini wahyu akan dianggap mengandung kesalahan. (Ibn

Taymiyyah, Dar Taarud, vol.I). Prinsip ini masih bersifat umum dan tidak termasuk pertentangan antara pengetahuan tradisional (wahyu) dan rasional (akal). Ketiga, jika pertentangan terjadi antara proposisi akal dan wahyu maka harus dikaji apakah proposisi itu qati atau zanni. Jika kedua-dua proposisi itu qati, maka tidak mungkin terjadi pertentangan dan jika kedua-dua proposisi itu zanni maka dipilih proposisi yang lebih pasti (rajih). Jika proposisi yang dihasilkan akal lebih pasti (qati), maka prioritas diberikan kepada proposisi akal daripada proposisi dari pengetahuan wahyu (alsami) dan sebaliknya. Tapi proposisi akal diutamakan bukan karena ia berasal dari akal tapi karena sifat qati-nya itu. (Ibn Taymiyyah, Dar Taarud, vol.I) Secara umum pandangan Ibn Taymiyyah menolak prinsip akal sebagai asas wahyu dan asas bagi menentukan kesahihan wahyu yang berarti mendahulukan akal daripada wahyu. Alasannya, karena keberadaan wahyu berasal dari nabi (alsam) dan bukan dari akal. Meskipun kebenaran wahyu dapat diketahui dengan pengetahuan akal, tapi pengetahuan akal tidak dapat menetapkan adanya (thubut) wahyu. Kesahihan wahyu tidak mungkin bergantung pada pengetahuan yang diperoleh akal, sebab sifat dapat difahami atau diketahui oleh akal bukanlah sifat lazim (sifah lazimah) sesuatu benda. Seandainya kebenaran wahyu itu tidak diketahui atau dibuktikan oleh akal sekalipun ia tetap memiliki sifat kebenaran, karena itu kita tidak dapat menjadikan semua pengetahuan akal sebagai asas bagi wahyu atau dalil bagi kebenarannya. Baginya, asas kesahihan wahyu adalah kebenaran Nabi (sidq al-rasul ). Mendahulukan akal berarti pada mengutamakan pendapat filosof, mutakallim atau sufi daripada risalah Nabi, dan dapat mengakibatkan bidah dan kekufuran. (Ibn Taymiyyah, Dar Taarud, vol.V, 320-322. Naqd al-Mantiq, 55) Meskipun demikitan, Ibn Taymiyyah sama sekali tidak merendahkan makna akal jika akal difahami sebagai a) watak (gharizah) atau b) pengetahuan yang diperoleh dari akal (al-marifa al-hasila bi-l-aql). Sebagai gharizah akal menjadi syarat bagi segala macam ilmu, apakah rasional ataupun irrasional, dan dalam kedudukannya sebagai syarat, akal tidak dapat bertentangan dengan wahyu. Demikian pula sebagai pengetahuan yang diperoleh dari gharizah tadi akal difahami sebagai pengetahuan akal yang jelas dan pasti kebenarannya (aqli qati). Pada poin ini Ibn Taymiyyah tidak memberikan penjelasan lebih detail atau contoh tentang apa hakekat pengetahuan akal yang pasti (aqli qati) itu. Mungkin maksudnya adalah pengetahuan yang diperoleh melalui fitrah, seperti yang ia jelaskan dalam kitabnya Naqd al-Mantiq. Tapi mungkin juga bermaksud ( necessary knowledge), yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tawatur dan yang menjamin pengetahuan yang pasti (ilm al-yaqini ) secara lafzi atau maknawi. Pengetahuan ini dimiliki oleh Sahabah, tabiun dan tabi al-tabiun, sebab baginya mereka itu adalah sumber ilmu pengetahuan tradisi yang harus dipercayai. Tapi yang jelas pengertian aqli qati ini merujuk kepada pengetahuan yang bukan berasal dari pemikiran spekulatif atau al-burhan seperti pandangan Ibn Rushd. Selanjutnya dalam mendahulukan wahyu Ibn Taymiyyah berprinsip bahwa wahyu itu benar dan disampaikan melalui argumentasi-argumentasi tradisional dan rasional, karena itu tidak dapat bertentangan dengan pengetahuan akal yang benar. Pertentangan itu mungkin terjadi karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau pengetahuan akal yang salah. Pengetahuan wahyu yang benar diperoleh dari proses berfikir yang benar dan pengetahuan terminologi yang sesuai dengan tradisi, dan bukan diluar itu. Maka itu ia membedakan terminologi (alfaz) yang digunakan dalam sunnah dan disepakati oleh ahl al-ijma dari terminologi yang tidak terdapat dalam tradisi (shariah, nusus wahyu dan sunnah). Untuk membedakan keduanya yang diperlukan adalah pemahaman terhadap tradisi (al-sam, al-sunnah) yang merujuk pada perkataan Nabi, Sahabah, tabiun and tabi al-tabiun. Dari mereka inilah otoritas memahami wahyu bermula, sebab Nabi Muhammad SAW adalah makhluk yang paling tahu kebenaran dan karena itu ia adalah orang paling mampu untuk menerangkan kebenaran. Maka itu ia memahami istilah tawil sebagai menjelaskan seperti yang dimaksud Allah atau merujuk kepada apa yang dikehendaki Allah dan kreteria tawil yang dapat diterima (tawil al-maqbul), adalah tawil yang sesuaia dengan arti yang dimaksud oleh pembicara atau Tuhan melalui Nabi. Maka dari itu Ibn Taymiyyah tidak membatasi obyek tawil kepada perkataan majazi dalam al-Quran seperti dibahas Ibn Rushd. Meskipun ia mengartikan tawil sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada kesesuaiannya dengan makna zahir dari lafaz ucapan itu. Dalam pandangannya perkataan zahir yang dapat difahami dari lafaz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan (quyud) yang ada didalamnya. Ianya tidak memiliki denotasi yang uniform sehingga harus ditawilkan apa adanya seperti yang dilakukan Ahl al-Ithbat, dan tidak memiliki denotasi batin yang harus selalu difahami secara batin seperti yang dilakukan Nufat al-Sifat. Jadi perkataan zahir diketahui dari denotasi lafaz secara mutlak, atau dari denotasi konteksnya atau dari kesamaannya dengan konteks yang lain. Untuk itu ia menetapkan tiga sharat agar tawil itu dapat diterima: 1) menjaga agar lafaz itu sesuai dengan makna yang terdapat dalam Bahasa Arab dan maksud al-shari serta tidak memahami dengan makna lain. 2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya. 3) memperhatikan ikatan-ikatan (quyud ) yang terdapat dalam lafaz dan yang mengikat maknanya, sebab perbedaan satu lafaz dengan lafaz lain ditentukan oleh ikatan yang menyertainya. Oleh itu kita tidak boleh mentawilkan lafaz-lafaz al-Quran dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafaz. Selanjutnya ia membagi tawil menjadi dua: Pertama, tawil yang berkaitan dengan perintah kepada manusia untuk berbuat, disebut dengan al-tawil al-talabi, yaitu tawil tengang perintah dan larangan (al-amr wa al-nahy). Disini Ibn Taymiyyah menerima adanya kontradiksi antara satu teks dengan yang lain, berkaitan dengan teks-teks nasikh dan mansukh. Kedua, tawil yang berkaitan dengan apa-apa yang disampaikan Tuhan (akhbar) tentang diriNya, tentang Hari Akhir dan lain-lain yang benar belaka sifatnya. Tawil dalam masalah yang kedua ini hanya Allah saja yang mengetahuinya,

sedangkan manusia hanya dapat mengetahui arti literal teks itu, tapi tidak mengetahui tawil atau realitas yang sesungguhnya. Dalam masalah-masalah doktrin (akhbar) ini Ibn Taymiyyah tidak melihat adanya kontradiksi teks wahyu seperti dalam al-tawil al-talabi, kontradiksi itu wujud hanya dalam akal orang yang memahami Jelaslah bahwa Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd berbeda dalam memahami makna tawil. Bagi yang pertama tawil sama dengan tafsir dan menekankan pada kesesuaian zahir lafaz dengan makna dan makna dengan maksud al-shari, sedangkan yang kedua menekankan makna tawil pada penjelasan makna sebenar (haqiqi) dari makna majazi atau makna batin sesuatu teks. Perbedaan ini dapat difahami lebih jelas melalui pemahaman mereka dalam mentawilkan ayat-ayat mutashabihat yang diterangkan dalam al-Quran (3:7). Ibn Rushd memahami bahwa tawil ayat mutashabihat hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang memiliki ilmu berfikir demonstratif, sedangkan bagi Ibn Taymiyyah hanya Allah saja yang tahu. Ia meletakkan titik setelah perkataan dan bukan sesudah perkataan al-rasikhun fi al-ilm. Karena menurutnya para sahabah dan tabiun memahami ayat mutashabihat, tapi mereka tidak mengetahui realitas sesungguhnya (modalitas) dari khabar yang disampaikan Allah itu dan hanya Allah saja yang tahu la yalamu tawilahu illallah. Inilah sebabnya mengapa Ibn Taymiyyah tidak menjelaskan perkataan al-rasikhun fi al-ilm, karena ia tidak berkaitan dengan otoritas mentawilkan. Abrahamov mendakwa ayat ini mematahkan pendapat Ibn Taymiyyah, karena kalimat hanya Allah saja yang tahu tawil ayat mutasyabihat, menunjukkan bahwa Nabi dan dari para sahabat tidak mengetahui maknannya. Tapi nampaknya Abrahamov salah faham sebab tawil yang difahami Ibn Taymiyyah dalam ayat ini adalah realitas atau modaliti atau dalam bahasa salaf disebut al-kayf. Kesimpulan Usaha Ibn Rushd untuk menghubungkan akal dan wahyu sangat sistimatis, akan tetapi pembatasan makna akal pada kemampuan berfikir demonstratif yang hanya dimiliki oleh filosof mengundang berbagai pertanyaan. Ia nampak seperti berlebihan dalam menilai kemampuan akal dan metode demonstrasi, tapi ia tidak mengamalkan tawil yang berasaskan alburhan dalam membahas issue-issue falsafahnya. Demikian pula apabila ia memberikan otoritas kepada filosof untuk mentawilkan wahyu, melebihi yang lain, ia telah mendahulukan akal daripada wahyu dan ini boleh mengurangi kemutlakan wahyu. Pandangan Ibn Taymiyyah adalah sebaliknya, yaitu memberi prioritas kepada wahyu tapi ia tidak mengesampingkan akal sama sekali. Akal dan pengetahuan akal yang berfikir benar tidak akan bertentangan dengan wahyu. Akal bagi Ibn Taymiyyah tidak memiliki status independent seperti pandangan Ibn Rushd. Dan berbeda dari alRazi akal tidak dapat menjadi asas bagi wahyu, tapi justru wahyu adalah asas bagi akal. Karena ia tidak mengakui adanya pertentangan antara akal dan wahyu maka ia melihat itu hanya karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau pengetahuan akal yang salah. Untuk itu ia memandang perlunya pengetahuan tentang tradisi dan pendekatan linguistik yang benar, dan inilah esensi konsep tawil Ibn Taymiyyah. Mungkin kesimpulan Abrahamov benar bahwa dalam Islam reaksi terhadap trend penggunaan akal dapat di gambarkan sebagai berada pada dua kutub: a) menolak secara mutlak anggapan bahwa akal adalah sumber pengetahuan agama dan b) menerima akal sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Tujuan Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd hakekatnya sama tapi posisi mereka tidak sama, meskipun kedua-duanya tidak berada pada salah satu kutub secara ekstrim, tapi mereka memiliki kecenderungan masing-masing pada salah satunya. Akhirnya, dari pandangan kedua-dua pemikir ini kita mengetahui bahwa konsep akal dan konsep berfikir serta pengetahuan yang benar dan tidak bertentangan dengan wahyu masih merupakan sesuatu poin yang perlu pembahasan lebih detail.

Kedudukan akal dalam islamAl Ustadz Qomar Suaidi LcAkal adl nimat besar yg Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yg bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yg sangat menakjubkan. {Al-Aql wa Manzilatuhu fil Islam hal. 5}Oleh karenanya dalam banyak ayat Allah memberi semangat utk berakal {yakni menggunakan akalnya} di antaranya: Dan Dia menundukkan malam dan siang matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan dgn perintah-Nya. Sesungguhnya pada yg demikian itu benar-benar ada tanda-tanda bagi kaum yg memahami. Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yg berdampingan dan kebun-kebun anggur tanaman- tanaman dan pohon korma yg bercabang dan yg tidak bercabang disirami dgn air yg sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yg lain tentang rasanya. bersabda: Setiap yg memabukkan itu haram. Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr. 4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan akal. Artinya keimanan tidak berarti mematikan akal bahkan Islam menyuruh akal utk beramal pada bidangnya sehingga mendukung berfirman: Hai orang-orang yg beriman sesungguhnya khamar berjudi berhala mengundi nasib dgn panah adl perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Nabi mengharamkan khamr utk menjaga akal. Allah bersabda: Pena diangkat dari tiga golongan: orang yg gila yg akalnya tertutup sampai sembuh orang yang tidur sehingga bangun dan anak kecil sehingga baligh. {HR. Ibnu Khuzaimah Ibnu Hibban dan AdDaruquthni dari shahabat Ali dan Ibnu Umar Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Shahih dalam Shahih Jami no. 3512}2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yg harus dilindungi yaitu: agama akal harta jiwa dan kehormatan. 3. Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yg tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi telah memuji amal akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat serta mencela keadaan yg sebaliknya di beberapa tempat Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal seperti:1. Allah pujian dan sanjungan bagi yg tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah serta dalam Sunnah Rasulullah Sesungguhnya pada yg demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yg berfikir. Sebaliknya Allah mencela orang yg tidak berakal seperti dalam ayat-Nya: Dan mereka berkata: Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yg menyalanyala. Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: tidak berakal dan tidak punya tamyiz Bagaimanapun tidak terpuji dari sisi itu sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yg memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. bersabda: Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah. {HR. Ath- Thabrani Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu Umar lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya}

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. Oleh karenanya akal diperintahkan utk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi justru terlalu banyak hal yg tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dgn syariat bagaikan kedudukan seorang awam dgn seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yg ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yg berfatwa maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yg berfatwa dgn orang awam yg tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yg meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yg berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut krn orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia lbh tahu . {Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201}Al-Imam Az-Zuhri t mengatakan: Risalah datang dari Allah kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima. Orang yg menggunakan akal tidak pada tempatnya berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yg ingin memuliakan akal dan mengangkatnya demikian perkataan mereka belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yg telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dgn sejahat- jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yg tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. Akal yg terpuji dan akal yg tercelaMenengok penjelasan yg telah lalu dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. dan sifat-sifat-Nya arwah surga dan neraka yg semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.Nabi telah tetapkan maka ia akan membabi buta Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yg kita saksikan ini seperti pengetahuan tentang Allah menjadikan padanya batas yg ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya ia akan tepat dgn ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yg Allah menciptakan akal dan memberinya kekuatan adl untuk berpikir dan Allah Sedangkan yg dilakukan para pengkultus akal yg mereka beritikad memuliakan akal pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya krn mambebani akal dgn sesuatu yg tidak mampu.Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adl sesuatu yg berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yg lain memiliki sifat lemah dan keterbatasan.As-Safarini rahimahullah berkata: Allah Adapun pendapat akal yg terpuji seca sifat-sifat dan perbuatan- Nya dgn teori atau qiyas yg batil yg dibuat oleh para pengikut filsafat.4. Pendapat yg mengakibatkan tumbuhnya bidah dan matinya As Sunnah.5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dgn anggapan baik dan prasangka. Jadi manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dgn akal kita kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yg tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yg tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.Akal yg sehat tidak akan menyelisihi syariatDisebutkan dalam kaidah ahlul kalam ringkasnya bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan

akal. Dengan prinsip ini mereka menolak sekian banyak nash yg shahih dulu maupun sekarang. ra ringkas adl yg sesuai dgn syariat dgn tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yg tercela adl sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yg menyebutkan bahwa pendapat akal yg tercela itu ada beberapa macam:1. Pendapat akal yg menyelisihi nash Al Quran atau As Sunnah.2. Berbicara masalah agama dgn prasangka dan perkiraan yg dibarengi dgn sikap menyepelekan mempelajari nash-nash memahaminya serta mengambil hukum darinya.3. Pendapat akal yg berakibat menolak asma Allah kemudian ia membangkang dan menentang dgn akalnya. Allah berfirman: Apakah yg menghalangimu utk bersujud di waktu Aku menyuruhmu? Iblis begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.Oleh karenanya Ibnul Qayyim mengatakan: Jika dalil naqli bertentangan dgn akal maka yang diambil adl dalil naqli yg shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya. {Mukhtashar As- Shawaiq hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-Aqliyyah 1/61-63}Abul Muzhaffar As-Samani t ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yg terbetik dalam akal dan benak mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dgn keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dgn keduanya maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya {Al Kitab dan As Sunnah} tidak akan menunjukkan kecuali kepada yg hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah. Bila akal didahulukanJika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:1. Menyerupai Iblis semoga Allah melaknatinya ketika diperintahkan utk sujud kepada Nabi Adam dgn pendapatnya walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh Umar bin Al-Khaththab: Wahai manusia curigailah akal kalian terhadap agama ini. {Riwayat Ath-Thabrani lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah hal. 177 301}Beliau mengatakan demikian krn pernah membantah keputusan Nabi Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adl salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dgn singkat dan mudah cukup dgn kita merujuk kepada lima hal yg disebutkan Ibnul Qayyim t di atas.Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: Sesuatu yg diketahui dgn jelas oleh akal sulit dibayangkan akan bartentangan dgn syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yg shahih tidak akan bertentangan dgn akal yg lurus sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yg diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati sesuatu yg menyelisihi nash yg shahih dan jelas adl syubhat yg rusak dan diketahui kebatilannya dgn akal. Bahkan diketahui dgn akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dgn syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dgn sesuatu yang mustahil menurut akal tapi mengabarkan sesuatu yg membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yg diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun akal tidak mampu utk menjangkaunya.Karena itu wajib bagi orang-orang Mutazilah yg menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu demikian pula bagi mereka yg berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yg bertentangan dgn akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka utk menyelisishi kaidah kelompok Mutazilah kapan terjadi pertentangan antara

akal dan syariat menurut mereka maka wajib utk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yg ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yg dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dgn semua yg dikabarkan oleh akal. Ketika dalil bertentangan dgn akalSesungguhnya pertentangan akal dgn syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dgn dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yg sedang dibahas dgn benar. Sedangkan dalil maka pasti benarnya.Hal ini berangkat dari ajaran Al Quran dan As Sunnah yg mengharuskan kita utk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yg berpengalaman dgn Nabi menjawab. Mereka katakan: Dan mereka berkata: Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri ini?. 3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun krn mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lbh jelek krn mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh utk menolaknya.4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman: Maka jika mereka tidak menjawab ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka . Dan siapakah yg lbh sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dgn tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Saya lbh baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah. 2. Menyerupai orang kafir yg menolak keputusan Allah dgn akal mereka seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yg zalim. 5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.6. Berkata dgn mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu. Dan di antara manusia ada orang-orang yg membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan tanpa petunjuk dan tanpa kitab yg bercahaya. Ini termasuk larangan terbesar. Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yg keji baik yg nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yg benar mempersekutukan Allah dgn sesuatu yg Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa yg tidak kamu ketahui. 7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. (Al-Mauqih 1/81-92)Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yg tetap mengedepankan akalnya: Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bidah mengatakan: Tinggalkan kami dari Al Quran dan hadits ahad dan tampilkan akal maka ketahuilah bahwa ia adl Abu Jahal. sumber : file chm Darus Salaf 2

AKAL DAN WAHYU DALAM PANDANGAN IBN RUSHD DAN IBN TAYMIYYAH Kontribusi dari Hamid Fahmy Zarkasyi Pendahuluan Dalam sejarah pemikiran Islam persoalan hubungan antara akal dan wahyu merupakan issue yang selalu hangat diperd ebatkan oleh mutakallimun dan filosof. Issue ini menjadi penting karena ia memiliki kaitan dengan argumentasi argumentasi mereka dalam pembahasan tentang konsep Tuhan, konsep Ilmu Ilmu, konsep etika dan lain sebagainya. ( Untuk diskusi tentang etika George F Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University Press, 1985) Mereka berorientasi pada usaha untuk membuktikan kesesuaian atau hubungan antara akal dan wahyu. (Lihat A.J.Arberry, Revelation and Reason in Islam). Dalam konteks ini konsep akal, wahyu dan tawil menjadi topik yang penting. Filosof Muslim terpenting yang berusaha membuktikan hubungan antara akal dan wahyu adalah Ibn Rushd (520 H/ 1126 A-595/ 1198) penulis buku Fasl al-Maqal dan Ibn Taymiyyah 662/ 1263 728/1328 A.H. penulis buku Dar Taarud al-aql wa al-naql (sebelumnya diberi judul muwafaqat sarih almaqul ala sahih al-manqul). Yang pertama mencoba menjelaskan hubungan sedang yang kedua berusaha menghindarkan pertentangan atau menjelaskan kesesuaian. Akan tetapi Arberry menganggap karya Ibn Rushd itu sebagai percobaan terakhir untuk membuktikan hubungan antara akal dan wahyu, sedangkan Ibn Taymiyyah digambarkan sebagai orang yang menghentikan percobaan ini. Sejatinya keduanya berasumsi sama bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena situasi sosial dan latar belakang pemikiran

mereka tidak sama kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda . Ibn Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan bahwa sains dan falsafah bertentangan dengan agama tapi juga oleh konflik-konflik yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian Ibn Taymiyyah difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan filsafat seperti yang nampak dalam amalan-amalan bidah di masyarakat. (Lihat Bello, Iysa A., Medieval Islamic Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989. Ibn Taymiyyah, Haqiqat Madhhab alIttihadiyyah dalam Majmuat al-Fatawa, Cairo, Matba ah al-Hukumah, 1966). Prinsip hubungan Ibn Rushd Dalam membahas masalah akal dan wahyu Ibn Rushd menggunakan prinsip hubungan (ittisal) yang dalam argumentasi argumentasinya mencoba mencari hubungan antara agama dan falsafah. Argumentasi-argumentasinya adalah dengan: Pertama, menentukan kedudukan hukum daripada belajar falsafah. Menurutnya belajar falsafah adalah belajar ilmu tentang Tuhan, yaitu kegiatan filsosofis yang mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud (al-mawjudat) yang merupakan pertanda adanya Pencipta (Sani), karena al-mawjudat adalah produk dari ciptaan. Lebih sempurna ilmu kita tentang hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat ) lebih sempurna pula ilmu kita tentang Tuhan. Karena wahyu (shar) menggalakkan aktiviti bertafakkur tentang al-mawjudat ini, maka belajar falsafah diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu. Kedua membuat justifikasi bahwa kebenaran yang diperolehi daripada demonstrasi (alburhan) sesuai dengan kebenaran yang diperolehi daripada wahyu. Disini ia berargumentasi bahwa di dalam alQuran terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk memahami

segala yang wujud. Karena nazar ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-aqli), maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum, metode demonstrasi (qiyas alburhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-mawjudat), Hasil dari proses berfikir demonstrtif ini adalah kebenaran dan tidak dapat bertentangan dengan kebenaran wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran. Kedua-dua thesis diatas merupakan asas bagi kesimpulan Ibn Rushd selanjutnya yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk mentawilkan alQuran. Bagaimanapun thesis diatas masih menyimpan satu pertanyaan: adakah kebenaran yang diperoleh akal tidak akan bercanggah dengan kebenaran wahyu? Jawapan pertanyaan ini tidak dinyatakan secara jelas, akan tetapi dapat difahami dari teori Ibn Rushd kemampuan akal dalam memahami wahyu, dan tentang wahyu yang diklassifikasikan kedalam makna. Berasaskan pada kemampuan akal manusia, Ibn Rushd membahagi masyarakat kedalam tiga kelompok: Pertama kelompok yang tidak dapat menafsirkan al-Quran, Kedua, kelompok yang memiliki kemampuan menafsirkan secara dialektik dan ketiga kelompok yang mampu menafsirkan secara demonstratif yang disebut ahl al-burhan. (Lihat G.Hourani, Averoes On the Harmony of Religion and Philosophy, London, Luzac & Co, 1976, 65) Akal dalam klassifikasi ini difahami sebagai kemampuan untuk berfikir dan memahami. Sedangkan wahyu dibahagi kedalam tiga bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu : 1) Teks yang maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode

retorik, dialektik dan demonstratif); 2) Teks yang maknanya hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari: a) makna zahir, yaitu teks yang mengandungi simbol-simbol (amthal ) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud. b) makna batin yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahl al-burhan.; 3) teks yang bersifat ambiguos antara zahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal. Nampaknya, yang http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization Powered by Mambo Generated: 12 November, 2007, 06:35dimaksud Ibn Rushd sebagai hubungan (ittisal) adalah hubungan antara ayat-ayat yang mengandungi makna batin dan kemampuan akal untuk memahami dengan metode demonstratif. Maka itu menurutnya perkataan al-rasikhun fi al-ilm. (Quran (3:7) adalah mereka yang memiliki pengetahuan berdasarkan metode demonstrasi, yaitu para filosof. Dari klassifikasi diatas agaknya jawapan yang diberikan Ibn Rushd jelas bahwa pertentangan antara akal dan wahyu tidak terjadi apabila akal difahami sebagai al-burhan. Namun demikian, Ibn Rushd tetap mengakui adanya kemungkinan pertentangan antara ahl al-burhan dan teks wahyu. Dan untuk itu solusi yang terbaik menurutnya adalah seperti cara pengambilan hukum Fiqh. Dalam kes tertentu pengetahuan tentang almawjud tidak disebutkan dalam wahyu dan dalam kes yang lain disebutkan. Jika tidak disebutkan maka ia harus disimpulkan daripadanya, seperti qiyas dalam Fiqh. Jika pengetahuan itu disebutkan dan makna zahirnya betentangan dengan hasil pemikiran demonstratif maka diselesaikan dengan dua cara: Pertama dengan interpretasi secara majazi (alegorik) atau kiasan makna zahir itu sesuai dengan aturan-aturan bahasa Arab yang berlaku, yaitu menterjemahkan arti

sesuatu ekspresi dari yang bersifat metaforikal kepada pengertian yang sesungguhnya. Kedua dengan mencari semua makna zahir dalam al-Quran yang bersesuaian dengan interpretasi alegorik atau yang mendekati makna alegorik itu. Akan tetapi untuk mentawilkan secara majazi makna ayat zahir pada alternatif pertama Ibn Rushd tidak hanya bersandar pada aturan-aturan Bahasa Arab sahaja, ia juga menetapkan aturan berasaskan pada kejelasan simbol dan benda yang disimbolkan untuk menentukan apakah sesuatu ayat zahir boleh ditawilkan atau tidak. Jika makna zahir sesuatu ayat adalah seperti arti yang dimaksudkan (almana al-mawjud fi nafsihi), ayat itu tidak perlu ditawilkan. Jika zahir ayat-ayat itu adalah simbol-simbol belaka dan bukan arti yang sesungguhnya daripada zahirnya ayat-ayat itu harus ditawilkan sesuai dengan kesesuaian antara simbol (al-mithal ) dengan benda yang disimbolkan (al-mumaththal ). Jika simbol dan benda yang disimbulkan dapat mudah diketahui maka setiap orang boleh mentawilkannya. Tapi jika simbol dan benda yang disimbolkan sukar diketahui atau jika simbolsimbol itu mudah diketahui tapi benda yang disimbolkan sukar untuk diketahui atau jika benda yang disimbulkan dapat difahami dengan mudah tapi simbol-simbol ayat itu tidak dapat begitu saja diketahui, maka ayat-ayat ini hanya boleh ditawilkan oleh yang berilmu dan tidak boleh diungkapkan kepada orang awam kecuali dengan penjelasan yang berbeda . Disini Ibn Rushd tidak menjelaskan lebih jauh tentang standard pengetahuan al-mithal dan al-mumaththal atau kreteria untuk membenarkan kesahihan pengetahuan mereka tentang kedua-dua hal itu. Nampaknya asas yang digunakan Ibn Rushd dalam tawil adalah Bahasa Arab yang merujuk kepada kebiasaan (adat lisan alArab) dan kejelasan simbol serta benda yang disimbolkan, terutama adalah kemampuan akal memahami

maknanya dengan menggunakan metode demonstratif. Akan tetapi standard bahasa Arab dengan simbol-simbol itu tidak dikaitkan dengan bahasa sebagai simbol suatu konsep yang dijelaskan Nabi dan difahami oleh para sahabat dan tabiin. Demikian pula proses tawil yang dijelaskan seakanakan menggambarkan bahwa pengetahuan ahl al-burhan adalah taken for granted, benar. Ini bermakna bahwa kebenaran wahyu perlu dikaji ulang dan tidak memberikan ruang untuk menjelaskan proses bagaimana seharusnya pengetahuan demonstrasi dikaji ulang . Pandangan ini boleh difahami sebagai mendahulukan akal daripada wahyu, yaitu pandangan yang bertentangan dengan pemikiran salaf, seperti al-Ghazzali, Ibn Hazm, Ibn Taymiyyah atau lainnya. Dengan membatasi makna perkataan al-rasikhun fi al-ilm berarti ia memberikan otoritas mentawilkan makna batin al-Quran kepada filosof, tanpa mempertimbangkan otoritas Nabi dan para sahabat. Hal ini membahayakan kemutlakan kebenaran wahyu, walhal pengetahuan para filosof tentang realitas (wujud), yang diperolehi dari metode demonstrasi belum dapat dikatakan final. Dalam masalah doktrin ketuhanan atau konsep tentang Tuhan, misalnya, falsafah Yunani masih mengandung pertentangan dan berbeda dari konsep dalam alQuran. Jika Ibn Rushd membahas lebih detail konsep akal tanpa membatasi pada metode demonstrasi falsafah Yunani kesesuaian akal dan wahyu dapat difahami lebih jelas. Prinsip kesesuaian Ibn Taymiyyah Prinsip kesesuaian Ibn Taymiyyah yang berarti tanpa pertentangan tercemin dari judul kitabnya yang menggunakan perkataan muwafaqat dan dar taarud. Meskipun implikasi makna perkataan ini hampir sama dengan perkataan ittisal dalam pandangan Ibn Rushd, tapi prinsipprinsip yang digunakan berbeda, terutama dalam memahami makna akal (aql ) dan dalam menjabarkan wahyu

(al-naql, al-sam). Prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah ini dapat difahami dari komentar dan jawabannya terhadap masalah yang dibahas oleh filosof dan mutakallimun khususnya Fakhr alDin al-Razi, yaitu : bagaimanakah penyelesaiannya jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Dari kesemua pembahasan Ibn Taymiyyah sekurang-kurangnya terdapat tiga prinsip utama yang dimaksud untuk menjawab masalah itu dan membangun prinsip kesesuaian antara akal dan wahyu. Ketiga-tiga prinsip itu ialah sebagai berikut: Pertama, bahwa rasional atau tradisional bukanlah sifat yang boleh menentukan sesuatu itu benar atau salah, diterima atau ditolak. Ia hanyalah metode atau jalan untuk mengetahui sesuatu. Jika sesuatu itu berasal dari tradisi (al-sam) semestinya ia bersifat rasional, sifat tradisional tidak bertentangan dengan sifat rasional. Shariah terkadang bersifat tradisional dan terkadang rasional; bersifat tradisional (samiyyan) jika ia menetapkan dan menunjukkan sesuatu, dan bersifat rasional jika ia memperingatkan dan menunjukkan sesuatu hal. Kedua, jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, maka prioritas diberikan kepada wahyu dan menolak akal. Akal tidak mungkin diberi prioritas karena melalui akal kebenaran wahyu dibuktikan. Jika akal diberi prioritas sedangkan akal itu sendiri boleh berbuat salah, maka ia tidak boleh menjadi alat untuk menentukan kebenaran, lagipun disini wahyu akan dianggap mengandung kesalahan. (Ibn Taymiyyah, Dar Taarud, vol.I). Prinsip ini masih bersifat umum dan tidak termasuk pertentangan antara pengetahuan tradisional (wahyu) dan rasional (akal). Ketiga, jika pertentangan terjadi antara proposisi akal dan wahyu maka harus dikaji apakah proposisi itu qati atau zanni. Jika keduadua proposisi itu qati, maka tidak

mungkin terjadi pertentangan dan jika kedua-dua proposisi itu zanni maka dipilih proposisi yang lebih pasti (rajih). Jika proposisi yang dihasilkan akal lebih pasti (qati), maka prioritas diberikan kepada proposisi akal daripada proposisi dari pengetahuan wahyu (al-sami) dan sebaliknya. Tapi proposisi akal diutamakan bukan karena ia berasal dari akal tapi karena sifat qati-nya itu. (Ibn Taymiyyah, Dar Taarud, vol.I) Secara umum http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization Powered by Mambo Generated: 12 November, 2007, 06:35pandangan Ibn Taymiyyah menolak prinsip akal sebagai asas wahyu dan asas bagi menentukan kesahihan wahyu yang berarti mendahulukan akal daripada wahyu. Alasannya, karena keberadaan wahyu berasal dari nabi (al-sam) dan bukan dari akal. Meskipun kebenaran wahyu dapat diketahui dengan pengetahuan akal, tapi pengetahuan akal tidak dapat menetapkan adanya (thubut) wahyu. Kesahihan wahyu tidak mungkin bergantung pada pengetahuan yang diperoleh akal, sebab sifat dapat difahami atau diketahui oleh akal bukanlah sifat lazim (sifah lazimah) sesuatu benda. Seandainya kebenaran wahyu itu tidak diketahui atau dibuktikan oleh akal sekalipun ia tetap memiliki sifat kebenaran, karena itu kita tidak dapat menjadikan semua pengetahuan akal sebagai asas bagi wahyu atau dalil bagi kebenarannya. Baginya, asas kesahihan wahyu adalah kebenaran Nabi (sidq al-rasul ). Mendahulukan akal berarti pada mengutamakan pendapat filosof, mutakallim atau sufi daripada risalah Nabi, dan dapat mengakibatkan bidah dan kekufuran. (Ibn Taymiyyah, Dar Taarud, vol.V, 320-322. Naqd alMantiq, 55) Meskipun demikitan, Ibn Taymiyyah sama sekali tidak merendahkan makna akal jika akal difahami sebagai a) watak (gharizah) atau b) pengetahuan yang diperoleh dari akal (al-marifa al-hasila bi-l-aql). Sebagai gharizah akal menjadi syarat bagi segala macam

ilmu, apakah rasional ataupun irrasional, dan dalam kedudukannya sebagai syarat, akal tidak dapat bertentangan dengan wahyu. Demikian pula sebagai pengetahuan yang diperoleh dari gharizah tadi akal difahami sebagai pengetahuan akal yang jelas dan pasti kebenarannya (aqli qati). Pada poin ini Ibn Taymiyyah tidak memberikan penjelasan lebih detail atau contoh tentang apa hakekat pengetahuan akal yang pasti (aqli qati) itu. Mungkin maksudnya adalah pengetahuan yang diperoleh melalui fitrah, seperti yang ia jelaskan dalam kitabnya Naqd al-Mantiq. Tapi mungkin juga bermaksud 9DE 'D61H1J (necessary knowledge), yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tawatur dan yang menjamin pengetahuan yang pasti (ilm al-yaqini ) secara lafzi atau maknawi. Pengetahuan ini dimiliki oleh Sahabah, tabiun dan tabi al-tabiun, sebab baginya mereka itu adalah sumber ilmu pengetahuan tradisi yang harus dipercayai. Tapi yang jelas pengertian aqli qati ini merujuk kepada pengetahuan yang bukan berasal dari pemikiran spekulatif atau al-burhan seperti pandangan Ibn Rushd. Selanjutnya dalam mendahulukan wahyu Ibn Taymiyyah berprinsip bahwa wahyu itu benar dan disampaikan melalui argumentasi-argumentasi tradisional dan rasional, karena itu tidak dapat bertentangan dengan pengetahuan akal yang benar. Pertentangan itu mungkin terjadi karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau pengetahuan akal yang salah. Pengetahuan wahyu yang benar diperoleh dari proses berfikir yang benar dan pengetahuan terminologi yang sesuai dengan tradisi, dan bukan diluar itu. Maka itu ia membedakan terminologi (alfaz) yang digunakan dalam sunnah dan disepakati oleh ahl al-ijma dari terminologi yang tidak terdapat dalam tradisi

(shariah, nusus wahyu dan sunnah). Untuk membedakan keduanya yang diperlukan adalah pemahaman terhadap tradisi (al-sam, al-sunnah) yang merujuk pada perkataan Nabi, Sahabah, tabiun and tabi al-tabiun. Dari mereka inilah otoritas memahami wahyu bermula, sebab Nabi Muhammad SAW adalah makhluk yang paling tahu kebenaran dan karena itu ia adalah orang paling mampu untuk menerangkan kebenaran. Maka itu ia memahami istilah tawil sebagai menjelaskan seperti yang dimaksud Allah atau merujuk kepada apa yang dikehendaki Allah dan kreteria tawil yang dapat diterima (tawil al-maqbul), adalah tawil yang sesuaia dengan arti yang dimaksud oleh pembicara atau Tuhan melalui Nabi. Maka dari itu Ibn Taymiyyah tidak membatasi obyek tawil kepada perkataan majazi dalam al-Quran seperti dibahas Ibn Rushd. Meskipun ia mengartikan tawil sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada kesesuaiannya dengan makna zahir dari lafaz ucapan itu. Dalam pandangannya perkataan zahir yang dapat difahami dari lafaz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan (quyud) yang ada didalamnya. Ianya tidak memiliki denotasi yang uniform sehingga harus ditawilkan apa adanya seperti yang dilakukan Ahl al-Ithbat, dan tidak memiliki denotasi batin yang harus selalu difahami secara batin seperti yang dilakukan Nufat al-Sifat. Jadi perkataan zahir diketahui dari denotasi lafaz secara mutlak, atau dari denotasi konteksnya atau dari kesamaannya dengan konteks yang lain. Untuk itu ia menetapkan tiga sharat agar tawil itu dapat diterima: 1) menjaga agar lafaz itu sesuai dengan makna yang terdapat dalam Bahasa

Arab dan maksud al-shari serta tidak memahami dengan makna lain. 2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya. 3) memperhatikan ikatan-ikatan (quyud ) yang terdapat dalam lafaz dan yang mengikat maknanya, sebab perbedaan satu lafaz dengan lafaz lain ditentukan oleh ikatan yang menyertainya. Oleh itu kita tidak boleh mentawilkan lafaz-lafaz alQuran dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masingmasing lafaz. Selanjutnya ia membagi tawil menjadi dua: Pertama, tawil yang berkaitan dengan perintah kepada manusia untuk berbuat, disebut dengan al-tawil al-talabi, yaitu tawil tengang perintah dan larangan (al-amr wa al-nahy). Disini Ibn Taymiyyah menerima adanya kontradiksi antara satu teks dengan yang lain, berkaitan dengan teks-teks nasikh dan mansukh. Kedua, tawil yang berkaitan dengan apa-apa yang disampaikan Tuhan (akhbar) tentang diriNya, tentang Hari Akhir dan lain-lain yang benar belaka sifatnya. Tawil dalam masalah yang kedua ini hanya Allah saja yang mengetahuinya, sedangkan manusia hanya dapat mengetahui arti literal teks itu, tapi tidak mengetahui tawil atau realitas yang sesungguhnya. Dalam masalah-masalah doktrin (akhbar) ini Ibn Taymiyyah tidak melihat adanya kontradiksi teks wahyu seperti dalam al-tawil altalabi, kontradiksi itu wujud hanya dalam akal orang yang memahami Jelaslah bahwa Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd berbeda dalam memahami makna tawil. Bagi yang pertama tawil sama dengan tafsir dan menekankan pada kesesuaian zahir lafaz dengan makna dan makna dengan maksud al-shari, sedangkan yang kedua menekankan makna tawil pada penjelasan

makna sebenar (haqiqi) dari makna majazi atau makna batin sesuatu teks. Perbedaan ini dapat difahami lebih jelas melalui pemahaman mereka dalam mentawilkan ayat-ayat mutashabihat yang diterangkan dalam alQuran (3:7). Ibn Rushd memahami bahwa tawil ayat mutashabihat hanya diketahui oleh Allah dan orangorang yang memiliki ilmu berfikir demonstratif, sedangkan bagi Ibn Taymiyyah hanya Allah saja yang tahu. Ia meletakkan titik setelah perkataan %D' 'DDG dan bukan sesudah perkataan al-rasikhun fi al-ilm. Karena menurutnya http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization Powered by Mambo Generated: 12 November, 2007, 06:35para sahabah dan tabiun memahami ayat mutashabihat, tapi mereka tidak mengetahui realitas sesungguhnya (modalitas) dari khabar yang disampaikan Allah itu dan hanya Allah saja yang tahu la yalamu tawilahu illallah. Inilah sebabnya mengapa Ibn Taymiyyah tidak menjelaskan perkataan al-rasikhun fi al-ilm, karena ia tidak berkaitan dengan otoritas mentawilkan. Abrahamov mendakwa ayat ini mematahkan pendapat Ibn Taymiyyah, karena kalimat hanya Allah saja yang tahu tawil ayat mutasyabihat, menunjukkan bahwa Nabi dan dari para sahabat tidak mengetahui maknannya. Tapi nampaknya Abrahamov salah faham sebab tawil yang difahami Ibn Taymiyyah dalam ayat ini adalah realitas atau modaliti atau dalam bahasa salaf disebut al-kayf. Kesimpulan Usaha Ibn Rushd untuk menghubungkan akal dan wahyu sangat sistimatis, akan tetapi pembatasan makna akal pada kemampuan berfikir demonstratif yang hanya dimiliki oleh filosof mengundang berbagai pertanyaan. Ia nampak seperti berlebihan dalam menilai kemampuan akal dan metode demonstrasi, tapi ia tidak mengamalkan tawil yang berasaskan al-burhan dalam membahas issue-issue falsafahnya. Demikian pula apabila ia

memberikan otoritas kepada filosof untuk mentawilkan wahyu, melebihi yang lain, ia telah mendahulukan akal daripada wahyu dan ini boleh mengurangi kemutlakan wahyu. Pandangan Ibn Taymiyyah adalah sebaliknya, yaitu memberi prioritas kepada wahyu tapi ia tidak mengesampingkan akal sama sekali. Akal dan pengetahuan akal yang berfikir benar tidak akan bertentangan dengan wahyu. Akal bagi Ibn Taymiyyah tidak memiliki status independent seperti pandangan Ibn Rushd. Dan berbeda dari al-Razi akal tidak dapat menjadi asas bagi wahyu, tapi justru wahyu adalah asas bagi akal. Karena ia tidak mengakui adanya pertentangan antara akal dan wahyu maka ia melihat itu hanya karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau pengetahuan akal yang salah. Untuk itu ia memandang perlunya pengetahuan tentang tradisi dan pendekatan linguistik yang benar, dan inilah esensi konsep tawil Ibn Taymiyyah. Mungkin kesimpulan Abrahamov benar bahwa dalam Islam reaksi terhadap trend penggunaan akal dapat di gambarkan sebagai berada pada dua kutub: a) menolak secara mutlak anggapan bahwa akal adalah sumber pengetahuan agama dan b) menerima akal sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Tujuan Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd hakekatnya sama tapi posisi mereka tidak sama, meskipun kedua-duanya tidak berada pada salah satu kutub secara ekstrim, tapi mereka memiliki kecenderungan masing-masing pada salah satunya. Akhirnya, dari pandangan kedua-dua pemikir ini kita mengetahui bahwa konsep akal dan konsep berfikir serta pengetahuan yang benar dan tidak bertentangan dengan wahyu masih merupakan sesuatu poin yang perlu pembahasan lebih detail. http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization Powered by Mambo Generated: 12 November, 2007, 06:35

AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAMI. AKAL Kata akal yang menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab Al `aqli yang terbentuk dalam kata benda. Berlainan dengan kata Al wahyi ,tidak terdapat dalam Al qur`an. Dalam pemahaman Prof. Izuttsu, kata aql dijaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut dengan kecakapan memecahkan masalah (Problem Solving Capacity). Orang berakal menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali Ia dihadapkan pada suatu problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang Ia hadapi.Aqala juga mengandung arti, memahami dan berfikir. Tetapi timbul pertanyaan apakah pengertian, pemikiran dan pemahaman dilakukan melalui akal yang berpusat dikepala. Akal terbagi menjadi dua bagian : A. Akal praktis (Aamilah) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang.seperti contoh : insting seekor kucing ketika dipukul oleh seseorang , maka pada suatu ketika saat dia beertemu dengan orang yang memukulnya, maka dia akan lari namun dia tidak tahu sampai kapanpun mengenai mengapa dia dipukul. B. Akal teoritis (Aalimah) yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan Malaikat. Akal praktis memutuskan perhatian kepada alam materi, menangkap kekhususan. Akal teorotis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian kepada dunia materi dan menangkap keumuman (kulliat universals). Akal teoritis mempunysi empat derajat antara lain : a. Akal Materil (Al-aqli al-hayulani), yang merupakan potensi belaka, yaitu akal yang kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam alam materi.akal ini belum keluar, jadi harus dicari dan diciptakan. b. Akal bakat (al-aqli bil malakah), yaitu akal yang kesanggupannya berfikir secara murni abstrak telah mulai kelihatan. Ia telah dapat menangkap pengertian dan kaidah umum. Akal ini sudah tercipta tinggal manusianya yang mengembangkan. c. Akal aktuil (al-aqlli bil al-fili) yaitu akal yang telah dan lebih mudah dan lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaidah dimaksud. Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapt dikeluarkan setiap kali dikehendaki. d. Akal perolehan (Al-aqli al-mustafad), yaitu akal yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal ini adalah milik para Nabi dan rasul Allah. Akal dalam derajat keempat inilah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Maka kaum teolog Islam mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Abu Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang yang dapat memperbedakan antara dirinya dan benda-benda satu dari yang lain, akal mempunyai daya untuk mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap panca indera. Disamping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara baik dan buruk. Akal dalam pengetian Islam, bukanlah otak, tetapi adalah daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Daya yang digambarkan dalam Al quran, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri Manusia yaitu Tuhan. II. Wahyu Wahyu berasal dari kata Arab Al wahyu, yaitu suara, api dan kecepatan. Disamping itu ia juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al wahyu selanjutnya berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihannya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik didunia ini maupun diakhirat kelak. Ada tiga cara penyampaian wahyu, yang pertama, melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham. Kedua, dari belakang tabir sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi Musa. Dan yang ketiga, melalui utusan yang dikirim dalam bentuk malaikat. Sebagaimana telah dijelaskan diatas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan yang bersifat immateri dan manusia yang besrsifat materi. Menurut ajaran

tasawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa, dengan banyak beribadah, melakukan shalat dan berpuasa , membaca Al quran dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi semakin bersih dan jernih sehingga Ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan oleh Tuhan. Dalam Tasawuf dikenal tingkatan marifah, dimana seorang sufi dapat melihat Tuhan dengan kalbunya, dan dapat pula berdialog dengan Tuhan. Dalam pada itu komunikasi seorang sufi dengan Tuhan tidak sampai mengambil bentuk wahyu, karna wahyu adalah khusus bagi Nabi-nabi dan Rasul-rasul. III. Pergulatan antara akal dan wahyu Masalah akal dan wahyu dalan pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks manakah diantara keduanya, akal atau wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban berterima kasih pada Tuhan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Aliran mutazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal tersebut diatas. Sementara itu, aliran maturidiyah Samarkand yang juga penganut pemikiran kalam rasional, mengatakan bahwa kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk, akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal lainnya. Sebaliknya aliran asyariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, baik dan buruk, serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat, diketahui manusia berdasarkan wahyu.sementara aliran Maturidiyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikir kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut diatas, yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk, dapat diketahui melalui akal, sedangkan dua hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih pada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk, hanya diketahui dengan wahyu. Ayat-ayat al-Quran yang dijadikan dalil oleh mutazilah dan Maturidiyah Samarkand untuk menopang pendapat mereka adalah surat fushilat ayat 53,surat al-ghasyiyah ayat 17 dan surat alaraf ayat 185. Tiga ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah telah mewajibkan perenungan dan pemikiran terhadap ciptaanNya agar diketahui bahwa dia Maha pencipta. Ini berarti bahwa ayatayat tersebut menunjukkan bahwa wajib beriman kepada Allah sebelum turunnya wahyu. Karena manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui bahwa kekufuran itu haram, karena kekufuran itu sesuatu yang dibenci oleh Allah. Oleh sebab itu, dengan kemampuan akalnya manusia mampu mengetahui bahwa beriman pada Allah itu adalah wajib. Sementara itu. Aliran kalam tradisional mengambil beberapa ayat al-Quran sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat mereka. Ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat al-isra, ayat 134 surat thaha, ayat 164 surat an-nisa dan ayat 8-9 surat al-mulk. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah baru memberikan ganjaran atas perbuatan manusia yang baik dan yang buruk setelah Nabi dan Rasul di utus. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan agama hanya bisa diketahui oleh manusia dengan perantaraan Nabi dan Rasul, tidak dengan akalnya semata-mata. Kewajiban-kewajiban baru ada setelah diberitahukan oleh Allah. Keimanan dan kekufuran tidak dapat diketahui kecuali dengan pengabaran seseorang yang diutus oleh Allah, demikian pula kewajiban tidaklah tergambar kecuali sesudah diutusnya rasul. Sedikit agak aneh memang, persoalan pertama yang muncul dalam Islam sebagai agama adalah bidang politik, bukan bidang teologi atau keagamaan. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan tidak pernah berhenti. Kesimpulannya, munculnya persoalan-persoalan aqidah dalam Islaman men seperti pelaku dosa besar apakah dia mukmin hanyalah berasal dari persoalan rebutan kursi , jadi sangat-sangat subjektif. Sejak saat itulah persoalan-persoalan teologi berkembang dari hanya persoalan-persoalan pelaku dosa besar, menjadi bermacam-macam diskursus teologi yang melahirkan banyak sekali aliran-aliran yang tetap berpengaruh hingga sekarang. Demikian juga persoalan wahyu dan akal, merupakan persoalan yang mendapatkan porsi pembahasan lumayan besar dalam lingkup teologi (ilmu kalam) dalam Islam. Persoalan wahyu dan akal muncul sebagai bentuk merespon realitas yang terjadi diluar mereka apakah harus melihat dan memahaminya lewat akal atau lewat wahyu. Aliran-aliran teologi yang muncul dalam menyikapi ini secara garis besar dapat dibagi kepada dua mazhab yaitu mazhab rasional (rayu) yang diwakili oleh mutazilah dimana kemudian filosof tergabung didalamnya dan mazhab non rasional (wahyu), yang diwakili oleh teolog-teolog Islam konservatif dan fundamentalis yang sampai hari ini pengaruhnya ada pada ortodoksi Islam tertua yaitu Asyariah (Sunni/Ahlus Sunnah wal Jamaah).

Dalam sejarah Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan kufur adalah diskursus yang telah membawa pengaruh terhadap hasil karya besar dan spektakuler dalam kegemilangan peradaban Islam di ranah ilmu pengetahuan. Namun tidak selamanya diskursus ini penuh dengan kegemilangan, ada juga masa-masa suram dimana dengan diskursus ini pula telah mematikan kebebasan berfikir, dengan vonis kafir dan sesat kepada teolog, filsuf dan tokoh-tokoh tasawuf yang punya talenta luar biasa mengupas seluruh rahasia-rahasia semesta. Persoalan yang dihadapi saat ini adalah, diskursus wahyu dan akal, iman dan kufur telah dikuasai oleh ortodoksi Islam. Dalam wahyu dan akal, akal harus tunduk pada wahyu, artinya wahyu adalah yang utama. Dalam pandangan Asyariah akal adalah pelayan terhadap wahyu, mereka tidaklah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh Mutazilah. Demikian juga persoalan Iman dan kufur juga tidak terlepas dari cengkeraman ortodoksi Islam yang mengajarkan kepada umat Islam hari ini bahwa keselamatan hanya dimiliki oleh orang-orang beriman dan hanya ada pada golongan Asyariah (Sunni) yang hari ini menjelma menjadi Ahlus Sunnah wal Jamaah, diluar golongan ini adalah golongan kufur (kafir) sehingga tidak ada keselamatan bagi orang-orang kufur, di luar golongan mereka sudah di anggap ingkar Allah dan ingkar Nabi, karena tidak lagi mengesakan Tuhan dengan zat maupun sifatnya. Dalam ortodoksi Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan Kufur adalah seperti definisi di atas dan ini sudah Fixed Price ( harga mati ), definisi ini semakin mendoktrinasi umat Islam ketika di monopoli oleh lembaga formal agama seperti MUI, sehingga fatwa-fatwa yang lahir adalah : inilah tauhid yang murni dan sebenarnya, yang harus dipegang umat Islam saat ini jika ingin selamat, tidak boleh ada peran akal dalam tauhid, tidak boleh ada kebebasan berfikir dalam tauhid, iman dan kufur sudah jelas, bahwa diluar Ahlussunnah Wal Jamaah semuanya sesat dan kufur, tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi direlatifkan. Persoalan selanjutnya, Dalam konteks kekinian, apakah benar tidak ada lagi tawar menawar dalam persoalan iman dan kufur, apakah ini sesuatu yang tidak bisa di interpretasikan lagi. Apakah persoalan tauhid sesautu yang sudah final dan hanya milik satu golongan tertentu tanpa bisa dinterpretasikan lagi dan didekati dengan persfektif lain diluar ilmu tauhid ?. demikian juga dengan persoalan wahyu dan akal, apakah benar sesuai dengan ortodoksi umat Islam hari ini bahwa akal harus tunduk kepada wahyu, akal hanyalah pelayan wahyu. Apakah ortodoksi pemahaman tauhid seperti diatas (teologi asyary) berpengaruh terhadap eksistensi dan etos kerja umat Islam saat ini yang mundur, terbelakang, bergulat dengan kemiskinan. Apakah benar tauhid adalah aqidah atau malah tauhid ini bukan aqidah dan apakah perlu kita mengaktualisasikan kembali pemahaman tauhid sesuai dengan konteks kekinian dan dengan pendekatan dan persfektif lain ? Menyimak pertanyaan-pertanyanan diatas, tentu perlu kita kait dan sinergiskan dengan model dunia dan kehidupan saat ini yang semakin lama semakin maju, modern dan canggih saja. Artinya, keadaan yang semakin modern ini perlu diikuti oleh pola tingkah, pola kerja dan pola pemikiran sesuai dengan konteks zaman. Jika tidak, maka akan terus tertinggal karena tidak bisa mengejar, menyamai apalagi bersaing. Misalnya, jika sedang hujan, kita malah menjajakan es , apa yang akan terjadi ?. Pola tingkah, pola kerja dan pola pikir umat Islam bersumber dari ketauhidan mereka. Seperti apa definisi tauhid yang mereka yakini, seperti itu juga turunan tingkah, kerja dan pemikiran mereka. Hari ini, tauhid yang diyakini oleh umat Islam adalah tauhidnya Sunni, yang mengajarkan seperti disebutkan diatas, hanya ada satu kebenaran, hanya ada satu jalan keselamatan, wahyu harus diatas segala-galanya, sehingga kita dapat melihat di Indonesia khususnya dan belahan dunia Islam lain pada umumnya, bahwa umat yang dihasilkan dari tauhid seperti ini adalah umat yang eksklusif, fundamentalis, konservatif,umat yang rajin melakukan kerusakan dan tindakan bar-bar. Fenomena diatas terjadi dikarenakan tauhid tersebut dipahami dengan menggunakan persfektif yang memandang Islam sebagai teks (tekstual), bukan dengan perfektif kontekstual. Artinya tanpa mau mengerti bahwa teks tauhid yang dinggap final dalam ortodoksi Islam berasal dari konfigurasi pemikiran dan penalaran subjektif manusia. Bisa juga terjadi dikarenakan Islam yang di agungkan dan dipraktekkan adalah Islam Syariat yang diyakini paripurna, mutlak dan absolut, bukan Islam peradaban, yang semuanya serba relatif, yang dengan Islam seperti ini sebenarnya telah membawa Islam kepada puncak kejayaan dalam sejarah peradaban dan ilmu pengetahuan. Tauhid teks wahyu diatas segalanya, tanpa peran akal dan tidak ada keselamatan diluar komunitas sendiri dalam perfektif Syariat melahirkan umat yang rigid (kaku), tidak ada kebebasan dalam berfikir, dan suka melakukan takfir. Sedangkan Tauhid yang dipahami dalam konteks peradaban akal di atas wahyu dan keselamatan itu relatif akan menghasilkan umat yang toleran, humanis, bebas berfikir, yang semua ini merupakan sebuah syarat kemajuan dalam komunitas global. Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan adalah, dari pemaparan tauhid tekstual dan tauhid

kontektual yang penulis paparkan diatas, apakah mutlak seperti itu, dan masing-masing berdiri sendiri. tanpa bisa didialogkan lagi. Tidak bisakah lagi mendialogkan antara wahyu dan akal, iman dan kufur. Jawabannya bisa saja bisa dan bisa saja tidak. Tidak bisa jika persfektif yang digunakan adalah persfektif Islam paripurna (Islam Syariat) dan bisa jika perfektif yang digunakan adalah persfektif Islam peradaban atau Islam pemikiran lebih jelasnya kita sebut dengan persfektif pemikiran ke Islaman. Tujuan mendialogkan ini adalah pertama agar kita terlepas dari pengaruh ortodoksi Islam, yang mengharamkan kebebasan berfikir, dan tujuan mendialogkan ini adalah untuk melakukan telaah kritis, wahyu dan akal, iman dan kufur, untuk interpretasi dan reaktualisasi tauhid dalam konteks kekinian dengan pola adanya kebebasan berfikir diatas. Maka nantinya akan kita dapatkan jawaban, bagaimanakah sebenarnya, apakah wahyu yang harus tunduk kepada akal, atau malah sebaliknya, atau malah kita tidak perlu kepada wahyu, cukup dengan akal dan apakah tauhid itu aqidah ataukah hanya sebuah pemikiran. Mari kita dialogkan ini secara kritis. Dalam sejarah Islam sebagai khazanah dan peradaban, semua objek dalam Islam akan mudah di pahami jika menggunakan pendekatan pemikiran, karena persoalan teologi, filsafat, tasawuf, politik dalam Islam, ushul fiqh termasuk dalam ranah pemikiran ke Islaman. Syarat utama dari persfektif pemkiran ke Islaman adalah adanya kebebasan berfikir, semuanya relatif, tanpa ada vonis sesat dan takfir. Inilah yang tidak dipunyai ortodoksi Islam. Agama dilihat hanya dari satu aspek (Syariat), tidak di lihat dari aspek pemikiran yang sebenarnya merupakan nyawa atas keberlangsungan sebuah agama. Menurut Lutfi Assyauakanie, persoalan kebebasan berfikir dalam Islam berakar dari permusuhan dan kecurigaan berlebihan terhadap peran akal. Sejak awal, kaum muslim terbelah dalam menyikapi perubahan sosial yang terjadi disekitar mereka, apakah harus melihat dan memahaminya lewat akal atau wahyu. Ortodoksi Islam umumnya berpegang teguh kepada wahyu, karena mereka meyakini bahwa segala sesautu didunia ini sudah termaktub dalam al-Quran. Kalaupun tidak ada disana, mereka meyakini bahwa al-Quran memberikan sinyalemen-sinyalemen untuk itu. Dengan kata lain, wahyu harus didahulukan diatas akal dalam menilai apa saja. Sementara itu bagi filosof dan pemikir muslim, akal merupakan pemberian Tuhan yang paling berharga, lebih berharga dari kitab suci itu sendiri. Tanpa akal, kitab suci tidak akan bisa dipahami. Bagi mereka jika akal dan wahyu berbenturan, maka wahyu haruslah diinterpretasikan. Dalam sejarahnya, hubungan agama dan pemikiran adalah sejarah ketegangan. Dalam Islam, pertentangan antara Islam dan ilmu pengetahuan relatife kecil, hal ini dikarenakan tidak pernah terjadi sebuah revolusi sains seperti yang terjadi di Eropa. Kemajuan sains dan ilmu pengetahuan dalam Islam relatif sejalan dengan ideologi ortodoksi. Bahkan beberapa sains dalam Islam berkembang pesat akibat langsung dari ketertundukan sains di atas agama. Hal ini berbeda dengan pemikiran spekulatif yang dikembangkan dalam disiplin filsafat dan teologi. Pandangan pandangan filsuf dan teolog kerap berbenturan dengan keyakinan ortodoksi Islam, dan sumber utamanya adalah kecurigaan di gunakannya unsur-unsur asing di luar konteks Arab dan Islam. Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Artinya ada dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu yang bisa di kaji dalam ranah pemikiran. Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan. Kedua aliran ini, dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber pengetahuan. FUNGSI WAHYU Wahyu bagi kaum Mutazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia diakhirat. Sebagaimana kata Abd. Jabbar, akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain. Demikian pula akal tidak dapat mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua ini hanya dapat diketahui hanya dengan perantaraan wahyu. Demikian pula pendapat Al Jubbai,

wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh oleh manusia diakhirat kelak. Wahyu bagi kaum Mutazilah juga mempunyai fungsi informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui oleh akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh oleh akal. DAFTAR PUSTAKA Nasution, Harun, akal dan wahyu dalam iaslam, cet. Ke-II, Jakarta: UI Press. 1986. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Perbandingan, cet. Ke-5, Jakarta: UI Press. 1986. Yusuf, M. Yunan, Corak Pemikiran kalam Tafsir Al azhar, Jakarta: Permadani, 2004. [i] . Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Harun Nasution, UI-Press, Jakarta 1986.