BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan tropika terbesar kedua di dunia, kaya dengan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai salah satu negara “megabiodiversity” kedua setelah Brazilia (Ersam, 2004). Didalamnya terdapat kurang lebih 40.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut sekitar 1.300 diantaranya digunakan sebagai obat tradisional (Muktiningsih et al., 2001). Keanekaragaman obat tradisional yang ada memberikan suatu referensi baru terhadap dunia pengobatan. Menurut Kuntorini (2005) melonjaknya harga obat sintetis dan efek sampingnya bagi kesehatan meningkatkan kembali penggunaaan obat tradisional oleh masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar. Obat tradisional dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat secara turun temurun dan sampai sekarang ini banyak yang terbukti secara ilmiah berkhasiat obat (Syukur dan Hernani, 2002). Selain itu obat tradisional tersebut dapat digunakan sebagai dasar pengembangan obat baru (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Akan tetapi cara-cara pengobatan tradisional tidak dicatat dengan baik karena teknik pengobatannya diajarkan secara lisan (Rosita et al., 2007), sehingga dalam perkembangannya banyak teknik pengobatan lama yang hilang atau terlupakan. Hal tersebut mendorong untuk dilakukannya upaya pemanfaatan dan pelestarian pengetahuan masyarakat atau suku tentang pengobatan tradisional yang telah dilakukan secara empiris. Upaya tersebut mulai dari inventarisasi, pemanfaatan, budi daya sampai dengan penggalian kembali pengetahuan suku lokal tentang obat tradisional (Darmono, 2007). 1 1
53
Embed
44803315 Etnofarmasi Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan tropika terbesar
kedua di dunia, kaya dengan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai salah satu
negara “megabiodiversity” kedua setelah Brazilia (Ersam, 2004). Didalamnya
terdapat kurang lebih 40.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut sekitar 1.300
diantaranya digunakan sebagai obat tradisional (Muktiningsih et al., 2001).
Keanekaragaman obat tradisional yang ada memberikan suatu referensi baru terhadap
dunia pengobatan.
Menurut Kuntorini (2005) melonjaknya harga obat sintetis dan efek
sampingnya bagi kesehatan meningkatkan kembali penggunaaan obat tradisional oleh
masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar. Obat
tradisional dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat secara turun temurun dan sampai
sekarang ini banyak yang terbukti secara ilmiah berkhasiat obat (Syukur dan
Hernani, 2002). Selain itu obat tradisional tersebut dapat digunakan sebagai dasar
pengembangan obat baru (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Akan tetapi cara-cara pengobatan tradisional tidak dicatat dengan baik karena
teknik pengobatannya diajarkan secara lisan (Rosita et al., 2007), sehingga dalam
perkembangannya banyak teknik pengobatan lama yang hilang atau terlupakan. Hal
tersebut mendorong untuk dilakukannya upaya pemanfaatan dan pelestarian
pengetahuan masyarakat atau suku tentang pengobatan tradisional yang telah
dilakukan secara empiris. Upaya tersebut mulai dari inventarisasi, pemanfaatan, budi
daya sampai dengan penggalian kembali pengetahuan suku lokal tentang obat
tradisional (Darmono, 2007).
1
1
Langkah awal yang sangat membantu untuk menggali pengetahuan suku lokal
terhadap resep tradisional berkhasiat obat yaitu dengan berbagai pendekatan secara
ilmiah (Kuntorini, 2005). Salah satu pendekatan tersebut adalah etnofarmasi (Pieroni
et al., 2002). Pendekatan etnofarmasi telah dilakukan di berbagai suku di Indonesia,
diantaranya yang telah diterapkan pada masyarakat lokal Suku Muna Kecamatan
Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara (Windadri et al, 2006), dan di sekitar
kawasan Gunung Gede Pangrango (Rosita et al, 2007). Keduanya mendapatkan resep
tradisional dari pengetahuan suku lokal tersebut.
Tengger sebagai salah satu suku di Indonesia, menurut Sutarto (2009)
masyarakatnya masih bersikukuh dengan tradisi yang diwarisi dari para
pendahulunya. Tradisi tersebut antara lain upacara Kasada, upacara Karo, Upacara
Unan-Unan dan masih banyak lagi upacara lain yang sampai sekarang masih
dijalankan dengan norma-norma sosial yang tetap terjaga. Salah satu norma sosial
yang ada adalah interaksi Suku Tengger dengan alam sekitar yang terdapat banyak
sumberdaya alamnya. Sumberdaya alam tersebut berada dalam kawasan Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru yang berupa fenomena Kaldera Tengger dengan
lautan pasir yang luas, pemandangan alam dan atraksi geologis Gunung Bromo dan
Gunung Semeru, keragaman flora langka dan endemik serta potensi hidrologis yang
tinggi termasuk keberadaan 6 buah danau alami yang indah (Hidayat dan Risna,
2007). Keadaan alam yang ada mampu menarik banyak wisatawan domestik maupun
mancanegara datang ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Wisatawan umumnya membawa peradaban modern yang dapat menggeser
sejumlah pengetahuan lokal masyarakat (Windadri et al., 2006). Hal ini dapat
menyebabkan pengetahuan tentang tumbuhan obat pada masyarakat atau Suku
Tengger juga mengalami erosi (hilang). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
etnofarmasi di suku Tengger agar kelestarian pengetahuan maupun penggunaan obat
tradisional tetap terjaga dan dapat digunakan sebagai referensi dasar pengembangan
bahan obat baru.
2
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
1. Tumbuhan, hewan dan bahan mineral apa yang dimanfaatkan sebagai bahan obat
tradisional oleh Suku Tengger?
2. Bagaimana cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral tersebut
sebagai obat tradisional?
3. Berapa persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan, hewan, dan
bahan mineral tersebut sebagai obat tradisional?
1.3 Tujuan
Penelitian di lingkungan Suku Tengger ini bertujuan untuk:
1. Melakukan inventarisasi tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang dimanfaatkan
Suku Tengger sebagai bahan obat tradisional.
2. Mengetahui cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral untuk
pengobatan.
3. Mengetahui persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan, hewan,
dan bahan mineral tersebut sebagai obat
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan membawa manfaat antara lain:
1. Memberikan informasi mengenai tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang
digunakan oleh Suku Tengger sebagai bahan obat tradisional.
2. Memberikan informasi cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral
tersebut untuk pengobatan.
3. Memberikan informasi persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan,
hewan, dan bahan mineral tersebut sebagai obat
4. Sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai Etnofarmasi Suku Tengger
dan pengembangan obat di Indonesia.
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Etnofarmasi
Sebagian besar peneliti di berbagai negara di dunia menyadari bahwa suku-
suku terasing memiliki berbagai kearifan, pengetahuan, dan pengalaman yang
bermakna besar bagi manusia dalam masyarakat modern. Kedekatan mereka dengan
alam, pengetahuan mengenai tumbuhan yang bergizi atau mengandung berbagai zat
yang dapat mengobati berbagai penyakit dan keberhasilan masyarakat untuk
mempertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi merupakan sesuatu yang
mengandung banyak pelajaran bagi manusia dan masyarakat modern (Rosita et al.,
2007).
Secara etnografi masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa ratus suku yang
masing-masing mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Hal itu tampak dari
bahasa, adat-istiadatnya dan pengetahuan lokal tradisional dalam memanfaatkan
tumbuhan obat. Pengetahuan tumbuhan obat ini spesifik bagi setiap etnis, sesuai
dengan kondisi lingkungan tempat tinggal masing-masing suku atau etnis
(Muktiningsih et al., 2001).
Etnofarmasi berasal dari kata etno dan farmasi. Etno adalah suku atau
kelompok, sedangkan farmasi adalah ilmu yang mempelajari tentang obat obatan.
Menurut Pieroni et al, (2002) Etnofarmasi adalah gabungan disiplin ilmu yang
mempelajari tentang hubungan antara kebiasaan kultur dalam suatu kelompok
masyarakat ditinjau dari sisi farmasetisnya. Oleh sebab itu akan melibatkan studi
identifikasi, klasifikasi dari produk natural (etnobiologi), preparasi secara farmasetis
(etnofarmasetis) dan efek yang diklaim (etnofarmakologi) beserta aspek pengobatan
secara sosial (etnomedisin).
4
4
Penelitian etnofarmasi difokuskan pada sebuah komunitas untuk menemukan
kembali “ Resep” tradisional dan mencoba mengevaluasinya baik secara biologis
maupun secara kultural (Pieroni et al., 2002). Dalam pendekatannya dengan
masyarakat, etnofarmasi sama dengan etnografi yang menjadikan pengamat terlibat
dalam kebudayaan yang sedang diteliti (Haviland, 1999). Oleh sebab itu akan
didapatkan referensi untuk pengembangan atau penemuan obat baru yang berasal dari
komunitas atau etnis tertentu.
Pieroni et al, (2002) telah melakukan penelitian mengenai Etnofarmasi pada
Etnis Albanian di utara Basilicata Italia. Ditemukan lima puluh empat tumbuhan yang
digunakan sebagai obat, dari tumbuhan yang didapatkan terdapat bermacam-macam
cara penggunaan dan kegunaannya. Di Indonesia penelitian pemanfaatan tumbuhan
obat oleh suku atau masyarakat juga pernah dilakukan. Windadri et al, (2006)
melakukan penelitian di masyarakat lokal suku Muna Kecamatan Wakarumba,
Kabupaten Muna, sulawesi Utara, dan didapatkan enam puluh satu tanaman sebagai
obat oleh suku lokal tersebut. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rosita et al,
(2007), didapatkan delapan puluh tanaman berkhasiat obat menurut masyarakat di
sekitar kawasan Gunung Gede Pangrango.
2.2 Pengobatan Tradisional
Tumbuhan telah lama diketahui sebagai salah satu sumber daya yang sangat
penting dalam upaya pengobatan dan mempertahankan kesehatan masyarakat.
Sejarah awal suatu tumbuhan sulit untuk ditelusuri sebagai obat, meskipun demikian
ada pendapat bahwa suatu tumbuhan digunakan sebagai obat didasarkan pada tanda-
tanda fisik (bentuk, warna, rasa) yang ada pada tumbuhan atau bagian tumbuhan
tersebut, dan tanda-tanda tersebut diyakini berkaitan dengan tanda-tanda penyakit
atau tanda-tanda penyebab penyakit yang akan diobatinya ( Gana et al., 2008).
Adapun yang dimaksud dengan obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan
bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau
campuran bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk
5
pengobatan berdasarkan pengalaman masyarakat (Katno dan Pramono, 2009), dan
pada kenyataannya bahan obat alam yang berasal dari tumbuhan porsinya lebih besar
dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral, sehingga sebutan obat tradisional
(OT) hampir selalu identik dengan tanaman obat (TO) karena sebagian besar OT
berasal dari TO.
Penggunaan suatu tumbuhan sebagai obat tradisional di Indonesia telah
dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu. Obat tradisional
tersebut telah digunakan oleh sebagian masyarakat Indonesia secara turun menurun
(Zein, 2005). Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya naskah lama pada daun lontar
(Manis javanica), landak (Hystrix brachyura), budeng (Presbytis cristata) dan
beberapa jenis mamalia kecil lainnya (Dephut, 2009b).
Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di TN-BTS antara lain luwak
(Pardofelis marmorata), rusa (Cervus timorensis ), kera ekor panjang (Macaca
fascicularis), kijang (Muntiacus muntjak ), ayam hutan merah (Gallus gallus), macan
tutul (Panthera pardus ), ajag (Cuon alpinus ) dan berbagai jenis burung seperti alap-
alap burung (Accipiter virgatus ), rangkong (Buceros rhinoceros silvestris), elang ular
14
bido (Spilornis cheela bido), srigunting hitam (Dicrurus macrocercus), dan elang
bondol (Haliastur indus) yang hidup di Ranu Pani, Ranu Regulo, dan Ranu Kumbolo
(Dephut, 2009a). Hewan lain yaitu kupu-kupu yang ditemukan di Hutan Ireng-ireng
wilayah konservasi Senduro Lumajang kawasan TN-BTS. Ditemukan sebanyak 31
species dan sub species yang berasal dari 21 genus dalam delapan famili. Satu species
dilindungi undang-undang di Indonesia yaitu Troides Helena (Suharto et al., 2005).
2.3.5 Pengetahuan Suku Tengger Tentang Flora -Fauna dan Manfaatnya
a. Pengetahuan Flora
Keadaan alam sebagaimana yang telah diuraikan, terutama dari jenis tanah,
keadaan tanah, dan suhu udara daerah Tengger akan mempengaruhi dan sangat
menentukan keberadaan jenis tumbuhan yang dapat tumbuh subur secara alami.
Tumbuh-tumbuhan yang dapat hidup subur di kawasan Tengger sangat beragam,
mulai dari tanaman pohon yang besar sampai tanaman herba dan tergolong kecil.
Tanaman pohon, seperti akasia, cemara gunung, bambu dapat dijumpai di sekitar
pegunungan Tengger. Sedangkan tanaman herba, termasuk jenis sayuran sangat
beragam, misalnya kentang, kubis, wortel, jagung, ubi ketela, bawang putih, bawang
prei, sawi, dan tomat yang merupakan hasil pertanian Suku Tengger (Sutarto, 2009).
Dahulu, jagung merupakan tanaman pokok Suku Tengger, tetapi saat ini tidak
banyak ditanam lagi. Hal ini disebabkan karena nilai ekonominya rendah, oleh sebab
itu Suku Tengger menggantinya dengan sayur-sayuran yang nilai ekonominya tinggi.
Meskipun demikian, masih dapat dijumpai di beberapa wilayah Suku Tengger masih
menanam jagung di lahan pertaniannya, karena tidak semua Suku Tengger mengganti
makanan pokoknya dengan beras. Bahkan sampai sekarang nasi aron Tengger (nasi
jagung) masih tercatat sebagai makanan tradisional dalam khazanah kuliner
Nusantara (Sutarto, 2009).
Selain hasil pertanian, Suku Tengger juga menanam cemara, pinus, pakis, dan
akasia yang dapat menahan longsoran tanah (Sutarto, 2009). Selain itu, dalam
kesehariannya Suku Tengger mempergunakan batang dan ranting pohon cemara
15
untuk bahan bakar dapur (pawon), dan berdiang (gegeni) untuk mengatasi hawa
dingin.
b. Pengetahuan Fauna
Suku Tengger sebagian besar memiliki sapi, kerbau, kambing, kuda, dan
ayam sebagai binatang ternak (Depdikbud, 1997). Binatang ternak tersebut dagingnya
digunakan untuk dikonsumsi, dijual untuk kebutuhan rumah tangga dan dipakai untuk
keperluan selamatan atau upacara adat. Sedangkan kotorannya sengaja dikumpulkan
untuk pupuk kandang pada lahan pertanian mereka.
Binatang ternak dipelihara dengan dibuatkan kandang tersendiri yang terpisah
jauh dari rumah pemukiman penduduk. Hewan ternak tersebut tidak dilepas supaya
tidak mengganggu dan merusak tanaman atau lahan pertanian. Rumput gajah
biasanya digunakan sebagai makanan ternak setiap hari, karena makanan ternak ini
tidak sulit diperoleh dan umumya banyak ditanam di tegalan atau di pekarangan
penduduk.
Suku Tengger menggunakan hasil pertanian dan ternak untuk dikonsumsi,
dijual, dan digunakan untuk upacara adat. Hal ini dapat dilihat pada upacara Kasodo
yang mempersembahkan hasil pertanian dan ternak untuk dipersembahkan ke
Gunung Bromo setiap setahun sekali. Hasil pertanian dan ternak di tempatkan pada
sebuah Ongkek (alat sesaji yang terbuat dari kayu dan bambu petung yang dapat
dipikul) yang berisi jagung, bawang merah, kubis, pisang, kentang, dan kadang-
kadang padi, dan kelapa, dan juga kambing, ayam, angsa, itik, serta burung. Ongkek
biasanya diberi hiasan bunga dan janur kuning agar kelihatan indah. Untuk
persembahan yang lain seperti pada upacara Karo, Unan-unan, Entas-entas Suku
Tengger menggunakan Kerbau sebagai hewan kurban dan juga kemenyan digunakan
dalam selamatannya (Sutarto, 2007).
16
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan metode
kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui
pengggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang diketahui atau digunakan
Suku Tengger sebagai obat, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan atau penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan
mineral sebagai obat (Sudjatno, 1994).
3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan
Ngadisari Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
3.2.2 Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Desember tahun 2009.
3.3 Populasi Dan Sampel
3.3.1 Populasi
Suku Tengger di Desa Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari
Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
3.3.2 Sampel
Suku Tengger yang mengetahui atau menggunakan tumbuhan, hewan, dan
bahan mineral dalam pengobatan tradisional.
17
17
3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Snowball
Sampling. Dengan menentukan sampel awal kemudian menentukan sampel
berikutnya berdasarkan informasi yang diperoleh (Suharyanto et al., 2009). Dalam
metode sampling dimulai dengan kelompok kecil yang diminta untuk menunjukkan
kawan masing-masing. Kemudian kawan-kawan itu diminta pula menunjukkan
kawannya masing-masing lainnya, dan begitu seterusnya sehingga kelompok itu
bertambah besar bagaikan bola salju (Snowball) yang kian bertambah besar bila
meluncur dari puncak ke bawah (Soeratno, 1993).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data didapatkan melalui wawancara semi-structured dan
structured dengan informan yang mengetahui atau menggunakan tumbuhan sebagai
obat (Pieroni et al., 2002), dengan menggunakan tipe pertanyaan open-ended
(Notoatmodjo, 2002). Teknik tersebut lazim digunakan dalam penelitian etnobotani
(Cotton, 1996). Apabila dimungkinkan juga menerapkan teknik observasi langsung
(participant observation) dengan mengikuti sebagian aktivitas sehari-hari penduduk.
Setiap jenis tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang dimanfaatkan sebagai
bahan obat dicatat nama lokal, bagian yang digunakan, cara penggunaan, dan
kegunaannya. Jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang belum diketahui nama ilmiahnya
diambil contoh herbariumnya untuk keperluan identifikasi.
3.5 Instrumen Penelitian
Alat atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
alat-alat pedoman wawancara (kuisioner) serta sarana dokumentasi (kamera dan alat
perekam).
18
3.6 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang diterapkan
Gambar 3.1 Rancangan penelitian untuk pengambilan data
P = PopulasiPa = Populasi desa NgadasPb = Populasi desa Jetak Pc = Populasi desa WonotoroPd = Populasi desa NgadirejoPe = Populasi desa Ngadisari
19
P
Pa SnS
Sa1
Sa2
Sast
Pb SnS
Sb1
Sb2
Sbst
Pc SnS
Sc1
Sc2
Scst
Pd SnS
Sd1
Sd2
Sdst
Pe SnS
Se1
Se2
Sest
D
Sn = Pengambilan SnowballS = SampelSa1 = Sampel desa Ngadas 1Sa2 = Sampel desa Ngadas 2Sast = Sampel desa Ngadas seterusnyaSb1 = Sampel desa Jetak 1Sb2 = Sampel desa Jetak 2Sbst = Sampel desa Jetak seterusnyaSc1 = Sampel desa Wonotoro 1Sc2 = Sampel desa Wonotoro 2Scst = Sampel desa Wonotoro seterusnyaSd1 = Sampel desa Ngadirejo 1Sd2 = Sampel desa Ngadirejo 2Sdst = Sampel desa Ngadirejo seterusnyaSe1 = Sampel desa Ngadisari 1Se2 = Sampel desa Ngadisari 2Sest = Sampel desa Ngadisari seterusnyaD = Data
3.7 Prosedur Penelitian
Prosedur kerja dimulai dari persiapan penelitian hingga Analisis hasil meliputi
tahap-tahap sebagai berikut:
3.7.1 Menentukan sampel
Sampel yang dipilih berdasarkan teknik pengambilan sampel (Snowball
Sampling).
3.7.2 Interview Informan
Berdasarkan Pieroni et al, (2002) interview yang digunakan dalam
penelitian bersifat semi-structured dan structured. Pieroni et al, (2002) menyebutkan
bahwa tahap pertama dari studi lapangan yang dilakukan, para informan ditanya
apakah menggunakan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral obat dan pengobatan
natural, kemudian informasi spesifik selanjutnya didapatkan dengan menggunakan
wawancara yang terstruktur dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih komplek,
informan ditanya secara spesifik untuk menjelaskan metode dan cara preparasi dari
20
pengobatan yang digunakan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan media
kuisioner.
Kuisioner tersebut akan menjadi acuan dari pertanyaan yang akan diberikan
kepada informan dan disertai dengan dokumentasi yang mendukung keabsahan
kuisioner tersebut. Kuisioner yang diberikan berisikan tentang: nama tumbuhan,
nama hewan, bahan mineral, penyakit yang diobati, cara penggunaan
(dimakan/diminum, penggunaan luar/oles), bagian tumbuhan yang digunakan (akar,
daun, kulit batang, kayu, bunga, biji, buah, kulit buah dan bagian lainnya), cara
Depkes. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.
Ersam, T. 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia dalam Merekayasa Model Molekul Alami. Seminar Nasional Kimia VI. http://www.its.ac. id/ personal/ files/ pub/764-beckers-chem-Kimia%20ITS%20TE%2004.pdf [04 Mei 2009]
Gana, Singgih, dan Haryanto. 2009. Prospek Tumbuhan Indonesia dalam Kesehatan dan Permasalahannya. http://www.isfinational. or.id/pt -isfi penerbitan/ 126/480-prospek-tumbuhan- indonesia-dalam-kesehatan-dan permasalahannya [26 April 2009]
Galba, Manan, Herutomo, dan Darnys. 1989. Pola Kehidupan Sosial Budaya dalam Hubungan dengan Konsep Sanitasi pada Masyarakat Tengger. Tidak Dipublikasikan. Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.. Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Jember Kerja sama dengan Direktoral Jendral dan Kebudayaan dan direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Hariana, A. 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 1. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hidayat, S., dan Risna, R. 2007. Kajian Ekologi Tumbuhan Obat Langka di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Biodiversitas. 8 (3) : 169-173.
IPTEK. 2009. Tumbuhan obat. http://Iptek.apjii.or.id/ attikel/ttg/tanaman obat/depkes/buku.pdf [22 11 09]
Katno dan Pramono, S. 2009. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman obat dan obatTradisional.http://cintaialam.tripod.com/keamanan_obat%20tradisional.pdf [26 04 09]
Kuntorini, E.M. 2005. Botani Ekonomi Suku Zingiberaceae Sebagai Obat Tradisional Oleh Masyarakat di Kotamadya Banjarbaru. Bioscientiae. 2 (1) : 25-36.
Lans, C., Turner, N., Khan, T., Brauer, G., Boepple, W. 2007. Ethnoveterinary Medicine Used For Ruminants In British Columbia Canada. Journal Of Ethnobiologi And Ethnomedicine. 3 (11) : 1-22.
Muktiningsih, S. R., Syahrul, M., Harsana, I.W., Budhi, M., dan Panjaitan, P. 2001. Review Tanaman Obat Yang Digunakan Oleh Pengobat Tradisional Di Sumatra Utara,Sumatra Selatan, Bali dan Sulawesi Selatan.Media Litbang Kesehatan.11 (4) 25.
Newall, C., Anderson, I., Philipson. J. 1995. Herbal Medicines. The school of Pharmacy University of London: Departemen of Pharmacognosy.
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pieroni, A., Quave, C., Nebel, S., dan Henrich, M. 2002. Ethnopharmacy of the Ethnic Albanians (Arbereshe) of Northern Basilicata, Italy. Fitoterapia. 72 (2002): 217-241.
Radji, M. 2005. Peran Bioteknologi dan Mikroba Endofit Dalam Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2 (3) : 113-126.
Rosita, S.M.D., Rostiana, O., Pribadi, dan Hernani. 2007. Penggalian IPTEK Etnomedisin di Gunung Gede Pangrango. Bul. Littro. 18 (1) : 13-28.
Sari, L.O.R.K. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat Dan Keamanan. Majalah Ilmu Kefarmasian.3 (1): 1-7.
Sastroamidjojo, Seno. 1997. Obat Asli Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Siswandono dan Soekardjo, B. 2000. Kimia Medisinal 1. Surabaya: Airlangga University Press.
Soeratno. 1993. Metodologi Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis.Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.
Sudiro, 2001. Legenda dan Religi sebagai Integrasi Bangsa. Humaniora. 13 (1) : 100-110.
Sudjatno, A. 1994. Peran Dukun dan Orang Tua dalam Penentuan Usia Kawin pada Masyarakat Tengger Jawa Timur. Tidak Dipublikasikan. Laporan Penelitian. Jember: Universitas Jember.
Suharto, Wagiyana, Zulkarnain, R. 2005. Survei Kupu-Kupu(Rhopalocera: Lepidoptera) di Hutan Ireng-Ireng Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Jurnal Ilmu Dasar. 6 (1) : 62-65.
52
Suharyanto, Parwati, Rinaldi. 2009. Analisis Pemasaran dan Tataniaga Anggur di Bali.http://ejournal.unud.ac.id/ abstrak/(2) %20 soca-suharyanto %20dan%20 parwati-pemasaran %20anggur(1).pdf [04 Mei 2009]
Sukandar, E.Y. 2009. Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Industri-Klinik-Teknologi Kesehatan, disampaikan dalam orasi ilmiah Dies Natalis ITB.http:/itb.ac.id/focus/focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf. [01 Mei2009]
Sunarto, Suandra, I K., Rato, D., Sugijono, dan Sriono, E. 1991. Sikap Masyarakat Tengger Terhadap Norma-Norma yang Berlaku di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan. Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayan Universitas Jember
Sutarto, A. 2007. Saya Orang Tengger Saya Punya Agama, Kisah Orang Tengger Menemukan Agamanya. Jember: Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur
Sutarto, A. 2009. Sekilas tentang Masyarakat Tengger. http:// prabu.files.wordpress.com/2009/02/ayu-sutarto-sekilas-tentang-masyarakat-tengger.pdf [26 April 2009]
Syukur, C dan Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersial Cetakan 2. Jakarta: Penebar Swadaya
Wakidi. 2003. Prospek Tumbuhan Obat Tradisional untuk Menghancurkan Batu Ginjal (Urolitikum). http://library.usu.ac.id/download/fk [01 Mei 2009]
Wijayakusuma, H., 2000. Potensi Tumbuhan Obat Asli Indonesia Sebagai Produk Kesehatan. Risalah Pertemuan ILmiah Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi. 25-31
Wijayakusuma, H., Dalimartha, S., Wirian, A.S. 1998. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid 4. Jakarta: Pustaka Kartini.
Windadri, F. I., Rahayu, M., Uji, T., dan Rustiami, H. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Bahan Obat Oleh Masyarakat Lokal Suku Muna Di Kecamatan Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara. Biodiversitas. 7 (4) : 333-339.
Zein, U. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat dalam Upaya Pemeliharaan Kesehatan. http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-umar7.pdf [01 Mei 2009]