-
SEKILAS TENTANG PEMETAAN
BAB I
Pendahuluan
1.1 Peta Rupa Bumi
Seseorang hanya mengenal keadaan dan rupa dari permukaan bumi
sejauh batas
pandangannya. Oleh karena itu, agar pola dari seluruh atau
sebagian permukaan
bumi dapat ditangkap dalam sekali pandangan maka dibuatlah peta.
Suatu peta
tidak hanya menyajikan apa yang dilihat dari permukaan bumi dari
suatu ketinggian
tertentu, tetapi memuat apa yang diketahui tentang bumi.
Fungsi peta adalah (Klaas, 1978) :
1. Memperlihatkan posisi atau lokasi relatif (letak suatu tempat
dalam
hubungannya terhadap tempat lain dipermukaan bumi).
2. Memperlihatkan ukuran (dari peta dapat diukur luas daerah dan
jarak-jarak di
atas permukaan bumi).
3. Memperlihatkan bentuk (dari peta dapat dilihat bentuk-bentuk
dari daerah-
daerah deposit mineral, daerah-daerah perdagangan, benua-benua,
negara-
negara, gunung-gunung dan objek-objek lain yang cukup besar
sehingga
dimensinya dapat diperlihatkan dalam peta dengan skala
tertentu).
4. Menghimpun dan mengselektir (peta menghimpun data-data dari
suatu daerah
dan menyatakannya diatas permukaan dengan ukuran yang
secukupnya.
Kondensi demikian menyangkut penggunaan simbol sebagai singkatan
atau
seleksi dari sejumlah data-data tertentu yang bentuknya menurut
anggapan
kartografer memadai bagi hal yang dipersoalkannya).
Menurut skala dan isinya maka peta dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Peta-peta umum
a. Peta topografi (digambar dengan skala besar dan menyajikan
informasi
secara umum).
b. Peta-peta chronographic (menyajikan daerah-daerah luas,
negara-negara
atau benua-benua dengan memakai skala kecil, disini termasuk
juga atlas).
c. Peta-peta dunia.
2. Peta-peta khusus
a. Peta-peta statistik.
b. Peta-peta politik.
c. Peta-peta kadaster.
-
d. Peta-peta kota.
e. Peta-peta lalu-lintas darat, laut dan udara.
f. Peta-peta navigasi.
g. Peta-peta tata guna lahan.
h. Peta-peta geologi, dsb.
Peta rupa bumi dapat identik dengan peta topografi, yang
berisikan informasi-
informasi kebumian secara umum. Seperti jalan, sungai,
pemukiman, sawah,
perkebunan, danau, ketinggian (kontur) dan lain sebagainya.
1.2 Peran Geodesi dalam Pembuatan Peta Rupa Bumi
Memetakan suatu daerah mempunyai arti menentukan posisi
sekumpulan titik pada
permukaan bumi di daerah tersebut. Kerangka pemetaan disebut
kerangka
geodetik. Ellipsoid putaran digunakan sebagai permukaan acuan
dimana hitungan
geodesi dilakukan. Kumpulan titik yang membentuk rupa bumi
diikatkan pada
kerangka geodetik. Karena ellipsoid referensi hanya merupakan
permukaan buatan
(artificial), maka kaitannya dengan permukaan alami yaitu
permukaan yang nyata di
ruang bumi perlu diketahui. Posisi setiap titik dalam ruang bumi
(3D) dapat
mengacu pada [Kahar, 2003]:
1. Sistem alami (bumi);
2. Sistem geodetik.
Pada sistem alami posisi setiap titik di permukaan bumi
ditunjukkan oleh posisi zenit
astronomis (za) di bola langit, yaitu f (lintang asronomis) dan
(bujur astronomis) serta H (tinggi ortometrik, yaitu tinggi titik
di atas geoid). Geoid adalah permukaan
ekipotensial gaya berat yang secara global mendekati permukaan
laut rata-rata.
Pada sistem geodetik posisi setiap titik di permukaan bumi
ditunjukkan oleh posisi
zenit geodetik (zg) di bola langit, yaitu L (lintang geodetik),
B (bujur geodetik) dan h
(tinggi geodetik, yaitu tinggi titik di atas ellipsoid). Jadi
posisi 3 dimensi (3D)
sebuah titik P pada permukaan bumi untuk sistem geodetik adalah
adalah P(L,B,h),
dan untuk sistem alami adalah P(f,l,H). Selisih arah zenit
astronomis terhadap arah
zenir geodetik disebut defleksi vertikal, dan selisih tinggi
geodetik dengan tinggi
ortometrik disebut undulasi geoid (lihat gambar 3), sehingga
didapatkan:
-
= L (4a) =( B) cos L (4b) N = h H (4c) dimana = komponen
defleksi vertikal bidang meridian
= komponen defleksi vertikal pada bidang parallel N = tinggi
geoid di atas ellipsoid (undulasi geoid)
Posisi pada sistem geodetik tergantung pada pendefinisian datum
geodetik
(geodetik datum). Ada 5 (lima) parameter , yaitu 2 (dua)
parameter ellipsoid
referensi yang terdiri dari panjang setengah sumbu panjang (=a),
serta panjang
setengah sumbu pendek (=b), dan 3 (tiga) parameter yang
menyatakan hubungan
antara sistem geodetik dengan sistem alami di titik datum, yaitu
besaran , , dan N (persamaan 4); sebagai orientasi ditetapkannya
arah sumbu pendek ellipsoid
referensi sejajar dengan sumbu putar bumi. Pada gambar 4 dapat
dilihat bahwa ada
2 (dua) kemungkinan posisi pusat ellipsoid referensi, yaitu
tidak berimpit dengan
pusat bumi (eksentrik), atau berimpit dengan pusat bumi
(geosentrik). Pendefinisian
datum geodetik sangat penting dalam survei
pemetaan. Nilai koordinat geodetik dari sebuah titik tertentu di
permukaan bumi
sangat tergantung dari pendefinisian datum geodetik yang
digunakan.
Datum geodetik yang diuraikan di atas hanya bersifat geometrik,
karena
hanya mempertimbangkan bentuk dan besar, yang diwakili oleh
nilai setengah
sumbu panjang a, dan setengah sumbu pendek b serta , , dan N di
titik datum. Jika pada ellipsoid geodentrik,
a ditentukan dengan ketentuan disepanjang lingkaran ekuator,
dan jika nilai-nilai
kM = konstanta gravitasi geosentrik bumi (geocentric
gravitational
constant),
J2 = faktor bentukan dinamis bumi (dynamical form factor),
w = kecepatan sudut rotasi bumi (angular velocity)
sebagai nilai masing-masing besaran tersebut untuk ellipsoid
referensi, maka
dihasilkan sustu sistem dalam geodesi yang disebut Sistem
Referensi Geodetik
(Geodetic Reference System) , dan ellipsoid referensi geosentrik
itu merupakan
representasi bumi secara fisis. Sistem Referensi Geodetik yang
berlaku saat ini
adalah GRS 1980 (pengganti GRS 1967) , yang selanjutnya dengan
beberapa
-
perubahan kecilpada nilai-nilail numerisnya oleh Amerika Serikat
kemudian diakui
sebagai WGS (World Geodetic System) 1984 . Dengan bertambahnya
data maka
terdapat perbaikan dari koefisien harmonik bola gravitasi bumi
yang dipresentasikan
oleh Earth Gravitational Model (EGM) 1996, dan pertambahan data
hingga saat
ini berlanjut terus.
BAB II
Teknologi yang Dapat Digunakan dalam Pembuatan Peta Rupa
Bumi
2.1 Terestris
Pengukuran untuk pembuatan peta juga biasa disebut pengukuran
topografi, atau
pengukuran situasi, atau pengukuran detil, dilakukan untuk dapat
menggambarkan
unsur-unsur: alam, buatan manusia dan bentuk permukaan tanah
dengan sistem
dan cara tertentu. Metoda mengukur dengan menyentuh langsung
objek yang akan
dipetakan disebut metoda terestris. Alat yang biasa digunakan
saat ini adalah
Electronik Total Station (ETS) yang mampu memberikan tingkat
ketelitian yang
tinggi dan kecepatan mengukur yang tinggi pula.
Di antara beberapa cara dalam metoda terestris ini berikut akan
dibahas mengenai
cara offset dan tachymetry untuk pembuatan suatu peta.
2.1.1 Pengukuran Pembuatan Peta Cara Offset
Pengukuran untuk pembuatan peta cara offset menggunakan alat
utama pita
ukur, sehingga cara ini juga biasa disebut cara rantai (chain
surveying). Alat
bantu lainnya adalah: (1) alat pembuat sudut siku cermin sudut
dan prisma, (2).
jalon, dan (3) pen ukur.
Dari jenis peralatan yang digunakan ini, cara offset biasa
digunakan untuk daerah
yang relatif datar dan tidak luas, sehingga kerangka dasar untuk
pemetaanya-
pun juga dibuat dengan cara offset. Peta yang diperoleh dengan
cara offset tidak
akan menyajikan informasi ketinggian rupa bumi yang
dipetakan.
Cara pengukuran titik detil dengan cara offset ada tiga cara:
(1) Cara siku-siku
(cara garis tegak lurus ), (2) Cara mengikat (cara interpolasi),
dan (3) Cara
gabungan keduanya.
Dalam bahasan berikut lebih mengutamakan pembahasan teknik cara
offset.
Kerangka Dasar Cara Offset
-
Kerangka dasar pemetaan harus ditempatkan sedemikian rupa
sehingga setiap
garis ukur yang terbentuk dapat digunakan untuk mengukur titik
detil sebanyak
mungkin. Garis ukur adalah garis lurus yang menghubungkan dua
titik kerangka
dasar. Jadi garis ukur berfungsi sebagai "garis dasar" untuk
pengikatan ukuran
offset.
Kerangka dasar cara offset cara siku-siku:
Setiap garis ukur dibuat saling tegak lurus.
Gambar 3: Kerangka dasar cara offset cara siku-siku.
Titik-titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah
dipasang.
Andai akan digunakan garis AC sebagai garis ukur, maka dibuat
garis ukur BB'
dan DD' tegak lurus garis ukur AC. Ukur jarak AC, AD', D'D,
D'B', B'B dan B'C.
Sebagai kontrol, bila memungkinkan, diukur pula jarak AD, DC, CB
dan BA.
Kerangka dasar cara offset cara mengikat:
Setiap garis ukur diikatkan pada salah satu garis ukur.
Gambar 4: Kerangka dasar cara offset cara mengikat
Titik-titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah
dipasang.
Bila akan digunakan garis AC sebagai garis ukur, maka ditentukan
sembarang
titik-titik D', D", B' dan B" pada garis ukur AC. Ukur jarak AC,
AD', D'D", D'B',
B'B", B"C, D'D, D"D, B'B dan B"B. Sebagai kontrol, bila
memungkinkan, diukur
pula jarak AD, DC, CB dan BA.
Kerangka dasar cara offset cara segitiga:
Titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah
dipasang seperti
ditunjukkan pada Gambar 5. Ukur jarak-jarak AB, BC, CD, DA dan
AC yang
merupakan sisi-sisi segitiga ABC dan ADC sebagai garis ukur.
Karena garis ukur dibuat dengan membentuk segitiga-segitiga,
maka cara ini
juga disebut cara trilaterasi.
Pengukuran Detil Cara Offset
Pengukuran detil cara offset cara siku-siku:
Setiap titik detil diproyeksikan siku-siku terhadap garis ukur
dan diukur jaraknya.
Gambar 5: Pengukuran detil cara offset cara siku-siku.
A dan B adalah titik-titik kerangka dasar sehingga gari AB
adalah garis ukur.
Titik-titik a, b, c dan d dadalah tittik-titik detil dan
titik-titik a', b', c' dan d' adalah
proyeksi titik a, b, c dan d ke garis ukur AB.
Pengukuran detil cara offset cara mengikat
Setiap titik detil diikatkan dengan garis lurus ke garis
ukur.
-
Gambar 6: Pengukuran detil cara offset cara mengikat.
A dan B adalah titik-titik kerangka dasar, sehingga gari AB
adalah garis ukur.
Titik-titik a, b, c adalah tittik-titik detil dan titik-titik
a', b', c' dan a", b", c" adalah
titik ikat a, b, dan c ke garis ukur AB. Diusahakan segi-3
aa'a", bb'b" dan cc'c"
samasisi atau sama kaki.
Pengikatan titik a, b, dan c ke garis ukur AB lebih sederhana
bila dibuat dengan
memperpanjang garis detil hingga memotong ke garis ukur.
Gambar 7: Pengukuran detil cara offset cara mengikat dengan
perpanjangan
garis titik detil.
Pengukuran detil cara offset cara kombinasi:
Setiap titik detil diproyeksikan atau diikatkan dengan garis
lurus ke garis ukur.
Dipilih cara pengukuran yang lebih mudah di antara kedua
cara.
Gambar 8. Pengukuran detil cara offset cara kombinasi.
Titik detil penting dianjurkan diukur dengan kedua cara untuk
kontrol ukuran.
Kesalahan pengukuran cara offset
Kesalahan arah garis offset a dengan panjang l yang tidak
benar-benar tegak
lurus berakibat:
1. Kesalahan arah sejajar garis ukur = l sin a
2. Kesalahan arah tegak lurus garis ukur = l - l cos a
Bila skala peta adalah 1 : S, maka akan terjadi salah plot
sebesar 1/S x
kesalahan.
Bila kesalahan pengukuran jarak garis ofset d l, maka gabungan
pengaruh
kesalahan pengukuran jarak dan sudut menjadi: {(l sin a ) 2 + d
l 2}1/2.
Ketelitian Pemetaan Cara Offset
Upaya peningkatan ketelitian hasil ukur cara offset bisa
dilakukan dengan :
1. Titik-titik kerangka dasar dipilih atau dibuat mendekati
bentuk segitiga sama
sisi
2. Garis ukur:
a. Jumlah garis ukur sesedikit mungkin
b. Garis tegtak lurus garis ukur sependek mungkin
c. Garis ukur pada bagian yang datar
3. Garis offset pada cara siku-siku harus benar-benar tegak
lurusgaris ukur
4. Pita ukur harus benar-benar mendatar dan diukur seteliti
mungkin
5. Gunakan kertas gambar yang stabil untuk penggambaran
-
Pencatatan Dan Penggambaran Cara Offset
Pengukuran cara offset dicatat ke dalam buku ukur yang tiap
halamannya
berbentuk tiga kolom. Kolom ke 1 paling kiri, digunakan untuk
menggambar
sket pengukuran. Kolom ke 2 digunakan untuk mencatat hasil
ukuran dengan
paling bawah awal garis ukur, dan kolom ke 3 digunakan untuk
mencatatat
deskripsi garis offset.
Tiada bakuan untuk penggambaran cara offset. Penggambaran biasa
dibuat
dengan urutan pertama penggambaran garis ukur, kedua pengeplotan
garis
offset yang disertai dengan penyajian penulisan angka jarak ukur
tegak lurus
arah garis ukur.Sudut disiku diberi tanda siku.
2.1.2 Pengukuran Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara
Tachymetry
Salah satu unsur penting pada peta topografi adalah unsur
ketinggian yang
biasanya disajikan dalam bentuk garis kontur. Menggunakan
pengukuran cara
tachymetri, selain diperoleh unsur jarak, juga diperoleh beda
tinggi. Bila theodolit
yang digunakan untuk pengukuran cara tachymetri juga dilengkapi
dengan
kompas, maka sekaligus bisa dilakukan pengukuran untuk
pengukuran detil
topografi dan pengukuran untuk pembuatan kerangka peta pembantu
pada
pengukuran dengan kawasan yang luas secara efektif dan
efisien.
Alat ukur yang digunakan pada pengukuran untuk pembuatan peta
topografi cara
tachymetry menggunakan theodolit berkompas adalah: theodolit
berkompas
lengkap dengan statif dan unting-unting, rambu ukur yang
dilengkapi dengan
nivo kotak dan pita ukur untuk mengukur tinggi alat.
Data yang harus diamati dari tempat berdiri alat ke titik bidik
menggunakan
peralatan ini meliputi: azimuth magnet, benang atas, tengah dan
bawah pada
rambu yang berdiri di atas titik bidik, sudut miring, dan tinggi
alat ukur di atas
titik tempat berdiri alat.
Keseluruhan data ini dicatat dalam satu buku ukur.
Gambar 9: Pegukuran jarak dan beda tinggi cara tachymetry.
Jarak datar = dAB = 100 (BA BB) cos2m; m = sudut miring.
Beda tinggi = D HAB = 50 (BA BB) sin 2m + i t; t = BT.
Tata Cara Pengukuran Detil Cara Tachymetri Menggunakan
Theodolit
Berkompas
Pengukuran detil cara tachymetri dimulai dengan penyiapan alat
ukur di atas titik
ikat dan penempatan rambu di titik bidik. Setelah alat siap
untuk pengukuran,
dimulai dengan perekaman data di tempat alat berdiri, pembidikan
ke rambu
-
ukur, pengamatan azimuth dan pencatatan data di rambu BT, BA, BB
serta sudut
miring m.
Tempatkan alat ukur di atas titik kerangka dasar atau titik
kerangka
penolong dan atur sehingga alat siap untuk pengukuran, ukur dan
catat tinggi
alat di atas titik ini.
Dirikan rambu di atas titik bidik dan tegakkan rambu dengan
bantuan nivo
kotak.
Arahkan teropong ke rambu ukur sehingga bayangan tegak garis
diafragma berimpit dengan garis tengah rambu. Kemudian
kencangkan kunci
gerakan mendatar teropong.
Kendorkan kunci jarum magnet sehingga jarum bergerak bebas.
Setelah
jarum setimbang tidak bergerak, baca dan catat azimuth magnetis
dari
tempat alat ke titik bidik.
Kencangkan kunci gerakan tegak teropong, kemudian baca bacaan
benag
tengah, atas dan bawah serta cata dalam buku ukur. Bila
memungkinkan,
atur bacaan benang tengah pada rambu di titik bidik setinggi
alat, sehingga
beda tinggi yang diperoleh sudah merupakan beda tinggi antara
titik kerangka
tempat berdiri alat dan titik detil yang dibidik.
Titik detil yang harus diukur meliputi semua titik alam maupun
buatan
manusia yang mempengaruhi bentuk topografi peta daerah
pengukuran.
Kesalahan pengukuran cara tachymetri dengan theodolit
berkompas
Kesalahan alat, misalnya:
a. Jarum kompas tidak benar-benar lurus.
b. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada prosnya.
c. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar (salah
kolimasi).
d. Garis skala 0 - 180 atau 180 - 0 tidak sejajar garis
bidik.
e. Letak teropong eksentris.
f. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran
mendatar.
Kesalahan pengukur, misalnya:
a. Pengaturan alat tidak sempurna ( temporary adjustment ).
b. Salah taksir dalam pemacaan
c. Salah catat, dll. nya.
Kesalahan akibat faktor alam, misalnya:
a. Deklinasi magnet.
b. atraksi lokal.
Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara
Polar.
-
Posisi horizontal dan vertikal titik detil diperoleh dari
pengukuran cara polar
langsung diikatkan ke titik kerangka dasar pemetaan atau titik
(kerangka)
penolong yang juga diikatkan langsung dengan cara polar ke titik
kerangka dasar
pemetaan.
Unsur yang diukur:
a. Azimuth magnetis dari titik ikat ke titik detil,
b. Bacaan benang atas, tengah, dan bawah
c. Sudut miring, dan
d. Tinggi alat di atas titik ikat.
Gambar 10: Pengukuran topografi cara tachymetri-polar.
A dan B adalah titik kerangka dasar pemetaan,
H adalah titik penolong,
1, 2 ... adalah titik detil,
Um adalah arah utara magnet di tempat pengukuran.
Beradasar skema pada gambar, maka:
a. Titik 1 dan 2 diukur dan diikatkan langsung dari titik
kerangka dasar A,
b. Titik H, diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka
dasar B,
c. Titik 3 dan 4 diukur dan diikatkan langsung dari titik
penolong H.
Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara
Poligon
Kompas.
Letak titik kerangka dasar pemetaan berjauhan, sehingga
diperlukan titik
penolong yang banyak. Titik-titik penolong ini diukur dengan
cara poligon
kompas yang titik awal dan titik akhirnya adalah titik kerangka
dasar pemetaan.
Unsur jarak dan beda tinggi titik-titik penolong ini diukur
dengan menggunakan
cara tachymetri.
Posisi horizontal dan vertikal titik detil diukur dengan cara
polar dari titik-titik
penolong.
-
Gambar 11: Pengukuran topografi cara tachymetri-poligon
kompas.
Berdasarkan skema pada gambar, maka:
a. Titik K1, K3, K5, K2, K4 dan K6 adalah titik-titik kerangka
dasar pemetaan,
b. Titik H1, H2, H3, H4 dan H5 adalah titik-titik penolong
c. Titik a, b, c, ... adalah titik detil.
Pengukuran poligon kompas K3, H1, H2, H3, H4 , H5, K4 dilakukan
untuk
memperoleh posisi horizontal dan vertikal titik-titik penolong,
sehingga ada dua
hitungan:
a. Hitungan poligon dan
b. Hitungan beda tinggi.
Tata cara pengukuran poligon kompas:
1. Pengukuran koreksi Boussole di titik K3 dan K4,
2. Pengukuran cara melompat (spring station) K3, H2, H4dan
K4.
3. Pada setiap titik pengukuran dilakukan pengukuran:
a. Azimuth,
b. Bacaan benang tengah, atas dan bawah,
c. Sudut miring, dan
d. Tinggi alat.
Tata cara hitungan dan penggambaran poligon kompas:
1. Hitung koreksi Boussole di K3 = AzG. K31 - AzM K31
2. Hitung koreksi Boussole di K4 = AzG. K42 - AzM K42
3. Koreksi Boussole C = Rerata koreksi boussole di K3 dan K4
4. Hitung jarak dan azimuth geografis setiap sisi poligon.
5. Hitung koordinat H1, ... H5 dengan cara BOWDITH atau
TRANSIT.
6. Plot poligon berdasarkan koordinat definitif.
Selain hitungan cara numeris, poligon kompas juga bisa digambar
kesalahan
ukurnya dengan cara mengeplotkan langsung data yang diperoleh
dari tahapan
-
hitungan 1, 2, 3 dan 4 di atas. Seharusnya, bila tidak ada
kesalahan ukur titik K4
hasil pengeplotan langsung berdasarkan koordinat dan pengeplotan
titik K4 dari
polygon kompas seharusnya berimpit. Penyimpangan grafis yang
tidak terlalu
besar atau dalam selang toleransi dikoreksikan secara grafis
pada masing-masing
titik poligon sebanding jumlah jarak poligon di titik
poligon.
Tata cara hitungan beda tinggi pada poligon kompas:
1. Hitung beda tinggi antara titik-titik poligon,
2. Seharusnya jumlah beda tinggi = beda tinggi titik awal dan
akhir
3. Bila terdapat selisih diratakan matematis ke setiap
titik,
4. Hitung ketinggian definitif masing-masing titik poligon.
2.2 Foto Udara
Persiapan & Survey Pendahuluan
P
Pemotretan Udara
P
Pengukuran ttk Kontrol
K
Triangulasi Udara
T
Interpretasi Foto
I
Restitusi/Plotting
R
Field Check
F
Kartografi
K
Peta Garis
PP
-
Gambar 12. Tahapan pembuatan peta garis dengan menggunakan
fotogrametri
Fotogrametri merupakan teknologi pemetaan dengan menggunakan
wahana pesawat
udara dan sensor kamera/foto yang dibawa oleh pesawat udara
tersebut.
Adapun tahapan pembuatan peta rupa bumi dengan menggunakan
teknik
fotogrametri dapat dilihat pada bagan diatas. Pertama-tama
tentunya harus ada
persiapan dan survey pendahuluan terhadap area yang akan
dipetakan. Selanjutnya
ditempatkanlah titik-titik kontrol di lapangan, serta diadakan
pemotretan udara di
area yang akan dipetakan. Selanjutnya untuk menambah jumlah
titik kontrol pada
foto dilakukan triangulasi udara, untuk selanjutnya dilakukan
restitusi foto untuk
mengekstrak informasi koordinat dan ketinggian pada foto. Foto
yang telah didapat
kemudian diinterpretasikan. Dan dilakukan chek ke lapangan untuk
memastikan
apakah benar objek hasil interpretasi sesuai dengan yang ada di
lapangan.
Kemudian untuk mendapatkan peta garis yang baik dilakukan proses
kartografi
terhadap foto tadi.
2.3 Global Positioning System
Untuk mengukur titik-titik kontrol tanah dalam pemetaan yang
saat ini banyak
dipakai teknologi GPS. GPS (Global Positioning System) adalah
sistem satelit
navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh
Amerika Serikat. Nama
formalnya adalah Navstar GPS, kependekan dari Navigation
Satellite Timing and
Ranging Global Positioning System.
Sistem yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam
segala cuaca ini,
didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi yang
teliti, dan juga
informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia. Pada
saat ini, sistem
GPS sudah sangat banyak digunakan orang di seluruh dunia. Di
Indonesia pun, GPS
sudah banyak diaplikasikan, terutama yang terkait dengan
aplikasi-aplikasi yang
menuntut informasi tentang posisi dan kecepatan.
-
Sistem satelit GPS ini secara nominal terdiri dari 24 satelit
yang menempati 6 orbit
yang bentuknya sangat mendekati lingkaran, di mana setiap orbit
ditempati oleh 4
satelit. Orbit satelit GPS berinklinasi 55 derajat terhadap
bidang ekuator dengan
ketinggian rata-rata dari permukaan bumi sekitar 20.200 km, dan
satelit mempunyai
periode 11 jam dan 58 menit (sekitar 12 jam).
Dengan adanya 24 satelit yang mengangkasa tersebut, 4 sampai 10
satelit GPS akan
selalu dapat diamati pada setiap waktu dari manapun di permukaan
bumi. Setiap
satelit GPS secara kontinyu memancarkan sinyal-sinyal gelombang
elektromagnetik
yang pada prinsipnya menginformasikan posisinya serta jaraknya
dari pengamat di
permukaan Bumi. Dengan mengamati sinyal-sinyal dari satelit
dalam jumlah dan
waktu yang cukup, seseorang kemudian dapat memrosesnya untuk
mendapatkan
informasi mengenai posisi, kecepatan, atau pun waktu.
Seperti yang sudah yang disinggung sebelumnya, sistem penentuan
posisi GPS
nampaknya merupakan sistem yang paling menjanjikan untuk
digunakan dalam
proses penetapan batas daerah, baik di darat maupun di laut.
Dalam hal ini ada
beberapa hal yang membuat GPS menarik untuk digunakan, yang
dijabarkan dalam
beberapa butir pernyataan berikut ini.
1. GPS dapat digunakan setiap saat tanpa tergantung waktu dan
cuaca. GPS
dapat digunakan baik pada siang maupun malam hari, dalam kondisi
cuaca yang
buruk sekalipun seperti hujan ataupun kabut. Karena
karakteristiknya ini maka
penggunaan GPS dapat meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas
dari pelaksanaan
proses penetapan batas, yang pada akhirnya dapat diharapkan akan
dapat
memperpendek waktu pelaksanaannya dan menekan biaya
operasionalnya.
2. GPS dapat memberikan ketelitian koordinat yang teliti sampai
level ketelitian
beberapa cm, dengan cepat, mudah, mandiri (cukup satu orang
operator), dan
juga murah.
3. GPS mempunyai ketinggian orbit yang cukup tinggi, yaitu
sekitar 20.000 km di
atas permukaan bumi, dan jumlahnya relatif cukup banyak, yaitu
24 satelit. Ini
menyebabkan GPS dapat meliput wilayah regional yang cukup luas
seperti
provinsi Jawa Barat, serta dapat digunakan oleh banyak orang
pada saat yang
sama.
-
4. Posisi yang ditentukan dengan GPS akan mengacu ke suatu
sistem referensi
koordinat global yang dinamakan WGS 1984. Atau dengan kata lain
posisi yang
diberikan oleh GPS akan selalu mengacu ke sistem koordinat yang
sama. Dengan
menggunakan GPS maka koordinat dari titik-titik batas seluruh
daerah akan
terdefinisi dalam suatu sistem koordinat yang sama, dan juga
keterkaitannya
dengan sistem koordinat nasional yang notabene mengacu ke datum
WGS 1984
akan secara otomatis terealisir. Kesamaan sistem koordinat ini
juga sangat
bermanfaat dalam pembangunan suatu Sistem Informasi Spasial
(SIS) ataupun
Infrastruktur Data Spasial (IDS) di tingkat daerah maupun
nasional.
5. Pemakaian sistem GPS tidak dikenakan biaya, setidaknya sampai
saat ini.
Selama pengguna memiliki alat penerima (receiver) sinyal GPS
maka yang
bersangkutan dapat menggunakan sistem GPS untuk berbagai
aplikasi tanpa
dikenakan biaya oleh pihak yang memiliki satelit, dalam hal ini
Departemen
Pertahanan Keamanan, Amerika Serikat. Jadi investasi yang perlu
dilakukan oleh
pengguna hanyalah untuk alat penerima sinyal GPS beserta
perangkat keras dan
lunak untuk pemrosesan datanya.
6. Alat penerima sinyal (receiver) GPS cenderung menjadi lebih
kecil ukurannya,
lebih murah harganya, lebih baik kualitas data yang
diberikannya, lebih tinggi
keandalannya, serta lebih 'user-oriented'.
Semakin banyak instansi di Indonesia yang menggunakan GPS;
sehingga proses
tukar menukar, penyeragaman, koordinasi, dan pengelolaan yang
terkait dengan
informasi spasial akan lebih mudah untuk dilaksanakan.
2.4 Penginderaan Jauh
Penginderaan Jauh merupakan suatu teknik untuk mengamati
benda/objek dimuka
bumi tanpa kontak langsung dengan benda/objek yang diamati.
-
Gambar 14. Penginderaan jauh dengan menggunakan sensor satelit
berjenis optis
Menurut directorate of public affair US Space Command saat ini
lebih dari 2000
satelit dari berbagai jenis mengorbit di bumi, baik itu satelit
militer, satelit
meteorologi, satelit penginderaan jauh (daratan dan lautan),
satelit telekomunikasi,
dan satelit navigasi.
Pengembangan teknologi penginderaan jauh dunia dicirikan dengan
dua
perkembangan umum, yaitu :
a. Pengembangan ruas antariksa yang dicirikan dengan
pengembangan satelit
dengan sensor beresolusi semakin tinggi, mencapai 1 meter, dan
penerapan
satelit pencitraan radar.
b. Pengembangan ruas darat, dicirikan dengan pengembangan
stasiun bumi
penerima data satelit yang semakin portable, pengembangan
teknologi
pengolahan data guna mentransformasikan data menjadi informasi,
serta
peningkatan jumlah pengguna.
BAB III
Kegiatan dalam Pengadaan Peta Rupa Bumi
3.1 Kerangka Dasar Pemetaan
Kerangka dasar pemetaan untuk pekerjaan rekayasa sipil pada
kawasan yang tidak
luas, sehingga bumi masih bisa dianggap sebagai bidang datar,
umumnya
merupakan bagian pekerjaan pengukuran dan pemetaan dari satu
kesatuan paket
pekerjaan perencanaan dan atau perancangan bangunan teknik
sipil. Titik-titik
kerangka dasar pemetaan yang akan ditentukan lebih dahulu
koordinat dan
ketinggiannya itu dibuat tersebar merata dengan kerapatan
teretentu, permanen,
mudah dikenali dan didokumentasikan secara baik sehingga
memudahkan
penggunaan selanjutnya.
Titik-titik ikat dan pemeriksaan ukuran untuk pembuatan kerangka
dasar pemetaan
pada pekerjaan rekayasa sipil adalah titik-titik kerangka dasar
pemetaan nasional
yang sekarang ini menjadi tugas dan wewenang BAKOSURTANAL. Pada
tempat-
tempat yang belum tersedia titik-titik kerangka dasar pemetaan
nasional, koordinat
-
dan ketinggian titik-titik kerangka dasar pemetaan ditentukan
menggunakan sistem
lokal.
Pembuatan titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional
direncanakan dan dirancang
berjenjang berdasarkan cakupan terluas dan terteliti turun
berulang memeperbanyak
atau merapatkannya pada sub-sub cakupan kawasan dengan
ketelitian lebih rendah.
Bahasan kerangka dasar pemetaan berikut lebih mengutamakan
teknik dan cara
pengukuran titik kerangka dasar pemetaan teristris, utamanya
cara polygon dan
sipat datar.
3.1.1 Titik Pengikat dan Pemeriksa
Titik pengikat (reference point) adalah titik dan atau
titik-titik yang diketahui
posisi horizontal dan atau ketinggiannya dan digunakan sebagai
rujukan atau
pengikatan untuk penentuan posisi titik yang lainnya. Dengan
mengetahui arah,
sudut, jarak dan atau beda tinggi suatu titik terhadap titik
pengikat, maka dapat
ditentukan koordinat dan atau ketinggian titik bersangkutan.
Titik pemeriksa (control point) adalah titik atau titik-titik
yang diketahui posisi
horizontal dan atau ketinggiannya yang digunakan sebagai
pemeriksa hasil
ukuran-ukuran yang dimulai dari suatu titik pemeriksa dan
diakhiri pada titik
pemeriksa yang sama atau titik pemeriksa yang lain. Dengan
demikian titik
pengikat juga bisa berfungsi sebagai titik pemeriksa.
Kedua pengertian tentang titik pengikat dan titik pemeriksa ini
mensyaratkan
adanya sistem posisi horizontal dan atau ketinggian yang sama
dan dengan
tingkat ketelitian yang sama pula pada titik pengikatan dan
pemeriksa yang
digunakan pada suatu pengukuran. Selain itu juga perlu
diperhatikan bahwa
ketelitian posisi titik pemeriksa harus lebih tinggi
dibandingkan dengan ketelitian
pengukuran.
Lazim dilakukan dalam suatu sistem pengukuran dan pemetaan,
titik pengikat
dan pemeriksa dibuat dan diukur berjenjang turun semakin rapat
dari yang
paling teliti hingga ke yang paling kasar ketelitiannya. Sudah
tentu titik pengikat
dan pemeriksa yang lebih rendah ketelitiannya diikatkan dan
diperiksa hasil
pengukurannya ke titik pengikat dan pemeriksa yang lebih tinggi
ketelitiannya.
-
Titik-titik pengikat dan pemeriksa yang digunakan untuk
pembuatan peta disebut
sebagai titik-titik kerangka dasar pemetaan. Pembuatan
titik-titik kerangka dasar
pemetaan sebagai titik ikat dan pemeriksaan di Indonesaia
dimulai oleh Belanda
dengan membuat titik-titik triangulasi dan tinggi teliti.
3.1.2 Kerangka Dasar Horizontal
Kerangka dasar horizontal merupakan kumpulan titik-titik yang
telah diketahui
atau ditentukan posisi horizontalnya berupa koordinat pada
bidang datar (X,Y)
dalam sistem proyeksi tertentu. Bila dilakukan dengan cara
teristris, pengadaan
kerangka horizontal bisa dilakukan menggunakan cara triangulasi,
trilaterasi atau
poligon. Pemilihan cara dipengaruhi oleh bentuk medan lapangan
dan ketelitian
yang dikehendaki.
Titik Triangulasi:
Pengadaan kerangka dasar horizontal di Indonesia dimulai di
pulau Jawa oleh
Belanda pada tahun 1862. Titik-titik kerangka dasar horizontal
buatan Belanda ini
dikenal sebagai titik triangulasi, karena pengukurannya
menggunakan cara
triangulasi. Hingga tahun 1936, pengadaan titik triangulasi oleh
Belanda ini telah
mencakup: pulau Jawa dengan datum Gunung Genuk, pantai Barat
Sumatra
dengan datum Padang, Sumatra Selatan dengan datum Gunung Dempo,
pantai
Timur Sumatra dengan datum Serati, kepulauan Sunda Kecil, Bali
dan Lombik
dengan datum Gunung Genuk, pulau Bangka dengan datum Gunung
Limpuh,
Sulawesi dengan datum Moncong Lowe, kepulauan Riau dan Lingga
dengan
datum Gunung Limpuh dan Kalimantan Tenggara dengan datum Gunung
Segara.
Posisi horizontal (X,Y) titik triangulasi dibuat dalam sistem
proyeksi Mercator,
sedangkan posisi horizontal peta topografi yang dibuat dengan
ikatan dan
pemeriksaan ke titik triangulasi dibuat dalam sistem proyeksi
Polyeder.
Titikk triangulasi buatan Belanda tersebut dibuat berjenjang
turun berulang, dari
cakupan luas paling teliti dengan jarak antar titik 20 - 40 km
hingga paling kasar
pada cakupan 1 - 3 km.
Tabel 1: Ketelitian posisi horizontral (X,Y) titik
triangulasi.
Titik Jarak Ketelitian M e t o d aP 20 - 40 km 0.07 m
TriangulasiS 10 - 20 km 0.53 m TriangulasiT 3 - 10 km 3.30 m
MengikatK 1 - 3 km - Polygon
Selain posisi horizontal (X,Y) dalam sistem proyeksi Mercator,
titik-titik
triangulasi ini juga dilengkapi dengan informasi posisinya dalam
sistem geografis
-
(j ,l ) dan ketinggiannya terhadap muka air laut rata-rata yang
ditentukan
dengan cara trigonometris.
Pengunaan datum yang berlainan berakibat koordinat titik yang
sama menjadi
berlainan bila dihitung dengan datum yang berlainan itu. Maka
mulai tahun 1974
mulai diupayakan satu datum nasional untuk pengukuran dan
pemetaan dalam
satu sistem nasional yang terpadu oleh BAKOSURTANAL.
Jaring Kerangka Geodesi Nasional (JKGN)
Upaya pemaduan titik kerangka horizontal nasional oleh
BAKOSURTANAL dimulai
tahun 1974 dengan menetapkan datum Padang sebagai Datum
Indonesia 1974
yang disingkat DI '74. Datum ini merupakan datum geodesi relatif
yang
diwujudkan dalam bentuk titik Doppler sebagai titik rujukan
(ikatan) dan
pemeriksaan (kontrol) dalam survai dan pemetaan di Indonesia.
Posisi pada
bidang datar (X,Y) titik kerangka dan peta berdasarkan datum ini
menggunakan
sistem proyeksi peta UTM (Universal Traverse Mercator).
Dalam pelaksanaannya jaring kontrol geodesi yang dengan
menggunakan cara
doppler ini sudah merupakan satu kesatuan sistem, tetapi belum
homogen dalam
ketelitian karena adanya perbedaan-perbedaan dalam cara
pengukuran maupun
penghitungannya. Meski demikian ketelitian titik-titik doppler
ini memadai untuk
pemetaan rupabumi skala 1 : 50 000.
Mulai tahun 1992, BAKOSURTANAL berhasil mewujudkan Jaring
Kontrol
Geodesi (Horizontal) Nasional yang mencakup seluruh wilayah
Indonesia,
berkesinambungan secara geometris, satu datum dan homogin dalam
ketelitian.
Pengadaan JKG(H)N ini menggunakan teknologi Global Positioning
System
(GPS).dan datum yang digunakan mengacu pada sistem ellipsoid
referensi
WGS84. Ketelitian relatif jarak basis antar titik-titik JKG(H)N
Orde 0 (nol)
mencapai fraksi 1x10-7 hingga 1x10-8 ppm, dengan simpangan baku
dalam fraksi
sentimeter. JKGN Orde 0 meliputi 60 titik/stasion.
Jejaring JKG(H)N Orde 0 diperapat dengan cara serupa dan disebut
JKG(H)N
Orde 1 yang ditempatkan di setiap kabupaten dan mudah
pencapaiannya.
Ketelitian relatif jarak basis antar titik-titik JKG(H)N Orde 1
ini mencapai fraksi
2x10-6 hingga 1x10-7 ppm, dengan simpangan baku < 10 cm.
-
Penempatan JKG(H)N Orde 0 dan 1 ini juga menempati berberapa
titik yang telah
diketahui posisi sebelumnya pada berbagai sistem datum. Dengan
demikian bisa
ditentukan pula hubungan WGS84 terhadap datum yang ada. Tahun
1996
BAKOSURTANAL menetapkan wilayah Republik Indonesia sebagai satu
kesatuan
wilayah kegiatan survai dan pemetaan menggunakan Datum Geodesi
Nasional
1995 disingkat DGN-95 dan posisi pada bidang datar berdasarkan
sistem
proyeksi peta UTM.
Jaring Kerangka Geodesi Nasional Orde 2 dan 3 (BPN)
Badan Pertanahan Nasional (BPN) mulai tahun 1996 menetapkan
penggunaan
DGN-95 sebagai datum rujukan pengukuran dan pemetaan di
lingkungan BPN
dengan pewujudannya berupa pengadaan Jaring Kontrol Geodesi
Nasional Orde
2, Orde 3 dan Orde 4.
Kerapatan titik-titik JKGN Orde 2 10 km dan 1 - 2 km untuk JKGN
orde 3.
Kedua kelas JKGN BPN ini diukur dengan menggunakan teknik GPS,
diikatkan dan
diperiksa hasil ukurannya ke titik-titik JKGN Bakosurtanal Orde
0 dan 1. Posisi
horizontal (X,Y) JKGN BPN dalam bidang datar dinyatakan dalam
sistem proyeksi
peta TM-3, yaitu sistem proyeksi transverse mercator dengan
lebar zone 3.
Khusus untuk JKGN BPN Orde 4, dengan kerapatan hingga 150 m,
pengukurannya dilakukan dengan cara poligon yang terikat dan
terperiksa pada
JKGN BPN Orde 3 serta hitungan perataannya menggunakan cara
Bowditch.
3.1.3 Kerangka Dasar Vertikal
Kerangka dasar vertikal merupakan kumpulan titik-titik yang
telah diketahui atau
ditentukan posisi vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap
bidang rujukan
ketinggian tertentu. Bidang ketinggian rujukan ini bisa berupa
ketinggian muka
air laut rata-rata (mean sea level - MSL) atau ditentukan lokal.
Umumnya titik
kerangka dasar vertikal dibuat menyatu pada satu pilar dengan
titik kerangka
dasar horizontal.
Pengadaan jaring kerangka dasar vertikal dimulai oleh Belanda
dengan
menetapkan MSL di beberapa tempat dan diteruskan dengan
pengukuran sipat
datar teliti. Bakosurtanal, mulai akhir tahun 1970-an memulai
upaya penyatuan
sistem tinggi nasional dengan melakukan pengukuran sipat datar
teliti yang
melewati titik-titik kerangka dasar yang telah ada maupun
pembuatan titik-titik
baru pada kerapatan tertentu. Jejaring titik kerangka dasar
vertikal ini disebut
sebagai Titik Tinggi Geodesi (TTG).
-
Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi sipat datar masih
merupakan cara
pengukuran beda tinggi yang paling teliti. Sehingga ketelitian
kerangka dasar
vertikal (K) dinyatakan sebagai batas harga terbesar perbedaan
tinggi hasil
pengukuran sipat datar pergi dan pulang. Pada Tabel 2
ditunjukkan contoh
ketentuan ketelitian sipat teliti untuk pengadaan kerangka dasar
vertikal. Untuk
keperluan pengikatan ketinggian, bila pada suatu wilayah tidak
ditemukan TTG,
maka bisa menggunakan ketinggian titik triangulasi sebagai
ikatan yang
mendekati harga ketinggian teliti terhadap MSL.
Tabel 2 Tingkat ketelitian pengukuran sipat datar.Tingkat /
Orde
K
I 3 mmII 6 mmIII 8 mm
3.2 Polygon Kerangka Dasar
Cara pengukuran polygon merupakan cara yang umum dilakukan
untuk
pengadaan kerangka dasar pemetaan pada daerah yang tidak terlalu
luas -
sekitar (20 km x 20km). Berbagai bentuk polygon mudah dibentuk
untuk
menyesuaikan dengan berbagai bentuk medan pemetaan dan
keberadaan titik-
titik rujukan maupun pemeriksa.
3.2.1 Ketentuan Poligon Kerangka Dasar
Tingkat ketelitian, sistem koordinat yang diinginkan dan keadaan
medan
lapangan pengukuran merupakan faktor-faktor yang menentukan
dalam
menyusun ketentuan poligon kerangka dasar. Tingkat ketelitian
umum dikaitkan
dengan jenis dan atau tahapan pekerjaan yang sedang dilakukan.
Sistem
koordinat dikaitkan dengan keperluan pengukuran pengikatan.
Medan lapangan
pengukuran menentukan bentuk konstruksi pilar atau patok sebagai
penanda titik
di lapangan dan juga berkaitan dengan jarak selang penempatan
titik.
Contoh 1
Pada pekerjaan perancangan rinci (detailed design) peingkatan
jalan sepanjang
20 km di sekitar daerah padat hunian diperlukan:
a. Peta topografi skala 1 : 1 000,
b. Sistem koordinat nasional (umum),
c. BM dipasang setiap 2 km, dan
d. Salah penutup koordinat 1 : 10 000.
Berdasarkan keperluan peta ini, bila pemetaan dilakukan secara
teristris,
diturunkan ketentuan poligon kerangka dasar:
-
Alat ukur sudut yang digunakan dengan ketelitian satu sekon, dan
sudut
diukur dalam
4 seri pengukuran.
Alat ukur pengamatan matahari untuk menentukan jurusan awal
dan
jurusan akhir.
Jarak antar titik polygon 0.1 - 2 km dan ketelitian alat ukur
jarak 10 ppm.
Salah penutup sudut polygon = 10" N, dengan N = jumlah titik
poligon.
Salah penutup koordinat 1 : 10 000:
Bila fx adalah salah penutup absis, fy adalah salah penutup
ordinat dan D
adalah total jarak sisi-sisi poligon, maka salah penutup
koordinat:
S = {(fx2 + fy2)/D}1/2 harus 1 : 10 000.
Bakuan BM: ukuran, bahan, notasi.
3.2.2 Tata Cara Poligon Kerangka Dasar
Tata cara poligon kerangka dasar disusun berdasarkan ketentuan
poligon yang
memenuhi kebutuhan pemetaan yang diperlukan. Secara umum, tata
cara
meliputi: oragnisasi pelaksanaan secara umum, perlatan,
pengukuran dan
pencatatan, hitungan perataan dan pelaporan.
Kasus:
Berdasarkan ketentuan poligon pada Contoh 1 di atas.
Gambar 15: Poligon terbuka terikat di ujung dan akhir untuk
pembuatan kerangka peta. 1. Diperlukan titik ikat dan pemeriksa di
awal dan akhir lokasi pekerjaan:
a. Telah terdapat kedua titik ikat/pemeriksa: diperlukan
pengamatan azimuth,
b. Belum terdapat kedua titik: pengamatan (j , l ) dan posisinya
dalam sistem
umum serta pengamatan azimuth.
2. Pembuatan, pemasangan dan dokumentasi BM.
3. Penyiapan alat hingga siap untuk pengukuran dan tidak
mengandung salah
sistematis.
4. Pengukuran yang menghilangkan atau meminimalkan pengaruh
semua
kesalahan dan
dicapai ketelitian yang diinginkan.
5. Perekaman bersistem menggunakan media konvensioanal ataupun
dijital.
6. Hitungan dan perataan koordinat cara BOWDITCH:
fa = (a AKHIR a AWAL) - b I + n 180 dan fa 10" N
fX = (XAKHIR XAWAL) dI sin a I
-
fY = (YAKHIR YAWAL) dI cos a I dan (fX2 + fY2) / dI 1 : 10
000
d XI = (dI / S dI) fX dan X2 = X1 + D X12 + d X12
d Y = (dI / S dI) fY dan Y2 = Y1 + D Y12 + d Y12
7. Pelaporan dan penysunan daftar koordinat.
Sistem umum atau nasional adalah sistem yang berlaku secara
nasional
menggunakan bidang datum dan sistem proyeksi peta yang berlaku
umum
secara nasional.
Posisi (j ,l ) bisa diperoleh dengan cara pengamatan astronomis
atau cara GPS
(global positioning systems) melalui pengamatan satelit.
3.3 Sipat Datar Kerangka Dasar
Pengukuran beda tinggi cara sipat datar mudah dilaksanakan pada
daerah relatif
datar dan terbuka. Pada daerah pegunungan, terjal atau tertutup
berakibat jarak
pandang yang semakin pendek. Jumlah pengamatan pada selang
pengukuran
yang sama bertambah, sehingga memperbesar kemungkinan dan
besaran
kesalahan atau mengurangi ketelitian. Bila titik poligon sebagai
titik kerangka
horizontal juga merupakan titik tinggi kerangka vertikal, maka
penempatannya
harus memungkinkan pelaksanaan pengukuran sipat datar.
3.3.1 Ketentuan Sipat Datar Kerangka Dasar
Tingkat ketelitian ukuran beda tinggi sipat datar untuk kerangka
dasar pemetaan
ditentukan oleh tahapan dan jenis pekerjaan. Ketelitian tinggi
pada perencanaan
dan perancangan jalan secara umum tidak perlu seteliti untuk
pekerjaan
pengairan. Keberadaan titik ikatan di lokasi berpengaruh pada
volume pekerjaan
pengikatan.
Contoh 2:
Bila pada Contoh 1 di atas, titik-titik KDH yang dipasang juga
merupakan titik-
titik KDV, maka diperlukan, misalnya:
a. Sistem tinggi menggunakan sistem nasional, dan
b. Kesalahan beda tinggi terbesar 6 Dkm mm.
Berdasarkan keperluan ketelitian tinggi ini, diturunkan
ketentuan sipat datar
kerangka dasar:
Alat ukur sipat datar yang digunakan mampu untuk membaca sampai
ke
fraksi mm, pengukuran beda tinggi dilakukan pergi pulang dan
masing-
masing pengukuran dilakukan dua kali.
Jarak alat ke rambu ukur 10 60 m.
Salah penutup beda tinggi antar BM dan pengukuran kurang atau
sama
dengan 6 Dkm
-
3.3.2 Tata Cara Sipat Datar Kerangka Dasar
Tata cara sipat datar kerangka dasar harus sepadan dengan
persayaratan dalam
ketentuan sipat datar yang memenuhi kebutuhan penentuan
ketinggian dalam
sistem tinggi yang diinginkan. Tata caranya meliputi: oragnisasi
pelaksanaan
secara umum, perlatan, pengukuran dan pencatatan, hitungan
perataan dan
pelaporan.
Kasus:
Berdasarkan bentuk KDH pada Contoh 2 di atas.
1. Diperlukan titik ikat dan pemeriksa serta pengikatan di awal
dan akhir lokasi
pekerjaan.
2. Penyiapan alat hingga siap untuk pengukuran dan tidak
mengandung salah
sistematis.
3. Pengukuran yang menghilangkan atau meminimalkan pengaruh
semua
kesalahan dan
dicapai ketelitian yang diinginkan.
5. Perekaman bersistem menggunakan media konvensioanal ataupun
dijital.
6. Hitungan dan perataan beda tinggi:
fH = (HAKHIR XAWAL) D H dan fH kurang dari 6 Dkm
d H = (1 / n) fH dan H2 = H1 + D H12 + d H12 dengan jarak ukur
seragam.
7. Pelaporan dan penysunan daftar koordinat.
3.4 Urutan Kegiatan Penyelenggaraan Kerangka Dasar Pemetaan
Urutan pekerjaan pengadaan kerangka dasar pemetaan secara
umum:
Peninjauan lapangan:
Pengumpulan informasi keadaaan lapangan seperti titik-titik yang
sudah ada,
medan dan kesampaian lapangan, administrasi teknis dan
non-teknis seperti
perijinan dan lain-lainnya.
Perencanaan:
a. Bentuk kerangka, ketelitian dan penempatan serta kerapatan
titik-titik
kerangka,
b. Peralatan ukur yang akan digunakan,
c. Tata-cara pengukuran dan pencatatan yang sepadan dengan
ketelitian dan
cara serta
alat yang digunakan,
d. Bentuk dan bahan titik pilar dan cara pemasangannya,
-
e. Jadual pelaksanaan pekerjaan termasuk jadual personil,
peralatan dan
logistik,
f. Tata-laksana pekerjaan administrasi, teknis. Personil,
peralatan dan logistik.
Pemasangan dan penandaan patok / pilar:
a. Pilar dan patok dipasang agar kuat dan stabil pada tenggang
waktu yang
direncanakan,
b. Lokasi pilar dan patok harus aman, stabil dan terjangkau
serta mudah
pengukurannya,
c. Memasang tanda pengenal pilar dan patok,
d. Membuat deskripsi lokasi, struktur, cara dan pelaksana
pemasangan pilar.
Pengukuran:
Pengukuran dilaksanakan sesuai ketentuan yang dibuat pada
perencanaan
pengukuran.
Perhitungan:
a. Menghitung dan membuat koreksi hasil ukuran,
b. Mereduksi hasil ukuran,
c. Menghitung data titik kontrol, misalnya azimuth,
d. Menghitung koordinat dan ketinggian.
Bila data KDH akan dinyatakan dalam sistem proyeksi peta
tertentu -
misalnya UTM, maka juga harus dilakukan reduksi data ukuran ke
sistem
proyeksi. Hitungan koordinat dan ketinggian definitif
menggunakan cara
perataan sederhana BOWDITCH misalnya, atau menggunakan cara
perataan
kwadrat (kesalahan) terkecil.
Menyusun daftar Koordinat dan Ketinggian:
Daftar dibuat dalam bentuk kolom yang menunjukkan nomor titik
pilar,
koordinat, dan ketinggian serta keterangan sistem koordinat dan
rujukan
ketinggian yang digunakan.
BAB IV
Rangkuman
Peta rupa bumi adalah peta yang berisikan informasi-informasi
kebumian secara
umum. Seperti jalan, sungai, pemukiman, sawah, perkebunan,
danau, ketinggian
(kontur) dan lain sebagainya.
-
Memetakan suatu daerah mempunyai arti menentukan posisi
sekumpulan titik pada
permukaan bumi di daerah tersebut. Ilmu geodesi berperan dalam
memberikan
kerangka pemetaan yang disebut dengan kerangka geodetik.
Teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk membuat suatu peta rupa
bumi diantaranya
adalah : GPS, Fotogrametri, Terestris dan Penginderaan jauh.
Urutan kegiatan pembuatan peta rupa bumi secara umum adalah
sebagai berikut :
1. Perencanaan, memutuskan teknik dan metoda pemetaan apa yang
akan
dipakai, sesuai dengan kebutuhan (luas area yang akan dipetakan
dan skala yang
akan dibuat).
2. Persiapan, mencangkup survey pendahuluan dan persiapan alat
yang akan
digunakan, mobilisasi survey, pembuatan titik kerangka dasar
(kalau belum ada),
dll.
3. Pengambilan data lapangan.
4. Pengolahan data.
5. Evaluasi dan perbaikan
6. Proses kartografi.
7. Ploting peta rupa bumi.
Daftar Pustaka
Kahar, J. (2003), Aplikasi Teknologi Satelit Dalam Kegiatan
Geodesi, DTGD-ITB,
Bandung.
Purworhardjo, U., (1985), Menghilangkan Kesalahan Sistematik
Padapendapatan
Ukuran Serta Penerapan Dalil-dalil Kesalahan dan Perataan
Kwadrat
Terkecil, Jurusan Teknik Geodesi ITB, Bandung.
Purworhardjo, U., (1986), Ilmu Ukur Tanah Seri C - Pengukuran
Topografi, Jurusan
Teknik Geodesi ITB, Bandung, Bab 4 dan 5.
Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran
Topografi dan
Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 5.
Wirshing, J.R. and Wirshing, R.H., (1985), Teori dan Soal
Pengantar Pemetaan
Terjemahan, Introductory Surveying, Schaum Series, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 1995, Bab 14.
-
Villenauve, K. J., (1978), Kartografi; Sejarah dan Pengantar,
DTGD-ITB, Bandung
Wongsotjitro, Soetomo, (1980), Ilmu Ukur Tanah, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta,
Bab 4 dan 8.
http://ft.uns.ac.id/ts/kul_ol/iut_2/iut2ku3.html