ix ABSTRAK Hibah dapat diberikan kepada pemerintah daerah lainnya juga dapat diberikan kepada perusahaan daerah dan kepada badan/orang swasta maupun kelompok masyarakat/perorangan. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 di Bali Desa Pakraman selama ini telah mendapatkan dana hibah dari pemerintah daerah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Namun Desa Pakraman pada Tahun 2015 tidak dapat menerima dana hibah dari pemerintah daerah yang telah dianggarkan. Hal ini diakibatkan karena adanya kekosongan norma mengenai pemberian hibah kepada desa pakraman pada Pasal 298 ayat (5) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bertolak dari hal tersebut, substansi permasalahannya ada dua yaitu, Bagaimana kedudukan hukum desa pakraman sebagai penerima dana hibah dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Bagaimana konstruksi pengaturan desa adat sebagai penerima dana hibah. Dua permasalahan pokok ini pada intinya ditujukan untuk mengetahui dan menganalisa kedudukan hukum desa pakraman sebagai penerima dana hibah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui analisis terhadap norma dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum serta pendekatan sejarah. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa Desa pakraman tidak memiliki kedudukan hukum sebagai sebagai penerima dana hibah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum yang diikat oleh adat istiadat atau hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Sedangkan Organisasi Kemasyarakatan berbadan hukum Indonesia adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang memiliki bentuk perkumpulan dan yayasan. Pengaturan yang ideal agar desa pakraman dapat diberikan dana hibah adalah dengan melakukan revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah khusunya Pasal 298 ayat (5) mengenai hibah secara eksplisit, tegas dan terang secara substansial, serta mencantumkan ketentuan kesatuan masyarakat hukum adat untuk mengisi kekosongan norma berkaitan dengan pemberian hibah kepada desa pakraman di Bali. Kata Kunci : Kedudukan Hukum, Desa Pakraman, Hibah
42
Embed
ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · approach of legislation, analytical approach legal concepts and approaches of history. Legal materials used in this research is the primary legal materials,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ix
ABSTRAK
Hibah dapat diberikan kepada pemerintah daerah lainnya juga dapat
diberikan kepada perusahaan daerah dan kepada badan/orang swasta maupun
kelompok masyarakat/perorangan. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 di Bali Desa Pakraman selama ini telah mendapatkan dana hibah
dari pemerintah daerah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Namun Desa
Pakraman pada Tahun 2015 tidak dapat menerima dana hibah dari pemerintah
daerah yang telah dianggarkan. Hal ini diakibatkan karena adanya kekosongan
norma mengenai pemberian hibah kepada desa pakraman pada Pasal 298 ayat (5)
huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Bertolak dari hal tersebut, substansi permasalahannya ada dua yaitu, Bagaimana
kedudukan hukum desa pakraman sebagai penerima dana hibah dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Bagaimana
konstruksi pengaturan desa adat sebagai penerima dana hibah. Dua permasalahan
pokok ini pada intinya ditujukan untuk mengetahui dan menganalisa kedudukan
hukum desa pakraman sebagai penerima dana hibah dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan penelitian hukum
normatif yang dilakukan melalui analisis terhadap norma dalam peraturan
perundang-undangan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum serta pendekatan
sejarah. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa Desa pakraman tidak memiliki
kedudukan hukum sebagai sebagai penerima dana hibah dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Desa pakraman adalah
kesatuan masyarakat hukum yang diikat oleh adat istiadat atau hukum adat yang
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Sedangkan
Organisasi Kemasyarakatan berbadan hukum Indonesia adalah organisasi yang
didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang memiliki bentuk
perkumpulan dan yayasan. Pengaturan yang ideal agar desa pakraman dapat
diberikan dana hibah adalah dengan melakukan revisi Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah khusunya Pasal 298 ayat (5) mengenai
hibah secara eksplisit, tegas dan terang secara substansial, serta mencantumkan
ketentuan kesatuan masyarakat hukum adat untuk mengisi kekosongan norma
berkaitan dengan pemberian hibah kepada desa pakraman di Bali.
Kata Kunci : Kedudukan Hukum, Desa Pakraman, Hibah
x
ABSTRACT
Grants may be awarded to other local governments and also can be given
to a local company and the entities / private individuals and community groups /
individuals. Before the enactment of the law number 23 in 2014, in Bali, Desa
Pakraman has been getting a grant from the local government to meet community
needs. But the Desa Pakraman in 2015 cannot receive a grant from the local
government that has been budgeted. It is caused by the enforcement of the norm
Article 298 paragraph (5) d of Law Number 23 in 2014 on Regional Government.
Starting from this, the substance of the problem is twofold, How Desa Pakraman
have a position as a grants recipients in Law No. 23 in 2014 on Regional
Government and How Desa Pakraman legal position as grant recipients. Two
main problems are essentially intended to identify and analyze the position of
Desa Pakraman as grant recipients in Law Number 23 in 2014 on Regional
Government.
This research was using the normative legal research, conducted through
an analysis of the norms of the legislation. The approach in this study using the
approach of legislation, analytical approach legal concepts and approaches of
history. Legal materials used in this research is the primary legal materials,
secondary law and tertiary legal materials.
Based on the result is that the Desa Pakraman does not have a legal
position as a grants recipients in Law No. 23 in 2014 on Regional Government.
Desa Pakraman is a unit of community bound by tradition or customary law that
grow and develop in their local community. While Community Organizations
incorporated in Indonesia is an organization founded and formed by people
voluntarily based on common aspirations, wishes, needs, interests, activities, and
goals to participate in development in order to achieve the purpose of the Unitary
Republic of Indonesia based on Pancasila which has the form of associations and
foundations , An ideal setting that Desa Pakraman can be given a grant is to do a
revision of Law No. 23 in 2014 on Regional Government especially Article 298
paragraph (5) of the grant explicit, firm and bright substantially, and includes list
the unity of indigenous people to fill the vacuum of norm relating to provision of
grants for Desa Pakraman in Bali..
Keywords: Legal Position, Desa Pakraman, Grants
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ........................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN TELAH DIUJI ......................................................... iv
SURAT PERNYATAN BEBAS PLAGIAT ........................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................ ix
ABSTRACT .......................................................................................................... x
RINGKASAN ....................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................... 8
1.3. Ruang Lingkup Masalah ................................................................................ 9
1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 9
1.4.1. Tujuan Umum .................................................................................... 9
1.4.2. Tujuan Khusus ................................................................................... 9
Otonomi daerah merupakan salah satu bentuk keputusan politik untuk
memberikan kewenangan kepada daerah dalam upaya meningkatkan pelayanan
publik dan kesejahteraan masyarakat.1 Salah satu bentuk upaya pemerintah dalam
mensejahterakan masyarakat adalah dengan mengalokasikan anggaran hibah.
Setiap tahunnya pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah
kabupaten/kota di seluruh Indonesia mengalokasikan anggaran hibah. Pemberian
bantuan tersebut dibenarkan, saat ini regulasi pemberian hibah dan bantuan sosial
yang bersumber dari APBD oleh Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat dikatakan “komplit” walaupun
sesungguhnya masih diperlukan berbagai peraturan pendukung lainnya sebagai
penjelasan dari beberapa ketentuan yang butuh penjelasan dari kementeraian
dalam negeri. Hibah dapat diberikan kepada pemerintah daerah lainnya juga dapat
diberikan kepada perusahaan daerah dan kepada badan/orang swasta maupun
kelompok masyarakat/perorangan.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian
belanja hibah oleh pemerintah daerah adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 164 ayat (1) menyatakan bahwa
Lain-lain pendapatan daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156
1 Hesti Puspitosari, dkk, 2006, Marginalisasi Rakyat dalam Anggaran Publik : Partisipasi
Masyarakat Dalam Menyusun Anggaran Publik di Daerah, Malang Corruption Watch (MCW)
dan YAPPIKA, Jakarta, h. 23.
huruf c merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan,
yang meliputi hibah, dana darurat, dan.lain-lain pendapatan yang ditetapkan
Pemerintah. Sedangkan pada ayat (2) menyatakan bahwa Hibah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa
yang berasal dari Pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar
negeri.
Adapun peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang mengenai pemberian hibah adalah Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian
Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD yang ditetapkan pada
tanggal 27 Juli 2011 dan diundangkan pada tanggal 28 Juli 2012. Kemudian pada
tanggal 21 Mei 2012 telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39
Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32
Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber dari APBD yang diundangkan pada tanggal 22 Mei 2012.
Dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32
Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang
Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) dinyatakan
bahwa :
“Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah
kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah,
masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah
ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak
secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan
urusan pemerintah daerah”.
Sedangkan pada Pasal 5 menyatakan Hibah dapat diberikan kepada:
a. pemerintah;
b. pemerintah daerah lainnya;
c. perusahaan daerah;
d. masyarakat; dan/atau
e. organisasi kemasyarakatan.
Untuk itu pemberian hibah dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan
belanja urusan wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan,
rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat. Dalam arti kata pemberian hibah dan
bantuan sosial dapat diberikan jika seluruh belanja urusan wajib sudah terpenuhi
atau tidak ada lagi belanja satuan kerja (urusan wajib) yang tidak teranggarkan
dalam anggaran belanja.
Hibah yang diberikan oleh pemerintah daerah ini ditujukan untuk
menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan
memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk
masyarakat. Hibah yang diberikan kepada penerima memang harus benar-benar
menunjang pencapaian sasaran dan kegiatan pemerintah daerah dan tidak untuk
menunjang pencitraan kinerja pemerintah daerah dengan berpijak pada asas
keadilan yaitu terdapat keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya
dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan
pertimbangan objektif, asas kepatutan, yaitu tindakan atau suatu sikap yang
dilakukan dengan wajar dan proporsional, asas rasionalitas yaitu keputusan atas
pemberian hibah benar-benar mencapai sasaran dan dapat
dipertanggungjawabkan serta asas manfaat untuk masyarakat, yaitu bahwa
keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011
tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) dalam Pasal 4 ayat (4)
menentukan bahwa pemberian hibah harus memenuhi kriteria paling sedikit
peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan, tidak wajib, tidak mengikat dan
tidak terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan dan memenuhi persyaratan penerima hibah. Adapun
persyaratan pemberian hibah sesuai dengan Pasal 7 adalah sebagai berikut :
(1) Hibah kepada masyarakat diberikan dengan persyaratan paling sedikit
memiliki kepengurusan yang jelas dan berkedudukan dalam wilayah
administrasi pemerintah daerah yang bersangkutan.
(2) Hibah kepada organisasi kemasyarakatan diberikan dengan persyaratan
paling sedikit telah terdaftar pada pemerintah daerah setempat sekurang-
kurangnya 3 tahun, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan, berkedudukan dalam wilayah daerah dan memiliki sekretariat
tetap.
Pemerintah Provinsi Bali sesuai dengan amanat peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang pemberian hibah tersebut, telah menganggarkan
belanja hibah yang diberikan kepada kelompok masyarakat adat di Bali
diantaranya kepada desa pakraman, kelompok subak dan sekaa teruna. Pemberian
dana hibah ini telah diberikan setiap tahun, contohnya diberikan kepada desa
pakraman yang alokasi anggarannya berbeda-beda sesuai kebutuhan. Desa
pakraman dalam mengajukan usulan dana hibah dilakukan dengan menyampaikan
secara tertulis kepada kepala daerah dengan melampirkan rencana anggaran biaya.
Belanja hibah tersebut ditetapkan melalui regulasi yaitu Peraturan Daerah (Perda)
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran yang
ditetapkan dalam APBD yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan
bertujuan untuk kegiatan dan program yang dilaksanakan.2 Desa pakraman
diberikan hibah oleh pemerintah Provinsi Bali merujuk Pasal 5 huruf d, dimana
desa pakraman dikelompokkan sebagai masyarakat dalam kategori penerima
hibah oleh pemerintah daerah.
Pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pemberian dana hibah diatur pada Pasal 298 ayat (4) yang
menyatakan bahwa belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD
sesuai dengan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan
belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan, kecuali
ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pada
Pasal 298 ayat (5) disebutkan bahwa Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dapat diberikan kepada:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau
2 Hadriyanus Suharyanto, 2005, Konsep Anggaran Kinerja Dalam Anggaran Berbasis
Kinerja Konsep dan Aplikasinya, Magister Adminitrasi Publik Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, h. 4.
d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum
Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, hibah yang telah dianggarkan pemerintah Provinsi Bali kepada desa
pakraman tidak bisa dilaksanakan karena harus mengacu pada ketentuan Pasal
298 ayat (5). Dalam Pasal 298 ayat (5) pada huruf d bahwa pemberian dana hibah
hanya dapat diberikan kepada badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan
yang berbadan hukum Indonesia. Jika dicermati Pasal 298 ayat (5) huruf d desa
pakraman tidak dapat dikelompokkan sebagai badan, lembaga maupun organisasi
kemasyarakatan berbadan hukum Indonesia sehingga dalam Pasal 298 ayat (5)
terdapat kekosongan norma mengenai pemberian hibah kepada desa pakraman di
Bali.
Sejalan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 298 yang mengatur tentang penerima
hibah, pemerintah belum menetapkan Peraturan Pemerintah yang mengatur
kembali tentang obyek hukum penerima hibah yang berbadan hukum Indonesia.
Namun Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 18
Agustus 2015 telah menetapkan Surat Edaran Nomor : 900/4627/SJ tentang
Penajaman Ketentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam angka 9 surat edaran tersebut menyebutkan
bahwa memperhatikan ketentuan tersebut pada angka 1 sampai dengan angka 8,
maka dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 uuntuk terciptanya harmonisasi,
stabilisasi, efektivitas, dan menjamin partisipasi masyarakat guna memperkuat
dukungan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah, maka disampaikan
bahwa yang dimaksud dengan badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan
yang berbadan hukum Indonesia sebagai berikut:
a. Badan dan lembaga yang berbadan hukum Indonesia adalah:
1) Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela, dan
sosial yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan;
2) Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela, dan
sosial yang telah memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang
diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur, atau Bupati/
Walikota;dan
b. Organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia adalah organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum yayasan atau organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum perkumpulan yang telah mendapatkan
pengesahan badan hukum perkumpulan yang telah mendapatkan pengesahan
badan hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pada angka 10 menyebutkan dalam rangka menjamin kepastian
hukum dan keberlangsungan serta efektifitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan anggaran hibah dan
bantuan sosial yang tercantum dalam peraturan daerah tentang APBD sebelum
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 maka berlaku ketentuan
bahwa penyediaan anggaran belanja hibah dan bantuan sosial dilaksanakan
sepanjang telah dilakukan evaluasi dan mendapatkan rekomendasi dari kepala
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan memperoleh pertimbangan dari Tim
Anggaran Pemerintahan Daerah (TAPD) dan tercantum dalam KUA/PPAS tahun
anggaran berkenaan sesuai maksud Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32
Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
39 Tahun 2012.
Kekosongan norma mengenai pengaturan pemberian dana hibah kepada
desa pakraman berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dapat
menyebabkan timbulnya berbagai benturan dalam pelaksanaan suatu peraturan
hukum yang akhirnya menimbulkan keragu-raguan atau ketidakpastian hukum
dalam pemberian dana hibah kepada desa pakraman di Bali sehingga penulis
tertarik untuk menjadikannya suatu penelitian sebagai bahan penulisan tesis
dengan judul “Kedudukan Hukum Desa Pakraman Sebagai Penerima Dana Hibah
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.”
1.2. Rumusan Masalah
Mengacu dari latar belakang masalah diatas dapat penulis sampaikan dua
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan hukum desa pakraman sebagai penerima dana
hibah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah?
2. Bagaimana konstruksi pengaturan desa pakraman sebagai penerima
dana hibah?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Adapun penulisan penelitian ini, penulis akan membatasi permasalahan
dalam ruang lingkup agar nantinya tidak menyimpang dari pokok pembahasan.
Kajian masalah penelitian ini dibatasi pada kedudukan hukum desa pakraman
sebagai penerima dana hibah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian didahului dengan isu yang akan dibahas
mengenai bagaimana kedudukan hukum desa pakraman sebagai penerima dana
hibah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Selanjutnya akan diteliti tentang konstruksi pengaturan desa pakraman
sebagai penerima dana hibah.
1.4. Tujuan Penelitian
Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa tujuan penelitian antara lain:
1.4.1. Tujuan Umum :
Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan
mengetahui kedudukan hukum desa pakraman sebagai penerima dana
hibah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
1.4.2. Tujuan Khusus :
1. Untuk menganalisa dan memaparkan Bagaimana kedudukan
hukum desa pakraman sebagai penerima dana hibah dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.
2. Untuk mengetahui bagaimana konstruksi pengaturan desa
pakraman sebagai penerima dana hibah.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki suatu manfaat yang dapat dipetik dan digunakan
oleh berbagai pihak apabila penelitian telah selesai dilaksanakan.
1.5.1. Manfaat Teoritis
Secara keilmuwan penelitian ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu hukum masyarakat dan kajian ilmu lainnya terutama
yang berkaitan dengan masalah kedudukan hukum desa pakraman sebagai
penerima dana hibah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
1.5.2. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran atau
masukan dalam kedudukan hukum desa pakraman menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi penunjang bagi
penelitian-penelitian selanjutnya mengenai kedudukan hukum
desa pakraman sebagai penerima dana hibah dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Orisinalitas penelitian yang kami buat mempunyai permasalahan yang
berbeda dari penelitian-penelitian tentang kedudukan hukum desa pakraman
sebagai penerima dana hibah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Secara substansi penelitian yang membahas tentang
pengaturan pemberian belanja hibah ditunjukkan dari penelitian berikut ini:
a. Tesis Indrayadi Purnama Saputra (Mahasiswa Program Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) yang dilakukan pada Tahun 2013,
berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Mekanisme Pemberian Dana Hibah
dan Bantuan Sosial dalam Pengelolaan Keuangan Daerah di Kota
Tarakan”. Dalam tesis ini, permasalahan yang diangkat adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah mekanisme pemberian hibah dan bantuan sosial di Kota
Tarakan?
2. Apakah hambatan yang dihadapi dalam mekanisme pemberian hibah dan
bantuan sosial di Kota Tarakan?
3. Bagaimanakah efektifitas mekanisme pemberian hibah dan bantuan sosial
dalam pengelolaan keuangan di Kota Tarakan?
Perbedaan tesis ini dengan tesis penulis yaitu tesis ini tidak mengkaji
kedudukan hukum desa pakraman sebagai penerima dana hibah dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tetapi
mengkaji mekanisme pemberian hibah dan bantuan sosial di Kota Tarakan.
b. Tesis Zullya Eftriani (Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta) yang berjudul “Proses Perumusan Anggaran Belanja
Hibah dan bantuan Sosial APBD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”,
Tahun 2014. Dalam tesis ini, dikemukakan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses perumusan anggaran belanja hibah dan bantuan social
APBD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2009-2013?
2. Bagaimana interaksi antar aktor dalam proses perumusan anggaran belanja
hibah dan bantuan sosial APBD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
tahun 2009-2013?
3. Apa yang menjadi modus penyimpangan dalam pengelolaan anggaran
belanja hibah dan bantuan sosial APBD Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung tahun 2009-2013?
Perbedaan tesis ini dengan tesis penulis yaitu tesis ini tidak mengkaji
kedudukan hukum desa pakraman sebagai penerima dana hibah dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tetapi
mengkaji Perumusan anggaran belanja hibah dan bantuan sosial APBD
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dengan melihat judul dan rumusan masalah diatas dapat disimpulkan
penelitian yang penulis lakukan mengenai kedudukan hukum desa pakraman
sebagai penerima dana hibah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah memiliki perbedaan baik dari segi judul penelitian
maupun rumusan masalahnya. Maka dari itu penelitian ini sekiranya dapat
dinyatakan sebagai penelitian yang original dan dapat dipertanggungjawabkan.
1.7. Landasan Teoritis
Dalam upaya pembahasan penelitian ini maka penulis menggunakan teori-
teori, konsep-konsep, asas-asas dan pandangan sarjana sebagai dasar untuk
menjelaskan hubungan konsep-konsep atau variable yang akan diteliti sehingga
permasalahan yang dipaparkan dapat dipecahkan. Adapun landasan teoritis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.7.1 Teori Kedaulatan Hukum
Teori ini dicetuskan oleh Krabbe. Dalam bahasa inggris, teori ini disebut
sovereignity law theory. Ajaran Krabbe ini sebagai bentuk dari reaksi terhadap
teori kedaulatan Negara. Krabbe berpendapat bahwa, “yang memiliki kekuasaan
tertinggi dalam suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri”. Oleh karena itu, baik
raja atau penguasa maupun rakyat atau warga negara, bahkan negara itu sendiri,
semuanya tunduk pada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus
sesuai atau menurut hukum. Menurut Salim H.S, “kesimpulan dari teori
kedaulatan hukum yaitu bahwa yang berdaulat adalah hukum”.3
Apabila teori Kedaulatan Hukum dikaitkan dengan permasalahan dalam
penelitian ini maka dapat dikatakan segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh
pemerintah khususnya dalam pemberian anggaran hibah harus berdasarkan
dengan hukum. Menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, dalam
buku yang disusun bersama berjudul “Pelajaran Hukum Indonesia” diberikan
definisi hukum yaitu: “Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,
yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang
3 Salim H.S, 2012, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, h. 135.
dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap
peraturan-peraturan berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman
tertentu”.4
Terkait dengan pengertian hukum, Joseph T. Bockrath menyatakan bahwa:
The Law is such a broad term that it is difficult to define. The following statements
convey some of the meanings associated with the term:
1. Law means a rule of civil conduct; it commands what is right and
prohibits what is wrong.
2. Law constitutes the rules under which civilized individuals and
communities live and maintain their relationships with one another. It
includes all legislative enactments and established controls of human
action. 5 (Hukum adalah suatu istilah yang luas sehingga sulit untuk
didefinisikan. Pernyataan berikut menyampaikan beberapa makna yang
terkait dengan istilah tersebut:
1. Hukum berarti aturan perilaku sipil; yaitu perintah apa yang benar dan
melarang apa yang salah.
2. Hukum merupakan aturan dimana individu dan masyarakat beradab
hidup dan mempertahankan hubungan mereka satu sama lain. Ini
mencakup semua pengundangan legislatif dan mengontrol tingkah laku
manusia).
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, hukum dapat diartikan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
1.7.2 Teori Perjenjangan Norma
Ajaran Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang
menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma.
Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada
4 C.S.T Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, h. 38. 5 Joseph T. Bockrath, 2000, Contracts and The Legal Environment for Engineers and
Architects, The McGraw-Hill Companies Inc, United States of America, h. 5.
norma yang lebih tinggi.6 Hans Kelsen mengungkapkan hukum mengatur
pembentukannya sendiri karena satu norma hukum menentukan cara untuk
membuat norma hukum yang lain. Norma hukum yang satu valid karena dibuat
dengan cara ditentukan dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang
lain ini menjadi validitas dari norma hukum yang dibuat pertama.
Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain lagi
adalah “superordinasi dan subordinasi. Norma yang menentukan pembentukan
norma lain adalah norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibuat adalah
norma yang lebih rendah.7 Jenjang Perundang-Undangan adalah urutan-urutan
mengenai tingkat dan derajat daripada Undang-Undang yang bersangkutan,
dengan mengingat badan yang berwenang yang membuatnya dan masalah-
masalah yang diaturnya. Undang-Undang juga dibedakan dalam Undang-Undang
tingkat atasan dan tingkat bawahan yang dikenal dengan hierarki. Undang-
Undang yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-
Undang yang lebih tinggi.8
Dalam penyelenggaraan pemerintah banyak ditemukan norma konflik,
antara satu peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi,
maupun konflik norma secara horizontal antara pasal yang satu dengan pasal yang
lain dalam Undang-Undang atau antara satu Undang-Undang dengan Undang-
Undang yang lain. Dalam menghadapi masalah hukum seperti ini maka
6 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Maullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 83. 7 Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusamedia dan Nuansa,
Bandung, h. 179. 8 Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.131.
diperlukan penyelesaian dengan menggunakan asas-asas preverensi yang
meliputi:
a) Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan
berlakunya peraturan perundang undangan yang lebih rendah
tingkatannya.
b) Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-
undangan yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan
berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum
(general).
c) Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-
undangan yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan
perundang-undangan yang lama.9
Keberadaan teori penjenjangan norma hukum pada tesis ini sangat penting
karena dengan teori ini akan menjawab permasalahan yang terjadi secara
akademis, dalam penelitian ini terjadi konflik norma antara peraturan yang lebih
tinggi dengan peraturan yang lebih rendah yaitu antara Peraturan Perundang-
undangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, sehingga pada teori
penjenjangan norma ini yang dipergunakan adalah lex superior derogat leg
inferiori yang artinya dengan sistem piramida, peraturan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, peraturan yang lebih
tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
1.7.3 Konsep Negara Hukum
Istilah rechtstaat (negara hukum) merupakan istilah baru, baik jika
dibandingkan dengan istilah demokrasi, konstitusi, maupun kedaulatan rakyat.
Para ahli telah memberikan pengertian tentang negara hukum. R. Supomo
9 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
h. 6-7.
misalnya memberikan pengertian terhadap negara hukum sebagai negara yang
tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan
dan alat-alat perlengkapan negara. Negara hukum juga akan menjamin tertib
hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan perlindungan hukum, antara
hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik.10
Konsepsi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk
menentang absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan.Pada pokoknya
kekuasaan penguasa harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat dengan
sewenang-wenang. Pembatasan itu dilakukan dengan jalan adanya supremasi
hukum, yaitu bahwa segala tindakan penguasa tidak boleh sekehendak
hatinya,tetapi harus berdasar dan berakar pada hukum, menurut ketentuan hukum
dan Undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian
kekuasaan negara khususnya kekuasaan yudikatif yang dipisahkan dari penguasa.
Menurut M. Tahir Azhary, lima konsepsi negara hukum, yakni:
1) Negara Hukum Nomokrasi Islam yang diterapkan di negara-negara islam;
2) Negara Hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtstaat.
3) Negara Hukum Rule of Law yang diterapkan di negara Anglo Saxon.
4) Negara Hukum Socialist yang diterapkan di negara komunis.
5) Negara Hukum Pancasila.11
Menurut Philipus M. Hadjon, asas utama Hukum Konstitusi atau Hukum
Tata Negara Indonesia adalah asas Negara hukum dan asas demokrasi serta dasar
10 A. Mukthi Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayu Media dan In-Trans, Malang, h. 7. 11 Muhammad Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya
dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
Prenada Media, Jakarta, h. 34.
Negara Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah
“Negara Hukum Pancasila.”12 Ciri-ciri Negara Hukum Pancasila, ialah menurut
Philipus M. Hadjon adalah :
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan;
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan negara;
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan
sarana terakhir; dan
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.13
Konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada
implementasi memiliki karakter yang beragam hal ini disebabkan karena falsafah
bangsa, ideoligi negara dan lain-lain.14 Dalam sistem hukum eropa kontinental
(civil law) negara hukum dikenal dengan istilah rechtsstaat, negara hukum
menurut eropa kontinental ini harus memenuhi empat syarat seperti yang
dikatakan Freidrich Julius Stahl dalam bukunya Ridwan H.R. adalah :
1. Perlindungan Hak Asasi Manusia.
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu.
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4. Peradilan administrasi negara.15
12 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi : Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Jawa Timur, h. 157. 13 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia Sebuah Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Peradaban, Surabaya, h. 90. 14 Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 1. 15 Ibid., h. 3.
Di negara-negara Eropa Kontinental dikenal konsep negara hukum
(rechtsstaat) sebagai lawan dari negara kekuasaan (machstaat). Rechtsstaat ini
adalah istilah bahasa Belanda yang punya pengertian sejajar dengan pengertian
rule of law di negara-negara yang berlaku sistem Anglo Saxon. Dalam konsep
negara hukum versi Eropa kontinental ini, prinsip supremasi hukum (supremacy
of law) merupakan inti utamanya. Dengan demikian sejak kelahirannya, konsep
negara hukum rule of law ini memang dimaksudkan sebagai usaha untuk
membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan
untuk menindas rakyatnya (abuse of power, abus de droit). Sehingga dapat
dikatakan bahwa dalam suatu negara hukum semua orang harus tunduk kepada
hukum secara sama yakni tunduk kepada hukum yang adil. Tidak ada seorang pun
termasuk penguasa negara yang kebal terhadap hukum.16
Meskipun antara konsep rechtstaat (dari Jerman yang kemudian diikuti
pula oleh Belanda) dengan konsep rule of law (dari Inggris) dalam banyak hal
berjalan seiring, tetapi karena berbeda historis kelahirannya maka ada perbedaan
disana sini antara kedua konsep tersebut. Tapi semuanya bermuara pada
perlindungan hak-hak fundamental masyarakat. Karena konsep rechstaat lahir
dari sistem hukum Eropa Kontinental, maka konsep tersebut lebih ditujukan
kepada perbaikan dan pembatasan fungsi dari eksekutif dan pejabat administratif
sehingga tidak melanggar hak-hak fundamental dari rakyat, sedangkan dengan
konsep rule of law karena lahir dalam suasana sistem hukum Anglo Saxon maka
aplikasi konsep tersebut lebih tertuju kepada perbaikan dan peningkatan peranan
16 Munir Fuady, 2011, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT Refika Aditama,
Bandung, h. 2.
dari lembaga-lembaga hukum dan badan-badan pengadilan untuk menegakkan
hukum dan hak-hak dasar manusia. 17
Konsep negara hukum dapat dibeda-bedakan sebagai berikut :
1. Konsep negara hukum yang liberal
2. Konsep negara hukum yang formal
3. Konsep negara hukum yang substantif/materiil.
Yang dimaksud dengan konsep negara hukum yang liberal adalah negara
hukum yang menjaga ketertiban masyarakat dan tidak terlalu aktif dalam menjaga
keperluan rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan negara hukum formal adalah
bahwa negara dimana pemerintahannya dan seluruh cabang pemerintahannya
tunduk kepada hukum tertulis yang berlaku seperti konstitusi dan undang-undang.
Kemudian, yang dimaksud dengan negara hukum yang materiil adalah negara
yang didasarkan kepada hukum tetapi tidak terbatas kepada hukum yang formal
semata-mata, melainkan hukum yang adil yang mengutamakan kesejahteraan
rakyat, karena itu dalam perkembangannya konsep negara hukum yang materiil
ini berjalan seiring dengan konsep negara berkesejahteraan sosial (social walfare
state, wohlfahrt staat).18
Salah satu asas penting Negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari
asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan/pejabat
administrasi berdasarkan undang-undang. Asas legalitas berkaitan erat dengan
gagasan demokrasi dan gagasan Negara hukum (het democratish ideal en het
rechtsstaats ideal). Gagasan demokrasi menuntut agar setiap undang-undang dan
17 Ibid., h. 4. 18 Munir Fuady, op.cit., h. 26-27.
keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan lebih banyak
memperhatikan kepentingan rakyat. Gagasan Negara hukum menuntut agar
penyelenggaraaan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-
undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat yang tertuang
dalam undang-undang.19
Menurut Sjachran Basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet
integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan
rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya
konstitutif.20 Penerapan asas legalitas akan menunjang berlakunya kepastian
hukum dan berlakunya kepastian hukum dan berlakunya kesamaan perlakuan.21
Secara teoritis dan yuridis, asas legalitas dapat diperoleh suatu
badan/pejabat administrasi melalui atributif (legislator),baik di tingkat pusat
maupun daerah. Di Indonesia, asas legalitas yang berupa atributif pada tingkat
pusat diperoleh dari MPR merupakan UUD dan dari DPR yang bekerja sama
dengan pemerintah merupakan undang-undang, sedangkan atributif yang
diperoleh dari pemerintahan di tingkat daerah yang bersumber dari DPRD dan
pemerintahan daerah adalah peraturan daerah.
Kedua sumber wewenang di atas disebut original legislator atau berasal
dari pembuat undang-undang asli (originale wetgever).Atas dasar itulah terjadinya
penyerahan suatu wewenang dari pembentuk undang-undang kepada badan /
pejabat administrasi Indonesia.Selanjutnya, atas dasar atributif itu tindakan badan/
19 Ridwan H.R., 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h. 68. 20 Sjachran Basah, 1992, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,
Alumni, Bandung, h. 2. 21 Indroharto, 1992, Perbuatan Pemerintah menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata,
Universitas Indonesia, Jakarta, h. 12.
pejabat administrasi Indonesia menjadi sah secara yuridis dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat umum karena telah memperoleh persetujuan dari
wakil-wakilnya di parlemen.22
Penegasan Indonesia adalah Negara hukum yang selama ini diatur dalam
penjelasan UUD 1945, dalam Perubahan UUD 1945 telah diangkat ke dalam
UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menentukan “Negara Indonesia adalah Negara
hukum”. Konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan
perilaku alat Negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum
untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan.
Dalam Negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi
dalam penyelenggaraan Negara. Sesungguhnya, yang memimpin dalam
penyelenggaraan Negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip the rule
of law, and not of man. Dalam paham yang demikian, harus dibuat jaminan bahwa
hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi.
Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri, pada
dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat.
Prinsip Negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan
prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.Oleh karena
itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang
diberlakukan menurut Undang-Undang Dasar (constitutional democracy) yang
22 S.F. Marbun, 2004, Eksistensi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang
Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih di Indonesia, Unpad, Bandung,
h. 22.
diimbangi dengan penegasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang
berkedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat).23
Dari salah satu unsur Rechtstaat pada negara hukum yaitu asas legalitas,
dimana substansi dari asas legalitas adalah menghendaki agar setiap tindakan
pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tanpa dasar
peraturan perundang-undangan, pemerintah tidak berwenang melakukan suatu
tindakan yang dapat mengubah atau mempengaruhi keadaan hukum warga
negara.24. Sehingga penulis memakai asas legalitas pada teori negara hukum untuk
menjawab permasalahan mengenai apakah desa adat memiliki kedudukan sebagai
organisasi kemasyarakatan berbadan hukum indonesia sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
1.7.4 Konsep Badan Hukum
Badan Hukum (rechtpersoon) merupakan subyek hukum pendukung hak
dan kewajiban. Badan Hukum adalah segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan
kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung
hak dan kewajiban.25 Dengan demikian Badan Hukum sengaja dibuat oleh
manusia dengan maksud dan tujuan tertentu, mempunyai kekayaan sendiri yang
terpisah oleh para individunya.
Ditinjau lebih jauh sebenarnya jika Badan Hukum tersebut berbentuk
suatu lembaga (institusi) adalah suatu badan atau lembaga yang tidak berwujud,
23 Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Universitas
Indonesia, Jakarta, h. 56. 24 Ni’Matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h. 78. 25 Chidir Ali, 1975, Badan Hukum, Alumni, Bandung, h. 20.
yang perwujudannya dapat dilihat dari tindakan para pengurus yang mewakili
Badan Hukum tersebut, contohnya hak dan kewajiban sebuah perseroan terbatas
dan yayasan atau perkumpulan sebagai Badan Hukum hanya dapat dijalankan
oleh para pengurusnya. Maka sebagaimana dimaksud kehadirannya bahwa suatu
perseroan terbatas (sebagai Badan Hukum), yayasan atau perkumpulan bisa juga
disebut sebagai pribadi yang sah menurut hukum yang dapat bertindak sebagai
pribadi sungguh-sungguh melalui pengurusnya.
Ditinjau berdasarkan doktrin mengenai Badan Hukum, bahwa sesuatu
lembaga atau badan disebut sebagai Badan Hukum, memiliki unsur-unsur antara
lain :
1) Adanya harta kekayaan yang terpisah.
2) Mempunyai tujuan tertentu.
3) Mempunyai kepentingan sendiri.
4) Adanya organisasi yang teratur.26
Dalam memahami Badan Hukum ini, kita dapat melihat Badan Hukum
(rechtperson) bertindak sebagai subjek hukum seperti halnya manusia
(naturalperson). Terdapat beberapa teori mengenai Badan Hukum, antara lain:
1) Teori Fiksi yang dikemukakan oleh Friedrich Carl von Savigny dan
Opzomer
2) Teori Kekayaan yang dikemukakan oleh A. Brinz. Dikatakan bahwa
kekayaan Badan Hukum itu tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana
lazimnya. Kekayaan dipandang sebagai wewenang terlepas dari yang
memegangnya. Yang penting bukan siapakah Badan Hukum itu, tetapi
kekayaan itu diurus dengan tujuan tertentu.
26 R. Ali Rido, 1984, Hukum Dagang tentang Aspek-aspek Hukum dalam Asuransi Udara
dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Remadja Karya, Bandung, h. 231.
3) Teori Organ yang dikemukakan oleh Otto von Gierke. Badan Hukum
seperti halnya manusia memiliki alat kelengkapan. Maka suatu Badan
Hukum harus memiliki organ-organ penunjangnya sendiri.
4) Teori Pemilikan Bersama berasal dari Rudolf von Jhering. Menurut
teori ini Badan Hukum sebenarnya adalah kumpulan manusia yang
memilikin kepentingan bersama.27
Dalam Teori fiksi bahwa badan hukum itu semata – mata buatan negara saja.
Badan hukum itu suatu fiksi, yakni suatu yang sebenarnya tidak ada, tetapi orang
menciptakan dalam bayangannya badan hukum selalu subjek hukum yang dianggap
sama dengan manusia. Orang bersikap seolah – olah ada subjek hukum yang lain,
tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan – perbuatan sehingga
yang melakukan ialah manusia sebagai wakilnya.28
Selanjutnya dikemukakan dalam teori ini bahwa badan hukum adalah suatu
abstraksi bukan merupakan suatu hal yang konkrit. Jadi karena hanya suatu abstraksi
maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum
memberi hak – hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan
kehendak berkuasa, badan hukum semata – mata hanya buatan pemerintah atau
negara, terkecuali negara, badan hukum itu fiksi yakni suatu yang sebenarnya tidak
ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan untuk sesuatu hal.
Teori ini penulis pergunakan untuk menjawab permasalahan mengenai
kedudukan hukum desa pakraman sebagai penerima dana hibah dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah .
27 Chidir Ali, op.cit., h. 31-33. 28 Handri Raharjo, 2009, Hukum perusahaan, Yustisia, Yogyakarta, h. 19.
1.7.5 Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan
Teori ini dikemukakan oleh Lon I. Fuller, menyebutkan, agar hukum
(peraturan) berfungsi dengan baik, maka peraturan tersebut harus memenuhi atau
mengikatkan diri secara ketat kepada 8 (delapan) syarat yang merupakan asas-asas
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu :
1. ... a failure to acliieve rule at all, so that every issue must de decided on an ad
hoc basi : (peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan
atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya;
dituangkan dalam atuan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu sistem
hukum harus mengandung paraturan-peraturan dan tidak boleh sekadar
mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc);
2. a failure to publicize, or at least, to make available to the affected party, the
rules he is expected to observe (aturan-aturan yang telah dibuat harus
diumumkan kepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan
tersebut);
3. the abuse of retroactive legislation, which not only cannot it self guide action,
but underc its the integrity of rules prospective in effect, since it puts them
under the threat of retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang
memiliki daya laku surut atau harus non-retroaktif, karena dapat merusak
integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan
datang);
4. a failure to make rules understandable (dirumuskan secara jelas, artinya
disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti);
5. the enactment of contradictory rules (tidak boleh mengandung aturan-aturan
yang bertentangan satu sama lain);
6. rules that require conduct beyond the powers of the affected party (tidak boleh
mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan);
7. introductions such frequent changes in the rules that the subject cannot orient
his action by them (tidak boleh terus menerus diubah, artinya tidak boleh ada
kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan
seseorang kehilangan orientasi)
8. a failure of congruence between the rules as announced and their actual
administration (harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang
diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari).29
29 Lon. I. Fuller, 1963, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven and London,
h. 39.
Salah satu syarat yang merupakan asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan menurut Lon I. Fuller sebagaimana telah disebutkan di atas
adalah; dimana peraturan perundangundangan tersebut harus dirumuskan secara
jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti (afailure to make rule
understandable). Dalam hal ini, peraturan yang dirumuskan itu jangan sampai
menimbulkan berbagai penafsiran.
Pendapat Fuller tersebut lebih lanjut dikembangkan oleh Abdul Manan,
yang mengemukakan pendapatnya, bahwa apabila hukum (peraturan) itu bisa
efektif dalam kehidupan masyarakat, diperlukan beberapa syarat :
1. Hukum yang dibuat itu haruslah tetap, tidak bersifat adhoc.
2. Hukum itu harus diketahui masyarakat, sebab masyarakat
berkepentingan untuk diatur oleh hukum tersebut.
3. Hukum itu tidak saling bertentangan satu sama lain.
4. Hukum itu tidak boleh berlaku surut. Hukum itu harus mengandung
nilai-nilai yuridis, filosofis, dan sosiologis.
5. Dihindari supaya tidak sering mengubah hukum.
6. Penerapan hukum hendaknya memperhatikan budaya hukum
masyarakat.
7. Hukum itu hendaknya dibuat secara tertulis oleh instansi yang
berwenang membuatnya.30
Bila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, khususnya menyangkut ketentuan Pasal 298 ayat (5) huruf
d kiranya tidak sesuai atau belum memenuhi persyaratan yang dikemukakan oleh
Lon I. Fuller maupun Abdul Manan. Rumusan ketentuan Pasal 298 ayat (5) huruf
d tidak jelas dan tidak dapat dimengerti tentang pemberian belanja hibah kepada
badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia
30 Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, h. 4.
sehingga harus diatur konstruksi norma yang tepat untuk memenuhi pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik.
1.7.6 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Istilah asas umum pemerintahan yang baik pertama diperkenalkan oleh De
Monchy di Belanda yang dalam laporannya dipergunakan istilah Algemene
Beginselen Van Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan
perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah.31 Asas-asas ini harus
diperhatikan oleh pemerintah karena asas-asas ini diakui dan diterapkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) yakni setelah adanya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi :
professional dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 58 menentukan :
Penyelenggara Pemerintahan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57,
dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah berpedoman pada asas
penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas:
31 Amrah Muslimin, 1982, Beberapa Asas-Asas dan Pengertian-pengertian Pokok tentang
Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, h. 140.
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggara negara;
c. kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efisiensi;
i. efektivitas; dan
j. keadilan.
Dari uraian asas-asas umum pemerintahan yang baik di atas sangat relevan
digunakan untuk mendukung penelitian ini, pemerintah harus menerapkan asas-
asas umum pemerintahan yang baik dalam menjalankan pemerintahannya
terutama pada asas kepastian hukum dan asas keadilan khususnya dalam hal
pemberian dana hibah kepada desa pakraman. Penulis dalam penelitian ini
menggunakan asas kepastian hukum dan asas keadilan karena :
1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.32 Asas kepastian
hukum memiliki dua aspek yaitu : aspek material yang berkaitan dengan
kepercayaan, dimana asas kepastian hukum menghalangi badan
pemerintah menarik kembali keputusan dan merubahnya, dan aspek formal
32 Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya, Yogyakarta,
h. 75.
memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan
tepat apa yang dikehendaki daripadanya secara tepat dan tidak adanya
berbagai tafsiran.
2. Asas keadilan menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat
administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran,
asas keadilan menuntut tindakan pemerintah harus proposional, sesuai,
seimbang dan selaras dengan hak setiap orang.
1.8. Metodelogi Penelitian
Penelitian yang dalam bahasa Inggris disebut dengan research, pada
hakekatnya merupakan sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian (research)
orang mencari (search) temuan-temuan baru, berupa pengetahuan yang benar
(truth, true knowledge), yang dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan
atau untuk memecahkan masalah.33 Penentuan metoda penelitian yang tepat
sangat penting dalam sebuah penelitian.
1.8.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Dipilihnya
jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan
permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan
kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan
33 M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 1.
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.34
Penelitian hukum normatif tersebut mencakup beberapa hal yaitu
penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika
hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum dalam arti vertical
maupun horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.35 Hal
tersebut sesuai dengan definisi terkait Legal research, in a nutshell yaitu is
a process of finding the law that governs activities in human society. It
involves locating both the rules which are enforced by the state and
commentaries which explain or analyze these rules.36
Kajian dalam penelitian ini menyangkut kajian terhadap
kedudukan hukum desa pakraman sebagai penerima dana hibah dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
yang dilatarbelakangi karena terjadinya kekosongan norma pada Pasal 298
ayat 5 huruf d.
1.8.2. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini akan
dikaji dengan :
1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)
2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual
Approach)
34 Soerjono Soekanto,2006, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT.
Grafindo Persada, Jakarta, h.13. 35 H. Zainuddin, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 25-30. 36 Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 1992, Legal Research In a Nutshell, West Publishing
Co., United State of America, h. 1.
3. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
Dalam metode Pendekatan Perundang-undangan perlu dipahaminya
hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan, karena
pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan
legislasi dan regulasi.37 Jadi, dalam pendekatan perundang-undangan
dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan kedudukan desa pakraman, kemudian dikaitkan dengan
permasalahan yang akan dibahas sehingga diharapkan analisis hukum
yang dihasilkan akan lebih akurat. Dalam metode Pendekatan Analisis
Konsep Hukum digunakan karena tidak adanya aturan hukum untuk
masalah yang dihadapi. Dalam hal ini diperlukan merujuk pada prinsip-
prinsip hukum yang dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan
sarjana atau doktrin-doktrin hukum.38 Dalam metode pendekatan sejarah
digunakan untuk mengetahui asal usul lahirnya desa pakraman sesuai
dengan pemasalahan yang akan diteliti.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Dalam memecahkan permasalahan hukum diperlukan sumber-
sumber-sumber penelitian. Dalam penelitian normatif ini, bahan-bahan
hukum yang akan dipergunakan terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan
bahan-bahan hukum sekunder :
a. Bahan Hukum Primer
37 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h. 97. 38 Ibid., h. 138.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan
putusan-putusan hakim.39 Bahan Hukum Primer terdiri dari :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 tentang Organisasi kemasyarakatan.
b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum penunjang
yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi yang meliputi buku-buku
teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan
hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, jurnal-
jurnal hukum. Selain itu juga mencakup majalah dan Makalah
serta bahan Hukum bidang Pemerintahan yang diperoleh di
internet. Fungsi bahan hukum sekunder adalah try to explain
and analyze the law.40
39 Ibid, h.141. 40 Morris L. Cohen and Kent C. Olson, op.cit., h. 8.
c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti : kamus hukum, ensiklopedia.41
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah dengan sistem kartu (card system). Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji berpendapat bahwa kartu yang perlu dipersiapkan ada
dua yaitu 42:
a. Kartu kutipan yang digunakan untuk mencatat atau mengutip sumber
bahan bacaan tersebut diperoleh (nama pengarang/penulis, judul buku
atau artikel, impesum, halaman dan sebagainya)
b. Kartu bibliografi dipergunakan untuk mencatat sumber bahan bacaan
yang dipergunakan. Kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu
peneliti menyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari
laporan penelitian.
Langkah pertama dilakukan inventarisasi dengan mengkoleksi dan
pengorganisasian bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem informasi
sehingga memudahkan kembali melakukan penelusuran bahan-bahan hukum
tersebut.
Bahan hukum dikumpulkan dengan studi dokumen, yakni dengan
melakukan pencatatan terhadap sumber bahan hukum primer dan
sekunder. Bahan hukum tersebut selanjutnya dilakukan identifikasi,
inventarisasi, dengan cara pencatatan atau pengutipan, ikhtisar, dan kartu
ulasan. Masing-masing kartu diberi identitas: sumber bahan yang dikutif,
41 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 42 Ibid., h. 53.
topik yang dikutip dan halaman dari sumber kutipan, selanjutnya
diklasifikasikan menurut sistematika rencana tesis, sehingga ada kartu
untuk bahan Bab I, II dan seterusnya, kecuali bagian-bagian penutup.
Kemudian dilakukan kualifikasi bahan hukum.43
1.8.5. Teknik Analisis
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul
dapat digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik
evaluasi, teknik sistematisasi dan teknik argumentasi. Dalam tesis ini
sesuai dengan kedua permasalahan dipergunakan lima teknis analisis
tersebut. Teknik Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran
dalam Ilmu Hukum dan teknik konstruksi berupa pembentukan konstruksi
yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi
(acontrario).44 Teknik ini dijelaskan melalui teknik deskripsi sebagai
penggambaran terhadap suatu kondisi dan posisi dari proposisi-proposisi
hukum atau non hukum itu sendiri. Dalam hubungannya antara proposisi
dan proses berkaitan erat dengan kebenaran dan kevalidan suatu hal
(sah/tidak), it is useful to observe and to maintain the key distinction
between the truth of a proposition or conclusion on the one hand, and the
validity of the process of argument on the other.45
43 Peter Mahmud Marzuki, op.cit., h. 150. 44 Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013,
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Denpasar,
h. 32. 45 Ian McLeod, 1996, Legal Method, Macmillan Press LTD, London, h. 14.
Sedangkan keterkaitan teknik argumentasi, sistematika dan
evaluasi pada kaidah/norma peraturan perundangan-undangan adalah
dengan mencari keterkaitan rumusan konsep hukum atau proposisi hukum
antara peraturan hukum yang sederajat maupun tidak sederajat, dalam hal
ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
kemudian dengan teknik evaluasi dilakukan penelitian berdasarkan bahan
hukum dan terakhir disampaikan secara argumentatif, artinya penilaian
harus berdasarkan alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.