Top Banner
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan tropika terbesar kedua di dunia, kaya dengan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai salah satu negara “megabiodiversity” kedua setelah Brazilia (Ersam, 2004). Didalamnya terdapat kurang lebih 40.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut sekitar 1.300 diantaranya digunakan sebagai obat tradisional (Muktiningsih et al., 2001). Keanekaragaman obat tradisional yang ada memberikan suatu referensi baru terhadap dunia pengobatan. Menurut Kuntorini (2005) melonjaknya harga obat sintetis dan efek sampingnya bagi kesehatan meningkatkan kembali penggunaaan obat tradisional oleh masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar. Obat tradisional dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat secara turun temurun dan sampai sekarang ini banyak yang terbukti secara ilmiah berkhasiat obat (Syukur dan Hernani, 2002). Selain itu obat tradisional tersebut dapat digunakan sebagai dasar pengembangan obat baru (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Akan tetapi cara-cara pengobatan tradisional tidak dicatat dengan baik karena teknik pengobatannya diajarkan secara lisan (Rosita et al., 2007), sehingga dalam perkembangannya banyak teknik pengobatan lama yang hilang atau terlupakan. Hal tersebut mendorong untuk dilakukannya upaya pemanfaatan dan pelestarian pengetahuan masyarakat atau suku tentang pengobatan tradisional yang telah dilakukan secara empiris. Upaya tersebut mulai dari inventarisasi, pemanfaatan, budi daya sampai dengan penggalian kembali pengetahuan suku lokal tentang obat tradisional (Darmono, 2007). 1 1
53

44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Oct 21, 2015

Download

Documents

Yulis Adriana
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan tropika terbesar

kedua di dunia, kaya dengan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai salah satu

negara “megabiodiversity” kedua setelah Brazilia (Ersam, 2004). Didalamnya

terdapat kurang lebih 40.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut sekitar 1.300

diantaranya digunakan sebagai obat tradisional (Muktiningsih et al., 2001).

Keanekaragaman obat tradisional yang ada memberikan suatu referensi baru terhadap

dunia pengobatan.

Menurut Kuntorini (2005) melonjaknya harga obat sintetis dan efek

sampingnya bagi kesehatan meningkatkan kembali penggunaaan obat tradisional oleh

masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar. Obat

tradisional dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat secara turun temurun dan sampai

sekarang ini banyak yang terbukti secara ilmiah berkhasiat obat (Syukur dan

Hernani, 2002). Selain itu obat tradisional tersebut dapat digunakan sebagai dasar

pengembangan obat baru (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Akan tetapi cara-cara pengobatan tradisional tidak dicatat dengan baik karena

teknik pengobatannya diajarkan secara lisan (Rosita et al., 2007), sehingga dalam

perkembangannya banyak teknik pengobatan lama yang hilang atau terlupakan. Hal

tersebut mendorong untuk dilakukannya upaya pemanfaatan dan pelestarian

pengetahuan masyarakat atau suku tentang pengobatan tradisional yang telah

dilakukan secara empiris. Upaya tersebut mulai dari inventarisasi, pemanfaatan, budi

daya sampai dengan penggalian kembali pengetahuan suku lokal tentang obat

tradisional (Darmono, 2007).

1

1

Page 2: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Langkah awal yang sangat membantu untuk menggali pengetahuan suku lokal

terhadap resep tradisional berkhasiat obat yaitu dengan berbagai pendekatan secara

ilmiah (Kuntorini, 2005). Salah satu pendekatan tersebut adalah etnofarmasi (Pieroni

et al., 2002). Pendekatan etnofarmasi telah dilakukan di berbagai suku di Indonesia,

diantaranya yang telah diterapkan pada masyarakat lokal Suku Muna Kecamatan

Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara (Windadri et al, 2006), dan di sekitar

kawasan Gunung Gede Pangrango (Rosita et al, 2007). Keduanya mendapatkan resep

tradisional dari pengetahuan suku lokal tersebut.

Tengger sebagai salah satu suku di Indonesia, menurut Sutarto (2009)

masyarakatnya masih bersikukuh dengan tradisi yang diwarisi dari para

pendahulunya. Tradisi tersebut antara lain upacara Kasada, upacara Karo, Upacara

Unan-Unan dan masih banyak lagi upacara lain yang sampai sekarang masih

dijalankan dengan norma-norma sosial yang tetap terjaga. Salah satu norma sosial

yang ada adalah interaksi Suku Tengger dengan alam sekitar yang terdapat banyak

sumberdaya alamnya. Sumberdaya alam tersebut berada dalam kawasan Taman

Nasional Bromo Tengger Semeru yang berupa fenomena Kaldera Tengger dengan

lautan pasir yang luas, pemandangan alam dan atraksi geologis Gunung Bromo dan

Gunung Semeru, keragaman flora langka dan endemik serta potensi hidrologis yang

tinggi termasuk keberadaan 6 buah danau alami yang indah (Hidayat dan Risna,

2007). Keadaan alam yang ada mampu menarik banyak wisatawan domestik maupun

mancanegara datang ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Wisatawan umumnya membawa peradaban modern yang dapat menggeser

sejumlah pengetahuan lokal masyarakat (Windadri et al., 2006). Hal ini dapat

menyebabkan pengetahuan tentang tumbuhan obat pada masyarakat atau Suku

Tengger juga mengalami erosi (hilang). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian

etnofarmasi di suku Tengger agar kelestarian pengetahuan maupun penggunaan obat

tradisional tetap terjaga dan dapat digunakan sebagai referensi dasar pengembangan

bahan obat baru.

2

Page 3: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan

sebagai berikut:

1. Tumbuhan, hewan dan bahan mineral apa yang dimanfaatkan sebagai bahan obat

tradisional oleh Suku Tengger?

2. Bagaimana cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral tersebut

sebagai obat tradisional?

3. Berapa persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan, hewan, dan

bahan mineral tersebut sebagai obat tradisional?

1.3 Tujuan

Penelitian di lingkungan Suku Tengger ini bertujuan untuk:

1. Melakukan inventarisasi tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang dimanfaatkan

Suku Tengger sebagai bahan obat tradisional.

2. Mengetahui cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral untuk

pengobatan.

3. Mengetahui persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan, hewan,

dan bahan mineral tersebut sebagai obat

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan membawa manfaat antara lain:

1. Memberikan informasi mengenai tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang

digunakan oleh Suku Tengger sebagai bahan obat tradisional.

2. Memberikan informasi cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral

tersebut untuk pengobatan.

3. Memberikan informasi persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan,

hewan, dan bahan mineral tersebut sebagai obat

4. Sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai Etnofarmasi Suku Tengger

dan pengembangan obat di Indonesia.

3

Page 4: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Etnofarmasi

Sebagian besar peneliti di berbagai negara di dunia menyadari bahwa suku-

suku terasing memiliki berbagai kearifan, pengetahuan, dan pengalaman yang

bermakna besar bagi manusia dalam masyarakat modern. Kedekatan mereka dengan

alam, pengetahuan mengenai tumbuhan yang bergizi atau mengandung berbagai zat

yang dapat mengobati berbagai penyakit dan keberhasilan masyarakat untuk

mempertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi merupakan sesuatu yang

mengandung banyak pelajaran bagi manusia dan masyarakat modern (Rosita et al.,

2007).

Secara etnografi masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa ratus suku yang

masing-masing mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Hal itu tampak dari

bahasa, adat-istiadatnya dan pengetahuan lokal tradisional dalam memanfaatkan

tumbuhan obat. Pengetahuan tumbuhan obat ini spesifik bagi setiap etnis, sesuai

dengan kondisi lingkungan tempat tinggal masing-masing suku atau etnis

(Muktiningsih et al., 2001).

Etnofarmasi berasal dari kata etno dan farmasi. Etno adalah suku atau

kelompok, sedangkan farmasi adalah ilmu yang mempelajari tentang obat obatan.

Menurut Pieroni et al, (2002) Etnofarmasi adalah gabungan disiplin ilmu yang

mempelajari tentang hubungan antara kebiasaan kultur dalam suatu kelompok

masyarakat ditinjau dari sisi farmasetisnya. Oleh sebab itu akan melibatkan studi

identifikasi, klasifikasi dari produk natural (etnobiologi), preparasi secara farmasetis

(etnofarmasetis) dan efek yang diklaim (etnofarmakologi) beserta aspek pengobatan

secara sosial (etnomedisin).

4

4

Page 5: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Penelitian etnofarmasi difokuskan pada sebuah komunitas untuk menemukan

kembali “ Resep” tradisional dan mencoba mengevaluasinya baik secara biologis

maupun secara kultural (Pieroni et al., 2002). Dalam pendekatannya dengan

masyarakat, etnofarmasi sama dengan etnografi yang menjadikan pengamat terlibat

dalam kebudayaan yang sedang diteliti (Haviland, 1999). Oleh sebab itu akan

didapatkan referensi untuk pengembangan atau penemuan obat baru yang berasal dari

komunitas atau etnis tertentu.

Pieroni et al, (2002) telah melakukan penelitian mengenai Etnofarmasi pada

Etnis Albanian di utara Basilicata Italia. Ditemukan lima puluh empat tumbuhan yang

digunakan sebagai obat, dari tumbuhan yang didapatkan terdapat bermacam-macam

cara penggunaan dan kegunaannya. Di Indonesia penelitian pemanfaatan tumbuhan

obat oleh suku atau masyarakat juga pernah dilakukan. Windadri et al, (2006)

melakukan penelitian di masyarakat lokal suku Muna Kecamatan Wakarumba,

Kabupaten Muna, sulawesi Utara, dan didapatkan enam puluh satu tanaman sebagai

obat oleh suku lokal tersebut. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rosita et al,

(2007), didapatkan delapan puluh tanaman berkhasiat obat menurut masyarakat di

sekitar kawasan Gunung Gede Pangrango.

2.2 Pengobatan Tradisional

Tumbuhan telah lama diketahui sebagai salah satu sumber daya yang sangat

penting dalam upaya pengobatan dan mempertahankan kesehatan masyarakat.

Sejarah awal suatu tumbuhan sulit untuk ditelusuri sebagai obat, meskipun demikian

ada pendapat bahwa suatu tumbuhan digunakan sebagai obat didasarkan pada tanda-

tanda fisik (bentuk, warna, rasa) yang ada pada tumbuhan atau bagian tumbuhan

tersebut, dan tanda-tanda tersebut diyakini berkaitan dengan tanda-tanda penyakit

atau tanda-tanda penyebab penyakit yang akan diobatinya ( Gana et al., 2008).

Adapun yang dimaksud dengan obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan

bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau

campuran bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk

5

Page 6: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

pengobatan berdasarkan pengalaman masyarakat (Katno dan Pramono, 2009), dan

pada kenyataannya bahan obat alam yang berasal dari tumbuhan porsinya lebih besar

dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral, sehingga sebutan obat tradisional

(OT) hampir selalu identik dengan tanaman obat (TO) karena sebagian besar OT

berasal dari TO.

Penggunaan suatu tumbuhan sebagai obat tradisional di Indonesia telah

dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu. Obat tradisional

tersebut telah digunakan oleh sebagian masyarakat Indonesia secara turun menurun

(Zein, 2005). Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya naskah lama pada daun lontar

Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat

Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem dan relief candi Borobudur

yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai

bahan bakunya (Sukandar, 2009).

Menurut Sari (2006) penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih

aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional

tersebut memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.

Bahkan sampai saat inipun menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), 80%

penduduk dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional

termasuk penggunaan obat yang berasal dari tumbuhan (Radji, 2005).

Banyak penyakit dapat disembuhkan dengan pengobatan tradisional, seperti

halnya pada penyakit malaria yang di Indonesia banyak menggunakan tumbuhan

seperti sambiloto, pule, brotowali dan johar yang dapat mencegah kerusakan hati,

limpa dan meningkatkan imunitas dibandingkan obat modern (Zein, 2005). Selain

malaria, pengobatan batu ginjal juga menggunakan tumbuhan obat dan relatif aman.

Tanaman yang digunakan untuk pengobatan batu ginjal seperti: asam jawa

(Tamarindus indica), belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), dan sambiloto

(Andrograpidis paniculata) yang mengandung bahan aktif kalium dan berguna

sebagai peluruh batu ginjal dan terbukti berkhasiat dibandingkan obat modern

(Wakidi, 2003).

6

Page 7: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Dilihat dari kemanjurannya atau manfaat sebagai bahan pengobatan, obat

tradisional tergantung dari beberapa hal antara lain: kebenaran bahan, ketepatan

dosis, ketepatan waktu penggunaan, ketepatan cara penggunaan, ketepatan telaah

informasi, dan tanpa penyalahgunaan obat tradisional itu sendiri (Sari, 2006).

Semakin tepat atau baik dalam penggunaan atau pemilihan bahan, maka kemanjuran

atau manfaat pengobatan akan didapatkan.

2.2.1 Kelebihan dan Kelemahan Obat Tradisional

Dibandingkan obat-obat modern, OT/TO memiliki beberapa kelebihan dan

kelemahan. Kelebihannya antara lain: efek sampingnya relatif rendah, dalam suatu

ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu

tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk penyakit-

penyakit metabolik dan degeneratif. Sedangkan kelemahannya yaitu: efek

farmakologis yang lemah, bahan baku belum terstandar dan bersifat higroskopis serta

volumines, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis

mikroorganisme (Katno dan Pramono, 2009).

Lemahnya efek farmakologis dikarenakan rendahnya kadar senyawa aktif

dalam bahan obat alam serta kompleknya senyawa yang umum terdapat pada

tanaman. Hal ini bisa diupayakan dengan ekstrak terpurifikasi, yaitu suatu hasil

ekstraksi selektif yang hanya menyari senyawa-senyawa yang berguna dan

membatasi sekecil mungkin senyawa yang ikut tersari. Demikian juga dengan sifat

bahan baku yang higroskopis dan mudah terkontaminasi mikroba, perlu penanganan

pascapanen yang benar dan tepat (seperti cara pencucian, pengeringan, sortasi,

pengubahan bentuk, pengepakan serta penyimpanan).

Untuk mengurangi kelemahan tersebut, para ahli telah menempuh berbagai

cara pendekatan agar dapat ditemukan bentuk obat tradisional yang ideal. Dengan

demikian didapatkan obat tradisional yang telah teruji khasiat dan keamanannya.

Pendekatan tersebut dikelompokkan menjadi kelompok obat fitoterapi atau

fitofarmaka (Katno dan Pramono, 2009).

7

Page 8: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

2.3 Tinjauan Tentang Suku Tengger

2.3.1 Keadaan Geografis

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS) ditetapkan menjadi

kawasan taman nasional sejak Oktober 1982 berdasarkan Surat Pernyataan Menteri

Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982. Kawasan ini ditetapkan sebagai taman

nasional karena memiliki potensi kekayaan alam yang tidak saja besar namun juga

unik. Kekayaan alam tersebut berupa fenomena Kaldera Tengger dengan lautan pasir

yang luas, pemandangan alam dan atraksi geologis Gunung Bromo dan Gunung

Semeru (Hidayat et al., 2007). Jumlah luas keseluruhan TN-BTS ialah 50.273,30 ha,

didalamnya terdapat pegunungan, dan juga terdapat 4 buah danau (ranu) masing-

masing : Ranu Pani (1 ha), Ranu Regulo (0,75 ha), Ranu Kumbolo (14 ha) dan Ranu

Darungan (0,5 ha), (Dephut, 2009a).

TN-BTS terletak pada 70 54’-80 13’ LS dan 1120 51’-1130 04’ BT. Adapun

kondisi fisik wilayah tersebut terletak pada ketinggian 750-3.676 m dari permukaan

laut (dpl). Gunung Bromo menjulang dengan ketinggian 2.392 m dpl dan Gunung

Semeru dengan ketinggian 3.676 m dpl. Kondisi tanah adalah regosol dan litosol, dan

warna tanah kelabu, coklat, coklat kekuning-kuningan sampai putih dan suhu udara

antara 30C sampai 200C (Sudiro, 2001). Keadaan topografi bervariasi dari

bergelombang dengan lereng yang landai sampai berbukit bahkan bergunung dengan

derajat kemiringan yang tegak dengan curah hujan rata-rata 6.604 mm/tahun dan

memiliki tipe ekosistem sub montana dan sub alphin dengan pohon-pohon yang besar

dan tinggi berusia ratusan tahun (Dephut, 2009a).

Suku Tengger berada di TN-BTS dan merupakan suku asli yang beragama

Hindu (Dephut, 2009a). Wilayah yang dimasukkan ke dalam “Desa Tengger” yaitu

desa-desa dalam wilayah 4 kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Hindu

dan masih memegang teguh adat-istiadat Tengger, dan desa-desa yang dimaksud

yaitu Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari (Kecamatan Sukapura,

Kabupaten Probolinggo), Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso (Kecamatan

Sumber, Kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono,

8

Page 9: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Podokoyo (Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan), Keduwung (Kecamatan Puspo,

Kabupaten Pasuruan), Ngadas (Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang), dan

Argosari serta Ranu Pani (Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang) (Sutarto,

2009).

Gambar 2.1 “Desa Tengger” yang masyarakatnya mayoritas beragama Hindu Tengger

Saat ini, desa yang termasuk dalam “ Desa Tengger” hanya desa-desa yang

berada di Kecamatan Sukapura (Gambar 2.1) yang masyarakatnya mayoritas masih

9

Page 10: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

beragama Hindu Tengger. Desa-desa di kawasan Tosari, Ranu Pani dan yang lain

sudah mengalami Islamisasi (Sutarto 2009. Komunikasi pribadi). “ Desa Tengger”

yang pada awalnya berjumlah tujuh belas desa yang tersebar diempat Kabupaten,

sekarang tinggal lima desa yaitu Desa Ngadirejo, Desa Ngadas, Desa Jetak, Desa

Wonotoro, Desa Ngadisari, yang berada di Kecamatan Sukapura Kabupaten

Probolinggo. Pada bulan Maret 2003 “desa Tengger” berpenduduk 6274 jiwa yang

tersebar di Desa Ngadirejo 2750 jiwa, Desa Ngadas 685 jiwa, Desa Jetak 559 jiwa,

Desa Wonotoro 717 Jiwa, dan Desa Ngadisari 1563 jiwa (Sutarto, 2007).

2.3.2 Sejarah Suku Tengger

Sejarah suku Tengger menurut Sutarto (2009) sebagai berikut:

Kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru tidak banyak memiliki

data kepurbakalaan dan kesejarahan yang dapat mengungkap kehidupan masyarakat

Tengger. Prasasti batu yang pertama kali ditemukan, berangka tahun 851 Saka (929

M), menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak di kawasan

pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci yang dihuni oleh hulun hyang, yakni

orang yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata. Prasasti kedua yang

ditemukan, masih dalam abad yang sama, menyatakan bahwa di kawasan ini

penduduknya melakukan peribadatan yang berkiblat kepada Gunung Bromo, dan

menyembah dewa yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama

Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma. Pada tahun 1880 seorang perempuan Tengger

menemukan sebuah prasasti yang terbuat dari kuningan di daerah Penanjakan yang

termasuk Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan. Prasasti ini berangka tahun 1327

Saka atau 1407 M yang menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit dihuni

oleh hulun hyang atau abdi dewata, dan tanah di sekitar Walandhit disebut hila-hila

atau suci. Warga desa Walandhit dibebaskan dari kewajiban membayar titileman,

yakni pajak upacara kenegaraan karena mereka berkewajiban melakukan pemujaan

terhadap Gunung Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan.

10

Page 11: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru

sudah berpenghuni sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya. Oleh karena itu, adanya

keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit

perlu dikaji ulang. Ada dua kemungkinan yang perlu dipertimbangkan, pertama

meskipun orang Walandhit bukan keturunan Majapahit, kegiatan beragama Suku

Tengger tidak berbeda jauh atau mungkin sama dengan warga kerajaan Majapahit

pada umumnya, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bercorak Hindu-

Budha. Kemungkinan kedua, masyarakat Walandhit dengan suka cita menerima para

pengungsi dari Majapahit yang terdesak oleh ekspansi Kerajaan Islam Demak,

terutama setelah Karsyan Prawira dan daerah sekitarnya berhasil diislamkan oleh

tentara Demak pada abad ke-16 M. Para pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian

menyatu dan menurunkan orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang. Pada

waktu itu daerah pedalaman termasuk dataran tinggi Tengger, belum sempat direbut

oleh tentara Demak.

Suku Tengger sekarang begitu yakin bahwa nama Tengger berasal dari

paduan dua suku kata teakhir dari nama nenek moyang mereka, yaitu Rara Anteng

(TENG) dan Jaka Seger (GER). Rara Anteng dipercaya sebagai putri Raja Brawijaya

V dari Kerajaan Majapahit dan Jaka Seger, putra seorang brahmana yang bertapa di

dataran tinggi Tengger. Di samping itu, orang Tengger juga menegaskan bahwa kata

Tengger mengacu kepada pengertian Tengering Budi Luhur (Tanda Keluhuran Budi

Pekerti). Walaupun semua prasasti belum dapat mengungkapkan sejarah yang jelas

mengenai asal mula suku Tengger, namun adat dan kebudayaan tetap terjaga sampai

sekarang.

Pemuka adat atau dukun di Suku Tengger merupakan para pewaris aktif

tradisi Tengger. Berdasarkan Sudjatno (1994), dukun bagi Suku Tengger adalah

pemuka masyarakat yang berperan sebagai pusat nilai-nilai. Peran yang setrategis itu

menyebabkan dukun dijadikan sebagai panutan masyarakat, pemimpin religi, agen

perubahan, dan juga sebagai pusat konsultasi masyarakat dan biasa disebut dukun

gedhe (dukun besar). Sedangkan dukun yang dapat menyembuhkan dan membuat

11

Page 12: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

orang menjadi sakit adalah dukun cilik (dukun kecil) (Sutarto, 2007). Saat ini,

keberadaan dukun cilik (Batra) di Kecamatan Sukapura sudah tidak ditemukan

(Berdasarkan peninjauan yang dilakukan penulis pada bulan Mei 2009), sehingga

diperlukan kembali penggalian pengetahuan pengobatan tradisional di Suku Tengger

untuk pelestarian keanekaragaman budaya suku bangsa.

2.3.3 Kehidupan Suku Tengger

Menurut Sutarto (2009) identitas Suku Tengger terkesan problematis dan

membuat banyak orang tertipu, karena Suku Tengger bukan suku primitif, suku

terasing, atau suku lain yang berbeda dari suku Jawa. Hal tersebut dilihat dari tata

kehidupan yang dijalani oleh Suku Tengger, seperti penggunaan sepeda motor

sebagai alat transportasi, media elektronik televisi dan radio yang hampir semua

keluarga memiliki, demikian juga alat komunikasi Handphone yang hampir semua

kalangan muda juga memilikinya. Imajinasi dan eksotisme masal modern yang

ditangkap melalui media elektronik yang dimiliki Suku Tengger hanya membuat

Suku Tengger terhenyak dan terkagum-kagum tetapi belum terpengaruh oleh gaya

hidup orang-orang atau tokoh-tokoh yang mereka lihat melalui media tersebut.

Sebagian besar Suku Tengger masih memposisikan dirinya sebagai wong

gunung (orang yang tinggal di gunung) yang berbeda dari wong ngare (orang yang

bertempat tinggal di tempat rata, di dataran rendah atau di kota). Di mata wong

gunung, wong ngare itu penuh kesenjangan, banyak yang kaya, tetapi banyak pula

yang miskin, tidak memiliki tanah. Menurut wong gunung, wong ngare itu lebih suka

menyendiri dan membedakan status. Wong ngare sering menilai seseorang dari

pangkatnya. Sebaliknya, bagi wong gunung, semua orang dianggap sama (padha) dan

satu keturunaan (sakturunan). Karena padha dan sakturunan, maka dalam kehidupan

wong gunung tidak dikenal istilah kongkon (menyuruh) orang lain. Istilah yang

dikenal adalah bantu kuwat yakni memberi bantuan kepada tetangganya karena beban

pekerjaan tetangga tersebut terlalu berat (Sutarto, 2009). Begitu juga dengan

12

Page 13: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

semangat pluralisme yang diejawantahkan melalui sikap budaya dan agama membuat

Suku Tengger terbebas dari konflik yang berdimensi etnis dan keagamaan

Kejujuran dan ketulusan Suku Tengger masih dapat dilihat sampai saat ini,

dengan angka kejahatan di desa-desa Tengger pada umumnya hampir tidak ada.

Suasana damai, tenteram, aman, dan penuh toleransi tercermin dalam kehidupan

sehari-hari Suku Tengger. Galba et al, (1989) menambahkan bahwa Suku Tengger

menjaga hubungannya dengan alam dan mencintai alam lingkungan tempat mereka

tinggal dengan cara mereka memanfaatkannya sebagai lahan pertanian dan bertani

dengan baik. Dalam hal ini,Suku Tengger tidak merusak hutan untuk dijadikan ladang

atau untuk diambil kayunya atau membuang sampah secara sembarangan yang akan

berakibat pada pencemaran lingkungan lahan pertanian. Hal ini telah diketahui Suku

Tengger untuk menjaga agar tidak terjadi erosi di hutan dan mencegah terjadinya

banjir.

Dalam menjaga keselarasan antara alam dan kehidupan manusia, Suku

Tengger juga mengadakan serangkaian upacara. Upacara Kasodo merupakan salah

satu upacara untuk menjaga keselarasan alam, yaitu menjaga agar Dewa tidak marah

sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti gunung meletus, tanah

menjadi tidak subur, panen gagal dan sebagainya (Galba et al., 1989).

Suku Tengger juga dikenal sebagai petani tradisional yang tangguh. Ketika

hasil pertanian mengalami harga yang tidak stabil dan biaya operasional yang tinggi

dalam pengolahan pertanian, tidak menyusutkan semangat Suku Tengger dalam

mengelola dan mempertahankan tradisi sebagai petani tradisional. Hal ini terlihat dari

persentase Suku Tengger yang bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 95%

(Sutarto, 2009). Dengan demikian, kegiatan pertanian menyatu dalam kehidupan

sehari-hari Suku Tengger.

13

Page 14: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

2.3.4 Flora dan Fauna di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

a. Flora

Di wilayah TN-BTS terdapat kurang lebih 600 jenis flora, dan yang banyak

dijumpai antara lain mentigi (Vaccinium varingaefolium), akasia (Acacia decurrens),

kemlandingan gunung (Albisia lophanta), cemara gunung (Casuarina junghuniana)

dan adas (Funiculum vulgare). Begitu juga di hutan Semeru bagian selatan terdapat

157 jenis anggrek seperti Malaxis purpureonervosa, Maleola witteana dan Liparis

rhodochila. Di samping jenis-jenis di atas terdapat pula jenis tumbuhan pegunungan

Tengger di antaranya pakis uling (Cyathea tenggeriensis), putihan (Buddleja

asiatica), senduro (Anaphalis sp.) dan anting-anting (Fuchsia magallanica), jamuju

(Dacrycarpus imbricatus), cemara gunung (Casuarina sp.), eidelweis (Anaphalis

javanica), berbagai jenis anggrek dan jenis rumput langka (Styphelia pungieus)

(Dephut, 2009b).

Hidayat dan Risna (2007) menemukan 13 jenis tumbuhan obat di resort Ranu

Pani, Senduro dan Pronojiwo. Tiga jenis diantaranya termasuk kategori tumbuhan

obat langka yaitu pronojiwo (Euchresta horsfieldii), pulosari (Alyxia reinwardtii) dan

sintok (Cinnamomum sintoc) di kawasan TN-BTS, dan satu jenis tumbuhan obat

langka yaitu purwoceng (Pimpinella pruatjan) ditemukan di perkebunan penduduk.

b. Fauna

Di TN-BTS terdapat sekitar 137 jenis burung, 22 jenis mamalia dan 4 jenis

reptilia. Sedikit jenis mamalia yang dapat dijumpai, di antaranya babi hutan (Sus

scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus), trenggiling

(Manis javanica), landak (Hystrix brachyura), budeng (Presbytis cristata) dan

beberapa jenis mamalia kecil lainnya (Dephut, 2009b).

Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di TN-BTS antara lain luwak

(Pardofelis marmorata), rusa (Cervus timorensis ), kera ekor panjang (Macaca

fascicularis), kijang (Muntiacus muntjak ), ayam hutan merah (Gallus gallus), macan

tutul (Panthera pardus ), ajag (Cuon alpinus ) dan berbagai jenis burung seperti alap-

alap burung (Accipiter virgatus ), rangkong (Buceros rhinoceros silvestris), elang ular

14

Page 15: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

bido (Spilornis cheela bido), srigunting hitam (Dicrurus macrocercus), dan elang

bondol (Haliastur indus) yang hidup di Ranu Pani, Ranu Regulo, dan Ranu Kumbolo

(Dephut, 2009a). Hewan lain yaitu kupu-kupu yang ditemukan di Hutan Ireng-ireng

wilayah konservasi Senduro Lumajang kawasan TN-BTS. Ditemukan sebanyak 31

species dan sub species yang berasal dari 21 genus dalam delapan famili. Satu species

dilindungi undang-undang di Indonesia yaitu Troides Helena (Suharto et al., 2005).

2.3.5 Pengetahuan Suku Tengger Tentang Flora -Fauna dan Manfaatnya

a. Pengetahuan Flora

Keadaan alam sebagaimana yang telah diuraikan, terutama dari jenis tanah,

keadaan tanah, dan suhu udara daerah Tengger akan mempengaruhi dan sangat

menentukan keberadaan jenis tumbuhan yang dapat tumbuh subur secara alami.

Tumbuh-tumbuhan yang dapat hidup subur di kawasan Tengger sangat beragam,

mulai dari tanaman pohon yang besar sampai tanaman herba dan tergolong kecil.

Tanaman pohon, seperti akasia, cemara gunung, bambu dapat dijumpai di sekitar

pegunungan Tengger. Sedangkan tanaman herba, termasuk jenis sayuran sangat

beragam, misalnya kentang, kubis, wortel, jagung, ubi ketela, bawang putih, bawang

prei, sawi, dan tomat yang merupakan hasil pertanian Suku Tengger (Sutarto, 2009).

Dahulu, jagung merupakan tanaman pokok Suku Tengger, tetapi saat ini tidak

banyak ditanam lagi. Hal ini disebabkan karena nilai ekonominya rendah, oleh sebab

itu Suku Tengger menggantinya dengan sayur-sayuran yang nilai ekonominya tinggi.

Meskipun demikian, masih dapat dijumpai di beberapa wilayah Suku Tengger masih

menanam jagung di lahan pertaniannya, karena tidak semua Suku Tengger mengganti

makanan pokoknya dengan beras. Bahkan sampai sekarang nasi aron Tengger (nasi

jagung) masih tercatat sebagai makanan tradisional dalam khazanah kuliner

Nusantara (Sutarto, 2009).

Selain hasil pertanian, Suku Tengger juga menanam cemara, pinus, pakis, dan

akasia yang dapat menahan longsoran tanah (Sutarto, 2009). Selain itu, dalam

kesehariannya Suku Tengger mempergunakan batang dan ranting pohon cemara

15

Page 16: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

untuk bahan bakar dapur (pawon), dan berdiang (gegeni) untuk mengatasi hawa

dingin.

b. Pengetahuan Fauna

Suku Tengger sebagian besar memiliki sapi, kerbau, kambing, kuda, dan

ayam sebagai binatang ternak (Depdikbud, 1997). Binatang ternak tersebut dagingnya

digunakan untuk dikonsumsi, dijual untuk kebutuhan rumah tangga dan dipakai untuk

keperluan selamatan atau upacara adat. Sedangkan kotorannya sengaja dikumpulkan

untuk pupuk kandang pada lahan pertanian mereka.

Binatang ternak dipelihara dengan dibuatkan kandang tersendiri yang terpisah

jauh dari rumah pemukiman penduduk. Hewan ternak tersebut tidak dilepas supaya

tidak mengganggu dan merusak tanaman atau lahan pertanian. Rumput gajah

biasanya digunakan sebagai makanan ternak setiap hari, karena makanan ternak ini

tidak sulit diperoleh dan umumya banyak ditanam di tegalan atau di pekarangan

penduduk.

Suku Tengger menggunakan hasil pertanian dan ternak untuk dikonsumsi,

dijual, dan digunakan untuk upacara adat. Hal ini dapat dilihat pada upacara Kasodo

yang mempersembahkan hasil pertanian dan ternak untuk dipersembahkan ke

Gunung Bromo setiap setahun sekali. Hasil pertanian dan ternak di tempatkan pada

sebuah Ongkek (alat sesaji yang terbuat dari kayu dan bambu petung yang dapat

dipikul) yang berisi jagung, bawang merah, kubis, pisang, kentang, dan kadang-

kadang padi, dan kelapa, dan juga kambing, ayam, angsa, itik, serta burung. Ongkek

biasanya diberi hiasan bunga dan janur kuning agar kelihatan indah. Untuk

persembahan yang lain seperti pada upacara Karo, Unan-unan, Entas-entas Suku

Tengger menggunakan Kerbau sebagai hewan kurban dan juga kemenyan digunakan

dalam selamatannya (Sutarto, 2007).

16

Page 17: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan metode

kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui

pengggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang diketahui atau digunakan

Suku Tengger sebagai obat, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk

mengetahui tingkat pengetahuan atau penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan

mineral sebagai obat (Sudjatno, 1994).

3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan

Ngadisari Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

3.2.2 Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Desember tahun 2009.

3.3 Populasi Dan Sampel

3.3.1 Populasi

Suku Tengger di Desa Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari

Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

3.3.2 Sampel

Suku Tengger yang mengetahui atau menggunakan tumbuhan, hewan, dan

bahan mineral dalam pengobatan tradisional.

17

17

Page 18: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Snowball

Sampling. Dengan menentukan sampel awal kemudian menentukan sampel

berikutnya berdasarkan informasi yang diperoleh (Suharyanto et al., 2009). Dalam

metode sampling dimulai dengan kelompok kecil yang diminta untuk menunjukkan

kawan masing-masing. Kemudian kawan-kawan itu diminta pula menunjukkan

kawannya masing-masing lainnya, dan begitu seterusnya sehingga kelompok itu

bertambah besar bagaikan bola salju (Snowball) yang kian bertambah besar bila

meluncur dari puncak ke bawah (Soeratno, 1993).

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data didapatkan melalui wawancara semi-structured dan

structured dengan informan yang mengetahui atau menggunakan tumbuhan sebagai

obat (Pieroni et al., 2002), dengan menggunakan tipe pertanyaan open-ended

(Notoatmodjo, 2002). Teknik tersebut lazim digunakan dalam penelitian etnobotani

(Cotton, 1996). Apabila dimungkinkan juga menerapkan teknik observasi langsung

(participant observation) dengan mengikuti sebagian aktivitas sehari-hari penduduk.

Setiap jenis tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang dimanfaatkan sebagai

bahan obat dicatat nama lokal, bagian yang digunakan, cara penggunaan, dan

kegunaannya. Jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang belum diketahui nama ilmiahnya

diambil contoh herbariumnya untuk keperluan identifikasi.

3.5 Instrumen Penelitian

Alat atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan

alat-alat pedoman wawancara (kuisioner) serta sarana dokumentasi (kamera dan alat

perekam).

18

Page 19: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

3.6 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang diterapkan

Gambar 3.1 Rancangan penelitian untuk pengambilan data

P = PopulasiPa = Populasi desa NgadasPb = Populasi desa Jetak Pc = Populasi desa WonotoroPd = Populasi desa NgadirejoPe = Populasi desa Ngadisari

19

P

Pa SnS

Sa1

Sa2

Sast

Pb SnS

Sb1

Sb2

Sbst

Pc SnS

Sc1

Sc2

Scst

Pd SnS

Sd1

Sd2

Sdst

Pe SnS

Se1

Se2

Sest

D

Page 20: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Sn = Pengambilan SnowballS = SampelSa1 = Sampel desa Ngadas 1Sa2 = Sampel desa Ngadas 2Sast = Sampel desa Ngadas seterusnyaSb1 = Sampel desa Jetak 1Sb2 = Sampel desa Jetak 2Sbst = Sampel desa Jetak seterusnyaSc1 = Sampel desa Wonotoro 1Sc2 = Sampel desa Wonotoro 2Scst = Sampel desa Wonotoro seterusnyaSd1 = Sampel desa Ngadirejo 1Sd2 = Sampel desa Ngadirejo 2Sdst = Sampel desa Ngadirejo seterusnyaSe1 = Sampel desa Ngadisari 1Se2 = Sampel desa Ngadisari 2Sest = Sampel desa Ngadisari seterusnyaD = Data

3.7 Prosedur Penelitian

Prosedur kerja dimulai dari persiapan penelitian hingga Analisis hasil meliputi

tahap-tahap sebagai berikut:

3.7.1 Menentukan sampel

Sampel yang dipilih berdasarkan teknik pengambilan sampel (Snowball

Sampling).

3.7.2 Interview Informan

Berdasarkan Pieroni et al, (2002) interview yang digunakan dalam

penelitian bersifat semi-structured dan structured. Pieroni et al, (2002) menyebutkan

bahwa tahap pertama dari studi lapangan yang dilakukan, para informan ditanya

apakah menggunakan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral obat dan pengobatan

natural, kemudian informasi spesifik selanjutnya didapatkan dengan menggunakan

wawancara yang terstruktur dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih komplek,

informan ditanya secara spesifik untuk menjelaskan metode dan cara preparasi dari

20

Page 21: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

pengobatan yang digunakan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan media

kuisioner.

Kuisioner tersebut akan menjadi acuan dari pertanyaan yang akan diberikan

kepada informan dan disertai dengan dokumentasi yang mendukung keabsahan

kuisioner tersebut. Kuisioner yang diberikan berisikan tentang: nama tumbuhan,

nama hewan, bahan mineral, penyakit yang diobati, cara penggunaan

(dimakan/diminum, penggunaan luar/oles), bagian tumbuhan yang digunakan (akar,

daun, kulit batang, kayu, bunga, biji, buah, kulit buah dan bagian lainnya), cara

meramu obat (komposisi, digosok, direbus, ditumbuk, dihancurkan, dosis).

3.8 Metode Analisis

3.8.1 Pengumpulan Data

Data hasil wawancara disusun seperti tabel 3.1 sampai 3.3

Tabel 3.1 Tabulasi Daftar Tumbuhan yang Diketahui atau Digunakan oleh Suku Tengger sebagai obat

1

2

3

st

21

IlmiahNama Famili

Lokal Bagian Tumbuhan Penyakit

Persentase Nama Tumbuhan Kegunaan

No PenggunaanPengetahuan

Page 22: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Tabel 3.2 Tabulasi Daftar Hewan yang Diketahui atau Digunakan oleh Suku Tengger sebagai Obat

NoNama hewan

Nama famili PenyakitPersentase

Lokal Ilmiah Pengetahuan Penggunaan

1

2

3

st

Tabel 3.3 Tabulasi Daftar Bahan Mineral yang Diketahui atau Digunakan oleh Suku Tengger sebagai Obat

3.8.2 Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:

a. Analisis Nama Ilmiah Dan Famili

Tumbuhan dan hewan yang digunakan olah Suku Tengger sebagai obat diidentifikasi

di Herbarium Jemberiense Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Jember.

b. Analisis Kegunaan

Dari hasil interview informan diketahui kegunaan tumbuhan, hewan dan bahan

mineral sebagai obat menurut Suku Tengger. Tumbuhan yang diketahui atau

digunakan sebagai obat dilakukan studi literatur dengan pendekatan kemotaksonomi.

No Bahan mineral PenyakitPersentase

Pengetahuan Penggunaan

1

2

3

st

22

Page 23: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

c. Analisis Persentase Pengetahuan Atau Penggunaan Tumbuhan, Hewan dan Bahan

Mineral

Menurut Sunarto et al, (1991) persentase pengetahuan atau penggunaan setiap

tumbuhan, hewan dan bahan mineral dapat dihitung menggunakan rumus sebagai

berikut:

Keterangan:

X = Angka rata-rata

a = Jumlah jawaban mengenai tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang diketahui atau

digunakan

n = Jumlah responden

Penulisan data persentase pengetahuan atau penggunaan dari tumbuhan atau hewan

yang digunakan oleh Suku Tengger sebagai obat dalam tabel (Pieroni et al., 2002):

= Informasi yang didapatkan sampai 20%

= Informasi yang didapatkan lebih dari 20%-50%

= Informasi yang didapatkan lebih besar dari 50%

23

X = x 100%a

n

Page 24: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

3.9 Skema Kerja Penelitian

24

Analisis data

Interview narasumber

Menentukan Sampel

Gambar 3.2 Skema kerja penelitian

Mempersiapkan instrumen penelitian

Pembahasan dan kesimpulan

Page 25: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis Penyakit dan Cara Pengobatan

Hasil penelitian pada masyarakat lokal Suku Tengger Kecamatan Sukapura

yang terdiri dari 5 desa yaitu Desa Ngadirejo, Desa Ngadas, Desa Jetak, Desa

Wonotoro, dan Desa Ngadisari dari 29 narasumber terinventarisir 29 jenis penyakit

dengan 60 resep tradisional (Tabel 4.1). Resep tersebut telah digunakan sebagai obat

tradisional secara turun temurun yang didalamnya terdapat berbagai jenis tumbuhan

dan beberapa jenis hewan serta bahan mineral.

Tumbuhan, hewan, serta bahan mineral yang digunakan untuk resep

tradisional dalam bentuk tunggal atau campuran dengan jenis lainnya (ramuan).

Secara tunggal umumnya untuk mengatasi penyakit yang bersifat ringan, misalnya

pada luka dapat diobati menggunakan getah pisang serta menggunakan daun ganjan

(Tagetes signata Bartl.) untuk mengobati mimisan yang penggunaannya dengan

lansung disumpatkan pada hidung. Suku Tengger menggunakan campuran antara

lobak tengger dan jambu wer untuk penyakit yang relatif berat seperti sipilis. Lebih

lanjut tentang penyakit yang timbul, cara peramuan, penggunaan, dan kandungan

yang dimungkinkan berkhasiat obat, dibahas satu persatu berdasarkan penyakit.

4.1.1 Ambeien

Daun Ceplukan pada Suku Tengger digunakan untuk mengobati masalah

ambeien. Daun ceplukan (Physalis angulata L.) ditumbuk halus kemudian dioleskan

di dubur orang yang menderita. Ceplukan (Physalis angulata L.) yang berasal dari

famili Solanaceae menurut Depkes (1995) digunakan sebagai penyembuh penyakit

bisul, borok, kencing manis dengan kandungan didalamnya antara lain asam sitrat,

fisalin sterol/ terpen, saponin, flavonoid, dan alkaloid. Kandungan utama yang aktif

pada bagian daun dan kelopak menurut Sastroamidjojo (1997) adalah fisalin dengan

kegunaannya sebagai diuretikum, dan jika terlalu banyak pemakaiannya maka akan

25

25

Page 26: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

menyebabkan pusing. Belum diketahui literature yang menyebutkan bahwa daun

Ceplukan dapat digunakan untuk pengobatan ambeien.

4.1.2 Badan panas

Suku Tengger pada kasus pengobatan badan panas menggunakan banyak

resep tradisional, antara lain:

a. Kunyit dan Sirih

Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Valeton) dari famili Zingiberaceae

ditambah daun Sirih (Piper betle L.) dari famili Piperaceae dalam suatu tempat

kemudian ditumbuk. Jumlah Kunyit dan daun Sirih yang digunakan, Suku Tengger

menggunakan dengan secukupnya. Hasil dari tumbukan yang sudah halus dioleskan

di kening dan pusar dari penderita. Kandungan bahan aktif dari Kunyit (Curcuma

domestica Valeton) antara lain minyak atsiri 3-5%, kurkumin, pati, tanin, dan damar

(Depkes, 1977). Khasiat Kunyit bisa digunakan sebagai pengobatan untuk penyakit

badan panas (Wijayakusuma et al., 1998), namun belum diketahui literatur yang

menyebutkan bahwa kandungan bahan aktif dari Kunyit yang berfungsi sebagai obat

badan panas.

Sirih (Piper betle L.) mengandung minyak atsiri, kavibetol, estrogel, eugenol,

metaleugenol, karvakrol, terpinen, seskuiterpen, fenil propanan, dan tanin (Depkes

1980). Kegunaan yang umum dari Sirih adalah sebagai antiseptik (Asean,1993;

Depkes,1980; Sastroamidjojo,1997). Belum diketahui literatur yang menyebutkan

penggunaan Sirih sebagai antipiretik, namun pada penggunaan Sirih bersama dengan

Kunyit kemungkinan ada kandungan tertentu sehingga terjadi efek farmakologi

sebagai antipiretik.

b. Adas, Dringu, dan Temulawak

Cara peramuan dari Adas (Foeniculum vulgare Mill.), Dringu (Acorus

calamus L.), dan Temulawak (Curcuma xantorrhiza L.) yaitu dengan daun atau

bunga dari adas secukupnya ditambahkan daun Dringu tiga lembar dan rimpang

temulawak secukupnya. Adas, Dringu serta Temulawak dimasukkan pada sebuah

26

Page 27: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

wadah dan dihaluskan. Bahan obat yang sudah halus dioleskan pada kening. Cara

peramuan dan pengobatan panas dengan resep tradisional ini sudah lama dikenal oleh

Suku Tengger terutama oleh para Dukun bayi. Pengobatan panas bayi dengan

ramuan ini disertai mantra khusus.

Tumbuhan Adas (Foeniculum vulgare Mill.) dari famili Apiaceae kandungan

utamanya adalah minyak atsiri yang didalamnya terdapat anethol yang tinggi

(Sastroamidjojo, 1997). Kandungan minyak atsiri dalam tumbuhan famili Apiaceae

sangat banyak dan ada dua komponen utama didalamnya, yaitu anethol dan estragole,

komponen utama tersebut bisa digunakan sebagai antipiretik. Contoh tumbuhan yang

digunakan sebagai antipiretik dari famili Apiaceae lainnya yaitu Pimpinella anisum

L, dan Angelica archangelica L. (Newal et al., 1995).

Dringu (Acorus calamus L.) famili Araceae untuk pengobatan tradisional di

Indonesia sudah tidak asing lagi. Dringu digunakan sebagai pengobatan pada masa

nifas, obat limpa yang membesar, diare dan gigi yang goyang serta insektisida,

dengan kandungan utamanya adalah minyak atsiri 1,5-3,5 % yang didalamnya

terdapat kandungan utama asasilaldehid, eugenol, dan asaron, zat pahit akorin,

amilum dan tanin (Depkes, 1978; Sastroamidjojo, 1997).

Temulawak (Curcuma xantorrhiza L.) dari famili Zingiberaceae mempunyai

kandungan bahan aktif minyak atsiri yang didalamnya terkandung sikloisoren,

mirsen, d kamfer, metilkarbon, zat warna kurkumin (Depkes, 1979). Bahan aktif yang

terkandung pada temulawak dapat digunakan sebagai pengobatan demam atau panas

(Dalimartha, 2000). Campuran Adas, Dringu serta Temulawak yang aktif sebagai

obat panas adalah Adas dan Temulawak, dimungkinkan Dringu mempunyai aktifitas

lain untuk pengobatan badan panas.

c. Daun Dadap

Dadap (Erythrina lythosperma Miq.) berasal dari famili Fabaceae digunakan

oleh Suku Tengger sebagai obat penyakit panas. Cara peramuan dan penggunaan

daun Dadap yaitu dicuci bersih kemudian ditempelkan di kening penderita panas.

Daun yang ditempelkan dan sudah kering diganti lagi dengan daun yang baru.

27

Page 28: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Kandungan bahan aktif tumbuhan Dadap (Erythrina lythosperma Miq.) antara lain

alkaloid hypaphorine (Sastroamidjojo, 1997), dari kandungan bahan aktif tersebut

daun dadap digunakan sebagai obat demam (antipiretik) (Depkes,1989;

Sastroamidjojo, 1997).

d. Buah Jeruk Nipis dengan Minyak Kayu Putih

Suku Tengger meramu resep pengobatan tradisional dari perasan buah Jeruk

nipis (Citrus aurantifolia Swingle) ditambah Minyak kayu putih (Melaleuca

leucadendra L.) untuk pengobatan badan panas. Campuran dari Jeruk nipis dan

Minyak kayu putih dioleskan keseluruh badan penderita panas. Buah Jeruk nipis

(Citrus aurantifolia Swingle) memiliki kandungan bahan aktif synephrine dan N-

methyltyramine, dari kandungan yang ada dapat digunakan sebagai obat batuk

(Dalimartha, 2000). Belum diketahui literatur yang menyebutkan Jeruk nipis dapat

digunakan sebagai antipiretik, namun dari famili yang sama yaitu pada tumbuhan

Citrus medica Linn. digunakan sebagai antipiretik (Sastroamidjojo, 1997).

Kandungan dari Minyak kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) dalam antara

lain minyak atsiri yang terdiri dari sineol 50-65%, α-terpineol, valeraldehida, dan

belzaldehida, dengan kandungan tersebut dapat digunakan sebagai pengobatan

demam, flu dan perut kembung (karminatif) (Wijayakusuma et al., 1998).

e. Daun Bawang Merah, Daun Adas, dan Tepung Beras

Daun Bawang Merah, daun Adas, dan Tepung Beras dihaluskan bersamaan

dalam suatu wadah kemudian dioleskan langsung keseluruh bagian tubuh atau bahasa

jawanya dibobok untuk pengobatan panas. Pengetahuan dan penggunaan dari

tumbuhan bawang merah (Allium ascolanicum L.) dari famili Liliaceae menunjukkan

frekuensi yang cukup baik untuk pengobatan panas badan (antipiretik). Kandungan

bawang merah (Allium ascolanicum L.) didalamnya adalah flavonoid, tannin 1%,

minyak atsiri yang mengandung komponen sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin,

kaemferol, kuersetin, florogusin (Depkes, 1997). Kebanyakan dari famili Liliaceae

digunakan sebagai antiseptik, antibakteri dan ekspektoran (Asean, 1993; Newall et

al., 1995). Literatur yang menyebutkan bawang merah sebagai antipiretik belum

28

Page 29: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

ditemukan, namun Rosita et al., (2007) menyebutkan bahwa penggunaan bawang

merah sebagai antipiretik atau pengobatan badan panas digunakan pada Suku lokal di

Gunung Gede Pangarango.

f. Daun Lampes

Tumbuhan lampes (Ocimum sp.) famili Lamiaceae digunakan sebagai

pengobatan badan panas. Tumbuhan lampes tumbuh liar di pekarangan warga Suku

Tengger. Populasi dari tumbuhan lampes di kawasan Tengger sudah sangat sedikit

sekali, ditandai dengan sangat sulitnya untuk menemukan tumbuhan ini. Tumbuhan

lampes menyerupai tumbuhan mentol dilihat dari bau dan bentuk daun, tetapi lebar

dan tebal daun tidak sama dengan daun mentol. Daun lampes lebih besar dan lebih

tebal dari pada daun mentol. Pada suku Labiatae yang mempunyai rasa dan bau

mentol, mempunyai fungsi sebagai antiseptik dan flatulen (Newal et al., 1995).

g. Calitus

Calitus (Eucalyptus globulus Labill.) famili Myrtaceae digunakan untuk

pengobatan panas. Daun diremas-remas kemudian dioleskan keseluruh badan.

Kandungan aktifnya antara lain: flavonoid eucaliptrin, quercetin, quercitrin, rutin,

minyak atsiri, dan eucalyptol (lineole) 70%-85%, dari kandungan tersebut dapat

digunakan sebagai antiseptik dan ekspektoran (Newal et al., 1995). Belum diketahui

literatur yang menyebutkan calitus dapat digunakan sebagai obat panas, namun jika

didekatkan dengan famili yang sama yaitu tumbuhan kayu putih (Melaleuca

leucadendra L.) maka calitus diduga juga dapat digunakan sebagai bahan obat panas.

4.1.3 Batuk

Kasus penyakit batuk pada Suku Tengger sering terjadi. Bisa dilihat dari

banyaknya jenis resep tradisional yang digunakan untuk pengobatan.

a. Jahe

Jahe (Zingiber officinale Roscoe) dari famili Zingiberaceae sudah sangat

lazim digunakan untuk pengobatan tradisional di Indonesia. Penggunaan Jahe pada

Suku Tengger untuk menyembuhkan batuk. Peramuannya yaitu dengan cara rimpang

29

Page 30: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

dari jahe dibersihkan kemudian ditumbuk, jahe yang ditumbuk tidak sampai halus

kemudian disedu dengan air panas. Selain untuk pengobatan batuk, jahe digunakan

sebagai minuman penghangat badan oleh Suku Tengger.

Kandungan bahan aktif Jahe (Zingiber officinale Roscoe) antara lain minyak

atsiri 2-3% mengandung zingiberen, felandren, kamfen, limonen, borneol, sineol,

sitral dan zingiberol, minyak dammar yang mengandung zingeron, dengan kegunaan

dari Jahe sebagai karminatif (Depkes,1978; Newall et al., 1995), selain itu jahe

digunakan sebagai antitusife dan ekspektoran (Asean, 1993; Sastroamidjojo,1997).

b. Buah Jeruk Nipis dan Kecap

Suku Tengger menggunakan Jeruk nipis sebagai obat batuk, dan untuk

penggunaannya ditambahkan bahan lain yaitu kecap. Peramuan obat batuk dengan

buah Jeruk nipis yaitu buah yang sudah tua diperas kemudian ditambahkan kecap dan

air secukupnya. Buah Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle) memiliki kandungan

bahan aktif synephrine dan N-methyltyramine, dari kandungan yang ada dapat

digunakan sebagai obat batuk (Dalimartha, 2000).

c. Akar Adas

Akar Adas (Foeniculum vulgare Mill.) dari famili Apiaceae direbus kemudian

diambil airnya. Air rebusan akar adas digunakan untuk pengobatan batuk dengan

aturan pemakaian sebanyak tiga kali sehari satu gelas. Kandungan Adas sudah

diterangkan sebelumnya dan dapat digunakan sebagai ekspektoran (Asean,1993).

Kandungan aktif sebagai ekspektoran belum ada literatur yang menjelaskan.

d. Bawang Pre ditambah Garam

Bawang Pre (Allium fistulosum L.) dari famili Liliaceae di bakar kemudian

ditambahkan garam secukupnya. Hasil bakaran yang sudah hampir hangus langsung

dimakan untuk pengobatan batuk. Famili Liliaceae yang bisa digunakan sebagai obat

batuk atau ekspektoran salah satunya adalah Bawang putih (Newall et al., 1995).

Pendekatan kemotaksonomi yang berada pada Genus yang sama dimungkinkan

Bawang Pre juga bisa digunakan sebagai ekspektoran. Penelitian lebih lanjut dari

penggunaan Bawang Pre yang dicanpur dengan garam untuk obat batuk.

30

Page 31: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

e. Daun Asam Tengger

Daun Asam Tengger (Radicula armoracia Robinson) famili Brassicaceae

digunakan sebagai obat batuk. Daun dipotong-potong dan cuci dengan air, kemudian

dibungkus dengan daun pisang dan dibakar di perapian sampai layu. Sesudah layu

daun Asam Tengger dimakan langsung. Asam Tengger tidak sama dengan Asam

Jawa (Tamarindus indica L.), Asem Tengger hampir sama dengan Lobak Tengger

(Raphanus raphanistrum L.) yang berasal dari famili Brassicaceae perbedaanya pada

bentuk dan struktur bunganya.

Asem Tengger dapat digunakan sebagai antiseptik, stimulan, diuretik, dan

infeksi saluran pernafasan dengan kandungan aktif dalam herba Asem Tengger antara

lain: fenol, minyak atsiri, asam askorbat, asparagin, enzim peroksidase, resin, dan

gula (Newall et al., 1995), sedangkan kandungan aktif yang ada pada daun antara

lain: kaemferol dan quersetin.

4.1.4 Beri-beri

Penyakit beri-beri jarang sekali muncul pada Suku Tengger, namun di Suku

Tengger terdapat resep tradisional yang selalu dijaga sampai sekarang untuk

pengobatan penyakit beri-beri. Suku Tengger menggunakan Jamur Impes (Bovista

gigantea (Batsch) Gray) famili Lycoperdaceae sebagai pengobatan. Jamur Impes

diambil secukupnya kemudian ditambahkan air dan langsung dioleskan pada bagian

tubuh yang terkena beri-beri. Suku Tengger menyertakan mantra pada waktu

mengoleskannya. Penggunaan yang umum dari Jamur Impes antara lain digunakan

untuk menghentikan pendarahan dan luka yang mengering (Sastroamidjojo,1997).

Belum diketahui literatur yang menyebutkan kandungan dan manfaat dari Jamur

Impes untuk pengobatan beri-beri.

Jamur Impes muncul di daerah Tengger pada waktu musim hujan. Keberadaan

dari Jamur Impes pada musim hujan sekarang ini sangat sulit ditemukan. Menurut

31

Page 32: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

masyarakat Suku Tengger, hilangnya Jamur Impes dikarenakan penggunaan dari

bahan kimia untuk tanaman sayur-sayuran. Jamur Impes yang peneliti temui sudah

disimpan salah satu warga Suku Tengger selama kurang lebih 4 tahun. Berukuran

sebesar bola basket berwarna coklat, dengan permukaan seperti debu yang

menyembul ketika jamur dirobek.

4.1.5 Cacar Nanah

Biji Jagung (Zea mays) famili Poaceae ditambah daun Adas (Foeniculum

vulgare Mill.) digunakan untuk pengobatan Cacar Nanah. Jagung (Zea mays)

mempunyai kandungan bahan aktif saponin, steroid/ triterpenoid, tannin 2%, tanin

alantoin, dammar karvakrol, dan minyak lemak (Depkes, 1995). Kandungan tersebut

digunakan untuk pengobatan hipertensi dan deuretik (Depkes, 1995; Newall et al.,

1995). Campuran biji jagung dan daun adas belum ada literatur yang jelas untuk

pengobatan cacar nanah.

4.1.6 Darah Tinggi

Penggunaan Seledri (Apium graveolens L) famili Apiaceae untuk pengobatan

darah tinggi dilakukan oleh Suku Tengger. Daun Seledri dicuci bersih kemudian

dimakan secara mentah. Kandungan Seledri antara lain flavon glukosida, zat pahit,

minyak atsiri, vitamin kolin, dan lipase, dari kandungan tersebut daun Seledri dapat

digunakan sebagai pemacu enzim pencernaan dan deuretik (Asean, 1993; Depkes,

1989; Newall et al.,1995). Apialkali merupakan bahan aktif antihipertensi dari

Seledri (Wijayakusuma, 2000). Penggunaan daun Seledri sebagai antihipertensi atau

pengobatan darah tinggi juga dilakukan oleh Suku lokal Gunung Gede Pangarango

(Rosita et al., 2007).

32

Page 33: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

4.1.7 Diare

Obat tradisional yang digunakan oleh Suku Tengger untuk pengobatan diare

sangat umum atau banyak individu Suku Tengger mengetahui atau menggunakannya,

diantaranya:

a. Tumbuhan Grunggung

Grunggung (Potentilla argunta Pursh) berasal dari famili Rosaceae digunakan

sebagai pengobatan penyakit diare oleh Suku Tengger. Bagian yang digunakan

sebagai obat diare adalah buahnya yang masih muda. Buah muda Grunggung ditandai

dengan warna buah yang hijau dan sedikit keunguan. Pengobatan untuk diare yaitu

dengan cara buah grunggung dipetik dari dahannya kemudian dicuci bersih dan

langsung dimakan. Persentase pengetahuan dan penggunaan dari tumbuhan

Grunggung sebagai obat diare cukup besar. Grunggung (Potentilla arguta Pursh)

dapat digunakan sebagi antidiare (Lans et al., 2007). Famili Rosaceae jenis lain yang

dapat digunakan sebagai anti diare diantaranya adalah tumbuhan Agrimonia

eupatoria L., Geum urbanum L., Sanguisorba officinalis L. dengan kandungan bahan

yang ada didalamnya antara lain Tanin, flavonoid dan Vitamin (Newall et al., 1995)

b. Buah Pisang

Buah pisang (Musa paradisiaca L.) famili Musaceae yang masih mentah

dibakar sampai hangus kemudian dimakan. Pisang mempunyai kandungan kimia

serotanina, norepinefrina, noreadrenalina, hidroksi-triptamina, dopamine, tannin,

vitaminA, vitamin B, dan vitamin C dengan kegunaan pisang sebagai penawar racun

(Depkes, 1989). Sedangkan menurut Sastroamidjojo (1997) getah dari pohon pisang

yang digunakan sebagai antidiare. Penggunaan getah pisang sebagai antidiare juga

telah dilakukan oleh Suku lokal Gunung Gede Pangarango (Rosita et al., 2007).

c. Daun Jambu biji

Daun jambu biji sudah sangat lazim digunakan oleh berbagai Suku di

Indonesia sebagai obat antidiare. Penggunaan Daun muda jambu biji (Psidium

guajava L.) di Suku Tengger dengan cara direbus kemudian air rebusan diminum

sehari tiga kali satu gelas. Kandungan aktif yang ada pada jambu biji antara lain

33

Page 34: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

tannin 9-12%, minyak atsiri, minyak lemak, dan asam malat, dari kandungan tersebut

digunakan sebagai pengobatan diare (Depkes, 1977; Sastroamidjojo, 1997).

d. Jambu Wer

Tumbuhan Jambu Wer (Pimento dionica L.) satu famili dengan jambu biji

yaitu famili Myrtaceae. Pada Suku Tengger digunakan sebagai antidiare. Cara

penggunaannya yaitu buah yang masih muda dicuci bersih dan kemudian dimakan

langsung. Kandungan dan kegunaan dari Jambu Wer berdasarkan literatur belum

ditemukan, namun dengan kesamaan famili dengan jambu biji dimungkinkan

mempunyai kandungan yang mirip dan bisa digunakan sebagai antidiare.

e. Kulit Manggis

Kulit buah manggis oleh Suku Tengger tidak dibuang, tetapi dimanfaatkan

sebagai pengobatan diare. Cara pengobatannya relatife mudah yaitu dengan cara kulit

buah dibakar pada perapian sampai hangus kemudian setelah dingin dimakan

langsung. Manggis (Garcinia mangostana L.) berasal dari famili Clusiaceae dengan

kandungan aktif didalamnya triterpenoid, tannin, resin, mangostin (Depkes, 1989).

Kandungan bahan aktif kulit buah manggis dapat digunakan sebagai antidiare

(Depkes, 1989; Sastroamidjojo, 1997).

4.1.8 Gabak (Keringat Tidak Keluar)

Gabak pada Suku Tengger biasanya terjadi pada anak-anak. Pengobatannya

menggunakan daun adas (Foeniculum vulgare Mill.) yang ditumbuk sampai halus,

kemudian dioleskan keseluruh bagian tubuh. Adas digunakan sebagai karminatif dan

ekspektoran (Sastroamidjojo, 1997). Belum ada literatur yang menerangkan tentang

penggunaan Adas maupun dari famili yang sama dengan Adas sebagai obat gabak.

4.1.9 Gatal

a. Daun Tirem

Tirem (Cayratia clematidea Domin) famili Vitaceae digunakan untuk

mengobati gatal gatal. Daun tirem dicuci bersih kemudian direbus sampai mendidih.

34

Page 35: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Hasil rebusan diminum airnya sehari dua sampai tiga kali satu gelas kecil. Belum

diketahui literatur yang menjelaskan kandungan dan kegunaan dari tirem untuk

pengobatan gatal.

b. Akar Pangotan

Pangotan (Microsorium buergerianum (Miq.) Ching) di Suku Tengger

digunakan untuk penyembuhan gatal-gatal. Bagian tumbuhan pangotan yang

digunakan adalah akarnya. Akar dari pangotan menyerupai rimpang seperti pada

layaknya famili zingiberaceae. Pangotan (Microsorium buergerianum (Miq.) Ching)

merupakan jenis tumbuhan paku famili Polypodiaceae. Tumbuhan pangotan

digunakan untuk pengobatan gatal-gatal dengan cara merebus akarnya. Hasil rebusan

tersebut diminum dua sampai tiga kali sehari satu gelas.

c. Daun Adas

Penggunaan daun Adas (Foeniculum vulgare Mill.) untuk pengobatan gatal-

gatal belum diketahui literatur yang menyebutkan. Akan tetapi, Famili Apiaceae yang

lain seperti Pimpinella anisum L, Angelia archangelica L, Apium graveolens, dan

Petroselinum crispum (Mill.) Nyman. dapat digunakan sebagai antiseptik (Newall et

al., 1995).

4.1.10 Kencing Manis

Suku Tengger mengobati kencing manis menggunakan kulit dari buah

manggis (Garcinia mangostana L.) famili Clusiaceae. Penggunaan kulit manggis

untuk pengobatan kencing manis belum ada literatur yang menyebutkan. Akan tetapi,

buah dalam dari manggis bisa digunakan sebagai obat radang alat kelamin

(Sastroamidjojo, 1997).

4.1.11 Kencing Terasa Sakit dan Panas

Akar Alang-alang (Imperata cylindrica L.) oleh Suku Tengger digunakan

sebagai pengobatan sakit yang dirasa panas dan sakit sekali pada waktu kencing.

Akar Alang-alang (Imperata cylindrica L.) digunakan dengan cara ditumbuk sampai

35

Page 36: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

halus kemudian ditambah air panas secukupnya. Setelah dingin, air rendaman dapat

diminum dengan aturan sehari tiga kali satu gelas.

Tumbuhan Alang-alang dapat digunakan sebagai diuretik, dengan kandungan

minyak atsiri yang banyak pada rimpang. Komponen minyak atsiri tersebut antara

lain arundion, fernenol, isoarborinol, clyindrin, simiarenol, campesterol (Asean

1993).

4.1.12 Leresan (Sipilis)

Penyakit sipilis jarang sekali muncul pada Suku Tengger, namun pengobatan

tradisional untuk mengatasinya sudah dikenal Suku Tengger sejak lama, diantaranya:

a. Lobak Tengger dan Jambu Wer

Sipilis atau yang biasa disebut di Suku Tengger leresan menurut responden

dari sebagian Suku Tengger adalah penyakit yang diderita oleh laki-laki yang sakit

saat mengeluarkan kencing. Pada waktu kencing mengeluarkan nanah dan terasa

sangat panas dan sakit. Penyakit ini, diderita oleh sebagian Suku Tengger yang

biasanya melakukan hubungan dengan wanita bukan pasangannya, atau bagi laki-laki

yang bekerja terlalu keras dengan suhu yang dingin. Suku Tengger menggunakan

daun Jambu Wer (Pimento dionica L.) dengan akar dari Lobak Tengger (Raphanus

raphanistrum L.) yang direbus, air rebusan tersebut diminum sebagai pengobatan

sipilis.

Jambu Wer (Pimento dionica L.) anggota famili Myrtaceae sangat sedikit

literatur yang menyebutkan kandungan dan khasiatnya, tetapi dari famili Myrtaceae

yang lain seperti pada Eucalyptus globulus Labill. daun dan minyaknya dapat

digunakan sebagai antiseptik atau antibakteri (Newall et al., 1995). Begitu juga

tumbuhan lain dari famili yang sama yaitu Eugenia caryophyllus (Spreng.) Bull.

digunakan sebagai antiseptik. Kandungan yang ada pada famili Myrtaceae antara lain

flavonoid, tanin, saponin dan minyak atsiri, namun belum diketahui mana yang

berfungsi sebagai antiseptik (Newall et al.,1995).

36

Page 37: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Lobak Tengger (Rapanus raphanistrum L.) dari famili Brasicaceae belum

diketahui literatur yang menyebutkan kandungan dan juga khasiat untuk pengobatan

sipilis. Namun, tumbuhan lain yang satu famili dengan Lobak Tengger seperti pada

tumbuhan Radicula armorica L. mempunyai khasiat sebagai anti infeksi saluran urin

dan juga sebagai antiseptik dengan kandungan utama dalam akar dari Radicula

armorica L. adalah fenol, yang didalamnya terdapat derifat asam caffeic dan derifat

asam hydroxycinnamic (Newall et al., 1995). Kandungan tersebut belum diketahui

senyawa mana yang berkhasiat sebagai antiseptik dan antiinfeksi saluran kencing.

b. Kecap, Telur dan Cuka

Cara pengobatan lain untuk sipilis menggunakan campuran dari kecap, kuning

telur dan cuka. Pengobatan sipilis dengan cara ini dilakukan dengan disertai pijatan

pijatan pada sekitar kemaluan laki-laki dan mantra-mantra khusus. Pemijatan dan

mantra ini hanya dilakukan oleh mereka dari Suku Tengger yang bisa dan dipercaya

dapat mengobati atau menyembuhkan penyakit sipilis ini.

4.1.13 Luka Gores

Sebagian besar warga Suku Tengger bekerja sebagai petani yang

kemungkinan mengalami luka gores benda tajam atau terjatuh sering dijumpai.

Pengobatan luka menggunakan obat tradisional bahan alam pada Suku Tengger

banyak sekali macamnya, antara lain;

a. Minyak Tanah dan Sawang (jaring laba-laba)

Selain menggunakan berbagai macam tumbuhan yang ada, Suku Tengger

menggunakan bahan mineral dan juga hasil metabolisme dari hewan. Bahan mineral

yang dipakai untuk mengobati luka adalah minyak tanah. Minyak tanah digunakan

sebagai pembersih luka setelah terkena benda tajam atau tergores, minyak tanah ini

dimaksudkan sebagai antiseptik. Selanjutnya, untuk menutup luka Suku Tengger

menggunakan Sawang (jaring laba-laba). Belum diketahui penelitian pasti mengenai

kegunaan Minyak tanah sebagai Antiseptik dan Sawang sebagai penutup luka.

37

Page 38: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

b. Getah Pisang

Dahan pisang (Musa paradisiaca L.) famili Musaceae dipotong kemudian

langsung dioleskan pada bagian yang luka. Pisang mempunyai kandungan kimia

serotanin, norepinefrin, noreadrenalina, hidroksitriptamina, dopamin, tanin, vitamin

A, vitamin B, dan vitamin C dengan keguanaan pisang sebagai penawar racun

(Depkes, 1989). Menurut Sastroamidjojo (1997) getah pisang bisa digunakan sebagai

pengobat luka, baik luka gores maupun luka terbakar. Penggunaan pisang sebagai

pengobatan luka juga digunakan oleh Suku lokal Gunung Gede Pangarango (Rosita

et al., 2007).

c. Bawang Merah atau Bawang Putih

Bawang merah atau bawang putih biasanya digunakan sebagai bumbu dapur,

oleh Suku Tengger digunakan sebagai obat luka. Penggunaannya dengan cara

ditumbuk halus kemudian ditambahkan gula pasir secukupnya. Setelah penambahan

gula pasir, hasil tumbukan dilekatkan pada luka. Bawang merah mempunyai

kandungan didalamnya adalah flavonoid, tanin 1% minyak atsiri mengandung

komponen sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, kaemferol, kuersetin, florogusin

(Depkes,1997; Sastroamidjojo,1997). Sedangkan Bawang putih (Allium sativum L.)

didalamnya terdapat tanin <1% minyak atsiri, dialilsulfida, alisin, enzim alinase,

vitamin A, vitamin B, dan juga Vitamin C (Depkes 1997). Kandungan bawang merah

dan bawang putih dapat digunakan sebagai antiseptik (Newall et al., 1995).

d. Daun Sirih

Daun sirih (Piper betle L.) famili Piperaceae banyak digunakan oleh Suku

Tengger untuk mengobat luka. Daun sirih dipetik kemudian dicuci bersih, setelah itu

ditumbuk sampai halus dan langsung dioleskan pada bagian tubuh yang terluka. Sirih

dapat digunakan sebagai antiseptik luka (Depkes, 1980; Sastroamidjojo,1997).

Kandungan utama daun sirih adalah minyak atsiri yang didalamnya mengandung

hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karvakrol, terpinen,

seskuiterpen, fenil propanan, dan tannin (Depkes, 1980).

38

Page 39: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

4.1.14 Masuk Angin

Suhu udara yang dingin menyebabkan masuk angin sering dijumpai pada

Suku Tengger. Obat tradisional yang digunakan antara lain:

a. Kayu Putih

Kandungan minyak kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) adalah minyak

atsiri yang terdiri dari sineol 50-65%, α-terpineol, valeraldehida, dan belzaldehida,

dengan kegunaan sebagai perut kembung (karminatif) (Depkes,1979; Wijayakusuma

et al., 1998). Pada Suku Tengger, dahulu minyak kayu putih didapatkan dari

penyulingan sendiri dari daun kayu putih. Kayu putih yang disuling didapatkan dari

hutan sekitar kawasan Tengger. Namun, sekarang ini Suku Tengger sudah tidak lagi

menyuling kayu putih melainkan langsung membeli di Toko-toko sekitar.

b. Menggunakan Bunga Adas

Bunga adas digunakan sebagai obat masuk angin memiliki frekuensi

pengetahuan dan penggunaan yang cukup banyak pada Suku Tengger. Hal Ini

disebabkan karena tumbuhan adas tumbuh subur di kawasan Tengger dan juga suhu

udara yang dingin menyebabkan frekuensi terserang masuk angin atau kurang enak

badan cukup banyak, terutama pada anak-anak. Tumbuhan Adas (Foeniculum

vulgare L.) dari famili Apiaceae tumbuh liar dikawasan Tengger dengan kandungan

utamanya adalah minyak atsiri yang didalamnya terdapat anethol yang tinggi dan

digunakan sebagai pengobatan perut kembung (Sastroamidjojo, 1997). Cara

pengobatannya cukup sederhana yaitu bunga Adas sebanyak satu genggam diremas-

remas kemudian dioleskan langsung pada perut.

4.1.15 Memperlancar Kencing dan Gejala Penyakit Ginjal

Alang-alang yang tumbuh liar oleh Suku Tengger digunakan untuk

memperlancar kencing dan gejala penyakit ginjal. Dalam penggunaannya akar Alang-

alang (Imperata cylindrica L.) famili Graminae ditambah lempuyang (Pragmites

australis). Lempuyang yang digunakan oleh Suku Tengger bukan lempuyang yang

berasal dari famili Zingiberaceae, melainkan dari famili Graminae. Peramuannya

39

Page 40: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

yaitu dengan diambil akar alang-alang secukupnya ditambah akar lempuyang yang

kemudian ditumbuk sampai halus. Setelah dirasa cukup halus hasil tumbukan tersebut

direbus dengan air secukupnya. Air hasil rebusan diminum sehari tiga kali satu gelas.

Alang-alang dapat digunakan sebagai obat penghancur batu ginjal.

Kandungan kimia di dalamnya antara lain damar, asam kresik, kalium dan logam

alkali. Kalium merupakan zat yang diduga kuat sebagai penghancur batu ginjal

(Wakidi, 2003). Lempuyang (Pragmites australis) dan Alang-alang (Imperata

cylindrical L.) masih dalam satu famili. Diduga kuat dengan keterkaitan famili

tersebut Lempuyang juga mempunyai kandungan dan aktivitas yang sama dengan

Alang alang.

4.1.16 Mimisan

Ganjan di wilayah Tengger tumbuh liar seperti rumput, Suku Tengger

menyebutnya sebagai hama tumbuhan. Ganjan (Tagetes signata Bartl.) dari suku

Asteraceae digunakan oleh Suku Tengger sebagai obat mimisan. Tumbuhan dari

famili Asteraceae yang digunakan sebagai obat mimisan antara lain Artemisia

vulgaris L., Eupatorium triplinerve Vahl. (Dalimartha, 1999). Zat yang terkandung

didalam kedua tumbuhan tersebut antara lain glikosida dan tanin (Sastroamidjojo,

1997). Penggunaan Ganjan sebagai obat mimisan sangat sederhana sekali. Daun

Ganjan diremas-remas kemudian di sumbatkan ke lubang hidung yang keluar darah

mimisan.

4.1.17 Pegal Linu

Obat tradisional yang digunakan oleh Suku Tengger untuk Pegal Linu antara

lain:

a. Tepung Otot

Tumbuhan Tepung otot (belum teridentifikasi 1) tumbuh liar menjalar di

tanah seperti rerumputan yang lain. Penggunaan Tepung otot sudah familiar pada

Suku Tengger, hal ini disebabkan karena tumbuhan tepung otot digunakan oleh

40

Page 41: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

sebagian besar Suku Tengger yang mayoritas pekerjaannya sebagai petani dan rentan

terkena pegal linu. Penggunaan tepung otot sangat mudah yaitu tumbuhan tepung otot

yang menjalar dikumpulkan satu genggam kemudian dibasahi dengan air secukupnya.

Setelah terbasahi, tepung otot diremas-remas dan kemudian digosokkan pada bagian

tubuh yang terserang pegal linu.

b. Pangotan dan Pakis Sayur

Microsorium buergerianum (Miq.) Ching atau yang biasa disebut oleh Suku

Tengger tumbuhan Pangotan berasal dari satu famili dengan Pakis Sayur (Diplazium

esculentum (Retz.) Sw.) yaitu famili Polypodiaceae. Campuran dari kedua tumbuhan

tersebut pada Suku Tengger digunakan sebagai pengobatan pegal linu atau yang biasa

disebut Linu-linu. Penggunaannya yaitu dengan mencampurkan akar dari pangotan

dan herba pakis sayur yang kemudian direbus dengan air secukupnya. Air rebusan

yang sudah dingin diminum sehari dua kali satu gelas.

Pangotan mempunyai nama umum Paku Pedang yang mempunyai kandungan

aktif alkaloid, saponin dan polifenol dengan khasiatnya sebagai anti radang (anti

inflamasi), anti bakteri dan peluruh air seni (IPTEK, 2009). Dapat disimpulkan

sementara bahwa antara pangotan dan pakis sayur mempunyai kandungan dan fungsi

yang sama.

4.1.18 Penguat Syahwat (Afrodisiak)

Penggunaan buah Terong Belanda (Cyphomandra betaca (Cav.) Sendtn.)

famili Solanaceae sebagai penguat syahwat pada Suku Tengger dinformasikan oleh

sedikit responden. Suku Tengger masih menganggap tabu mengenai masalah ini,

sehingga belum semua informasi tersampaikan. Maka, perlu adanya pendekatan yang

lebih lanjut untuk menggali informasi tentang afrodisiak pada Suku Tengger.

Buah terong belanda yang sudah berwarna merah dipetik dan langsung

dimakan. Kandungan aktif didalamnya alkaloid, flavonoid dan tanin. Kandungan

tersebut umum digunakan sebagai obat penurun tekanan darah tinggi dan penyegar

badan (IPTEK, 2009).

41

Page 42: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

4.1.19 Penyakit Kuning

Pring kuning (Bambusa vulgaris Schrad.) famili Graminae di Suku tengger

digunakan sebagai obat penyakit kuning (hepatitis). Bagian yang digunakan untuk

pengobatan adalah akar Pring kuning yang direbus. Air rebusan diminum sehari dua

sampai tiga kali satu gelas. Belum ada literatur yang menjelaskan bahwa Pring kuning

dapat digunakan sebagai bahan pengobatan penyakit kuning.

Bahan obat lain yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit kuning pada

Suku Tengger adalah hewan Keong Mas. Cara peramuannya yaitu, Keong Mas

dikeluarkan dari cangkangnya kemudian dicuci bersih. Hasil cucian Keong Mas

dibakar di perapian sampai matang, setelah matang langsung dimakan. Hewan Keong

Mas juga belum ada literatur yang menjelaskan kandungan dan kegunaan sebagai

obat penyakit kuning.

4.1.20 Perut Kembung

a. Beras Kencur dan Daun Sirih

Pengobatan perut kembung menggunakan campuran antara beras kencur dan

daun sirih. Kandungan sirih (sudah dijelaskan dipengobatan luka gores) dapat

digunakan sebagai karminativ (perut kembung) (Asean. 1993). Sedangkan kandungan

dari kencur (Kaempferia galanga L.) famili Zingiberaceae antara lain minyak atsiri

2,4-3,9 % yang mempunyai aktifitas sebagai karminatif (Depkes, 1977;

Sastroamidjojo, 1997).

b. Simbukan

Daun simbukan (Paedaria foetida L.) famili Rubiaceae digunakan sebagai

obat kembung (karminatf) dengan kandungan bahan aktif glikosida iridoid asperulin,

aukobin, paederosida dari arbutin, triterpen, sistosteral, paederon dan paederolan,

peifridenalol asetat,dan metil merkapan (Depkes, 1989). Penggunaannya menurut

Suku Tengger yaitu dengan cara daun simbukan dicuci bersih kemudian direbus

dengan air, hasil rebusan diminum secukupnya.

42

Page 43: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

4.1.21 Rematik

Suku tengger menggunakan tumbuhan Bawang pre (Allium fistulosum L.) dari

famili Liliaceae sebagai pengobatan asam urat dan rematik. Bawang pre dibakar

kemudian dioleskan pada bagian tubuh yang linu atau terasa sakit untuk pengobatan

rematik. Selain menggunakan bawang pre, Suku Tengger menggunakan akar Pring

kuning atau Bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad.) sebagai pengobatan penyakit

rematik. Akar Pring kuning direbus kemudian diminum air rebusannya sehari dua

sampai tiga kali satu gelas. Bawang pre maupun Pring kuning belum ada literatur

yang menyebutkan kandungan dan kegunaan sebagai obat rematik atau asam urat.

4.1.22 Sakit Gigi

Tumbuhan Kamboja (Plumeria rubra L.) famili Apocynaceae getah daun

digunakan sebagai obat sakit gigi pada Suku Tengger. Penggunaanya yaitu dengan

cara getah dari daun diambil, kemudian diteteskan pada bagian gigi yang sakit.

Kandungan kamboja (Plumeria rubra L.) antara lain flavonoid dan polifenol (IPTEK,

2009), dari kandungan tersebut bisa digunakan sebagai obat sakit gigi (IPTEK, 2009;

Sastroamidjojo, 1997). Damar dan asam plumeria diduga kuat sebagai bahan aktif

yang berada di daun kamboja dan bisa digunakan untuk pengobatan sakit gigi

(Sastroamidjojo, 1997).

4.1.23 Sakit Perut.

Pangotan (Microsorium buergerianum (Miq.) Ching) mempunyai nama

umum Paku pedang yang mempunyai kandungan alkaloid, saponin dan polifenol

dengan khasiat anti radang, anti bakteri dan peluruh air seni (IPTEK, 2009). Sakit

perut bisa disebabkan karena bakteri-bakteri yang kurang menguntungkan berada

dalam perut. Pangotan digunakan sebagai antibakteri pada Suku Tengger untuk

pengobatan sakit perut. Akar pangotan dikelupas kemudian direndam di air hangat.

Setelah beberapa jam perendaman, air rendaman akar pangotan diminum secukupnya.

43

Page 44: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

4.1.24 Penyakit Dalam (Panas, Batuk, dan Pusing)

Suku Tengger menggunakan campuran beberapa tumbuhan untuk mengobati

penyakit komplikasi seperti panas, batuk, pusing. Diantaranya menggunakan buah

Adas (Foeniculum vulgare Mill.), akar lempuyang (Pragmites australis) famili

Poaceae, akar Tepung otot (belum teridentifikasi 1), kulit Keningar (Cinnamomum

burmani (Nees & T. Nees) Bl.), Mrica (Piper nigrum L.), serta Pule (Alstonia

scdolaris R. Br.). Semua bahan ditumbuk menjadi satu kemudian direbus. Setelah

direbus sampai mendidih, kemudian disaring dengan kain yang bersih. Hasil saringan

yang digunakan untuk pengobatan dengan aturan pemakaiannya yaitu sehari dua

sampai tiga kali satu sendok makan.

Beberapa tumbuhan yang digunakan sebagai campuran untuk mengobati

segala penyakit memang sudah banyak disebutkan di beberapa literatur.

Sastroamidjojo (1997) menyebutkan antara lain Adas (Foeniculum vulgare Mill.),

Mrica (Piper nigrum L), Pule (Alstonia shcolaris R. Br.) dapat digunakan untuk

pengobatan panas, batuk dan stamina. Sedangkan akar lempuyang (Pragmites

australis), akar Tepung otot (tidak teridentifikasi 1) belum ada literatur yang

menyebutkan kandungan diantara keduanya yang bisa digunakan sebagai bahan

pengobatan.

4.1.25 Stamina

Suku Tengger dalam menjaga kondisi tubuh (stamina) juga mempunyai resep

tradisional, diantaranya:

a. Mrica, Telur jawa, dan Madu

Suku Tengger untuk meningkatkan stamina menggunakan resep tradisional

campuran antara biji Mrica (Piper nigrum L) famili Piperaceae, Telur Jawa, dan

Madu. Satu sendok kecil mrica yang sudah halus dicampur dengan satu kuning telur

jawa dan ditambah madu secukupnya. Campuran tersebut diminum sehari satu kali

sebelum tidur malam.

44

Page 45: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Mrica (Piper nigrum L) dengan kandungan minyak atsiri yang didalamnya

terdapat felandrin, dipenten, kariopilen, enthoksilin, limonene, alkaloid piperina dan

kavisina mempunyai kegunaan sebagai karminativ dan iritasi lokal (Depkes, 1980).

IPTEK (2009) menyebutkan bahwa dari kandungan tersebut juga digunakan sebagai

tekanan darah tinggi, obat sesak nafas dan peluruh keringat. Belum ada yang

menyebutkan bahwa dari kandungan tersebut digunakan sebagai penambah stamina.

b. Akar Pangotan

Pangotan (Microsorium buergerianum (Miq.) Ching) mempunyai nama

umum Paku pedang yang mempunyai kandungan alkaloid, saponin dan polifenol

dengan khasiat anti radang, anti bakteri dan peluruh air seni (IPTEK, 2009), dari

kandungan tersebut belum ada literatur yang menyebutkan bahwa akar pangotan

dapat digunakan sebagai penambah stamina.

4.1.26 Stamina pada Ibu Hamil

Daun pepaya (Carica papaya L.) dan daun ketela pohon (Manihot utilissima

Pohl) digunakan untuk meningkatkan stamina pada ibu hamil. Daun dari kedua

tumbuhan tersebut direbus kemudian diminum airnya sehari dua kali, setiap pagi dan

sore hari satu gelas. Daun pepaya mempunyai kandungan enzim papain, alkaloid

karpaina, pseudo karpaina, glikosida, karposida, dan saponin (Depkes, 1989), dari

kandungan yang ada bisa digunakan untuk meningkatkan stamina pada ibu hamil

(Sastroamidjojo, 1997).

4.1.27 Sulit Buang Air Besar

a. Jambe dan Beras

Kandungan jambe (Areca catechu L.) famili Arecaceae antara lain arekolin,

arekaidin, guvasin, guvakolin, isoguvasin, gula dan resin (Depkes, 1989). Kandungan

tersebut mempunyai kegunaan sebagai obat cacing dan anti diare (Depkes,1989;

Sastroamidjojo,1997). Belum ada penelitian lebih lanjut mengenai jambe dan juga

45

Page 46: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

penambahan beras yang dihaluskan digunakan sebagai pengobat sulit buang air besar

seperti yang dilakukan oleh Suku Tengger.

Buah jambe yang sudah masak dicacah halus kemudian digoreng di tempat

penggorengan yang terbuat dari tanah liat. Hasil penggorengan yang sudah hangus

kemudian ditumbuk sampai halus. Cara pemakaiannya yaitu dengan disedu

menggunakan air panas hasil tumbukan buah jambe yang sudah digoreng dua sampai

tiga sendok makan. Diminum sehari dua kali, pagi dan malam hari.

b. Daun Ceplukan

Daun ceplukan (Physalis angulata L.) famili Solanaceae digunakan oleh Suku

Tengger untuk mengatasi sulit buang air besar. Kandungan bahan di dalamnya antara

lain asam sitrat, fisalin sterol/ terpen, saponin, flavonoid, dan alkaloid (Depkes,

1995). Kandungan utama yang aktif pada daun dan kelopak adalah fisalin dengan

kegunaannya sebagai diuretikum, dan jika terlalu banyak pemakaiannya maka akan

dapat menyebabkan pusing (Sastroamidjojo, 1997). Jenis tumbuhan yang berasal dari

satu famili dengan ceplukan salah satunya adalah Capsicum sp. dengan kegunaan

sebagai antipiretik, antiflatulen dan sebagai obat mules atau sakit perut (Depkes,

1995).

4.1.28 Tenggorokan Serik

Tebu (Saccaharum officinarum L.) digunakan oleh Suku Tengger untuk

pengobatan tenggorokan serik. Menurut Suku Tengger, tenggorokan serik terjadi

ketika individu atau warga Suku yang akan terkena batuk. Cara pengobatannya cukup

mudah yaitu tebu dipotong kira-kira satu jengkal orang dewasa kemudian dibakar di

perapian. Setelah tebu kelihatan hangus, diangkat dan ditunggu sampai dingin. Tebu

hasil pembakaran dikelupas dari kulitnya kemudian diperas sampai keluar airnya. Air

perasan diminum sehari tiga kali. Kandungan kimia dari tebu (Saccaharum

officinarum L.) adalah glikosida, saponin, flavonoid, dan polifenol yang dapat

digunakan sebagai obat batuk (IPTEK, 2009).

46

Page 47: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

4.1.29 Typus

Cacing yang digunakan berada di pohon pisang yang sudah busuk untuk

mengobati penyakit typus. Cacing direbus dengan air kemudian air rebusan diminum

sehari dua kali satu gelas. Cacing yang digunakan oleh Suku Tengger belum

teridentifikasi, sehingga kandungan dan manfaat yang jelas belum dapat ditemukan.

4.2 Jenis Tumbuhan, Hewan dan Bahan Mineral

Berdasarkan hasil penelitian di Suku Tengger terdapat 47 tumbuhan dan juga

3 jenis hewan yang digunakan untuk pengobatan di Suku Tengger (Tabel 4.2 dan

Tabel 4.3). Dari tabel persentase tersebut Adas (Foeniculum vulgare Mill.) dan

Pisang (Musa paradisiaca L.) mempunyai persentase pengetahuan dan penggunaan

yang paling tinggi (lebih dari 50%). Bawang merah (Allium ascolanicum L.), Dringu

(Acorus calamus L.), Ganjan (Tagetes signata Bartl.), Grunggung (Pothentilla

argunta Pursh), Jambu biji (Psidium guajava L.), Jambu wer (Pimento dionica L.),

Kunyit (Curcuma domestica Valeton), dan Tepung otot (belum teridentifikasi 1)

mempunyai persentase pengetahuan atau penggunaan yang relatif sedang (berkisar

antara 20%-50%). Sedangkan sisa tumbuhan yang lain mempunyai persentase

sampai 20%.

Bahan obat yang berasal dari hewan yang diketahui atau digunakan oleh Suku

Tengger semuanya mempunyai persentase sampai 20%. Sedangkan untuk bahan

mineral alam juga mempunyai persentase pengetahuan atau penggunaan sampai 20%.

Semakin tinggi persentase penggunaan atau pengetahuan semakin tinggi tingkat

kepercayaan bahwa tumbuhan, hewan atau bahan mineral alam dapat memberikan

pengobatan.

Jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam sistem pengobatan pada

umumnya adalah tumbuhan yang tumbuh di pekarangan dan dikembangkan dengan

teknik budidaya sederhana (asal tanam), sedangkan bahan obat hewan dan bahan

mineral alam didapatkan Suku Tengger jika memerlukan dan didapatkan disekitar

47

Page 48: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

kawasan Tengger. Selain itu, ada beberapa jenis tumbuhan, hewan dan bahan mineral

yang diambil langsung dari hutan sekitar wilayah Tengger. Suku Tengger mengambil

tumbuhan, hewan dan bahan mineral alam sebagai obat dalam jumlah kecil, sehingga

penyusutan dari tumbuhan obat di wilayah Tengger relatif rendah. Akan tetapi,

keadaan wilayah Tengger yang sekarang banyak digunakan sebagai kawasan ladang

produktif untuk tanaman sayur-sayuran menyebabkan beberapa tumbuhan obat

menjadi langka. Seperti jamur impes yang tidak tahan terhadap bahan-bahan kimia

untuk penanaman sayur. Begitu juga dengan keong mas yang berada disekitar aliran

sungai yang keberadaannya sudah hampir tidak ada, sehingga perlu adanya kesadaran

dari semua pihak untuk tetap melestarikan tumbuhan atau hewan yang bisa digunakan

oleh Suku Tengger sebagai resep pengobatan tradisional.

Obat tradisional yang ada, digunakan oleh Suku Tengger secara turun temurun

dan diwariskan dari generasi ke generasi seiring dengan pewarisan budaya Suku

Tenger. Namun, pola pewarisan tersebut sangat terbatas dikalangan usia rata-rata

diatas 45 tahun keatas. Hal ini terbukti dari responden yang memberikan informasi

dari hasil metode pengambilan sample Snowball Sampling hanya dikalangan umur 45

tahun keatas. Dikhawatirkan ada kecenderungan terjadinya pengikisan pengetahuan

pengobatan tradisional pada Suku Tengger.

48

Page 49: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pengetahuan atau penggunaan obat tradisional pada Suku Tengger Kecamatan

Sukapura yang terdiri dari 5 desa yaitu Desa Ngadirejo, Desa Ngadas, Desa Jetak,

Desa Wonotoro, dan Desa Ngadisari dari 29 narasumber telah terinventarisir 29 jenis

penyakit dengan 60 resep tradisional serta terdapat 47 tumbuhan, 3 jenis hewan dan 5

bahan mineral alam yang digunakan sebagai pengobatan di Suku Tengger. Bahan-

bahan yang digunakan sebagai bahan obat oleh Suku Tengger sebagian besar sudah

diteliti dan mempunyai khasiat obat, sehingga memiliki prospek untuk dikembangkan

menjadi bahan baku industri obat tradisional.

Cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral pada Suku Tengger

sebagai obat tradisional sangat sederhana antara lain: campuran bahan atau bahan

tunggal ditumbuk, diremas-remas, atau direbus kemudian diminum atau diolesakan

pada bagian tubuh yang sakit. Jenis-jenis penyakit yang diobati pada Suku Tengger

adalah penyakit ringan yang sering terjangkit di kawasan tersebut. Sedangkan rata-

rata persentase pengetahuan atau penggunaan bahan obat sebagian besar ada pada

angka 20% kebawah, hanya terdapat 2 bahan obat yang mempunyai persentase lebih

dari 50% dan 8 bahan bahan obat yang mempunyai persentase 20%-50%. Semakin

tinggi persentase penggunaan atau pengetahuan semakin tinggi tingkat kepercayaan

bahwa tumbuhan, hewan atau bahan mineral alam dapat memberikan pengobatan.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kegunaan dan kandungan

aktif dari tumbuhan, hewan dan bahan mineral yang digunakan sebagai obat

tradisional oleh Suku Tengger dan pelestarian pengetahuan atau penggunaan obat

tradisional pada Suku Tengger karena pola pewarisan sangat terbatas dikalangan usia

rata-rata diatas 45 tahun keatas.

49

49

Page 50: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

DAFTAR PUSTAKA

Asean. 1993. Standard of Asean Herbal Medicine Volume I. Jakarta: Aksara Buana Printing.

Cotton, C.M. 1996. Ethnobotany: Principles and Applications. Chichester: John Wiley and Sons Ltd

Dalimarta, setiawan. 1991. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid I. Jakarta: Trubus Agriwidya.

Dalimarta, setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid II. Jakarta: Trubus Agriwidya.

Darmono. 2007. Kajian Etnobotani Tumbuhan Jalukap (Centella asiatica L.) di Suku Dayak Bukit Desa Haratai 1 Loksado. Bioscientiae. 4 (2) : 71-78.

Depdikbud. 1997. Sistem Pemerintahan Tradisional di Tengger Jawa timur. Jakarta: CV Putra Sejati Raya.

Dephut .2009a. Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru http://www.dephut.go.id/informasi/tamnas/bromo_1.html [04 Mei 2009]

Dephut. 2009b.Flora dan fauna. http://www.dephut.go.id/informasi/tamnas/bromo_2 html [04 05 09]

Depkes. 1977. Materia Medika Indonesia Jilid I. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

Depkes. 1978. Materia Medika Indonesia Jilid II. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

Depkes. 1979. Materia Medika Indonesia Jilid III. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

Depkes. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

Depkes. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

50

50

Page 51: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Depkes. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

Ersam, T. 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia dalam Merekayasa Model Molekul Alami. Seminar Nasional Kimia VI. http://www.its.ac. id/ personal/ files/ pub/764-beckers-chem-Kimia%20ITS%20TE%2004.pdf [04 Mei 2009]

Gana, Singgih, dan Haryanto. 2009. Prospek Tumbuhan Indonesia dalam Kesehatan dan Permasalahannya. http://www.isfinational. or.id/pt -isfi penerbitan/ 126/480-prospek-tumbuhan- indonesia-dalam-kesehatan-dan permasalahannya [26 April 2009]

Galba, Manan, Herutomo, dan Darnys. 1989. Pola Kehidupan Sosial Budaya dalam Hubungan dengan Konsep Sanitasi pada Masyarakat Tengger. Tidak Dipublikasikan. Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.. Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Jember Kerja sama dengan Direktoral Jendral dan Kebudayaan dan direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Hariana, A. 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 1. Jakarta: Penebar Swadaya.

Haviland, W.A. 1999. Antropology Edisi Keempat Jilid I. Diterjemahkan Soekadijo. Jakarta: Airlangga

Hidayat, S., dan Risna, R. 2007. Kajian Ekologi Tumbuhan Obat Langka di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Biodiversitas. 8 (3) : 169-173.

IPTEK. 2009. Tumbuhan obat. http://Iptek.apjii.or.id/ attikel/ttg/tanaman obat/depkes/buku.pdf [22 11 09]

Katno dan Pramono, S. 2009. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman obat dan obatTradisional.http://cintaialam.tripod.com/keamanan_obat%20tradisional.pdf [26 04 09]

Kuntorini, E.M. 2005. Botani Ekonomi Suku Zingiberaceae Sebagai Obat Tradisional Oleh Masyarakat di Kotamadya Banjarbaru. Bioscientiae. 2 (1) : 25-36.

Lans, C., Turner, N., Khan, T., Brauer, G., Boepple, W. 2007. Ethnoveterinary Medicine Used For Ruminants In British Columbia Canada. Journal Of Ethnobiologi And Ethnomedicine. 3 (11) : 1-22.

51

Page 52: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Muktiningsih, S. R., Syahrul, M., Harsana, I.W., Budhi, M., dan Panjaitan, P. 2001. Review Tanaman Obat Yang Digunakan Oleh Pengobat Tradisional Di Sumatra Utara,Sumatra Selatan, Bali dan Sulawesi Selatan.Media Litbang Kesehatan.11 (4) 25.

Newall, C., Anderson, I., Philipson. J. 1995. Herbal Medicines. The school of Pharmacy University of London: Departemen of Pharmacognosy.

Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Pieroni, A., Quave, C., Nebel, S., dan Henrich, M. 2002. Ethnopharmacy of the Ethnic Albanians (Arbereshe) of Northern Basilicata, Italy. Fitoterapia. 72 (2002): 217-241.

Radji, M. 2005. Peran Bioteknologi dan Mikroba Endofit Dalam Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2 (3) : 113-126.

Rosita, S.M.D., Rostiana, O., Pribadi, dan Hernani. 2007. Penggalian IPTEK Etnomedisin di Gunung Gede Pangrango. Bul. Littro. 18 (1) : 13-28.

Sari, L.O.R.K. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat Dan Keamanan. Majalah Ilmu Kefarmasian.3 (1): 1-7.

Sastroamidjojo, Seno. 1997. Obat Asli Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Siswandono dan Soekardjo, B. 2000. Kimia Medisinal 1. Surabaya: Airlangga University Press.

Soeratno. 1993. Metodologi Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis.Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.

Sudiro, 2001. Legenda dan Religi sebagai Integrasi Bangsa. Humaniora. 13 (1) : 100-110.

Sudjatno, A. 1994. Peran Dukun dan Orang Tua dalam Penentuan Usia Kawin pada Masyarakat Tengger Jawa Timur. Tidak Dipublikasikan. Laporan Penelitian. Jember: Universitas Jember.

Suharto, Wagiyana, Zulkarnain, R. 2005. Survei Kupu-Kupu(Rhopalocera: Lepidoptera) di Hutan Ireng-Ireng Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Jurnal Ilmu Dasar. 6 (1) : 62-65.

52

Page 53: 44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo

Suharyanto, Parwati, Rinaldi. 2009. Analisis Pemasaran dan Tataniaga Anggur di Bali.http://ejournal.unud.ac.id/ abstrak/(2) %20 soca-suharyanto %20dan%20 parwati-pemasaran %20anggur(1).pdf [04 Mei 2009]

Sukandar, E.Y. 2009. Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Industri-Klinik-Teknologi Kesehatan, disampaikan dalam orasi ilmiah Dies Natalis ITB.http:/itb.ac.id/focus/focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf. [01 Mei2009]

Sunarto, Suandra, I K., Rato, D., Sugijono, dan Sriono, E. 1991. Sikap Masyarakat Tengger Terhadap Norma-Norma yang Berlaku di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan. Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayan Universitas Jember

Sutarto, A. 2007. Saya Orang Tengger Saya Punya Agama, Kisah Orang Tengger Menemukan Agamanya. Jember: Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur

Sutarto, A. 2009. Sekilas tentang Masyarakat Tengger. http:// prabu.files.wordpress.com/2009/02/ayu-sutarto-sekilas-tentang-masyarakat-tengger.pdf [26 April 2009]

Syukur, C dan Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersial Cetakan 2. Jakarta: Penebar Swadaya

Wakidi. 2003. Prospek Tumbuhan Obat Tradisional untuk Menghancurkan Batu Ginjal (Urolitikum). http://library.usu.ac.id/download/fk [01 Mei 2009]

Wijayakusuma, H., 2000. Potensi Tumbuhan Obat Asli Indonesia Sebagai Produk Kesehatan. Risalah Pertemuan ILmiah Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi. 25-31

Wijayakusuma, H., Dalimartha, S., Wirian, A.S. 1998. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid 4. Jakarta: Pustaka Kartini.

Windadri, F. I., Rahayu, M., Uji, T., dan Rustiami, H. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Bahan Obat Oleh Masyarakat Lokal Suku Muna Di Kecamatan Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara. Biodiversitas. 7 (4) : 333-339.

Zein, U. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat dalam Upaya Pemeliharaan Kesehatan. http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-umar7.pdf [01 Mei 2009]

53