Top Banner
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya. Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg (27,2 cmH 2 O) atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg (81.6 cmH 2 O) dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan system organ. Tekanan intra-abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg (6,8 cmH 2 O), tapi pada pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5 mmHg (6,8 cmH 2 O) dan 7 mmHg 9,52 cmH 2 O). Sindrom kompartemen abdominal adalah manifestasi akhir dari IAH yang ditandai dengan disfungsi kardiovaskular, paru, ginjal, splaknik dan intracranial. Sebagian besar kondisi klinis telah menunjukkan dapat terjadinya IAH dan ACS, termasuk trauma tajam atau tumpul, luka bakar, pancreatitis, ruptur aneurisma aorta, neoplasma, ascites, transplantasi hati, pendarahan retroperitoneal dan pasien tanpa cedera intra abdomen yang memerlukan 1
66

ACS ( Abdominal Compartment Syndrome )

Dec 17, 2015

Download

Documents

Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Abdominal Kompartment Sindrom / ACS
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya. Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg (27,2 cmH2O) atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg (81.6 cmH2O) dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan system organ. Tekanan intra-abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg (6,8 cmH2O), tapi pada pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5 mmHg (6,8 cmH2O) dan 7 mmHg 9,52 cmH2O).Sindrom kompartemen abdominal adalah manifestasi akhir dari IAH yang ditandai dengan disfungsi kardiovaskular, paru, ginjal, splaknik dan intracranial. Sebagian besar kondisi klinis telah menunjukkan dapat terjadinya IAH dan ACS, termasuk trauma tajam atau tumpul, luka bakar, pancreatitis, ruptur aneurisma aorta, neoplasma, ascites, transplantasi hati, pendarahan retroperitoneal dan pasien tanpa cedera intra abdomen yang memerlukan volume cairan resusitasi yang masif. Sekarang ini penyebab terbanyak adalah korban multiple trauma yang memerlukan intervensi bedah abdomen segera, terutama pembedahan untuk damage control.Sindrom kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek, toleransi otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan irreversible terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika diagnosa terlambat dapat menyebabkan trauma syaraf dan hilangnya fungsi otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami deficit motorik dan sensorik yang persisten.

Angka kematian tinggi pada abdominal compartemen sindrom meskipun dengan pengobatan, hal ini terjadi karena ACS akan mempengaruhi beberapa sistem organ. Selanjutnya, ACS sering sekuele cedera parah yang independen membawa morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Malbrain dkk menunjukkan bahwa dengan sendirinya, peningkatan tekanan intra abdomen berkorelasi dengan peningkatan mortalitas sebelum menjadi kompartemen sindrom abdomen. Pada kasus ACS dilaporkan 10-68% dari pasien yang mengalaminya.1.2 Rumusan Masalah

Apakah pengertian abdomen kompartemen sindrom?

Apakah etiologi dari abdomen kompartemen sindrom? Apa saja klasifikasi dari abdomen kompartemen sindrom?

Bagaimana patofisiologi dari abdomen kompartemen sindrom?

Bagaimana manifestasi klinis dari abdomen kompartemen sindrom?

Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari abdomen kompartemen sindrom?

Bagaimana penatalaksanaan dari abdomen kompartemen sindrom?

Apa saja komplikasi dari abdomen kompartemen sindrom?

Bagaimana konsep asuhan keperawatan kepada klien dengan abdomen kompartemen sindrom mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan dan menentukan intervensi keperawatan?1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang asuhan perawatan pasien dengan abdomen kompartemen sindrom.1.3.2 Tujuan Khusus

Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian abdomen kompartemen sindrom Mahasiswa mampu menjelaskan tentang etiologi dari abdomen kompartemen sindrom Mahasiswa mampu menjelaskan tentang klasifikasi dari abdomen kompartemen sindrom Mahasiswa mampu menjelaskan tentang patofisiologi dari abdomen kompartemen sindrom Mahasiswa mampu menjelaskan tentang manifestasi klinis dari abdomen kompartemen sindrom Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pemeriksaan diagnostik dari abdomen kompartemen sindrom Mahasiswa mampu menyebutkan penatalaksanaan dari abdomen kompartemen sindrom Mahasiswa mampu menyebutkan komplikasi dari abdomen kompartemen sindrom Mahasiswa mampu menjelaskan konsep asuhan keperawatan kepada klien dengan abdomen kompartemen sindrom mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan dan menentukan intervensi keperawatan.

1.4 Manfaat

Makalah ini dibuat untuk menjelaskan aplikasi konsep perawatan pada klien dengan abdomen kompartemen sindrom sehingga dapat digunakan sebagai referensi asuhan keperawatan. BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

ABDOMINAL COMPARTEMENT SYNDROM2.1 ANATOMI FISIOLOGI

2.1 Anatomi Fisiologi Abdomen

1. Dinding Abdomen

Dinding abdomen dibentuk oleh otot-otot perut dimana di sebelah atas dibatasi oleh angulus infrasternalis dan di sebelah bawah dibatasi oleh krista iliaka, sulkus pubikus dan sulkus inguinalis. Otot-otot dinding abdomen tersebut terdiri dari otot-otot dinding abdomen bagian depan, lateral dan belakang :

a. Otot rectus abdominis

Terletak pada permukaan abdomen menutupi linea alba, bagian depan tertutup vagina dan bagian belakang terletak di atas kartilago kostalis 6-8. Fungsi dari otot ini untuk fleksi trunk, mengangkat pelvis.b. Otot piramidalis

Terletak di bagian tengah di atas simpisis pubis, di depan otot rectus abdominalis. Fungsinya meregangkan linea alba.c. Otot transversus abdominalis

Otot ini berupa tendon menuju linea alba dan bagian inferior vagina musculi recti abdominalis. Fungsi dari otot ini menekan perut, meregangkan dan menarik dinding perut.d. Otot obligus eksternus abdominis

Letaknya yaitu pada bagian lateral abdomen tepatnya di sebelah inferior thoraks. Fungsi dari otot ini adalah rotasi thoraks ke sisi yang berlawanan.

e. Otot obligus internus abdominis

Otot ini terletak pada anterior dan lateral abdomen, dan tertutup oleh otot obligus eksternus abdominis. Fungsinya untuk rotasi thoraks ke sisi yang sama (Chandra, Ade, 2010).2. Rongga Abdomen

Rongga abdomen (cavum abdomen) isinya terdiri dari : lambung, usus halus (duodenum, jejunum, ileum), usus besar/colon, kelenjar pankreas, limpa/lien, hati/hepar, dan ginjal/renal.

Lambung : organ berbentuk J, terletak pada bagian superior kiri rongga abdomen di bawah diafragma. Fungsinya : penyimpanan makanan, produksi kimus (massa homogen setengah cair, berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus), digesti protein, produksi mukus, produksi faktor intrinsik (glikoprotein, vitamin B12), dan untuk absorpsi nutrien.

Usus halus :

Duodenum : bagian terpendek (25-30 cm).

Jejunum : bagian selanjutnya sepanjang 1-1,5 m.

Ileum : merentang sampai menyatu dengan usus besar, panjangnya 2-2,5 m. Fungsi usus halus yaitu secara selektif mengabsorpsi produk digesti. Usus besar :

Sekum : kantung tertutup yang menggantung di bawah area katup ileosekal.

Kolon : bagian usus besar dari sekum sampai rectum, terdiri dari kolon asenden, transversa, desenden.

Rectum : bagian saluran pencernaan dengan panjang 12-13 cm, yang berakhir di saluran anal. Fungsi usus besar : mengabsorpsi 80-90% air dan elektrolit dari kimus yang tersisa, sejumlah bakteri dalam kolon mampu mencerna sejumlah kecil selulosa dan memproduksi sedikit kalori nutrien bagi tubuh, serta untuk mengekskresi zat sisa dalam bentuk feses.

Kelenjar pankreas : kelenjar terelongasi berukuran besar di balik kurvatur besar lambung.

Lien : kelenjar yang terletak di regio hipogastrium sinistra, di dalamnya banyak terdapat jaringan limfe dan sel darah. Fungsinya membentuk eritrosit, menghasilkan limfosit & antibody, menghancurkan leukosit & trombosit.

Hepar : organ viseral terbesar dan terletak di bawah kerangka iga, beratnya 1500 gram dan kaya akan persediaan darah. Fungsinya untuk sekresi empedu, metabolisme, penyimpanan mineral, detoksifikasi, produksi panas dan penyimpanan darah.

Renal : organ berbentuk seperti kacang berwarna merah tua yang panjangnya 12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm. Fungsinya : pengeluaran zat sisa organik, pengaturan konsentrasi ion-ion penting, pengaturan keseimbangan asam basa tubuh, pengaturan produksi sel darah merah, pengaturan tekanan darah, pengeluaran zat beracun (Sloane, Ethel, 2003). 2.2 PENGERTIANAbdominal Compartement Syndrom (ACS) adalah peningkatan mendadak tekanan intraabdomen yang mengakibatkan perubahan dalam mekanisme pernafasan, parameter hemodinamik dan ginjal serta perfusi serebral. ACS memiliki relevansi yang luar biasa dalam praktek operasi dan perawatan pasien sakit kritis, karena dampaknya pada beberapa sistem organ.Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya. Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg (27,2 cmH2O) atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg (81,6 cmH2O) dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan system organ. Tekanan intra-abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg (6,8 cmH2O), tapi pada pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5 mmHg (6,8 cmH2O) dan 7 mmHg (9,52 cmH2O).Kompartemen syndrome abdomen (ACS) adalah keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan intra abdominal di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang tertutup mempengaruhi aliran darah dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya. ACS menggambarkan kombinasi peningkatan tekanan intra abdominal dan disfungsi organ (Marshal, 2009)Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari 60 mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen (APP) = tekanan arteri rata-rata (MAP) tekanan intra-abdomen (IAP). Berbeda dengan hipertensi intra-abdomen (IAH), sindrom kompartemen abdominal tidak diberi tingkatan tetapi lebih didasarkan sebagai fenomena all or none.( Joseph E. 2007.)Hipertensi intra-abdomen.pada individu sehat, IAP normal adalah 12 mmHg. (Papavramedis et. all.2011)Menurut tingkatanya IAP, IAH dinilai sebagai berikut :Grade I: 12-15 mmHg IAPGrade II: 16-20 mmHg IAPGrade III: 21-25 mmHg IAPGrade IV: IAP> 25 mmHg (Papavramedis et. all.2011)

Sumber : Normaastria.blogpot.com

2.3 ETIOLOGIPeningkatan tekanan intra abdomen terjadi pada 4% - 15% pasien dengan penanganan intensive bedah pada berbagai kondisi klinis termasuk pembedahan abdomen yang lama, akumulasi ascites, trauma tumpul abdomen, ruptur aneurisma aorta abdomen, pancreatitis hemoragik, fraktur pelvis, ileus dan obstruksi usus, pneumoperitoneum dan syok septic.Faktor risiko dari abdominal compartement syndrom

1. Berkurangnya komplians dinding abdomen

a. Gagal nafas akut, terutama dengan peningkatan tekanan intrathorak

b. Pembedahan abdomen dengan jahitan primer fasia yang tertutup ketat.

c. Trauma mayor/ luka bakar

d. Posisi telungkup, tinggi kepala bed lebih dari 30

e. Indeks masa tuubuh yang tinggi, obesitas

2. Peningkatan isi intraluminal

a. Gastroparesis

b. Ileus

c. Obstruksi kolon

3. Peningkatan isi abdomen

a. Hemoperitonium/pneumoperitonium

b. Asites/disfungsi hati

c. Infeksi abdomen

d. Laparascopi

e. Dialisis peritonium

f. Trauma mayor

4. Kebocoran kapiler / resusitasi cairan

a. Asidosis (pH 33C )

d. Politranfusi (>10 unit/24 jam)

e. Koagulopati (platelet >15 detik atau partial tromboplastin time (PTT) > 2 kali normal atau international standardised ratio (INR) > 1.5)

f. Resusitasi cairan (>5 liter/24 jam)

g. Pankreatitis

h. Oliguria

i. Sepsis

j. Trauma mayor/luka bakar

k. Laparatomi

2.4 KLASIFIKASIKlasifikasi kompartemen sindrom abdomen (ACS) adalah : 1. Primer

Dasarnya disfungsi organ dan IAH dengan adanya cedera langsung pada isi perut. Contoh trauma adalah peritonitis, ileus, dan perdarahan.

2. Sekunder

Terdiri dari tekanan tinggi dan disfungsi organ yang disebabkan oleh edema ruang ketiga dan resusitasi. Contoh resusitasi pasien syo hemaragik, luka bakar.

3. Rekuren

Dimana pasien telah pulih dari ACS sekali tetapi karena siklus sekunder dimulai lagi. Tingkat kematian sangat tinggi.2.5 PATOFISIOLOGI

Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat menimbulkan hipertensi intra-abdomen. Dalam beberapa situasi, seperti pankreatitis akut atau pecahnya aneurisma aorta abdominal. Obstruksi mekanis usus halus dan pembesaran abdomen bisa menimbulkan hipertensi intra abdomen. Namun, trauma tumpul abdomen dengan perdarahan intra-abdomen dari lienalis, hati, dan cedera mesenterika adalah penyebab paling umum dari hipertensi intra-abdomen.pembedahan perut dengan tujuan untuk mengendalikan pendarahan juga dapat meningkatkan tekanan dalam ruang peritoneal. Distensi usus sebagai akibat dari syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab penting hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS pada pasien trauma (Paula Richard, 2013).Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh system syaraf simpatik mengakibatkan kurangnya suplai darah ke kulit, otot, ginjal, dan saluran pencernaan, hal ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak. Redistribusi darah dari usus menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus. Hipoksia ini berhubungan dengan 3 bagian penting dari perkembangan kompensasi positif yang mencirikan pathogenesis hipertensi intra-abdomendan perkembangannya menjadi ACS :

1. Pelepasan sitokinin

2. Pembentukan oksigen radikal bebas

3. Penurunan produksi adenosine trifosfat pada sel (Paula Richard, 2013).Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka sitokinin dilepaskan. Molekul-molekul ini meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang mengarah pada terjadinya edema. Setelah seluler mengalami reperfusi, oksigen radikal bebas dihasilkan. Agen ini memiliki efek toksik pada membran sel yang kondisinya diperparah oleh adanya sitokinin, yang merangsang pelepasan radikal lebih banyak lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami keterbatasan produksi adenosine triphosphat dan penurunan persediaan dari adenosine triphosphat ini tergantung pada aktivitas seluler. (Paula Richard, 2013)Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi pompa sangat penting untuk peraturan intraseluler elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran natrium ke dalam sel sehingga menarik air. Sel membengkak, selaput kehilangan integritas, isi intraseluler keluar ke ekstraseluler dan mengakibatkan inflamasi (peradangan). Inflamasi dengan cepat berubah menjadi edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, dan jaringan di usus semakin membengkak akibat dari semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen. Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu, hipoksia seluler, kematian sel, peradangan, edema terus berlanjut. Jadi, pada hipertensi intra-abdomen dapat menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen. Apabila tekanan intra-abdomen terus meningkat, dapat menyebabkan terjadinya penurunan perfusi jaringan dan akhirnya terjadi edema yang juga dapat memperparah peningkatan tekanan intra-abdomen. Meningkatnya tekanan intra-abdomen inilah yang akhirnya menyebabkan kompartement sindrom abdominal.Selain itu patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.

Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan terus meningkat hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan (pressure) dalam kompartemen makin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat. Metsen memperlihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.

Ada 3 teori tentang penyebab iskemia, yaitu :

1. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen2. Theori of critical closing pressure.Akibat diameter yang kecil dan tekanan mural arteriol yang tinggi, tekanan transmural secara signifikan berbeda (tekanan arteriol-tekanan jaringan) ini dibutuhkan untuk memelihara patensi. Bila tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun perbedaan tidak ada, yaitu critical closing pressure dicapai, arteriol akan menutup.3. Karena dinding vena yang tipis, vena akan kolaps bila tekanan jaringan melebihi tekanan vena. Bila darah mengalir secara kontinyu dari kapiler, tekanan vena secara kontinyu akan meningkat pula sampai melebihi tekanan jaringan dan drainase vena dibentuk kembali. Sedangkan respon otot terhadap iskemia yaitu dilepaskannya histamine like substans mengakibatkan dilatasi kapiler dan peningkatan permeabilitas endotel. Ini berperan penting pada transudasi plasma dengan endapan sel darah merah ke intramuscular dan menurunkan mikrosirkulasi. Otot bertambah berat (peningkatan lebih dari 50%).McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis dengan sindrom kompartemen (Irga, 2008).Patogenesis dari sindrom kompartemen) kronik telah digambarkan oleh Reneman. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan menambah peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi iskemia berulang. Sindrom kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus - menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian bawah biasanya yang kena (Irga, 2008).Patofisiologi dampak ACS pada berbagai sistem organ :

a. Disfungsi ginjal

Disfungsi ginjal merupakan dampak yang paling sering terjadi. Efek klasik IAH/ACS pada system ginjal yaitu oliguria hingga menjadi anuria dengan IAP yang meningkat. IAP 1520 mmHg dapat terjadi oliguria, sementara IAP lebih dari 30 mmHg dapat terjadi anuria. Mekanisme terjadinya disfungsi ginjal terdapat banyak faktor. ACS membuat gangguan pada kardiovaskular dengan menurunkan curah jantung sehingga menurunkan aliran arteri ginjal, meningkatkan resistensi vaskular ginjal, menurunkan filtrasi glomerulus dan kompresi vena ginjal.b. Disfungsi paru

Peningkatan IAP berdampak langsung pada fungsi paru. Komplians paru mengalami resultan reduksi progresif pada kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional dan volume residu. Ini ditunjukkan secara klinis dengan elevasi hemidiafragma pada radiografi dada. Perubahan ini ditunjukkan pada IAP diatas 15 mmHg. Terjadi kegagalan respirasi selanjutnya akibat hipoventilasi dari hasil elevasi progresif IAP. Resistensi vascular paru meningkat sebagai hasil dari pengurangan tekanan oksigen alveolus dan peningkatan tekanan intra-torak. Pada akhirnya, disfungsi organ paru ditunjukkan dengan keadaan hipoksia, hiperkapnia dan peningkatan tekanan ventilasi.c. Disfungsi jantung

Peningkatan IAP secara konsisten berkorelasi dengan penurunan curah jantung.Ini ditinjukkan pada IAP diatas 20 mmHg. Penurunan jurah jantung merupakan hasil dari penurunan alur balik vena jantung dari kompresi langsung pada venacava dan vena porta. Peningkatan tekanan intra-thorak juga membuat penurunan aliran vena cava superior dan inferior. Resistensi maksimal aliran darah vena cava terjadi di hiatus cavum diafragma. Ini berhubungan dengan gradient tekanan tiba-tiba antara abdomen dan rongga dada. Peningkatan tekanan intra-thorak menyebabkan kompresi jantung dan pengurangan volume akhir diastolik. Kenaikan resistensi vascular sistemik berasal dari efek gabungan vasokonstriksi arteriolar dan IAP yang meningkat. Gangguan ini membuat stroke volume berkurang dimana hanya satu-satunya yang dikompensasi dengan meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas. Kurva Starling kemudian bergeser ke bawah dan ke kanan dan curah jantung secara progresif menurun dengan IAP yang meningkat. Kelainan ini terjadi eksaserbasi bersamaan dengan hipovolemia. Perubahan hemodinamik signifikan ditunjukkan pada IAP diatas 20 mmHg.d. Disfungsi hepar

Penurunan aliran darah arteri hepatik, vena porta dan sirkulasi mikro berhubungan dengan IAH. Ketika babi yang teranestesi IAP-nya meningkat hingga 20 mmHg, kebalikan dari Q konstan dan tekanan arteri rata-rata, aliran arteri hepatic berkurang hingga 55%, aliran vena porta menurun hingga 35% dan aliran sirkulasi mikro hepatic berkurang hingga 29% dibandingkan dengan control. Penurunan pada aliran sirkulasi mikro hepatik yang sama juga terjadi pada pasien dengan kolesistektomi per laparoskopi. Pasien dengan trauma kemungkinan meningkat resiko sekunder terhadap penurunan aliran darah portal dan visceral yang terjadi selama syok.e. Disfungsi Splaknik

Sama seperti dampak yang terjadi pada hati, ginjal dan vena cava inferior, efek predominan dari peningkatan IAP juga mengurangi perfusi splaknik. Hipoperfusisplaknik dapat terlihat pada IAP 15 mmHg dengan laporan kasus iskemiaintestinal yang memerlukan intervensi operatif setelah laparoskopik elektif mempertahankan 15 mmHg pneumoperitonium. Bagaimanapun aliran darah arterimesenterikum, mukosa usus, dan vena porta telah menurun dengan peningkatan IAP. Ini dapat diukur pada pengaturan klinis dengan tonometri gaster yang mengindikasikan penurunan perfusi pada perut. Sebuah studi menunjukkan bahwa penurunan perfusi gaster disimpulkan dengan penurunan pHi gaster yang berkurang lebih awal dari tanda-tanda ACS (oliguria, tekanan puncak inspirasi meningkat). Penurunan perfusi gastrointestinal ini terjadi tidak bergantung pada penurunan Q. IAP yang meningkat juga menunjukkan tekanan vena porta yangmeningkat. Ini kemungkinan salah satu factor kontribusi pada patofisiologi varises esophagus pada pasien dengan gagal hati. Meningkatnya IAP hingga 10 mmHg menghasilkan peningkatan tekanan varises, volume, radius dan ketegangan dinding. Sebagai tambahan, penurunan perfusi splaknik dan cedera reperfusi ditunjukkan dengan produksi sitokin dari usus. Ini berperan dalam perkembangan komplikasi septic dan atau sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) dan kegagalan organ multipel.f. Disfungsi system saraf pusat

Meskipun ACS tidak menyebabkan kegagalan system saraf pusat, terdapat hubungan erat antara IAH dan ICP yang meningkat dengan reduksi sekunder pada CPP yang ditunjukkan pada dua hewan percobaan. Ini akibat mekanisme peningkatan tekanan intrathora dimana dihasilkan dari IAH, elevasi media pada diafragma. Peningkatan tekanan intra-thorak meningkatkan tekanan vena jugular dan ICP. Pasien dengan ACS secara klinis dan ICP yang meningkat telah terkoreksi ICP dengan laparotomi dekompresi. Dengan demikian pemantauan IAP disarankan pada pasien dengan neurotrauma dan cedera abdomen atau curiga IAH dengan pemikiran untuk dekompresi pada peningkatan ICP (Paula, 2013).

2.6 MANIFESTASI KLINISGejala klinis ACS antara lain :

1. Distensi abdomen yang berat

2. Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang berkurang, tingginya tekanan puncak inspirasi.

3. Curah jantung yang menurun

4. Tekanan darah yang labil

5. pH rendah yang menetap

6. Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional

7. Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg) (Paula Richard MD, 2013).Gejala klinis yang terjadi pada kompartemen sindrom dikenal dengan 5P, yaitu :

1. Pain (nyeri), nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.

2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut

3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)

4. Parastesia (rasa kesemutan)

5. Paralysis, merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.

Sedangkan gejala yang khas pada kompartemen sindrom, yaitu:

1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.

2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit

3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot (Irga, 2008)

2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKPemeriksaan diagnostic untuk ACS adalah :

1. Laboratorium :

a. Comprehensive metabolic panel (CMP) : Profil metabolic lengkap antara lain elektrolit, BGA, Kimia Klinik, renal fungsi tes, urinalisis, renal fungsi test.b. Complete blood cell count (CBC) / Darah Lengkap : Trombosit mengalami penurunan (, 55.000/mm3)c. Pemeriksaan enzim amylase and lipase : terjadi peningkatan (pancreatitis)d. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi heparin : untuk memeriksa faktor pembekuan mengalami perpanjangan (PT . 15 detik, PTT : . 2 kali normal)e. Test untuk marker jantung : CPKMB/:creatine phosphokinase Myoglobin mengalami peningkatan menunjukkan adanya sel miokardiumf. Urinalisis : Adanya keton, darah,dalam urine menunjukkan adanya gangguan pada ginjal g. Pengukuran level serum laktat : Peningkatan asam laktat dalam darah menunjukkan shock dan dehidrasi berat.h. Arterial blood gas (ABG) : PH mengalami penurunann : < 7,02 (Asidosis) dan peningkatan PCO2

2. Radiografi :a. Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau obstruksi usus.

b. Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam mengidentifikasi sindrom kompartemen abdominal.

c. CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun 1999 Pickhardt dkk menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan sindrom kompartemen abdominal :

1) Round-belly sign distensi abdomen dengan rasio peningkatan diameter abdomen anteroposterior ke transversal meningkat. (ratio >0.80; P 25 mmHg

Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penilaian klinis dan pemeriksaan klinis adalah tidak akurat dalam memprediksi IAP pasien. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur IAP, yakni dengan cara langsung (misalnya punksi abdomen saat dialisis peritoneal atau laparoskopi) dan secara tidak langsung (misalnya pengukuran tekanan intrabuli, tekanan gaster, colon, atau tekanan uterus). Dari beberapa metode ini, teknik pengukuran tekanan intrabuli telah diterima secara luas di seluruh dunia oleh karena lebih sederhana dan biaya lebih minimal. Dalam usaha untuk melakukan standardisasi dari pengukuran IAP, makan hasil pengukuran IAP dinyatakan dalam mmHg dan diukur saat ekspirasi akhir pada posisi supine setelah menjamin absennya kontraksi otot abdomen. Nilai normal IAP adalah 5-7 mmHg. (Malbrain, 2006).Selain itu, tekanan intraabdomen dapat diukur dalam beberapa cara yang berbeda. Pengukuran IAP langsung melalui kateter intraperitoneal umumnya tidak layak. IAP dapat diukur secara tidak langsung melalui lambung, intra-kava dan tekanan kandung kemih. Perbandingan metode tidak langsung dengan pengukuran tekanan langsung seperti yang diperoleh oleh Obeid dan lain-lain menunjukkan bahwa tekanan kandung kemih diukur dengan benar memiliki korelasi terbaik dengan IAP. Teknik dasar untuk mengukur tekanan kandung kemih adalah pertama kali dijelaskan oleh Kron. Sebuah kateter Foley ditempatkan dan kandung kemih dikosongkan. Sebuah angiocath 18-gauge kemudian dimasukkan sterily ke port aspirasi kateter Foley dan jarum angiocath dibuang. Angiocath ini kemudian melekat pada transduser tekanan (memusatkan perhatian pada tingkat simfisis) melalui tabung yang berisi tiga arah kran. Lima puluh sampai 100 ml cairan Nacl steril kemudian disuntikkan ke dalam kandung kemih melalui tiga cara kran dengan tas drainase Foley dijepit .Penjepit tersebut kemudian sebagian dilepaskan dan reclamped untuk memastikan kolom cairan penuh dalam tabung proksimal untuk klem. Tekanan kandung kemih kemudian transduced memberikan tekanan kandung kemih mmHg. Pernapasan harus ada dalam transduced gelombang untuk memastikan bahwa kandung kemih tidak yang terlalu besar. Overdistension kandung kemih memberikan penilaian palsu tekanan tinggi sekunder kontraksi intrinsik kandung kemih. Pengukuran harus dilakukan pada akhir ekspirasi untuk mengurangi pengaruh peningkatan tekanan dada. Pengukuran tekanan kandung kemih adalah, pada titik ini, mungkin yang paling invasif dan alternatif yang paling dapat diandalkan untuk mendokumentasikan kondisi ini secara obyektif (Na. Stassen et. all, 2002).

Pengukuran langsung tekanan intravenaTelah terbukti bahwa ada korelasi yang cukup baik antara IAP dan tekanan diukur oleh intravena kateter ditempatkan di vena cava inferior (IVC). Meskipun ini adalah teknik yang dapat membantu untuk mengkonfirmasi kecurigaan klinis, pada pasien hipovolemik dengan IAP lebih besar dari 45 mm Hg, pembacaan palsu dapat diperoleh sekunder untuk melengkapi runtuhnya dari IVC. Saat ini, teknik ini jarang digunakan. (Na. Stassen et. all, 2002) Tekanan lambung dan tonometry lambung Tekanan intraabdomen juga dapat diukur secara tidak langsung melalui perut atau sebagai refleksi dari memadai perfusi mukosa lambung. Saat ini, teknik yang paling umum digunakan adalah dengan tonometry lambung melalui kateter bah nasogastric dimodifikasi dan monitor capnometry daerah. Abdomen adalah bagian yang paling mudah diakses dari usus dan kecukupan oksigenasi mukosa lambung mungkin nyaman digunakan sebagai indeks kecukupan oksigenasi jaringan splanchnic, yang terganggu awal pada pasien dengan ACS. Meskipun teknik ini dapat menjadi kompleks ketika digunakan dalam pengaturan klinis akut, data klinis menunjukkan bahwa pemantauan pH lambung intramucosal (pHi) dapat memberikan peringatan dini untuk komplikasi sistemik, terutama pada pasien dengan resiko ACS. Karena efek merugikan dari ACS visceral aliran darah telah diakui untuk beberapa waktu, tonometry lambung bisa dibandingkan dengan sensitif sensor strategis di lingkungan yang paling menguntungkan untuk memberikan informasi dokter yang relevan dari pasien sedini mungkin, sehingga memberikan sarana untuk memaksimalkan efek dari intervensi terapeutik yang diperlukan. Deteksi dini memadai daerah perfusi jaringan dan peningkatan IAP adalah penting dalam untuk mencegah asidosis seluler, usus gangguan mukosa, sepsis, MODS dan ACS dan memungkinkan tepat waktu intervensi terapi untuk pasien. Pada pasien dewasa , hal ini dapat diperoleh dengan mengisi kandung kemih dengan sekitar 250 cc larutan Nacl (Na. Stassen et. all, 2002). Teknik pengukuran intravesika Merupakan cara tidak langsung yang cukup tepat untuk mengukur tekanan intra abdomen. Perubahan tekanan intra peritoneal direfleksikan pada tekanan intravesika. Validasi metode ini menunjukkan bahwa tekanan intra vesika identik dengan tekanan intraperitoneal (Iberti, 1997).Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik keadaannya. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila pasien mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian besar penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25 mmHg.

Sistem grade kompartemen abdominal

Tekanan buli-buli Grade (mmHg) Rekomendasi

I. 1015 mmHg Pertahankan normovolemia

II. 1625 mmHg Resusitasi Hipervolemik

III. 2635 mmHg Dekompresi

IV. >35 mmHg Dekompresi dan re-eksplorasi

Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :

1. Memperbaiki komplians dinding abdomen

a. Sedasi dan analgesik

b. Blokade neuromuskular

c. Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees

2. Evakuasi isi intra-lumen

a. Dekompresi nasogaster

b. Dekompresi rektum

c. Agent gastro-/colo-prokinetik

3. Evakuasi kumpulan cairan abdominal

a. Parasentesis

b. Drainase perkutan

4. Koreksi keseimbangan cairan positif

a. Hindari resusitasi cairan berlebih

b. Diuretik

c. Koloid / cairan hipertonik

d. Hemodialisis / ultrafiltrasi

5. Organ Pendukung

a. Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor

b. Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment

c. Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)

d. Pplattm = Pplat IAP

e. Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices

f. Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural

g. PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP

h. CVPtm = CVP - 0.5 * IAP

Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima intervensi terapi, tiap terapi mengandung beberapa langkah tingkat terapi :

1. Evakuasi isi intralumen

2. Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen

3. Memperbaiki komplians dinding abdomen

4. Optimalkan kebutuhan cairan

5. Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik

Manajemen pembedahan

Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan ACS. Pendekatan dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal closure (TAC) telah banyak digunakan sebagai mekanisme mengembalikan dampak akibat peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan TAC sebagai profilaksis untuk mengurangi komplikasi post operasi dan mempermudah re-eksplorasi yang telah direncanakan. Setelah laparotomi dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure yang dilanjutkan dengan permanen abdominal closure pada hari berikutnya.a. Temporary abdominal closureBeberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan pertama yang harus dibuat adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis atau membiarkannya terbuka. Fascia tidak boleh ditutup primer, ini berkaitan dengan tingginya tingkat rekuren dari ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan sintetis, berbagai bahan (absorbable/nonabsorbable; porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe dari mesh dapat digunakan termasuk polyglycolic acid (Vicryl), polypropylene (Marlex), atau polytetrafluoroethylene (PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup dengan alat burr artificial (Velcro-like), kantung cairan intravena (Bogot bag), kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic telah digunakan.Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau dibiarkan terbuka. Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit kain, perban lateks Esmarch atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan ditutup dengan adesif drape yang steril dan drape (Vi-drape or Steri Drape). Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia, mempersiapkan fasia untuk definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja menyebabkan peningkatan IAP, kulit dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan nonadhesive, nonporous materi (seperti tas atau perekat usus terlipat menggantungkan dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada dirinya sendiri).Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen anterior untuk mencegah pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat (Vidrape atau tirai Steri ) yang menempel pada dinding perut dan mencegah lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan dari usus, dan cairan kerugian dari perut yang terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus meningkatkan risiko enterocutaneous fistula dan tidak disarankan.Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal ditempatkan untuk mengontrol dan kuantifikasi dari kebocoran cairan atau perdarahan.b. Permanent abdominal closure

Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia, coagulapathy, dan asidosis telah diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat hari setelah dekompresi abdomen. Beberapa metode penutupan perut telah dideskripsikan. Primer penutupan fasia dapat dilakukan atau cangkok kulit dapat ditempatkan diikuti oleh dinding perut tertunda rekonstruksi. Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan yang signifikan. Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk reapproximate fasia.Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan yang diserap), jala dapat dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup dengan kulit ketebalan parsial grafts ke jaringan granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan dimasukkan ke dalam jaringan granulasi pada titik waktu ini. Jika fasia tidak ditutup dan pasien yang tersisa dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi dapat dilakukan enam hingga dua belas bulan kemudian.Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral kemajuan abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa sayatan kulit-relaksasi. Expanders jaringan subkutan diikuti oleh flaps kemajuan myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis tengah perut flap cacat mungkin memerlukan rekonstruksi atau rekonstruksi dengan nonabsorbable mesh.Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko terjadinya IAH/ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Biladua atau lebih faktor resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan, pengukuran IAP serial harus dilakukan pada pasien tersebut.Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen langsung (sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko thrombosis dan infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat trauma buli-buli dimana distensi buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold standard pengukuran IAP adalah dengan tekanan buli-buli.Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril kedalam Foley kateter melalui lubang aspirasi; klem silang selang steril dari drainkantong urin letak distal dari lubang aspirasi; hubungkan ujung selang drain kantong urin ke Foley kateter; lepaskan klem sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian klem ulang; Y-connect transduser tekanan ke kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan jarum G 16; pastikan IAP dari transduser menggunakan puncak dari tulang simfisis pubis sebagai titik nol dalam posisi terlentang. Manometer tangan yang dihubungkan ke Foley kateter melalui kolom cairan di selang dapat digunakan untuk menentukan tekanan sebagai ganti transduser.2.9 KOMPLIKASIJika kompartemen sindrom tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain (Irga, 2008) :

1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen

2. Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah

3. Trauma vascular

4. Gagal ginjal akut

5. Sepsis

6. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)3.0 PROGNOSIS

Sindrom kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek, toleransi otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan irreversible terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika diagnosa terlambat dapat menyebabkan trauma syaraf dan hilangnya fungsi otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami deficit motorik dan sensorik yang persisten (Irga,2008).

Tingkat kematian dengan kasus ACS dilaporkan 10-68% dari pasien yang mengalaminya.Prosentase klien yang dapat bertahan hidup dengan kasus ACS sekitar 53%. Jika sudah diketahui ada tanda-tanda mengalami ACS, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dekompresi laparotomi.Angka kematian tinggi pada abdominal compartemen sindrom meskipun dengan pengobatan, hal ini terjadi karena ACS akan mempengaruhi beberapa sistem organ. Selanjutnya, ACS sering sekuele cedera parah yang independen membawa morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Malbrain dkk menunjukkan bahwa dengan sendirinya, peningkatan tekanan intra abdomen berkorelasi dengan peningkatan mortalitas sebelum menjadi kompartemen sindrom abdomen (Paulo,2013).

Gambar

Sumber : BAB 3

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

3.1 PENGKAJIAN

1. Identitas/data umum

Meliputi nama, umur, agama,pendidikan, pekerjaan, alamat, suku bangsa : morbiditas kompartemen sindrom abdomen tidak tergantung pada perbedaan ras, seksual, dan usia

2. Keluhan utama

Perut membesar (distensi abdomen)

3. Riwayat Kesehatan Sekarang

Keluhan yang muncul adalah perut membesar/distensi abdomen yang berat, gagal napas, sesak nafas, oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional keadaan tersebut terjadi setelah adanya /kondisi pembedahan abdomen, trauma mayor seperti luka bakar, gastroparesis, ilesus, pseudo- obtruksi kolon, politransfusi (> 10 unit darah /24 jam), setelah resusitasi cairan yang massif (5l/24jam), pancreatitis, oliguria, sepsis4. Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji riwayat obesitas, sering transfuse, hepatitis, ascites, pancreatitis, trauma abdomen, pembedahan abdomen.

5. Riwayat Kesehatan Keluarga

Kaji riwayat keluarga obesitas, riwayat hepatitis.

6. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum

: Lemah

2. Pemeriksaan fisik Persystem :

a. B1 (Breath/Sitem respirasi)

Dispnea, hipoksia, hiperkarbia, sianosis.

b. B2 (Blood/ Sistem Cardiovaskuler)

Bradikardia, distensi vena jugularis, asidosis, penurunan curah jantung, tekanan darah menurun, MAP : menurun, CRT > 5 detik

b. B3 (Brain/Sistem Persyarafan)

Gelisah, penurunan kesadaran, nyeri kepala.kejang

c. B4 (Bladder/Sistem perkemihan)

Oliguria, anuria.

d. B5 (Bowel/Sistem pencernaan)

Hematemesis, melena, mual, muntah, distensi abdomen.

Masalah Keperawatan :

PK : Syok Hipovolemi

PK : Resiko hipoperfusi mukosa GI

e. B6 (Bone/Sistem musculoskeletal)

Kelemahan.

3. Pemeriksaan diagnostik

1) Laboratorium :

a. Comprehensive metabolic panel (CMP) :Profil metabolic lengkap antara lain elektrolit, BGA, Kimia Klinik, renal fungsi tes, urinalisis, renal fungsi test.b. Complete blood cell count (CBC) / Darah Lengkap : Trombosit mengalami penurunan (, 55.000/mm3)c. Pemeriksaan enzim amylase and lipase : terjadi peningkatan (pancreatitis)d. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi heparin : untuk memeriksa faktor pembekuan mengalami perpanjangan (PT . 15 detik, PTT : . 2 kali normal)e. Test untuk marker jantung : CPKMB/:creatine phosphokinase Myoglobin mengalami peningkatan menunjukkan adanya sel miokardiumf. Urinalisis : Adanya keton, darah,dalam urine menunjukkan adanya gangguan pada ginjal g. Pengukuran level serum laktat : Peningkatan asam laktat dalam darah menunjukkan shock dan dehidrasi berat.h. Arterial blood gas (ABG): PH mengalami penurunann : < 7,02 (Asidosis) dan peningkatan PCO22) Radiografi :a. Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau obstruksi usus.b. Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam mengidentifikasi sindrom kompartemen abdominal.c. CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun 1999 Pickhardt dkk menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan sindrom kompartemen abdominal :

a) Round-belly sign distensi abdomen dengan rasio peningkatan diameter abdomen anteroposterior ke transversal meningkat. (ratio >0.80; P resiko

WOC

Ggn. pernafasan

Tekanan intra abdomen

Faktor post-op

batuk

Repair

Kuman masuk melalui pembuluh darah abdomen

Robekan pd area post-op

Nafsu makan

Resiko infeksi

BURST ABDOMEN

Ketegangan yg kuat pd luka

Infeksi luka, nutrisi 10 unit/24 jam)

Koagulopati (platelet >15 detik atau partial tromboplastin time (PTT) > 2 kali normal atau international standardised ratio (INR) > 1.5)

Resusitasi cairan (>5 liter/24 jam)

Pankreatitis

Oliguria

Sepsis

Trauma mayor/luka bakar

Laparatomi

Gangguan perfusi jaringan serebral

Nekrosis jaringan lokal

iskemia

Suplay Oksigen ke otak

Hipoksia jaringan

Hipoksia, hiperkapnia

Gangguan pertukaran gas

Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan

Nafsu makan turun

Tekanan dalam kompartemen

Kebocoran ke dalam kompartemen

Gangguan kardiovaskuler

Penekanan saraf perifer disekitarnya

Perubahan kontraktilitas jantung

Penurunan curah jantung

Filtrasi glomerulus dan kompresi vena ginjal

Disfungsi ginjal

Gangguan pola eliminasi urine

Oliguria, anuria

Syok Hipovolemik

Gangguan rasa nyaman : nyeri

Distensi abdomen

Tekanan oksigen alveolus dan tekanan intra thorak

Gangguan pada paru

Mual, muntah

Disfungsi organ paru

Perasaan tidak enak di perut

Resistensi vaskuler

( darah ke ginjal

Gangguan ginjal

Berkurangnya komplians dinding abdomen

Gagal nafas akut, terutama dengan peningkatan tekanan intrathorak

Pembedahan abdomen dengan jahitan primer fasia yang tertutup ketat.

Trauma mayor/ luka bakar

Posisi telungkup, tinggi kepala bed lebih dari 30

e.Indeks masa tuubuh yang tinggi, obesitas

Peningkatan isi intraluminal

Gastroparesis

Ileus

Obstruksi kolon

Peningkatan isi abdomen

Hemoperitonium/pneumoperitonium

Asites/disfungsi hati

Infeksi abdomen

Laparascopi

Dialisis peritonium

Trauma mayor

Tekanan intra abdomen

Gangguan disfungsi organ

Tekanan jaringan

melibatkan hemostasis jaringan lokal

KOMPARTEMEN SYNDROME ABDOMEN

Darah yg masuk kapiler

Obstruksi vena

Sesak, RR

Ketidakefektifan pola nafas

42