PENATALAKSANAAN ABSES SEPTUM NASI ODONTOGENIK Rini Rahma Wulandari , Puspa Zuleika Bagian IKTHT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Abstrak Abses septum nasi adalah kumpulan pus yang terbentuk diantara kartilago septum dengan mukoperikondrium atau diantara tulang septum dengan mukoperiosteum. Abses septum nasi jarang ditemukan dan biasanya terjadi pada laki-laki. Salah satu penyebab abses septum adalah infeksi gigi, walaupun kasusnya sangat jarang ditemukan. Diagnosis abses septum nasi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Abses septum merupakan kasus yang harus segera ditangani karena komplikasinya dapat berat. Penatalaksanaan berupa aspirasi jarum, insisi dan drainase abses disertai pemberian antibiotik spektrum luas. Dilaporkan satu kasus abses septum pada wanita usia 63 tahun sebagai akibat penyebaran infeksi gigi, yang telah dilakukan aspirasi, insisi dan drainase dengan anestesi lokal juga telah diberikan antibiotik intravena dan ekstraksi ganggren radiks. Kata kunci : abses septum nasi, infeksi gigi, tatalaksana Abstract A nasal septal abscess is defined as a collection of pus between the cartilage and its mucophericondrium or bony septum with its mucoperiosteum. Nasal Septal abscess is rare and usually occurs in man. A dental infection is one cause of the nasal septum abscess, although the cases are rare. Diagnosis is based on history, physical examination and additional evaluation. Nasal septal abscess is an emergency case that 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENATALAKSANAAN ABSES SEPTUM NASI ODONTOGENIK
Rini Rahma Wulandari, Puspa Zuleika
Bagian IKTHT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
AbstrakAbses septum nasi adalah kumpulan pus yang terbentuk diantara kartilago septum dengan mukoperikondrium atau diantara tulang septum dengan mukoperiosteum. Abses septum nasi jarang ditemukan dan biasanya terjadi pada laki-laki. Salah satu penyebab abses septum adalah infeksi gigi, walaupun kasusnya sangat jarang ditemukan. Diagnosis abses septum nasi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Abses septum merupakan kasus yang harus segera ditangani karena komplikasinya dapat berat. Penatalaksanaan berupa aspirasi jarum, insisi dan drainase abses disertai pemberian antibiotik spektrum luas.
Dilaporkan satu kasus abses septum pada wanita usia 63 tahun sebagai akibat penyebaran infeksi gigi, yang telah dilakukan aspirasi, insisi dan drainase dengan anestesi lokal juga telah diberikan antibiotik intravena dan ekstraksi ganggren radiks.
Kata kunci : abses septum nasi, infeksi gigi, tatalaksana
AbstractA nasal septal abscess is defined as a collection of pus between the cartilage and its mucophericondrium or bony septum with its mucoperiosteum. Nasal Septal abscess is rare and usually occurs in man. A dental infection is one cause of the nasal septum abscess, although the cases are rare. Diagnosis is based on history, physical examination and additional evaluation. Nasal septal abscess is an emergency case that should treat rapidly. The management of abscess is needle aspiration, incision, drainage and board spectrum antibiotics.
It was reported one case of nasal septal abscess in women aged 63 years as a result of the spread of dental infection who has been performed with needle aspiration, incision and drainage under local anesthesia and also been given intravenous antibiotics and radicular gangrene extraction.
Abses septum nasi didefinisikan sebagai suatu kumpulan pus yang
terbentuk diantara kartilago septum dengan mukoperikondrium atau diantara
tulang septum dengan mukoperiosteum. 1-6 Abses septum nasi merupakan salah
satu kasus emergensi yang jarang terjadi.1,4 Abses septum ini paling sering
menyebabkan hancurnya kartilago septum selain hematom septum. Septum nasi
merupakan struktur dari hidung yang sangat penting, dimana hancurnya kartilago
septum baik sebagian maupun komplit dapat mempengaruhi fungsi dan bentuk
dari hidung.7
Penyebab abses septum nasi yang paling sering (75%) adalah trauma,
dapat juga terjadi sebagai akibat infeksi sinus (etmoiditis dan sfenoiditis),
vestibulitis, furunkulosis, dan infeksi gigi walaupun jarang terjadi. Penyebab lain
yang pernah dilaporkan adalah pasien dengan status imunologi yang rendah
(immunocompromised).1-5,8,9 Gejala abses septum adalah hidung tersumbat
biasanya bilateral, nyeri yang hebat dan terlokalisir pada hidung, lunak pada
puncak hidung, perubahan warna merah atau kebiruan pada mukosa septum, serta
gejala lain seperti demam dan sakit kepala.4,9,10
Penatalaksanaan abses septum ini adalah dengan aspirasi jarum yang
dilanjutkan dengan insisi dan drainase serta pemberian antibiotik spektrum luas
secara parenteral. Abses septum harus segera diobati sebagai kasus darurat karena
komplikasinya dapat berat, yaitu dalam waktu yang tidak lama dapat
menyebabkan nekrosis pada tulang rawan septum sehingga menimbulkan
deformitas berupa hidung pelana, retraksi kolumela, dan pelebaran dasar hidung.
Komplikasi lain juga dapat terjadi seperti infeksi intrakranial, trombosis sinus
kavernosus, selulitis dan abses orbita.1,4-6
KEKERAPAN
Abses septum jarang ditemui dan biasanya terjadi pada laki-laki. Sebanyak
74% mengenai umur dibawah 31 tahun, dan 42 % mengenai umur diantara 3-14
tahun.11,12 Lokasi yang paling sering ditemukan adalah pada bagian anterior
kartilago septum, walaupun pernah juga ditemukan pada posterior septum
nasi.1,2,12 Suatu penelitian yang dilakukan Jalaludin dari departemen
2
otorinolaringologi Kuala Lumpur dari bulan Juni tahun 1981 sampai Juni 1991
melaporkan sebanyak 14 kasus abses septum dimana 71,4% laki-laki dan 28,6%
perempuan. Rentang usia 6-55 tahun dengan rata-rata usia 25,8 tahun, dimana
43% terjadi pada usia 16-35 tahun. Etiologi yang terbanyak adalah faktor trauma
85,7%, sinusitis kronis dan vestibulitis masing-masing sebanyak 7,15%.13
Abses septum sebagai akibat penyebaran dari infeksi gigi sangat jarang
terjadi. Pada tahun 1982 da Silva dkk melaporkan dua pasien abses septum
sebagai komplikasi infeksi gigi.5 Ozan dkk pada tahun 2006 melaporkan satu
kasus sebagai komplikasi perawatan akar gigi.1 Abses septum nasi di RSCM
dilaporkan sebanyak 9 kasus selama 5 tahun (1989-1994). Bagian THT FK-
USU/RSUP H. Adam Malik selama tahun 1999-2004 mendapatkan 5 kasus.12
Berdasarkan data rawat inap pasien THT di rumah sakit dr. Mohammad Hoesin
Palembang, didapatkan 3 kasus abses septum nasi dalam 2 tahun (2010-2012).
ANATOMI
Septum nasi adalah struktur garis tengah bidang sagital yang membagi
hidung menjadi dua rongga yang berbentuk kubah. Tebal septum nasi secara
normal 2-4 mm yang sekaligus menjadi dinding medial dari kavum nasi. Septum
nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang yang membentuk
septum adalah lamina perpendikularis os etmoid, os vomer, krista nasalis os
maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum nasi dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian terbesar dari septum
nasi dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid posterior dan kartilago
septum anterior.11, 14-16
Lamina perpendikularis os etmoid membentuk sepertiga atas atau lebih
septum nasi, berhubungan dengan bagian horizontal os etmoid yang bagian
bawahnya bertumpu pada os vomer. Di bagian anterior dan superior berhubungan
dengan os frontal dan os nasal, di posterior berhubungan dengan tonjolan os
sfenoid, di postero-inferior dengan os vomer dan antero-inferior dengan kartilago
3
septum. Os vomer terletak di septum nasi bagian posterior dan inferior. Dibagian
superior membentuk sendi os sfenoid dan lamina perpendikularis os etmoid, dan
di bagian inferior dengan krista nasalis os maksila dan os palatina. Krus medial
dari kartilago alar mayor dan prosesus nasal bawah (krista) maksila membentuk
bagian anterior septum.14,16,17
Kartilago septum nasi merupakan sekeping tulang rawan tunggal yang
berbentuk quadrilateral sebagai bagian anterior inferior septum nasi. Dibelakang
bersatu dengan bagian tulang septum dan lamina perpendikularis os etmoid,
bagian bawahnya bertumpu pada lekukan os vomer, krista maksila dan spina
maksila. Periosteum dan perikondrium dari tulang rawan septum dihubungkan
oleh jaringan penghubung yang dibentuk oleh ligamentum yang memungkinkan
terjadinya gerakan dari tulang tersebut.17
Gambar 1. Anatomi septum nasi. 1) Kartilago kuadrangularis. 2) Os nasal. 3) Lamina perpendikularis os etmoid. 4) Vomer 5) Krista nasalis os palatina 6) Krista nasalis os maksila 7) Kolumela14
Perdarahan hidung sebagian besar berasal dari arteri karotis eksterna dan
interna. Arteri sfenopalatina (cabang dari arteri maksilaris dan arteri karotis
eksterna) dan arteri palatina desendens memperdarahi bagian posteroinferior
septum sedangkan bagian anterosuperior septum dan dinding lateral memperoleh
perdarahan dari arteri etmoidalis anterior dan posterior. Arteri palatina mayor
(juga cabang arteri maksilaris) melalui kanalis insisivus menyuplai darah ke
bagian anteroinferior. Cabang arteri labialis superior (cabang arteri fasialis)
4
menyuplai bagian anterior tuberkel septum. Pada bagian kaudal septum yatiu tepat
di belakang vestibulum terdapat pleksus Kiesselbach yang merupakan anstomosis
dari arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior dan arteri palatina mayor.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arteri. Vena pada vestibulum dan struktur luar hidung mempunyai
hubungan dengan sinus kavernosus melalui vena oftalmika superior. 11, 16-18
ANATOMI GIGI
Regio dentoalveolar dikelilingi oleh sinus maksila dan dasar cavum nasi di
bagian atasnya serta mandibula dibagian bawahnya. Anatomi dasar gigi terdiri
dari bagian mahkota dan akar. Bagian mahkota terlihat dalam mulut, sedangkan
bagian akar terbenam di dalam tulang rahang dan gusi. Secara makroskopis
bagian mahkota gigi terdiri dari enamel/email dan dentin, sedangkan bagian akar
gigi terdiri dari sementum dan rongga pulpa yang berisi tanduk pulpa, ruang
pulpa, saluran pulpa serta foramen apikal. Setiap gigi memiliki satu sampai tiga
akar gigi, masing-masing memiliki beberapa permukaan berbeda tergantung
posisi dari akar gigi tersebut, antara lain sisi bukal, fasial, palatal, labial, insisal
dan lingual. Bagian akar gigi yang mengalami infeksi akan menyebar ke daerah
permukaan gigi yang ada di dekatnya.19
Gambar 2. Anatomi gigi19
ETIOLOGI
Penyebab abses septum nasi sangat banyak antara lain trauma, penyebaran
infeksi dari sinusitis etmoid, sinusitis spenoid, infeksi gigi, komplikasi operasi
hidung, vestibulitis dan furunkulosis, juga ditemukan pada pasien dengan status
imunologi yang rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jalaludin MAB
5
tahun 1993 terhadap 14 kasus abses septum, didapatkan penyebab terbanyak
adalah akibat trauma (75%).13 Keadaan ini dapat terjadi akibat kecelakaan,
perkelahian maupun olahraga. Trauma dapat mengakibatkan luka pada mukosa
septum sehingga dapat menyebabkan hematom septum nasi. Tiga sampai lima
hari setelah terjadi hematom septum nasi, hematom akan mengalami infeksi
sekunder sehingga terjadi abses septum nasi.6,15 Abses septum nasi juga dapat
terjadi akibat komplikasi dari operasi hidung. Lo dan Wang tahun 2004
menemukan 7% abses septum disebabkan trauma akibat tindakan
septomeatoplasti.3
Pang KP dan Seth DS tahun 2002 melaporkan satu kasus abses septum
nasi pada anak usia 12 tahun sebagai komplikasi dari speno-etmoiditis akut.20
Walaupun jarang terjadi, penyebaran akibat infeksi gigi juga pernah dilaporkan
oleh Da Silva dkk pada tahun 1982 pada dua pasien dengan abses septum nasi.5
Ozan, Polat dan Heler tahun 2006 juga melaporkan satu kasus abses septum nasi
yang disebabkan penjalaran infeksi gigi.1
Penyebab lain abses septum nasi adalah vestibulitis, furunkulosis dan
status imunitas tubuh yang rendah (immunocompromised). Dinesh R dkk pada
tahun 2011 dari rumah sakit Taiping Perak Malaysia melaporkan 3 kasus abses
septum nasi non trauma pada penderita diabetes melitus.2 Sedangkan Salam B dan
Camilleri A tahun 2008 melaporkan satu kasus abses septum nasi non trauma
pada pasien dengan imunokompeten di rumah sakit universitas Manchester United
Kingdom.4
Organisme yang paling sering menyebabkan abses septum nasi yang
didapatkan dari hasil kultur pus adalah Staphylococcus aureus. Streptococcus
eutropi, septum nasi hiperemis minimal, tidak dijumpai pembengkakan dan
perforasi. Tampon anterior dipasang kembali, terapi dilanjutkan. Pada hari ketujuh
mulai dilakukan ekstraksi gangren radiks secara bertahap sampai gigi gangren
habis. Pada hari keempat belas pasien sudah diperbolehkan untuk rawat jalan
dengan terapi pemberian antibiotik klindamisin 3x300 mg selama tujuh hari.
Hasil kultur resistensi didapatkan Staphylococcus aureus yang sensitif
dengan sefotaksim, amikasin, gentamisin dan klindamisin. Satu minggu setelah
dirawat, pasien kontrol ulang ke poliklinik THT RSMH Palembang, tidak ada lagi
keluhan hidung tersumbat, ataupun nyeri pada hidung, namun ditemukan
komplikasi berupa hidung pelana. Walaupun terdapat komplikasi berupa hidung
pelana pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan pernafasan akibat hidung
pelana tersebut. Pemeriksaan fisik didapatkan kavum nasi kanan dan kiri lapang,
septum nasi tidak dijumpai perforasi, namun terdapat deviasi ke kiri, pasase
hidung lancar. Pemeriksaan rongga mulut ditemukan mukosa ginggiva sudah
kembali normal (gambar 6).
Gambar 6. Komplikasi berupa hidung pelana dan mukosa ginggiva yang kembali normal.
15
DISKUSI
Dilaporkan satu kasus abses septum nasi sebagai komplikasi infeksi gigi
pada seorang wanita berusia 65 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Jalaludin dari departemen otorinolaringologi Kuala Lumpur dari bulan Juni tahun
1981 sampai Juni 1991 dilaporkan sebanyak 14 kasus abses septum dimana 71,4%
laki-laki dan 28,6% perempuan. Rentang usia 6-55 tahun dengan rata-rata usia
25,8 tahun, dimana 43% terjadi pada usia 16-35 tahun.13 Abses septum nasi
sebagai akibat penyebaran infeksi gigi sangat jarang terjadi, Da Silva dkk5 pernah
melaporkan dua kasus abses septum nasi dan Ozan dkk1 melaporkan satu pasien
abses septum nasi sebagai komplikasi infeksi gigi. Infeksi gigi dapat mencapai
septum melalui perluasan langsung. Lokasi anatomis yang berdekatan antara gigi
insisivus atas (regio maksila) dengan dasar hidung menjelaskan bahwa abses dari
gigi insisivus atas sentral dapat meluas dan menonjol ke dasar hidung.23
Anamnesis didapatkan keluhan utama pasien adalah benjolan kemerahan
di bagian tengah hidung kanan dan kiri disertai nyeri di puncak hidung, hidung
tersumbat, demam dan sakit kepala. Gejala tersering abses septum nasi adalah
hidung tersumbat yang progresif disertai nyeri berdenyut di puncak hidung, lesu,
demam, sakit kepala dan terasa lunak pada daerah sekitar hidung. Dari anamnesis
juga didapatkan adanya riwayat sakit gigi, bengkak pada gusi rahang atas depan
disertai keluarnya nanah pada gusi yang bengkak tersebut satu bulan yang lalu. 2,9,12,15,20,26 Diagnosis infeksi gigi ditegakkan berdasarkan anamnesis dimana
didapatkan adanya riwayat penyakit gigi, gingival edema atau gigi yang rusak
(gangren). Pada kasus dengan infeksi yang meluas ditemukan adanya
pembengkakan daerah muka, bibir dan dasar mulut. 1,5,22,23
Pada pemeriksaan fisik hidung luar terdapat deformitas pada hidung
berupa pembengkakan pada apeks nasi dan dorsum nasi. Rinoskopi anterior
tampak kavum nasi dekstra dan sinistra sempit, bengkak berwarna merah pada
kedua sisi septum nasi bagian inferior. Pada waktu perabaan terdapat fluktuasi dan
terasa nyeri pada daerah yang bengkak. Pada pemeriksaan daerah rongga mulut
dijumpai fisura di gingiva rahang atas bagian anterior. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan bahwa pada abses septum nasi ditemukan deformitas pada hidung
16
luar disertai pembengkakan septum nasi baik unilateral maupun bilateral terutama
pada bagian anterior dengan warna bervariasi dari abu-abu sampai ungu
kemerahan, pada perabaan terasa lunak dan fluktuatif. 3,9,12,24 Infeksi dari gigi
insisivus atas kadang-kadang mengalami fistulisasi ke dasar kavum nasi.
Biasanya, abses periapikal yang disebabkan infeksi gigi insisivus atas akan pecah
dan mengalir ke rongga mulut dan kadang-kadang melalui gingiva.1,5,22,23
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium darah rutin dan kimia darah, radiologi toraks , sinus paranasal dan
foto panoramik gigi. Dari hasil foto sinus paranasal tidak dijumpai kelainan pada
sinus paranasal namun dari hasil foto ronsen panoramik didapatkan kesan berupa
sisa akar gigi insisivus rahang atas, tampak gambaran kista radikuler pada
insisivus 2 rahang atas sebelah kiri, insisivus 1, 2 dan kaninus rahang atas sebelah
kanan. Hal ini sesuai kepustakaan, pemeriksaan penujang bertujuan untuk
mencari penyebab yang berhubungan dengan terapi juga untuk melihat
kemungkinan komplikasi. Foto panoramik pada infeksi gigi biasanya ditemukan
osteitis, kista radikuler atau lusen pada periapikal gigi.23
Dari hasil kultur pus ditemukan mikroorganisme Staphylococcus aureus.
Bakteri penyebab abses septum nasi yang paling sering adalah Staphylococcus
aureus yang merupakan bakteri aerob gram positif. Penelitian Tavares dkk (2002)
melaporkan sebanyak 42,9% dari hasil kultur adalah Stafilokokus aureus, selain
itu juga ditemukan bakteri Streptokokus viridan (21,4%), Enterokokus fekalis
(7,1%) dan Streptokokus piogens (7,1%).21
Penatalaksanaan pada pasien ini berupa aspirasi jarum dilanjutkan insisi
dan drainase dengan anestesi lokal kemudian dipasang drain dan tampon hidung
anterior. Pemberian antibiotik ceftriaxone dan metronidazole intravena
dilanjutkan klindamisin per oral. Penatalaksanaan infeksi gigi sebagai fokal
infeksi dilakukan ekstraksi gangren radiks. Sesuai dengan kepustakaan, abses
septum nasi merupakan kasus emergensi yang harus ditangani sesegera mungkin
berupa aspirasi jarum, insisi, drainase dan pemasangan drain karet serta tampon
anterior hidung. Bakteri anaerob dapat juga menyebabkan abses septum nasi. Pada
abses septum nasi ataupun infeksi gigi diberikan antibiotik gram positif dan gram
17
negatif secara intravena selama 3-5 hari dilanjutkan pemberian antibiotik oral
selama 10 hari. Penambahan metronidazol untuk meningkatkan efektifitas
melawan bakteri anaerob. Jika gigi yang terlibat tidak dapat diidentifikasi lagi
maka gigi tersebut harus diekstraksi atau dilakukan perawatan akar gigi. 1,2,4,5,7,9,23
Tiga minggu setelah tindakan insisi dan drainase abses septum nasi, pada
pasien ini tidak ditemukan lagi hidung tersumbat dan kemerahan pada septum
namun ditemukan komplikasi berupa hidung pelana. Sesuai dengan kepustakaan,
abses septum nasi dapat menyebabkan komplikasi berupa perforasi septum,
hidung pelana, trombosis sinus kavernosus dan penyebaran ke intrakranial. 4,5,9,20
Pasien direncanakan untuk dilakukan rekonstruksi hidung tetapi keluarga pasien
belum bersedia karena tidak ditemukan adanya gangguan fungsi hidung. Menurut
literatur rekonstruksi hidung pada pasien hidung pelana akibat abses septum nasi
dapat dilakukan 8-12 minggu setelahnya.28-31
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Ozan F, Polat S, Yeler H. Nasal septal abscess caused by dental infection: A case report. The internet journal of otorhinolaryngology. 2006. Vol 4. No 2.
2. Dinesh R, Avatar S, et al. Nasal septal abscess with uncontrolled diabetes mellitus. Case report. Med J Malaysia. 2011. Vol 66. No.3. p:253-254.
3. Lo SH, Wang PA. Nasal septal abscess as a complication of laser inferior turbinectomy. Original article. Chang Gung Med J. 2004. Vol 27 (5). p: 390-392.
4. Salam B, Camilleri A. Non-traumatic nasal septal abscess in an immunocompetent patient. Case report-rhinology. 2009. Vol 47. P:476-477.
5. Da Silva M et al. Nasal septal abscess of dental origin. Arch otolaryngol. 1982. Vol 108. p: 380-381.
6. Canty PA, Berkowitz RG. Hematoma and abscess of the nasal septum in children. Arch otolaryngol head and neck surg. 1996. Vol 122. p:1373-1376.
7. Menger DJ et al. Nasal septal abscess in children reconstruction with autologous cartilage grafts on polydioxanone plate. Arch otolaryngol head neck surgery. 2008. Vol 134(8). p: 842-847.
8. Ballenger JJ. Koreksi bedah kelainan septum obstruktif. Dalam: Penyakit talinga, hidung, tenggorokan, kepala dan leher. Edisi 13. Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 1997. hal: 99-111.
9. Friedman M, Vidyasagar R. Surgical management of septal deformity, turbinate hypertrophy, nasal valve collapse anad choanal atersia. In: Bailey BJ et al ed. Head and neck surgeryatolaryngolog. Vol. 1. Philadelphia. JB Lippincot company. 1993. p: 319-334.
10. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan septum. Dalam: Soepardi EA dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Balai penerbit FK UI. Jakarta 1990. hal: 126-134.
11. Lee KJ. The nose and paranasal sinuses. In: Lee KJ. Essential otolaryngology head and neck surgery. 9th ed. New York: McGraw-Hill companies. 1999. p: 365-412.
12. Haryono Y. Abscess septum dan sinusitis maksilaris. Majalh kedokteran nusantara. 2006. Vol 39 (3). hal:359-362.
13. Jalaludin MAB. Nasal septal abscess-retrospective analysis of 14 cases from university hospital, Kuala Lumpur. Singapore Med J. 1993. Vol 34. p: 435-437.
14. Walsh WE, Kern RC. Sinonasal anatomy, function and evaluation. In: Bailey. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincot-Raven. 2006. p: 307-318.
15. Ngo J. Nasal septal hematoma drainage. Cyted January 3rd 2012. Available from. http://emedicine.medscape.com/article/149280.
16. Soetjipto D, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi AF dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala dan Leher. Edisi 6. Cetakan ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. hal: 118-125.
17. Ballenger JJ. Aplikasi klinis anatomi dan fisiolgi hidung & sinus paranasal. Dalam: Penyakit talinga, hidung, tenggorokan, kepala dan leher. Edisi 13. Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 1997. hal: 1-27.
18. Lund VJ. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In: Scott and Brown’s Otolaryngology. 6thed. Great Britain: Butterwort-Heinemann.1997. vol 1(5). p:11-14.
19. Wangidjaja I. Anatomi rongga mulut dan jaringan sekitarnya. Dalam: Anatomi Gigi. edisi 3. EGC; 1991.
20. Pang KP, Sethi DS. Nasal septal abscess an unusual complication of acute spheno-etmoiditis. The journal of laryngology & otology. 2002. Vol 116. p: 543-545.
21. Tavares RA, Neves MC, Angelico FV dkk. Septal Haematoma and Abscess: Study of 30 Cases. Brazilian Journal of Otorhinilaryngology 2002;66:800-803.
22. Smith RA. Jaw cysts. In: Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery. 3rd ed. New York: McGraw-Hill companies. 2012. p: 394-406.
23. Lawson W, Reino AJ, Westreich RW. Odontogenic infections. In: Bailey BJ et al. Ed. Head and neck surgery otolaryngology. Vol 2. Philadelphia: JB Lippincott company. 1993. p: 615-629.
24. Huang PH, Chiang YC, Yang TH dkk. Clinical Photograph Nasal Septal Abscess. Otolaryngology-Head and Neck Surgery 2006;135:335-336.
25. Santiago R, Villalonga P, Maggioni A. Nasal Septal Abscess: A Case Report International Pediatrics 1999;14:229-231.
26. Jafek BW, Dodson BT. Nasal Obstruction. In: Bailey BJ ed. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3rd ed. Philadelpia: Lippincot-Raven 2001:p306.
27. Ballenger JJ. Koreksi bedah kerusakan wajah. Dalam: Penyakit talinga, hidung, tenggorokan, kepala dan leher. Edisi 13. Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 1997. hal: 28-98.
28. Escario JC, Najera RC, Salamanca JE, Benito MB. Post-Traumatic Haematoma and Abscess in the nasal Septa of Children. Acta Otorrinolaringol Esp 2008;50(3):139-141
29. Schrader M, Jahnke K. Tragal Cartilage in the Primary Reconstruction of Defects Resulting from A Nasal Septal Abscess. Clinical otolaryngology 2005;20:527-529
30. Menger DJ, Ivar CT, Trenite GJN. Treatment of Septal Hematomas and Abscesses in Children. Facial Plast Surg 2001;23:239-244
31. Menger DJ, Ivar CT, Trenite GJN. Nasal Septal Abscess in Children. Arch Otolaryngology Head Neck Surgery August 2008;134
20
21
22
Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu (1) jalur periapikal, sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket; dan (3) jalur perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat tumbuh sempuna. Dan yang paling sering terjadi adalah melalui jalur periapikal (Karasutisna, 2001). Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa (Gambar 1), kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Cilmiaty, 2009).
Gambar 1 Ilustrasi keadaan gigi yang mengalami infeksi dapat menyebabkan abses odontogen. (A) Gigi normal, (B) gigi mengalami karies, (C) gigi nekrosis yang mengalami infeksi menyebabkan abses. Sumber : Douglas & Douglas, 2003
Infeksi odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen dan limfogen, yang disebabkan antara lain oleh periodontitis apikalis yang berasal dari gigi nekrosis, dan periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat terjadi melalui berbagai jalan: (1) lewat penghantaran yang patogen yang berasal dari luar mulut; (2) melalui suatu keseimbangan flora yang endogenus; (3) melalui masuknya bakteri ke dalam pulpa gigi yang vital dan steril secara normal (Cilmiaty, 2009). Infeksi odontogen menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam dan dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur anatomi dari daerah yang terlibat (Soemartono, 2000).
Pada tahap awal fase selular ditandai dengan akumulasi pus dalam
tulang alveolar yang disebut sebgai abses intraalveolar. Pus kemudian
menyebar keluar setelah terjadi perforasi tulang menyebar ke ruang
subperiosteal. Periode ini dinamakan abses subperiosteal, dimana pus
dalam jumlah terbatas terakumulasi di antara tulang dan periosteal.
Setelah terjadi perforasi periosteum, pus kemudian menyebar ke
berbagai arah melalui jaringan lunak.
Gambar. 2 Perdarahan septum nasi24
Akar palatal dari gigi posterior dan lateral gigi seri rahang atas dianggap bertanggung jawab atas penyebaran nanah ke arah palatalPenyebaran infeksi odontogen ke dalam jaringan lunak dapat berupa abses. Secara harfiah, abses merupakan
24
suatu lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat proses supurasi pada suatu jaringan yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Abses yang sering terjadi pada jaringan mulut adalah abses yang berasal dari regio periapikal.Sebuah gigi mempunyai mahkota, leher dan akar. Mahkota gigi menjulang di atas gusi, lehernya dikelilingi gusi dan akarnya berada di bawahnya. Gigi dibuat dari bahan yang sangat keras, yaitu dentin. Di dalam pusat strukturnya terdapat rongga pulpa. Gigi seri tengah rahang atas biasanya gigi yang paling terlihat, karena mereka adalah bagian tengah atas dua gigi di bagian depan mulut, dan mereka berada mesial dengan panjang keseluruhan maxillary lateral yang incisor.The dari rahang atas gigi insisivus sentralis gugur adalah 16 mm pada Rata-rata, dengan mahkota yang 6 mm dan akar menjadi 10 mm [17] dibandingkan dengan maksila sentral permanen insisivus, rasio panjang akar dengan panjang mahkota. lebih besar pada gigi sulung. Diameter mahkota mesiodistally lebih besar dari panjang cervicoincisally, yang membuat gigi tampak lebih luas daripada tinggi dari sudut pandang labial.
The maxillary central incisors are usually the most visible teeth, since they are the top center two teeth in the front of a mouth, and they are located mesial to the maxillary lateral incisor.The overall length of the deciduous maxillary central incisor is 16 mm on average, with the crown being 6 mm and the root being 10 mm.[17] In comparison to the permanent maxillary central incisor, the ratio of the root length to the crown length is greater in the deciduous tooth. The diameter of the crown mesiodistally is greater than the length cervicoincisally, which makes the tooth appear wider rather than taller from a labial viewpoint.
The permanent maxillary central incisor is the widest tooth mesiodistally in comparison to any other anterior tooth. It is larger than the neighboring lateral incisor and is usually not as convex on its labial surface. As a result, the central incisor appears to be more rectangular or square in shape. The mesial incisal angle is sharper than the distal incisal angle. When this tooth is newly erupted into the mouth, the incisal edges have three rounded features called mammelons.[18]
Mammelons disappear with time as the enamel wears away by friction.
Maxillary lateral incisor
Main article: Maxillary lateral incisor
The maxillary lateral incisor is the tooth located distally from both maxillary central incisors of the mouth and mesially from both maxillary canines.
The maxillary canine is the tooth located laterally from both maxillary lateral incisors of the mouth but mesially from both maxillary first premolars. It is the longest tooth in total length, from root to the incisal edge, in the mouth.
Infeksi odontogenik adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yangmerupakan
flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulcusgingival, dan
mukosa mulut. Anatomi regio dentoalveolar dikelilingi oleh sinus maksilaris dan
batas inferior kavum nasi di bagian atasnya dan ramus mandibula di bagian
bawahnya.
Etiologi tersering adalah bakteri kokus aerobgram positif, kokus anaerob gram
positif, dan batang anaerob gram negative.Bakteri-bakteri tersebut dapat
menyebabkan karies, gingivitis, dan periodonititis. Jika bakteri mencapai jaringan
yang lebih dalam melaluinekrosis pulpa dan pocket periodontal dalam, maka akan
terjadi infeksiodontogenik.
26
Persarafan
Bagian anterior dan superior rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris
yang berasal dari nervus oftalmikus (n.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion
sfenopalatinum.22,23,25
Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut sensoris dari nervus maksila (n.V-2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Disamping mempersarafi hidung,
ganglion sfenopalatina mempersarafi kelenjar lakrimalis dan palatum 24,21