BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Endometriosis merupakan penyakit yang hanya diderita kaum perempuan. Prevalensi endometriosis cenderung meningkat setiap tahun, walaupun data pastinya belum dapat diketahui. Menurut Jacoeb (2007), angka kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi epidemiologik, tapi dari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar 13,6-69,5% pada kelompok infertilitas. Bila persentase tersebut dikaitkan dengan jumlah penduduk sekarang, maka di negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta penderita endometriosis pada wanita usia produktif. Kaum perempuan tampaknya perlu mewaspadai penyakit yang seringkali ditandai dengan nyeri hebat pada saat haid ini (Widhi, 2007). Penyebab endometriosis dapat disebabkan oleh kelainan genetik, gangguan sistem kekebalan yang memungkinkan sel endometrium melekat dan berkembang, serta pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Sumber lain 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Endometriosis merupakan penyakit yang hanya diderita kaum perempuan.
Prevalensi endometriosis cenderung meningkat setiap tahun, walaupun data
pastinya belum dapat diketahui. Menurut Jacoeb (2007), angka kejadian di
Indonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi epidemiologik, tapi
dari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar 13,6-69,5% pada kelompok
infertilitas. Bila persentase tersebut dikaitkan dengan jumlah penduduk sekarang,
maka di negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta penderita endometriosis pada
wanita usia produktif. Kaum perempuan tampaknya perlu mewaspadai penyakit
yang seringkali ditandai dengan nyeri hebat pada saat haid ini (Widhi, 2007).
Penyebab endometriosis dapat disebabkan oleh kelainan genetik,
gangguan sistem kekebalan yang memungkinkan sel endometrium melekat dan
berkembang, serta pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Sumber lain
menyebutkan bahwa pestisida dalam makanan dapat menyebabkan
ketidakseimbangan hormon. Faktor-faktor lingkungan seperti pemakaian wadah
plastik, microwave, dan alat memasak dengan jenis tertentu dapat menjadi
penyebab endometriosis (Wood, 2008b).
Penyakit endometriosis umumnya muncul pada usia reproduktif. Angka
kejadian endometriosis mencapai 5-10% pada wanita umumnya dan lebih dari
50% terjadi pada wanita perimenopause. Gejala endometriosis sangat tergantung
pada letak sel endometrium ini berpindah. Yang paling menonjol adalah adanya
nyeri pada panggul, sehingga hampir 71-87% kasus didiagnosa akibat keluhan
nyeri kronis hebat pada saat haid, dan hanya 38% yang muncul akibat keluhan
1
infertil (mandul). Tetapi ada juga yang melaporkan pernah terjadi pada masa
menopause dan bahkan ada yang melaporkan terjadi pada 40% pasien
histerektomi (pengangkatan rahim). Selain itu juga 10% endometriosis ini dapat
muncul pada mereka yang mempunyai riwayat endometriosis dalam keluarganya
(Widhi, 2007).
B. Permasalahan
Apa penyebab dan bagaimana gejala dari penyakit endometriosis pada
organ reproduksi wanita tersebut.
C. Tujuan
Untuk mengetahui penyebab dan gejala yang ditimbulkan oleh penyakit
endometriosis pada organ reproduksi wanita.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Struktur Organ Reproduksi Wanita
Struktur reproduksi eksternal perempuan adalah klitoris dan dua pasang
labia yang mengelilingi klitoris dan lubang vagina. Organ reproduksi internal
terdiri dari sepasang gonad dan sebuah duktus dan ruangan untuk menghantarkan
gamet dan menampumg embrio dan fetus. Sistem reproduksi perempuan tidak
sepenuhnya tertutup, dan sel telur dilepaskan ke dalam rongga abdomen di dekat
pembukaan saluran telur atau tuba Fallopii. Saluran telur manusia mempunyai
pembukaan yang mirip corong dan berumbai-umbai yang disebut fimbriae. Silia
yang terdapat pada epitelium bagian dalam yang melapisi duktus itu akan
membantu menarik sel telur dengan cara menarik cairan dari rongga tubuh ke
dalam duktus tersebut. Silia juga mengirimkan sel telur menuruni duktus sampai
di uterus, yang juga dikenal sebagai rahim. Uterus adalah organ yang tebal dan
berotot yang dapat mengembang selama kehamilan untuk menampung fetus
dengan bobot hingga 4 kg. Lapisan dalam uterus, yakni endometrium, dialiri oleh
banyak pembuluh darah (Campbell, 2004).
3
Gambar 1. Struktur Organ Reproduksi Wanita (Purves et al, 2007)
B. Siklus Menstruasi
Istilah siklus menstruasi secara spesifik mengacu pada perubahan yang
terjadi dalam uterus. Melalui kesepakatan, hari pertama periode menstruasi
perempuan atau hari pertama menstruasi dinyatakan sebagai hari 1 dari siklus
tersebut. Fase aliran menstruasi (Menstrual Flow Phase) siklus tersebut, saat
pendarahan menstruasi (hilangnya sebagian besar lapisan fungsional
endometrium) terjadi, umumnya berlangsung beberapa hari. Kemudian sisa
endometrium yang tipis lainnya mulai mengalami regenerasi dan menebal selama
seminggu atau dua minggu. Fase tersebut dinamakan fase proliferasi (Proliferasi
Phase) siklus menstruasi. Selama fase berikutnya yaitu fase sekresi (Secretory
Phase) yang umumnya berlangsung sekitar dua minggu lamanya, endometrium
menebal, mengandung lebih banyak pembuluh, dan mengembangkan kelenjar
yang mensekresikan cairan yang kaya glikogen (Price, 2005).
C. Siklus Ovarium
Siklus ini dimulai dengan fase folikel (Follicular cycle) saat beberapa
folikel di ovarium mulai tumbuh. Sel telur membesar dan pembungkus sel folikel
berlapis-lapis. Di antara beberapa folikel yang mulai tumbuh, umumnya hanya
satu yang membesar dan matang, sementara yang lainnya akan mengalami
disintegrasi. Folikel yang mengalami pematangan itu mengembangkan rongga
internal yang penuh cairan dan tumbuh menjadi sangat besar, dan membentuk
tonjolan dekat permukaan ovarium. Fase folikuler berakhir dengan ovulasi,
ketika folikel dan dinding ovarium di dekatnya pecah sehingga melepaskan oosit.
Jaringan folikel yang tetap ada di ovarium setelah ovulasi berkembang menjadi
korpus luteum (jaringan endokrin yang mensekresikan hormon betina) selama
fase luteal (Luteal Phase) (Guyton, 2007).
4
D. Hormon, Siklus Ovarium dan Siklus Menstruasi
Hormon mengkoordinasikan siklus menstruasi dan siklus ovarium
sedemikian rupa sehingga folikel dan peristiwa ovulasi disinkronasikan dengan
persiapan dinding uterus untuk kemungkinan implantasi embrio. Lima hormon
berpartisipasi dalam skema rumit yang melibatkan baik umpan balik negatif
maupun posisif. Hormon-hormon tersebut adalah hormon pembebas
gonadotropin (GnRH), yang disekresikan oleh hipotalamus, hormon perangsang
folikel (FSH) dan hormon lutenisasi (LH), yang merupakan dua gonadotropin
yang dihasilkan oleh hipofisis anterior dan estrogen serta progesteron, yaitu dua
hormon kelamin yang disekresikan oleh ovarium (Price, 2005).
Selama fase folikuler siklus ovarium, pituitari mensekresikan sejumlah
kecil FSH dan LH sebagai respon terhadap rangsangan GnRH dari hipotalamus.
Pada waktu tersebut sel-sel folikel ovarium yang belum matang mempunyai
reseptor untuk FSH. FSH merangsang pertumbuhan folikel dan sel-sel folikel
yang sedang tumbuh ini mensekresikan estrogen. Peningkatan kadar estrogen
secara perlahan terjadi selama sebagian besar fase folikuler.
5
Gambar 2. Siklus Ovarium (Purves et al, 2007)
Peningkatan kecil kadar estrogen tersebut akan menghambat sekresi
hormon pituitari, sehingga mempertahankan kadar FSH dan LH relatif rendah
selama fase folikuler. Hubungan antar hormon tersebut berubah secara radikal
dan relatif mendadak ketika sekresi estrogen oleh folikel yang sedang tumbuh
mulai meningkat. Sementara peningkatan kadar estrogen yang terjadi dapat
menghambat sekresi gonadotropin pituitari, estrogen dalam konsentrasi tinggi
mempunyai pengaruh berlawanan dan merangsang sekresi gonadotropin dengan
cara mempengaruhi hipotalamus untuk meningkatkan produksi GnRH. Pengaruh
itu lebih besar untuk LH karena konsentrasi estrogen yang tinggi, selain
merangsang sekresi GnRH, juga meningkatkan sensitifitas mekanisme pelepasan
LH di pituitari terhadap sinyal hipotalamus (GnRH). Pada saat itu, folikel telah
mempunyai reseptor terhadap LH dan dapat merespon terhadap petunjuk
hormonal ini. Dalam satu contoh umpan balik positif, peningkatan konsentrasi
LH yang disebabkan oleh peningkatan sekresi estrogen dari folikel yang sedang
tumbuh menginduksi pematangan akhir folikel tersebut, dan ovulasi terjadi
sekitar sehari setelah lonjakan kadar LH tersebut (Price, 2005).
6
Gambar 3. Umpan Balik Negatif (Purves et al, 2007)
LH dapat merangsang transformasi jaringan folikel yang tertinggal di
ovarium untuk membentuk korpus luteum setelah ovulasi. Selama fase luteal
siklus ovarium, LH mempengaruhi korpus luteum mensekresikan estrogen dan
hormon steroid kedua yaitu progesteron. Korpus luteum umumnya mencapai
perkembangan maksimalnya sekitar 8 sampai 10 hari setelah ovulasi. Setelah
kadar estrogen dan progesteron meningkat, kombinasi hormon-hormon tersebut
memberikan umpan balik negatif pada hipotalamus dan pituitari, sehingga
menghambat sekresi LH dan FSH. Mendekati akhir masa luteal, korpus luteum
akan lisis (kemungkinan sebagai akibat dari prostaglandin yang disekresikan oleh
sel-sel itu sendiri). Konsekuensinya, konsentrasi estrogen dan progesteron
menurun. Penurunan kadar hormon ovarium tersebut membebaskan hipotalamus
dan pituitari dari pengaruh yang bersifat menghambat dari hormon-hormon
tersebut. Kemudian pituitari mulai mensekresikan cukup FSH untuk merangsang
pertumbuhan folikel baru di ovarium, yang mengawali fase folikuler siklus
ovarium berikutnya (Guyton, 2007).
Estrogen yang disekresikan dalam jumlah yang semakin meningkat oleh
folikel yang sedang tumbuh, merupakan suatu sinyal hormonal ke uterus yang
menyebabkan endometrium menebal. Dengan demikian, fase folikel siklus
ovarium dikoordinasikan dengan fase proliferasi siklus menstruasi. Penurunan
cepat dalam kadar hormon ovarium ketika korpus luteum lisis menyebabkan
kontraksi arteri dalam dinding uterus yang menyebabkan dinding endometrium
tidak dialiri darah. Disintegrasi endometrium mengakibatkan menstruasi dan
permulaan satu siklus menstruasi baru (Guyton, 2007).
7
E. Definisi Endometriosis
Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan mirip dengan
dinding rahim (endometrium) ditemukan di tempat lain dalam tubuh (Smeltzer,
2001). Endometriosis juga dapat berupa suatu keadaan dimana jaringan
endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri dan diluar
miometrium (Prawirohardjo, 2008).
Definisi lain tentang endometriosis yaitu terdapatnya kelenjar-kelenjar
dan stroma endometrium pada tempat-tempat diluar rongga rahim. Implantasi
endometriosis bisa terdapat pada ovarium, ligamen latum, Cavum Douglasi, tuba
Falopii, vagina, serviks, pada pusat, paru-paru, dan kelenjar-kelenjar limfa
(Rayburn, 2001).
F. Teori Penyebab Endometriosis
Ada teori penyebab endometriosis yang dinyatakan oleh para ahli
sebagai berikut (Wood, 2008a):
8
Gambar 4. Siklus Reproduksi Wanita (http://www.grad.ttuhsc.edu/courses/histo/notes/female.html)
sampai 4,5% perbulan, dibandingkan pada normal fertilitas dari 15% sampai
20% perbulannya. Pasien infertil dengan endometriosis sedang dan berat
memiliki rata-rata kehamilan tiap bulannya kurang dari 2%. Endometriosis
berhubungan dengan infertilitas, tidak semua wanita yang memiliki
endometriosis adalah infertil. Sebagai contoh banyak wanita menjalani sterilisasi
tuba tercatat mengalami endometriosis. Penyebab dan efek endometriosis
diperkirakan berhubungan antara berkurangnya fertilitas namun tidak terbukti.
Ini diperkirakan bahwa endometriosis merubah secara tidak langsung keadaan
rongga pinggang dengan menimbulkan perlekatan pada organ-organ rongga
pelvik sehingga mengganggu fungsi dari organ tersebut. Teori mencakup
inflamasi, perubahan sistem imun, perubahan hormon, ganguan fungsi tuba
Falopii, fertilitas dan implantasi. Itu lebih mudah untuk dipahami bagaimana
endometriosis sedang dan berat dapat mengurangi fertilitas, karena sebagian
besar perlekatan di rongga pinggang menyebabkan tidak terjadinya ovulasi,
menghalangi sperma masuk ke tuba Falopii, dan menghalangi kemampuan tuba
Falopii menangkap ovum selama ovulasi (American Fertility Society, 2007a).
Tabel 3. Jenis ganguan sistem yang disebabkan oleh endometriosis
Sumber: Widjanarko, 2009.
23
No Sistem Jenis Gangguan1 Fungsi Koitus Dyspareunia (menurunkan frekuensi sanggama)
2 Fungsi SpermaInaktivasi sperma Fagositosis sperma dengan makrofag
3Fungsi Tuba
FalopiiKerusakan fimbriaePenurunan motilitas tuba akibat prostaglandin
4 Fungsi OvariumAnovulasiPelepasan gonadotropin yang terganggu
Endometriosis dapat menyebabkan gangguan pada fungsi sistem organ
reproduksi yaitu fungsi koitus, sperma, tuba Falopii, ovarium. Pada fungsi koitus
menyebabkan rasa nyeri saat senggama (dyspareunia) sehingga mengurangi
frekuensi senggama. Pada fungsi sperma, endometriosis akan menghambat
sperma dengan antibodi tertentu. Hal ini didasari dari hasil penelitian dimana
terhadap antibodi yang memiliki efek menghambat gerakan sperma sehingga
berakibat terjadinya infertilitas (Rusdi, 2009). Pada penderita endometriosis
dibandingkan wanita normal, makrofag teraktifasi oleh adanya kista, hal ini
menyebabkan makrofag pada penderita infertil dengan endometriosis membunuh
lebih banyak sperma. Jika makrofag ini memasuki sistem reproduksi melalui
tuba, maka akan terbentuk antibodi terhadap sperma yang akhirnya mematikan
sperma sehingga terjadi infertilitas (Abdullah, 2009).
Endometriosis pada tuba Falopii akan menyebabkan kerusakan pada
fimbriae sehingga tidak dapat menangkap sel telur yang dilepaskan oleh ovarium.
Endometriosis juga menyebabkan penurunan silia pada tuba Falopii sehingga sel
telur tidak dapat turun ke uterus. Pada fungsi ovarium terjadi anovulasi sehingga
folikel yang telah matang langsung membentuk korpus luteum tanpa melepaskan
sel telur. Hal ini juga berpengaruh terhadap hormon gonadotropin dan
mengakibatkan terganggunya siklua ovarium selanjutnya. Menurut Abdullah
(2009) perlengketan tuba yang luas akan menghambat motilitas dan kemampuan
fimbre untuk menangkap sel telur. Sedangkan berkurangnya motilitas tuba dan
transportasi ovum mungkin disebabkan oleh sekresi prostaglandin oleh jaringan
endometritik.
Endometriosis berhubungan dengan perubahan-perubahan fisiologis alat
reproduksi yang dapat menghambat terjadinya kehamilan. Derajat keterlibatan
organ-organ pelvik merupakan faktor utama dalam menentukan kemampuan
reproduksi penderita. Di bawah ini beberapa fenomena yang mungkin
24
mengurangi kemampuan reproduksi pada penderita endometriosis sesuai dengan
letak jaringan endometriotik berimplantasi (Abdullah, 2009):
Endometriosis pada serviks: Kekakuan dan penyempitan serviks, akibat
endometriosis akan mengurangi laju pergerakan sperma sehingga mengurangi
fertilitas.
Endometriosis pada Cavum Douglas: Melibatkan ligamentum sakrouterina
dan bagian posterior uterus akan menyebabkan dispareni, sehingga
mengurangi frekuensi koitus.
Endometriosis pada ovarium: akan menyebabkan destruksi kortikal dan pada
gilirannya menyebabkan oligo atau anovulasi, sehingga menghambat proses
reproduksi.
Endometriosis tuba Falopii: Perlengketan tuba Falopii yang luas akan
menghambat motilitas dan kemampuan fimbriae untuk menangkap sel telur.
Q. Penanganan
Penanganan endometriosis di bagi menjadi 2 jenis terapi yaitu terapi
medik dan terapi pembedahan.
a. Terapi medik diindikasikan kepada pasien yang ingin mempertahankan
kesuburannya atau yang gejala ringan (Rayburn, 2001). Jenis-jenis terapi
medik seperti terlampir pada Tabel. 3 dibawah ini (Widjanarko, 2009):
Tabel 4. Jenis-jenis terapi medik endometriosis
Jenis Kandungan Fungsi Mekanisme Dosis Efek samping
Progestin Progesteron Menciptakan kehamilan palsu
Menurunkan kadar FSH, LH, dan estrogen
Medroxyprogesteron acetate: 10 – 30 mg/hari;Depo-Provera® 150 mg setiap 3 bulan
Depresi, peningkatan berat badan
Danazol Androgen lemah
Menciptakan menopause palsu
Mencegah keluarnya FSH, LH, dan
800 mg/hari selama 6 bulan
Jerawat,berat badan meningkat,
25
pertumbuhan endometrium
perubahan suara
GnRH agonis
Analog GnRH
Menciptakan menopause palsu
Menekan sekresi hormon GnRH dan endometrium
Leuprolide 3.75 mg / bulan; Nafareline 200 mg 2 kali sehari; Goserelin 3.75 mg / bulan
Penurunan densitas tulang, rasa kering mulut, gangguan emosi
b. Terapi pembedahan dapat dilaksanakan dengan laparoskopi untuk
mengangkat kista-kista, melepaskan adhesi, dan melenyapkan implantasi
dengan sinar laser atau elektrokauter. Tujuan pembedahan untuk
mengembalikan kesuburan dan menghilangkan gejala (Rayburn, 2001).
Terapi bedah konservatif dilakukan pada kasus infertilitas, penyakit berat
dengan perlekatan hebat, usia tua. Terapi bedah konservatif antara lain meliputi
pelepasan perlekatan, merusak jaringan endometriotik, dan rekonstruksi anatomis
sebaik mungkin (Widjanarko, 2009).
Penanganan endometriosis menurut Sumilat (2009, kom. pribadi) dapat
dilakukan dengan terapi medik seperti pemberian analog general dan obat KB
atau dengan terapi pembedahan menggunakan laparoskopi operatif yaitu
pembakaran kista endometriosis dengan menggunakan laser.
Tabel 5. Keuntungan dan kerugian terapi medik dan terapi pembedahan
Jenis terapi Keuntungan KerugianTerapi medik 1. Biaya lebih murah
2. Terapi empiris (dapat di modifikasi dengan mudah)
3. Efektif untuk menghilangkan rasa nyeri
1. Sering ditemukan efek samping
2. Tidak memperbaiki fertilitas
3. Beberapa obat hanya dapat digunakan untuk waktu singkat
Terapi pembedahan
1. Efektif untuk menghilangkan rasa nyeri
2. Lebih efisien dibandingkan terapi medis
3. Melalui biopsi dapat ditegakkan diagnosa pasti
1. Biaya mahal2. Resiko medis “ penetapan
kurang baik dan penaksiran kurang baik” sekitar 3%
3. Efisiensi diragukan, efek menghilangkan rasa nyeri
26
temporer Sumber: Widjanarko, 2009
27
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil studi pustaka dan diskusi dengan ahli disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Penyebab utama endometriosis belum dapat dipastikan, akan tetapi
kemungkinan dapat disebabkan oleh aliran menstruasi mundur, predisposisi
genetik, metaplasia, maupun pengaruh dari pencemaran lingkungan
2. Gejala endometriosis yang dapat dirasakan oleh penderita yaitu antara lain
berupa nyeri haid (dysmenorrhea) dan nyeri saat berhubungan (dyspareunia)
3. Penanganan endometriosis dapat dilakukan dengan terapi medik seperti
pemberian progestin, danazol, GnRH agonis, dan microguinon. Sedangkan
terapi pembedahan dilakukan dengan laparoskopi melalui pelepasan
perlekatan, merusak jaringan endometriotik, rekonstruksi anatomis sebaik
mungkin, mengangkat kista, dan melenyapkan implantasi dengan sinar laser
atau elektrokauter.
B. Saran
1. Perlu di informasikan tentang pencegahan dan penanganan penyakit
endometriosis pada remaja.
2. Perlu diadakan penyuluhan tentang bahaya penyakit endometriosis kepada
masyarakat luas agar dapat diantisipasi dengan baik dan dapat mencegah
meningkatnya jumlah penderita.
28
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, N. 2009. Endometriosis dan Infertilitas. Jurnal Medika Nusantara, vol.25 No.2:1-7. 2004. (http://med.unhas.ac.id /index.php?option =com_ content&task=category§ionid=12&id=101&Itemid=48/1index.php, diakses pada tanggal 30 Desember 2009). 7 hal.
American Fertility Society. 2007a. Booklet Endometriosis A Guide for Patients. American Society For Reproductive Medicine. Alabama. (http://www.asrm.org/Patients /Booklet/Endometriosis.pdf diakses pada tanggal 28 Januari 2010). 16 hal.
American Fertility Society. 2007b. Booklet Laparoscopy And Hysteroscopy A Guide for Patients. American Society For Reproductive Medicine. Alabama. (http://www.asrm.org/Patients/Booklet/Laparoscopy.pdf diakses pada tanggal 28 Januari 2010). 12 hal.
Bulun, S. E. 2009. Endometriosis. The New England Journal of Medicine. Vol.360 No.3: 268-279. (http://content.nejm.org/cgi/content/ full/360/3/268, diakses pada tanggal 30 Desember 2009). 11 hal.
Campbell, Neil A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2004. BIOLOGI Edisi Kelima Jilid 3. Penerbit Erlangga. Jakarta.
David, L. O., and L. B. Schwartz. 1993. Endometriosis. The New England Journ. of Medicine. Vol.328 No.24: 1759-1769. (http://content.nejm.org/cgi/ content/full/328/24/1759, diakses pada tanggal 30 Desember 2009). 10 hal.
Eisenberg, E. 2009. Endometriosis Frequently Asked Questions. Office on Women's Health in the Department of Health and Human Services. USA. (http://www.womenshealth.gov, diakses pada tanggal 05 Januari 2010). 6 hal.
Guyton, A. C. dan Jhon E. H. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC Medical Publisher. Jakarta. Hal 1065-1078.
Jacoeb, T.Z. 2007. Dicari Formula Pengobatan Endometriosis yang Tepat. (http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/magdetail.asp?mid=42/one_news.asp.htm) diakses pada tanggal 10 januari 2010.
Marcoux, S., R. Maheux., S. Berube. 1997. Laparoscopic Surgery In Infertile Women With Minimal Or Mild Endometriosis. The New England Journal of Medicine. Vol.337 No.4 :217-222. (http://content.nejm.org /cgi/content/full/337/4/217, diakses pada tanggal 31 Desember 2009). 5 hal.
Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kandungan. P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hal 316-326.
Price, S.A. dan Lorraine M.W. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. EGC Medical Publisher. Jakarta. Hal 1277-1289.
Purves et al. 2007. Life: The Science of Biology 4th Edition. Sinauer Associates. (http://www.emc.maricopa.edu/faculty/farabee/Biobk/Biobookreprod.html, diakses pada tanggal 20 Desember 2007).
Rayburn, W. F., Christopher C. 2001. Obstetri dan Ginekologi. Widya Medika. Jakarta. Hal 278-282.
Redwine, D. 2009. Endometriosis Advances and Controversies. Marcel Dekker.Inc. New York. Hal 2-10.
Rier S. E., et al. 1993. Endometriosis in rhesus monkeys following chronic exposure to 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-dioxin. Toxicological Sciences. Volume 21, Number 4 : 433-441. (http://toxsci.oxfordjournals.org/cgi/ reprint /21/4/433)
Ruhendra. 1999. Dioksin. UIKA. Bogor. (http://furl.net/store?u=http:// Fjurnal- kopertis 4.tripod.com/ 2F6-01.html & amp;t pendahuluan, diakses pada tanggal 28 Januari 2010).
Rusdi, G. 2009. Tesis Sebaran Kadar Sel T Regulator Cairan Peritoneum Pasien Endometriosis. FK UI. Jakarta. (http://www.scribd.com/doc/ 22327442/sebaran kadar sel t regulator cairan peritoneum pasien endometriosis, diakses pada tanggal 07 Januari 2010). 51 hal.
Sampson JA. 2009. Peritoneal endometriosis due to menstrual dissemination of endometrial tissue into peritoneal cavity. Am J Obstet Gynecol 1927; No. 14: 69-422. (http://content.nejm.org/cgi/external_ref?access_num= 000202353400057&link_type=ISI)
Simatupang, J. 2003. Referat Iv Perubahan Imunologis Pada Endometriosis Peritoneal. FK UNSRI. Palembang. (http://digilib.unsri.ac.id/download/ Perubahan%20imunologis%20pada%20endometriosis.pdf, diakses pada tanggal 08 Januari 2009). 29 hal.
Somigliana E., P. Vigano. and P. Vercellini. 2006. A literature review of clinical and epidemiological studies addressing the risk of cancer in endometriosis. University of Milano and Center for Research in Obstetrics & Gynaecology (CROG). Italy. (http://wes.endometriosis.org/ejournal.htm, diakses 30 Desember 2009).
Tangri, N. 2009. Laporan GAIA “Insinerator Sampah: Teknologi yang Sekarat”. Global Anti-Incinerator Alliance (GAIA). Philippines. (http://www.scribd.com/doc/6548683, diakses pada tangal 28 Januari 2010). 6 hal.
Widjarnako, B. 2009. Endometriosis. (http://obfkumj.blogspot.com/ Endometriosis.html, diakses pada tanggal 07 Januari 2010).
Widhi, N.K. 2007. Plastik, Fast Food & Rokok Biang Utama Endometriosis. (http://www.detiknews.com/kanal/10/berita/10.html, diakses pada tanggal 10 Januari 2010).
Wood, R. 2008a. Causes. (http://www.endometriosis.org/causes.html, diakses pada tanggal 2 oktober 2009).