Top Banner
BAB II BRONKITIS AKUT 2.1. Definisi Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus berserta cabang – cabangnya yang disertai dengan gejala batuk dengan atau tanpa sputum yang dapat berlangsung sampai 3 minggu. Tidak dijumpai kelainan radiologi pada bronkitis akut. Gejala batuk pada bronkitis akut harus dipastikan tidak berasal dari penyakit saluran pernapasan lainnya. (Gonzales R, Sande M, 2008). -3-
33

60534923 BAB II Bronkitis Akut

Jan 19, 2016

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

BAB II

BRONKITIS AKUT

2.1. Definisi

Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus

berserta cabang – cabangnya yang disertai dengan gejala batuk dengan atau tanpa

sputum yang dapat berlangsung sampai 3 minggu. Tidak dijumpai kelainan

radiologi pada bronkitis akut. Gejala batuk pada bronkitis akut harus dipastikan

tidak berasal dari penyakit saluran pernapasan lainnya. (Gonzales R, Sande M,

2008).

Gambar 1. Bronkitis akut

(Sumber: www.usdrugstore.blogspot.com, diakses tanggal 16 Juli 2011; 19.00

WIB)

2.2. Etiologi:

Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :

Infeksi virus : influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial

virus (RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain.

-3-

Page 2: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis,

Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik

(Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella)

Jamur

Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain.

Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak

90% sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10% (Jonsson J, Sigurdsson J,

Kristonsson K, et al, 2008).,

2.3. Anatomi dan Fisiologi

2.3.1. Anatomi

Bronkitis akut terjadi pada bronkus dan cabang – cabangnya, oleh karena

itu perlu diketahui terlebih dahulu anatomi dan fisiologi dari saluran pernapasan.

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri akan

bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini

berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai

akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung

alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm.

Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos

sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini

disebut saluran penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke

tempat pertukaran gas terjadi ( Wilson LM, 2006).

Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari

paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus

alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki

diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea

sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di

dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang

memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun

-4-

Page 3: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas

satu lapangan tenis ( Wilson LM, 2006).

Gambar 2. Anatomi saluran napas. (Sumber : Hasan I, 2006)

Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh

kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu

tegangan permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan

cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai

lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat

inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh

sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim

biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat

serta perfusi ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta

mekanisme inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang mempengaruhi

-5-

Page 4: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema, dan penyakit lainnya

(Wilson LM, 2006)

Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra

dan bronchus sinistra:

Bronkus dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan

letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh desakan

dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda

asing mudah masuk ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan

masuk kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos

melengkung di sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya berada di

sebelah inferior, kemudian berada di sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang

(bronkus sekunder), masing-masing menuju ke lobus superior, lobus medius, dan

lobus inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior letaknya di

sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkusepar ter ialis. Cabang bronkus

yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudal

a.pulmonalis disebut bronkushyparterialis. Selanjutnya bronkus sekunder tersebut

mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo (Luhulima JW,

2004).

Bronkus sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya

lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae,

menyilang di sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta thoracalis.

Pada mulanya berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah

dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang

menuju ke lobus superior dan lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis.

Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus terdapat lymphonodus

tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal)

terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh

vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari N.vagus, n.

Recurrens, dan truncus sympathicus (Luhulima JW, 2004).

-6-

Page 5: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

2.3.2. Fisiologi

2.3.2.1. Struktur dan fungsi saluran napas normal

2.3.2.1.1. Sel epitel permukaan

Sel epitel permukaan pada saluran intrapulmoner pada dasarnya

dibentuk oleh dua tipe sel, yaitu sel silia dan sel sekretori. Sel sekretori

dibagi menjadi subtipe berdasarkan penampakan mikroskopik (misalnya

Sel clara, goblet dan serous ). Selain musin, sel sekretori juga melepaskan

beberapa molekul antikmikroba (sebagai contaoh defensin, lisosim, dan

IgA), molekul immunomodulator (sekretoglobin dan sitokin) dan molekul

pelindung (protein trefoil dan heregulin), semuanya ini tergabung dalam

mukus. (Fahy JV, Dickey BF, 2010)

2.3.2.1.2. Kelenjar submukosa

Pada saluran napas besar (diameter lumen >2mm), kelenjar

submukosa berkontribusi pada sekresi musin (Gambar 3). Kelenjar

dihubungan dengan lumen saluran napas oleh duktus silia superfisial yang

mendorong sekresi keluar dan duktus kolektus nonsilia profundus.

Kelenjar sumukosa berlokasi diantara otot polos dan kartilago. Sel mukous

membentuk 60% volume kelenjar. Sel serous yang berlokasi didistal,

membentuk 40% volume kelenjar, mensekresi proyeoglikan dan protein

antimikroba. Pada keadaan patologi, volume kenjar submukosa dapat

meningkat melebihi volume normal. (Fahy JV,Dickey BF, 2010)

2.3.2.1.3. Lapisan mukosa (lapisan lendir)

Lendir melapisi seluruh saluran napas, dimana kandungan

terbanyaknya adalah cairan, dengan kerakteristik fisik solid. Kandungan

normal mukus adalah 97% air dan 3 % solid (musin, protein nonmusin,

garam, lemak dan sel debris). (Fahy JV, Dickey BF, 2010)

-7-

Page 6: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

Gambar 3. Mukus klirens pada saluran napas yang normal. (Sumber :Fahy JV, Dickey BF, 2010)

2.3.2.2. Mekanisme klirens saluran napas

Pertama, mukus didorong ke proksimal saluran napas oleh gerakan silia,

yang akan membersihkan partikel-partikel inhalasi, patogen dan menghilangkan

bahan-bahan kimia yang mungkin dapat merusak paru. Musin polimerik secara

-8-

Page 7: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

terus-menerus disintesis dan disekresikan untuk melapisi lapisan mukosa.

Kecepatan normal silia 12 sampai 15x/detik, menghasilkan kecepatan 1mm/menit

untuk membersihkan lapisan mukosa. Kecepatan mucociliary clearance

meningkat dalam keadaan hidrasi tinggi. Dan kecepatan gerakan silia meningkat

oleh aktivitas purinergik, adrenergik, kolinergik dan reseptor agonis adenosin,

serta bahan iritan kimia. Mekanisme kedua, adalah dengan mengeluarkan mukus

dengan refleks batuk. Ini mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa

penyakit paru yang disebabkan oleh kerusakan fungsi silia tidak terlalu berat

dibandingkan dengan yang disebabkan dehidrasi, yang menghalangi kedua

mekanisme klirens saluran napas. Meskipun batuk berkontribusi dalam

membersikan mukus pada penyakit dengan peningkatan produksi mukus atau

gangguan fungsi silia, ini dapat menyulitkan gejala (Fahy JV, Dickey BF, 2010).

2.4. Patogenesis

Seperti disebutkan sebelumnya penyebab dari bronkitis akut adalah virus,

namun organisme pasti penyebab bronkitis akut sampai saat ini belum dapat

diketahui, oleh karena kultur virus dan pemeriksaan serologis jarang dilakukan.

Adapun beberapa virus yang telah diidentifikasi sebagai penyebab bronkitis akut

adalah virus – virus yang banyak terdapat di saluran pernapasan bawah yakni

influenza B, influenza A, parainfluenza dan respiratory syncytial virus (RSV).

Influenza sendiri merupakan virus yang timbul sekali dalam setahun dan

menyebar secara cepat dalam suatu populasi. Gejala yang paling sering akibat

infeksi virus influenza diantaranya adalah lemah, nyeri otot, batuk dan hidung

tersumbat. Apabila penyakit influenza sudah mengenai hampir seluruh populasi di

suatu daerah, maka gejala batuk serta demam dalam 48 jam pertama merupakan

prediktor kuat seseorang terinfeksi virus influenza. RSV biasanya menyerang

orang – orang tua yang terutama mendiami panti jompo, pada anak kecil yang

mendiami rumah yang sempit bersama keluarganya dan pada tempat penitipan

anak. Gejala batuk biasanya lebih berat pada pasien dengan bronkitis akut akibat

infeksi RSV (Zambon M, Stockton J, Clewley J, et al, 2009)

-9-

Page 8: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

Virus yang biasanya mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas

seperti rhinovirus, adenovirus dapat juga mengakibatkan bronkitis akut. Gejala

yang dominan timbul akibat infeksi virus ini adalah hidung tersumbat, keluar

sekret encer dari telinga (rhinorrhea) dan faringitis (Gonzales R, Sande M, 2008).

Bakteri juga memerankan perannya dalam pada bronkitis akut, antara lain,

Bordatella pertusis, bordatella parapertusis, Chlamydia pneumoniae dan

Mycoplasma pneumoniae. Infeksi bakteri ini biasanya paling banyak terjadi di

lingkungan kampus dan di lingkungan militer. Namun sampai saat ini, peranan

infeksi bakteri dalam terjadinya bronkitis akut tanpa komplikasi masih belum

pasti, karena biasanya ditemukan pula infeksi virus atau terjadi infeksi campuran

(Sidney S. Braman, 2006).

Pada kasus eksaserbasi akut dari bronkitis kronik, terdapat bukti klinis

bahwa bakteri – bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis

dan Haemophilus influenzae mempunyai peranan dalam timbulnya gejala batuk

dan produksi sputum. Namun begitu, kasus eksaserbasi akut bronkitis kronik

merupakan suatu kasus yang berbeda dengan bronkitis akut, karena ketiga bakteri

tersebut dapat mendiami saluran pernapasan atas dan keberadaan mereka dalam

sputum dapat berupa suatu koloni bakteri dan ini bukan merupakan tanda infeksi

akut (Sidney S. Braman, 2006).

Penyebab batuk pada bronkitis akut tanpa komplikasi bisa dari berbagai

penyebab dan biasanya bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada

keadaan normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary

defence, yaitu sistem penjagaan paru-paru yang dilakukan oleh mukus dan siliari.

Pada pasien dengan bronkhitis akut, sistem mucocilliary defence paru-paru

mengalami kerusakan sehingga lebih mudah terserang infeksi. Ketika infeksi

timbul, akan terjadi pengeluaran mediator inflamasi yang mengakibatkan kelenjar

mukus menjadi hipertropi dan hiperplasia (ukuran membesar dan jumlah

bertambah) sehingga produksi mukus akan meningkat. Infeksi juga menyebabkan

dinding bronkhial meradang, menebal (sering kali sampai dua kali ketebalan

normal), dan mengeluarkan mukus kental. Adanya mukus kental dari dinding

bronkhial dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus dalam jumlah banyak akan

-10-

Page 9: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar.

Mukus yang kental dan pembesaran bronkhus akan mengobstruksi jalan napas

terutama selama ekspirasi (Gambar 4) .Jalan napas selanjutnya mengalami kolaps

dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru.. Pasien mengalami

kekurangan 02, iaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, di mana

terjadi penurunan PO2 Kerusakan ventilasi juga dapat meningkatkan nilai

PCO,sehingga pasien terlihat sianosis (Melbye H, Kongerud J, Vorland L, 2009).

Pada bronkitis akut akibat infeksi virus, pasien dapat mengalami reduksi

nilai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) yang reversibel. Sedangkan

pada infeksi akibat bakteri M. pneumoniae atau C. Pneumoniae biasanya

mempunyai nilai reduksi FEV1 yang lebih rendah serta nilai reversibilitas yang

rendah pula (Melbye H, Kongerud J, Vorland L, 2009).

Gambar 3: Patogenesis Bronkitis Akut

-11-

Page 10: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

2.5. Gejala klinis:

Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-

3 minggu. Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih,

putih, kuning kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai

gejala berikut ini :

Demam,

Sesak napas,

Bunyi napas mengi atau – ngik

Rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada

Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti gejala – gejala infeksi

saluran respiratori seperti rhinitis dan faringitis. Batuk biasanya muncul 3 – 4 hari

setelah rhinitis. Batuk pada mulanya keras dan kering, kemudian seringkali

berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan produktif. Karena anak – anak

biasanya tidak membuang lendir tapi menelannya, maka dapat terjadi gejala

muntah pada saat batuk keras dan memuncak. Pada anak yang lebih besar,

keluhan utama dapat berupa produksi sputum dengan batuk serta nyeri dada pada

keadaaan yang lebih berat.

Karena bronchitis akut biasanya merupakan kondisi yang tidak berat dan

dapat membaik sendiri, maka proses patologis yang terjadi masih belum diketahui

secara jelasa karena kurangnya ketersediaanjaringan untuk pemeriksaan. Yang

diketahui adalah adanya peningkatan aktivitas kelenjar mucus dan terjadinya

deskuamasi sel – sel epitel bersilia. Adanya infiltrasi leukosit PMN ke dalam

dinding serta lumen saluran respiratori menyebabkan sekresi tampak purulen.

Akan tetapi karena migrasi leukosit ini merupakan reaksi nonspesifik terhadap

kerusakan jalan napas, maka sputum yang purulen tidak harus menunjukkan

adanya superinfeksi bakteri.

Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal.

Seiring perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam

ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing ataupun suara kombinasi. Hasil

pemeriksaan radiologist biasanya normal atau didapatkan corakan bronchial. Pada

-12-

Page 11: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

umumnya gejala akan menghilang dalam 10 -14 hari. Bila tanda – tanda klinis

menetap hingga 2 – 3 minggu, perlu dicurigai adanya infeksi kronis. Selain itu

dapat pula terjadi infeksi sekunder.

TAMBAHAN: Sebagian besar terapi bronchitis akut viral bersifat

suportif. Pada kenyataannya rhinitis dapat sembuh tanpa pengobatan sama sekali.

Istirahat yang cukup, masukan cairan yang adekuat serta pemberian asetaminofen

dalam keadaan demam bila perlu, sudah mencukupi untuk beberapa kasus.

Antibiotik sebaiknya hanya digunakan bila dicurigai adanya infeksi bakteri atau

telah dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemberian antibiotik

berdasarkan terapi empiris biasanya disesuaikan dengan usia, jenis organisme

yang biasa menginfeksi dan sensitivitas di komunitas tersebut. Antibiotik juga

telah dibuktikan tidak mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder, sehingga

tidak ada tempatnya diberikan pada bronchitis akut viral.

Bila ditemukan wheezing pada pemeriksaan fisik, dapat diberikan

bronkodilator ß2 agonist, tatapi diperlukan evaluasi yang seksama terhadap respon

bronkus untuk mencegah pemberian bronkodilator yang berlebihan.

Jumlah bronchitis akut bakterial lebih sedikit daripada bronchitis akut

viral. Invasi bakteri ke bronkus merupakan infeksi sekunder setelah terjadi

kerusakan permukaan mukoasa oleh infeksi virus sebelumnya. Sebagai contoh.,

percobaan pada tikus, infeksi virus influenza menyebabkan deskuamasi luas epitel

bersilia di trakea, sehingga bakteri seperi Pseudomonas aeruginosa yang

seharusnya dapat tersapu dapat beradhesi di permukaan epitel.

Hingga saat ini, bakteri penyebab bronchitis akut yang telah diketahui

adalah Staphylococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Mycoplasma

pneumoniae juga dapat menyebabkan bronchitis akut, dengan karakteristik klinis

yang tidak khas, dan biasanya terjadi pada anak berusia di atas 5 tahun atau

remaja. Chlamydia sp pada bayi dapat menyebabkan trakeobronkitis akut dan

penumonitis dan terapi pilihan yang dibeikan adalah eritromisin. Pada anak yang

berusia di atas 9 tahun dapat diberikan tertrasiklin. Untuk terapi efektif dapat

diberikan eritromisin atau tertrasiklin untuk anak – anak di atas usia 9 tahun

-13-

Page 12: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

Pada anak – anak yang tidak diimunisasi, infeksi Bordatella pertusis dan

Corynebacterium diphteriae dihubungkan dengan kejadian trakeobronkitis.

Selama stadium kataral pertusis, gejala – gejala infeksi respiratori lebih dominan,

berupa rhinitis, konjungtivitis, demam sedang dan batuk. Pada stadium

paroksismal, frekuensi dan keparahan batuk meningkat. Gejala khas berupa batuk

kuat berturut – turut dalam satu ekspirasi, yang diikuti dengan usaha keras dan

mendadak untuk ekspirasi, sehingga menyebabkan timbulnya whoop. Batuk ini

biasanya menghasilkan mukus yang kental dan lengket. Muntah pascabatuk

(posttusve emesis) dapat juga terjadi pada stadium paroksismal.

Hasil pemeriksaan laboratorium patologi menunjukkan adanya infiltrasi

mukosa oleh limfosit dan leukosit PMN. Diagnosis dapat dipastikan dengan

pemeriksaan klutur dan sekresi mukus. Pengobatan pertusis sebagian besar

bersifat suportif. Pemberian eritromisin dapat mengusir kuman pertusis dari

nasofaring dalam waktu 3 – 4 hari, sehingga mengurangi penyebaran penyakit.

Pemberian selama 14 hari setelah awitan penyakit selanjutnya dapat

menghentikan penyakit.

Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi

saluran pernafasan lainnya. Oleh karena itu sebelum memikirkan bronkitis akut,

perlu dipikirkan kemungkinan lainnya seperti pneumonia, common cold, asma

akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik dan PPOK (Sidney S. Braman, 2006).

2.6. Diagnosis

Diagnosis dari bronkitis akut dapat ditegakkan bila; pada anamnesa pasien

mempunyai gejala batuk yang timbul tiba – tiba dengan atau tanpa sputum dan

tanpa adanya bukti pasien menderita pneumonia, common cold, asma akut,

eksaserbasi akut bronkitis kronik dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Pada pemeriksaan fisik pada stadium awal biasanya tidak khas. Dapat ditemukan

adanya demam, gejala rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau faring hiperemis.

Sejalan dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi dada

dapat terdengar ronki, wheezing, ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi

-14-

Page 13: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

lainnya. Bila lendir banyak dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah.

(Sidney S. Braman, 2006).

Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk menyingkirkan

kemungkinan pneumonia pada pasien dengan batuk disertai dengan produksi

sputum yang dicurigai menderita bronkitis akut, yang antara lain bila tidak

ditemukan keadaan sebagai berikut:

Denyut jantung > 100 kali per menit

Frekuensi napas > 24 kali per menit

Suhu > 38°C

Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan

peningkatan suara napas.

Bila keadaan tersebut tidak ditemukan, kemungkinan pneumonia dapat

disingkirkan dan dapat mengurangi kebutuhan untuk foto thorax (Sidney S.

Braman, 2006).

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang memberikan hasil definitif untuk

diagnosis bronkitis. Pemeriksaan kultur dahak diperlukan bila etiologi bronkitis

harus ditemukan untuk kepentingan terapi. Hal ini biasanya diperlukan pada

bronkitis kronis. Pada bronkitis akut pemeriksaan ini tidak berarti banyak karena

sebagian besar penyebabnya adalah virus.Pemeriksaan radiologis biasanya normal

atau tampak corakan bronkial meningkat.   Pada beberapa penderita menunjukkan

adanya penurunan ringan uji fungsi paru. Akan tetapi uji ini tidak perlu dilakukan

pada penderita yang sebelumnya sehat. (Sidney S. Braman, 2006).

2.7. Differensial Diagnosis

Batuk dengan atau tanpa produksi sputum dapat dijumpai pada common

cold. Common cold sendiri merupakan istilah konvensional dari infeksi saluran

pernapasan atas yang ringan, gejalanya terdiri dari adanya sekret dari hidung,

bersin, sakit tenggorok dan batuk serta bias juga dijumpai demam, nyeri otot dan

lemas. Seringkali common cold dan bronkitis akut memiliki gejala yang sama dan

sulit dibedakan. Batuk pada common cold merupakan akibat dari infeksi saluran

pernapasan atas yang disertai postnasal drip dan pasien biasanya sering berdeham.

-15-

Page 14: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

Batuk pada bronkitis akut disebabkan infeksi pada saluran pernapasan bawah

yang dapat didahului oleh infeksi pada saluran pernapasan atas dan oleh sebab itu

mempersulit penegakkan diagnosis penyakit ini. (Sidney S. Braman, 2006).

Bronkitis akut juga sulit dibedakan dengan eksaserbasi akut bronkitis

kronik dan asma akut dengan gejala batuk. Dalam suatu penelitian mengenai

bronkitis akut, asma akut seringkali didiagnosa sebagai suatu bronkitis akut pada

1/3 pasien yang datang dengan gejala batuk. Oleh karena kedua penyakit ini

memiliki gejala yang serupa, maka satu – satunya alat diagnostik adalah dengan

mengevaluasi bronkitis akut tersebut, apakah merupakan suatu penyakit tersendiri

atau merupakan awal dari penyakit kronik seperti asma. (Sidney S. Braman,

2006).

Bronkitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang dapat sembuh

sendiri dan bila batuk lebih dari 3 minggu maka diagnosis diferensial lainnya

harus dipikirkan. Pasien dengan riwayat penyakit paru kronik sebelumnya seperti

bronkitis kronik, PPOK dan bronkiektasis, pasien dengan gagal jantung dan

dengan gangguan sistem imun seperti AIDS atau sedang dalam kemoterapi,

merupakan kelompok yang beresiko tinggi terkena bronkitis akut dan dalam hal

ini kelompok tersebut merupakan pengecualian. (Sidney S. Braman, 2006).

2.8. Tatalaksana

Suatu studi penelitian menyebutkan bahwa beberapa pasien dengan

bronkitis akut sering mendapatkan terapi yang tidak tepat dan gejala batuk yang

mereka derita seringkali berasal dari asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik

atau common cold. Beberapa penelitian menyebutkan terapi untuk bronkitis akut

hanya untuk meringankan gejala klinis saja dan tidak perlu pemberian antibiotik

dikarenakan penyakit ini disebabkan oleh virus (Sidney S. Braman, 2006).

2.8.1. Pemberian antibiotik

Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 65 – 80 % pasien dengan

bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui bahwa

pemberian antibiotik sendiri tidak efektif (Linder J, Sim I, 2007). Pasien dengan

-16-

Page 15: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

usia tua paling sering menerima antibiotik dan sekitar sebagian dari mereka

menerima terapi antibiotik dengan spektrum luas (Steinman M, Sauaia A, Masseli

J, et al. 2006).Tren pemberian antibiotik spektrum luas juga dapat dijumpai di

praktek dokter – dokter pada umumnya (Steinman M, Landefeld C, Gonzales R,

2008).

Pada pasien bronkitis akut yang mempunyai kebiasaan merokok, sekitar

90% menerima antibiotik, dimana sampai saat ini belum ada bukti klinis yang

menunjukkan bahwa pasien bronkitis akut yang merokok dan tidak mempunyai

riwayat PPOK lebih perlu diberikan antibiotik dibandingkan dengan pasien

dengan bronkitis akut yang tidak merokok. Terdapat beberapa penelitian

mengenai kegunaan antibiotik terhadap pengurangan lama batuk dan tingkat

keparahan batuk pada bronkitis akut. Rangkuman penelitian dapat dilihat pada

Tabel 1 (Sidney S. Braman, 2006).

Kesimpulan dari beberapa penelitian itu adalah pemberian antibiotik

sebenarnya tidak bermanfaat pada bronkitis akut karena penyakit ini disebabkan

oleh virus (GonzalesR, Brrtlett J, Besser R,et al, 2009). Dalam praktek dokter di

klinik, banyak pasien dengan bronkitis akut yang minta diberikan antibiotik dan

sebaiknya hal ini ditangani dengan memberikan penjelasan mengenai tidak

perlunya penggunaan obat tersebut dan justru pemberian antibiotik yang

berlebihan dapat meningkatkan kekebalan kuman (resistensi) terhadap antibiotik

(Snow V, Mottur-Pilson C, Gonzales R, 2009).

Namun begitu, penggunaan antibiotik diperlukan pada pasien bronkitis

akut yang dicurigai atau telah dipastikan diakibatkan oleh infeksi bakteri pertusis

atau seiring masa perjalanan penyakit terdapat perubahan warna sputum.

Pengobatan dengan eritromisin (atau dengan trimetroprim/sulfametoksazol bila

makrolid tidak dapat diberikan) dalam hal ini diperbolehkan. Pasien juga

dianjurkan untuk dirawat dalam ruang isolasi selama 5 hari (Sidney S. Braman,

2006).

2.8.2. Bronkodilator

-17-

Page 16: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan bronkodilator

tidak direkomendasikan sebagai terapi untuk bronkitis akut tanpa komplikasi.

Ringkasan statistik dari penelitian Cochrane tidak menegaskan adanya

keuntungan dari penggunaan β-agonists oral maupun dalam mengurangi gejala

batuk pada pasien dengan bronkhitis akut (Hueston WJ, 2008).

Namun, pada kelompok subgrup dari penelitian ini yakni pasien bronkhitis akut

dengan gejala obstruksi saluran napas dan terdapat wheezing, penggunaan

bronkodilator justru mempunyai nilai kegunaan.Efek samping dari penggunaan β-

agonists antara lain, tremor, gelisah dan tangan gemetar (Smucny J, Flynn C,

Becker L, et al, 2007). Penggunaan antikolinergik oral untuk meringankan gejala

batuk pada bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti dan oleh karena itu tidak

dianjurkan (Sidney S. Braman, 2006).

2.8.3. Antitusif

Penggunaan codein atau dekstrometorphan untuk mengurangi frekuensi

batuk dan perburukannya pada pasien bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti

secara sistematis. Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua

obat tersebut terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan

bronkitis kronik, maka penggunaan pada bronkitis akut diperkirakan memiliki

nilai kegunaan. Suatu penelitian mengenai penggunaan kedua obat tersebut untuk

mengurangi gejala batuk pada common cold dan penyakit saluran napas akibat

virus, menunjukkan hasil yang beragam dan tidak direkomendasikan untuk sering

digunakan dalam praktek keseharian (Lee P, Jawad M, Eccles R, 2008)

Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efektif

dalam menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian, sebanyak

710 orang dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan gejala batuk, secara

acak diberikan dosis tunggal 30 mg Dekstromethorpan hydrobromide atau

placebo dan gejala batuk kemudian di analisa secara objektif menggunakan

rekaman batuk secara berkelanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa batuk

berkurang dalam periode 4 jam pengamatan (Pavesi L, Subburaj S, Porter – Shaw

K, 2009).

-18-

Page 17: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

Dikarenakan pada penelitian ini disebutkan bahwa gejala batuk lebih

banyak berasal dari bronkitis akut, maka penggunaan antitusif sebagai terapi

empiris untuk batuk pada bronkitis akut dapat digunakan (Sidney S. Braman,

2006).

-19-

Page 18: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

Tabel 1. Ringkasan penelitian mengenai efek penggunaan antibiotik untuk gejala

batuk pada pasien dengan bronkitis akut.

-20-

Page 19: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

.2.8.4. Agen mukokinetik

Penggunaan ekspektoran dan mukolitik belum memilki bukti klinis yang

menguntungkan dalam pengobatan batuk pada bronkitis akut di beberapa

penelitian, meskipun terbukti bahwa efek samping obat minimal (Sidney S.

Braman, 2006).

2.8.5. Lain – lain

Analgesik & antipiretik bila diperlukan dapat  diberikan. Pada penderita,

diperlukan istirahat dan asupan makanan  yang cukup, kelembaban udara yang

cukup serta masukan cairan ditingkatkan.

PERJALANAN DAN PROGNOSIS

Perjalanan dan prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang tepat atau

mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi berasal dari

penyakit yang mendasari.

-21-

Page 20: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

BAB III

SIMPULAN

Bronkitis akut adalah peradangan akut pada bronkus dan cabang-

cabangnya, yang disebabkan sebagian besar oleh virus dan mengakibatkan

terjadinya edema dan pembentukan mukus. Gejala yang paling menonjol adalah

batuk dengan atau tanpa sputum, berlangsung tidak lebih dari 2 minggu. Untuk

menegakkan diagnosis dari penyakit ini harus disingkirkan kemungkinan adanya

penyakit pernapasan lainnya seperti pneumonia, common cold, asma akut,

eksaserbasi akut bronkitis kronik dan PPOK.

Pada penatalaksanaan bronkitis akut, antibiotik diperbolehkan bila

dicurigai penyebabnya adalah bakteri. Pemberian bronkodilator diperbolehkan

bila gejala batuk berbarengan dengan asma. Pemberian agen mukolitik tidak

direkomendasikan dan pemberian antitusif dengan Dekstrometorphan Hbr terbukti

dapat menekan gejala batuk.

-22-

Page 21: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

DAFTAR PUSTAKA

1. Boldy D, Skidmore S, Ayeres J. Acute bronchitis in the community: clinical

features, infective factors, changes in pulmonary function and bronchial

reactivity to histamine. Respir Med 1990; 84:377–385.

2. Fahy JV,Dickey BF. Review Artikel Airway Mucus Function and

Dysfunction. New England of Jurnal Medicine. Vol 363. No.23. Dec 2, 2010.

Diunduh dari www.nejm.org pada tanggal 6 mei 2011.

3. Gonzales R, Sande M. Uncomplicated acute bronchitis. Ann Intern Med 2008;

133: 981–991

4. GonzalesR, Brrtlett J, Besser R,et al. Principles of appropriate antibiotic use

for treatment of uncomplicated acute bronchitis: background. Ann Intern Med

2009; 134:521–529

5. Gonzales R, Wilson A, Crane L, et al. What’s in a name? Public knowledge,

attitude and experiences with antibiotic use for acute bronchitis. Am J Med

2009; 108:83–85

6. Hassan I. Bronchitis. Last update December,8 2006. Diunduh dari

www.emedicine.com pada tanggal 6 mei 2011.

7. Hueston WJ.Albuterol delivered by metered-dose inhaler to treat acute

bronchitis. J Fam Pract. 2008; 39:437–440.

8. Jonsson J, Sigurdsson J, Kristonsson K, et al. Acute bronchitis in adults.How

close do we come to its aetiology in generalpractice? Scand J Prim Health

Care. 2008; 15:156–160

9. Luhulima JW. Trachea dan Bronchus. Diktat Anatomi Systema Respiratorius.

Bagian Anatomi FKUH. Makassar. 2004. hal 13-14.

-23-

Page 22: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

10. Lee P, Jawad M, Eccles R. Antitussive efficacy of dextromethorphan in cough

associated with acute upper respiratory infection. J Pharm Pharmacol 2008;

52:1139–1142.

11. Linder J, Sim I. Antibiotic treatment of acute bronchitis in smokers. J Gen

Intern Med 2007; 17:230–234.

12. Melbye H, Kongerud J, Vorland L. Reversible airflow limitation in adults with

respiratory infection. Eur Respir J 2009 7:1239–1245

13. Pavesi L, Subburaj S, Porter – Shaw K. Application and validation of a

computerized cough acquisition system for objective monitoring of acute

cough. Chest 2009; 120: 1121–1128.

14. Schappert S. Ambulatory care visits to physicians offices, Hospital out patient

departments and emergency departments, United States, 2008.

Hyattsville,MD: National Center for Health Statistics, 2008.

15. Sidney S. Braman. Chronic Cough Due to Acute Bronchitis :ACCP Evidence-

Based Clinical Practice Guidelines. Chest Journal. 2006;129;95S-103S.

16. Smucny J, Flynn C, Becker L, et al. Beta 2- agonists for acute bronchitis.

Cochrane Database Syst Rev (databaseonline). Issue 1, 2007.

17. Snow V, Mottur-Pilson C, Gonzales R. Principles of appropriate antibiotic use

for treatment of acute bronchitis in adults. Ann Intern Med 2009; 134:518–

520.

18. Steinman M, Landefeld C, Gonzales R. Predictors of broad spectrum

antibiotic prescribing for acute respiratory tract infections in adult primary

care. JAMA 2008; 289:719–725.

19. Steinman M, Sauaia A, Masseli J, et al.Office evaluation and treatment of

elderly patients with acute bronchitis. J Am Geriatr Soc 2006; 52: 875–879.

20. Wilson LM. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor

Hartanto Huriawati, dkk. EGC. Jakarta 2006. hal 737-740.

21. Armstrong G, Pinner R. Outpatient visits for infectious diseases in the United

States:.ArchIntern Med 2009; 159: 2531–2536

-24-

Page 23: 60534923 BAB II Bronkitis Akut

22. Zambon M, Stockton J, Clewley J, et al. Contribution of influenza and

respiratory syncytial virus to community cases of influenza like illness: an

observational study. Lancet 2009; 358:1410–1416.

-25-