Top Banner
ACHALASIA ESOFAGUS I. PENDAHULUAN Achalasia esofagus adalah gangguan motorik pada otot polos esofagus, yang memiliki karakteristik berupa kegagalan spinchter esofagus bawah untuk berelaksasi dan tidak adanya gerakan peristaltik pada esofagus. 1,2 Achalasia dideskripsikan pertama kali pada tahun 1672 oleh Sir Thomas Willis. Pada tahun 1881, von Mikulicz mendeskripsikan penyakit ini sebagai suatu kardiospasme, di mana gejalanya lebih disebabkan oleh suatu gangguan fungsional daripada suatu gangguan mekanik. Pada tahun 1929, Hurt dan Rake menyatakan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh kegagalan spinchter esofagus bawah untuk berelaksasi. Mereka lalu menyebutnya sebagai “achalasia”, sebuah kata dari bahasa Yunani yang berarti gagal untuk berelaksasi. 2,3 1
36

achalasia esofagus

Jan 04, 2016

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: achalasia esofagus

ACHALASIA ESOFAGUS

I. PENDAHULUAN

Achalasia esofagus adalah gangguan motorik pada otot polos esofagus, yang

memiliki karakteristik berupa kegagalan spinchter esofagus bawah untuk

berelaksasi dan tidak adanya gerakan peristaltik pada esofagus.1,2

Achalasia dideskripsikan pertama kali pada tahun 1672 oleh Sir Thomas

Willis. Pada tahun 1881, von Mikulicz mendeskripsikan penyakit ini sebagai suatu

kardiospasme, di mana gejalanya lebih disebabkan oleh suatu gangguan fungsional

daripada suatu gangguan mekanik. Pada tahun 1929, Hurt dan Rake menyatakan

bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh kegagalan spinchter esofagus bawah untuk

berelaksasi. Mereka lalu menyebutnya sebagai “achalasia”, sebuah kata dari bahasa

Yunani yang berarti gagal untuk berelaksasi.2,3

Gambar 1. Achalasia esofagus dilihat secara anatomis (dikutip dari kepustakaan 4)

1

Page 2: achalasia esofagus

II. ETIOLOGI

Achalasia esofagus dapat terjadi secara primer (idiopatik) atau secara

sekunder. Achalasia esofagus primer diduga terjadi akibat tidak adanya seluruh atau

sebagian sel ganglion inhibitor pada pleksus Mienterikus (Auerbach’s) pada

esofagus. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara neuron eksitatorik dan

neuron inhibitorik yang menyebabkan spinchter esofagus bawah tidak dapat

berelaksasi. Beberapa penelitian telah mencatat sejumlah ganglion mienterik pada

spesimen-spesimen penyakit esofagus dan menemukan adanya infiltrat limfositik

dan deposisi kolagen di dalam ganglion. Berdasarkan penemuan ini, agen-agen yang

dapat menyebabkan penyakit infeksi, seperti virus, dan beberapa mediator radang

akibat respon imunnya, diduga sebagai penyebab dari kehilangan ganglion, tetapi

etiologi pastinya belum diketahui. Penelitian mengenai neurotransmisi dan

penghantaran sinyal yang terjadi pada esofagus distal dan spinchter esofagus bawah

pada achalasia esofagus telah berkembang pesat. Nitrit oksida diduga telah menjadi

neurotransmitter inhibitori yang terbesar, yang mengontrol proses relaksasi dari otot

polos esofagus. Hipotesis yang timbul, bahwa pada proses achalasia esofagus,

terjadi kehilangan yang lebih besar pada neuron inhibitori nitrogenik daripada

neuron kolinergik.3

Penyebab sekunder achalasia esofagus yang paling sering adalah penyakit

Chagas, suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh infestasi spesies protozoa,

yaitu Trypanosoma cruzi, yang ditansmisikan oleh seekor serangga, menginfeksi

neuron intramural, dan menyebabkan disfungsi otonom. Penyakit Chagas paling

sering terjadi di Amerika Tengah dan Selatan, dan diduga penyakit ini menjadi

penyebab sekunder terbanyak dari achalasia esofagus. Selain itu, penyebab sekunder

dari achalasia esofagus dapat berupa malignansi (karsinoma lambung, esofagus),

postvagotomi, pseudo-obstruksi intestinal kronik tipe neuropatik, amiloidosis,

sarkoidosis, dan penyakit Anderson-Fabrey.3,4

2

Page 3: achalasia esofagus

III. EPIDEMIOLOGI

Insiden achalasia esofagus di Amerika Serikat sekitar 1 per 100.000 orang

per tahun, dengan rasio antara pria dan wanita adalah 1:1. Achalasia esofagus lebih

sering terjadi pada orang dewasa, terbanyak sekitar usia 25-60 tahun. Pada anak-

anak, penyakit ini juga sangat jarang ditemukan, dan secara genetik tidak ditemukan

hubungan. Kurang dari 5% dari kasus terjadi pada anak-anak, di mana mengenai

anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, dengan rasio 6:1.2,4,5

IV. ANATOMI ESOFAGUS

Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan dan menyalurkan

makanan dari rongga mulut ke lambung. Dalam perjalanannya dari faring menuju

gaster, esofagus melalui tiga kompartemen, yaitu leher, toraks dan abdomen.

Esofagus yang berada di leher adalah sepanjang lima sentimeter dan berjalan di

antara trakea dan kolumna vertebralis, serta selanjutnya memasuki rongga toraks

setinggi manubrium sterni.6

Di dalam rongga dada, esofagus berada di mediastinum posterior mulai di

belakang lengkung aorta dan membelok ke kiri dari trakea di belakang bronkus

cabang utama kiri, kemudian agak membelok ke kanan beberapa sentimeter pada

area subcarinal dan kembali membelok ke kiri dan depan aorta torakalis, dan masuk

ke dalam rongga perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia

lambung. Panjang esofagus yang berada di rongga perut berkisar dua sampai empat

sentimeter. Diameter rata-rata esofagus pada orang dewasa sekitar 2,5 sentimeter.6,7

Otot esofagus sepertiga bagian atas adalah otot serat lintang yang

berhubungan erat dengan otot-otot faring, sedangkan dua pertiga bagian bawah

adalah otot polos yang terdiri atas otot sirkular dan otot longitudinal seperti

ditemukan pada saluran cerna lainnya.6,7

Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang bersifat

spinchter, terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara faring dan

esofagus, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos. Penyempitan

3

Page 4: achalasia esofagus

kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan lengkung aorta dan

bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat spinchter.6,7

Gambar 2. Struktur esofagus (dikutip dari kepustakaan 8)

4

Page 5: achalasia esofagus

Gambar 3. Daerah penyempitan esofagus (dikutip dari kepustakaan 8)

Esofagus mendapat darahnya dari banyak arteri kecil. Bagian atas dari

esofagus yang berada di leher dan rongga dada mendapat darah dari arteri tiroidea

inferior, beberapa cabang arteri bronkialis dan beberapa arteri kecil dari aorta.

Esofagus di hiatus esofagus dan rongga perut mendapat darah dari arteri frenika

inferior kiri dan cabang arteri gastrika kiri.6,7

Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosa esofagus. Di esofagus

bagian atas dan tengah, aliran vena dari pleksus esofagus berjalan melalui vena

esofagus ke vena azygos dan vena hemiazygos untuk kemudian masuk ke vena cava

superior. Di esofagus bagian bawah, semua pembuluh vena masuk ke dalam vena

koronaria, yaitu cabang vena porta sehingga terjadi hubungan langsung antara

sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esofagus bagian bawah melalui vena

5

Page 6: achalasia esofagus

lambung tersebut. Hubungan ini yang menyebabkan timbulnya varises esofagus bila

terjadi bendungan vena porta.6,7

Gambar 4 dan 5. Vaskularisasi esofagus (dikutip dari kepustakaan 8)

6

Page 7: achalasia esofagus

Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus di dalam mukosa, submukosa,

lapisan otot, dan tunika adventisia. Di bagian sepertiga cranial, pembuluh ini

berjalan secara longitudinal bersama dengan pembuluh limfe dari laring ke kelenjar

di leher, sedangkan dari bagian dua pertiga kaudal dialirkan ke kelenjar seliakus,

seperti pembuluh limfe dari lambung.6

Metastasis dari keganasan esofagus dapat ditemukan antara kelenjar limfe

leher dan kelenjar limfe seliakus di perut, bergantung pada letaknya, stadium dan

tingkat keganasan tersebut.6

Ductus torachicus berjalan di depan tulang belakang toraks di sebelah dorsal

kanan esofagus, kemudian menjelang setinggi vertebra thorakal VI atau VII ke

sebelah kiri belakang esofagus untuk turun kembali dan masuk ke dalam vena

subklavia kiri.6

V. FISIOLOGI ESOFAGUS

Motilitas yang berkaitan dengan esofagus adalah menelan. Menelan dimulai

ketika suatu bolus secara sengaja didorong oleh lidah ke bagian belakang mulut

menuju faring. Tekanan bolus di faring merangsang reseptor tekanan di faring yang

kemudian mengirim impuls aferen ke pusat menelan di medula. Pusat menelan

kemudian secara refleks mengaktifkan serangkaian otot yang terlibat dalam proses

menelan. Menelan adalah suatu contoh refleks all-or-none yang terprogram secara

sekuensial dengan berbagai respons dipicu dalam suatu rangkaian waktu spesifik;

jadi, sejumlah aktivitas yang sangat terkoordinasi dipicu dalam pola teratur selama

periode waktu tertentu untuk melaksanakan tindakan menelan. Menelan dimulai

secara volunter, tetapi setelah dimulai proses tersebut tidak dapat dihentikan.9

Menelan dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap orofaring dan tahap esofagus.

Tahap orofaring berlangsung sekitar satu detik dan berupa perpindahan bolus dari

mulut melalui faring dan masuk ke esofagus. Saat masuk faring sewaktu menelan,

bolus masuk ke saluran lain yang berhubungan dengan faring. Dengan kata lain,

makanan harus dicegah untuk kembali ke mulut, masuk ke saluran hidung, dan

7

Page 8: achalasia esofagus

masuk ke trakea. Semua ini dilaksanakan melalui berbagai aktivitas terkoordinasi

berikut ini:9

Makanan dicegah kembali ke mulut selama menelan oleh posisi lidah menekan

langit-langit

Uvula terangkat dan tersangkut di bagian belakang tenggorokan, sehingga

saluran hidung tertutup dari faring dan makanan tidak masuk hidung.

Makanan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan penutupan

erat pita suara melintasi lubang faring, atau glotis. Bagian awal trakea adalah

laring, tempat pita suara terentang di dalamnya. Selama menelan, pita suara

melaksanakan fungsi yang tidak berkaitan dengan berbicara. Kontraksi otot-otot

laring menyebabkan pita suara merapat erat satu sama lain, sehingga pintu

masuk glotis tertutup. Selain itu, bolus menyebabkan suatu lembaran kecil

jaringan ikat, epiglotis, tertekan ke belakang menutupi glotis yang menambah

proteksi untuk mencegah makanan masuk ke saluran pernapasan.

Karena saluran pernapasan tertutup sementara saat menelan, pernapasan

terhambat secara singkat sehingga individu tidak mencoba melakukan usaha

yang sia-sia untuk bernapas.

Dengan laring dan trakea tertutup, otot-otot faring berkontraksi untuk

mendorong bolus ke dalam esofagus.

Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh spinchter. Spinchter adalah struktur

esofagus ke lambung, berotot berbentuk cincin yang jika tertutup mencegah

lewatnya benda melalui saluran yang dijaganya. Spinchter esofagus atas adalah

spinchter faringoesofagus, dan spinchter bawah adalah spinchter gastroesofagus.9

Pusat menelan memulai gelombang peristaltik primer yang mengalir dari

pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di depannya melewati esofagus ke

lambung. Peristaltik mengacu pada kontraksi berbentuk cincin otot polos sirkuler

yang bergerak secara progresif ke depan dengan gerakan mengosongkan,

mendorong bolus di depan kontraksi. Apabila bolus berukuran besar atau lengket

tertelan, dan tidak dapat terdorong ke lambung oleh gelombang peristaltik primer,

bolus yang tertahan tersebut akan meregangkan esofagus dan memicu reseptor

8

Page 9: achalasia esofagus

tekanan di dalam dinding esofagus, menimbulkan gelombang peristaltik kedua yang

lebih kuat yang diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik di tempat peregangan.

Spinchter esofagus melemas secara refleks saat gelombang peristaltik mencapai

bagian bawah esofagus sehingga bolus dapat masuk ke dalam lambung. Setelah

bolus masuk ke lambung, spinchter gastroesofagus kembali berkontraksi.9

VI. PATOFISIOLOGI

Teori utama yang dapat menjelaskan penyakit ini, antara lain:5

Terjadi abnormalitas neurogenik primer yang disertai dengan tidak

berfungsinya neuron inhibitorik dan terjadi degenerasi progresif dari ganglion

sel

Terjadi defisiensi dari ganglion sel pleksus mienterik, dapat juga disebabkan

oleh Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), penyakit Chagas, dan infeksi

virus.

Abnormalitas motorik pada achalasia esofagus merupakan hasil dari

penurunan fungsi pada motor neuron yang terletak pada pleksus mienterikus

intramural. Secara fungsional, kontraksi spinchter esofagus diatur oleh pelepasan

neurotransmitter eksitatorik (asetilkolin dan substansi P) dan relaksasi spinchter

esofagus diatur oleh pelepasan neurotransmitter inhibitorik (nitrit oksida dan

vasoactive intestinal peptide). Seseorang yang menderita achalasia esofagus

kehilangan ganglion sel inhibitori yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam

transmisi neuron eksitatori dan inhibitori, sehingga mengakibatkan timbulnya

tekanan yang tinggi pada spinchter esofagus dan tidak dapat berelaksasi.2,4

VII. GEJALA KLINIS

Pasien-pasien yang terdiagnosis dengan achalasia esofagus, biasanya

memiliki riwayat berupa disfagia yang bersifat intermitten, baik ketika menelan

makanan padat maupun makanan cair, yang diperburuk dengan stress emosional

atau cara makan yang terburu-buru. Disfagia ketika menelan makanan cair

merupakan manifestasi klinis yang pertama terjadi. Regurgitasi makanan dapat

9

Page 10: achalasia esofagus

terjadi karena terdapat retensi sejumlah besar makanan pada esofagus yang

berdilatasi. Regurgitasi ini sering terjadi pada malam hari karena posisi pasien yang

telentang ketika tidur, dan hal ini berpotensi menyebabkan suatu pneumonia

aspirasi. Kadang-kadang, makanan dapat tertinggal pada esofagus (sebelum bagian

yang menyempit) dan biasanya pasien mengatasi hal ini dengan minum air dalam

jumlah yang besar agar meningkatkan tekanan pada esofagus dan memaksa

makanan untuk melaluinya dan masuk ke lambung. Nyeri dada retrosternal yang

berat dapat terjadi karena adanya tekanan yang tinggi pada esofagus, dan para

dokter sering mendiagnosis nyeri ini sebagai nyeri yang berasal dari jantung. Gejala

heartburn-like chest pain juga ditemukan pada beberapa penderita achalasia

esofagus, mungkin disebabkan karena adanya asam laktat yang terbentuk dari

fermentasi sisa-sisa makanan pada lumen esofagus. Pada penderita achalasia

esofagus, kehilangan berat badan mungkin saja terjadi karena pasien berusaha

mengurangi makannya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di

daerah retrosternal. Jika kehilangan berat badan terjadi dengan cepat, dapat

dipikirkan suatu keganasan sebagai penyebab achalasia esofagus. 1,4,10,11

VIII. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi,

pemeriksaan manometrik esofagus, dan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis achalasia esofagus,

seringkali tidak dilakukan karena tidak memiliki kontribusi yang bermakna.2,11

1) Pemeriksaan radiologi

Secara sederhana, foto toraks dapat menunjukkan bahwa seseorang dicurigai

menderita achalasia esofagus. Pada achalasia esofagus, foto toraks

menunjukkan pelebaran mediastinum yang berasal dari esofagus yang

berdilatasi dan tidak adanya gelembung udara yang normal pada lambung,

karena kontraksi spinchter esofagus bawah mencegah udara untuk masuk ke

dalam lambung.12

10

Page 11: achalasia esofagus

Gambar 6. Gambaran foto toraks pada achalasia esofagus. Tanda panah menunjukkan esofagus

yang berdilatasi hebat (dikutip dari kepustakaan 13)

Pemeriksaan esofagografi dengan menggunakan barium, memiliki akurasi

sekitar 95% dalam mendiagnosis achalasia esofagus, dan secara khas

menunjukkan bagian esofagus yang berdilatasi dan terdapat juga bagian yang

menyempit yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau

menyerupai ekor tikus (mouse tail appereance) akibat kontraksi spinchter

esofagus bawah secara persisten.12

11

Page 12: achalasia esofagus

Gambar 7. Pemeriksaan esofagografi pada penderita achalasia esofagus, menunjukkan

esofagus bagian distal yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau ekor tikus

(mouse tail appereance) (dikutip dari kepustakaan 12)

2) Manometrik esofagus

Manometrik esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold standar) untuk

mendiagnosis achalasia esofagus. Guna pemeriksaan manometrik adalah untuk

menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di

dalam lumen dan spinchter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan

kelainan motilitas secara kuantitatif maupun kualitatif. Pemeriksaan dilakukan

dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau

hidung. Hal-hal yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan manometrik

esofagus, antara lain:11,12

12

Page 13: achalasia esofagus

Relaksasi spinchter esofagus bawah yang tidak sempurna

Tidak ada peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi esofagus

secara simultan sebagai reaksi dari proses menelan.

Tanda klasik achalasia esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan yang

tinggi pada spinchter esofagus bawah (tekanan spinchter esofagus bawah

saat istirahat lebih besar dari 45 mmHg), dan tekanan esofagus bagian

proksimal dan media saat istirahat (relaksasi) melebihi tekanan di lambung

saat istirahat (relaksasi)

Gambar 8. Teknik pemeriksaan esofagus (dikutip dari kepustakaan 14)

13

Page 14: achalasia esofagus

Gambar 9. Gambaran manometri esofagus pada pasien dengan achalasia esofagus (dikutip dari

kepustakaan 15)

3) Pemeriksaan endoskopi

Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita achalasia esofagus,

untuk menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric junction. Pada

achalasia esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang berdilatasi dan

mengandung sisa-sisa makanan dan spinchter esofagus tidak membuka secara

spontan. Jika achalasia esofagus disebabkan oleh neoplasma atau striktur

fibrosis esofagus, spinchter esofagus biasanya dapat dibuka dengan sedikit

memberikan tekanan pada saat melakukan tindakan endoskopi.12

14

Page 15: achalasia esofagus

Gambar 10. Perbandingan achalasia esofagus jika dilihat secara: A. Anatomis, B. Endoskopi,

C. Esofagografi (dikutip dari kepustakaan 16)

IX. DIAGNOSIS BANDING

Ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan manifestasi klinis yang

serupa dengan achalasia esofagus. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan

gejala dan tanda antara penyakit-penyakit yang memberikan gejala klinis disfagia

dengan achalasia esofagus idiopatik.17

Tabel 1. Diagnosis Banding Achalasia Esofagus Idiopatik

Jenis Penyakit Perbedaan Gejala dan Tanda

Pemeriksaan yang

Dilakukan untuk

Menegakkan Diagnosis

Karsinoma

esofagus

Disfagia pada makanan-

makanan padat terjadi lebih

awal, meskipun kesulitan

untuk menelan makanan

cair dapat terjadi jika

Pemeriksaan esofagografi dan

endoskopi menunjukkan

adanya obtruksi pada

esofagus akibat adanya tumor

15

Page 16: achalasia esofagus

progresifitas penyakit sudah

lanjut

Kehilangan berat badan

dengan cepat

Esofagitis refluks

Disfagia dapat terjadi akibat

adanya pembengkakan

ataupun striktur fibrosis

peptikum, dengan atau

tanpa kelainan pada

endoskopi

Pasien biasanya

mengeluhkan heartburn

dan/atau regurgitasi sebagai

gejala tambahan dari

disfagia

Pemeriksaan endoskopi

menunjukkan esofagitis

refluks, dengan atau tanpa

striktur peptikum.

Mungkin terdapat hernia

hiatus yang terletak di

bawah striktur.

Pemeriksaan esofagografi

memiliki sensitivitas yang

rendah

Terdapat perbedaan pH

pada esofagus distal jika

terjadi refluks

Penyakit jaringan

konektif (misalnya:

sklerosis sistemik)

Terdapat nyeri pada otot dan

sendi, Raynaud’s phenomenon,

dan perubahan pada kulit

(rash, pembengkakan kulit)

Pemeriksaan antibodi

antinuklear, faktor

rheumatoid, dan kreatin

kinase dapat menjadi skrining

dalam mendiagnosis

penyakit-penyakit jaringan

konektif.

Spasme esofagus Gejala nyeri dada lebih

menonjol daripada gejala

disfagia

Pemeriksaan manometri

esofagus menunjukkan

kontraksi esofagus dengan

amplitudo yang tinggi,

dibandingkan dengan

gambaran aperistaltik yang

16

Page 17: achalasia esofagus

ditunjukkan pada achalasia

esofagus.

Esofagitis

eosinofilik

Gejala klinis berupa disfagia

intermitten, lebih sering terjadi

pada laki-laki muda dengan

riwayat atopi

Biopsi pada esofagus

menunjukkan infiltrasi

eosinofil (>15 eosinofil per

lapangan pandang)

Pseudoachalasia

Gejala klinis serupa dengan

achalasia esofagus idiopatik

(tidak dapat dibedakan

secara klinis)

Penyakit ini disebabkan

oleh suatu malignansi

Penderita biasanya berusia

tua, dan kehilangan berat

badan terjadi lebih besar

dan cepat

Biopsi gastroskopik pada

gastroesophageal junction

dan kardia menunjukkan

suatu malignansi

Hasil pemeriksaan

endoskopi, esofagografi,

dan manometri esofagus

mungkin tidak

menunjukkan perbedaan

dibandingkan dengan

achalasia esofagus

idiopatik

Penyakit Chagas

Merupakan penyakit

endemik di Amerika

Tengah dan Selatan,

terdapat manifestasi klinis

pada berbagai organ berupa

atonia kolon, miokarditis,

dan pembengkakan kelopak

mata pada fase akut

(Romana sign)

Pemeriksaan mikroskopik

pada darah segar

menunjukkan adanya

Trypanosoma cruzi

Pewarnaan Giemsa pada

sediaan apusan darah tepi

menunjukkan adanya

parasit

X. PENATALAKSANAAN

17

Page 18: achalasia esofagus

Sifat terapi pada achalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik

esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi

diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi

esofagokardiotomi (operasi Heller).11

1) Terapi Non-Bedah

a. Medikamentosa

Pemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti

nitrogliserin 5 mg sublingual atau 10 mg per oral, dan juga methacholine,

dapat membuat spinchter esofagus bawah berelaksasi sehingga membantu

membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi

spinchter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel

blockers (nifedipine 10-30 mg sublingual), dimana dapat mengurangi

tekanan pada spinchter esofagus bawah. Namun demikian, hanya sekitar

10% pasien yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan

untuk pasien lanjut usia yang mempunyai kontraindikasi terhadap

pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.1,2

b. Injeksi Botulinum Toksin

Suatu injeksi botulinum toksin intra-spinchter dapat digunakan untuk

menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian spinchter esofagus bawah,

yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter

eksitatorik dan inhibitorik. Dengan menggunakan endoskopi, toksin

diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam

dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45°, di mana jarum

dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar

junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas

proksimal dari spinchter esofagus bawah dan toksin tersebut diinjeksi

secara kaudal ke dalam spinchter. Dosis efektif yang digunakan, yaitu 80-

100 unit/ml yang dibagi dalam 20-25 unit/ml untuk diinjeksikan pada

setiap kuadran dari spinchter esofagus bawah. Injeksi diulang dengan dosis

yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

18

Page 19: achalasia esofagus

Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian yang terbatas, di mana

60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan

setelah terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun

setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai

tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian

gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi

menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya diaplikasikan pada pasien lanjut

usia, yang mempunyai kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau

tindakan pembedahan.2,10

Baru-baru ini, injeksi intra-sphincter dari toksin botulinum neurotoksin

telah berhasil digunakan pada pasien dengan achalasia. Aman dan efektif

pada kebanyakan pasien, sangat efektif pada orang tua dan telah

mendapatkan tempat dalam penatalaksanaan pasien yang dianggap tidak

sesuai untuk dilakukan terapi dilatasi atau miotomi. Prosedur ini

melibatkan suntikan pada spinchter esofagus bagian bawah yang

menyebabkan denervasi kimiawi dari sphincter. Dua puluh sampai dua

puluh lima unit toksin botulinum disuntikkan ke setiap kuadran dari

sfingter esofagus bagian bawah dengan jarum skleroterapi menggunakan

teknik endoskopi. Meskipun yang paling aman dari teknik yang tersedia,

injeksi toksin botulinum memiliki durasi efek terbatas, yang berlangsung

rata-rata satu tahun. Pengobatan harus diulangi diperlukan untuk menjaga

efek relaksasi pada spinchter esophagus bagian bawah. Beberapa pasien

mungkin mengalami nyeri dada ringan dan terdapat ruam kulit setelah

perawatan.18

19

Page 20: achalasia esofagus

Gambar 10. Teknik injeksi intrasphincteric pada achalasia (dikutip dari kepustakaan 18)

c. Pneumatic Dilation

Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-

tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction

yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi

intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun

akan turun menjadi 50% pada 10 tahun kemudian, walaupun setelah

beberapa kali dilakukan dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika

terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penutupan

perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri.

Insidens dari refluks gastroesophageal yang abnormal adalah sekitar 25%.

Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilation biasanya diterapi

dengan miotomi Heller.2

20

Page 21: achalasia esofagus

Gambar 11. Teknik pneumatic dilation pada achalasia (dikutip dari kepustakaan 18)

2) Terapi Bedah

Suatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu

prosedur pilihan untuk achalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu

pemisahan serat otot (miotomi) dari spinchter esofagus bawah (5 cm) dan

bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication

untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan

kembali beraktivitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif,

terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien,

dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena

keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan

waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama

dalam penanganan achalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani

terapi ini, mungkin akan membutuhkan tindakan dilatasi, operasi kedua, atau

pengangkatan esofagus (esofagektomi).2

21

Page 22: achalasia esofagus

Gambar 12. Tindakan laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication (dikutip dari

kepustakaan 2)

XI. PROGNOSIS

Prognosis achalasia esofagus bergantung pada durasi penyakit dan banyak

sedikitnya gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin sedikit

gangguan motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang

normal setelah pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat baik.

Apabila tersedia ahli bedah, pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam

menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien, dan memberikan hasil yang lebih

baik daripada tindakan pneumatic dilation. Obat-obatan dan toksin botulinum

sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic

dilation dan laparoskopik miotomi Heller.2

22

Page 23: achalasia esofagus

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al,

editors. Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New York: McGraw Hill,

Health Professions Division; 2008.

2. Patti MG. Achalasia [online]. 2011 [cited 2012 April 6]. Available from: URL:

http://emedicine.medscape.com/article/169974

3. Williams VA, Peters JH. Achalasia of the esophagus: a surgical disease. American

College of Surgeons 2009; 208: 151.

4. Paterson WG, Goyal RK, Habib FI. Esophageal motility disorders [online]. 2006

[cited 2012 April 6]. Available from: URL:

http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo20.html

5. Fernandez PM, Lucio LAG, Pollachi F. Esophageal achalasia of unknown etiology

in children. Jornal de Pediatria 2004; 80: 524.

6. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2005. h. 499-501.

7. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray’s anatomy for students. USA: Elsevier;

2007. p. 192-8.

8. Netter FH. Atlas of human anatomy 3rd ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2006.

p. 220-1, 225-6.

9. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. h.

548-50.

10. Kumar P, Clark M. Gastrointestinal disease-motility disorder. In: Kumar P, Clark

M, editors. Clinical medicine 6th edition. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2009. p.

277-8.

11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan

telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 290.

12. Spechler SJ. Esophageal disorders. In: Dale DC, Federman DD, editors. ACP

Medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc; 2007.

23

Page 24: achalasia esofagus

13. Wikipedia. Achalasia [online]. 2012 [cited 2012 April 6]. Available from: URL:

http://en.wikipedia.org/wiki/Achalasia

14. Kalloo A. Gastroesophageal reflux disease: diagnosis [online]. 2012 [cited 2012

April 12]. Available from: URL: http://www.hopkins-gi.org/GDL_Disease.aspx?

CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=551CDCA7-A3C1-49E5-B6A0-

C19DE1F94871&GDL_Disease_ID=197E00D5-029B-48B8-9A68-

53077FCC9A0F

15. Hirano I. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm [online]. 2012

[cited 2012 April 12]. Available from: URL:

http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html

16. Kalloo A. Swallowing disorders: causes [online]. 2012 [cited 2012 April 6].

Available from: URL: http://www.hopkins-gi.org/GDL_Disease.aspx?

CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=83F0F583-EF5A-4A24-A2AF-

0392A3900F1D&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-7FB7-47AE-BC76-

766AC830F7BA

17. BMJ Publishing Group Limited. Achalasia: differential diagnosis [online]. 2011

[cited 2012 April 12]. Available from: URL: http://bestpractice.bmj.com/best-

practice/monograph/872/diagnosis/differential.html

18. Kalloo A. Swallowing disorders: therapy [online]. 2012 [cited 2012 April 12].

Available from: URL: http://www.hopkins-gi.org/GDL_Disease.aspx?

CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=AF793A59-B736-42CB-9E1F-

E79D2B9FC358&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-7FB7-47AE-BC76-

766AC830F7BA

24