TUGAS TEKNIK konservasi WAduk JURUSAN TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2014
OLEH:
ADITYA ARGA YUSANDINATA105060403111001
KELAS A
TUGASTEKNIK konservasi WAduk
TUGASTEKNIK konservasi WAduk
JURUSAN TEKNIK PENGAIRANFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA2014
Analisa Kerusakan Waduk Kedung Ombo
Gambar Waduk Kedung Ombo
Sumber: http://sda.pu.go.id/index.php/galeri-foto/5-bendungan/detail/197-bendungan-kedung-ombo?
tmpl=component
Waduk Kedung Ombo merupakan waduk buatan yang mulai beroperasi sejak
tahun 1991, terletak di perbatasan Kabupaten Grobogan, Sragen, dan Boyolali. Waduk
Kedung Ombo memiliki luas 5.898 ha dengan genangan 46 km2. Waduk Kedung Ombo
sebagai waduk Multi fungsi, telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, maupun aspek
lainnya, sehingga keberadaaannya perlu dilestarikan.
WADUK DALAM NEGERIWADUK DALAM NEGERI
Gambar Peta Wilayah Waduk Kedung Ombo.(Sumber : Pengelolaan Sumber Daya Air)
Ketersediaan air Waduk Kedung Ombo dari tahun ke tahun cenderung menurun.
Hal ini berbanding terbalik dengan permintaan air yang semakin meningkat sebagai
akibat dari peningkatan jumlah penduduk, beragamnya pemanfaatan air,
berkembangnya pembangunan, serta kecenderungan menurunnya kualitas air akibat
pencemaran oleh berbagai kegiatan manusia. Berdasarkan data Kementerian
Lingkungan Hidup (2003) waduk Kedung Ombo mengalami penyusutan air 42,67%
dari volume air normal (723,16 juta m3). Data dari Departemen Pekerjaan Umum per
Februari 2007 menyebutkan, volume ketersediaan air dari Waduk Kedung Ombo hanya
tinggal setengah dari yang direncanakan.
Berdasarkan pengukuran terakhir yaitu pada periode 2003 s/d 2012 (9 tahun)
telah terjadi perubahan volume sebesar 688,414 juta m3, atau laju sedimentasi rerata
tahunan sebesar 1,62 juta m3/tahun. Jika dibandingkan pengukuran Tahun 2012
dibandingkan dengan pengukuran Tahun 1989 terjadi perubahan volume sebesar 34,47
juta m3, atau laju sedimentasi rerata tahunan sebesar 1,48 juta m3/tahun. Laju
Sedimentasi tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel Laju Sedimentasi Waduk Kedungombo Antara Tahun 1989 s/d 2012
Studi optimalisasi pola ekploitasi dan pemutakhiran data kapasitas Waduk
Kedung Ombo dengan pengukuran echosounding oleh Pusat Studi Ilmu Teknik (PSIT)
Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2003 menunjukkan laju sedimentasi rata-
rata per tahun Waduk Kedungombo sebesar 0,87 juta m3, dengan perkiraan usia waduk
hingga tahun 2094. Sedangkan dari hasil pengukuran echosounding tahun 2012
menunjukkan laju sedimentasi per tahun sebesar 1,48 juta m3, dengan perkiraan usia
waduk hingga tahun 2061. Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa dalam kurun
waktu 9 tahun telah terjadi penurunan usia waduk sebesar 33 tahun. Sedangkan, pada
awal perencanaan direncanakan usia guna waduk mencapai 100 tahun hingga 2091.
Adanya penurunan fungsi Waduk Kedung Ombo ini diindikasikan karena
adanya deforestasi dan konversi untuk lahan pertanian pada daerah tangkapan waduk
(DTW). Kerusakan hutan dan lahan akan menyebabkan terjadinya sedimentasi pada
sungai dan waduk yang berasal dari erosi tanah. Faktor penyebab terjadinya erosi dan
sedimentasi sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik berupa faktor
alami maupun anthropogenik. Erosi dapat mempengaruhi produktivitas lahan pada DAS
bagian hulu dan dapat memberikan dampak negatif pada DAS bagian hilir (sekitar
muara sungai).
Kesimpulan
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup (2003) waduk Kedung Ombo
mengalami penyusutan air 42,67% dari volume air normal (723,16 juta m3) dan data
dari Departemen Pekerjaan Umum per Februari 2007 menyebutkan, volume
ketersediaan air dari Waduk Kedung Ombo hanya tinggal setengah dari yang
direncanakan. Ini menunjukkan bahwasanya Waduk Kedung Ombo sedang mengalami
kerusakan, yang dalam hal ini diakibatkan oleh adanya aktivitas deforestasi dan
konversi untuk lahan pertanian pada daerah tangkapan waduk (DTW). Yang mana
semua aktivitas tersebut menyebabkan erosi pada tanah, dan berujung pada terjadinya
sedimentasi pada waduk.
DAFTAR PUSTAKA
Harjadi, B. (2010). Analisis Sumber Erosi dan Sedimentasi di DTW Kedung Ombo
dengan Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografis. Solo: Balai Penelitian Kehutanan.
Waduk Conowingo adalah waduk yang dibangun dari tahun 1926 hingga 1928.
Lokasinya berada di sungai Susquehanna, Maryland Utara, Conowingo, Amerika
Serikat. Waduk ini memiliki luas area sebesar 14 mil2 dan tampungan sebesar 380 juta
m3. Waduk ini digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Waduk
Conowingo dibangun oleh Philadelphia Electric Company. Melalui percabangan dan
merger, waduk ini sekarang dioperasikan oleh Susquehanna Electric Company, bagian
dari Exelon Power Regulation.
Berdasarkan pengukuran terakhir yaitu pada tahun 2009 oleh Langland diketahui
bahwa sejak dibangun 1928 hingga tahun 1958 terjadi sedimentasi rerata tahunan
sebesar 3,1 juta ton/tahun. Sedangkan yang terbaru pada tahun 1996 hingga tahun 2008
terjadi penurunan laju sedimentasi yaitu sebesar 1,5 juta ton/tahun. Dan, laju
WADUK LUAR NEGERIWADUK LUAR NEGERI
sedimentasi rerata tahunan sejak tahun 1928 hingga 2008 adalah 2 juta ton/tahun. Laju
sedimentasi tersebut selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Sumber: Langland 2009
Masalah yang terjadi pada waduk Conowingo adalah tingginya kadar nitrogen
dan fosfor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan semenjak tahun 1978 hingga 2011,
nitrogen yang masuk ke waduk sebesar 71.000 ton/tahun, dan fosfor sebesar 3.300
ton/tahun. Keadaan ini diperparah dengan terjadinya musibah berupa badai tropis Lee
pada tahun 2011, yang menaikkan lagi kadar nutrien dan sedimen pada waduk.
Pada bulan November 2012, disimpulkan nitrogen yang ada telah mencapai
42.000 ton, fosfor 10.600 ton, dan sedimen 19 juta ton. Para pakar memprediksi waduk
Conowingo akan penuh kapasitasnya pada tahun 2015-2020.(Landland and Hainly)
Kesimpulan:
Waduk di Indonesia kebanyakan bermasalah pada daerah tangkapan waduknya
(DTW). Terjadi penggundulan hutan dan perubahan tata guna lahan. Tata guna
lahannya yang sebelumnya misalnya hutan diubah menjadi ladang jagung, umbi-umbian
dan sebagainya. Ataupun berubah menjadi rumah-rumah warga sekitar. Daerah
tangkapan waduk di negeri ini masih dimiliki oleh warga-warga sekitar, yang
mengakibatkan pemerintah kita sulit menetapkan kebijakan untuk membuat bangunan-
bangunan pengendali sedimen yang merupakan masalah utama waduk-waduk di
Indonesia.
Waduk luar negeri yang saya jadikan contoh, bermasalah pada tingginya kadar
nitrogen dan fosfornya, sedangkan tidak bermasalah pada sedimennya. Tetapi pada
tahun 2011, Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan bencana berupa badai tropis Lee
yang berimbas pada meningkatnya jumlah sedimen pada waduk yang signifikan.
Waduk Indonesia dan luar negeri sangat jauh berbeda dalam manajemennya,
termasuk kepemilikan lahan pada daerah tangkapan waduk (DTW). Di Indonesia,
daerah tangkapan waduk masih dimiliki oleh masyarakat sekitar, sedangkan di luar
negeri sudah dimiliki oleh pemerintah. Sehingga dalam menerapkan kebijakan,
pemerintah dengan mudah dapat melaksanakannya.
Ini memberi pelajaran bagi kita semua, hendaknya kita memperhatikan juga
daerah tampungan waduk, yang seharusnya dibebaskan terlebih dahulu. Dan tentunya,
disamping usaha untuk menjaga kestabilan waduk, tentunya kita juga harus berdoa
meminta kepada Allah. Semua terjadi atas izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam bish shawab.