Top Banner

of 23

ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

Apr 05, 2018

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    1/23

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar belakang

    Pada anestesi umum biasanya diberikan adjunct anesthesia yang akan memperkuat efek

    anestesi, sehingga dapat digunakan anestesi umum dosis rendah dengan efek samping yang

    sedikit.1 Adjunct anesthesia adalah obat atau teknik yang digunakan untuk menperkuat anestesi

    tapi tidak termasuk sebagai anestetik. Adjunct anesthesia digunakan sebelum anestesi sebagai

    premedikasi dan selama anestesi untuk memperkuat efek anestetik atau mengurangi efek

    samping yang tidak diinginkan.2

    Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan tujuan

    untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia. Premedikasi diberikan untuk

    mengurangi kecemasan, menenangkan pasien, memperlancar induksi anestesia, mengurangi

    sekresi oral dan respirasi, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah

    pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangi refelks

    yang membahayakan. Opioid analgesik, benzodiazepine, sedative and hypnotic, phenothiazine,

    anticholinergic, and antianxiety adalah obat yangsering digunakan dalam adjunct anesthesia.2,3,4

    Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak

    pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan

    menentramkan hati pasien.3

    1.3 Tujuan Penulisan

    Adapun tujuan penulisan referat ini adalah :

    1. Memahami tentang adjunct anesthesia dan obat-obat yang biasa digunakan.

    2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di

    Bagian Ilmu Anestesi

    3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi

    Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad.

    1.4 Metode Penulisan

    Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu kepada

    beberapa literatur.

    BAB II

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    2/23

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Benzodiazepin

    Benzodiazepin adalah salah satu obat yang paling populer yang digunakan dalam

    pengobatan preoperatif. Obat ini digunakan untuk menghilangkan rasa cemas, sedasi, dan

    membuat amnesia penderita. Efek antikonvulsan dan pelemas otot dari benzodiazepin tidak

    begitu penting ketika obat ini diberikan. Hal ini disebabkan tempat kerja dari benzodiazepin

    berada pada susunan saraf pusat yang berefek sedikit mendepresi pernafasan atau

    kardiovaskular pada dosis premedikasi. Benzodiazepin sedikit mengurangi tonus sfingter

    esofagus. Efek sedasi dari benzodiazepin berasal dari penguatan atau penghambatan

    neurotransmiter yang dimediasi oleh aminobutyric acid.4

    Sebagai adjunct anestgesia, benzodiazepin digunakan untuk ansiolotik, amnesia, dan

    sedasi sebelum induksi anestesia atau untuk sedasi selama prosedur yang tidak memerlukan

    anestesia umum. Benzodiazepin yang paling sering digunakan pada perioperatif adalah

    midazolam, diazepam, dan lorazepam.1

    Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat,

    potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat

    dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati.Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai

    pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam

    monitorng anestesi. Dalam masa perioperative, midazolam telah menggantikan penggunaan

    diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil.5

    Midazolam5

    Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin imidazole

    yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah menggantikan diazepam

    selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu affinitas terhadap reseptor

    GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat diabanding

    efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan

    yang terjadi selama beberapa jam.

    Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak.

    Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari

    obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik

    yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein.

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    3/23

    Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi

    dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.

    Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh

    diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada

    pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan

    dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan

    lebih pendek dibanding diazepam. Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan

    enzim cytochrome P-450 usus halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif.

    Metabolisme midazolam akan diperlambat oleh obat-obatan penghambat enzim sitokrom P-450

    seperti simetidin, eritromisin, calsium channel blocker, obat anti jamur.

    Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan

    diazepam 0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih

    besar terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak

    terjadi sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan

    menyebabkan apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid.

    Benzodiazepine juga menekan refleks menelan dan penuruna aktivitas saluran napas bagian

    atas.

    Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan darah dan

    meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara dengan

    thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi

    perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada tekanan darah secara

    langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepine.

    Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup (2

    mg/ml) kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek

    pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi dipercaya

    akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.

    Diazepam5

    Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja

    yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik

    (propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH

    6,6-6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    4/23

    Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam

    (15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam

    besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati

    plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus.

    Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi

    desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam

    memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam

    sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian. Metabolit

    ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi. Desmethyldiazepam

    diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan asam glukoronat.

    Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada

    pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat enzim

    sitokrom P-450.

    Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan

    bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif akan

    meningkatkan resiko terjadinya depresi napas.

    Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak

    menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac outputdan resistensi perifer. Begitu juga

    dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan

    perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti

    dengan injeksi fentanyl 50 g/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan

    penurunan tekanan darah sistemik.

    Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan

    menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila

    konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml.

    Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam.

    Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang

    didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang mencegah

    kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat aktivitas di

    sistem limbik, terutama di hippokampus.

    Lorazepam5

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    5/23

    Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada adanya

    klorida ekstra pada posisi orto 5-phenyl moiety. Lorazepam lebih kuat dalam sedasi dan

    amnesia dibanding midazolam dan diazepam sedangkan efek sampingnya sama.

    Lorazepam dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hati menjadi bentuk inaktif yang

    diekskresikan di ginjal. Waktu paruhnya lebih lama yaitu 10-20 jam dengan ekskresi urin >

    80% dari dosis yang diberikan. Karena metabolismenya tidak dipengaruhi oleh enzim

    mikrosom di hati, maka metabolismenya tidak dipengaruhi oleh umur, fungsi hepar dan obat

    penghambat enzim P-450 seperti simetidin. Namun onset kerja lorazepam lebih lambat

    dibanding midazolam dan diazepam karena kelarutan lemaknya lebih rendah.

    Lorazepam diserap baik bila diberikan secara oral dan IM dan mencapai konsentrasi

    puncak dalam 2-4 jam dan terus bertahan efeknya selama 24-48 jam. Sebagai premedikasi,

    digunakan dosis oral 50g/kg (maks 4 mg) yang akan menimbulkan sedasi yang cukup dan

    amnesia selama 6 jam. Penambahan dosis akan meningkatkan sedasi tanpa penambahan efek

    amnesia. Lorazepam tidak bermanfaat pada operasi singkat karena durasi kerja yang lama.

    Onset kerja lambat lorazepam merupakan kekurangan lorazepam bila digunakan

    sebagai induksi anestesi, sedasi selama regional anestesi dan sebagai anti kejang. Lorazepam

    akan bermanfaat bila digunakan sebagai sedasi pada pasien yang diintubasi.

    2.2 Agonist Alpha 2 Adrenergic

    Agonis alpha 2 adrenegik dexmedetomidine secara luas digunakan di unit perawatan

    intensif sebagai sedasi jangka pendek pada dewasa, dan mulai digunakan sebagai adjunct

    anesthetik. Aktivasi reseptor alpha 2 adrenegik oleh dexmedetomidine menghasilkan sedasi dan

    anelgesia, tapi tidak secara nyata menghasilkan anestesia umum, bahkan pada dosis maksimal.1

    Efek samping yang sering terjadi adalah hipotensi dan bradikardi, yang dikaitkan

    dengan penurunan pelepasan mediator katekolamin yang di aktivasi oleh reseptor alpha2. Mual

    dan mulut kering adalah efek samping yang lain. Pada konsentrasi tinggi subtype alpha 2B

    diaktivasi, menghasilkan hipertensi dan lebih lanjut menurunkan frekuensi jantung dan cardiac

    output.1

    Dexmedetomidine menghasilkan sedasi dan anelgesia dengan depresi pernapasan yang

    minimal. Sedasi yang dihasilkan dexmedetomidine lebih mirip dengan tidur alami, pasien lebih

    mudah untuk dibangunkan. Namun, dexmedetomidine tidak menghasilkan amnesia dan obat

    tambahan lain diperlukan jika amnesia diinginkan.1

    Dosis awal adalah 1 mg/kgBB diberikan selama 10 menit, diikitui infus dengan dosis

    0,2-0,7 mg/kgBB/jam. Pemberian per infus lebih dari 24 jam tidak dianjurkan karena

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    6/23

    berpotensi untuk menjadi rebound hipertensi. Pengurangan dosis harus dipertimbangkan pada

    pasien dengan resiko untuk hipotensi.1

    2.3 Analgetik Opioid

    Morfin adalah analgesik opioid pertama yang digunakan untuk mengurangi cemas dan

    ketegangan pasien menghadapi pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipnea oada

    anestesia dengan trikoletilen, dan membantu agar anestesia berlangsung baik. Kini dikenal

    lebih dari 20 jenis opioid yang dapat digunakan untuk tujuan ini.4

    Fentanil, sufentanil, alfentanil, remifentanil, meperidin, dan morfin adalah opioid

    parenteral utama yang digunakan dalam perioperatif. Aktivitas analgesik utama dari masing-

    masing obat ini diproduksi oleh aktivitas agonis pada -opioid reseptor. Urutannya potensi

    (relatif terhadap morfin) adalah: sufentanil (1000x)> remifentanil (300x)> fentanil (100x)>

    alfentanil (15x)> morfin (1x)> meperidin (0.1x). Pemilihan suatu opioid perioperatif

    didasarkan terutama pada durasi kerja, mengingat bahwa pada dosis tepat, semua menghasilkan

    analgesia dan efek samping yang sama.1

    Morfin6

    Morfin adalah bentuk pertama agonis opioid dan pembanding bagi opioid lainnya. Pada

    manusia, morfin menghasilkan analgesi, euforia, sedasi, dan mengurangi kemampuan untuk

    berkonsentrasi, nausea, rasa hangat pada tubuh, rasa berat pada ekstrimitas, mulut kering, dan

    pruritus, terutama di wilayah kulit sekitar hidung. Morfin tidak menghilangkan penyebab nyeri,

    tetapi meningkatkan ambang nyeri dan mengubah persepsi berbahaya yang dialami tidak

    sebagai nyeri. Efek analgesia akan optimal apabila morfin diberikan sebelum stimulus nyeri

    timbul.

    Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15 -30 menit

    dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin tidak diserap secara

    baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV selama masa operasi. Efek

    puncak setelah pemberian morfin IV lebih lambat dibandingkan dengan opioid lain seperti

    fentanyl, dan alfentanyl, yaitu sekitar 15-30 menit. Pemberian cepat IV tidak memeiliki

    pengaruh farmakologis karena lambatnya obat menembus sawar darah otak. Konsentrasi CSF

    puncak morfin antara 15-30 menit setelah pemberian IV dan menurun lebih lambat

    dibandingkan konsentrasi plasma. Analgesia cukup mungkin membutuhkan rumatan

    konsentrasi plasma morfin paling tidak 0,05g/ml. Pada pasien yang dipindahkan biasanya

    membutuhkan analgesia post operatif yang cukup, dengan dosis morfin total antara 1,3-2,7

    mg/jam.

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    7/23

    Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik. Morfin

    dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstra hepatik lebih banyak

    terjadi di ginjal. Sekitar 75-85% dari morfin yang diberikan akan menjadi morfin 3 glukoronat

    dan 5-10% menjadi morfin 6 glukoronat (rasio 9:1). Sekitar 5% morfin akan mengalami

    demetilasi menjadi normomorfin dan sebagian kecil diproses menjadi kodein. Metabolit morfin

    akan dieliminasi melalui urin, sekitar 7-10% diekskresikan melalui empedu. Morfin 3

    glukoronat dapat dideteksi dalam urin setelah 72 jam pemberian. Sejumlah kecil morfin (1-2%)

    ditemukan dalam urine tanpa perubahan.

    Metabolisme ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal ini

    menjelaskan mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien cirrhosis

    hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini dimungkinkan karena

    terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada pasien dengan gangguan hati.

    Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat akan terganggu dan

    menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas yang tak terduga pada dosis

    opioid kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat dirusak oleh monoamin oksidase inhibitor

    yang akan menyebabkan efek morfin yang berlebihan bila kedua obat diberikan bersamaan.

    Morfin menunjukkan potensi analgesik yang lebih tinggi dan durasi lebih lama pada

    wanita dibandingkan pada laki-laki. Konsumsi morfin post operasi pada laki-laki lebih tinggi

    daripada perempuan. Sebaliknya, morfin menurunkan renspon ventilasi terhadap karbon

    dioksida pada perempuan sedangkan efek yang sama tidak ada pada laki-laki. Morfin tidak

    mengganggu ambang batas apneu dan menurunkan kepekaan akan hipoksia pada perempuan

    sedangkan pada laki-laki sebaliknya.

    Efek samping morfin juga terdapat pada agonis opioid lain, walaupun insiden dan

    besarnya tidak sama. Efek samping morfin dijelaskan berdasarkan sistem dan gejala yang

    ditimbulkannya.

    a. Sistem kardiovaskuler

    Efek samping pada sistem kardiovaskuler dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme

    berbeda. Kelainan pada penggunaan morfin dapat terjadi karena respon dari sistem simpatik.

    Morfin akan menurunkan pengaruh sistem simpatik pada jaringan perifer sehingga terjadi

    penurunan venous return, cardiac outputdan tekanan darah. Morfin juga dapat menyebabkan

    bradikardi akibat peningkatan aktivitas vagal sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Morfin

    menimbulkan efek depresi langsung pada SA node dan memperlambat konduksi impuls

    jantung melalui AV node. Penggunaan opioid (morfin) sebagai premedikasi dan sebelum

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    8/23

    induksi (fentanyl) bertujuan menurunkan denyut jantung selama penggunaan gas anestesi

    inhalasi.

    Penurunan tekanan darah dan pelepasan histamin karena opioid sangat bervariasi

    kejadian dan derajatnya. Untuk meminimalisir beratnya pelepasan histamin karena morfin dan

    penurunan tekanan darah dapat dilakukan, (a) pembatasan kecepatan infus morfin menjadi 5

    mg/menit, (b) pesien diposisikan dalam keadaan supine atau kepala lebih rendah, dan (c)

    optimisasi cairan intravasculer. Sedangkan pada penggunaan fentanyl dan sufentanyl tidak

    terjadi pelepasan histamin.

    b. Pernapasan

    Semua agonis opioid akan menimbulkan depresi pernapasan dengan semakin besarnya

    dosisnya dan jenis kelamin dari pasien. Agonis opioid bekerja pada reseptor 2 yang menekan

    pusat pernapasan di batang otak. Tingkat depresi napas yang ditimbulkan seiring dengan

    analgesik yang didapatkan dan pengurangan terhadap depresi napas juga akan mengurangi

    analgesik yang didapatkan.

    Opioid mendepresi pernapasan dengan mengurangi reaksi pusat pernapasan terhadap

    karbon dioksida dan pergeseran kurva respon karbon dioksida ke kanan. Opioid juga

    mengganggu pusat pernapasan di pons dan medula sehingga menyebabkan pernapasan yang

    pendek dan dalam. Opioid juga menekan aktivitas silia dari jalan napas sesuai dengan dosis

    yang diberikan. Resistensi jalan napas meningkat baik karena efek langsung morfin pada otot

    polos bronkus juga karena pelepasan histamin.

    c. Penekanan batuk

    Opioid menekan batuk melalui gangguan pada pusat batuk yang berbeda dengan pusat

    pernapasan. Penekanan batuk terberat terjadi pada opioid yang mengalami subsitusi besar pada

    posisi karbon nomor 3 (kodien). Penekanan batuk dihasilkan juga oleh isomer opioid

    dektrotatory (dekstromethorphan) yang tidak memiliki efek analgesia.

    d. Sistem saraf

    Opioid harus digunakan secara hati-hati pada pasien trauma kepala karena (a)

    hubungannya dengan kesulitan sadar, (b) miosis yang ditimbulkan, dan (c) penekanan

    pernapasan yang akan meningkatkan tekanan intra kranial jika PaCO2 meningkat. Cedera

    kepala juga dapat merusak sawar darah otak sehingga meningkatkan sensitivitas otak terhadap

    opioid.

    Pemberian dosis besar dan cepat opioid secara intravena menyebabkan kekakuan otot

    dada dan perut. Hal ini dapat mengganggu ventilasi paru dan penekanan jalan napas yang

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    9/23

    mengganggu venous return. Penghambatan pelepasan stria gamma aminobutyric acid dan

    peningkatan produksi dopamin merupakan penyebab peningkatan tonus otot skeletal.

    Miosis disebabkan oleh eksitasi pada sistem saraf otonom pada komponen nukleus

    Edinger-Westphal pada saraf occulomotor. Efek ini dapat dilawan dengan pemberian atropin

    dan keadaan hipoksemia arterial yang besar.

    e. Sedasi

    Pemberian dosis kecil morfin menyebabkan sedasi sebelum onset analgesia terjadi.

    Karenanya, tidur tidak dapat menjadi patokan kecukupan dosis analgesia yang diberikan.

    f. Sistem biliar

    Opioid menyebabkan spasme otot polos biliaris dan menyebabkan peningkatan

    tekanan intabiliar yang dihubungkan dengan stress epigastrik atau kolik biliar. Nyeri ini

    sangat mirip dengan iskemik miokard. Naloxone dapat mengurangi nyeri akibat spasme biliar

    tapi tidak pada iskemik miokard, sedangkan nitrogliserin akan menghilangkan nyeri akibat

    keduanya. Glucagon 2 mg IV dapat mengurangi spasme biliar namun tidak mengurangi efek

    analgesik dari opioid seperti pada pemberian naloxone. Pada dosis analgesik, fentanyl,

    morfin, meperidine dan pentazocine meningkatkan tekanan intra biliar sebanyak 99%, 53%,

    61% dan 15%.

    g. Traktus gastrointestinal

    Pemberian morfin, meperidine dan fentanyl akan menyebabkan spasme otot polos

    saluran pencernaan yang dapat menyebabkan konstipasi, kolik biliar dan perlambatan

    pengosongan lambung.

    h. Nausea dan vomitting

    Opioid akan menimbulkan mual dan muntah karena stimulasi langsung pada wilayah

    pemicu kemoreseptor di dasar ventrikel keempat. Efek mual muntah juga dapat ditimbulkan

    oleh stimulasi reseptor dopamin karena peningkatan sekresi dan perlambatan pengosongan isi

    saluran cerna.

    i. Sistem genitourinarius

    Morfin meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik ureter. Hal ini menyebabkan

    terjadinya keadaan urinary urgency pada pasien. Namun pada keadaan yang sama tonus

    spingter vesika meningkat sehingga terjadi kesulitan pengosongan urin. Efek morfin dapat

    diatasi dengan pemberian anti kolinergik.

    j. Perubahan kulit

    Morfin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit. Kulit wajah, leher dan dada

    biasanya menjadi merah dan panas. Hal ini disebabkan oleh pelepasan histamin.

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    10/23

    k. Plasenta

    Morfin dapat melewati plasenta dan masuk ke dalam aliran darah neonatus. Karenanya

    depresi pada neonatus dapat terjadi pada pemberian opioid selama persalinan. Pemberian

    morfin memiliki efek yang lebih besar daripada pemberian meperidine. Pada pemberian yang

    lama dapat terjadi adiksi intrauterin pada bayi.

    Meperidine6

    Meperidine adalah agonis opioid sintetik pada reseptor mu dan kappa yang diturunkan

    dari fenilpiperidine. Ada beberapa analog dari meperidine termasuk fentanyl, sufentanyl,

    alfentanyl dan remifentanyl. Secara struktur, meperidine mirip dengan atropin dan memiliki

    efek anti spasmodik yang ringan. Namun, secara farmakalogi efek meperidine sama dengan

    morfin.

    Potensi meperidine sekitar sepersepuluh dari morfin, dimana dosis 80-100 mg IM

    meperidine sama dengan 10 mg morfin. Durasi kerja meperidine sekitar 2-4 jam, lebih pendek

    daripada morfin. Pada dosis analgesik yang sama, meperidine memiliki efek samping yang

    sama dengan morfin. Meperidin diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan morfin,

    walaupun hanya setengahnya yang efektif dibandingkan dengan pemberian IM.

    Metabolisme di hati memegang peranan besar, 90% obat akan mengalami demetilasi

    menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi asam meperidinic. Ekskresi melalui urin

    tergantung pada pH, pada pH yang asam meperidine akan lebih banyak diekskresikan secara

    utuh.

    Normeperidine memiliki waktu paruh 15 jam (35 jam pada gagal ginjal) dan dapat

    dideteksi pada urin hingga 3 hari setelah pemberian. Metabolit ini memiliki efek analgesia

    separuh daripada meperidine namun menimbulkan stimulasi pada CNS. Toksisitas

    normeperidine berupa myoklonus dan kejang timbul pada pasien dengan pemberian lama obat

    dan pada pasien gagal ginjal.

    Waktu paruh meperidine berkisar 3-5 jam bergantung kepada metabolisme di hepar.

    Gangguan di hepar akan menyebabkan waktu paruh yang lebih lama daripada meperidine.

    Sekitar 60% meperidine terikat pada protein plasma sehingga pada pasien tua akan terjadi

    penurunan ikatan protein plasma dan meningkatkan efek kerja meperidine.

    Meperidine digunakan sebagai analgesik selama proses persalinan dan post operasi.

    Meperidine akan bekerja secara baik apabila diberikan secara intra tekal. Konsentrasi analgesik

    palsma meperidine sangat bervariasi diantara pasien. Konsetrasi plasma meperidine sekitar 0,7

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    11/23

    g/mL akan memberikan analgesia yang cukup pada post operasi. Dosis total yang diberikan

    antara 12-36 mg/jam.

    Meperidine juga efektif mencegah menggigil akibat penggunaan oksigen yang

    berlebihan. Efek ini karena stimulasi reseptor kappa dan agonis reseptor alpha2 yang

    membantu efek anti menggigil. Keuntungan lain meperidine adalah pemberian oral. Namun

    meperidine tidak memiliki efek anti diare dan antitussif seperti morfin. Sehingga penggunaan

    meperidine pada bronkoskopi kurang baik. Meperidine tidak boleh diberikan dalam dosis besar

    karena efek inotropic negatif pada jantung dan pelepasan histamin.

    Efek samping yang timbul antara lain hipotensi ortostatic akibat kompensasi reflek saraf

    simpatik. Meperidin lebih sering meningkatkan denyut jantung daripada bradikardi. Delirium

    dan kejang juga terjadi akibat akumulasi normeperidine di dalam CNS. Serotonin sindrom

    (hipertensi tidak stabil, takikardi, diaforesis, hipertermi, confusion, delirium dan hiperreflek)

    dapat terjadi bila meperidine diberikan pada pasien yang mendapat obat-obatan antidepressant

    (MAO inhibitor, fluoxetine).

    Efek depresi napas dan tranport melewati plasenta meperidine lebih berat dibandingkan

    morfin. Namun efek konstipasi dan retensi urin lebih rendah dibanding morfin. Meperidine

    lebih memiliki efek seperti atropin dibandingkan morfin. Midriasis, mulut kering, peningkatan

    denyut jantung lebih banyak terjadi pada meperidine. Efek otonom karena ketergantungan

    meperidine lebih rendah dibandingkan morfin. Namun waktu toleransinya lebih pendek

    dibandingkan morfin.

    Fentanyl6

    Fentanyl adalah opioid sintetik turunan fenilpiperidine yang secara struktur mirip

    dengan meperidine. Sebagai analgesik, fentanyl lebih kuat 75-125 kali morfin.

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    12/23

    Gambar 2. Struktur Kimia Fentanil

    Dosis tunggal fentanyl secara IV memiliki onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih

    pendek daripada morfin. Onset fentanyl yang cepat menunjukkan kelarutan lemak yang lebih

    tinggi dan durasi yang pendek menunjukkan distribusi yang cepat ke jaringan yang tidak aktifdibandingkan dengan morfin.

    Fentanyl dimetabolisme oleh N-demethylation menjadi norfentanyl, hydroxyproprionil-

    fentanyl dan hidroxyproprionyl-fentanyl. Norfentanyl mirip dengan normeperidine dan

    merupakan metabolit utama pada tubuh. Metabolit ini diekskresikan melaui ginjal dan dapat

    dideteksi dalam urin hingga 72 jam pemberian. Aktivitas farmakologis metabolit fentanyl

    sangat minimal.

    Walaupun secara klinis fentanyl memiliki durasi yang pendek, namun waktu paruhnya

    lebih panjang dibandingkan morfin. Hal ini disebabkan volume distribusi fentanyl lebih besar

    daripada morfin. Setelah pemberian IV, fentanyl tersebar secara cepat ke jaringan. Lebih dari

    80% obat akan hilang dari plasma dalam waktu

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    13/23

    dapat digunakan sebagai obat tunggal anestesi. Keuntungan penggunaan fentanil sebagai obat

    tunggal yaitu, (a) kurangnya efek depresi miokard, (b) tidak terjadinya pelepasan histamin, (c)

    tidak ada stress terhadap pembedahan. Kerugian yang didapat yaitu, (a) tidak dapat mencegah

    respon simpatis terhadap nyeri, (b) kemungkinan pasien sadar, (c) depresi napas post operasi.

    Fentanyl juga diberikan secara transmukosal dengan dosis 5-20 g/kg. Tujuannya untuk

    mengurangi kecemasan preoperasi dan membantu induksi anestesi teutama pada anak-anak.

    Sebagai premedikasi, fentanyl juga dapat diberikan secara transdermal sebelum operasi dan

    dibiarkan hingga 24 jam post operasi untuk mengurangi dosis opioid yang digunakan sebagai

    analgesia. Pemberian secara transdermal dengan dosis 75-100 g/jam akan mencapai

    konsentrasi puncak setelah 18 jam.

    Efek samping

    a. Kardiovaskuler

    Fentanyl dalam dosis besar tidak mendorong terjadinya pelepasan histamin sehingga

    tidak menimbulkan terjadinya hipotensi. Namun efek bradikardi lebih tinggi dibanding morfin

    yang dapat menurunkan cardiac outputdan mengganggu tekanan darah.

    b. Kejang

    Kejang dapat timbul pada pemberian cepat IV fentanil, sufentanil dan alfentanil.

    Walaupun dalam pemeriksaan EEG tidak ditemukan adanya aktivitas kejang.

    c. Tekanan Intracranial

    Pemberian fentanil dan sufentanil pada pasien cedera kepala akan menaikkan sedikit

    ICP (6-9 mmHg) dan juga diikuti penurunan tekanan arteri rata-rata dan tekanan perfusi otak.

    Tramadol6

    Tramadol merupakan analgesik yang bekerja secara sentral dengan berikatan pada

    reseptor mu dan berikatan lemah pada reseptor kappa dan delta. Potensi analgesik tramadol 5-

    10 kali lebih lemah daripada morfin.

    Tramadol dengan dosis 3 mg/kg dapat diberikan secara oral, IM atau IV untuk

    mengatasi nyeri sedang hingga berat. Keuntungan pemberian tramadol adalah tidak adanya

    depresi napas, dan tidak menyebabkan ketergantungan pada obat serta memiliki toksisitas

    organ yang rendah. Selain itu, efek perlambatan pengosongan lambung juga lebih rendah

    dibanding opioid lain dan efek sedasi yang minimal.

    Kerugian penggunaan tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan koumadin

    dan kemungkinan terjadinya kejang pada pasien epilepsi. Tramadol juga mendorong timbulnya

    mual dan muntah pada pemberian perioperatif.

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    14/23

    2.4 Antikolinergik

    Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi inhalasi diproduksi secret yang

    berlebihan oleh saluran nafas dan pada bahaya bradikardi intraoperatif. Indikasi khusus

    antikolinergik sebelum operasi adalahsebagai (1) antisialogogue dan (2) sedasi dan amnesia.

    Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan mengurangi sekresi cairan lamung, namun

    tidak disetujui penggunaannya pada preoeratif.

    Antisialogogue. Antikolinergik telah digunakan secara selektif mengeringkan saluran nafas

    atas bila diinginkan. Sebagai contoh, saat intubasi endotrakeal. Antisialogogue sangan penting

    pada operasi intraoral dan pada pemeriksaan jalan nafas seperti bronkoskopi.

    Perbandingan Beberapa Obat Antikolinergik

    Atropin Glycopirolate Scopolamine

    Increased heart rate

    Antisialogogue

    Sedation

    +++

    +

    +

    ++

    ++

    0

    +

    +++

    +++

    0=no effect; + = small effect; ++ = moderate effect; +++ = large effect.

    Karena glykopirolate tidak mudah menembus sawar darah otak, maka tidak dapat bekerja

    sebagai sedasi.

    Sedatif dan amnesia. Kedua scopolamine dan atropine dapat menembuas sawar darah otak

    namun scopolamine adalah yang selalu dipakai sebagai sedatif terutama bila dikombinasi

    dengan morfin. Tidak seperti lorazepam atau diazepam, tidak semua pasien dapat berefek

    amnesia oleh pemberian scopolamine.

    Aksi vagolitik. Aksi vagolitik dari antikolinergik diperoleh melalui blokade efek asetylkolin

    pada SA node. Atropin lebih potensial disbanding glykopirolat dan scopolamine. Aksi

    vagolitik ini berguna mencegah refleks bradikardi selama operasi. Bradikardi bias terjadi

    akibat traksi otot ekstraorbital, otot abdomen, stimulasi sinus carotis, atau setelah

    pemberian berulang suksinylkolin. Atropine dan glykopirolat diberikan intravena.

    Elevasi kadar pH cairan gaster. Dosis tinggi antikolinergik sering diperlukan untuk

    mengubah kadar pH. Namun demikian, saat preoperative antikolinergik tidak dibenarkan untuk

    menurunkan sekresi H+ lambung.

    2.5 pH dan Volume Cairan Lambung

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    15/23

    Banyak pasien yang datang ke kamar operasi dengan resiko aspirasi pneumonitis.

    Contoh klasik adalah pasien dengan nyeri akut dan perut penuh yang harus menjalani

    pembedahan emergensi. Pasien dengan kehamilan, kegemukan, diabetes dan hiatus hernia atau

    efflux gastroesofageal memiliki resiko untuk terjadinya aspirasi isi gaster dan subsequent

    chemical pneumonitis. Aspirasi pulmonal dari isi gaster yang signifikan secara klinik sangat

    jarang pada pasien yang sehat yang menjalani pembedahan elektif.

    Pentingnya untuk dilakukan puasa sebelum dilakukan induksi anestesi untuk

    pembedahan elektif saat ini dipertentangkan. Beberapa institusi memperbolehkan minum 3 jam

    bahkan 2 jam sebelum operasi pada pasien tertentu. Volume isi gaster,setelah induksi anestesi

    tidak meningkat dengan pemberian 150 ml air, kopi atau jus jeruk 2-3 jam sebelumnya. Studi

    yang sama yang dilakukan oleh Shevde dan Trivedi menggambarkan pemberian 240 ml air,

    kopi, jus jeruk pada relawan yang sehat, semuanya memiliki volume gaster kurang dari 25 ml

    dengan sedikit peningkatan pH dalam 2 jam setelah minum satu atau tiga jenis minuman.Hal

    yang dipertimbangkan dari puasa adalah kenyamanan, hipovolemi dan hipoglikemi pada pasein

    anak-anak perioperatif. Investigasi oleh Splinter dkk, menyimpulkan bahwa minum air putih 3

    jam sebelum operasi, tidak terlalu memiliki efek pada volume gaster dan pH pada anak-anak

    yang sehat dengan usia 2-12 tahun. Studi lain pada bayi, anak-anak dan orang dewasa yang

    dijadwalkan untuk operasi elektif memiliki hasil yang sama. Namun harus diingat bahwa data

    tersebut didapatkan dari pasien yang tidak memiliki resiko terhadap aspirasi dan hanya

    meminum air putih. The American Society of Anesthesiologists menyimpulkan pedoman untuk

    praktek puasa peroperatif yang diadaptasi pada tahun 1998 (lihat table 21.5)

    Tabel 21.5

    REKOMENDASI PUASA UNTUK MENGURANGI RESIKO ASPIRASI

    PULONAL

    Jenis minuman

    Air putih*

    ASI

    Makanan bayi

    Susu formula

    Makanan berat

    Waktu puasa minimal (untuk semua umur)

    2 jam4 jam

    6 jam

    6 jam

    6 jam

    Dilakukan pada pasien sehat yang akan menjalani prosedur elektif dan tidak dianjurkan

    untuk wanita bersalin. Mengikuti pedoman tadak menjamin pengosongan gaster secara

    komplit. * Termasuk air putih, jus buah, bahan-bahan berkarbonasi, teh dan kopi hitam.

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    16/23

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    17/23

    Cimetidin biasanya diberikan dengan dosis150-300 mg baik oral maupun parenteral.

    Penggunaan 300 mg cimetidin oral, 1-1,5 jam sebelum operasi, menunjukkan peningkatan

    pH cairan gaster diatas 2,5 pada 80% pasien. Tidak ada efek pada volume cairan gaster.

    Namun, sebuah studi oleh Maliniak dkk melaporkan bahwa cimetidin (300 mg) yang

    diberikan IV 2 jam sebelum operasi meningkatkan pH cairan gaster dan menurunkan

    volume gaster. Cimetidine IV dapat diberkan pada pasien yang tidak dapat menggunakan

    cimetidin secara oral. Untuk pasien yang sangat obesitas, dosis cimetidin perlu

    ditingkatkan. Cimetidin dapat menembus plasenta, namun efek samping terhadap janin

    belum terbukti. Pada satu pusat investigasi, 126 pasien yang akan menjalani operasi sectio

    cesarean elektif diteliti. Para pasien menerima 30 ml antacid 1-3 jam sebelum operasi atau

    300 mg cimetidine oral pada saat tidur dan juga IM 1-3 jam sebelum operasi. Terdapat

    peningkatan pada pH cairan gaster dan penurunan volume cairan gaster pada grup yang

    diberikan cimetidine.Yang terpenting dari diskusi ini adalah, tidak terdapat perbedaan pada

    kerja saraf dari neonatus diantara kedua grup. Efek gaster dari cimetidine berlangsung

    sepanjang 3 atau 4 jam, dan oleh karena itu obat ini dapat digunakan pada operasi dengan

    durasi waktu tersebut.

    Cimetidin memiliki beberapa efek samping,namun ada beberapa catatan. Cimetidine

    dapat menghambat berbagai fungsi system enzim oksidase hepar sehingga dapat

    memperpanjang waktu paruh dari berbagai obat, termasuk diazepam, chlordiazepoxide,

    theophylline, propanolol dan lidokain. Hal yang juga menjadi pertanyaan adalah penurunan

    aliran darah hepar oleh cimetidin dan perpanjangan efek obat pada pasien gagal ginjal.

    Disritmia jantung, hipotensi, cardiac arrest, dan depresi system saraf pusat pernah terjadi

    setelah pemberian cimetidin. Efek samping ini mungkin terjadi pada pasien dengan

    penyakit berat setelah pemberian cimetidin IV yang cepat. Diduga, resistensi jalan nafas

    mungkin meningkat pada pasien asma karena cimetidin dapat menghasilkan unopposed

    reseptor H2 yang dapat menyebabkan bronko konstriksi.

    Ranitidin

    Ranitidin lebih poten,spesifik, dan kerja lebih lama dibanding cimetidin. Dosis oaral

    biasanya 50-200 mg. Ranitidin 50-100 mg yang diberikan parenteral,akan menurunkan pH

    cairan gaster dalam 1 jam. Sama efektifnya dengan cimetidin dalam mengurangi jumlah

    pasien yang memiliki resiko aspirasi gaster dan memiliki sedikit efek samping terhadap

    kardiovaskular dan SSP. Efek dari ranitidine berlangsung sampai 9 jam. Oleh karena itu,

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    18/23

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    19/23

    Metoklopramid

    Metoclopramide adalah antagonis dopamine yang menstimulasi motilitas

    gastrointestinal bagian atas, meningkatkan tonus spingter gastroesofagus, dan relaksasi pylorus

    dan duodenum. Selain itu, juga sebagai antiemetik. Metoklopramide mempercepat

    pengosongan lambung tapi belum diketahui efeknya pada sekresi asam dan pH cairan lambung.

    Dapat diberikan secara oral atau parenteral. Dosis parenteral 5-20 mg biasanya diberikan 15-30

    menit sebelum induksi. Dosis per oral 10 mg memiloki onset 30-60 menit. T1/2 metoklopramid

    kira-kira 2-4 jam.

    Penggunaan sebagai obat gastrokinetik adalah pada pasien-pasien yang jumlah cairan

    gasternya besar seperti pasien persalinan, pasien yang dijadwalkan operasi emergensi dan baru

    saja makan, obesitas, pasien trauma, rawat jalan, dan pasien DM yang akan dilakukan

    gastroparesis sekunder.

    Bagaimanapun, metoklopramide tidak menjamin pengosongan lambung. Sejumlah

    cairan lambung yang bermagna masih mungkin ada meskipun itu diberikan. Efek

    metoklopramide pada saluran cerna bagian atas bisa dihalangi oleh pemberian atropin atau

    sebelumnya disuntikkan opioid. Mungkin juga tidak efektif setelah pemberian natrium sitrat.

    Yang jalas, metoklopramide terutama akan efektif mengurangi resiko terjadinya a

    antisialogogue spirasi paru bila dikombinasi dengan H2 reseptor antagonis (seperti, ranitidine)

    sebelum pembedahan elektif.

    2.6 Antiemetik

    Ada berbagai kelompok pasien yang berespon terhadap obat-obat yang membantu

    mengurangi mual dan muntah. Termasuk disini adalah pasien yang dijadwalkan untuk operasi

    mata, pasien yang sebelumnya ada riwayat mual muntah, atau motion sickness, pasien yang

    akan dilakukan operasi laparoskopi atau ginekologi, dan pasien obesitas. Ada 4 faktor resiko

    yang diprediksi mengalami mual muntah postoperasi: perempuan, riwayat motion sickness

    atau mual post operasi, tidak merokok, dan menggunakan opioid postoperasi. Bila didapatkan 2

    atau lebih para peneliti mengusulkan pemberian antiemetik pofilaktik saat menggunakan

    anestesi volatile. Banyakan ahli anestesi tidak suka memberikan antiemetikk sebagai bagian

    dari regimen preopertif, tetapi sebaiknya diberikan intravena pada sesaat sebelum

    operasi.selesai.

    Droperiol

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    20/23

    Diberikan intravena dosis rendah untuk mencegah mual muntah postperasi. Kortilla

    dkk, meneliti bahwa dosis 1,25 mg 5 menit sebelum operasi berakhir mengurangi kejadian

    mual mintah setelah operasi. Merekaa menemukan efek antiemetik droperidol lebih baik dari

    pada metoklopramide atau domperidone. Studi lain oleh Santos dan Datta bahwa droperidol

    efektif sebagai antiemetik untuk pasien seksio Caesarean dengan anestesi spinal. Namun, dosis

    rendah droperidol tidak selalu efektif mencegah mual dan muntah. Pada dosis tinggi dapat

    menyebabkan sedasi berlebih sampai di ruang pemulihan.

    Metoklopramide

    Seperti telah disebutkan, dapat digunakan sebagai antiemetik preoperative. Namun

    masih controversial dan tidak konsisten.

    Ondansetron

    Adalah antagonis seseptor serotonin type-3. pemberian dosis 4-8 mg i.v pada dewasa

    sebelum induksi, ondansetron menunjukkan efektivitas iang tinng mencegah mual dan muntah

    postoperasi. Penggunaannya preoperative tidak dibenarkan pada banyak populasi tapi harus

    melalui situasi terseleksi.

    Antiemetik lain

    Seperti fenotiazin, terutama prokloperazine memiliki efek antiemetik. Hidroksizin dan

    difenidol adalah dua obat lain yang juga bernilai antiemetik. Walaupun domperidon memiliki

    efek antiemetik, namun tidak terbukti mengurangi mual dan muntah postoperasi.

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    21/23

    BAB III

    KESIMPULAN

    Pada anestesi umum biasanya diberikan adjunct anesthesia yang akan memperkuat efek

    anestesi, sehingga dapat digunakan anestesi umum dosis rendah dengan efek samping yang

    sedikit. Adjunct anesthesia dapat berupa premedikasi yang diberikan untuk mengurangi

    kecemasan, menenangkan pasien, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi oral dan

    respirasi, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah,

    menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangi refelks yang

    membahayakan. Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi

    yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan

    menentramkan hati pasien.

    Obat premedikasi yang sering diberikan adalah benzodiazepine contohnya midazolam

    yang dapat memberikan efek sedasi dan amnesia, Agonis alpha 2 adrenegik dexmedetomidine

    yang menghasilkan efek sedasi dan anelgesia, Analgetik opioid seperti morfin, meperidine dan

    fentanyl yang memberikan efek analgetik sehingga dapat mengurangi nyeri akibat penyakit

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    22/23

  • 7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)

    23/23