Top Banner
56

33. Santarang Januari 2015

Dec 21, 2015

Download

Documents

Aryo Wasisto

dzsgnSklgnbDSgsDgsdgsdgsdgsdgsdgsdgsdgsdgsdgsdgsdgdgs
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 33. Santarang Januari 2015
Page 2: 33. Santarang Januari 2015

DAFTAR ISI

RUANG REDAKSI -1

Cursus Maritimus, 2

ESAI -2

“Quo Vadis,” Kritikus Sastra dari NTT?

(Redem Kono)

CERPEN -16

Paras yang Menghilang dalam Cermin

(Afryantho Keyn)

Klaudius

(Armin Bell)

Mimpi Soli Nunbaun Delha

(Christian Senda)

PUISI -38

Cyprianus Bitin Berek

Deodatus D. Parera

KUSU-KUSU -45

2015: Jang Makfafiti deng Makrarese!

(Amanche Franck Oe Ninu)

RESENSI -47

Meringkas Hidup dalam Puisi

(Steve Elu)

ISSN: 2252-7931

Page 3: 33. Santarang Januari 2015

Cursus Maritimus, 2

Apa yang dapat kuceritakan kepadamu di bawah matahari ini? Laut

ini adalah selimut yang menyembunyikan rahasia bumi. Kau

tersenyum ketika memejam dan merasakan lembut udara mencubit

pipimu. Perahu ini terlalu lapang buat kita berdua. Gelombang maju

dan kembali menyeret perahu. Langit mengangkat horisonnya ketika

perahu kita bergerak semakin cepat. Dan takdir, harapmu, semoga tak

lagi bertepi. Seperti laut ini.

(Naimata, 2013)

RUANG REDAKSI

SANTARANG

Jurnal Sastra

Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora

Pelindung/ Penasehat:

Rm. Sipri Senda, Pr & Dr. Marsel Robot

Penanggungjawab:

Amanche Franck OE Ninu, Pr. & Patris Allegro Neonnub, Pr.

Pemimpin Redaksi: Mario F Lawi|Pengasuh Rubrik: Esai:

Januario Gonzaga|Cerpen: Djho Izmail|Puisi: Christian Dicky Senda|

Kusu-kusu: Amanche Franck|Profil: Arky Manek|Resensi: Saddam HP|

Lay-out: Abdul M. Djou|Kartun: Etho Kadji |Ilustrasi Isi: Gus Noy|

Email redaksi: [email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esai, resensi, cerpen dan

puisi. Lampirkan biodata narasi di akhir tulisan yang dikirim.

Edisi 33, Januari 2015 1

Page 4: 33. Santarang Januari 2015

“Quo Vadis,” Kritikus Sastra dari NTT? Redem Kono

Kamis, 20 November 2014, seorang teman kuliah saya

menghadiahkan sebuah novel berjudul Likurai untuk Sang Mempelai.

Novel ini ditulis oleh Robby Fahik, seorang penulis muda kelahiran

NTT yang sedang merantau di Yogyakarta. Novel yang diterbitkan

oleh penerbit Cipta Media ini diluncurkan pada Desember 2013,

sebagai lanjutan dari novel Badut Malaka (terbit tahun 2012) oleh

penulis dan penerbit yang sama.

Dua novel karya Robby ini turut meramaikan geliat kepenulisan

sastra di NTT yang kini hadir dalam diri para penulis seperti Mario

Lawi (Memoria, Ekaristi), Cristian Dicky Senda (Kanuku Leon), Prim

Nakfatu (Fatamorgana Langit Sabana) dan lain-lain. Geliat sastra di

kalangan kaum muda NTT memproklamasikan bahwa riwayat

kepenulisan sastra di NTT tidak pernah mati: selalu ada tunas-tunas

muda yang siap menggantikan beberapa sastrawan Indonesia dari

NTT seperti Dami N. Toda, Umbu Landu Paranggi, dan Gerson

Poyk.

Krisis Kritikus Sastra?

Ketika menerima hadiah novel tersebut, saya tertarik terhadap

beberapa testimoni untuk novel ini. Lazimnya testimoni sebuah buku,

beberapa orang yang diminta untuk memberikan testimoni berlomba-

lomba memberikan apresiasi terhadap novel tersebut. Kata Gerson

Poyk, “Membaca novel ini, kita seolah memasuki sebuah taman

cendana Timor berhiaskan anggrek dan bunga-bunga sabana.”

“Likurai untuk Sang Mempelai menjadi referensi berharga bagi

masyarakat Malaka hari ini, esok, bahkan ratusan tahun mendatang,”

tulis Kornelius Wandelinus Subang, Mahasiswa Pascasarjana UTY,

anggota Liga Mahasiswa Pascasarjana/ LMP NTT Yogyakarta. Tak

ESAI

KREATIF DAN INSPIRATIF 2

Page 5: 33. Santarang Januari 2015

ketinggalan pula pemberian apresiasi dari Yohanes Sehandi dan

Mezra E. Pellandou berturut-turut sebagai penulis kata pengantar

dan kata penutup.

Sebagai seorang putra kelahiran NTT, saya turut berbangga atas

geliat kepenulisan sastra di NTT. Kegembiraan saya cukup beralasan:

(1) beberapa penulis muda NTT mulai dikenal melalui temu

sastrawan Indonesia, ada juga temu “sastrawan NTT”, (2) munculnya

komunitas sastra seperti komunitas Dusun Flobamora di Kupang,

Komunitas Teater Alitheia di Ledalero, dan Komunitas Teater Tania

Ritapiret, Rumah Poetika, Komunitas Filokalia Santu Mikhael, Laskar

Sastra, Uma Kreatif Inspirasi Mezra (3) publikasi para penulis muda

di Jurnal Sastra Santarang, Kupang, majalah VOX dan Akademika

Ledalero, Jurnal Sastra Filokalia, harian lokal maupun nasional, dan

majunya penerbitan karya sastra (entah cerpen, puisi, dan novel)

dalam bentuk buku.

Namun, kegembiraan saya serentak berbarengan dengan,

katakanlah, kegelisahan saya bahwa tanah Flobamora sangat subur

untuk para penulis sastra tetapi gersang untuk para kritikus sastra.

Persoalan yang sama juga berlaku dalam konteks nasional di mana

kritik sastra belum cukup mampu untuk mengimbangi publikasi-

publikasi kesusastraan. Kalau meminjam bahasa ahli ekonomi Robet

Maltus: Pertumbuhan sastra memasuki “baris ukur”, di tengah kritik

sastra yang hanya mencapai “baris hitung.” Dalam konteks puisi,

misalnya, Indonesia melahirkan banyak penyair nasional seperti Joko

Pinurbo, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, dan banyak penyair

muda lainnya tanpa disertai oleh pesatnya telaah sastra yang

mumpuni. Ujar Saut Situmorang, “Dunia sastra Indonesia, mulai sejak

zaman Balai Pustaka ... hanya mengenal satu „krisis‟ saja dan itu masih

terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritik(us) sastra” (lihat

Saut Situmorang, “Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia”, Sastra-

Indonesia.com).

Esai

Edisi 33, Januari 2015 3

Page 6: 33. Santarang Januari 2015

Krisis kritik(us) sastra ini mengantar pada kenyataan tak

terhindarkan: derasnya pertumbuhan dalam dunia kepenulisan sastra

tidak dapat diimbangi oleh telaah-telaah kritis atas karya-karya

tersebut. Salah satu imbasnya ialah dunia kepenulisan NTT (dan juga

nasional) masih didominasi oleh puja-puji terhadap para penulis

sastra, ketimbang memberikan sebuah penilaian kritis atas karya-

karya sastra yang dihasilkan. Akibatnya, telaah tentang karya-karya

para penulis NTT lalu cenderung sebagai laporan deskriptif atau

dokumentasi (kegelisahan yang sama pernah diutarakan Gerson Poyk,

Radhar Panca Dahana, dan Putu Wijaya dalam kesempatan Seminar

Nasional Seni Budaya dan Pembangunan yang diselenggarakan

Komunitas Rumah Poetika di Taman Budaya NTT, Kupang pada 11

April 2012 (Victory News, 12 dan 13 April 2012)).

Kebeluman kritik sastra (telaah sastra kritis) yang mumpuni dalam

dunia kepenulisan sastra di NTT, misalnya, tampak dalam buku

Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT karya Yohanes Sehandi, dosen

Universitas Flores. Dalam buku ini, Yohanes Sehandi mencatat

puluhan “sastrawan NTT” dan mengidentifikasi adanya “sastra

NTT” (Sehandi bahkan menyebut Robby Fahik sebagai “sastrawan

Indonesia”). Sehandi meringkas tesisnya tersebut dalam kata

pengantar Novel Likurai untuk Sang Mempelai: “Inilah yang disebut

sebagai „sastra NTT‟ yakni sastra Indonesia warna daerah (lokal)

NTT yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Pengarang ini yakni R.

Fahik adalah sastrawan Indonesia, dan karena kelahiran NTT maka

disebut juga sebagai „sastrawan NTT‟” (hlm. xi, bisa juga dilihat

dalam Yohanes Sehandi, Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT, 2012,

halaman 12 dan 15).

Saya sangat menghargai kerja keras Sehandi untuk

mendokumentasikan karya para penulis sastra di NTT (pengarsip

karya-karya sastra sekitar NTT). Namun, sebagai penikmat karya-

karya sastra para penulis dari NTT, tidak berlebihan jika saya sangat

mengharapkan suatu analisis dan pembelaan yang komprehensif dari

Sehandi atas alasan penyematan “sastra NTT”, “sastrawan NTT”,

Esai

KREATIF DAN INSPIRATIF 4

Page 7: 33. Santarang Januari 2015

“sastrawan NTT sekaligus sastrawan Indonesia.” Sebab, sejauh yang

saya pahami, penelaahan yang konkret atas karya sastra atau kritik

langsung atas karya sastra mesti menggunakan teori dan sejarah

sastra sebagai instrumen analisis, agar teori-teori tersebut

mengemudikan analisis dan interpretasi untuk mengungkap kekayaan

makna karya sastra. Teori-teori sastra dapat memimpin pada

penemuan kriteria dan prinsip-prinsip umum yang dapat menjadi

referensi penilaian seseorang (kritikus sastra) atas sebuah karya

sastra. Namun, telaah kritis terhadap karya sastra tentu berdasarkan

teori-teori sastra yang relevan, tidak sekadar bombastis.

Telaah dalam tataran demikian, sayangnya, luput dari perhatian

Sehandi. Akibatnya, klasifikasi “sastrawan NTT” dan “sastra NTT”

masih melemahkan tesis Sehandi.

Pertama, apakah hanya dengan menerbitkan buku bergenre sastra

lokal NTT seseorang secara otomatis menjadi “sastrawan”,

“sastrawan NTT”, penghasil “sastra NTT”, dan karena itu sudah

layak menjadi “sastrawan Indonesia”? Kalau merunut pada logika

Sehandi: seorang dapat menjadi menjadi “sastrawan NTT” dan

menghasilkan “sastra NTT” apabila menulis karya sastra (cerpen,

novel, puisi), berasal (lahir di NTT), dan tema tulisannya mengangkat

warna lokalitas NTT. Imbasnya, seorang anak SD (dengan

kemampuan finansial mencukupi) yang membukukan kumpulan

puisinya dengan warna lokalitas NTT dapat disebut sebagai

“sastrawan NTT” dan karyanya boleh dimasukkan ke dalam deretan

“sastra NTT”! Bukankah kriteria ini sama saja dengan menyamakan

Gerson Poyk dengan seorang penulis pemula yang belum matang

kualitas bersastranya? Saya pikir diskusi tentang hal ini perlu dibuka

lebar.

Kedua, Sehandi belum membuat pembatasan meyakinkan terhadap

“sastra NTT” dan “sastrawan NTT”. “Sastra NTT”, menurut Sehandi,

memiliki kualifikasi pengertian “sastra Indonesia warna daerah (lokal)

NTT yang ditulis dalam bahasa Indonesia.” Sedangkan untuk

Esai

Edisi 33, Januari 2015 5

Page 8: 33. Santarang Januari 2015

“sastrawan NTT”, Sehandi menulis: “... karena kelahiran NTT maka

disebut juga sebagai „sastrawan NTT‟. Definisi ini menimbulkan

sejumlah pertanyaan: (1) Apakah “yang lokal” itu harus semata-mata

bereferensi pada konteks daerah NTT, merujuk pada tradisi NTT,

mendeskripsikan lokalitas NTT? Meminjam analisis Wilhelm

Friedrich Hegel, saya berpandangan sebaliknya bahwa ada nilai-nilai

universal (roh universal) yang muncul dari setiap lokalitas seperti

humanisme universal, keadilan, kedamaian, dan cinta kasih (dan

menurut saya, tradisi provinsi kita memiliki aspek-aspek demikian).

Jika dalam lokalitas ada nilai-nilai universal, maka tentu saja dalam

universalitas tersebut terdapat gambaran nilai-nilai yang

diperjuangkan oleh tradisi-tradisi kita. Karenanya, mengatakan bahwa

“sastra NTT” harus memuat deskripsi warna-warna lokal adalah

sebuah penghakiman totaliter atas penulis-penulis NTT yang

cenderung memilih dimensi universalitas untuk menggambarkan apa

yang diperjuangkan tradisi kita.

Dalam satu artikelnya berjudul: “Lokalitas dalam Sastra NTT”,

Sehandi coba merujuk pada analisis strukturalisme genetik dari

Lucien Goldmann, yang dipercaya dapat memberikan pendasaran atas

“sastra NTT”. Goldmann coba menjelaskan bahwa sastra merupakan

cerminan dari struktur masyarakat tempat individu dibesarkan. Hasil

karya sastrawan adalah representasi akurat dari struktur-struktur

yang membentuk masyarakat tempat seorang penulis dilahirkan. Pada

hemat saya, Sehandi belum sampai analisis bahwa dalam konteks teori

strukturalis, seorang individu tidak dapat melampaui realitas yang

ada, di mana tidak ada pemutusan (diskontinuitas) terhadap tradisi

yang membesarkannya. Ia hanya menggambarkan struktur, pasif.

Saya justru lebih mengacu pada analisis Hans Georg-Gadamer bahwa

selalu ada peleburan horizon yakni sebuah karya sastra merupakan

perkawinan antara tradisi tempat pengarang dibesarkan dan

pengalaman eksistensial penulis berhadapan dengan dunia luas.

Lokalitas boleh diberi tempat, namun ia tidak pernah dapat

mendeterminasi kreativitas pengarang.

Esai

KREATIF DAN INSPIRATIF 6

Page 9: 33. Santarang Januari 2015

(2) saya menduga anjuran Sehandi untuk kembali ke dalam konteks

tradisi NTT bersumber dari keyakinannya bahwa “sastra bergenre

lokal” merupakan tipologi sastra yang ideal untuk NTT. Asumsi saya

(dan memang hal ini perlu dikonfirmasi ke Sehandi) bahwa Sehandi

meyakini “sastra warna lokal” merupakan genre sastra yang paling

cocok untuk menghadapi konteks kehidupan masyarakat, dan punya

kontribusi penting bagi pembangunan masyarakat NTT.

Pengandaian di balik keyakinan ini yakni kembali ke tradisi adalah

pergerakan positif seakan-akan dalam tradisi terdapat jawaban final-

konstruktif atas semua permasalahan di NTT. Saya berpandangan

lain. Merujuk pada analisis Jürgen Habermas, tradisi itu tidak semata-

semata positif sebab ada warisan-warisan kultural tertentu yang

merugikan manusia seperti budaya patriarki, kekerasan terhadap

anak, pemborosan, dan lain-lain. Dalam konteks ini, tipologi “sastra

bergenre lokal” memang perlu dihidupkan, tetapi bukan satu-satunya.

Perlu ada juga karya sastra di NTT yang memuat aspek-aspek

universal (dalam hal ini tidak melulu deskripsi bercorak lokal) untuk

membersihkan tradisi dari berbagai pengandaian yang inhuman.

Pembelaan yang belum meyakinkan terhadap term “lokal” bisa jadi

menimbulkan anggapan bahwa “sastra NTT” lebih sebagai suatu

protes atau kecemburuan terhadap “sentralisasi” kesusastraan

Indonesia. Dalam hal ini, “sastra NTT” merupakan kritik terhadap

determinasi cara pandang pusat, yang cenderung memakai kriteria-

kriteria yang mematikan para penulis “dari luar pusat.”

(3) Saya cukup terkejut dengan kualifikasi Sehandi bahwa “sastra

NTT” adalah “sastra Indonesia warna daerah (lokal) NTT yang ditulis

dalam bahasa Indonesia” (huruf miring oleh saya). Pertanyaan saya

adalah lalu bagaimana dengan sastra lisan yang hidup dan diwariskan

oleh para leluhur kita ratusan tahun yang lalu? Apakah sastra lisan

tidak masuk dalam kajian sastra? Sehandi telah memangkas riwayat

sastra lisan di NTT bukan sebagai “sastra NTT”, karena tidak ditulis

(lisan) dan hanya diceritakan dalam bahasa daerah. Sebagai

Esai

Edisi 33, Januari 2015 7

Page 10: 33. Santarang Januari 2015

perbandingan, banyak pakar sastra di Indonesia menyebut adanya

“angkatan Pujangga Lama” dalam sejarah sastra Indonesia meskipun

masih memakai tradisi lisan dan menggunakan bahasa Melayu,

Minangkabau, dan Jawa. Sehandi telah membuat pembatasan agak

sempit terhadap “sastra NTT” dengan menolak kehadiran sastra lisan

warisan leluhur di NTT. Kalaupun Sehandi tidak memasukkan sastra

lisan dalam “sastra NTT”, Sehandi harus membeberkan landasan

teoretisnya.

(4) Saya juga meminta penjelasan Sehandi atas tesisnya bahwa “...

karena kelahiran NTT maka ia disebut sastrawan NTT”. “Kelahiran”

seperti apa yang dimaksudkan Sehandi? Apakah konsep ini juga

memasukkan para warga Indonesia dari daerah lain yang tinggal di

NTT kemudian menghasilkan karya sastra tentang NTT? Apakah

menulis karya sastra tentang NTT secara otomatis menjadi

“sastrawan NTT”, meskipun bukan berdarah NTT dan tinggal di luar

NTT? (dengan kata lain, apakah F. Rahardi boleh disebut sebagai

“sastrawan NTT” karena novelnya Lembata?) Apakah seorang yang

berdarah NTT tetapi menulis tentang daerah lain (bukan NTT) dapat

disebut sebagai “sastrawan NTT?” Sehandi belum memberikan

penjelasan meyakinkan atas hal ini.

Kegelisahan saya ini berdasarkan pada kecemasan: pertama, suatu

telaah atas karya-karya sastra yang terlampau apresiatif dapat

berubah menjadi mata pedang yang membunuh gelora semangat dan

kreativitas para penyair-penulis novel dari NTT, terutama para

penulis muda. Pemberian apresiasi dalam lautan pujian dapat

membangkitkan kelembaman kreativitas di antara para penulis, dan

pada saat serentak menghambat kemajuan mereka untuk berkarya.

Akibatnya, telaah terhadap karya-karya sastra di NTT tampak

sebagai pembelaan (apologia), seakan-akan karya-karya sastra tersebut

berkurang kualitasnya dan kehilangan otonominya tanpa kehadiran

telaah-telaah apresiatif tersebut. Tak heran jika saya temukan bahwa

bagian kata pengantar ataupun kajian sesudah penerbitan karya-karya

Esai

KREATIF DAN INSPIRATIF 8

Page 11: 33. Santarang Januari 2015

sastra para penulis (muda) dari NTT masih sarat parade pujian dan

berbanderol apologia.

Karena itu, saya kurang setuju dengan analisis Yoseph Tapi Taum

bahwa “nilai positif dari apresiasi tentu saja, adalah bahwa

semua bentuk sastra hiburan maupun seni memiliki hak untuk hidup

dan mendapat apresiasi” (kata penutup dalam Buku Mengenal Sastra

dan Sastrawan NTT). Jika yang dimaksud adalah apresiasi dalam

tataran pujian semata, apresiasi tersebut justru meruntuhkan

kreativitas pengarang, yang berujung pada kelembaman berkarya.

Kedua, bahwa tanggung jawab telaah sastra di NTT hingga kini

masih terlalu dibebankan pada penyair dan penulis dari NTT. Rubrik

esai pada Jurnal Sastra Santarang sejak penerbitannya masih

didominasi oleh nama-nama seperti Ragil Sukriwul, Yohanes

Manhitu, Mario Lawi, Amanche Frank, Kristo Suhardi, dan lain-lain.

Semuanya penyair, penulis novel, penulis naskah teater. Saya bisa

membayangkan energi yang luar biasa dari para penulis karya sastra

di NTT: menjadi penulis karya sastra sekaligus menjadi kritikus

karya sastra. Kebeluman kritikus sastra di NTT membuat para

penyair saling menelaah karya sesama penulis, satu “passion” yang

mungkin cukup berat dilakonkan (di Indonesia, penyair sekaligus

kritikus sastra cukup terbatas seperti Goenawan Muhammad, dan lain-

lain). Dan, saya termasuk orang yang percaya bahwa menjalankan

peran sebagai penulis karya sastra dan kritikus karya sastra secara

serentak cukup berat. Pasalnya, perlu energi fisik, motivasi (kecintaan

atas sastra), pengaturan waktu, keluasan dan energi imajiner, serta

daya intelektual yang mumpuni.

Dicari: Kritikus Sastra dari NTT

Kritikan saya bukan berarti penolakan total atas kemestian

apresiasi terhadap para penulis dan larangan bahwa para penulis di

NTT tidak dapat menjadi kritikus sastra. Apresiasi tidak mesti dibalut

Esai

Edisi 33, Januari 2015 9

Page 12: 33. Santarang Januari 2015

dalam pujian semata. Apresiasi juga merupakan bagian dari kritik,

asalkan berkualifikasi kritik yang rasional, dapat

dipertanggungjawabkan sesuai standar kajian sastra. Dalam kritik

yang berkualitas, setiap penulis yang ditantang akan berusaha

memaksimalkan kreativitasnya dalam berkarya. Selain itu, adanya

kritikus sastra “di luar para penulis” dapat memberikan kesempatan

lebih luas pada para penulis untuk berkarya. Kritikus sastra pula

dapat menggali, menjelaskan, dan mempromosikan nilai-nilai yang

tersembunyi di balik karya-karya sastra itu.

Apresiasi mesti tetap diberikan kepada para penulis, tetapi melalui

kajian-kajian kritis menurut kaidah ilmu sastra. Di sini, prisma teori

sastra Rene Wellek dan Austin Warren berlaku: kajian ilmu sastra

harus melibatkan penelitian yang bersifat teoretis (teori sastra–literary

theory), historis (sejarah sastra–literary history), dan kritis (kritik sastra–

literary criticism). Ketiganya menjalin sebuah relasi yang

komplementer. Untuk mengkritisi sebuah karya sastra, seorang dapat

mendasarkan diri pada teori sastra (bagian ilmu sastra yang berbicara

tentang definisi sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra,

penggolongan jenis dan ragam sastra, serta anjuran teoretis mengenai

prosedur analisis, interpretasi dan evaluasi terhadap sebuah karya

sastra). Namun, kritik sastra juga tidak pernah lepas dari sejarah

sastra yakni konteks kepenulisan saat sebuah karya sastra dibuat,

yakni tentang kehidupan penulis, situasi saat penulisan sebuah karya

sastra, dan juga perbandingan dengan karya-karya sastra yang ditulis

dalam waktu yang sama.

Sejak Xenophanes dan Herakleitos memulai kritik sastra pada 500

SM, kritik sastra bertujuan menyingkap makna tekstual dan makna

kontekstual sebuah karya sastra. Xenophanes dan Herakleitos,

misalnya, mengkritik pujangga kenamaan Yunani kuno bernama

Homerus. Pasalnya, Homerus membeberkan kebobrokan para dewa:

suatu karya sastra yang membahayakan masyarakat, karena ada

potensi peniruan dan klaim manusia akan otoritas moral independen.

Dalam perkembangan selanjutnya, kritik sastra merupakan

Esai

KREATIF DAN INSPIRATIF 10

Page 13: 33. Santarang Januari 2015

“pengadilan atas sebuah karya sastra” dengan pendekatan teoretis dan

konteks historis yang beragam. Untuk mencapai pemahaman yang

kritis tentang teks, seorang kritikus dituntut memiliki bekal wawasan

terhadap teori-teori sastra, sejarah sastra, ilmu-ilmu terkait, dan juga

pengenalan mendalam atas karya sastra yang akan dikaji.

Sebuah kritik sastra tanpa wawasan komprehensif, dan referensi

pada teori sastra serta sejarah sastra bisa jadi hanya merupakan

pameran subjektivitas seseorang tanpa landasan keilmiahan. Padahal,

kritik sastra tidak berurusan dengan perasaan suka, sentuhan

pengalaman pribadi, hubungan emosional antara kritikus dan penulis

karya sastra yang akan dibedah. Untuk mencegah hal ini, maka sudah

saatnya NTT membutuhkan kritikus-krititikus sastra yang

memberikan penilaian kritis terhadap karya-karya para penulis NTT

dengan bereferensi pada teori sastra dan sejarah sastra. Pada titik ini,

kritik sastra yang bersungguh-sungguh dapat lebih menghargai

pengalaman keringat dan air mata dari para penulis dalam

menghasilkan karya-karya sastra mereka.

Namun, keharusan kritikus sastra dalam dunia kepenulisan sastra

di NTT juga dibutuhkan dalam kaitannya dengan “masyarakat melek

sastra”. Selain mengembangkan kesusasteraan, para kritikus sastra

dapat membantu masyarakat NTT untuk mengenal para penulis

sastra dari NTT, yang membekali masyarakat untuk menilai dan

melakukan kontekstualisasi atas sebuah karya sastra yang ditulis.

Melalui pendekatan-pendekatan seperti pendekatan hermeneutis

(Friedrich Scheleiermacher, Wilhem Dilthey, Martin Heidegger, dan

Hans Georg-Gadamer), pendekatan strukturalis (Ferdinand de

Saussure, Claude Levi Strauss), pendekatan poststrukturalis (Roland

Barthes, Jacques Derrida), dan pendekatan feminis (Julia Kristeva,

Simone de Beavoir), para kritikus dapat melakukan kajian kritis atas

karya sastra dengan aplikasi jenis-jenis kritik sastra yang berbeda,

misalnya kritik historis, kritik pragmatis, kritik impresionistik, kritik

judisial, kritik tekstual, dan lain-lain.

Esai

Edisi 33, Januari 2015 11

Page 14: 33. Santarang Januari 2015

Dengan analisis demikian, tujuan kritik sastra dapat mencapai

kepenuhannya. Meminjam analisis Graham Hough, kritik sastra karya-

karya di NTT tidak boleh membatasi diri pada pengumpulan,

penyuntingan, penetapan teks, interpretasi, serta pertimbangan nilai.

Kritik sastra harus bergerak pada ranah yang lebih luas: persoalan

tentang kesusastraan, tujuan, dan kaitannya dengan problem-problem

kemanusiaan.

Kritik sastra yang kritis dan ilmiah membesarkan para penulis.

Saya punya pengalaman menarik. Dalam ketaktahuan tentang sastra,

saya pernah mengkritik puisi-puisi saudara Mario Lawi. Dasar teori

sastra saya adalah sintesis dari teori prisma poststrukturalis Roland

Barthes tentang kematian pengarang dan kajian dekonstruksi Jacques

Derrida tentang adanya “jejak-jejak” (trace) yang dapat ditelusuri.

Analisis saya bahwa jikalau “pengarang telah mati”, maka mesti ada

jejak-jejak historis yang dapat membantu para penafsir dalam

menginterpretasi teks. Atas dasar ini saya mengkritik Mario: “Kalau

Mario terus menulis puisi seperti ini, Mario tidak akan bisa berpindah dari

lingkungan tempatmu berasal. Orang yang membaca puisi-puisimu, mesti

mengenalmu sebagai seorang yang pernah hidup di seminari.” Dalam

kacamata saya saat itu, jejak-jejak Mario tetap statis, dan akan tetap

berkutat pada wilayah yang sama, sehingga ia akan lembam, tak

kreatif. Jejak-jejaknya mudah tercium. Dan (menurut saya waktu itu),

Mario harus cepat beralih tema!

Namun, kita tahu bahwa Mario Lawi tetap bertahan dalam puisi

bergenre imaji biblikalnya. Justru dalam kritik, Mario semakin

konsisten, meniupkan nafas kehidupan bagi kata-kata suci di Alkitab

lalu mempertemukan kata-kata itu dengan pengalaman kontekstual

masyarakat NTT. Ia justru merias jejak-jejak itu sehingga kita tak

pernah bosan mencari, berziarah dan menimba kekayaan makna puisi-

puisinya. Terhadap kritik saya, Mario menulis: “Saya berpikir ini

justru bukan kritik melainkan motivasi” (lihat petikan wawancara

Mario Lawi dalam Jurnal Santarang edisi Desember 2013, hlm. 44).

Esai

KREATIF DAN INSPIRATIF 12

Page 15: 33. Santarang Januari 2015

Saya yakin bahwa kebesaran hati dalam menanggapi kritik menjadi

salah satu alasan Mario berlari kencang di kancah kesusastraan

nasional saat ini.

Sebuah kritik sastra berkualitas harus membedakan “kritik sastra

populer” dan “kritik sastra akademis.” Kritik sastra populer sering

cenderung dangkal, tanpa sokongan teori, dan pameran subjektivitas

kata-hati. Sedangkan kritik sastra akademis sering menggunakan

pendasaran teori yang ketat, bahasa ilmiah, dan sejauh mungkin

menghindari subjektivitas dalam telaah sastra. Kedua-duanya punya

kelemahan: kritik sastra yang terlampau ilmiah dan ketat sering kali

hanya dipertahankan di kampus (lingkungan akademis), dan sulit

dijangkau oleh masyarakat publik. Di sisi lain, kritik sastra populer

yang bertujuan menjangkau pasar dan masyarakat banyak sering kali

mengorbankan pendasaran teori, argumen bias, dan menggunakan

bahasa-bahasa publik yang melanggar kaidah berbahasa.

Mungkin banyak yang berpendapat bahwa dua kelemahan ini

mengantar pada pilihan dilematis yang tidak dapat didamaikan.

Namun, menurut saya kelemahan ini justru dapat diselesaikan dengan

menggunakan peran kampus (kaum intelektual) untuk

memasyarakatkan karya sastra. Sudah saatnya kampus dan juga kaum

intelektual membuat kritik sastra dan memperkenalkannya kepada

masyarakat dengan menggunakan bahasa-bahasa yang mudah

dipahami dan pada saat yang sama tidak mengorbankan elemen-

elemen penting dalam kritik sastra.

Tentu saja tugas memasyarakatkan kritik sastra seperti demikian

tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena itu, saya

menganjurkan perlunya “pentradisian” kritik sastra di sekolah-

sekolah, terutama kampus-kampus di NTT. Universitas-universitas di

NTT mempunyai Fakultas Sastra dan Fakultas Pendidikan Bahasa

yang dapat memaksimalkan potensi para mahasiswa untuk melakukan

kritik sastra (terutama karya-karya para penulis dari NTT) dalam

kuliah dan juga sedapat mungkin “berani keluar dan

Esai

Edisi 33, Januari 2015 13

Page 16: 33. Santarang Januari 2015

memasyarakatkan kritik sastra” pada siswa-siswa SMA, SMP, SD dan

juga masyarakat. “Pentradisian” kritik sastra ini sangat penting untuk

memantik lahirnya kritikus-kritikus sastra. Dami N. Toda dapat

menjadi kritikus sastra ketika berkenalan dengan Fakultas Sastra

Sastra dan Budaya UGM (1966), Fakultas Sastra Universitas

Indonesia (1974), dan pelbagai diskusi tentang sastra. Seorang Ignas

Kleden dapat menjadi kritikus sastra ketika mulai berkenalan dengan

para penyair NTT sejak menjadi siswa Seminari St. Dominggo

Hokeng, kegemarannya membaca teori-teori sastra, dan usaha

besarnya untuk menulis kritik sastra secara terus-menerus. Menjadi

kritikus sastra adalah sebuah perjuangan yang tak pernah selesai.

Kritikus-kritikus sastra yang sejati dari NTT sangat dibutuhkan

saat ini, walaupun harus bernasib seperti Sisipus, dalam mitologi

Yunani kuno: Dicintai sekaligus dibenci, ditolak namun secara diam-

diam dirindukan, menumbuhkan kreativitas namun pada saat yang

sama diasingkan karena sikap kritis mereka. Ini pengorbanan besar

namun hanya dengan demikian, “sastra NTT” dan “sastrawan NTT”

memperoleh legitimasi kokoh dan dapat dipertahankan dari serangan

manapun. Jika hal ini tercapai, “Sisipus sastra” (kritikus sastra NTT)

tetap berbahagia walau dalam “penderitaannya”-meminjam titah

Albert Camus.

Siapa yang berani berkorban sebagai kritikus sastra dari NTT dan

bagaimana ia dapat dilahirkan? Mampukah NTT melahirkan,

membesarkan, dan meneruskan kritikus sastra Indonesia dari NTT

semisal Dami N.Toda dan Ignas Kleden? Semoga tulisan sederhana

ini membuka diskusi kita.***

Esai

KREATIF DAN INSPIRATIF 14

Page 17: 33. Santarang Januari 2015

BAHAN BACAAN

Barthes, Roland. Camera Lucida: Reflections on Photography.

Penerjemah: Richard Howard. New York: Hill and Wang, 1981.

Derrida, Jacques. The Problem of Genesis in Husserl´s Philosophy.

Penerjemah: Marian Hobson, Chicago: The University of Chicago

Press 2003.

Eneste, Pamusuk. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas, 2001.

Fahik, Robby. Badut Malaka. Yogyakarta: Cipta Media, 2011.

Fahik, Robby. Likurai untuk Sang Mempelai. Yogyakarta: Cipta Media,

2013.

Kleden, Ignas. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-Esai

Sastra dan Budaya. Jakarta: Grafiti dan Freedom Institute, 2004.

Poyk, Gerson. Di Bawah Matahari Bali. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Sehandi, Yohanes. Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Yogyakarta:

Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2012.

Toda, Dami, N. Hamba-Hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan,

Jakarta, 1984.

*Redem Kono, lahir di Bokon, 08 April 1989. Berasal dari Eban, sebuah kampung terpencil di pedalaman pulau Timor, NTT. Kini mahasiswa Magister Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta.

Esai

Edisi 33, Januari 2015 15

Page 18: 33. Santarang Januari 2015

Paras yang Menghilang dalam Cermin Afryantho Keyn

Solor telah diserang terik jelang tengah hari ketika tiga anak tanah

kampung lari pontang-panting menjauhi khalayak di pasar Enatukan.

Pasar yang memanjang di pesisir pantai itu masih riuh ketika

ketiganya menerobos belukar sepanjang jalur rahasia mereka.

Beriring-iringan mereka berlari. Di muka sana, tampak Rano tengah

memeluk barang curian yang mereka ambil dari pasar tadi. Di tengah

barisan, Yani melesat cepat sambil memegang ujung celana

rombengnya yang kehilangan ikat pinggang. Sedang di belakang

keduanya, di penghujung barisan maling itu, tampak paras pemimpin

mereka yang kehilangan senyum. Ia berlari dengan pasti, setiap

gerakan kakinya menentramkan kedua pengikutnya yang tengah

dijerang resah. Sesekali ia berpaling, berusaha membahasakan situasi

bak teroris kawakan. Tatapannya tajam, melempar keterangan yang

melegakan hati para rekannya.

Akan tetapi, beberapa saat berselang, jelang mereka tiba di sumur

keramat, suasana berbalik 180 derajat. Seperti biasa, sumur angker itu

senyap. Tak terdengar lagi perang tawar-menawar dari arah pasar.

Segala kegaduhan seakan diserap masuk ke dalam liang sumur yang

gelap gulita itu. Orang-orang kampung pun enggan melintas di

sumur itu. Di situlah, di sumur yang tak pernah mereka tahu mengapa

disebut keramat itu, keadaan berbalik arah. Gaduh cermin pecah tiba-

tiba merobek keheningan. Rano telah tersandung dan tersungkur.

Wadas di tepi jalan setapak telah menghabisi riwayat harta curian

mereka. Cermin yang berukuran 60x30 sentimeter itu seketika

bercerai jadi tiga. Namun, tak hanya tiga kata serapah yang

mengudara dari mulut sang pimpinan. Itulah ungkapan khasnya bagi

orang yang tak suka berhati-hati.

Rano tertunduk lesu, menatap pilu kedua tangannya yang sedikit

berdarah. Tak mampu ia menanggung salah dan serapah itu.

CERPEN

KREATIF DAN INSPIRATIF 16

Page 19: 33. Santarang Januari 2015

Semenjak terbentuknya konspirasi tengik mereka, baru kali ini ia

merasa gagal. Anak penjual arak itu gugup di hadapan bosnya. Yani

malah bertingkah lain. Ia berdiri memasang kuda-kuda. Nanar ia

menatap wadas sial itu. Tak lazim ia tampak segarang itu.

Sesungguhnya, ia ingin memalingkan paras keringnya dari bos

mereka yang temperamental itu. Sedang dia, sang pimpinan

konspirasi, serta-merta menjadi bisu setelah sekian lama tumpah

sumpah-serapahnya. Kini, kata-katanya seolah-olah tersendat di ujung

tenggorokannya. Tiba-tiba, tanpa diduga, sang bos membalikkan

suasana. Suaranya melegakan.

“Ini baru namanya adil. Cermin sudah jadi tiga.” Ia menatap

koleganya satu demi satu. Putusannya dapat ditebak.

“Yang paling kecil itu untuk Rano, yang sedang itu untuk Yani dan

yang paling besar itu untuk saya.” Tak satu pun berani membantah.

Semua sepakat.

Ketiga maling itu kemudian berpisah di sumur keramat itu. Rano

dan Yani berlalu, berbelok ke simpang timur jalan setapak sebab

rumah mereka terletak di pinggir kampung. Sedang sang pimpinan

masih duduk mematung di dekat sumur keramat itu. Ia lantas

membungkusi cerminnya dengan secarik surat kabar usang yang

sempat ia pungut di pasar tadi.

Beberapa berita lawas terhampar di surat kabar itu. Kasus

pembangunan sumur bor yang menghilangkan banyak rupiah menjadi

perhatiannya. Ia tak tertarik pada koruptor yang rakus itu apalagi

pada jumlah rupiah yang asing itu. Ia hanya tertarik pada kata

“sumur”. Seketika, perhatiannya mengarah secara penuh pada liang

gelap gulita di hadapannya. Sumur keramat itu pun masih

menghadirkan rahasia di benaknya hingga kini.

Kata neneknya, sumur keramat itu digali pada masa kerja paksa

Jepang. Kedalamannya bisa mencapai 15 meter. Dasar sumur itu

sungguh sulit diduga sebab semata-mata gelap jika dilihat dari

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 17

Page 20: 33. Santarang Januari 2015

permukaan. Cahaya matahari sungguh sulit menerobos sampai ke

dasar sumur itu. Bahkan kata neneknya, sumur kelam itulah yang

memberi sumber air perdana bagi orang-orang kampung.

“Dulu, tidak ada leding. Sebelum mengering, air sumur itulah yang

kami minum.”

Hanya sebatas itu perihal sumur keramat yang diceritakan

neneknya. Setiap kali ia bertanya-tanya lebih jauh, neneknya selalu

tampak kebingungan. Serta-merta cerita dialihkan neneknya ke hal

lain. Sungguh kasat mata neneknya menyembunyikan sesuatu

daripadanya. Sejak itu ia mulai yakin, sebab-musabab gelapnya sumur

itu bukan hanya karena deretan pohon nyiur yang menghalangi

pancar cahaya, tetapi lebih dari itu. Ia percaya, di dasar sumur itu,

pasti masih tersimpan cerita-cerita yang gelap.

Ia memutuskan untuk pulang. Hari telah sungguh siang. Pasar pun

tentu telah sepi. Di tangan kirinya, terdapat cermin yang ia bungkusi

tadi. Ketika hendak melewati simpang barat jalan setapak, bulu

kuduknya tiba-tiba merinding. Sungguh, dari dasar sumur keramat

itu, sekali lagi, ia mendengar seseorang memanggil-manggil dirinya.

“Da... mi....”

Suara itu sungguh berat, terpantul-pantul di dinding sumur.

Namanya terdengar sayup, berulang-ulang karena gaung. Sedang di

langit lazuardi, persis di atas sumur itu, tiga ekor gagak tiba-tiba

melintas.

Malam harinya, Dami merenung sendiri di kamarnya. Tak ada yang

lebih istimewa di kamar tidurnya itu selain sekeping cermin tak utuh,

hasil curian siang tadi. Ia telah rekatkan cermin itu di paras almarinya

yang kumal. Kini separuh parasnya tergambar di dalam cermin itu.

Mulai saat ini, ia tak sulit lagi becermin, merias parasnya sebelum

menemui dara taksirannya. Di Sekolah Menengah Pertama kampung,

Cerpen

KREATIF DAN INSPIRATIF 18

Page 21: 33. Santarang Januari 2015

Diana putri kepala kampunglah yang ditaksirnya. Sudah sejak lama ia

berusaha mendekati dara cantik itu. Namun sejak saat itu pula, ia

seakan telah ditolak mentah-mentah. Garis panjang bekas luka di pipi

kirinya telah merampas sebagian besar ketampanannya,

menghilangkan sebagian besar hari depan asmaranya.

Kehadiran pecahan cermin di kamarnya itu, tidak hanya membuat

Dami dapat dengan mudah bercermin. Barang curian itu dapat pula

melemparkan Dami ke masa lalu yang pilu setiap kali ia melihat

pantulan luka pipi kirinya itu. Buku hariannya memuat kejadian itu.

Sore itu, katapel Yani menewaskan ayam kesayangan bapaknya. Rano

menyiapkan sebotol arak. Kami berpesta di sumur keramat. Sampai gelap,

kami melingkari api unggun.

Kami sudah sepakat agar pulang lebih larut. Tetapi Yani memang

penakut. Ia lebih dahulu melarikan diri ketika ada suara dari dalam sumur

yang menyebut-nyebut namaku. Aku jadi takut, apalagi Rano. Kami

berpisah di situ dan pulang.

Hari sudah sangat gelap ketika kutiba di rumah. Kuberharap bapak tak

ada. Setiap sore bapak melaut. Tetapi semuanya tak selalu seperti itu.

Rumah sudah sepi. Emakku di dapur, tak tahu ketika aku masuk ke

kamar. Tetapi, di dalam kamar, kubertemu dengan makhluk yang paling

aku takuti: bapakku! Tanpa basa-basi, tangannya menghunjam mukaku.

Cincin di jari manisnya merobek pipi kiriku. Kulihat di lantai titik-titik

merah darah. Kemudian semuanya tiba-tiba menjadi gelap gulita.

Demikian cacatan singkat Dami. Kenangan itu ia pendam di hati

dan telah telanjur membuatnya sungguh benci pada bapaknya.

Kebencian itu kemudian memuncak tatkala tindak kekerasan

bapaknya itu sungguh di luar dugaannya. Ia tak pernah mengira,

bapaknya naik darah hanya karena ia sering bermain di sumur

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 19

Page 22: 33. Santarang Januari 2015

keramat. Tak lebih karena kasus pencuriannya atau pun aksi

mirasnya. Apalagi tak pernah bapaknya menerangkan sisi gelap

sumur itu. Amarahnya membuat Dami tak bernyali untuk bertanya-

tanya.

Siang tadi, suara dari dasar sumur itu terdengar lagi. Telah dua

kali suara asing itu mengudara. Dami tak mengerti, mengapa hanya

namanya yang disebut-sebut, bukan Yani atau Rano. Dalam

kepalanya, ia menarik kesimpulan ini: bapak dan neneknya pasti

menyimpan rahasia sumur itu.

Tanpa pamit pada emaknya, Dami menemui neneknya di seberang

kampung. Bapaknya telah melaut sejak tadi. Dami tak ingin

menunggu lebih lama lagi untuk mengetahui rahasia sumur itu dari

bapaknya. Rahasia itu mungkin akan lebih mudah keluar dari mulut

neneknya, pikirnya.

Di selasar rumah neneknya, rahasia itu ternyata kian sulit

terungkap. Neneknya mengunci rapat-rapat mulutnya. Dami semakin

menaruh curiga. Kebisuan itu membuatnya mulai yakin, neneknya

pasti menyimpan masa lalu sumur itu. Sampai larut, rahasia itu tetap

menjadi misteri. Neneknya malah bercerita tentang pasar Enatukan.

“Ena itu berarti duduk. Tukan berarti tengah. Sehingga pasar

Enatukan berarti semua orang dari segala arah datang dan duduk di

sini karena kampung kita ada di tengah.”

Dami tahu, cerita perihal pasar itu semata-mata demi

menghilangkan jejak cerita tentang sumur itu. Namun pada akhirnya

pun Dami tetap bersikeras mencari tahu. Malam yang kian larut

memberi peluang pada neneknya untuk menutup pertemuan malam

itu.

“No, sudah jauh malam. Tidak baik bertanya-tanya tentang itu saat

malam-malam begini. Kalau nanti No besar, No pasti tahu.”

Dengan penuh kecewa, Dami tinggalkan rumah neneknya. Malam

telah begitu larut. Sedikit tampak rembulan. Jalan telah gelap. Namun

Cerpen

KREATIF DAN INSPIRATIF 20

Page 23: 33. Santarang Januari 2015

rahasia sumur itu tak begitu gelap lagi baginya. Neneknya telah

sedikit melegakan hatinya.

Ketika melintas di tikungan jalan, Dami melihat sesosok orang

berdiri di halaman depan rumahnya. Dari cahaya neon kamarnya,

tampak jelas orang itu memegang rotan di tangannya. Tiba-tiba,

ketakutan Dami menumpuk, secepat angin malam yang menyisir

ilalang di kejauhan. Dami hanya berdoa, semoga itu bukan bapaknya.

Tetapi suara orang itu telah telanjur menghianati doanya.

Dami mendekat, nyalinya tiba-tiba tumbang. Seperti biasa, jika

sedang marah, tanpa basa-basi bapaknya menghantamkan rotan ke

sekujur tubuhnya. Kata ampun dan tangisan Dami tak mampu

mengemis belas kasihan bapaknya. Sekali lagi, alasan tindak

kekerasan yang ia terima, membuat Dami kian benci pada bapaknya.

“Bapak sudah bilang, jangan pergi ke sumur itu lagi.”

Berkali-kali rotan itu mendera, sampai akhirnya bapaknya berlalu.

Dami merasa sakit tak terperi di sekujur tubuhnya. Suara kekesalan

emaknya dari dapur bebak memenuhi seisi rumah. Emaknya kecewa

sungguh pada bapaknya. Silang pendapat bapak emaknya itu

membuat neraka seakan menjelma di rumah itu. Tak mampu Dami

masuk ke rumah itu. Perih tubuhnya bersatu dengan sakit hatinya.

Dami berbalik, mengambil langkah ke utara, ke arah pantai.

Perlahan-lahan, ia ditelan larutnya malam. Ketika mencapai jalan

raya, ia tak tahu mengapa, ia ingin sekali pergi ke sumur keramat itu.

Kelelawar tengah berebut makan di puncak kapuk hutan ketika

Dami menuruni jalan setapak berkerikil. Dari jauh, burung hantu

merobek-robek kesunyian. Koak gagak di sepanjang barisan pohon

beringin berusaha menemani langkah kaki Dami yang bergerak

perlahan. Deretan pohon nyiur tampak seperti makhluk-makhluk

aneh penjaga sumur keramat. Sedang di langit kelam, rembulan yang

muram dipagari gemawan jingga. Dami mengerti, kali ini ia tidak

perlu dikawal oleh kedua koleganya. Ia tak merasa takut sedikit pun

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 21

Page 24: 33. Santarang Januari 2015

kali ini.

Dami melongok ke dalam sumur keramat itu. Ia menanti saat-saat

yang asing itu. Suara aneh itu telah telanjur membuatnya rindu untuk

selalu pergi ke sumur itu dan menanti namanya disebut-sebut. Tak

lama, suara asing itu akhirnya tiba, merambat-rambat dari dasar

sumur memanggil-manggil dirinya. Seperti biasa, suara itu berat,

terpantul-terpantul di dinding sumur.

Suara itu benar-benar merasukinya. Dami tak tahu mengapa,

selepas suara aneh itu lenyap, ia nekat melakukan ini. Berbekal bekas

luka yang memanjang di pipi kirinya, berbekal sakit hati pada

bapaknya, ia menjatuhkan diri ke dasar sumur. Seketika, semuanya

menjadi gelap baginya.

Cukup lama kesadaran Dami lenyap di dasar sumur itu. Suara

ancaman dan pukulan di puncak sumur membuatnya kembali terjaga.

Koak gagak masih juga terdengar. Perlahan-lahan, melalui tangga

besi berkarat di dinding sumur, Dami berusaha mencapai puncak.

Di puncak sumur, Dami mendapati segerombolan laki-laki sedang

mengadili seseorang. Obor-obor yang bernyala menerangi wajah

mereka. Orang malang itu mirip Roland sang pemburu kaum

pelompat dalam film Jumper yang pernah Dami tonton seminggu

silam. Wajahnya sangar dan berdarah. Satu-satunya hal yang dikenal

Dami adalah wajah laki-laki yang memegang pemukul kayu berdarah

di tangannya. Ia marah-marah seraya menunjuk-nunjuk Roland yang

malang itu.

“Kau tak cocok hidup! Lebih baik kau mati daripada buat kampung

jadi kacau-balau. Dasar orang gila!”

Pemukul kayu itu sesekali menghunjam paras pemburu jumper itu.

Ia merintih dan segera rebah ke tanah. Sedang Dami tiba-tiba

menjerit ketakutan. Tetapi aneh, tak seorang pun menghiraukan

jeritannya.

Cerpen

KREATIF DAN INSPIRATIF 22

Page 25: 33. Santarang Januari 2015

Kemudian, suasana kian memilukan. Tanpa diperintah, beramai-

ramai segerombolan laki-laki itu melemparkan Roland berparas

sangar itu ke dasar sumur keramat. Sebelum semuanya menjadi sepi,

orang malang itu sempat merintih dari dasar sumur. Suaranya berat,

terpantul-pantul di dinding sumur.

“Saya selalu tunggu anak cucumu di sini.”

Dami merasa sungguh dekat dengan suara itu. Ia kenal suara berat

itu.

Dami telah jauh ketika api berkobar-kobar di dasar sumur itu.

Sungguh sadis, segerombolan pembunuh itu melempar obor-obor ke

dasar sumur. Akhir hidup orang malang itu sungguh menyedihkan

kalbu. Kini, ingatan Dami jatuh pada wajah laki-laki yang memegang

pemukul kayu berdarah itu. Ia sungguh kenal laki-laki itu. Namun

Dami tak mengerti, mengapa laki-laki itu rela berlaku sekeji itu.

Jelang tiba di pelataran rumah, Dami mendengar emaknya masih

meninggikan suara. Silang pendapat dengan bapaknya tadi membuat

emaknya tak rela meredakan amarah. Emak sungguh resah dengan

keadaannya yang tiba-tiba saja menghilang. Kedatangannya tentu

bisa membalikkan suasana, pikir Dami.

Namun, kenyataan memang sungguh sulit ditebak. Dami merasa

benar-benar terlempar ke dunia lain yang aneh. Sejak di sumur tadi,

keadaan telah menjadi sungguh aneh. Pun kali ini. Tak disangka,

emaknya begitu acuh ketika Dami melintas persis di hadapannya. Tak

ada rangkulan mesra seperti dalam cerita anak yang hilang. Padahal,

dengan jelas, emaknya begitu merisaukan keadaannya.

Di kamarnya, Dami semakin kehilangan akal. Kali ini, ia benar-

benar merasa terlempar ke dunia lain. Sejak keanehan menjelma di

sumur tadi, bahkan sempat menjelma lagi di hadapan emaknya

sendiri, kini di dalam kamarnya yang sempit itu, menguap lagi

kejanggalan. Telah berkali-kali ia becermin. Namun cermin itu tetap

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 23

Page 26: 33. Santarang Januari 2015

menghianatinya. Di dalam cermin yang tak utuh, hasil curian siang

tadi, tak sedikit pun ia menemukan parasnya. Di dalam cermin itu,

parasnya menghilang.

Beberapa saat berselang, riuh menyeruak dari jauh. Terdengar

tangisan banyak orang kian mendekat. Terdengar pula doa-doa yang

dirapalkan. Seketika, hiruk-pikuk memenuhi seisi rumah. Di ruang

tengah, tangisan kian meninggi. Semuanya sungguh asing bagi

Dami. Emaknya meraung-raung histeris. Lalu terdengar pula ratapan

neneknya. Kekecewaan sungguh mengalir dari bibirnya.

“Bapakmu memang pembunuh! Dulu, dia bunuh orang gila di

sumur itu. Kenapa malam ini kami harus temukan No di dasar sumur

itu lagi?”

Dami berlalu dari kamarnya. Di ruang tengah, di pusat tangisan

itu, sekali lagi sebuah keanehan mahadahsyat membekuknya. Di

sekeliling para perempuan peratap, di pangkuan emak dan neneknya,

ia melihat dirinya sendiri yang sejak tadi menghilang dalam cermin,

terbujur kaku, kehilangan nyawa.

(Hokeng-Nusadani, 2012-2013)

Keterangan:

No: panggilan akrab untuk laki-laki bagi masyarakat Lamaholot pada

umumnya.

Afryantho Keyn lahir 28 Oktober 1991. Mulai belajar menulis cerpen sejak duduk di bangku SMA Seminari San Dominggo, Hokeng, Larantuka. Kini tinggal di Nusadani, Solor Barat, Flores Timur.

Cerpen

KREATIF DAN INSPIRATIF 24

Page 27: 33. Santarang Januari 2015

Klaudius Armin Bell

Katak-katak telah mulai bernyanyi sejak tadi. Paduan suara ramai

dari sawah di belakang kampung. Sebentar lagi nyanyian itu akan

melembut perlahan dan burung hantu bersuara merdu dari hutan di

Utara akan mengambil bagian dalam pentasan alam menjelang

malam. Rona merah di ufuk barat perlahan samar dan menghitam.

Kerlip lampu-lampu pelita mulai tampak dari rumah-rumah dengan

jendela yang masih setengah terbuka. Malam datang di kampung

yang permai saat semua pulang ke rumah: petani yang seharian

bekerja di sawah, anak-anak yang bermain tanpa lelah sejak pulang

sekolah. Di rumah ada ibu yang ramah.

Tetapi Klaudius belum tiba.

“Amè, itè lihat Ndiu? Sudah malam tapi belum pulang?” tanya

perempuan itu pada suaminya. Ia sedang sibuk menyiapkan makan

malam dan mulai gelisah; Klaudius belum pulang padahal sudah

malam dan piring-piring kotor dari jam makan siang belum juga

dibersihkan, ini seharusnya tugas Klaudius.

“Tadi ke mana?” suaminya bertanya.

“Selesai makan siang langsung pergi bermain bersama teman-

temannya. Padahal sudah saya ingatkan untuk cuci piring dahulu. Dia

pergi begitu saja, tidak pamit,” jawabnya dengan nada cemas yang

mulai terdengar jelas.

Perempuan bernama Maria itu pantas cemas. Di Kenti, kampung

mereka tinggal, telah ada cerita tentang makhluk dari dunia lain yang

akan mengambil anak-anak. Mereka menyebutnya Darat. Konon, si

anak akan dijadikan peliharaan Darat jika tak segera dicari.

Dari kisah turun-temurun yang diketahui ketika Maria masih

berusia setahun, seorang anak di Kenti pernah diculik Darat. Diculik

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 25

Page 28: 33. Santarang Januari 2015

setelah jam bermain selesai sebab si anak takut pulang ke rumah

karena lupa mencari kayu api seperti yang diminta ibunya.

Mendadak penyesalan tumbuh di hati Maria malam itu. Siang tadi

ketika Klaudius berlalu saja dari permintaannya mencuci piring,

perempuan itu berteriak keras: “Ndiuuuu… ayo pulang. Cuci piring

dulu. Dasar anak tidak tahu diuntung. Tidak bisa menolong orang

tua. Kena sial baru tahu rasa!”

Ingin diceritakannya peristiwa siang tadi kepada suaminya, tetapi

hanya ada kalimat ini yang keluar dari mulutnya, “Amè, itè harus

segera cari Ndiu. Perasaan saya tidak enak,” pinta Maria.

Lelaki bernama Simus itu enggan beranjak dari tikarnya. Selonjor

melepas lelah kerja sehari. Dengan suara pelan dia berkata, “Sudahlah

Inè, nanti juga pasti kembali. Paling juga dia sedang asyik bermain

bersama teman-temannya. Kalau makan malam sudah siap, kita

makan malam saja dulu. Biar nanti Klaudius menyusul kalau sudah

pulang.”

Makan malam berlangsung dalam diam. Mereka berdua. Ibu dan

Ayah Klaudius tak bersuara. Hanya nafas yang terdengar berat ketika

makan malam selesai dan Klaudius belum kunjung pulang. Burung

hantu telah selesai memperdengarkan simfoni terakhirnya. Di Kenti,

akhir nyanyian burung hantu dipercaya sebagai pertanda bahwa tak

ada lagi anak-anak yang bermain di halaman. Simus beranjak ke

kamar dan keluar lagi tak lama setelahnya.

“Kamu tunggu di sini saja. Biar saya coba ke rumah Herman

temannya. Siapa tahu Ndiu ada di sana,” kata Simus dan beranjak

pergi dengan senter di tangannya. Malam telah menjadi pekat. Adalah

musim hujan yang telah mulai membuat gelap dengan mudah

menyebar. Ada gerimis sisa hujan lebat sebelum sore. Pasti Ndiu

kedinginan sekarang karena tadi bermain di bawah hujan, pikir Simus.

Setengah jam sesudahnya Simus kembali. Klaudius tak ada di

rumah Herman. Maria mulai meratap. Seluruh kampung kini tahu

Cerpen

KREATIF DAN INSPIRATIF 26

Page 29: 33. Santarang Januari 2015

Klaudius belum kembali ke rumah. Para tetua kampung sepakat:

Klaudius diculik Darat, kesimpulan yang diambil setelah mendengar

cerita-cerita; dari Maria tentang dirinya yang memarahi Klaudius,

dari Herman dan teman-temannya yang lain tentang tempat mereka

terakhir kali bermain hari itu di dekat hutan.

“Kami bermain sembunyi tadi. Terakhir, giliran Ndiu dan teman-

temannya yang bersembunyi,” demikian Herman memulai ceritanya.

Dari mulut teman sepermainan itu diketahui bahwa di ujung hari, saat

teman-teman tim Klaudius berhasil ditemukan persembunyiannya,

Klaudius tidak berhasil „ditangkap‟–bahasa mereka tentang

keberhasilan menemukan anggota tim lain yang mendapat giliran

bersembunyi–lalu bersepakatlah mereka menduga bahwa Klaudius

telah lebih dahulu pulang ke rumah. “Kami pikir Ndiu buru-buru

pulang karena sebelumnya dia cerita bahwa tadi belum sempat cuci

piring,” tutur Herman.

Demikianlah kisah itu diceritakan Herman sekaligus menjawab

pertanyaan banyak orang mengapa mereka tidak teruskan mencari

Klaudius.

Malam itu disepakat pencarian segera dilakukan. Ingatan tentang

anak lelaki di masa lalu yang tak berhasil ditemukan karena terlambat

dicari membuat orang-orang bergegas. Untung tak ada lagi gerimis.

Gong dan gendang diturunkan dari rumah Tu’a Golo dan mulai

dibunyikan. Begitu kerasnya alat-alat itu dipukul tangan-tangan yang

khawatir, bunyinya bertalu hingga jauh ke kampung tetangga. Lelaki

muda dan dewasa yang tak memiliki senter mulai menyalakan obor.

Mereka, para lelaki muda dan dewasalah yang akan bertugas mencari.

Anak-anak dan perempuan berkumpul di rumah Klaudius menemani

Maria yang berduka.

Di antara isak tangisnya perempuan itu terus menerus meratap.

Menyesal. “Ndiu, Ndiu, Inè minta maaf. Pulang, Ndiu, pulang. Inè

tidak marah.” Para ibu menghibur. Gadis-gadis berbisik-bisik tentang

kisah lama yang mendadak populer lagi: Seorang anak diculik Darat

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 27

Page 30: 33. Santarang Januari 2015

karena tak turut permintaan ibunya. Anak-anak tak peduli. Mereka

bermain saja di halaman yang kini terang benderang karena cahaya

obor yang sengaja ditanam beberapa pemuda sebelum mereka pergi

mencari.

Di pinggir hutan para pencari tak bersuara. Senyap. Tak ada yang

berani menabuh gong dan gendang. Hutan itu begitu lebat dengan

pohon-pohon sepelukan orang dewasa yang tumbuh rapat-rapat.

Dingin menerpa dari angin malam yang mengombang-ambingkan

cahaya obor-obor yang diangkat tinggi. Beruntung mereka tadi

memutuskan membuat obor. Senter tak cukup mampu menembus

pekat. Burung-burung malam sesekali melintas lalu sembunyi.

Binatang-binatang melata yang terusik merayap menjauh.

Mereka telah melintas mata air, yang sebelumnya adalah daerah

terjauh di hutan itu yang biasa mereka capai. “Ayo, mulai panggil,”

kata Tu’a Golo yang memimpin rombongan tersebut. Sebuah

komando yang memecah hilangnya suara dan tetabuhan sejak mereka

di bibir hutan. Betapa satu perintah mampu membangkitkan

keberanian.

“Ndiu, Ndiu, Ndiu!” Teriak mereka ditingkah gong dan gendang

yang kini ditabuh lebih bersemangat. Semakin ke tengah hutan

semakin bersemangat mereka berteriak, semakin tinggi obor-obor

diangkat, semakin liar kelebat cahaya senter dimainkan, semakin giat

para penabuh gong dan gendang bekerja.

Simus paling kencang. “Ndiuuuu, Ndiuuu, ini Amè. Ayo pulang.

Kasihan Inè menangis terus. Pulang, Nak,” serunya ditutup isak

tertahan. Para lelaki muda dan dewasa yang melihat lelaki yang

menangis menjadi tambah bersemangat memanggil, berteriak dan

mencari. Rombongan telah melebar tak lagi memanjang. Wilayah

pencarian diperluas. “Kita cari di sekitar sini. Ini sudah di tengah

hutan. Mungkin Darat itu tinggal di sini. Jangan lupa awasi teman-

teman. Jangan jalan sendiri. Bahaya!” Komando dari Tu’a Golo.

Cerpen

KREATIF DAN INSPIRATIF 28

Page 31: 33. Santarang Januari 2015

Di kampung, Maria terus menangis dengan suara yang semakin

lemah. Terlampau lama dia meratap, suaranya menghilang. Betapa

sedih hatinya mengingat seluruh kisahnya bersama Klaudius anak

mereka satu-satunya.

Klaudius adalah anak yang ceria. Selama ini selalu menjadi teman

setia Maria ketika suaminya bekerja di kebun. Klaudius gemar

menolong sesama. Itulah mengapa Herman begitu menyukainya. Juga

anak-anak yang lain sama seperti Herman, menyukai Klaudius.

Kenangan itu membuat hati perempuan itu semakin lara.

Tentang peristiwa siang tadi, baru saat inilah ingatan Maria

menjadi jernih. Sebelum pergi meninggalkan piring kotor yang

seharusnya dicucinya, Klaudius bilang: “Inè, saya cuci piringnya nanti

sore saja. Saya harus segera pergi ke rumah Herman. Dia butuh

bantuan membuat potang. Setelah itu kami langsung bermain di

pinggir hutan.”

Tangis Maria kembali pecah. Dengan suara tersisa diratapinya

Klaudius yang belum kembali. Ibu-ibu kembali menghibur dengan

suara pelan lalu tiba-tiba meninggi dan berubah ramai ketika dari

halaman anak-anak berteriak-teriak: “Mereka pulang! Mereka

pulang!”

Semua yang di rumah bergerak ke halaman. Dari jauh terlihat

kerlip obor, semakin lama semakin jelas, mendekat. Rombongan

pencari itu bergerak pulang. Perempuan dan anak-anak berdebar

menanti. Semakin dekat semakin terlihat wajah para pencari itu

tampak ceria. Ada gurat senyum yang tertangkap pandang dari jarak

seratusan meter.

“Horeeee, Ndiu ada. Ndiu ditemukan,” teriak anak-anak melonjak

kegirangan. Ibu-ibu dan para gadis saling berpelukan. Maria berlari

menyongsong, menyambut suaminya yang juga berlari mendekat

dengan Klaudius dalam gendongannya. Pertemuan keluarga. Maria

memeluk Klaudius dan suaminya. Diusap-usapnya kepala Klaudius

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 29

Page 32: 33. Santarang Januari 2015

tanpa kata-kata. Klaudius juga demikian, memeluk ibunya dengan

erat. Ada tangis kecil. Tangis bahagia mereka bertiga.

Suasana haru itu serentak hilang ketika anak-anak berlarian

menjerit-jerit ketakutan. Jejari mereka menunjuk ke tengah

rombongan pencari, menuding sesosok baru dan berteriak nyaring:

“Setaaaan. Mereka pulang dengan setaaaaan!” Suasana panik

menyebar. Sebagian perempuan menduga, sosok itu adalah anak lelaki

yang di masa lalu juga diculik Darat.

Pendapat itu buru-buru dibantah oleh sebagian lelaki dari

rombongan pencari. “Saya kenal teman saya yang dahulu hilang itu.

Bukan ini. Meski sudah tua, tapi saya tahu betul ada ciri yang khas.

Kakinya pendek sebelah. Kalau orang ini, kakinya normal. Tapi saya

juga tidak kenal siapa orang ini,” kata seseorang menjelaskan.

Tentang siapa lelaki itu, tak ada yang dapat memastikannya.

Namun tentang mengapa dia ada bersama rombongan pencari dan

Klaudius, Tu’a Golo tampil dan mulai bercerita.

Ketika mereka sampai di tengah hutan dan mulai berteriak-teriak

mencari, Klaudius muncul dari balik pohon yang besar. Kemunculan

yang mengejutkan yang membuat beberapa pria berteriak ketakutan.

Klaudius kemudian meminta mereka ke balik pohon besar itu. Di sana,

seorang lelaki sedang duduk memijat-mijat kakinya; kelelahan.

“Siapa dia?” tanya orang-orang. Klaudius mulai bercerita.

“Ketika tadi main sembunyi, saya pilih tempat agak jauh. Sekitar

seratus meter dari mata air. Lalu saya lihat orang ini. Dia seperti

sedang lapar. Dia minum air dengan satu tangannya sedang

tangannya yang lain memegang sesuatu. Saya mendekat lalu tahu itu

tanah. Orang ini makan tanah itu. Dia mungkin lapar,” cerita

Klaudius. Selanjutnya Klaudius bergerak semakin dekat dan berniat

mengajak orang itu pulang ke rumahnya berhubung hari sudah mulai

gelap dan dia ingin meminta ibunya menyiapkan makan.

Belum juga Klaudius menyampaikan niat baiknya, orang itu

Cerpen

KREATIF DAN INSPIRATIF 30

Page 33: 33. Santarang Januari 2015

bergerak ke tengah hutan dengan cepat. Berlari. Klaudius mengikuti

dan tiba di tengah hutan saat hari sudah malam. Gelap. Didapatinya

orang itu duduk bersandar pada pohon besar, kelelahan. Orang itu

ternyata tak bisa bicara. Dia hanya tersenyum melihat Klaudius. Di

tengah gelap, dipeluknya Klaudius yang ketakutan. Siapakah yang

tidak takut bersama dengan orang asing di tengah hutan yang gelap?

Klaudius juga tak tahu jalan pulang. Semua pohon tampak sama di

tengah hutan yang gelap. Demikianlah mereka berdua di sana sampai

rombongan pencari tiba di situ dan membawa mereka pulang.

Bisik-bisik tentang Klaudius diculik Darat selesai begitu saja. Saat

semua orang masih di halaman, dari jauh datang rombongan lain.

Rupanya dari kampung tetangga. Mereka tadi serempak datang

ketika mendengar tetabuhan gong dan gendang. Kiranya kampung

Kenti memerlukan bantuan, pikir mereka. Lalu mereka bergerak ke

mari, ke halaman rumah Klaudius tempat semua orang Kenti

berkumpul.

Dari rombongan terakhir inilah diketahui tentang siapa lelaki yang

bersama Klaudius di tengah hutan. “Dia orang gila dari kampung

kami. Kemarin terlepas dari pasungan dan menghilang. Kami

berterimakasih kepada Klaudius dan seluruh warga kampung Kenti

karena berhasil menemukannya. Akan kami ajak pulang,” kata

seorang dari antara mereka.

Malam itu semua menikmati kopi di halaman rumah Klaudius.

Pernyataan syukur yang sederhana atas peristiwa yang baik, lalu

pulang. Klaudius bersama ayah dan ibunya masuk. Klaudius makan

dengan lahap lalu mereka tidur. Hari sudah tengah malam. Gerimis

yang tadi sempat berhenti kini datang lagi, dengan cepat menjadi

hujan yang deras.

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 31

Page 34: 33. Santarang Januari 2015

Keterangan:

1. Amè: Panggilan untuk Ayah dalam dialek Manggarai Barat.

2. Itè : Sapaan bahasa Manggarai yang berarti kau/ kamu, biasanya

untuk orang yang dihormati (lebih santun).

3. Darat : Jin. Diceritakan bahwa mereka cantik seperti bidadari. Pada

beberapa percakapan, gadis Manggarai yang sangat cantik akan

dipuji: Cama molas de darat = Cantik sebagai bidadari.

4. Inè : Panggilan untuk Ibu dalam dialek Manggarai Barat.

5. Tu’a Golo: Tua Adat, Kepala Kampung di Manggarai. Dipercaya

sebagai pengambil keputusan. Biasanya menempati rumah adat

yang disebut Mbaru Gendang.

6. Potang : Sangkar Ayam. Biasanya dari anyaman tali temali dari

tanaman rambat di hutan, bisa juga dari rotan atau bilah bambu.

Armin Bell bernama lengkap Robertus Bellarminus Nagut. Lahir di Kupang, 16

Juni 1980. Ia adalah peserta Borobudur Writers and Cultural Festival 2014.

Cerpennya berjudul “Kopi” menjadi salah satu pemenang prospektif pada

Lomba Menulis Cerpen Obor Award 2014. Ia merupakan pegiat teater, anggota

kelompok resepsi sastra PETRA BOOK CLUB Ruteng, serta pengelola Taman

Baca LG Corner Ruteng.

Cerpen

KREATIF DAN INSPIRATIF 32

Page 35: 33. Santarang Januari 2015

Mimpi Soli Nunbaun Delha Christian Senda

“Dalam mimpi yang sempurna di Coupang, kita bisa memulainya

dari hati seseorang yang tertanam di dekat pantai karang.”

Pauline Antoinette Tuinenburg, pagi ke-39.

Bagaimana rasanya menyepi di surga selama 118 tahun? Maafkan

jika aku terlalu sok tahu tentang surga. Di dalam batok kepalaku

bersemayam sebuah makna bahwasanya di surga semua tak lagi

mampu bersuara sekaligus mendengar. Aku percaya Tuhan punya

cara demikian agar manusia yang tinggal di surga hanya mampu

melihat dan menikmati segala keajaiban yang indah tanpa sibuk

mengoceh dan mendengar ocehan orang lain. Cukuplah segala

kegilaan karena mulut dan telinga hanya berlaku di dunia. Surga

versiku ini hitam putih seperti cemetery yang dilukis Jaques Etienne

Victor dalam Voyage Autour du Monde sur les Converttes de L’Uranie

1817. Jaques menulis Kupang sebagai Coupang.

Ah, lupakan itu Pauline... Lihatlah ke arah pantai. Mercusuar itu

hampir roboh, dan benteng Concordia dicuri pasukan loreng dari

ingatan sejarah. Klenteng di bawah sana akan roboh. Gereja-gereja

tua akan terhisap terowongan setan. Toko-toko tua hanyalah nama.

Siapa yang mencintai sejarah di kota ini? Siapa yang menghargai

kejayaan masa lalu? Pejabat kami terlalu bodoh untuk urusan seperti

ini. Bahkan rumahmu, Pauline! Pejabat kota berteriak di koran

tentang revitalisasi bangunan-bangunan kuno tapi sekali lagi cuma

teriakan. Mereka bodoh. Mereka itu sekumpulan orang gila yang

mengira mereka lahir mesin-mesin pabrik. Mereka amnesia pada masa

kanak mereka tentang kota yang gemilang. Mereka sedang

membunuh keajaiban kota lalu menggantinya dengan ruko yang tak

punya selera seni!

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 33

Page 36: 33. Santarang Januari 2015

Pauline, adakah kisah yang tak berbuah satir di kota ini? Nama dan

jejak kejayaan tak berbekas di sini. Yang abadi adalah kebodohan dan

satir yang memuncak di kerongkongan, siap dimuntahkan saking

anyirnya. Maka, mari rayakan itu. Kubawa dua kaleng cola dingin

untuk kita berdua. Mari kita mandi matahari bulan Oktober sambil

sedikit demi sedikit kita comot kue bagia yang hancur di genggaman.

Pauline, sedang kucari-cari kisah lain yang tak menyayat hatimu.

Sulit memang. Barangkali ini sesulit dirimu merawat hari tua di

rumah jayamu yang sudah bolong-bolong sebab berlempeng-lempeng

marmer telah dicuri. Jika bangsamu menciptakan rumah abadi seperti

ini sebagaimana mereka memimpikan surga maka kotaku berhasil

menjadikan rumah abadi kalian seumpama sarang setan.

Kau terdiam seperti lukisan muram. Bajumu bunga-bunga kain

sulam yang oleh waktu kini menjadikannya kisah kelam. Kisah yang

kini sedang kususun dalam berpuluh-puluh anak bab dalam mesin tik

waktu.

Ada baiknya teluk ini kunamai Koepan meski kau menyebutnya

Coupang. Kita bisa melihatnya dari bukit mungil di pinggir pantai ini.

Lihat, banyak sekali kapal dan perahu yang merapat. Kau tentunya

lebih tahu dariku, manakah orang Cina, manakah keturunan Arab,

bahkan kaummu yang berkulit putih bisa kau bedakan mana Belanda,

mana Portugis. Mereka semua terlalu gila pada cendana, lilin dan

madu. Sungguh pelabuhan di depan kami ini selalu sibuk sepanjang

waktu.

Soli Dari Nunbaun Delha, kau memanggilku demikian. Aku

menoleh ke arahmu namun kau tepis dengan diammu yang misterius.

Sepasang tatapan ganjil darimu kemudian menggiring mataku

menuju bendera kecil merah-putih-biru di puncak tiang kapal-kapal

yang sedang oleng di lautan. Aku makin sebuk menerka-nerka isi

kepalamu. Desau angin membawa aroma asin dan amis tipis ke dalam

ingatan kita. Ingatan yang tiba-tiba menamparku; Pauline, adakah

cara untuk menyambung dimensi ini agar lengkaplah kenyataan satir

Cerpen

KREATIF DAN INSPIRATIF 34

Page 37: 33. Santarang Januari 2015

yang hendak kutulis?

Aku memutuskan untuk bercerita. Semoga kau mendengarnya. Jika

pun tidak, aku yakin aroma asin amis di sini punya seribu cara untuk

menaruhnya pada setiap ruang ingatan semesta. Barangkali itu akan

hidup dalam beberapa catatan sastra anak cucu kota ini.

***

Pauline Antoinette Tuinenburg, pagi ke-40

Kuseka wajahmu untuk pertama kali kala itu, enam puluh pagi

yang lalu. Namaku Soli. Aku membisikan kalimat pendek itu ke daun

telingamu. Kau nampak begitu rapuh di bawah terpaan matahari.

Rumput-rumput telah menggerogoti kaki hingga pahamu. Seratus

depalan belas tahun, aku bergumam tentang umur rumahmu yang

tertera di pintu. Sebuah pintu rapuh dengan sedikit jejak marmer

yang tersisa.

Teman-temanku telah menjauh dari rumahmu. Diam-diam mereka

memancarkan aura penakut. Apakah mereka tiba-tiba melihat

berderet-deret rumah tua di hadapan kami ini pecah atap dan

pintunya lalu keluarlah sejenis manusia-manusia tanah? Aku tak

melihat seorangpun selain Pauline. Kulihat teman-temanku telah

menyusuri jalan setapak menuju ke laut. Aku mengeluarkan kamera

polaroid dari tas dan mencoba meminta izin padamu apakah kau boleh

kupotret. Kau menolak dengan halus disusul sebaris senyuman.

Mendadak sosokmu jadi berwarna. Mendadak dunia dihadapanku jadi

berwarna. Kau seperti memancing jutaan warna itu jatuh di

hadapanku lalu membungkus kembali senyum itu ke balik peti muram

yang tergurat di wajahmu. Kau seperti angin timur yang sulit ditebak.

Kita akhirnya mengobrol. Tidak, maksudku akulah yang

mengobrol sedangkan kau ikut menyimak meski dalam diam. Sejam

dua jam rasanya bertahun-tahun, Pauline. Rumput di sekujur

tubuhmu kubersihkan, kau sedikit lebih baik. Entah kenapa secepat itu

akhirnya aku jatuh cinta padamu. Lantas kita bercinta di bawah terik

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 35

Page 38: 33. Santarang Januari 2015

matahari. Punggungku terbakar, selangkanganmu berdarah-darah.

Selebihnya kusadari lengan dan batang leherku memar karena

gigitanmu. Kau liar, Pauline. Sekali sajakah nafsu misterius kau

hadiahkan?

Hingga kini aku belum pernah

mendengar secuil pun kisah keluar

dari mulutmu, kecuali Soli, namaku

yang kau sebut. Aku menulis ini

beberapa kali sebab kisah yang

sama pernah kutulis lalu kau

bakar. Semoga tulisanku yang

terakhir ini bisa selamat. Kau

masih terdiam dan melempar

pandangan aneh pada kertas-

kertas di atas pangkuanku.

Tiba-tiba teman-tamanku memanggil

namaku dari arah pantai. Aku

bangkit berdiri. Barangkali aku

kurang awas, kertas sudah

berpindah tangan. Kau masuk

ke rumah dan membakarnya.

Tinggalah aku dan dua lembar

kertas yang jatuh tercecer ini.

Kisah tentang pagi ke-39 dan

40 yang sedang kalian baca ini.

***

Pauline Antoinette Tuinenburg, pagi ke-41

Bagaimana caranya aku kembali ke alam mimpi empat puluh pagi

yang lalu? Aku ingin menulis ulang segala kisah dengan lebih serius.

Kota ini seperti tak punya catatan sejarah yang baik. Kota ini

Cerpen

KREATIF DAN INSPIRATIF 36

Page 39: 33. Santarang Januari 2015

barangkali akan tenggelam dalam arus banjir modernisasi sebab ia

sendiri tak punya fondasi sejarah yang kokoh dan tinggi. Pejabat di

kota ini―buang jauh-jauh niatmu untuk membuat mereka merawat

sejarah. Mereka lebih cinta setumpuk uang karena mereka ingin tidur

di atas uang.

Jika aku boleh kembali ke alam mimpi, ingin kutelanjangi mereka

dan kujadikan patung-patung di dasar teluk, tempat anak karang

bikin rumah untuk ikan-ikan bercinta. Barangkali di kemaluan mereka

yang telah mematung, kelak akan jadi rumah karang bagi seribu ikan.

Dan wisatawan asing boleh membayar mahal untuk atraksi bawah

laut yang tiada duanya itu. Biarlah di atas sana, di setiap sudut kota,

aku dan teman-temanku merawat dan menjaga buah-buah tangan

nenek moyang kami. Biarlah yang rakus selamanya telanjang dan

karam di dasar teluk. Andai mimpiku ini terjadi maka bersiaplah kau

pejabat berotak karang!

SoE, 2014

Christian Senda lahir di Mollo Utara pada 22 Desember. Menikmati sastra, film

dan kuliner. Bekerja sebagai konselor di salah satu sekolah menengah di

Kupang. Menulis buku puisi Cerah Hati (2011) dan kumpulan cerita Kanuku

Leon (2013). Bergiat di komunitas Blogger NTT, Komunitas Sastra Dusun

Flobamora, Forum So’e Peduli dan Solidaritas Giovanni Paolo II. Ia diundang

menghadiri Asean Blogger Festival di Solo dan Makassar International Writers

Festival di Makassar pada tahun 2013, serta Asean Literary Festival di Jakarta

pada tahun 2014. Blog: www.naked-timor.blogspot.com. Twitter: @dickysenda.

Cerpen

Edisi 33, Januari 2015 37

Page 40: 33. Santarang Januari 2015

Cyprianus Bitin Berek

Seusai Pembunuhan (1)

Lamekh

Dua puluh empat hasta dari beranda. Siang pun pecah berderai ketika Lamekh lenguhkan lagu paling sembilu, -- Istriku - Ada dan Zila - ada padaku oleh-oleh: kering darah di kerlip pedang. Karena kutumpas sudah lelaki malang yang melukaiku siang ini, pula seorang muda – sepupumu – yang menamparku. Maka angin lunglai, menyusup ke pokok-pokok akasia. Belukar gemetar, isyaratkan bahaya, “Angkara terjadi sudah dan bakal terulang selalu. Celaka! Celaka!” -- Pabila mengusik Kain dibalaskan tujuh kali, kan kubalas tujuh puluh tujuh kali lipat pembangkit murkaku. Tuhan adalah aku, karena padakulah gambar dan rupa-Nya. Sedang nyawa kalian rumputan belaka. Maut hitam dan berkarat, merembes di beranda. Rumputan meratap seperti melepas kutuk paling laknat. Tapi tanah berteriak lantaran darah terlanjur tumpah, “Pada Kain tersisa sesal dan cemas. Tapi Lamekh merasa berkuasa atas nyawa. Wahai, lelaki berhati paling jelaga! Berkelana dari sungai darah ke lautan darah. Dari mata pedang ke leher sesama. Nyawa jadi mainan untuk orgasme khayalmu. Wahai, kutuk darah orang terbantai!”

PUISI

KREATIF DAN INSPIRATIF 38

Page 41: 33. Santarang Januari 2015

++ Lamekh, Lamekh! Terhadap penyesalan Kain, Kucegah balas dendam orang dengan tanda bianglala di dahinya, tapi dengan tangan sendiri kau balas dendam atas namaKu. KasihKu kauubah menjadi dendam! Pada keturunan ketujuh manusia, nyawa sungguh tak bernilai, saat membunuh adalah kebenaran - atas nama Allah. -- Akulah Lamekh - manusia keturunan ketujuh dari garis Kain. Murka Allah tak lagi kutakuti, karena sesungguhnya aku titisan Allah.

Puisi

Edisi 33, Januari 2015 39

Page 42: 33. Santarang Januari 2015

Seusai Pembunuhan (2)

Zila

Siang yang merdu tiba dengan lagu paling manis.

Menyibak tirai, kusambut dia – suamiku perkasa.

Betapa tampan dia dengan pedang berlukis darah,

pedang buatan tangan anakku lanang. Amboi!

Betapa gairah menanti tuturnya: melintas bahaya

antara membunuh atau terbunuh. Amboi!

.

Pedang punya sarung, ialah tubuh manusia.

Angan lelaki punya rumah, ialah tubuhmu, Perempuan.

O, dia bisikkan itu bagai puisi, lantas mewujud kuda

paling liar. Alangkah seksi amarahnya.

Tak pernah mampu kujinakkan dia, bahkan di malam

paling pekat. Dan kala mata kupejamkan, tahulah diriku

sungguh rumah bagi gelisah kembaranya.

Juli 2014

*) Lamekh adalah generasi ketujuh manusia dari garis Kain/Qabil.

Dia adalah manusia pertama yang berpoligami dan merasa berhak

membunuh orang yang menyakitinya. Dua istrinya adalah Ada dan

Zila.

Cyprianus Bitin Berek, dilahirkan di Kampung Baru, Atambua, Timor, NTT.

Alumnus Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Sejumlah sajaknya tersiar di

beberapa terbitan surat kabar harian Kompas.

Puisi

KREATIF DAN INSPIRATIF 40

Page 43: 33. Santarang Januari 2015

Deodatus D. Parera

Perempuan Samaria

Laut pasang dalam senyummu adalah lukisan senja yang pasrah di

Eden. Kendati lautan menggeming di balik gagahmu, selama lebih

dari detak jam jarum ini berhenti bersama cahaya kau laksana peri.

Selama hampir tak pasti waktu, kau menunggu. Jarum yang berputar

menunggumu antarkan malam dengan rindu yang kerap bernyala-

nyala di wajahmu kendati tangan hendak melapangkan nista. Sebelum

semuanya jatuh tanggal, melepaskan dirimu dari lembar-lembar silam

adalah laut yang setia mendaraskan gelombangnya dari balik gaunmu.

Demikianlah aku yang tak pernah mengenalmu.

Assumpta, 2014

Puisi

Edisi 33, Januari 2015 41

Page 44: 33. Santarang Januari 2015

Amsal Para Perantau

/1

Lelaki yang sanggup pergi

Mampu pulang kembali.

Sementara yang pejamkan mata

Tak akan menembus dunia.

/2

Perempuan yang merelakan matanya

Tak lepas dari kenangan lampaunya.

Sedangkan yang diam menenum harinya

Akan menjual sepi sebelum fajar tiba.

/3

Laki-laki dan perempuan dari sepasang waktu.

Selalu sering menanti.

Assumpta, 2014

Puisi

KREATIF DAN INSPIRATIF 42

Page 45: 33. Santarang Januari 2015

Rindu Jatuhkan Sepi

Selembut cahaya di matamu

Selembut senyum dari hujan

Serpih angin yang berhembus

Seserpih cahaya di matamu

Titik-titik air yang jatuh

Menitikkan air di dalam kalbu

Jatuh ke kalbumu seperti

Menjatuhkan kenangan di seberang sepi

Membayangkan setiap perginya cahaya

Matamu selembut setiap kenangan

Menggenang dari balik kepergiaan

Entah dalamnya laut atau maut

Atau dalam bayangan.

Assumpta, 2014

Puisi

Edisi 33, Januari 2015 43

Page 46: 33. Santarang Januari 2015

Himne Perantauan

Senja, kelopak malam telah padam

Dari Timur menuju Laut Mediterania.

Gerigil arwah memasang pedati

Ombak yang tak sepi dari angin

Menghunus pedang sejuta kepalan tangan

Bahwa Timur sedang mekar

Dari hembusan gelora asa

Dan pesona neraka.

Kembalikan duri yang menembus

Pada pohonnya. Kembalikan pada akarnya.

Biarkan segera asa dan sengsara padam

Tenggelam di mulut makam

Yang selalu menghantam.

Assumpta, 2014

Deodatus D. Parera tinggal di Kota Baru, Kupang. Sejumlah karyanya

dipublikasikan di Pos Kupang, Victory News, Jurnal Sastra Filokalia, dan lain-

lain.

Puisi

KREATIF DAN INSPIRATIF 44

Page 47: 33. Santarang Januari 2015

2015: Jang Makfafiti deng Makrarese! Amanche Franck Oe Ninu

Sus Kete deng Sus Ne‟a datang di Bap Dusun pung rumah ko

saling balapor. Sus Kete tuduh Sus Ne‟a bilang Sus Ne‟a fitnah san dia

di samua tetangga. Sus Ne‟a lapor bale bilang Sus Kete ada bamaki dia

siang malam. Bap Dusun bingung. Sus Kete deng Sus Ne‟a tamba

bingung. Sapa yang pelaku? Sapa yang korban? Awal taon idop bukan

tamba dame tapi makin kacau-balau, biru balau. Korek pi korek, ini

masalah makin rumit berbelit-belit macam tali hutan balilit di hutan

Oepetu sa. Ujung pi ujung ju sama sa, karna bingung merenung-

renung akhirnya Bap Dusun ame putusan. Sus Kete deng Sus Ne‟a

kana denda babi merah masing-masing satu ekor untuk kas selesai

perkara dan proses badamai. Bap dusun bertitah dan masalah selesai.

Son tau sapa yang mulai duluan, masalah akhirnya sampe di Bap

Dusun. Yang untung adalah masyarakat, tua muda lak-laki

porompuan datang ko iko acara perdamaian dan sikat beking abis itu

dua ekor babi merah yang su jadi babi chi. Adoh… Sus Kete deng Sus

Ne‟a e. Cari masalah sa.

Ini Sus Kete deng Sus Ne‟a pung masalah ni jadi pelajaran penting

buat katong di awal tahon ni supaya hidup tenang dan badame satu

sama lain. Beta dengar dari banya orang bilang ini tahun 2015 ni

tahun kambing. Jadi katong samua musti hati-hati, karna kambing tu

malompat sini malompat sana, makfafiti sini, makfafiti sana, akhirnya

kaki patah dan cedera. Makanya katong musti jaga badan deng jaga

jiwa supaya salamat.

Memang di awal tahon ni katong musti banya doa supaya katong

pung hidup ni makin hari makin bae. Beta senang banya orang su

mulai sadar ko kerja, mulai dari yang muda sampe yang tua samua su

bagarak untuk idop babae. Hanya memang kadang-kadang ada oknum

yang selalu sa cari masalah model ke katong pung Susi dua tadi.

KUSU-KUSU

Edisi 33, Januari 2015 45

Page 48: 33. Santarang Januari 2015

Katong pung Bapa Paresiden Jokowi bilang katong musti karja, karja,

karja! Itu berarti karja tu talalu penting maka musti ditekankan ulang-

ulang. Karja ju musti tarus-tarus makanya Bapatua ulang ini kata

karja ada tiga kali memang. Orang yang sonde ada karja positif, andia

dia pung pakariang hanya makfafiti pi datang ko cari gara-gara. Selain

makfafiti pi datang dia ju makrarese manggarecok beking onar di

mana-mana. Na itu su.

Yang ana-ana muda lebe bae siap masa depan deng kagiatan

kreatif, cari usaha-usaha yang positif untuk masa depan. Jang dudu

tanganga. Bai ngao. Mumkak. Bodo-bodo. Akhirnya hanya pikiran

sapotong ko beking hal-hal yang tar ontong deng son ada guna.

Hehehe. Hidup tu jang talalu makfafiti. Jang talalu bareaksi kiri-kanan

yang lebe-lebe. Tetap fokus di tujuan. Sus Kete deng Sus Ne‟a dong tu

contoh kalo talalu makfafiti urus orang laen pung urusan. Dong dua

tu ju contoh kalo dong talalu makrarese, manggarecok beking cekcok,

beking orang resah dan gelisah. Hehehelabae. Justru itu beta ingatkan

katong di ini awal tahon ni supaya karja, karja, karja, doa, doa, doa.

Itu dua sa katong su bisa bahagia.

Na ini ju musim ujan ju kesempatan bae untuk katong yang petani

dan peladang. Tanam sekali lagi tanam. Bukan tebas sekali lagi tebas.

Katong musti kerjasama deng rahmat hujan supaya saat panen katong

bisa bergembira karna hasil malimpah. Ada jagong, ada ubi, ada

papaya, ada lombok, ada labu, ada kacang-kacangan. Babi, kambing,

sapi, kerbo, kuda, termasuk anjing yang katong piara ju dong pung

badan bisa nae karna katong perhatikan. Beta pikir beta pung

renungan awal tahon ni su talalu panjang a? Bagitu sa e. Beta mo pi

liat Sus Kete deng Sus Ne‟a te dong ada beking acara lai di dong pung

rumah. Maklum perdamaian dan persaudaraan tu musti selalu bae di

ini Dusun. Neu. Itu sa e. Da… Salam. Assalam. Palate. Palato….

Amanche Franck Oe Ninu adalah peserta Ubud Writers and Readers Festival

2012 dan Makassar International Writers Festival 2013. buku-bukunya yang

telah terbit adalah Humor Anak Timor dan Pesona Flobamora.

Kusu-kusu

KREATIF DAN INSPIRATIF 46

Page 49: 33. Santarang Januari 2015

Meringkas Hidup dalam Puisi Steve Elu

Judul : Dari Rote ke Iowa

Penulis : Gerson Poyk

Penerbit : PT. Aktual Potensi Mandiri

Terbit : November 2014

Tebal : 120 halaman

Harga : Rp. 50.000,-

Nama Gerson Poyk sebetulnya

tidak asing di dunia sastra

Indonesia. Bagi para penikmat

sastra koran, khususnya, Harian

Kompas, tentu beberapa kali

menemukan nama Gerson tertera di

rubrik Cerpen terbitan hari Minggu.

Terakhir, cerpen Gerson dimuat di

harian Kompas, Minggu, 21 Juli

2013, berjudul “Pengacara Pikun”.

Meski Gerson sudah lama menulis,

saya baru pertama membaca

karyanya justru pada cerpen ini.

Setelahnya, barulah saya mulai

mencari-cari informasi tentang

biografi Gerson dan karyanya pada

Tuan Google. Syukur bahwa nama

Gerson sangat familiar di mesin pencari jenius ini, sehingga saya

dengan mudah menemukan rekam perjalanan dan karya-karya

Gerson. Selanjutnya, saya lebih banyak membaca Gerson sebagai

penulis cerpen daripada sebagai penulis puisi atau sajak.

Baru pada pertengahan Oktober 2014 yang lalu, saya bertemu

RESENSI

Edisi 33, Januari 2015 47

Page 50: 33. Santarang Januari 2015

dengan seorang kenalan dan dia bercerita bahwa dia sedang

memproses penerbitan kumpulan puisi Gerson Poyk. Katanya, puisi-

puisi itu ditulisnya di tahun 1950-an. Tiga minggu kemudian, saat

kami berjumpa lagi, dia “menghadiahkan” saya kumpulan puisi

Gerson itu, yang ia cetak dengan judul Dari Rote ke Iowa.

Setelah kurang lebih seminggu bergulat dengan kumpulan puisi

ini, maka kini saya tuliskan sudut pandang dan telaah saya mengenai

puisi-puisi Gerson.

Kumpulan puisi Dari Rote ke Iowa memuat 79 puisi yang ditulis

Gerson sejak 1950-an (Pengantar, ix). Di lembar berikut tertulis

“Puisi Pembuka”. Bunyinya:

Sepinya mercu menyala di keping tanah pulau

Menyalalah dalam bulatanmu

Kalau hanya secercah menyala, sepinya menyala bagi keluasan

Pengelana telah lama ditelan keluasan

Kedip mercumu hidup bicaralah tentang gejolak sepi pulau

Dan suara ria memeluk cahaya dipeluk cahaya

Berakhirpun hidup dalam keluasan

Hati ingin sibak mengisi keluasan

Pada bait pertama, Gerson membuka puisinya dengan kalimat

“sepinya mercu menyala di keping tanah pulau”. Kemudian “nyala

mercu” ini dipertentangkan dengan kata “keluasan”. Dan pada bait

kedua baris pertama, Gerson menulis “Kedip mercumu hidup

bicaralah tentang gejolak sepi pulau”. Di sini Gerson mengajak “nyala

mercu” itu untuk bicara pada “sepi pulau”. Lalu pada dua baris di bait

terkhir berisi keinginan dan harapan.

Dari isi puisi dan penempatan puisi ini sebagai puisi pembuka,

dalam hemat saya, mempunyai suatu kisah unik sekaligus

Resensi

KREATIF DAN INSPIRATIF 48

Page 51: 33. Santarang Januari 2015

menghadirkan pesan mendalam. Terutama pada frasa-frasa ini: “nyala

mercu”, “tanah pulau”, dan “keluasan”.

Setelah saya membaca beberapa sumber, ada yang menyebutkan

bahwa Gerson dilahirkan di Namodale, Baa, 16 Juni 1931. Rumah

tempat Gerson dilahirkan letaknya tak jauh dari mercusuar. Itulah

satu-satunya mercusuar di Pulau Rote pada masa itu. Rupa-rupanya

mercusuar yang letaknya dekat rumah kelahiran Gerson inilah yang

ia maksud ketika menyebut mercu dalam “Puisi Pembuka” tadi.

Selanjutnya, saya menangkap bahwa maksud “keluasan” dalam

puisi ini adalah rekam jejak Gerson sendiri. Dalam puisi-puisi

selanjutnya ditemukan bawah “anak mercu dari pulau sepi” ini

berkeliling hampir ke semua belahan Nusantara, bahkan hingga ke

Amerika dan India.

Sebagai Rekam Perjalanan

Puisi-puisi Gerson tidak hanya ingin menyuarakan atau

menyampaikan sesuatu tetapi dalam dirinya sendiri memuat rekam

perjalanan si penyair. Mengapa demikian? Karena, puisi-puisi yang ia

tulis selalu memakai diksi dan simbol yang ada di sekitar tempat saat

ia berada. Jadi, Gerson memberi ruang yang cukup untuk melibatkan

simbol ataupun nama tempat yang menjadi lokasi ia menelurkan puisi

itu. Dengan demikian, puisi yang dia tulis memberi petunjuk atas

nama dirinya sendiri soal tempat, kondisi alam, serta realitas sosial

yang ada di tempat itu, pada masa itu.

Puisi-puisi yang saya maksud misalnya, “Siul Kereta” (halaman 4).

Dari judulnya, pembaca dengan pasti bisa mengatakan bahwa puisi itu

tidak ditulis di Rote atau NTT karena di sana tidak ada kereta.

Bayangan serupa melintas dalam benak saya ketika membaca puisi ini.

Benar saja, di sudut kanan bawah puisi ini tertulis “Banyuwangi,

April 1956.” Selain puisi ini, masih ada puisi-puisi lain dengan muatan

serupa yaitu “Kenangan Maluku” (hal. 21), “Dari Pameran Seni Istana

Resensi

Edisi 33, Januari 2015 49

Page 52: 33. Santarang Januari 2015

di New York” (hal. 37), “Berlayar ke Jampang Kulon” (hal. 43), “Penis

di Patung Asmat” (hal. 48), “Selamat Tinggal, San Francisco” (hal.

65), “Boston” (hal. 72-73), “Timor” (hal. 78), “Terminal Kampung

Rambutan” (hal. 82), “Jakarta” (hal. 85), “India” (hal. 94), “Musim

Dingin di Iowa” (hal.106), dan “Sebuah Villa di Puncak” (hal. 109-

110).

Puisi-puisi yang saya sebut di atas saya pilah berdasarkan kesan

tempat yang bisa langsung ditangkap d a r i j u d u l .

Sementara puisi-puisi lain tetap m e m u a t

keterangan tempat, meski kita mesti menemukannya di

badan puisi.

Dari kejelian menelaah puisi-puisi dalam

kumpulan ini saja, pembaca sudah

bisa menangkap bawah Gerson

m e m i l i k i rekam jejak yang

p a n j a n g dalam dunia tulis-

menulis, khusunya puisi. Di mana

saja tempat ia berada, ada saja puisi yang

lahir. Dari situ pula, pembaca b i sa

mendapat lukisan akan sebuah tempat pada

masa puisi itu ditulis Gerson. Ini

salah satu kekayaan Gerson yang bila

diperhatikan serius oleh para peneliti

a k a n s a n g a t membantu untuk

memahami kodisi sosial suatu tempat

pada suatu masa. Karena sejarah

mempunyai tugas merekam kronolgis

sebuah peristiwa, sementara puisi (dan

karya sastra lainnya) mengungkap suasana

dan kondis i suatu peristiwa.

Resensi

KREATIF DAN INSPIRATIF 50

Page 53: 33. Santarang Januari 2015

Mengangkat Lokalitas

Selain sebagai rekam jejak, unsur lokalitas sangat kental dalam

puisi-puisi Gerson. Dalam beberapa puisinya, Gerson bahkan sangat

jelas ingin mengangkat dimensi lokalitas Rote (dan NTT) sebagai

tanah kelahirannya. Misalnya pada puisi “Anak Karang” (hal.1). Pada

bait pertama Gerson menulis:

Bea!

di tepi sini gubuk dan karang

sekali pernah mama bilang

cerita beta cerita kau

bertulis di tanah berselang karang

Di sini, Gerson mengungkap secara eksplisit perihal situasi rumah

dan struktur tanah di tempat kelahirannnya. Kita tahu, Rote adalah

sebuah pulau kecil yang berada di ujung Pulau Timor. Gerson

memakai diksi “gubuk” untuk mencatat bahwa rumah pada masa

Gerson lahir bukalah gedung mewah atau “rumah batu” (rumah

tembok) seperti yang banyak kita temukan saat ini di NTT. Rumah

pada masa itu adalah rumah yang sangat sederhana: beratap daun,

berdinding bebak, dan berlantai tanah. Di situlah biasanya anak-anak

duduk mendengarkan cerita dongeng dari orangtuanya di malam hari,

di dekat tungku.

Sementara diksi “karang”, dipakai Gerson untuk melukiskan

struktur topografi di Rote yang lebih banyak mengandung karang

daripada tanah. Atau, di lain sisi, Gerson ingin juga mengatakan

bahwa letak “gubuk” itu tidak jauh dari pantai. Saat air laut surut di

pagi atau sore hari, karang-karang akan menampakkan punggungnya.

Pemandangan seperti ini sangat lazim bagi anak-anak NTT bahkan

hingga saat ini.

Selain puisi “Anak Karang”, masih ada puisi lain yang mengambil

sudut pandang serupa. Hampir bisa dipastikan bahwa hal ini memang

Resensi

Edisi 33, Januari 2015 51

Page 54: 33. Santarang Januari 2015

disengaja oleh Gerson karena ia mempunyai konsentrasi besar untuk

mengangkat isu-isu lokalitas NTT ke panggung nasional.

Yohanes Sehandi, dalam tulisannya di Victory News, Sabtu, 15 Juni

2013, mengatakan hal serupa. Ia mengutip pernyataan yang

disampaikan Gerson saat menghadiri sebuah seminar di Kupang

demikian: “Pada kearifan lokallah yang mendorong penataan relasi

sosial. Kearifan lokal mencegah orang terpikat pada materialisme,

misalnya mencegahnya dengan mitos, sastra, cerita rakyat, seni tari,

dan lain-lain.” Sementara di kesempatan yang berbeda, Gerson

mengatakan, “Negeri kita ini kaya. Kaki di bumi subur, tangan di laut

kaya, tapi otak di padang pasir. Kita harus sadar bahwa bumi kita

subur. Kerena itu, pembangunan harus dilakukan dengan

transmigrasi modern. Pemerintah perlu mengembangkan desa

budaya. Maka kita tidak akan lapar lagi. Orang desa punya piring

raksasa, yakni tanah yang subur.” (Kompas, 9 Juni 2013).

Maka, kumpulan puisi Dari Rote ke Iowa ini mesti dibaca dalam

terang anak mercu yang menjelma seroang penulis yang kini berusia

83 tahun dan sumbangsih lokalitas sepi tanah pulau (karang) bagi

budaya nusantara dan dunia.

Steve Elu lahir di Oepoli-Kupang, 30 September 1985. Alumnus STF Driyarkara

Jakarta (2011) dan sekarang bekerja sebagai wartawan. Bergiat dan mengelola

blog: www.kupasbuku.com dan mengelola blog pribadi: www.steveelu.com.

Buku puisi tunggalnya baru terbit dengan berjudul Sajak Terakhir.

Resensi

KREATIF DAN INSPIRATIF 52

Page 55: 33. Santarang Januari 2015
Page 56: 33. Santarang Januari 2015