akal dan wahyu dalam pandangan ibnu rushd dan ibn taymiyyah
Dalam sejarah pemikiran Islam persoalan hubungan antara akal dan
wahyu merupakan issue yang selalu hangat diperd ebatkan oleh
mutakallimun dan filosof. Issue ini menjadi penting karena ia
memiliki kaitan dengan argumentasi -argumentasi mereka dalam
pembahasan tentang konsep Tuhan, konsep Ilmu Ilmu, konsep etika dan
lain sebagainya. ( Untuk diskusi tentang etika George F Hourani,
Reason and Tradition in Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge
University Press, 1985) Mereka berorientasi pada usaha untuk
membuktikan kesesuaian atau hubungan antara akal dan wahyu. (Lihat
A.J.Arberry, Revelation and Reason in Islam). Dalam konteks ini
konsep akal, wahyu dan tawil menjadi topik yang penting. Filosof
Muslim terpenting yang berusaha membuktikan hubungan antara akal
dan wahyu adalah Ibn Rushd (520 H/ 1126 A-595/ 1198) penulis buku
Fasl alMaqal dan Ibn Taymiyyah 662/ 1263 728/1328 A.H. penulis buku
Dar Taarud al-aql wa al-naql (sebelumnya diberi judul muwafaqat
sarih al-maqul ala sahih al-manqul). Yang pertama mencoba
menjelaskan hubungan sedang yang kedua berusaha menghindarkan
pertentangan atau menjelaskan kesesuaian. Akan tetapi Arberry
menganggap karya Ibn Rushd itu sebagai percobaan terakhir untuk
membuktikan hubungan antara akal dan wahyu, sedangkan Ibn Taymiyyah
digambarkan sebagai orang yang menghentikan percobaan ini.
Sejatinya keduanya berasumsi sama bahwa akal dan wahyu tidak
bertentangan, tapi karena situasi sosial dan latar belakang
pemikiran mereka tidak sama kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda
. Ibn Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang
beranggapan bahwa sains dan falsafah bertentangan dengan agama tapi
juga oleh konflik-konflik yang terjadi antara ahli-ahli filsafat
dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian Ibn Taymiyyah
difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam
pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan
filsafat seperti yang nampak dalam amalan-amalan bidah di
masyarakat. (Lihat Bello, Iysa A., Medieval Islamic Controversy
Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989. Ibn
Taymiyyah, Haqiqat Madhhab al-Ittihadiyyah dalam Majmuat al-Fatawa,
Cairo, Matba ah alHukumah, 1966). Prinsip hubungan Ibn Rushd Dalam
membahas masalah akal dan wahyu Ibn Rushd menggunakan prinsip
hubungan (ittisal) yang dalam argumentasi -argumentasinya mencoba
mencari hubungan antara agama dan falsafah.
Argumentasi-argumentasinya adalah dengan: Pertama, menentukan
kedudukan hukum daripada belajar falsafah. Menurutnya belajar
falsafah adalah belajar ilmu tentang Tuhan, yaitu kegiatan
filsosofis yang mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud
(al-mawjudat) yang merupakan pertanda adanya Pencipta (Sani),
karena al-mawjudat adalah produk dari ciptaan. Lebih sempurna ilmu
kita tentang hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat ) lebih sempurna pula
ilmu kita tentang Tuhan. Karena wahyu (shar) menggalakkan aktiviti
bertafakkur tentang al-mawjudat ini, maka belajar falsafah
diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu. Kedua membuat justifikasi
bahwa kebenaran yang diperolehi daripada demonstrasi (al-burhan)
sesuai dengan kebenaran yang diperolehi daripada wahyu. Disini ia
berargumentasi bahwa di dalam al-Quran terdapat banyak ayat-ayat
yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk
memahami segala yang wujud. Karena nazar ini tidak lain daripada
proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas
al-aqli), maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas
al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi),
yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum, metode
demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang
wujud (al-mawjudat), Hasil dari proses berfikir demonstrtif ini
adalah kebenaran dan tidak dapat bertentangan dengan kebenaran
wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran. Kedua-dua thesis diatas merupakan asas bagi kesimpulan
Ibn Rushd selanjutnya yang menyatakan bahwa para filosof memiliki
otoritas untuk mentawilkan al-Quran. Bagaimanapun thesis diatas
masih menyimpan satu pertanyaan: adakah kebenaran yang diperoleh
akal tidak akan bercanggah dengan kebenaran wahyu? Jawapan
pertanyaan ini tidak dinyatakan secara jelas, akan tetapi dapat
difahami dari teori Ibn Rushd kemampuan akal dalam memahami wahyu,
dan tentang wahyu yang diklassifikasikan kedalam makna. Berasaskan
pada kemampuan akal manusia, Ibn Rushd membahagi masyarakat kedalam
tiga kelompok: Pertama kelompok yang tidak dapat menafsirkan
al-Quran, Kedua, kelompok yang memiliki kemampuan menafsirkan
secara dialektik dan ketiga kelompok yang mampu menafsirkan secara
demonstratif yang disebut ahl al-burhan. (Lihat G.Hourani, Averoes
On the Harmony of Religion and Philosophy, London, Luzac & Co,
1976, 65) Akal dalam klassifikasi ini difahami sebagai kemampuan
untuk berfikir dan memahami. Sedangkan wahyu dibahagi kedalam tiga
bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu : 1) Teks yang
maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode
retorik, dialektik dan demonstratif); 2) Teks yang maknanya hanya
dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang terkandung
dalam teks ini terdiri dari: a) makna zahir, yaitu teks yang
mengandungi simbol-simbol (amthal ) yang dibuat untuk menerangkan
idea-idea yang dimaksud. b) makna batin yaitu teks yang mengandungi
idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut
ahl al-burhan.; 3) teks yang bersifat ambiguos
antara zahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk
kepada kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal. Nampaknya,
yang dimaksud Ibn Rushd sebagai hubungan (ittisal) adalah hubungan
antara ayat-ayat yang mengandungi makna batin dan kemampuan akal
untuk memahami dengan metode demonstratif. Maka itu menurutnya
perkataan al-rasikhun fi al-ilm. (Quran (3:7) adalah mereka yang
memiliki pengetahuan berdasarkan metode demonstrasi, yaitu para
filosof. Dari klassifikasi diatas agaknya jawapan yang diberikan
Ibn Rushd jelas bahwa pertentangan antara akal dan wahyu tidak
terjadi apabila akal difahami sebagai al-burhan. Namun demikian,
Ibn Rushd tetap mengakui adanya kemungkinan pertentangan antara ahl
al-burhan dan teks wahyu. Dan untuk itu solusi yang terbaik
menurutnya adalah seperti cara pengambilan hukum Fiqh. Dalam kes
tertentu pengetahuan tentang al-mawjud tidak disebutkan dalam wahyu
dan dalam kes yang lain disebutkan. Jika tidak disebutkan maka ia
harus disimpulkan daripadanya, seperti qiyas dalam Fiqh. Jika
pengetahuan itu disebutkan dan makna zahirnya betentangan dengan
hasil pemikiran demonstratif maka diselesaikan dengan dua cara:
Pertama dengan interpretasi secara majazi (alegorik) atau kiasan
makna zahir itu sesuai dengan aturan-aturan bahasa Arab yang
berlaku, yaitu menterjemahkan arti sesuatu ekspresi dari yang
bersifat metaforikal kepada pengertian yang sesungguhnya. Kedua
dengan mencari semua makna zahir dalam al-Quran yang bersesuaian
dengan interpretasi alegorik atau yang mendekati makna alegorik
itu. Akan tetapi untuk mentawilkan secara majazi makna ayat zahir
pada alternatif pertama Ibn Rushd tidak hanya bersandar pada
aturan-aturan Bahasa Arab sahaja, ia juga menetapkan aturan
berasaskan pada kejelasan simbol dan benda yang disimbolkan untuk
menentukan apakah sesuatu ayat zahir boleh ditawilkan atau tidak.
Jika makna zahir sesuatu ayat adalah seperti arti yang dimaksudkan
(al-mana al-mawjud fi nafsihi), ayat itu tidak perlu ditawilkan.
Jika zahir ayat-ayat itu adalah simbol-simbol belaka dan bukan arti
yang sesungguhnya daripada zahirnya ayat-ayat itu harus ditawilkan
sesuai dengan kesesuaian antara simbol (almithal ) dengan benda
yang disimbolkan (al-mumaththal ). Jika simbol dan benda yang
disimbulkan dapat mudah diketahui maka setiap orang boleh
mentawilkannya. Tapi jika simbol dan benda yang disimbolkan sukar
diketahui atau jika simbol-simbol itu mudah diketahui tapi benda
yang disimbolkan sukar untuk diketahui atau jika benda yang
disimbulkan dapat difahami dengan mudah tapi simbol-simbol ayat itu
tidak dapat begitu saja diketahui, maka ayat-ayat ini hanya boleh
ditawilkan oleh yang berilmu dan tidak boleh diungkapkan kepada
orang awam kecuali dengan penjelasan yang berbeda . Disini Ibn
Rushd tidak menjelaskan lebih jauh tentang standard pengetahuan
al-mithal dan al-mumaththal atau kreteria untuk membenarkan
kesahihan pengetahuan mereka tentang kedua-dua hal itu. Nampaknya
asas yang digunakan Ibn Rushd dalam tawil adalah Bahasa Arab yang
merujuk kepada kebiasaan (adat lisan al-Arab) dan kejelasan simbol
serta benda yang disimbolkan, terutama adalah kemampuan akal
memahami maknanya dengan menggunakan metode demonstratif. Akan
tetapi standard bahasa Arab dengan simbolsimbol itu tidak dikaitkan
dengan bahasa sebagai simbol suatu konsep yang dijelaskan Nabi dan
difahami oleh para sahabat dan tabiin. Demikian pula proses tawil
yang dijelaskan seakan-akan menggambarkan bahwa pengetahuan ahl
al-burhan adalah taken for granted, benar. Ini bermakna bahwa
kebenaran wahyu perlu dikaji ulang dan tidak memberikan ruang untuk
menjelaskan proses bagaimana seharusnya pengetahuan demonstrasi
dikaji ulang . Pandangan ini boleh difahami sebagai mendahulukan
akal daripada wahyu, yaitu pandangan yang bertentangan dengan
pemikiran salaf, seperti al-Ghazzali, Ibn Hazm, Ibn Taymiyyah atau
lainnya. Dengan membatasi makna perkataan al-rasikhun fi al-ilm
berarti ia memberikan otoritas mentawilkan makna batin alQuran
kepada filosof, tanpa mempertimbangkan otoritas Nabi dan para
sahabat. Hal ini membahayakan kemutlakan kebenaran wahyu, walhal
pengetahuan para filosof tentang realitas (wujud), yang diperolehi
dari metode demonstrasi belum dapat dikatakan final. Dalam masalah
doktrin ketuhanan atau konsep tentang Tuhan, misalnya, falsafah
Yunani masih mengandung pertentangan dan berbeda dari konsep dalam
al-Quran. Jika Ibn Rushd membahas lebih detail konsep akal tanpa
membatasi pada metode demonstrasi falsafah Yunani kesesuaian akal
dan wahyu dapat difahami lebih jelas. Prinsip kesesuaian Ibn
Taymiyyah Prinsip kesesuaian Ibn Taymiyyah yang berarti tanpa
pertentangan tercemin dari judul kitabnya yang menggunakan
perkataan muwafaqat dan dar taarud. Meskipun implikasi makna
perkataan ini hampir sama dengan perkataan ittisal dalam pandangan
Ibn Rushd, tapi prinsip-prinsip yang digunakan berbeda, terutama
dalam memahami makna akal (aql ) dan dalam menjabarkan wahyu
(al-naql, al-sam). Prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah ini dapat difahami
dari komentar dan jawabannya terhadap masalah yang dibahas oleh
filosof dan mutakallimun khususnya Fakhr al-Din al-Razi, yaitu :
bagaimanakah penyelesaiannya jika terjadi pertentangan antara akal
dan wahyu. Dari kesemua pembahasan Ibn Taymiyyah sekurang-kurangnya
terdapat tiga prinsip utama yang dimaksud untuk menjawab masalah
itu dan membangun prinsip kesesuaian antara akal dan wahyu.
Ketiga-tiga prinsip itu ialah sebagai berikut: Pertama, bahwa
rasional atau tradisional bukanlah sifat yang boleh menentukan
sesuatu itu benar atau salah, diterima atau ditolak. Ia hanyalah
metode atau jalan untuk mengetahui sesuatu. Jika sesuatu itu
berasal dari tradisi (al-sam) semestinya ia bersifat rasional,
sifat tradisional tidak bertentangan dengan sifat rasional. Shariah
terkadang bersifat tradisional dan terkadang rasional; bersifat
tradisional (samiyyan) jika ia menetapkan dan menunjukkan sesuatu,
dan bersifat rasional jika ia memperingatkan dan menunjukkan
sesuatu hal. Kedua, jika terjadi pertentangan antara akal dan
wahyu, maka prioritas diberikan kepada wahyu dan menolak akal. Akal
tidak mungkin diberi prioritas karena melalui akal kebenaran wahyu
dibuktikan. Jika akal diberi prioritas sedangkan akal itu sendiri
boleh berbuat salah, maka ia tidak boleh menjadi alat untuk
menentukan kebenaran, lagipun disini wahyu akan dianggap mengandung
kesalahan. (Ibn
Taymiyyah, Dar Taarud, vol.I). Prinsip ini masih bersifat umum
dan tidak termasuk pertentangan antara pengetahuan tradisional
(wahyu) dan rasional (akal). Ketiga, jika pertentangan terjadi
antara proposisi akal dan wahyu maka harus dikaji apakah proposisi
itu qati atau zanni. Jika kedua-dua proposisi itu qati, maka tidak
mungkin terjadi pertentangan dan jika kedua-dua proposisi itu zanni
maka dipilih proposisi yang lebih pasti (rajih). Jika proposisi
yang dihasilkan akal lebih pasti (qati), maka prioritas diberikan
kepada proposisi akal daripada proposisi dari pengetahuan wahyu
(alsami) dan sebaliknya. Tapi proposisi akal diutamakan bukan
karena ia berasal dari akal tapi karena sifat qati-nya itu. (Ibn
Taymiyyah, Dar Taarud, vol.I) Secara umum pandangan Ibn Taymiyyah
menolak prinsip akal sebagai asas wahyu dan asas bagi menentukan
kesahihan wahyu yang berarti mendahulukan akal daripada wahyu.
Alasannya, karena keberadaan wahyu berasal dari nabi (alsam) dan
bukan dari akal. Meskipun kebenaran wahyu dapat diketahui dengan
pengetahuan akal, tapi pengetahuan akal tidak dapat menetapkan
adanya (thubut) wahyu. Kesahihan wahyu tidak mungkin bergantung
pada pengetahuan yang diperoleh akal, sebab sifat dapat difahami
atau diketahui oleh akal bukanlah sifat lazim (sifah lazimah)
sesuatu benda. Seandainya kebenaran wahyu itu tidak diketahui atau
dibuktikan oleh akal sekalipun ia tetap memiliki sifat kebenaran,
karena itu kita tidak dapat menjadikan semua pengetahuan akal
sebagai asas bagi wahyu atau dalil bagi kebenarannya. Baginya, asas
kesahihan wahyu adalah kebenaran Nabi (sidq al-rasul ).
Mendahulukan akal berarti pada mengutamakan pendapat filosof,
mutakallim atau sufi daripada risalah Nabi, dan dapat mengakibatkan
bidah dan kekufuran. (Ibn Taymiyyah, Dar Taarud, vol.V, 320-322.
Naqd al-Mantiq, 55) Meskipun demikitan, Ibn Taymiyyah sama sekali
tidak merendahkan makna akal jika akal difahami sebagai a) watak
(gharizah) atau b) pengetahuan yang diperoleh dari akal (al-marifa
al-hasila bi-l-aql). Sebagai gharizah akal menjadi syarat bagi
segala macam ilmu, apakah rasional ataupun irrasional, dan dalam
kedudukannya sebagai syarat, akal tidak dapat bertentangan dengan
wahyu. Demikian pula sebagai pengetahuan yang diperoleh dari
gharizah tadi akal difahami sebagai pengetahuan akal yang jelas dan
pasti kebenarannya (aqli qati). Pada poin ini Ibn Taymiyyah tidak
memberikan penjelasan lebih detail atau contoh tentang apa hakekat
pengetahuan akal yang pasti (aqli qati) itu. Mungkin maksudnya
adalah pengetahuan yang diperoleh melalui fitrah, seperti yang ia
jelaskan dalam kitabnya Naqd al-Mantiq. Tapi mungkin juga bermaksud
( necessary knowledge), yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui
proses tawatur dan yang menjamin pengetahuan yang pasti (ilm
al-yaqini ) secara lafzi atau maknawi. Pengetahuan ini dimiliki
oleh Sahabah, tabiun dan tabi al-tabiun, sebab baginya mereka itu
adalah sumber ilmu pengetahuan tradisi yang harus dipercayai. Tapi
yang jelas pengertian aqli qati ini merujuk kepada pengetahuan yang
bukan berasal dari pemikiran spekulatif atau al-burhan seperti
pandangan Ibn Rushd. Selanjutnya dalam mendahulukan wahyu Ibn
Taymiyyah berprinsip bahwa wahyu itu benar dan disampaikan melalui
argumentasi-argumentasi tradisional dan rasional, karena itu tidak
dapat bertentangan dengan pengetahuan akal yang benar. Pertentangan
itu mungkin terjadi karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak
jelas atau pengetahuan akal yang salah. Pengetahuan wahyu yang
benar diperoleh dari proses berfikir yang benar dan pengetahuan
terminologi yang sesuai dengan tradisi, dan bukan diluar itu. Maka
itu ia membedakan terminologi (alfaz) yang digunakan dalam sunnah
dan disepakati oleh ahl al-ijma dari terminologi yang tidak
terdapat dalam tradisi (shariah, nusus wahyu dan sunnah). Untuk
membedakan keduanya yang diperlukan adalah pemahaman terhadap
tradisi (al-sam, al-sunnah) yang merujuk pada perkataan Nabi,
Sahabah, tabiun and tabi al-tabiun. Dari mereka inilah otoritas
memahami wahyu bermula, sebab Nabi Muhammad SAW adalah makhluk yang
paling tahu kebenaran dan karena itu ia adalah orang paling mampu
untuk menerangkan kebenaran. Maka itu ia memahami istilah tawil
sebagai menjelaskan seperti yang dimaksud Allah atau merujuk kepada
apa yang dikehendaki Allah dan kreteria tawil yang dapat diterima
(tawil al-maqbul), adalah tawil yang sesuaia dengan arti yang
dimaksud oleh pembicara atau Tuhan melalui Nabi. Maka dari itu Ibn
Taymiyyah tidak membatasi obyek tawil kepada perkataan majazi dalam
al-Quran seperti dibahas Ibn Rushd. Meskipun ia mengartikan tawil
sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada
kesesuaiannya dengan makna zahir dari lafaz ucapan itu. Dalam
pandangannya perkataan zahir yang dapat difahami dari lafaz
bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula
yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan (quyud) yang ada
didalamnya. Ianya tidak memiliki denotasi yang uniform sehingga
harus ditawilkan apa adanya seperti yang dilakukan Ahl al-Ithbat,
dan tidak memiliki denotasi batin yang harus selalu difahami secara
batin seperti yang dilakukan Nufat al-Sifat. Jadi perkataan zahir
diketahui dari denotasi lafaz secara mutlak, atau dari denotasi
konteksnya atau dari kesamaannya dengan konteks yang lain. Untuk
itu ia menetapkan tiga sharat agar tawil itu dapat diterima: 1)
menjaga agar lafaz itu sesuai dengan makna yang terdapat dalam
Bahasa Arab dan maksud al-shari serta tidak memahami dengan makna
lain. 2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
pembicara dalam konteks lafaznya. 3) memperhatikan ikatan-ikatan
(quyud ) yang terdapat dalam lafaz dan yang mengikat maknanya,
sebab perbedaan satu lafaz dengan lafaz lain ditentukan oleh ikatan
yang menyertainya. Oleh itu kita tidak boleh mentawilkan
lafaz-lafaz al-Quran dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang
sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafaz. Selanjutnya
ia membagi tawil menjadi dua: Pertama, tawil yang berkaitan dengan
perintah kepada manusia untuk berbuat, disebut dengan al-tawil
al-talabi, yaitu tawil tengang perintah dan larangan (al-amr wa
al-nahy). Disini Ibn Taymiyyah menerima adanya kontradiksi antara
satu teks dengan yang lain, berkaitan dengan teks-teks nasikh dan
mansukh. Kedua, tawil yang berkaitan dengan apa-apa yang
disampaikan Tuhan (akhbar) tentang diriNya, tentang Hari Akhir dan
lain-lain yang benar belaka sifatnya. Tawil dalam masalah yang
kedua ini hanya Allah saja yang mengetahuinya,
sedangkan manusia hanya dapat mengetahui arti literal teks itu,
tapi tidak mengetahui tawil atau realitas yang sesungguhnya. Dalam
masalah-masalah doktrin (akhbar) ini Ibn Taymiyyah tidak melihat
adanya kontradiksi teks wahyu seperti dalam al-tawil al-talabi,
kontradiksi itu wujud hanya dalam akal orang yang memahami Jelaslah
bahwa Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd berbeda dalam memahami makna
tawil. Bagi yang pertama tawil sama dengan tafsir dan menekankan
pada kesesuaian zahir lafaz dengan makna dan makna dengan maksud
al-shari, sedangkan yang kedua menekankan makna tawil pada
penjelasan makna sebenar (haqiqi) dari makna majazi atau makna
batin sesuatu teks. Perbedaan ini dapat difahami lebih jelas
melalui pemahaman mereka dalam mentawilkan ayat-ayat mutashabihat
yang diterangkan dalam al-Quran (3:7). Ibn Rushd memahami bahwa
tawil ayat mutashabihat hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang
yang memiliki ilmu berfikir demonstratif, sedangkan bagi Ibn
Taymiyyah hanya Allah saja yang tahu. Ia meletakkan titik setelah
perkataan dan bukan sesudah perkataan al-rasikhun fi al-ilm. Karena
menurutnya para sahabah dan tabiun memahami ayat mutashabihat, tapi
mereka tidak mengetahui realitas sesungguhnya (modalitas) dari
khabar yang disampaikan Allah itu dan hanya Allah saja yang tahu la
yalamu tawilahu illallah. Inilah sebabnya mengapa Ibn Taymiyyah
tidak menjelaskan perkataan al-rasikhun fi al-ilm, karena ia tidak
berkaitan dengan otoritas mentawilkan. Abrahamov mendakwa ayat ini
mematahkan pendapat Ibn Taymiyyah, karena kalimat hanya Allah saja
yang tahu tawil ayat mutasyabihat, menunjukkan bahwa Nabi dan dari
para sahabat tidak mengetahui maknannya. Tapi nampaknya Abrahamov
salah faham sebab tawil yang difahami Ibn Taymiyyah dalam ayat ini
adalah realitas atau modaliti atau dalam bahasa salaf disebut
al-kayf. Kesimpulan Usaha Ibn Rushd untuk menghubungkan akal dan
wahyu sangat sistimatis, akan tetapi pembatasan makna akal pada
kemampuan berfikir demonstratif yang hanya dimiliki oleh filosof
mengundang berbagai pertanyaan. Ia nampak seperti berlebihan dalam
menilai kemampuan akal dan metode demonstrasi, tapi ia tidak
mengamalkan tawil yang berasaskan alburhan dalam membahas
issue-issue falsafahnya. Demikian pula apabila ia memberikan
otoritas kepada filosof untuk mentawilkan wahyu, melebihi yang
lain, ia telah mendahulukan akal daripada wahyu dan ini boleh
mengurangi kemutlakan wahyu. Pandangan Ibn Taymiyyah adalah
sebaliknya, yaitu memberi prioritas kepada wahyu tapi ia tidak
mengesampingkan akal sama sekali. Akal dan pengetahuan akal yang
berfikir benar tidak akan bertentangan dengan wahyu. Akal bagi Ibn
Taymiyyah tidak memiliki status independent seperti pandangan Ibn
Rushd. Dan berbeda dari alRazi akal tidak dapat menjadi asas bagi
wahyu, tapi justru wahyu adalah asas bagi akal. Karena ia tidak
mengakui adanya pertentangan antara akal dan wahyu maka ia melihat
itu hanya karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau
pengetahuan akal yang salah. Untuk itu ia memandang perlunya
pengetahuan tentang tradisi dan pendekatan linguistik yang benar,
dan inilah esensi konsep tawil Ibn Taymiyyah. Mungkin kesimpulan
Abrahamov benar bahwa dalam Islam reaksi terhadap trend penggunaan
akal dapat di gambarkan sebagai berada pada dua kutub: a) menolak
secara mutlak anggapan bahwa akal adalah sumber pengetahuan agama
dan b) menerima akal sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
Tujuan Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd hakekatnya sama tapi posisi
mereka tidak sama, meskipun kedua-duanya tidak berada pada salah
satu kutub secara ekstrim, tapi mereka memiliki kecenderungan
masing-masing pada salah satunya. Akhirnya, dari pandangan
kedua-dua pemikir ini kita mengetahui bahwa konsep akal dan konsep
berfikir serta pengetahuan yang benar dan tidak bertentangan dengan
wahyu masih merupakan sesuatu poin yang perlu pembahasan lebih
detail.
Kedudukan akal dalam islamAl Ustadz Qomar Suaidi LcAkal adl
nimat besar yg Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yg bisa
disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yg sangat
menakjubkan. {Al-Aql wa Manzilatuhu fil Islam hal. 5}Oleh karenanya
dalam banyak ayat Allah memberi semangat utk berakal {yakni
menggunakan akalnya} di antaranya: Dan Dia menundukkan malam dan
siang matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu
ditundukkan dgn perintah-Nya. Sesungguhnya pada yg demikian itu
benar-benar ada tanda-tanda bagi kaum yg memahami. Dan di bumi ini
terdapat bagian-bagian yg berdampingan dan kebun-kebun anggur
tanaman- tanaman dan pohon korma yg bercabang dan yg tidak
bercabang disirami dgn air yg sama. Kami melebihkan sebagian
tanaman-tanaman itu atas sebagian yg lain tentang rasanya.
bersabda: Setiap yg memabukkan itu haram. Asy-Syinqithi
rahimahullah mengatakan: Dalam rangka menjaga akal maka wajib
ditegakkan had bagi peminum khamr. 4. Tegaknya dakwah kepada
keimanan berdasarkan kepuasan akal. Artinya keimanan tidak berarti
mematikan akal bahkan Islam menyuruh akal utk beramal pada
bidangnya sehingga mendukung berfirman: Hai orang-orang yg beriman
sesungguhnya khamar berjudi berhala mengundi nasib dgn panah adl
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Nabi
mengharamkan khamr utk menjaga akal. Allah bersabda: Pena diangkat
dari tiga golongan: orang yg gila yg akalnya tertutup sampai sembuh
orang yang tidur sehingga bangun dan anak kecil sehingga baligh.
{HR. Ibnu Khuzaimah Ibnu Hibban dan AdDaruquthni dari shahabat Ali
dan Ibnu Umar Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Shahih dalam Shahih
Jami no. 3512}2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima
perkara yg harus dilindungi yaitu: agama akal harta jiwa dan
kehormatan. 3. Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya
hukum sehingga orang yg tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi
telah memuji amal akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat
serta mencela keadaan yg sebaliknya di beberapa tempat Kitapun
dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa
bentuk kemuliaan terhadap akal seperti:1. Allah pujian dan
sanjungan bagi yg tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu.
Bahkan Allah serta dalam Sunnah Rasulullah Sesungguhnya pada yg
demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yg berfikir. Sebaliknya
Allah mencela orang yg tidak berakal seperti dalam ayat-Nya: Dan
mereka berkata: Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan niscaya
tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yg menyalanyala.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: tidak berakal dan tidak
punya tamyiz Bagaimanapun tidak terpuji dari sisi itu sehingga
tidaklah terdapat dalam kitab Allah kekuatan iman dan tidak ada
ajaran manapun yg memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya
tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. bersabda: Berpikirlah
pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.
{HR. Ath- Thabrani Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu Umar lihat
Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya}
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit. Oleh karenanya akal diperintahkan utk pasrah dan
mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di
balik perintah itu. Karena tidak semua hikmah dan sebab di balik
hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi justru terlalu
banyak hal yg tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk
kepada syariat.Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara
akal dgn syariat bagaikan kedudukan seorang awam dgn seorang
mujtahid. Ketika ada seseorang yg ingin meminta fatwa dan tidak
tahu mujtahid yg berfatwa maka orang awam itu pun menunjukkannya
kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa terjadi perbedaan pendapat
antara mujtahid yg berfatwa dgn orang awam yg tadi menunjuki orang
tersebut. Tentunya bagi yg meminta fatwa harus mengambil pendapat
sang mujtahid yg berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam
tersebut krn orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid
dan bahwa dia lbh tahu . {Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal.
201}Al-Imam Az-Zuhri t mengatakan: Risalah datang dari Allah
kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima. Orang yg
menggunakan akal tidak pada tempatnya berarti ia telah
menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya.
Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yg ingin memuliakan
akal dan mengangkatnya demikian perkataan mereka belum dan sama
sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yg
telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak
mengatakan mereka telah berbuat jahat dgn sejahat- jahatnya
terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yg tidak
mungkin mendapatkan jalan ke sana. Akal yg terpuji dan akal yg
tercelaMenengok penjelasan yg telah lalu dapat disimpulkan bahwa
penggunaan akal terkadang terpuji yaitu ketika pada tempatnya. Dan
terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. dan
sifat-sifat-Nya arwah surga dan neraka yg semua itu hanya dapat
diketahui melalui wahyu.Nabi telah tetapkan maka ia akan membabi
buta Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya
akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara
ghaib di balik alam nyata yg kita saksikan ini seperti pengetahuan
tentang Allah menjadikan padanya batas yg ia harus berhenti padanya
dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi.
Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta
memaksimalkan pengkajiannya ia akan tepat dgn ijin Allah. Tetapi
jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yg Allah
menciptakan akal dan memberinya kekuatan adl untuk berpikir dan
Allah Sedangkan yg dilakukan para pengkultus akal yg mereka
beritikad memuliakan akal pada hakikatnya mereka justru menghinakan
akal serta menyiksanya krn mambebani akal dgn sesuatu yg tidak
mampu.Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adl
sesuatu yg berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana
makhluk yg lain memiliki sifat lemah dan keterbatasan.As-Safarini
rahimahullah berkata: Allah Adapun pendapat akal yg terpuji seca
sifat-sifat dan perbuatan- Nya dgn teori atau qiyas yg batil yg
dibuat oleh para pengikut filsafat.4. Pendapat yg mengakibatkan
tumbuhnya bidah dan matinya As Sunnah.5. Berbicara dalam
hukum-hukum syariat sekedar dgn anggapan baik dan prasangka. Jadi
manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dgn akal kita kemudian
ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yg tersebut di atas
maka yakinlah bahwa itu pendapat yg tercela dan salah. Ia harus
ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.Akal yg
sehat tidak akan menyelisihi syariatDisebutkan dalam kaidah ahlul
kalam ringkasnya bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu
maka mesti dikedepankan
akal. Dengan prinsip ini mereka menolak sekian banyak nash yg
shahih dulu maupun sekarang. ra ringkas adl yg sesuai dgn syariat
dgn tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yg tercela adl
sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yg menyebutkan bahwa pendapat
akal yg tercela itu ada beberapa macam:1. Pendapat akal yg
menyelisihi nash Al Quran atau As Sunnah.2. Berbicara masalah agama
dgn prasangka dan perkiraan yg dibarengi dgn sikap menyepelekan
mempelajari nash-nash memahaminya serta mengambil hukum darinya.3.
Pendapat akal yg berakibat menolak asma Allah kemudian ia
membangkang dan menentang dgn akalnya. Allah berfirman: Apakah yg
menghalangimu utk bersujud di waktu Aku menyuruhmu? Iblis begitu
besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.Oleh karenanya Ibnul
Qayyim mengatakan: Jika dalil naqli bertentangan dgn akal maka yang
diambil adl dalil naqli yg shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh
di bawah kaki tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan
para pemiliknya. {Mukhtashar As- Shawaiq hal. 82-83 dinukil dari
Mauqif Al-Madrasah Al-Aqliyyah 1/61-63}Abul Muzhaffar As-Samani t
ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: Adapun para
pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai
panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yg terbetik
dalam akal dan benak mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau
mereka dapati sesuai dgn keduanya mereka terima dan bersyukur
kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka
taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dgn keduanya maka mereka
meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian
menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya
{Al Kitab dan As Sunnah} tidak akan menunjukkan kecuali kepada yg
hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah. Bila akal
didahulukanJika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian
banyak bahaya:1. Menyerupai Iblis semoga Allah melaknatinya ketika
diperintahkan utk sujud kepada Nabi Adam dgn pendapatnya walaupun
pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata
maslahat dari keputusan Nabi dan mengalami kejadian turunnya wahyu.
Seperti dikatakan oleh Umar bin Al-Khaththab: Wahai manusia
curigailah akal kalian terhadap agama ini. {Riwayat Ath-Thabrani
lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah hal. 177 301}Beliau
mengatakan demikian krn pernah membantah keputusan Nabi Tentu kita
tahu bahwa pendapat mereka adl salah dan sangat berbahaya. Untuk
mengetahui bathilnya pendapat mereka dgn singkat dan mudah cukup
dgn kita merujuk kepada lima hal yg disebutkan Ibnul Qayyim t di
atas.Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah t menjelaskan:
Sesuatu yg diketahui dgn jelas oleh akal sulit dibayangkan akan
bartentangan dgn syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yg shahih
tidak akan bertentangan dgn akal yg lurus sama sekali. Saya telah
memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yg diperselisihkan oleh
manusia. Saya dapati sesuatu yg menyelisihi nash yg shahih dan
jelas adl syubhat yg rusak dan diketahui kebatilannya dgn akal.
Bahkan diketahui dgn akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut
yang sesuai dgn syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak
memberikan kabar dgn sesuatu yang mustahil menurut akal tapi
mengabarkan sesuatu yg membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak
mengabarkan sesuatu yg diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang
tidak benar namun akal tidak mampu utk menjangkaunya.Karena itu
wajib bagi orang-orang Mutazilah yg menjadikan akal mereka sebagai
hakim terhadap nash-nash wahyu demikian pula bagi mereka yg
berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar
mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yg
bertentangan dgn akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib
bagi mereka utk menyelisishi kaidah kelompok Mutazilah kapan
terjadi pertentangan antara
akal dan syariat menurut mereka maka wajib utk mengedepankan
syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yg
ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yg
dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak
tergantung dgn semua yg dikabarkan oleh akal. Ketika dalil
bertentangan dgn akalSesungguhnya pertentangan akal dgn syariat
takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun
terkadang muncul ketidakcocokan akal dgn dalil walaupun dalilnya
shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil namun
curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari
dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yg sedang
dibahas dgn benar. Sedangkan dalil maka pasti benarnya.Hal ini
berangkat dari ajaran Al Quran dan As Sunnah yg mengharuskan kita
utk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para
shahabat yg berpengalaman dgn Nabi menjawab. Mereka katakan: Dan
mereka berkata: Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada
seorang besar dari salah satu dua negeri ini?. 3. Tidak mengambil
faidah dari Rasul sedikitpun krn mereka tidak merujuk kepadanya
pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut
mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lbh jelek krn
mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh utk
menolaknya.4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah
berfirman: Maka jika mereka tidak menjawab ketahuilah bahwa
sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka . Dan
siapakah yg lbh sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dgn tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Saya lbh baik
daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau
ciptakan dari tanah. 2. Menyerupai orang kafir yg menolak keputusan
Allah dgn akal mereka seperti penentangan mereka terhadap kenabian
Nabi Muhammad Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yg zalim. 5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi
sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.6. Berkata dgn mengatasnamakan
Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu. Dan di antara manusia ada
orang-orang yg membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan tanpa
petunjuk dan tanpa kitab yg bercahaya. Ini termasuk larangan
terbesar. Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yg keji
baik yg nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa
melanggar hak manusia tanpa alasan yg benar mempersekutukan Allah
dgn sesuatu yg Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
mengada-adakan terhadap Allah apa yg tidak kamu ketahui. 7.
Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.8. Terjatuh dalam
keraguan dan bimbang. (Al-Mauqih 1/81-92)Pantaslah kalau Al-Imam
Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yg tetap mengedepankan
akalnya: Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bidah mengatakan:
Tinggalkan kami dari Al Quran dan hadits ahad dan tampilkan akal
maka ketahuilah bahwa ia adl Abu Jahal. sumber : file chm Darus
Salaf 2
AKAL DAN WAHYU DALAM PANDANGAN IBN RUSHD DAN IBN TAYMIYYAH
Kontribusi dari Hamid Fahmy Zarkasyi Pendahuluan Dalam sejarah
pemikiran Islam persoalan hubungan antara akal dan wahyu merupakan
issue yang selalu hangat diperd ebatkan oleh mutakallimun dan
filosof. Issue ini menjadi penting karena ia memiliki kaitan dengan
argumentasi argumentasi mereka dalam pembahasan tentang konsep
Tuhan, konsep Ilmu Ilmu, konsep etika dan lain sebagainya. ( Untuk
diskusi tentang etika George F Hourani, Reason and Tradition in
Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University Press, 1985) Mereka
berorientasi pada usaha untuk membuktikan kesesuaian atau hubungan
antara akal dan wahyu. (Lihat A.J.Arberry, Revelation and Reason in
Islam). Dalam konteks ini konsep akal, wahyu dan tawil menjadi
topik yang penting. Filosof Muslim terpenting yang berusaha
membuktikan hubungan antara akal dan wahyu adalah Ibn Rushd (520 H/
1126 A-595/ 1198) penulis buku Fasl al-Maqal dan Ibn Taymiyyah 662/
1263 728/1328 A.H. penulis buku Dar Taarud al-aql wa al-naql
(sebelumnya diberi judul muwafaqat sarih almaqul ala sahih
al-manqul). Yang pertama mencoba menjelaskan hubungan sedang yang
kedua berusaha menghindarkan pertentangan atau menjelaskan
kesesuaian. Akan tetapi Arberry menganggap karya Ibn Rushd itu
sebagai percobaan terakhir untuk membuktikan hubungan antara akal
dan wahyu, sedangkan Ibn Taymiyyah digambarkan sebagai orang yang
menghentikan percobaan ini. Sejatinya keduanya berasumsi sama bahwa
akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena situasi sosial dan
latar belakang pemikiran
mereka tidak sama kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda . Ibn
Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang
beranggapan bahwa sains dan falsafah bertentangan dengan agama tapi
juga oleh konflik-konflik yang terjadi antara ahli-ahli filsafat
dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian Ibn Taymiyyah
difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam
pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan
filsafat seperti yang nampak dalam amalan-amalan bidah di
masyarakat. (Lihat Bello, Iysa A., Medieval Islamic Controversy
Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989. Ibn
Taymiyyah, Haqiqat Madhhab alIttihadiyyah dalam Majmuat al-Fatawa,
Cairo, Matba ah al-Hukumah, 1966). Prinsip hubungan Ibn Rushd Dalam
membahas masalah akal dan wahyu Ibn Rushd menggunakan prinsip
hubungan (ittisal) yang dalam argumentasi argumentasinya mencoba
mencari hubungan antara agama dan falsafah.
Argumentasi-argumentasinya adalah dengan: Pertama, menentukan
kedudukan hukum daripada belajar falsafah. Menurutnya belajar
falsafah adalah belajar ilmu tentang Tuhan, yaitu kegiatan
filsosofis yang mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud
(al-mawjudat) yang merupakan pertanda adanya Pencipta (Sani),
karena al-mawjudat adalah produk dari ciptaan. Lebih sempurna ilmu
kita tentang hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat ) lebih sempurna pula
ilmu kita tentang Tuhan. Karena wahyu (shar) menggalakkan aktiviti
bertafakkur tentang al-mawjudat ini, maka belajar falsafah
diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu. Kedua membuat justifikasi
bahwa kebenaran yang diperolehi daripada demonstrasi (alburhan)
sesuai dengan kebenaran yang diperolehi daripada wahyu. Disini ia
berargumentasi bahwa di dalam alQuran terdapat banyak ayat-ayat
yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk
memahami
segala yang wujud. Karena nazar ini tidak lain daripada proses
berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-aqli),
maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas
al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi),
yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum, metode
demonstrasi (qiyas alburhan) digunakan untuk mamahami segala yang
wujud (al-mawjudat), Hasil dari proses berfikir demonstrtif ini
adalah kebenaran dan tidak dapat bertentangan dengan kebenaran
wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran. Kedua-dua thesis diatas merupakan asas bagi kesimpulan
Ibn Rushd selanjutnya yang menyatakan bahwa para filosof memiliki
otoritas untuk mentawilkan alQuran. Bagaimanapun thesis diatas
masih menyimpan satu pertanyaan: adakah kebenaran yang diperoleh
akal tidak akan bercanggah dengan kebenaran wahyu? Jawapan
pertanyaan ini tidak dinyatakan secara jelas, akan tetapi dapat
difahami dari teori Ibn Rushd kemampuan akal dalam memahami wahyu,
dan tentang wahyu yang diklassifikasikan kedalam makna. Berasaskan
pada kemampuan akal manusia, Ibn Rushd membahagi masyarakat kedalam
tiga kelompok: Pertama kelompok yang tidak dapat menafsirkan
al-Quran, Kedua, kelompok yang memiliki kemampuan menafsirkan
secara dialektik dan ketiga kelompok yang mampu menafsirkan secara
demonstratif yang disebut ahl al-burhan. (Lihat G.Hourani, Averoes
On the Harmony of Religion and Philosophy, London, Luzac & Co,
1976, 65) Akal dalam klassifikasi ini difahami sebagai kemampuan
untuk berfikir dan memahami. Sedangkan wahyu dibahagi kedalam tiga
bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu : 1) Teks yang
maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode
retorik, dialektik dan demonstratif); 2) Teks yang maknanya
hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang
terkandung dalam teks ini terdiri dari: a) makna zahir, yaitu teks
yang mengandungi simbol-simbol (amthal ) yang dibuat untuk
menerangkan idea-idea yang dimaksud. b) makna batin yaitu teks yang
mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh
yang disebut ahl al-burhan.; 3) teks yang bersifat ambiguos antara
zahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada
kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal. Nampaknya, yang
http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of
Islamic Thought and Civilization Powered by Mambo Generated: 12
November, 2007, 06:35dimaksud Ibn Rushd sebagai hubungan (ittisal)
adalah hubungan antara ayat-ayat yang mengandungi makna batin dan
kemampuan akal untuk memahami dengan metode demonstratif. Maka itu
menurutnya perkataan al-rasikhun fi al-ilm. (Quran (3:7) adalah
mereka yang memiliki pengetahuan berdasarkan metode demonstrasi,
yaitu para filosof. Dari klassifikasi diatas agaknya jawapan yang
diberikan Ibn Rushd jelas bahwa pertentangan antara akal dan wahyu
tidak terjadi apabila akal difahami sebagai al-burhan. Namun
demikian, Ibn Rushd tetap mengakui adanya kemungkinan pertentangan
antara ahl al-burhan dan teks wahyu. Dan untuk itu solusi yang
terbaik menurutnya adalah seperti cara pengambilan hukum Fiqh.
Dalam kes tertentu pengetahuan tentang almawjud tidak disebutkan
dalam wahyu dan dalam kes yang lain disebutkan. Jika tidak
disebutkan maka ia harus disimpulkan daripadanya, seperti qiyas
dalam Fiqh. Jika pengetahuan itu disebutkan dan makna zahirnya
betentangan dengan hasil pemikiran demonstratif maka diselesaikan
dengan dua cara: Pertama dengan interpretasi secara majazi
(alegorik) atau kiasan makna zahir itu sesuai dengan aturan-aturan
bahasa Arab yang berlaku, yaitu menterjemahkan arti
sesuatu ekspresi dari yang bersifat metaforikal kepada
pengertian yang sesungguhnya. Kedua dengan mencari semua makna
zahir dalam al-Quran yang bersesuaian dengan interpretasi alegorik
atau yang mendekati makna alegorik itu. Akan tetapi untuk
mentawilkan secara majazi makna ayat zahir pada alternatif pertama
Ibn Rushd tidak hanya bersandar pada aturan-aturan Bahasa Arab
sahaja, ia juga menetapkan aturan berasaskan pada kejelasan simbol
dan benda yang disimbolkan untuk menentukan apakah sesuatu ayat
zahir boleh ditawilkan atau tidak. Jika makna zahir sesuatu ayat
adalah seperti arti yang dimaksudkan (almana al-mawjud fi nafsihi),
ayat itu tidak perlu ditawilkan. Jika zahir ayat-ayat itu adalah
simbol-simbol belaka dan bukan arti yang sesungguhnya daripada
zahirnya ayat-ayat itu harus ditawilkan sesuai dengan kesesuaian
antara simbol (al-mithal ) dengan benda yang disimbolkan
(al-mumaththal ). Jika simbol dan benda yang disimbulkan dapat
mudah diketahui maka setiap orang boleh mentawilkannya. Tapi jika
simbol dan benda yang disimbolkan sukar diketahui atau jika
simbolsimbol itu mudah diketahui tapi benda yang disimbolkan sukar
untuk diketahui atau jika benda yang disimbulkan dapat difahami
dengan mudah tapi simbol-simbol ayat itu tidak dapat begitu saja
diketahui, maka ayat-ayat ini hanya boleh ditawilkan oleh yang
berilmu dan tidak boleh diungkapkan kepada orang awam kecuali
dengan penjelasan yang berbeda . Disini Ibn Rushd tidak menjelaskan
lebih jauh tentang standard pengetahuan al-mithal dan al-mumaththal
atau kreteria untuk membenarkan kesahihan pengetahuan mereka
tentang kedua-dua hal itu. Nampaknya asas yang digunakan Ibn Rushd
dalam tawil adalah Bahasa Arab yang merujuk kepada kebiasaan (adat
lisan alArab) dan kejelasan simbol serta benda yang disimbolkan,
terutama adalah kemampuan akal memahami
maknanya dengan menggunakan metode demonstratif. Akan tetapi
standard bahasa Arab dengan simbol-simbol itu tidak dikaitkan
dengan bahasa sebagai simbol suatu konsep yang dijelaskan Nabi dan
difahami oleh para sahabat dan tabiin. Demikian pula proses tawil
yang dijelaskan seakanakan menggambarkan bahwa pengetahuan ahl
al-burhan adalah taken for granted, benar. Ini bermakna bahwa
kebenaran wahyu perlu dikaji ulang dan tidak memberikan ruang untuk
menjelaskan proses bagaimana seharusnya pengetahuan demonstrasi
dikaji ulang . Pandangan ini boleh difahami sebagai mendahulukan
akal daripada wahyu, yaitu pandangan yang bertentangan dengan
pemikiran salaf, seperti al-Ghazzali, Ibn Hazm, Ibn Taymiyyah atau
lainnya. Dengan membatasi makna perkataan al-rasikhun fi al-ilm
berarti ia memberikan otoritas mentawilkan makna batin al-Quran
kepada filosof, tanpa mempertimbangkan otoritas Nabi dan para
sahabat. Hal ini membahayakan kemutlakan kebenaran wahyu, walhal
pengetahuan para filosof tentang realitas (wujud), yang diperolehi
dari metode demonstrasi belum dapat dikatakan final. Dalam masalah
doktrin ketuhanan atau konsep tentang Tuhan, misalnya, falsafah
Yunani masih mengandung pertentangan dan berbeda dari konsep dalam
alQuran. Jika Ibn Rushd membahas lebih detail konsep akal tanpa
membatasi pada metode demonstrasi falsafah Yunani kesesuaian akal
dan wahyu dapat difahami lebih jelas. Prinsip kesesuaian Ibn
Taymiyyah Prinsip kesesuaian Ibn Taymiyyah yang berarti tanpa
pertentangan tercemin dari judul kitabnya yang menggunakan
perkataan muwafaqat dan dar taarud. Meskipun implikasi makna
perkataan ini hampir sama dengan perkataan ittisal dalam pandangan
Ibn Rushd, tapi prinsipprinsip yang digunakan berbeda, terutama
dalam memahami makna akal (aql ) dan dalam menjabarkan wahyu
(al-naql, al-sam). Prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah ini dapat
difahami dari komentar dan jawabannya terhadap masalah yang dibahas
oleh filosof dan mutakallimun khususnya Fakhr alDin al-Razi, yaitu
: bagaimanakah penyelesaiannya jika terjadi pertentangan antara
akal dan wahyu. Dari kesemua pembahasan Ibn Taymiyyah
sekurang-kurangnya terdapat tiga prinsip utama yang dimaksud untuk
menjawab masalah itu dan membangun prinsip kesesuaian antara akal
dan wahyu. Ketiga-tiga prinsip itu ialah sebagai berikut: Pertama,
bahwa rasional atau tradisional bukanlah sifat yang boleh
menentukan sesuatu itu benar atau salah, diterima atau ditolak. Ia
hanyalah metode atau jalan untuk mengetahui sesuatu. Jika sesuatu
itu berasal dari tradisi (al-sam) semestinya ia bersifat rasional,
sifat tradisional tidak bertentangan dengan sifat rasional. Shariah
terkadang bersifat tradisional dan terkadang rasional; bersifat
tradisional (samiyyan) jika ia menetapkan dan menunjukkan sesuatu,
dan bersifat rasional jika ia memperingatkan dan menunjukkan
sesuatu hal. Kedua, jika terjadi pertentangan antara akal dan
wahyu, maka prioritas diberikan kepada wahyu dan menolak akal. Akal
tidak mungkin diberi prioritas karena melalui akal kebenaran wahyu
dibuktikan. Jika akal diberi prioritas sedangkan akal itu sendiri
boleh berbuat salah, maka ia tidak boleh menjadi alat untuk
menentukan kebenaran, lagipun disini wahyu akan dianggap mengandung
kesalahan. (Ibn Taymiyyah, Dar Taarud, vol.I). Prinsip ini masih
bersifat umum dan tidak termasuk pertentangan antara pengetahuan
tradisional (wahyu) dan rasional (akal). Ketiga, jika pertentangan
terjadi antara proposisi akal dan wahyu maka harus dikaji apakah
proposisi itu qati atau zanni. Jika keduadua proposisi itu qati,
maka tidak
mungkin terjadi pertentangan dan jika kedua-dua proposisi itu
zanni maka dipilih proposisi yang lebih pasti (rajih). Jika
proposisi yang dihasilkan akal lebih pasti (qati), maka prioritas
diberikan kepada proposisi akal daripada proposisi dari pengetahuan
wahyu (al-sami) dan sebaliknya. Tapi proposisi akal diutamakan
bukan karena ia berasal dari akal tapi karena sifat qati-nya itu.
(Ibn Taymiyyah, Dar Taarud, vol.I) Secara umum
http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of
Islamic Thought and Civilization Powered by Mambo Generated: 12
November, 2007, 06:35pandangan Ibn Taymiyyah menolak prinsip akal
sebagai asas wahyu dan asas bagi menentukan kesahihan wahyu yang
berarti mendahulukan akal daripada wahyu. Alasannya, karena
keberadaan wahyu berasal dari nabi (al-sam) dan bukan dari akal.
Meskipun kebenaran wahyu dapat diketahui dengan pengetahuan akal,
tapi pengetahuan akal tidak dapat menetapkan adanya (thubut) wahyu.
Kesahihan wahyu tidak mungkin bergantung pada pengetahuan yang
diperoleh akal, sebab sifat dapat difahami atau diketahui oleh akal
bukanlah sifat lazim (sifah lazimah) sesuatu benda. Seandainya
kebenaran wahyu itu tidak diketahui atau dibuktikan oleh akal
sekalipun ia tetap memiliki sifat kebenaran, karena itu kita tidak
dapat menjadikan semua pengetahuan akal sebagai asas bagi wahyu
atau dalil bagi kebenarannya. Baginya, asas kesahihan wahyu adalah
kebenaran Nabi (sidq al-rasul ). Mendahulukan akal berarti pada
mengutamakan pendapat filosof, mutakallim atau sufi daripada
risalah Nabi, dan dapat mengakibatkan bidah dan kekufuran. (Ibn
Taymiyyah, Dar Taarud, vol.V, 320-322. Naqd alMantiq, 55) Meskipun
demikitan, Ibn Taymiyyah sama sekali tidak merendahkan makna akal
jika akal difahami sebagai a) watak (gharizah) atau b) pengetahuan
yang diperoleh dari akal (al-marifa al-hasila bi-l-aql). Sebagai
gharizah akal menjadi syarat bagi segala macam
ilmu, apakah rasional ataupun irrasional, dan dalam kedudukannya
sebagai syarat, akal tidak dapat bertentangan dengan wahyu.
Demikian pula sebagai pengetahuan yang diperoleh dari gharizah tadi
akal difahami sebagai pengetahuan akal yang jelas dan pasti
kebenarannya (aqli qati). Pada poin ini Ibn Taymiyyah tidak
memberikan penjelasan lebih detail atau contoh tentang apa hakekat
pengetahuan akal yang pasti (aqli qati) itu. Mungkin maksudnya
adalah pengetahuan yang diperoleh melalui fitrah, seperti yang ia
jelaskan dalam kitabnya Naqd al-Mantiq. Tapi mungkin juga bermaksud
9DE 'D61H1J (necessary knowledge), yaitu pengetahuan yang diperoleh
melalui proses tawatur dan yang menjamin pengetahuan yang pasti
(ilm al-yaqini ) secara lafzi atau maknawi. Pengetahuan ini
dimiliki oleh Sahabah, tabiun dan tabi al-tabiun, sebab baginya
mereka itu adalah sumber ilmu pengetahuan tradisi yang harus
dipercayai. Tapi yang jelas pengertian aqli qati ini merujuk kepada
pengetahuan yang bukan berasal dari pemikiran spekulatif atau
al-burhan seperti pandangan Ibn Rushd. Selanjutnya dalam
mendahulukan wahyu Ibn Taymiyyah berprinsip bahwa wahyu itu benar
dan disampaikan melalui argumentasi-argumentasi tradisional dan
rasional, karena itu tidak dapat bertentangan dengan pengetahuan
akal yang benar. Pertentangan itu mungkin terjadi karena
pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau pengetahuan akal
yang salah. Pengetahuan wahyu yang benar diperoleh dari proses
berfikir yang benar dan pengetahuan terminologi yang sesuai dengan
tradisi, dan bukan diluar itu. Maka itu ia membedakan terminologi
(alfaz) yang digunakan dalam sunnah dan disepakati oleh ahl al-ijma
dari terminologi yang tidak terdapat dalam tradisi
(shariah, nusus wahyu dan sunnah). Untuk membedakan keduanya
yang diperlukan adalah pemahaman terhadap tradisi (al-sam,
al-sunnah) yang merujuk pada perkataan Nabi, Sahabah, tabiun and
tabi al-tabiun. Dari mereka inilah otoritas memahami wahyu bermula,
sebab Nabi Muhammad SAW adalah makhluk yang paling tahu kebenaran
dan karena itu ia adalah orang paling mampu untuk menerangkan
kebenaran. Maka itu ia memahami istilah tawil sebagai menjelaskan
seperti yang dimaksud Allah atau merujuk kepada apa yang
dikehendaki Allah dan kreteria tawil yang dapat diterima (tawil
al-maqbul), adalah tawil yang sesuaia dengan arti yang dimaksud
oleh pembicara atau Tuhan melalui Nabi. Maka dari itu Ibn Taymiyyah
tidak membatasi obyek tawil kepada perkataan majazi dalam al-Quran
seperti dibahas Ibn Rushd. Meskipun ia mengartikan tawil sebagai
penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada
kesesuaiannya dengan makna zahir dari lafaz ucapan itu. Dalam
pandangannya perkataan zahir yang dapat difahami dari lafaz
bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula
yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan (quyud) yang ada
didalamnya. Ianya tidak memiliki denotasi yang uniform sehingga
harus ditawilkan apa adanya seperti yang dilakukan Ahl al-Ithbat,
dan tidak memiliki denotasi batin yang harus selalu difahami secara
batin seperti yang dilakukan Nufat al-Sifat. Jadi perkataan zahir
diketahui dari denotasi lafaz secara mutlak, atau dari denotasi
konteksnya atau dari kesamaannya dengan konteks yang lain. Untuk
itu ia menetapkan tiga sharat agar tawil itu dapat diterima: 1)
menjaga agar lafaz itu sesuai dengan makna yang terdapat dalam
Bahasa
Arab dan maksud al-shari serta tidak memahami dengan makna lain.
2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
pembicara dalam konteks lafaznya. 3) memperhatikan ikatan-ikatan
(quyud ) yang terdapat dalam lafaz dan yang mengikat maknanya,
sebab perbedaan satu lafaz dengan lafaz lain ditentukan oleh ikatan
yang menyertainya. Oleh itu kita tidak boleh mentawilkan
lafaz-lafaz alQuran dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang
sesungguhnya sesuai dengan konteks masingmasing lafaz. Selanjutnya
ia membagi tawil menjadi dua: Pertama, tawil yang berkaitan dengan
perintah kepada manusia untuk berbuat, disebut dengan al-tawil
al-talabi, yaitu tawil tengang perintah dan larangan (al-amr wa
al-nahy). Disini Ibn Taymiyyah menerima adanya kontradiksi antara
satu teks dengan yang lain, berkaitan dengan teks-teks nasikh dan
mansukh. Kedua, tawil yang berkaitan dengan apa-apa yang
disampaikan Tuhan (akhbar) tentang diriNya, tentang Hari Akhir dan
lain-lain yang benar belaka sifatnya. Tawil dalam masalah yang
kedua ini hanya Allah saja yang mengetahuinya, sedangkan manusia
hanya dapat mengetahui arti literal teks itu, tapi tidak mengetahui
tawil atau realitas yang sesungguhnya. Dalam masalah-masalah
doktrin (akhbar) ini Ibn Taymiyyah tidak melihat adanya kontradiksi
teks wahyu seperti dalam al-tawil altalabi, kontradiksi itu wujud
hanya dalam akal orang yang memahami Jelaslah bahwa Ibn Taymiyyah
dan Ibn Rushd berbeda dalam memahami makna tawil. Bagi yang pertama
tawil sama dengan tafsir dan menekankan pada kesesuaian zahir lafaz
dengan makna dan makna dengan maksud al-shari, sedangkan yang kedua
menekankan makna tawil pada penjelasan
makna sebenar (haqiqi) dari makna majazi atau makna batin
sesuatu teks. Perbedaan ini dapat difahami lebih jelas melalui
pemahaman mereka dalam mentawilkan ayat-ayat mutashabihat yang
diterangkan dalam alQuran (3:7). Ibn Rushd memahami bahwa tawil
ayat mutashabihat hanya diketahui oleh Allah dan orangorang yang
memiliki ilmu berfikir demonstratif, sedangkan bagi Ibn Taymiyyah
hanya Allah saja yang tahu. Ia meletakkan titik setelah perkataan
%D' 'DDG dan bukan sesudah perkataan al-rasikhun fi al-ilm. Karena
menurutnya http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The
Study of Islamic Thought and Civilization Powered by Mambo
Generated: 12 November, 2007, 06:35para sahabah dan tabiun memahami
ayat mutashabihat, tapi mereka tidak mengetahui realitas
sesungguhnya (modalitas) dari khabar yang disampaikan Allah itu dan
hanya Allah saja yang tahu la yalamu tawilahu illallah. Inilah
sebabnya mengapa Ibn Taymiyyah tidak menjelaskan perkataan
al-rasikhun fi al-ilm, karena ia tidak berkaitan dengan otoritas
mentawilkan. Abrahamov mendakwa ayat ini mematahkan pendapat Ibn
Taymiyyah, karena kalimat hanya Allah saja yang tahu tawil ayat
mutasyabihat, menunjukkan bahwa Nabi dan dari para sahabat tidak
mengetahui maknannya. Tapi nampaknya Abrahamov salah faham sebab
tawil yang difahami Ibn Taymiyyah dalam ayat ini adalah realitas
atau modaliti atau dalam bahasa salaf disebut al-kayf. Kesimpulan
Usaha Ibn Rushd untuk menghubungkan akal dan wahyu sangat
sistimatis, akan tetapi pembatasan makna akal pada kemampuan
berfikir demonstratif yang hanya dimiliki oleh filosof mengundang
berbagai pertanyaan. Ia nampak seperti berlebihan dalam menilai
kemampuan akal dan metode demonstrasi, tapi ia tidak mengamalkan
tawil yang berasaskan al-burhan dalam membahas issue-issue
falsafahnya. Demikian pula apabila ia
memberikan otoritas kepada filosof untuk mentawilkan wahyu,
melebihi yang lain, ia telah mendahulukan akal daripada wahyu dan
ini boleh mengurangi kemutlakan wahyu. Pandangan Ibn Taymiyyah
adalah sebaliknya, yaitu memberi prioritas kepada wahyu tapi ia
tidak mengesampingkan akal sama sekali. Akal dan pengetahuan akal
yang berfikir benar tidak akan bertentangan dengan wahyu. Akal bagi
Ibn Taymiyyah tidak memiliki status independent seperti pandangan
Ibn Rushd. Dan berbeda dari al-Razi akal tidak dapat menjadi asas
bagi wahyu, tapi justru wahyu adalah asas bagi akal. Karena ia
tidak mengakui adanya pertentangan antara akal dan wahyu maka ia
melihat itu hanya karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas
atau pengetahuan akal yang salah. Untuk itu ia memandang perlunya
pengetahuan tentang tradisi dan pendekatan linguistik yang benar,
dan inilah esensi konsep tawil Ibn Taymiyyah. Mungkin kesimpulan
Abrahamov benar bahwa dalam Islam reaksi terhadap trend penggunaan
akal dapat di gambarkan sebagai berada pada dua kutub: a) menolak
secara mutlak anggapan bahwa akal adalah sumber pengetahuan agama
dan b) menerima akal sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
Tujuan Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd hakekatnya sama tapi posisi
mereka tidak sama, meskipun kedua-duanya tidak berada pada salah
satu kutub secara ekstrim, tapi mereka memiliki kecenderungan
masing-masing pada salah satunya. Akhirnya, dari pandangan
kedua-dua pemikir ini kita mengetahui bahwa konsep akal dan konsep
berfikir serta pengetahuan yang benar dan tidak bertentangan dengan
wahyu masih merupakan sesuatu poin yang perlu pembahasan lebih
detail. http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The
Study of Islamic Thought and Civilization Powered by Mambo
Generated: 12 November, 2007, 06:35
AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAMI. AKAL Kata akal yang menjadi kata
Indonesia, berasal dari kata Arab Al `aqli yang terbentuk dalam
kata benda. Berlainan dengan kata Al wahyi ,tidak terdapat dalam Al
qur`an. Dalam pemahaman Prof. Izuttsu, kata aql dijaman jahiliyah
dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang
dalam istilah psikologi modern disebut dengan kecakapan memecahkan
masalah (Problem Solving Capacity). Orang berakal menurut
pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah, setiap kali Ia dihadapkan pada suatu
problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang Ia
hadapi.Aqala juga mengandung arti, memahami dan berfikir. Tetapi
timbul pertanyaan apakah pengertian, pemikiran dan pemahaman
dilakukan melalui akal yang berpusat dikepala. Akal terbagi menjadi
dua bagian : A. Akal praktis (Aamilah) yang menerima arti-arti yang
berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa
binatang.seperti contoh : insting seekor kucing ketika dipukul oleh
seseorang , maka pada suatu ketika saat dia beertemu dengan orang
yang memukulnya, maka dia akan lari namun dia tidak tahu sampai
kapanpun mengenai mengapa dia dipukul. B. Akal teoritis (Aalimah)
yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam
materi seperti Tuhan, roh dan Malaikat. Akal praktis memutuskan
perhatian kepada alam materi, menangkap kekhususan. Akal teorotis
sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian kepada dunia
materi dan menangkap keumuman (kulliat universals). Akal teoritis
mempunysi empat derajat antara lain : a. Akal Materil (Al-aqli
al-hayulani), yang merupakan potensi belaka, yaitu akal yang
kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak
pernah ada dalam alam materi.akal ini belum keluar, jadi harus
dicari dan diciptakan. b. Akal bakat (al-aqli bil malakah), yaitu
akal yang kesanggupannya berfikir secara murni abstrak telah mulai
kelihatan. Ia telah dapat menangkap pengertian dan kaidah umum.
Akal ini sudah tercipta tinggal manusianya yang mengembangkan. c.
Akal aktuil (al-aqlli bil al-fili) yaitu akal yang telah dan lebih
mudah dan lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaidah
dimaksud. Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak
itu, yang dapt dikeluarkan setiap kali dikehendaki. d. Akal
perolehan (Al-aqli al-mustafad), yaitu akal yang didalamnya
arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan
mudah sekali. Akal ini adalah milik para Nabi dan rasul Allah. Akal
dalam derajat keempat inilah akal yang tertinggi dan terkuat
dayanya. Maka kaum teolog Islam mengartikan akal sebagai daya untuk
memperoleh pengetahuan. Menurut Abu Huzail, akal adalah daya untuk
memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang yang
dapat memperbedakan antara dirinya dan benda-benda satu dari yang
lain, akal mempunyai daya untuk mengabstrakkan benda-benda yang
ditangkap panca indera. Disamping memperoleh pengetahuan, akal juga
mempunyai daya untuk membedakan antara baik dan buruk. Akal dalam
pengetian Islam, bukanlah otak, tetapi adalah daya berfikir yang
terdapat dalam jiwa manusia. Daya yang digambarkan dalam Al quran,
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal
dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu
yang membawa pengetahuan dari luar diri Manusia yaitu Tuhan. II.
Wahyu Wahyu berasal dari kata Arab Al wahyu, yaitu suara, api dan
kecepatan. Disamping itu ia juga berarti bisikan, isyarat, tulisan
dan kitab. Al wahyu selanjutnya berarti pemberitahuan secara
tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam
arti apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi. Dalam kata wahyu
dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada
orang pilihannya agar diteruskan kepada umat manusia untuk
dijadikan pegangan hidup.sabda Tuhan itu mengandung ajaran,
petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan
hidupnya baik didunia ini maupun diakhirat kelak. Ada tiga cara
penyampaian wahyu, yang pertama, melalui jantung hati seseorang
dalam bentuk ilham. Kedua, dari belakang tabir sebagaimana yang
pernah dialami oleh Nabi Musa. Dan yang ketiga, melalui utusan yang
dikirim dalam bentuk malaikat. Sebagaimana telah dijelaskan diatas
dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi antara
Tuhan yang bersifat immateri dan manusia yang besrsifat materi.
Menurut ajaran
tasawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya
rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Dengan memusatkan
perhatian pada hal-hal yang bersifat murni, sufi mempertajam daya
rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan
perhatian dan usaha pada pensucian jiwa, dengan banyak beribadah,
melakukan shalat dan berpuasa , membaca Al quran dan mengingat
Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi semakin bersih dan jernih
sehingga Ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan oleh Tuhan.
Dalam Tasawuf dikenal tingkatan marifah, dimana seorang sufi dapat
melihat Tuhan dengan kalbunya, dan dapat pula berdialog dengan
Tuhan. Dalam pada itu komunikasi seorang sufi dengan Tuhan tidak
sampai mengambil bentuk wahyu, karna wahyu adalah khusus bagi
Nabi-nabi dan Rasul-rasul. III. Pergulatan antara akal dan wahyu
Masalah akal dan wahyu dalan pemikiran kalam dibicarakan dalam
konteks manakah diantara keduanya, akal atau wahyu sebagai sumber
pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban berterima
kasih pada Tuhan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta
tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran mutazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional
berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal
tersebut diatas. Sementara itu, aliran maturidiyah Samarkand yang
juga penganut pemikiran kalam rasional, mengatakan bahwa kecuali
kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk, akal
mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal lainnya. Sebaliknya
aliran asyariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional,
berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga
hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, baik dan
buruk, serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang
jahat, diketahui manusia berdasarkan wahyu.sementara aliran
Maturidiyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikir kalam
tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut diatas,
yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk,
dapat diketahui melalui akal, sedangkan dua hal lainnya, yakni
kewajiban berterima kasih pada Tuhan serta kewajiban melaksanakan
yang baik serta meninggalkan yang buruk, hanya diketahui dengan
wahyu. Ayat-ayat al-Quran yang dijadikan dalil oleh mutazilah dan
Maturidiyah Samarkand untuk menopang pendapat mereka adalah surat
fushilat ayat 53,surat al-ghasyiyah ayat 17 dan surat alaraf ayat
185. Tiga ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah telah mewajibkan
perenungan dan pemikiran terhadap ciptaanNya agar diketahui bahwa
dia Maha pencipta. Ini berarti bahwa ayatayat tersebut menunjukkan
bahwa wajib beriman kepada Allah sebelum turunnya wahyu. Karena
manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui bahwa kekufuran
itu haram, karena kekufuran itu sesuatu yang dibenci oleh Allah.
Oleh sebab itu, dengan kemampuan akalnya manusia mampu mengetahui
bahwa beriman pada Allah itu adalah wajib. Sementara itu. Aliran
kalam tradisional mengambil beberapa ayat al-Quran sebagai dalil
dalam rangka memperkuat pendapat mereka. Ayat-ayat tersebut adalah
ayat 15 surat al-isra, ayat 134 surat thaha, ayat 164 surat an-nisa
dan ayat 8-9 surat al-mulk. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa
Allah baru memberikan ganjaran atas perbuatan manusia yang baik dan
yang buruk setelah Nabi dan Rasul di utus. Oleh sebab itu, segala
sesuatu yang berkaitan dengan agama hanya bisa diketahui oleh
manusia dengan perantaraan Nabi dan Rasul, tidak dengan akalnya
semata-mata. Kewajiban-kewajiban baru ada setelah diberitahukan
oleh Allah. Keimanan dan kekufuran tidak dapat diketahui kecuali
dengan pengabaran seseorang yang diutus oleh Allah, demikian pula
kewajiban tidaklah tergambar kecuali sesudah diutusnya rasul.
Sedikit agak aneh memang, persoalan pertama yang muncul dalam Islam
sebagai agama adalah bidang politik, bukan bidang teologi atau
keagamaan. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi
persoalan tidak pernah berhenti. Kesimpulannya, munculnya
persoalan-persoalan aqidah dalam Islaman men seperti pelaku dosa
besar apakah dia mukmin hanyalah berasal dari persoalan rebutan
kursi , jadi sangat-sangat subjektif. Sejak saat itulah
persoalan-persoalan teologi berkembang dari hanya
persoalan-persoalan pelaku dosa besar, menjadi bermacam-macam
diskursus teologi yang melahirkan banyak sekali aliran-aliran yang
tetap berpengaruh hingga sekarang. Demikian juga persoalan wahyu
dan akal, merupakan persoalan yang mendapatkan porsi pembahasan
lumayan besar dalam lingkup teologi (ilmu kalam) dalam Islam.
Persoalan wahyu dan akal muncul sebagai bentuk merespon realitas
yang terjadi diluar mereka apakah harus melihat dan memahaminya
lewat akal atau lewat wahyu. Aliran-aliran teologi yang muncul
dalam menyikapi ini secara garis besar dapat dibagi kepada dua
mazhab yaitu mazhab rasional (rayu) yang diwakili oleh mutazilah
dimana kemudian filosof tergabung didalamnya dan mazhab non
rasional (wahyu), yang diwakili oleh teolog-teolog Islam
konservatif dan fundamentalis yang sampai hari ini pengaruhnya ada
pada ortodoksi Islam tertua yaitu Asyariah (Sunni/Ahlus Sunnah wal
Jamaah).
Dalam sejarah Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan kufur
adalah diskursus yang telah membawa pengaruh terhadap hasil karya
besar dan spektakuler dalam kegemilangan peradaban Islam di ranah
ilmu pengetahuan. Namun tidak selamanya diskursus ini penuh dengan
kegemilangan, ada juga masa-masa suram dimana dengan diskursus ini
pula telah mematikan kebebasan berfikir, dengan vonis kafir dan
sesat kepada teolog, filsuf dan tokoh-tokoh tasawuf yang punya
talenta luar biasa mengupas seluruh rahasia-rahasia semesta.
Persoalan yang dihadapi saat ini adalah, diskursus wahyu dan akal,
iman dan kufur telah dikuasai oleh ortodoksi Islam. Dalam wahyu dan
akal, akal harus tunduk pada wahyu, artinya wahyu adalah yang
utama. Dalam pandangan Asyariah akal adalah pelayan terhadap wahyu,
mereka tidaklah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti
yang dilakukan oleh Mutazilah. Demikian juga persoalan Iman dan
kufur juga tidak terlepas dari cengkeraman ortodoksi Islam yang
mengajarkan kepada umat Islam hari ini bahwa keselamatan hanya
dimiliki oleh orang-orang beriman dan hanya ada pada golongan
Asyariah (Sunni) yang hari ini menjelma menjadi Ahlus Sunnah wal
Jamaah, diluar golongan ini adalah golongan kufur (kafir) sehingga
tidak ada keselamatan bagi orang-orang kufur, di luar golongan
mereka sudah di anggap ingkar Allah dan ingkar Nabi, karena tidak
lagi mengesakan Tuhan dengan zat maupun sifatnya. Dalam ortodoksi
Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan Kufur adalah seperti
definisi di atas dan ini sudah Fixed Price ( harga mati ), definisi
ini semakin mendoktrinasi umat Islam ketika di monopoli oleh
lembaga formal agama seperti MUI, sehingga fatwa-fatwa yang lahir
adalah : inilah tauhid yang murni dan sebenarnya, yang harus
dipegang umat Islam saat ini jika ingin selamat, tidak boleh ada
peran akal dalam tauhid, tidak boleh ada kebebasan berfikir dalam
tauhid, iman dan kufur sudah jelas, bahwa diluar Ahlussunnah Wal
Jamaah semuanya sesat dan kufur, tidak bisa ditawar-tawar lagi,
apalagi direlatifkan. Persoalan selanjutnya, Dalam konteks
kekinian, apakah benar tidak ada lagi tawar menawar dalam persoalan
iman dan kufur, apakah ini sesuatu yang tidak bisa di
interpretasikan lagi. Apakah persoalan tauhid sesautu yang sudah
final dan hanya milik satu golongan tertentu tanpa bisa
dinterpretasikan lagi dan didekati dengan persfektif lain diluar
ilmu tauhid ?. demikian juga dengan persoalan wahyu dan akal,
apakah benar sesuai dengan ortodoksi umat Islam hari ini bahwa akal
harus tunduk kepada wahyu, akal hanyalah pelayan wahyu. Apakah
ortodoksi pemahaman tauhid seperti diatas (teologi asyary)
berpengaruh terhadap eksistensi dan etos kerja umat Islam saat ini
yang mundur, terbelakang, bergulat dengan kemiskinan. Apakah benar
tauhid adalah aqidah atau malah tauhid ini bukan aqidah dan apakah
perlu kita mengaktualisasikan kembali pemahaman tauhid sesuai
dengan konteks kekinian dan dengan pendekatan dan persfektif lain ?
Menyimak pertanyaan-pertanyanan diatas, tentu perlu kita kait dan
sinergiskan dengan model dunia dan kehidupan saat ini yang semakin
lama semakin maju, modern dan canggih saja. Artinya, keadaan yang
semakin modern ini perlu diikuti oleh pola tingkah, pola kerja dan
pola pemikiran sesuai dengan konteks zaman. Jika tidak, maka akan
terus tertinggal karena tidak bisa mengejar, menyamai apalagi
bersaing. Misalnya, jika sedang hujan, kita malah menjajakan es ,
apa yang akan terjadi ?. Pola tingkah, pola kerja dan pola pikir
umat Islam bersumber dari ketauhidan mereka. Seperti apa definisi
tauhid yang mereka yakini, seperti itu juga turunan tingkah, kerja
dan pemikiran mereka. Hari ini, tauhid yang diyakini oleh umat
Islam adalah tauhidnya Sunni, yang mengajarkan seperti disebutkan
diatas, hanya ada satu kebenaran, hanya ada satu jalan keselamatan,
wahyu harus diatas segala-galanya, sehingga kita dapat melihat di
Indonesia khususnya dan belahan dunia Islam lain pada umumnya,
bahwa umat yang dihasilkan dari tauhid seperti ini adalah umat yang
eksklusif, fundamentalis, konservatif,umat yang rajin melakukan
kerusakan dan tindakan bar-bar. Fenomena diatas terjadi dikarenakan
tauhid tersebut dipahami dengan menggunakan persfektif yang
memandang Islam sebagai teks (tekstual), bukan dengan perfektif
kontekstual. Artinya tanpa mau mengerti bahwa teks tauhid yang
dinggap final dalam ortodoksi Islam berasal dari konfigurasi
pemikiran dan penalaran subjektif manusia. Bisa juga terjadi
dikarenakan Islam yang di agungkan dan dipraktekkan adalah Islam
Syariat yang diyakini paripurna, mutlak dan absolut, bukan Islam
peradaban, yang semuanya serba relatif, yang dengan Islam seperti
ini sebenarnya telah membawa Islam kepada puncak kejayaan dalam
sejarah peradaban dan ilmu pengetahuan. Tauhid teks wahyu diatas
segalanya, tanpa peran akal dan tidak ada keselamatan diluar
komunitas sendiri dalam perfektif Syariat melahirkan umat yang
rigid (kaku), tidak ada kebebasan dalam berfikir, dan suka
melakukan takfir. Sedangkan Tauhid yang dipahami dalam konteks
peradaban akal di atas wahyu dan keselamatan itu relatif akan
menghasilkan umat yang toleran, humanis, bebas berfikir, yang semua
ini merupakan sebuah syarat kemajuan dalam komunitas global.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan adalah, dari pemaparan
tauhid tekstual dan tauhid
kontektual yang penulis paparkan diatas, apakah mutlak seperti
itu, dan masing-masing berdiri sendiri. tanpa bisa didialogkan
lagi. Tidak bisakah lagi mendialogkan antara wahyu dan akal, iman
dan kufur. Jawabannya bisa saja bisa dan bisa saja tidak. Tidak
bisa jika persfektif yang digunakan adalah persfektif Islam
paripurna (Islam Syariat) dan bisa jika perfektif yang digunakan
adalah persfektif Islam peradaban atau Islam pemikiran lebih
jelasnya kita sebut dengan persfektif pemikiran ke Islaman. Tujuan
mendialogkan ini adalah pertama agar kita terlepas dari pengaruh
ortodoksi Islam, yang mengharamkan kebebasan berfikir, dan tujuan
mendialogkan ini adalah untuk melakukan telaah kritis, wahyu dan
akal, iman dan kufur, untuk interpretasi dan reaktualisasi tauhid
dalam konteks kekinian dengan pola adanya kebebasan berfikir
diatas. Maka nantinya akan kita dapatkan jawaban, bagaimanakah
sebenarnya, apakah wahyu yang harus tunduk kepada akal, atau malah
sebaliknya, atau malah kita tidak perlu kepada wahyu, cukup dengan
akal dan apakah tauhid itu aqidah ataukah hanya sebuah pemikiran.
Mari kita dialogkan ini secara kritis. Dalam sejarah Islam sebagai
khazanah dan peradaban, semua objek dalam Islam akan mudah di
pahami jika menggunakan pendekatan pemikiran, karena persoalan
teologi, filsafat, tasawuf, politik dalam Islam, ushul fiqh
termasuk dalam ranah pemikiran ke Islaman. Syarat utama dari
persfektif pemkiran ke Islaman adalah adanya kebebasan berfikir,
semuanya relatif, tanpa ada vonis sesat dan takfir. Inilah yang
tidak dipunyai ortodoksi Islam. Agama dilihat hanya dari satu aspek
(Syariat), tidak di lihat dari aspek pemikiran yang sebenarnya
merupakan nyawa atas keberlangsungan sebuah agama. Menurut Lutfi
Assyauakanie, persoalan kebebasan berfikir dalam Islam berakar dari
permusuhan dan kecurigaan berlebihan terhadap peran akal. Sejak
awal, kaum muslim terbelah dalam menyikapi perubahan sosial yang
terjadi disekitar mereka, apakah harus melihat dan memahaminya
lewat akal atau wahyu. Ortodoksi Islam umumnya berpegang teguh
kepada wahyu, karena mereka meyakini bahwa segala sesautu didunia
ini sudah termaktub dalam al-Quran. Kalaupun tidak ada disana,
mereka meyakini bahwa al-Quran memberikan sinyalemen-sinyalemen
untuk itu. Dengan kata lain, wahyu harus didahulukan diatas akal
dalam menilai apa saja. Sementara itu bagi filosof dan pemikir
muslim, akal merupakan pemberian Tuhan yang paling berharga, lebih
berharga dari kitab suci itu sendiri. Tanpa akal, kitab suci tidak
akan bisa dipahami. Bagi mereka jika akal dan wahyu berbenturan,
maka wahyu haruslah diinterpretasikan. Dalam sejarahnya, hubungan
agama dan pemikiran adalah sejarah ketegangan. Dalam Islam,
pertentangan antara Islam dan ilmu pengetahuan relatife kecil, hal
ini dikarenakan tidak pernah terjadi sebuah revolusi sains seperti
yang terjadi di Eropa. Kemajuan sains dan ilmu pengetahuan dalam
Islam relatif sejalan dengan ideologi ortodoksi. Bahkan beberapa
sains dalam Islam berkembang pesat akibat langsung dari
ketertundukan sains di atas agama. Hal ini berbeda dengan pemikiran
spekulatif yang dikembangkan dalam disiplin filsafat dan teologi.
Pandangan pandangan filsuf dan teolog kerap berbenturan dengan
keyakinan ortodoksi Islam, dan sumber utamanya adalah kecurigaan di
gunakannya unsur-unsur asing di luar konteks Arab dan Islam. Dalam
tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber
pengetahuan Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu
memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan
melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi
yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa
menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai
secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan
wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis.
Artinya ada dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu yang bisa di kaji
dalam ranah pemikiran. Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang
sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam memperoleh
pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi
yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam
memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui
pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan. Kedua aliran ini,
dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di
luar akal dan pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas
di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber
pengetahuan. FUNGSI WAHYU Wahyu bagi kaum Mutazilah mempunyai
fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang
akan diterima manusia diakhirat. Sebagaimana kata Abd. Jabbar, akal
tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih
besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang
lain. Demikian pula akal tidak dapat mengetahui bahwa hukuman untuk
suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu
perbuatan buruk yang lain. Semua ini hanya dapat diketahui hanya
dengan perantaraan wahyu. Demikian pula pendapat Al Jubbai,
wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan
diperoleh oleh manusia diakhirat kelak. Wahyu bagi kaum Mutazilah
juga mempunyai fungsi informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa
yang telah diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang belum
diketahui oleh akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan
yang telah diperoleh oleh akal. DAFTAR PUSTAKA Nasution, Harun,
akal dan wahyu dalam iaslam, cet. Ke-II, Jakarta: UI Press. 1986.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Perbandingan,
cet. Ke-5, Jakarta: UI Press. 1986. Yusuf, M. Yunan, Corak
Pemikiran kalam Tafsir Al azhar, Jakarta: Permadani, 2004. [i] .
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Harun Nasution, UI-Press, Jakarta 1986.