Top Banner

Click here to load reader

138

30bidang IT

Aug 13, 2015

Download

Documents

Raymond Pakur
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 30bidang IT

LAPORAN AKHIR

TIM FORUM DIALOG HUKUM DAN NON HUKUM

KELOMPOK KERJA BIDANG HUKUM DAN TEKNOLOGI

Disusun Oleh Tim

Dibawah Pimpinan :

Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, S.H., LL.M.

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2005

Page 2: 30bidang IT

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… i

DAFTAR ISI ......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …………………………………………… 1

B. Maksud dan Tujuan .… …………………………………. 3

C. Ruang Lingkup Pembahasan ………………………….. 4

BAB II INVENTARISASI ISU-ISU AKTUAL DI BIDANG HUKUM

DAN TEKNOLOGI

A. Perkembangan Regulasi Indonesia yang Terkait Dengan

Teknologi Informasi & Cyber Crime ........................... 5

I. Ketentuan Hukum Positif (Existing Law) terkait

Cyber Crime..................................................... 6

II. Draft Regulasi terkait Cyber Crime yang Sedang

Dipersiapkan ................................................... 11

B. Teknologi Informasi Menembus Batas Ruang dan

Waktu ........................................................................ 27

Page 3: 30bidang IT

C. Interpretasi Dan Implementasi Perjanjian-Perjanjian

Internasional Di Bidang Keantariksaan Serta Implikasinya

Bagi Upaya Perumusan Legislasi Nasional ................ 29

D. Efek Rumah Kaca ....................................................... 31

E. Pembajakan Hak Cipta Dan Mall-Mall Yang Ada Di

Indonesia Sebagai Tempat Penjualannya................... 34

F. Situs Web Instansi Pemerintah, Lembaga Legeslatif

dan Judikatif sebaga sarana Penyebarluasan dan

Layanan Informasi Hukum .......................................... 38

BAB III TEKNOLOGI INFORMASI MENEMBUS BATAS RUANG DAN

WAKTU

A. Telematika Dan Jaringan Telekomunikasi Global........ 43

B. Teknologi Informasi Sebagai Sasaran

dan Sarana Kejahatan ................................................ 47

C. Perkembangan Teknologi Informasi

di Beberapa Negara .................................................... 54

Page 4: 30bidang IT

BAB IV INTERPRETASI DAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN -

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI BIDANG KEANTARIKSAAN

SERTA IMPLIKASINYA BAGI UPAYA PERUMUSAN LEGISLASI

NASIONAL

A. Space Treaty 1967

I. Prinsip-prinsip Pokok......................................... 57

II. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi .. 59

III. Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional 61

B. Rescue Agreement 1968

I. Ketentuan Pokok …………………………………. 64

II. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi..... 66

III. Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional 67

C. Liability Convention

I. Ketentuan-ketentuan Pokok ……………………. 68

II. Interpretasi dan Implementasi ........................... 71

III. Implikasi terhadap Upaya Legislasi Nasional…. 73

D. Registration Convention

I. Ketentuan-ketentuan Pokok ……………………. 75

II. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi.... 76

III. Implikasi bagi Perumusan Legislasi Nasional ... 78

E. Moon Agreement 1979.................................................. 79

F. Perjanjian-perjanjian Internasional Terkait Lainnya....... 80

Page 5: 30bidang IT

BAB V EFEK RUMAH KACA

A. Efek Rumah Kaca (Green House Efect)………………. 82

B. Pemanasan Global (Global Warming) ………………… 83

C. Gas-Gas Rumah Kaca ................................................ 85

D. Dampak Pemanasan Global ....................................... 88

E. Meminimalkan Dampak Pemanasan Global............... 92

F. Aspek Hukum Dalam Pemanasan Global.................. 95

BAB VI PEMBAJAKAN HAK CIPTA DAN MALL-MALL YANG ADA

DI INDONESIA SEBAGAI TEMPAT PENJUALANNYA

A. Sasarannya Mall-Mall Yang Ada Di Jabotabek............. 97

B. Pembajakan Hak Cipta Dan Penegakan Hukumnya... 100

C. Upaya Pengurangan Pembajakan ………………........ 103

BAB VII SITUS WEB INSTANSI PEMERINTAH, LEMBAGA LEGESLATIF

DAN JUDIKATIF SEBAGAI SARANA PENYEBARLUASAN DAN

LAYANAN INFORMASI HUKUM

A. Kebutuhan Sistem Informasi Hukum Nasional..................105

B. Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam

membangun Sistem Informasi Hukum Nasional.............. 107

Page 6: 30bidang IT

C. Sistem Informasi Hukum Nasional Berbasis Jaringan

Internet berupa Portal Situs Web

bphn.go.id................................ ...................................... 113

D. Pendayagunaan Situs Web Instansi Pemerintah, Lembaga

Legislatif dan Judikatif sebagai Sarana Penyebarluasan dan

Layanan Informasi Hukum............................................. 124

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan .................................................................. 127

B. Saran …………………………………………….............. 130

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 131

Page 7: 30bidang IT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai bagian dari proses peningkatan aktifitas sosial dalam

ekonomi, masyarakat dunia telah memasuki suatu masyarakat yang

berorientasi kepada informasi. Sistem informasi dan teknologinya telah

digunakan dibanyak sektor kehidupan, mulai dari perdagangan/bisnis

(Electronic – Comerce) pendidikan (electronic education), kesehatan

(telemedika), telekarya, transportasi, industri pariwisata, lingkungan

sampai ke sektor hiburan. Teknologi Informasi mencakup masalah sistem

yang mengumpulkan (Collect), menyimpan (save), memproses,

memproduksi dan mengirimkan informasi dari dan ke industri ataupun

masyarakat secara efektif dan cepat. Teknologi komputer baik perangkat

keras maupun perangkat lunak, jaringan komunikasi meluas dan teknologi

multimedia dimungkinkan menjadi tulang punggung di masyarakat abad

21 mendatang.

Namun demikian, selain keuntungan yang menjanjikan dan

teknologi khususnya teknologi informasi, teknologi ini juga memberikan

persoalan baru dalam tatanan kehidupan masyarakat, misalnya

pelanggaran HAKI, penipuan dalam perdagangan elektronik, perpajakan

dan sebagainya. Di Indonesia saat ini penggunaan teknologi informasi

telah sedemikian luas, namun demikian perangkat hukum/peraturan

Page 8: 30bidang IT

perundang-undangan yang mengatur kegiatan ini belum mendukung

untuk mengimbangi ekses-ekses yang ditimbulkan akibat pemanfaatan

teknologi informasi ini. Dengan demikian terdapat kesenjangan antara

kemajuan teknologi dan rendahnya perangkat hukum positif, penegakan

hukum belum berjalan sebagaimana mestinya dalam mengatur

penyalahgunaan teknologi informasi. Untuk itu Badan Pembinaan Hukum

Nasional periode 2004 telah membahas keterkaitan antara hukum dan

teknologi, dengan membentuk kelompok kerja hukum dan teknologi,

lingkup pembahasan tahun lalu adalah :

- Pengaruh perkembangan teknologi informasi terhadap Sistem Hukum

Nasional;

- Cyber Law, dukungan mutlak bagi perkembangan Sistem Informasi

Nasional (SISFONAS) berbasis teknologi informasi dan komunikasi;

- Sistem Informasi Hukum Nasional menunjang kesiapan berlakunya

undang-undang kebebasan memperoleh informasi public;

- Kesiapan regulasi dalam mengantisipasi pembangunan dan

pengoperasian Badan Antariksa di Biak;

- Peningkatan Investasi dan Kreativitas Investor Nasional melindungi

perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Internasional;

- Sistem Tanggungjawab dalam Penerbangan Sipil;

- Prospek Multimedia dan Industri Penyiaran;

- Hukum dan Teknologi (Nuklir).

Page 9: 30bidang IT

Sebagai sebuah negara hukum, maka segala aktivitas yang

dilakukan oleh masyarakat harus dilandasi dan sejalan dengan aturan

hukum. Demikian pula sebaliknya sebagai perangkat acuan maka hukum

di Indonesia harus bisa memberikan koridor yang jelas dan terarah

sehingga berbagai aktivitas yang akan dilakukan oleh masyarakat dapat

dilakukan secara tertata dengan benar.

Dalam hal ini bahwa keberadaan hukum harus selalu bisa

beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang terjadi, sehingga

dengan demikian proses pembangunan masyarakat secara

berkesinambungan yang memang menjadi tujuan utama

diberlakukannya hukum di negeri ini akan dapat terlaksana dengan baik

serta bersifat dinamis mengikuti berbagai perubahan yang terjadi dalam

skala nasional maupun internasional.

B. Maksud dan Tujuan

Mengacu kepada latar belakang seperti tersebut diatas, maka

maksud dan tujuan pembahasan kelompok kerja hukum dan teknologi

adalah untuk memperoleh masukan-masukan pemikiran yang diperlukan

bagi peningkatan pembangunan hukum nasional melalui penyusunan

kebijakan pemerintah di bidang teknologi. Apakah itu kebijakan melalui

pembentukan pada peraturan perundang-undangan maupun kebijakan

lain.

Page 10: 30bidang IT

C. Ruang Lingkup Pembahasan

Lingkup pembahasan dalam kegiatan tim mencakup isu-isu aktual

di bidang hukum dan teknologi antara lain sebagai berikut :

a. Inventarisasi isu-isu aktual di bidang hukum dan teknologi

b. Teknologi informasi menembus batas ruang dan waktu

c. Interpretasi dan implementasi perjanjian-perjanjian internasional di

bidang keantariksaan serta implikasinya bagi upaya perumusan

legislasi nasional

d. Efek rumah kaca

e. Pembajakan hak cipta dan mall-mall yang ada di indonesia

sebagai tempat penjualannya

f. Situs web instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif

sebagai sarana penyebarluasan dan layanan informasi hukum.

Page 11: 30bidang IT

BAB II

INVENTARISASI ISU-ISU AKTUAL DI BIDANG

HUKUM DAN TEKNOLOGI

A. Perkembangan Regulasi Indonesia yang Terkait Dengan Teknologi

Informasi & Cyber Crime

Indonesia seperti halnya negara-negara lain di dunia memiliki

kepentingan yang sangat besar terhadap keberadaan regulasi di bidang

Cyber Crime. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (ICT)

yang sangat cepat telah mempengaruhi sistem hukum nasional secara

keseluruhan, karena kesulitan seringkali dihadapi jika kasus-kasus cyber

crime pendekatannya dilakukan melalui hukum konvensional.

Menghadapi persoalan ini Pemerintah Indonesia telah melakukan

berbagai langkah konkret berupa pembuatan regulasi baru yang terkait

dengan Cyber Crime. Langkah itu antara lain dalam bentuk disahkannya

Undang-undang tentang Terorisme yang didalamnya mengakui

keberadaan alat-alat bukti elektronik. Di samping itu terdapat pula

Undang-undang lainnya yang terkait masalah Cyber crime seperti UU

tentang Telekomunikasi, UU Tindak Pidana pencucian uang, disamping

juga sudah ada undang-undang tentang Hak Cipta yang mengatur

perlindungan software komputer dan menetapkan sanksi pidana bagi

pelanggarnya.

Page 12: 30bidang IT

I Ketentuan Hukum Positif (Existing Law) terkait Cyber Crime

1. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme

Pasal 27 Undang-undang ini mengatur masalah alat

bukti elektronik yang terkait dengan kegiatan terorisme.

Pada prinsipnya alat bukti elektronik diakui sebagai alat bukti

yang sah.

Alat Bukti Pemeriksaan Tindak Pidana Terorisme meliputi :

a. Alat Bukti sebagaimana dalam Hukum Acara Pidana

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,

dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik

dengan alat optik atau yang serupa dengan itu

c. Data, Rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,

dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan

dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang

tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain

kertas atau yang terekam secara elektronik termasuk

tetapi tidak terbatas pada :

d. Tulisan suara atau gambar

e. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya

f. Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang

memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang

mampu membaca atau memahaminya

Page 13: 30bidang IT

2. Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang.

Undang-undang ini juga mengatur alat bukti elektronik

yang diakui sebagai alat bukti yang sah dalam kasus tindak

pidana pencucian uang. Dalam pasal 38 UU No. 25/2003

alat bukti yang diakui selain yang dimaksud dalam Hukum

Acara Pidana juga termasuk didalamnya alat bukti lain

berupa Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau

disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang

serupa dengan itu dan dokumen lainnya termasuk data

elektronik.

3 Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Undang-undang ini mengatur masalah akses tidak

sah melalui sarana telekomunikasi berupa larangan

melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah atau

memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi dan atau

akses ke jasa telekomunikasi dan atau akses ke jaringan

telekomunikasi khusus, ancaman pidana atas perbuatan ini

adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan atau denda

maksimal Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

Page 14: 30bidang IT

4. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Pemerintah Indonesia menekankan kembali

komitmennya yang menjunjung tinggi Hak Kekayaan

Intelektual (HKI). Pengakuan perlindungan terhadap HKI

istilah yang baku Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan

dasar bagi suatu Negara untuk dapat maju dalam era

masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge Society).

Penghargaan terhadap suatu inovasi akan menciptakan efek

multiplier dalam perkembangan peran dan kreativitas

komunitas intelektual suatu Negara. Hal ini juga merupakan

salah satu hal yang diungkapkan Presiden RI dalam

pertemuannya dengan Bill Gates di markas Microsoft di

Redmond, Amerika Serikat baru-baru ini. Di Indonesia

implementasi HKI di bidang program komputer merupakan

pengejawantahan dari UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta dan sesuai dengan komitmen Indonesia yang telah

meratifikasi kesepakatan WTO-TRIPS.

Sejalan dengan komitmen pemerintah secara umum

mengenai HKI, dalam konteks Information and

Communication Technology (ICT) pemerintah melalui

Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo)

akan menjadwalkan berbagai langkah koordinasi dengan

vendor maupun dengan pihak-pihak terkait dalam

Page 15: 30bidang IT

mengimplementasikan HKI di Indonesia. Dalam konteks ICT

di Indonesia, penggunaan software (perangkat lunak)

bajakan merupakan tantangan paling besar, karena

mencakup operasi di berbagai aspek, termasuk dalam

operasi pemerintah maupun dunia usaha.

Menteri Komunikasi dan Informatika, memandang

bahwa seperti halnya Negara-negara berkembang lainnya,

merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam

mengimplementasikan HKI dalam penggunaan software

berlisensi, karena dalam satu sisi mahalnya harga lisensi

tersebut dibandingkan dengan GDP per kapita yang relatif

rendah. Di satu pihak pemerintah menargetkan penyebaran

ICT secara lebih merata, tingginya nilai software berlisensi

sering merupakan penghambat karena menjadikan biaya

investasi maupun biaya operasional tinggi sehingga sulit

terjangkau. Oleh karena itu diperlukan alternatif-alternatif

yang realistik yang harus disesuaikan dengan visi industri

ICT di Indonesia ke depan.

Khususnya mengenai penggunaan software Microsoft

di kantor pemerintah, sudah dilakukan pembicaraan antara

Microsoft dan pemerintah RI untuk mengatasi penggunaan

software bajakan. Sementara ini berbagai alternatif untuk

mengatasi masalah ini sudah dibicarakan namun belum ada

Page 16: 30bidang IT

kesepakatan konkrit mengenai cara mengatasi

permasalahan yang ada. Sebagai langkah pertama dalam

kerjasama, akan dilakukan inventarisasi bersama yang

dikoordinasikan oleh Depkominfo bersama dengan

PT.Microsoft Indonesia untuk mengidentifikasi jumlah

komputer dan aplikasi yang digunakannya baik di instansi

pemerintah pusat maupun daerah. Pekerjaan besar ini

diharapkan dapat diselesaikan dalam waktu empat bulan ke

depan, sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk

menentukan strategi yang terbaik dalam mengatasi

penggunaan software bajakan khususnya di limgkungan

pemerintah. Perlu diketahui bahwa beberapa perguruan

tinggi saat ini telah memiliki Campus Agreement dengan

Microsoft.

5. Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen

Perusahaan

Pengakuan atas alat bukti elektronik meskipun

bersifat limitatif terbatas pada dokumen-dokumen

perusahaan diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1997

tentang Dokumen Perusahaan yang mengakui keberadaan

dokumen elektronik. Antara lain dinyatakan bahwa suatu

data yang originalnya adalah dalam bentuk elektronis atau

Page 17: 30bidang IT

sejak semula dibuat atau diterima dalam sarana bukan

kertas dapat langsung dialihkan kedalam bentuk media

lainnya tanpa harus dibuat dahulu hasil cetaknya (hard-

copy).

Ditegaskan pula bahwa dokumen perusahaan adalah

data, catatan dan atau keterangan yang dibuat dan atau

diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan

kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain

maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat

dilihat, dibaca, atau didengar. Pasal 15 ayat (1) UU Nomor.

8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan menyatakan

bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam

microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti yang sah.

2. Draft Regulasi terkait Cyber Crime yang Sedang Dipersiapkan

Saat ini Pemerintah Indonesia juga sedang mengajukan

melalui Dewan Perwakilan Rakyat beberapa Undang-undang

terkait Cyber Crime dan regulasi Cyber Law pada umumnya.

1. RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Salah satu yang sudah final pembahasannya adalah

Rancangan Undang-undang tentang Informasi dan transaksi

Page 18: 30bidang IT

elektronik yang di dalamnya mengatur keberadaan dokumen

elektronik sebagai alat bukti yang sah Ketentuan tentang alat

bukti terdapat dalam pasal 5 RUU ITE yang menyatakan

bahwa:

(1) Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi

elektronik merupakan alat bukti dan memiliki akibat

hukum yang sah .

(2) Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi

elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai

dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Di samping hal-hal tersebut RUU ITE juga mengatur tentang hal-hal yang merupakan perbuatan yang dilarang terkait dengan cyber crime yang terdapat dalam pasal 26 RUU ITE yang berbunyi sebagai berikut : a. Larangan menggunakan dan mengakses komputer

melawan hukum dengan apapun dengan maksud merusak, merubah, mengganti, memperoleh atau menghapus informasi

Secara prinsip, semua orang dilarang :

(1) Menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem elektronik lainnya tanpa hak dengan

maksud merusak, mengganti, merubah,

memperoleh, atau menghapus informasi dari

komputer atau sistem elektronik lainnya.

Page 19: 30bidang IT

(2) Menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem komputer lainnya dengan maksud

memperoleh, mengubah, merusak atau

menghancurkan informasi negara, yang

berada pada statu dilindungi atau rahasia.

(3) Menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem elektronik lainnya, tanpa hak dengan

maksud memperoleh, merubah, menghapus

atau merusak informasi keamanan negara

atau hubungan internasional yang dapat

menghasilkan ancaman atau kerusakan

potensial kepada negara dan juga subjek

hukum internasional lainnya1.

b. Larangan merusak Sistem Elektronik yang dilindungi Negara.

Setiap orang dilarang untuk melakukan

perbuatan melawan hukum yang dapat

mengakibatkan rusaknya program transmisi, informasi

atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara2.

1 Pasal 26 RUU ITE 2 Pasal 27 RUU ITE

Page 20: 30bidang IT

c. Larangan mengakses komputer untuk memperoleh informasi yang dilindungi negara.

Setiap orang dilarang menggunakan atau

mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya

yang melampaui haknya, baik dari dalam negara atau

luar negara, untuk mengambil informasi dalam dari

komputer atau sistem elektronik lainnya yang

dilindungi oleh negara.3

d. Larangan menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya dengan segala cara atau yang melampaui kapasitasnya.

Setiap orang dilarang :

(1) menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem elektronik lainnya yang dimiliki oleh

negara tanpa adanya otorisasi;

(2) menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem elektronik lainnya tanpa atau otorisasi

sebelumnya atau yang melampaui batas

kewenangannya terhadap yang dilindungi oleh

negara, yang dapat merusak benda tersebut.

(3) menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem elektronik lainnya tanpa atau otorisasi

3 Pasal 28 RUU ITE

Page 21: 30bidang IT

sebelumnya atau yang melampaui batas

kewenangannya terhadap yang dilindugi secara

umum, yang dapat merusaknya.

(4) merusak atau mengakibatkan kekacauan

komputer atau sistem elektronik yang

digunakan oleh negara4.

e. Larangan mengakses komputer tanpa otorisasi dengan maksud memperoleh keuntungan atau informasi finansial dari lembaga perbankan atau lembaga finansial.

Setiap orang dilarang :

(1) Menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem elektronik tanpa otorisasi atau melebihi

kewenangannya dengan maksud memperoleh

kekayaan atau informasi finansial dari Bank

Indonesia, atau informasi finansial dari Bank

Indonesia atau lembaga perbankan atau

lembaga finansial, perusahaan kartu kredit,

kartu pembayaran atau lainnya selain

informasi konsumen yang disimpan.

(2) Menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem elektronik tanpa otorisasi dari

4 Pasal 29 RUU ITE

Page 22: 30bidang IT

perusahaan kartu kredit, kartu permbayaran

lainnya, dalam transaksi elektronik untuk

memperkaya diri.5

f. Larangan Akses Melawan Hukum dalam Komputer yang Dilindungi tanpa adanya Otorisasi atau yang Melebihi Kewenangan

Setiap orang dilarang menggunakan atau

mengakses komputer atau sistem elektronik Bank

Indonesia tanpa adanya otorisasi atau yang melebihi

kewenangaan dengan maksud memperkaya diri atau

menggunakannya dengan perbuatan yang melawan

hukum.6

g. Larangan untuk mengambil keuntungan atau kode

akses (Menggunakan Password untuk Menjebol Komputer Lembaga atau Lembaga Lain yang dilindungi oleh Negara.)

Setiap orang dilarang:

(1) Menyebarkan, menukarkan, atau menggu-

nakan kode akses (password) atau informasi

yang serupa, untuk menjebol komputer atau

sistem elektronik dengan maksud mensalah

gunakan, yang dapat mempengaruhi sistem

5 Pasal 30 RUU ITE 6 Pasal 31 RUU ITE

Page 23: 30bidang IT

elektronik Bank Indonesia, lembaga

perbangkan atau lembaga finanasial, dan

perdagangan domestik atau internasional.

(2) Menyebarkan, menukarkan atau menggunakan

kode akses atau password, atau informasi yang

serupa, yang dapat digunakan untuk menjebol

komputer atau sistem elektronik dengan

maksed mensalahgunakan komputer atau

sistem komputer yang dilindungi negara.7

h. Larangan dalam Hubungan Internasional yang Merusak Komputer yang Dilindungi Negara dibawah Jurisdiksi Indonesia.

Setiap orang dilarang untuk melakukan tindakan,

dalam konteks hubungan internasional, yang merusak

dengan maksud dengan Every person merusak komputer

atau sistem elektronik yang dilindungi dibawah jurisdiksi

Indonesia dan dapat diakses secara umum.8

7 Pasal 32 RUU ITE 8 Pasal 32 RUU ITE

Page 24: 30bidang IT

i. Larangan untuk menggunakan dan mengakses secara

melawan hukum dengan segala cara dengan maksud

merusak, mengganti, merubah, memperoleh atau

menghapus informasi.

Pada prinsipnya setiap orang dilarang :

(1) Menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem elektronik, tanpa hak dengan maksud

merusak, mengganti, merubah, memperoleh

atau menghapus informasi dari komputer atau

sistem elektronik lainnya.

(2) Menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem komputer lainnya dengan segala cara

dengan maksud memperoleh, merubah,

merusak atau menghancurkan informasi

negara, dalam status dilindungi atau rahasia.

(3) Menggunakan atau mengakses komputer atau

sistem elektronik lainnya tanpa hak dengan

maksud memperoleh, merubah, menghapus

atau merusak informasi keamanan negara atau

hubungan internasional yang dapat menjadi

Page 25: 30bidang IT

ancaman atau kerugian kepada negara atau

subjek hukum internasional lainnya.9

j. Larangan untuk Merusak Sistem Elektronik yang Dilindungi oleh Negara

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan

melawan hukum yang dapat mengakibatkan

kerusakan pada transmisi program, informasi atau

sistem elektronik yang dilindungi oleh negara.10

k. Larangan untuk mengakses komputer untuk memperoleh informasi yang dilindungi Negara.

Setiap orang dilarang untuk menggunakan

atau mengakses komputer atau sistem elektronik

lainnya tanpa hak atau melebihi kewenangannya, baik

yang diberikan dari negara atau tidak, ntuk

memperoleh information didalam komputer atau

sistem elektronik yang dilindungi oleh negara.11

9 Pasal 26 RUU ITE 10 Pasal 27 RUU ITE

11 Pasal 28 RUU ITE

Page 26: 30bidang IT

l. Larangan untuk Menggunakan atau Mengakses Komputer atau Sistem Elektronik lainnya dengan Segala Cara atau yang Melebihi Kewenangannya.

Setiap orang dilarang :

(1). Menggunakan atau mengakses komputer dan

atau sistem elektronik yang dimiliki dan

dilindungi oleh negara tanpa adanya otorisasi;

Menggunakan atau mengakses komputer dan

atau sistem elektronik tanpa otorisasi atau

melebihi kewenangannya yang dilindungi oleh

negara, yang dapat berakibat rusaknya

sesuatu.

(2). Menggunakan atau mengakses komputer dan

atau sistem elektronik tanpa adanya otorisasi

atau yang melebihi kewenangannya yang

dilindungi oleh publik yang dapat

mengakibatkannya kerusakan.

(3). Merusak atau mengakibatkan kekacauan

komputer atau sistem komputer yang

digunakan oleh negara.12

12 Pasal 29 RUU ITE

Page 27: 30bidang IT

m. Larangan untuk mengakses Komputer tanpa otorisasi dengan maksud memperkaya diri atau memperoleh informasi finansial dari lembaga perbangkan atau lembaga finansial.

Setiap orang dilarang:

(1) Menggunakan atau mengakses komputer dan

atau sistem elektronik tanpa adanya otorisasi

atau yang melampaui bata denga maksud

meperkaya diri atau memperoleh informasi

finansial dari Bank Indonesia, atau lembaga

perbankan atau lembaga finansial, perusahaan

kartu kredit, kartu pembayaran atau informasi

konsumen lainnya.

(2) Menggunakan atau mengakses komputer dan

atau sistem elektronik tanpa otorisasi dari

perusahaan kartu kredit atau bentuk lainnya

kartu pembayaran dalam dalam transaksi

elektronik untuk memperoleh keuntungan.13

13 Pasal 30 RUU ITE

Page 28: 30bidang IT

n. Larangan untuk Mengakses secara Melawan Hukum Komputer yang dilindungi tanpa Otorisasi atau yang melampaui Kewenangan

Setiap orang dilarang untuk menggunakan

atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik

bank Indonesia tanpa otorisasi atau yang melebihi

kewenangan dengan maksud untuk memperoleh

keuntungan atau menyalagunakannya.14

o. Larangan untuk mengambil keuntukngan Kode akses (Penggunaan Password untuk menjebol komputer Lembaga Monetary atau lembaga lainnya yang dilindungi oleh Negara.)

Setiap orang dilarang:

(1). Menyebarkan, menukarkan atau menggunakan

kode akses (password) or atau informasi

lainnya yang serupa, untuk digunakan dalam

menjebol komputer atau sistem elektronik

dengan maksed menyalahgunakan, yang

dapat mempengaruhi bank Indonesia, lembaga

perbankan atau finansial dan perdaganan

domestik dan asing.

14 Pasal 31 RUU ITE

Page 29: 30bidang IT

(2) Menyebarkan menukarkan atau menggunakan

kode akses atau password, atau informasi

yang serupa yang dapat digunakan untuk

menjebol komputer atau sistem elektronik

dengan maksed menyalahgunakan komputer

atau sistem elektronik yang dilindungi oleh

negara.15

p. Larangan dalam Hubungan Internasional untuk merusak Komputer yang Dilindungi oleh Negara dibawah kewenangan Indonesia.

Setiap orang dilarang dalam konteks

hubungan internasional untuk merusak komputer atau

sistem elektronik yang dilindungi negara dibawah

jurisdiksi Indonesia dan dapat diakses secara

umum.16

15 Pasal 32 RUU ITE

16 Pasal 32 RUU ITE

Page 30: 30bidang IT

2. RUU tentang Transfer Dana

Ketentuan tentang cyber crime juga terdapat dalam

RUU tentang transfer dana yang menyatakan sebagai

berikut :

Pasal 91 :

(1) Barang siapa yang dengan sengaja dan melawan

hukum menerbitkan/mengeluarkan Perintah

Transfer Dana dengan maksud mengambil dan atau

memindahkan seluruh atau sebagian Dana milik

orang lain, dipidana dengan pidana penjara

sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun dan paling

lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda sekurang-

kurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima

belas milyar rupiah).

(2) Pengurus, pejabat, dan atau pegawai Bank yang

dengan sengaja dan melawan hukum menerbitkan/

mengeluarkan Perintah Transfer Dana dengan

maksud mengambil dan atau memindahkan seluruh

atau sebagian Dana milik orang lain, dipidana dengan

pidana penjara sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun

Page 31: 30bidang IT

dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda

sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah) dan paling banyak Rp.

15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Pasal 92 :

Barang siapa yang dengan sengaja menerima dan atau

menampung baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain

suatu Dana yang diketahui atau sepatutnya harus diduga

berasal dari Perintah Transfer Dana yang dibuat secara

melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara sekurang-

kurangnya 4 (empat) tahun dan paling lama 9 (sembilan)

tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya Rp.

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Pasal 93

(1) Barang siapa dengan sengaja mengubah,

menghilangkan, menghapus sebagian atau seluruh

informasi yang tercantum dalam Perintah Transfer

Dana, dengan maksud untuk mengakibatkan kerugian

Pengirim dan/atau Penerima yang berhak dan/atau

Page 32: 30bidang IT

pihak lain dan atau untuk memperkaya diri sendiri

dan/atau pihak lain, dipidana dengan pidana penjara

sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama

15 (lima belas) tahun dan/atau denda sekurang-

kurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas

milyar rupiah).

(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

apabila dilakukan oleh pengurus, pejabat, dan atau

pegawai Bank, maka pidana yang ditentukan dalam

ayat (1) ditambah dengan sepertiganya.

Pasal 94 :

Barang siapa yang dengan sengaja dan melawan hukum

mengakses, mengambil, mengubah, menggunakan,

menggandakan, merusak, dan atau menghilangkan suatu

sistem informasi Transfer Dana, dipidana dengan pidana

penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama

15 (lima belas) tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya

Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Page 33: 30bidang IT

Pasal 95

Barang siapa yang dengan sengaja dan melawan hukum,

dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dan atau

orang lain, menahan dan atau mengintersepsi pengiriman

Perintah Transfer Dana melalui komputer atau media

elektronik lainnya, dipidana dengan pidana penjara sekurang-

kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya Rp.

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

3. RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Di samping rancangan regulasi tersebut, saat ini

masalah Cyber Crime juga sedang dibahas dan diintegrasikan

ke dalam rancangan KUHP yang merupakan kodifikasi

hukum pidana nasional sebagai revisi dari KUHP yang dibuat

Pemerintah kolonial Belanda.

Page 34: 30bidang IT

B. Teknologi Informasi Menembus Batas Ruang dan Waktu

Secara umum banyak orang yang tercengang dan kagum terhadap

perkembangan di dunia “cyberspace” beserta kecanggihan teknologi dan

aplikasinya, namun sangat jarang yang memberi perhatian memadai

terhadap masalah hukum dan kebijakan yang ditimbulkannya.

Perlindungan hak-hak pribadi (privacy right) dan arus informasi

lintas batas merupakan sisi dilematis yang dihadapi oleh masyarakat

informasi. Disatu pihak ingin dicapai kebebasan arus informasi (free flow

of information), sementara dilain pihak harus tetap menjamin perlindungan

terhadap hak-hak pribadi. Ciri-ciri intrinsik teknologi komputer dan sistem

yang dikembangkannya memungkinkan penyebaran informasi tersebut

menjangkau lintas batas negara (transborder).

Dalam hubungan ini aspek yang berkaitan dengan hukum perdata

meliputi masalah yurisdiksi penegakkan hukum serta pilihan hukum,

misalnya dalam kontrak-kontrak yang dilakukan secara elektronis (e-

transaction).

Masalah yurisdiksi menyangkut kewenangan instansi yang berhak

menyelesaikan sengketa yang (mungkin) timbul. Sedangkan masalah

pilihan hukum memberikan berbagai alternatif dalam hal para pihak tidak

mencantumkan ketentuan tentang hukum yang berlaku dalam transaksi

elektronis yang mereka lakukan. Sementara itu masalah penegakkan

hukum akan sangat memperhatikan berfungsinya perangkat hukum,

Page 35: 30bidang IT

terutama masalah putusan asing, baik oleh badan peradilan asing

maupun lembaga arbitrase asing.

Agar terdapat jaminan penyebaran informasi lintas batas nasional

tidak merugikan berbagai pihak, maka beberapa negara tetap melakukan

pembatasan-pembatasan tertentu, seperti yang telah diterapkan oleh

Amerika Serikat, jerman dan Perancis. Beberapa instrumen internasional

yang berkaitan dengan pembatasan tersebut, antara lain : “Data

Protection Convention of the Council of Europe (1980)”, Council of Europe

Convention for the Protection Individuals with Regard to Automatic

Processing of Personal Data (1981)”, European Community Directive on

the Protection of Individuals with Regards to the Processing of Personal

Data on the Freemovementn of such data of 1995”.

Seorang futurolog Amerika Serikat , Alfin Toffler dalam bukunya

“Power Shift”17 sebagaimana juga dikemukakan dalam karyanya “The Third

Wave”, meramaikan penghujung abad 20 berkat kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, maka pada awal abad millenium akan ditandai

oleh pesatnya teknologi informasi mampu membentuk suasana “Total

Information War”, yang sering disebut “battle of information and battle of

communication”. Perdebatan pro dan kontra tentang manfaat kegunaan

teknologi informasi yang banyak dibicarakan mempengaruhi aspek

kehidupan masyarakat, mencakup nilai-nilai moral, etika serta perilaku

ditengah perubahan paradigma bisnis di Indonesia.

17

Toffler, Alfin. “Power Shift”, A Bantam Book, USA, November 1990, hlm. 153

Page 36: 30bidang IT

C. Interpretasi Dan Implementasi Perjanjian-Perjanjian Internasional Di Bidang Keantariksaan Serta Implikasinya Bagi Upaya Perumusan Legislasi Nasional

Sebagai negara yang mempunyai kepentingan dalam penerapan

dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keantariksaan untuk

memenuhi kebutuhan nasionalnya. Indonesia perlu mengembangkan

sistem hukum antariksa nasional. Melalui sistem hukum nasional yang

merupakan bagian dari sistem hukum nasional Indonesia, diharapkan

kegiatan keantariksaan dapat berlangsung dengan tertib, bermanfaat serta

mendorong kemajuan. Dalam pengembangan hukum antariksa nasional,

beberapa prinsip perlu diperhatikan, antara lain :

a. Didasarkan atas kepentingan nasional.

b. Tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional yang

berlaku.

c. Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum

internasional, khususnya di bidang keantariksaan.

Sebagaimana diketahui, Indonesia telah meratifikasi 4 (empat) dari

5 (lima) perjanjian internasional di bidang keantariksaan, masing-masing:

“Space Treaty 1967”18,”Rescue Agreement 1968”19, “Liability Convention

1972”20, dan “Registration Convention 1975”21. Sementara “Moon

18

Diratifikasi dengan Undang-undang No.16 tahun 2002. 19

Diratifikasi dengan Keppres No.4 tahun 1999. 20

Diratifikasi dengan Keppres No.20 tahun 1996. 21

Diratifikasi dengan Keppres No.5 tahun 1997.

Page 37: 30bidang IT

Agreement 1979” belum diratifikasi. Dengan meratifikasi, berarti ketentuan

yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional tersebut

ditransformasi dari ketentuan hukum internasional menjadi bagian dari

hukum nasional. Konsekuensinya, setiap upaya legislasi nasional di bidang

keantariksaan harus memperhatikan dan tunduk kepada ketentuan-

ketentuan hukum internasional termaksud. Persoalannya, seiring dengan

perkembangan kegiatan keantariksaan maka intrepretasi dan implementasi

perjanjian-perjanjian internasional diantara berbagai negara dapat

bervariasi sesuai dengan kepentingan nasional masing-masing. Indonesia

pun akan menjadikan kepentingan nasionalnya sebagai dasar

pertimbangan bagi perumusan legislasi nasionalnya, khususnya dalam

perumusan RUU Keantariksaan

D. Efek Rumah Kaca

Teknologi adalah bentuk aplikasi dari ilmu pengetahuan dalam

mewujuddkan kesejahteraan umat manusia. Teknologi diciptakan agar

hidup manusia dipermudah, dan lebih produktif atau lebih efisien, yang

akhirnya manusia akan hidup lebih nyaman dan lebih sejahtera. Namun

belakangan ini teknologi ibarat pisau bermata dua, satu sisi teknologi

memang dapat mempermudah dan mensejahterakan umat manusia, namu

disisi yang lain teknologi mempunyai dampak yang negative terhadapap

kehidupan manusia. Dengan meningkatnya teknologi dan pemanfaatannya

bagi kehidupan umat manusia, justru manusia dihadapkan kepada

Page 38: 30bidang IT

berbagai masalah, terutama adalah masalah kesehatan. Semua sektor

pembangunan dewasa ini mengalami peningkatan yang luar biasa berkat

kemajuan teknologi , tetapi ironisnya semua kemajuan teknologi di semua

sector pembngunan tersebut mempunyai dampak negative pada kesehatan

masyarakat.

Perkembangan teknologi pertanian seperti penggunaan pupuk

buatan dan penggunaan peptisida untuk pemberantasan hama, jelas akan

merugikan kesehatan. Perkembangan teknologi pangan seperti

pengawetan makanan, penggunaan kemasan makanan dari plastik dan

foam, penggunaan penyedap kakanan dan sebagainya juga merugikan

kesehatan. Perkembangan teknologi pertambangan dengan menggunakan

bahan-bahan kimia, limbahnya juga akan menggancam kesehatan

manusia, seperti kasus di Buyat beberapa waktu yang lalu. Di sektor

perhubungan, khususnya transportasi, dengan meningkanya peggunaan

kendaraan bermotor, maka emisi atau gas buangan kendaraan bermotor

tersebut akan mengganngu kesehatan masyarakat.

Baru-baru ini pemerintah, dalam hal ini Presiden RI mengeluarkan

Inpres (Instruksi Presiden) No. 10 Tahun 2005 berkaitan dengan

penghematan BBM (bahan bakar minyak) . Tetapi Inpres tersebut lebih

didorong oleh alasan ekonomi, dan tidak didasari oleh alasan yang lebih

bersifat global. Sebanarnya disamping alasan ekonomi dan politik,

penghematan bahan bakar minyak akan lebih berbobot lagi kalau dilandasi

pula alasan global, yakni adanya efek rumah kaca yang mengakibatkan

Page 39: 30bidang IT

“global warming” (pemanasan bumi) sebagai dampak dari polusi udara (air

pollution). Dengan perkataan lain pemansan global atau efek rumah kaca

adalah merupakan salah satu dampak dari sektor pembangunan (teknologi

transportasi), khususnya asap kendaraan bermotor. Meskipun gas buangan

kendaraan bermotor atau teknologi transportasi ini bukan satu-satunya

penyebab efek rumah kaca atau pemanasan bumi, namun gas buangan

kendaraan motor di Indonesia saat ini mempunyai kontribusi yang cukup

besar dalam efek rumah kaca (nurhasanah [email protected])

Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 4 ayat 6

menyebutkan bahwa baku mutu lingkungan adalah batas atau kadar

makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan

atau unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam suatu sumber daya

tertentu sebagai unsure lingkungan hidup. Udara adalah salah satu

lingkungan hidup kita, oleh sebab itu zat-zat atau gas-gas yang ada

didalamnya harus sesuai dengan baku mutu lingkungan seperti yang diatur

dalam Undang-Undang tersebut. Apabila melebih dari ambang batas yang

ditentukan akan terjadi polusi udara, dan menggangu kesehatanan

masyarakat.

Salah satu bentuk implementasi Undang-Undang No. 4/1982 ini

adalah Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup

(KLH) No. 2 tahun 1988. tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu

Lingkungan. Didalam undang-undang ini telah ditetapkan baku mutu

Page 40: 30bidang IT

lingkungan, termasuk gas buangan kendaraan bermotor (CO2), meskipun

masing-masing Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur bersama Badan

Meteorologi dan Geofisika setempat diberikan keleluasaan untuk

menetapkan baku mutu berdasarkan daerah masing-masing berdasarkan

pertimbangan kondisi setempat, sepanjang masih didalam batas ambien.

E. Pembajakan Hak Cipta Dan Mall-Mall Yang Ada Di Indonesia Sebagai Tempat Penjualannya

Pada tanggal 15 April Tahun 1994 Pemerintah Indonesia

menandatangani persetujuan akhir yang memuat hasil-hasil Perundingan

Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round of Multilateral

Trade Negotiation). Dan meratifikasi Persetjuan Pembentukan WTO

(Agreement Establishing the WTO) dengan Undang-undang No. 7 tahun

1994 pada tanggal 2 November 1994. Sebagai anggota WTO, Indonesia

harus menyesuaikan system HKI nasional dengan Perjanjian TRIPS.

Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-undang tentang Hak Cipta,

Paten dan Merek, Undang-undang tersebut pada saat itu belum sesuai

dengan standart minimal yang diharuskan pada Perjanjian TRIPS. Sebagai

Konsekuensinya, undang-undang tersebut telah direvisi dan diubah

dengan:

(1) Undang-undang No. 12/1997 Tentang Perubahan atas Undang-

undang No. 6/1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah

dengan Undang No. 7 Tahun 1987;

Page 41: 30bidang IT

(2) Undang-undang No. 13 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas

Undang-undang No. 61 Tahun 1989;

(3) Undang-undang No. 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas

Undang-undang No. 19 Tahun 1992 Tentang Merek.

Sementara itu, untuk menyusun UU Hak Cipta yang sesuai dengan

Perjanjian TRIPS pada tahun 2002, UU Hak Cipta disahkan dengan UU

nomor 19 tentang Hak Cipta (menggantikan UU Hak Cipta Tahun 1982

sebagaimana telah diubah pada tahun 1987 dan Tahun 1992.

Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan tentang “Persyaratan Khusus

Sehubungan dengan Tindakan Pembatasan” sebagaimana diatur dalam

Bagian III, Bab 4 Perjanjian TRIPS, satu bab khusus telah ditambahkan

ditambahkan pada Undang-Undang Kepabeanan Tahun 1995 (UU No.

5/1995). Bab X dari Undang-undang tersbut terdiri dari ketentuan tentang

larangan dan pembatasan eksport-import dan pengawasan eksport-import

atas barang-barang hasil pelanggaran HKI (khususnya Hak Cipta).

Sanksi yang tegas untuk penggunaan/eksplorasi secara tidak sah atas

hak cipta adalah 7 tahun penjara dan denda Rp. 1.000.000.000 atau kira-

kira US$100.000.

Indonesia telah memenuhi ketentuan Pasal 10 Perjanjian TRIPS untuk

memberikan perlindungan atas program computer dan kompilasi data

sebagai karya sastra sebagaimana diatur dalam Konvensi Bern. Menurut

Page 42: 30bidang IT

Pasal 12 UU Hak Cipta, program komputer dan kompilasi data termasuk

dalam lingkup perlindungan.

Pasal 2 (2) Undang-undang Hak Cipta menyatakan bahwa pencipta

atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan program computer

memiliki hak untuk menyewakan sebagaimana diatur oleh Pasal 11

Perjanjian TRIPS.

Di samping memberikan perlindungan hingga 50 tahun setelah

pencipta meninggal dunia atas karya-karya konvensional seperti sastra,

karya seni musik (Pasal 29 UU Hak Cipta), Indonesia juga melindungi

semua karya termasuk piranti lunak (software) selama 50 tahun sejak

pertama kali diumumkan (Pasal 30), sebagaimana diatur oleh Pasal 12

Perjanjian TRIPS.

Dengan diberlakukannya Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun

2002 yang mulai efektif tanggal 29 Juli Tahun 2003 maka perlu diadakan

sosialisasi kepada para pemiliki mall yang berada di Jabotabek tentang

pentingnya HaKI itu khususnya Hak Cipta bagi masyarakat Indonesia.

Pada saat ini pemerintah sedang berusaha untuk meningkatkan iklim

usaha yang sehat dan dinamis, sehingga mampu mendorong pelaku

ekonomi dapat lebih berkembang dan maju dan berkompetisi dalam era

globalisasi. Dalam menyadari Hak Kekayaan Intelektual merupakan salah

satu kunci pertimbangan dalam keputusan bisnis perlu mewujudkan iklim

yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya karya-karya intelektual di

masyarakat di seluruh Indonesia.

Page 43: 30bidang IT

Dalam keadaan ekonomi yang cukup memprihatinkan sekarang ini,

investasi asing merupakan hal yang banyak diharapkan akan turut

membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Sistem HKI yang baik, dalam hal

ini mencakup perlindungan hokum yang lebih kuat dan akan berdampak

pada meningkatkan arus investasi modal asing ke Indonesia.

Permasalahan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia

(1) Permasalahan HKI di Indonesia, pada dasarnya sama dengan

permasalahan HKI di negara-negara lain baik di negara maju maupun

dinegara-negara berkembang yang membedakan adalah jumlah dan

kualitas. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pembajakan

buku, kaset, CD music dan sebagainya dinegara majupun itu terjadi

akan tetapi jumlah pelanggarannya sangat sedikit, sedangkan di

Indonesia dikatagorikan sebagai negara ke tiga yang terbesar di dunia

yang melakukan pembajakan.

(2) Hal lain yang perlu dikemukan adalah efektitas penegakan hukum.

Walaupun terjadi pembajakan di luar negeri cukup banyak, mereka

memiliki system penegakan hukum yang amat baik, karena apabila

masyarakat melaporkan masalah pembajakan tersebut dapat segera

ditangani langsung oleh polis dan para penegak hukum lainnya, hal

tersebut biasanya terjadi di negara-negara maju.

Page 44: 30bidang IT

(3) Isu lain berkaitan dilema pasar. Kebanyakan kita terbelenggu oleh

keengganan mengganti kebiasaan membeli barang bajakan dengan

membeli barang yang asli karena yang bajakan jauh lebih murah

dibanding yang asli. Sebagian kita mensejajarkan kedudukan antara

kaduanya sebagai persaingan antara dua produk yang kompetitif.

Padahal sudah jelas yang pertama illegal, yang kedua sah.

Keterbelengguan ini disebabkan oleh dibiarkannya peredaran produk

illegal untuk diperjual belikan secara bebas ditengah-tengah

masyarakat.

F. Situs web instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif

sebagai sarana penyebarluasan dan layanan informasi hukum.

Kebutuhan informasi hukum yang sangat mendesak seyogianya

dapat dipenuhi dan diakses secara mudah dan murah bagi yang

membutuhkannya serta dapat diandalkan dan tersaji secara tepat waktu.

Informasi Hukum yang jelas, akurat dan mutakhir dirasakan sangat urgen

bagi :

1. Perancangan dan pembahasan Amandemen Undang Undang Dasar

1945, Undang-undang dan lain-lain produk perundang-undangan baik

di Pusat maupun Daerah;

2. Penentuan Kebijakan Pemerintah : dari Presiden , Menteri, Gubernur,

Bupati/Walikota sampai ke Camat serta bagaimana kebijakan

Pemerintah Daerah (otonom) menggunakan limpahan kewenangan

dari Pemerintah Pusat.

Page 45: 30bidang IT

3. Pemeriksaan dan investigasi oleh Polisi, Jaksa, Komisi

Pemberantasan Korupsi, Komisi Obudsman Nasional, komisi Judisial

dsb;

4. Penyusunan putusan pengadilan oleh Hakim Pengadilan Negeri,

Pengadilan Tinggi, Mahkamah Militer, Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi serta berbagai Pengadilan Ad-Hoc yang

sekarang sedang berkembang;

5. Pelaksanaan tugas para Pengacara dan Pembela perkara di lembaga-

lembaga Bantuan Hukum termasuk penyusunan strategi pembelaan

(pleidooi) bagi kliennya;

6. Pelaksanaan tugas para Debitur dan Mediator di dalam perkara bisnis

dan atau ekonomi;

7. Pelaksanaan tugas para guru besar dan dosen Fakultas Hukum, agar

mutu pendidikan Sarjana Hukum Indonesia tetap up-to-date dengan

mengajarkan teori maupun hukum nasional dan internasional yang

paling mutakhir;

8. Pembinaan kesadaran hukum masyarakat, agar setiap warga negara

dan penduduk mengetahui apa yang merupakan hak dan

kewajibannya sebagai warga negara;

9. Informasi Hukum yang paling mutakhir itu juga sangat penting bagi

para mahasiswa untuk dapat menyusun skripsi, tesis dan disertasinya

secara baik sehingga dapat meningkatkan kecerdasan bangsa;

10. Dan lain-lain.

Page 46: 30bidang IT

Mengingat kebutuhan informasi hukum diatas sangat vital maka

keberadaan situs web pemerintah dalam rangka penerapan e-Government

dapat menjadi wahana atau sarana yang efektif dan efisien untuk

digunakan dalam rangka penyebarluasan produk hukum maupun produk

kebijakan masing-masing instansi baik eksekutif, legislatif maupun Judikatif.

Perkembangan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi

sungguh sangat memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam

memperoleh informasi. Akses ke informasi pemerintahan termasuk

informasi hukum menjadi terbuka sangat lebar bagi siapa saja. Sehinga

dapat dikatakan ada demokratisasi dibidang akses publik terhadap

informasi hukum serta jalannya pemerintahan. Arus informasi hukum yang

tidak terhambat dan terbuka luas untuk berbagai kalangan ini, akan

meningkatkan kepastian hukum sehingga dapat meningkatkan kepatuhan

publik terhadap aturan hukum dan tata pemerintahan. Hal ini dikarenakan

ketimpang tindihan dalam aturan serta kekeliruan penerapan hukum yang

berlaku dapat dihindari. Selanjutnya dengan kelancaran arus informasi

hukum ini maka ketimpangan antara yang memiliki akses informasi hukum

dengan yang tidak mempunyai akses dapat diminimalkan sehingga

perlakuan pemerintah terhadap masyarakat akan lebih adil dan konsisten,

sehingga ketegangan dan kecurigaan antara pemerintah dan masyarakat

dapat dihindari. Dengan adanya arus informasi hukum yang terbuka ini pula

dapat menekan perbuatan korupsi karena dengan tersedianya informasi

Page 47: 30bidang IT

hukum yang lengkap dan tepat masyarakat dan kalangan luas dapat

memantau serta mengukur batasan-batasan kewenangan instansi

dilingkungan eksekutif, legislatif dan judikatif sehingga memudahkan

menuntut pertangung jawaban apabila terjadi penyimpangan-

penyimpangan atau pelanggaran-pelanggaran.

Permasalahan kemudian adalah bagaimana mendayagunakan

dengan optimal bahan-bahan hukum serta produk hukum dan produk

kebijakan berupa peraturan perundang-undangan beserta aturan

pelaksanaanya yang tersebar di berbagai instansi. Sampai dengan saat ini

berbagai kalangan seperti aparatur negara, penegak hukum, kalangan

akademisi dan berbagai profesi hukum lainnya serta masyarakat luas masih

beranggapan dan merasa belum memiliki akses yang baik dan memuaskan

untuk mendapatkan informasi mengenai produk hukum, peraturan

perundang-undangan dan bahan hukum lainnya dari berbagai instansi yang

berwenang. Dalam era transparansi, berbagai kalangan tersebut diatas

menghendaki adanya keterbukaan dan kebebasan untuk memperoleh

informasi hukum. Pihak birokrasi pada pemerintahan, lembaga legislatif dan

judikatif harus mampu memberikan layanan yang cepat, akurat dan tidak

berbelit-belit sehingga pencari informasi hukum terpenuhi kebutuhannya

secara memuaskan. Untuk itu diperlukan suatu Jaringan Informasi Hukum

yang dapat diandalkan dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan

Page 48: 30bidang IT

Komunikasi sehingga dapat diakses dengan mudah dan murah dan tidak

terikat ruang dan waktu.

Berbagai upaya membangun Sistem Informasi Hukum Nasional

dengan memanfaatkan Teknologi Informasi telah dilakukan karena

didasarkan atas kenyataan bahwa dokumentasi dan informasi hukum masih

merupakan faktor yang lemah dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai instansi di

bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia telah ditetapkan

sebagai Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 91 Tahun 1999. Sebagai Pusat

Jaringan, BPHN mengemban tugas untuk menyebarluasan peraturan

perundang-undangan dan bahan hukum lainnya serta mengembangan

otomasi data hukum. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut BPHN telah

berinisitif mengembangakan Aplikasi Sistem Informasi Hukum Nasional

(SisFoKumNas) berbasis jaringan internet untuk meningkatkan aksibilitas

layanan informasi hukum serta memperluas jangkauan penyebarannya

yang tidak terikat ruang dan waktu. Portal situs web BPHN ini dapat diakses

melalui alamat http://www.bphn.go.id. dan mempunyai fasilitas link dengan

beberapa portal situs web Pemerintah Pusat, portal situs web Pemerintah

Daerah serta portal situs web lembaga legislatif yaitu situs web Dewan

Perwakilan Rakyat dan portal situs web lebaga judikatif seperti portal situs

web Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Page 49: 30bidang IT

BAB III

TEKNOLOGI INFORMASI MENEMBUS BATAS RUANG DAN WAKTU

A. Telematika Dan Jaringan Telekomunikasi Global.

Globalisasi teknologi informasi mengantarkan hadirnya masyarakat

informasi sebagai kelanjutan dari strata masyarakat agraris dan

masyarakat industri. Teknologi telekomunikasi, komputer dan informasi

telah berkembang demikian canggihnya sehingga aplikasi yang

berhubungan dengan teknologi tersebut sudah menjadi kehidupan umat

manusia sehari-hari. Teknologi ini mengubah cara hidup kita. Berbagai

hambatan seperti batas ruang dan waktu yang semula menjadi kendala

sangat besar menjadi hilang atau berkurangdengan adanya jaringan

internet. Munculnya sejumlah kasus yang sangat fenomenal di dunia

internet telah mendorong dan mengukuhkan internet sebagai institusi

dalam arus utama (mainstream) budaya saat ini. Sejarah penemuan

teknologi internet bermula dari negara Amerika Serikat. Internet singkatan

dari Interconnection Networking, bisa diartikan a global network of

computer networks. Jaringan komputer berskala internasional yang dapat

membuat masing-masing komputer saling berkomunikasi. Istilah yang

digunakan untuk menyatakan sesuatu yang berhubungan dengan internet

disebut cyber atau siber. Sedangkan cyber crime, selanjutnya kita sebut

sebagai kejahatan siber. Pada Tahun 1969 Departemen Pertahanan

Page 50: 30bidang IT

Amerika Serikat menemukan produk teknologi yang esensinya adalah

memadukan teknologi telekomunikasi dengan komputer yang dikenal

dengan nama ARPAnet yang merupakan kependekan dari Advanced

Research Project Agency Network. Berdasarkan perpaduan dua produk

ini, seseorang dapat menjual ide melalui “Request For Comment”

kemudian diakses oleh orang lain untuk memperoleh komentar. Pada

tahun 1970-an perpaduan teknologi ini yang dikenal dengan istilah

teknologi informasi (information technology) mulai dimanfaatkan untuk

keperluan non-militer oleh berbagai universitas.

Kegiatan teknologi informasi dapat dimanfaatkan sebagai sarana

untuk saling berkomunikasi, dimanfaatkan masyarakat untuk penyebaran

dan pencarian data serta dimanfaatkan pula untuk memberi pelayanan

dan transaksi bisnis. Teknologi Informasi (TI) atau Information Tec

hnology (IT)22 merupakan sub sistem dari sistem informasi yang lebih

berorientasi pada teknologinya.

Dalam sistem teknologi informasi yang digunakan adalah teknologi

komputer, teknologi komunikasi dan teknologi apapun yang dapat

22

Salah satu definisi Teknologi Informasi atau Information Technology, yang dikutip dari “ Information

Technology Training Package ICA 99” yang diterbitkan oleh Australian National Training Authority

(ANTA), disebutkan :

The Information Technology Industry is defined as the development application of computer and

communication – based tecnologies, for processing, precenting, and managing data and information.

This includes computer hardware and component manufacturing, computer software development

and various computer related service; together with communication equipment, component

manufacturing and service.

Industri Teknologi Informasi adalah merupakan pembangunan dan penggunaan komputer beserta

teknologi yang berbasis komunikasi untuk memproses, menampilkan dan mengatur data beserta

informasinya. Ini meliputi perangkat keras dan komponennya, pembangunan perangkat lunak dan

berbagai pelayanan yang berkaitan dengan komputer yang bersamaan juga dengan perangkat

kumonikasi.

Page 51: 30bidang IT

memberikan nilai tambah untuk organisasi. Pesatnya kemajuan teknologi

komunikasi, media dan informatika atau disingkat teknologi telematika23

serta meluasnya perkembangan infrastruktur informasi global telah

merupakan pola dan cara kegiatan bisnis di bidang industri, perdagangan

dan pemerintahan. Terkait dengan keberadaan internet sebagai satu

jaringan telekomunikasi global (global telecommunication network) atau

sering juga disebut dengan jalan raya informasi (Information Super-

highway atau Digital highway), orang akan membayangkan terjadinya

konvergensi pasar dan konvergensi konsumen.

Dengan konvergensi dalam bidang perdagagangan telah

melahirkan model transaksi e-commerce. Pada perjalannya internet juga

telah melahirkan konsep baru dalam bidang-bidang yang lainnya, seperti

pendidikan (e-learning), pemerintahan (e-government), bisnis (e-

business), dan politik (e-democracy). Indonesia sebenarnya telah cukup

lama membangun dan memanfaatkan telematika, baik dalam pengolahan

data berbagai komputer maupun dalam penyelenggaraan layanan

telekomunikasi canggih. Namun hingga kini masih tertinggal, bahkan

tertinggal oleh negara tetangga kita Singapura dan Malaysia yang telah

memiliki cyber law masing-masing sejak tahun 1993 dan tahun 1997.

Dalam upaya pendayagunaan telematika, pemerintah telah mengeluarkan

Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan dan

23

Chandra Yusuf, “ Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Hukum Pasar Modal”, Seminar

BPHN, Jakarta 20-21 Oktober 2003 dijelaskan bahwa telematika berasal dari kata “telematics” .yang

memiliki pengertian suatu campuran atau kombinasi dari telekomunikasi ( telecommunication) dan

menghitung (computing). Internet adalah salah satu contoh dari telematika, merupakan komunikasi

data antara sistem dan alat-alat.

Page 52: 30bidang IT

Pendayagunaan Telematika di Indonesia. Dua tahun sebelumnya terdapat

Undang-undang Nomor 36 tahun 1999. Tentang Telekomunikasi sebagai

pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi

dan Keppres Nomor 50 Tahun 2000 Tentang Tim Koordinasi Telematika

Indonesia.

Perkembangan telekomunikasi yang pesat mendorong secara

simultan munculnya ekonomi global24 yang semakin luas. Telekomunikasi

akan melengkapi infrastuktur setiap industri dan perusahaan yang

bersaing dalam pasar global. Bisnis telekomunikasi berkembang berlipat

ganda ke arah proses interkonektivitas, dimana pemanfaatannya

dikombinasikan dengan telepon. Sarana media televisi, komputer dan

komponen elektronik menjadi kekuatan global yang bisa memberikan

dampak positif maupun negatif terhadap kehidupan umat manusia Oleh

karena itu diperlukan ekspektasi terhadap tinkah laku individual dalam

bentuk peraturan-peraturan baru atau norma-norma baru berupa code of

conduct secara universal ditengah berlangsungnya itikad tidak baik

dilakukan pihak-pihak yang mencari keuntungan dengan melawan hukum,

yang berarti melakukan pelanggaran dan kejahatan. Seperti halnya

kejahatan komputer yang merupakan kejahatan siber (cybercrime) telah

berkembang di Indonesia perlu ada pengaturannya, agar dapat mencebah

dampak negatif, mendorong dampak positif, sehingga terjadi kondisi

sosial yang harmonis.

24

Naisbitt, John “Global Paradox”, USA, 1994, menyebutkan ;” Telecommunication is the driving

forse that is simultaneously creating the huge global economy and making as parts smaller and more

powerful”, William morrow and Company, New York, hlm. 53

Page 53: 30bidang IT

Memperhatikan kondisi serupa itu timbul gerakan masyarakat untuk

mengembangkan hukum, peraturan, norma tidak tertulis dan berbagai

upaya untuk memelihara harmoni sosial. Jika mengikuti kasus-kasus

kejahatan yang berbasis komputer dewasa ini (cyber crime/ computer

crime/ computer misuse/ computer abuse/ computer related crime)

dikaitkan dengan kriterian penggunaan hukum kejahatan tersebut

bukanlah merupakan kejahatan yang sederhana. Karena itu kejahatan

siber (cyber crime) bukan hanya persoalan yuridis belaka, sebab

didalamnya terkait beberapa unsur lainnya, seperti sikap pelaku yang

tidak bertanggung jawab, kecongkakan intelektual si pelaku, sikap tertutup

si korban, disamping lemahnya hukum dan pengawasan. Masalah

pengertian istilah “cyber crime” belum dikenal secara sistematis dalam

kepustakaan di Amerika Serikat sampai dengan tahun 1980-an dan baru

diakui sekitar tahun 1990-an yang secara khusus dimasukkan ke dalam

Black's Law Dictionary (2001).25

B. Teknologi Informasi Sebagai Sasaran dan Sarana Kejahatan

25

Dalam “Black Law Dictionary” (2001), dimasukkan pengertian istilah cybersquatting, the act of

reserving a domain name on the internet, esp. a name that would be associated with a company's

trademark and than seeking to profit by selling or licensing the name to the company that has an

interest in being identified with it. Cybertalking, the act of the threatening, harassing or annoying

someone through multiple e-mail messages, as trough the internet, esp. with the intent of placing the

recipient in fear that an illegal act or an injury will be inflicted on the recipient or member of the

recipient's family or household.

Page 54: 30bidang IT

Di Indonesia sampai saat ini belum ada Undang-undang khusus

yang mengkriminalisasikan tipe kejahatan dengan menggunakan

teknologi komputer. Jika dalam beberapa kasus penggunaan komputer

untuk melakukan kejahatan tertentu telah dijatuhi pidana Pengadilan di

Indonesia, fakta tersebut bukan merupakan penerapan dari hukum

pidana, melainkan suatu analisis hukum yang “mempersamakan”

kejahatan dimaksud dengan kejahatan biasa yang telah diatur dalam

KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan siber dapat meliputi

pertama, teknologi informasi sebagai sasaran kejahatan dan kedua,

teknologi informasi sebagai sarana untuk melakukan kejahatan.26

Sebagaimana disebutkan dalam “Convention on Cybercrime”

(2001), teknologi informasi sebagai sasaran kejahatan terbagi atas tiga

jenis kejahatn siber yaitu :

1. Offences against the confidentiality, integrity and avaibility of

computer data, meliputi : illegal access, illegal interception; data

interference; sistem interference; misuse devices.

2. Computer related offences, meliputi computer related forgery;

computer related fraud; offences related forgery; computer related

fraud; offences related to childpornography.

3. Offences related to infringement of copy right and related rights,

meliputi kejahatan terhadap hak kekayaan intelektual.

26

Romli Atmasasmita, disampaikan dalam “Seminar Teknologi Informasi “, kerjasama BPHN dan

Program Pasca Sarjana UNPAD, 20-21 Oktober 2003.

Page 55: 30bidang IT

Sedangkan sasaran teknologi informasi sebagai sarana kejahatan,

khususnya dalam transaksi bisnis internasional telah menimbulkan akibat

hukum yang sangat merugikan, dan bahkan telah menimbulkan masalah

yurisdiksi hukum. Khusus mengenai prinsip yurisdiksi hukum pidana telah

diakui beberapa prinsip yurisdiksi, antara lain prinsip teritorialitas, prinsip

nasionalitas, baik nasionalitas pelaku maupun korban dan prinsip

universalitas.

Mengingat semakin kompleksnya permasalahan terhadap perlunya

penerapan hukum untuk menghadapi kejahatan siber, maka diperlukan

hukum pidana khusus siber atau cybercrime law27 yang dirasakan sangat

mendesak kehadirannya di negara kita. Di dalam Konvensi Cybercrime

(2001) yang diadopsi oleh Council of Europe telah ada ketentuan

mengenai yurisdiksi hukum pidana yang selama ini telah diakui dalam

hukum pidana yang berlaku di seluruh negara.

Sampai saat ini belum ada satu lembaga internasional yang

memiliki wewenang untuk memutuskan yurisdiksi negara yang berwenang

menuntut dan mengadili kasus dimaksud. Namun demikian prinsip umum

hukum internasional sudah mengakui bahwa pilihan yurisdiksi hukum

pidana terhadap kejahatan siber yang bersifat transnasional merupakan

wewenang negara locus delicti, dilihat dari sisi nasionalitas pelaku atau

korban atau tempat dimana sarana teknologi komputer digunakan.

Demikian juga telah diterima prinsip yurisdiksi yang bersifat opsional/

27

Dalam “Black Law Dictionary”. (2001), hlm. 392 disebutkan : Cyberlaw, the field of law dealing

with computers and the internet, including such issuess as intellectual – property rights, freedom of

expression and free access to information.

Page 56: 30bidang IT

bahwa negara lain yang telah dirugikan karena kejahatan transnasional

tersebut dapat mengajukan klaim yurisdiksi yang sama.

Teknologi komputer telah mengubah budaya manusia dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bainbridge mengatakan bahwa

: Computer Technology is having an ever-growing impact upon society

and the way that society conducts its affairs. Computer have permeated

almost every profesional, commercial and industrial activity and many

organizations would find it difficult, if not impossible, to function without

relying heavily on computer.28

Teknologi berkembang seiring dengan kebutuhan manusia untuk

memudahkan hidup manusia dari waktu sebelumnya. Pemanfaatan

telematika dalam berbagai bidang kehidupan manusia, seperti pendidikan,

pertukaran informasi, hiburan, perdagangan dan sebagainya bukan saja

telah mengakibatkan segala urusan menjadi mudah, tetapi juga

melahirkan sejumlah permasalahan termasuk masalah hukum. Dalam

perdagangan secara elektronik (e-commerce) misalnya, muncul persoalan

hukum berkaitan dengan perlindungan data pribadi para konsumen (the

protection of privacy right of consumen).

Informasi mengenai transaksi secara elektronik (on-line system)

atau e- commerce membutuhkan adanya perlindungan hukum yang

memadai terhadap upaya orang atau pihak-pihak yang berusaha

mengakses secara ilegal. Jenis perlindungan ini meliputi beberapa aspek

28

Bainbridge, David, “Introduction to Computer Law”, Pearson Education Limited, Great Britain,

2000, hlm.1.

Page 57: 30bidang IT

yang disebut CIANA 3, yaitu : Confidentiality, Integrity, Authorization, Non-

repudiation, Availibility, Authenticity dan Auditability. Seluruh aspek

tersebut dirangkum dalam sebuah sistem yang dinamakan Cryptosystem

yang terdiri atas dua sistem yakni, symetric cryptosystem atau secret key

cryptosystem dan asymetric cryptosystem atau public key cryptosystem29.

Teknologi informasi atau information technology (IT) telah

menghasilkan berbagai jenis dan peluang baru dan telah menciptakan

karir baru dalam pekerjaan manusia. Transaksi-transaksi bisnis makin

banyak dilangsungkan secara elektronik, suatu perubahan dari “paper

transaction”, menjadi “electronic transaction”. E-commerce memerlukan

sistem pengamanan yang dapat melindungi pihak-pihak yang

bertransaksi.

Amerika Serikat memainkan peran utama dalam revolusi informasi,

menyadari ketergantungan mereka pada IT yang telah membuka

ancaman baru terhadap ekonomi, keamanan masyarakat (public safety)

dan pengamanan nasional (national security). Sehubungan dengan itu

pada tanggal 22 Mei 1999, Presiden Amerika Serikat telah

menandatangani Presidential Decision Directive 63 (PDD 63) on Critical

Infrastructure Protection. Di dalam Keputusan Presiden Amerika Serikat

tersebut ditegaskan sistem pengamanan terhadap komunikasi elektronik

memberikan perlindungan perbuatan-perbuatan yang dapat berupa :

29

Makalah “Cyber Law : Antisipasi Hukum Terhadap Transaksi Bisnis Melalui Cyber Network”,

Seminar Pusat Studi Hukum dan Kemasyarakatan (PSHK) Medan, 30 Januari 2001.

Page 58: 30bidang IT

1. Pengubahan, penambahan atau perusakan oleh pihak yang tidak

bertanggung jawab terhadap data dan informasi, baik selama proses

transmisi oleh pengirim kepada penerima maupun selama dalam

penyimpanan.

2. Perbuatan pihak yang tidak bertanggung jawab dalam usaha

memperoleh informasi yang dirahasiakan , baik secara langsung dari

penyimpanan, maupun ketika ditransmisikan oleh pengirim kepada

penerima (upaya penyadapan).

Sehubungan dengan itu, sistem pengamanan komunikasi

elektronik harus mengakomodasikan kebutuhan pengamanan CIANA 3.

Indonesia mempersiapkan RUU tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, karena menyadari perkembangan teknologi telah

mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.

Didalam RUU tersebut, antara lain memuat substansi tentang

tanda tangan elektronik (electronic signature) atau digital signature.

Signature yang dimaksudkan disini bukan merupakan digitalizes image of

handwritten signature”, bukan tanda tangan yang dibutuhkan oleh

seseorang dengan tangannya di atas dokumen-dokumen, antara lain

dokumen-dokumen kertas seperti yang lazim dilakukan. Digital signature

diperoleh dengan terlebih dahulu menciptakan suatu message digest atau

hash, yaitu mathematical summary dokumen yang akan dikirimkan melalui

dunia siber (cyberspace). Fungsi suatu digital signature sama dengan

Page 59: 30bidang IT

fungsi sidik jari seseorang. Digital signature merupakan alat untuk

mengidentifikasi suatu pesan yang dikirimkan.30 Digital signature

bertujuan untuk dapat dijadikan alat bukti kuat secara hukum bahwa isi

pesan yang telah dikirimkan oleh pengirim itu disetujui oleh pengirimnya

dan bukan dikirimkan oleh orang lain.

Pada tanggal 1 Oktober 2000 Amerika Serikat telah mengeluarkan

suatu Undng-undang yang mengatur mengenai digital signature atau

electronic signature, disebut sebgai “Electronic Signature in Global and

International Commerce Act”, Singapura mengatur digital signature

mendahului Amerika Serikat dengan menerbitkan Electronic Transaction

Act Number 25 of 1998, tanggal 10 juli 1998, Dalam RUU tentang

Informasi dan Transaksi Elekronik di Indonesia disebutkan bahwa tanda

tangan elektronik adalah Informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki

hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain

yang ditujukan oleh pihak yang bersangkutan untuk menunjukkan

identitas dan status subyek hukum. Sedangkan transaksi elektronik

adalah hubungan hukum yang dilakukan melalui komputer, jaringan

komputer atau media elektronik lainnya31. Dari kedua definisi tersebut titik

berat diletakkan pada pentingnya status subyek hukum dan hubungan

hukumnya.

30

Drew, Grady N. “Using Set For Secure Electronic Commerce”, Prentice Hall PTR, 1999, hlm. 40. 31

Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Departemen Komunikasi dan Informatika, 2004.

Page 60: 30bidang IT

C. Perkembangan Teknologi Informasi di Beberapa Negara

Perspektif internasional dari “information superhighways” telah

menjadi agenda nasional beberapa negara, antara lain Amerika Serikat,

Canada, Uni Eropa, Jepang, Republik Korea, Singapore dan Malaysia.32

Sejak tahun 1993 Amerika Serikat mengembangkan “National

Information Infrastructure” atau NII terdiri dari 4 komponen pokok yaitu :

“owner of the highways”, “the makers of the information appliances”, “ the

information providers” dan “information costumer”, Visi dari

pengembangan NII adalah membuat Amerika Serikat sebagai pemimpin

dunia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta melayani kebutuhan

informasi bagi bangsa Amerika dengan harga terjangkau.

� Canada, tahun 1994 melalui “The Information Highway Advisory

Council” (IHAC), bertujuan menciptakan lapangan kerja melalui

inovasi dan investasi dengan memperluas dan menyempurnakan

infrastruktur informasi, menegakkan kedaulatan nasional dan

identitas kultural bangsa serta menjamin pelayanan umum

(universal service) dengan harga yang wajar.

� Uni Eropa, mengembangkan “EU Action Plan For The Information

Society” pelaksanaannya melalui “the European Council For

Telecoms”.

� Jepang, melalui Dewan Telekomunikasi pada tahun 1993 telah

melakukan studi mengenai “Info Communication Infrastructure” 32

Munir, Abu Bakar, Cyber Law, Policies and Challenges , Butter worts Asia Tahun, Malaysia, 1999.

Page 61: 30bidang IT

yang bertujuan akhir untuk mendukung transisi ke arah “Intellectual

Creative Society”.

� Republik Korea, mempunyai visi dan misi untuk mengembangkan

“Korea Information Infrastructure” (KII), bertujuan memperluas dan

memajukan infrastruktur informasi nasional yang terdiri dari jaringan

komunikasi komputer, “data base” dan terminal multi media.

� Singapura, pada tahun 1993 melalui “The Singapore National

Computer Board” (NCB) telanh mengembangkan “IT 2000 Master

Plan”, bertujuan merubah Singapura menjadikan “Intellegent Island”

dimana penggunaan IT merupakan bagian dari seluruh kehidupan

masyarakat, baik di tempat kerja, di rumah, di tempat bermain dan

lain-lain. Pada tahun 2010 Singapura berambisi sebagai negara

pertama di dunia yang memiliki “an advanced nationwide

information infrastructure”.

� Malaysia, memasuki tahun 2004 telah menambah 3 (tiga)

perangkat Undang-undang lagi di bidang siber (cyber laws), yaitu

the Electronic Government Act, the Electronic transactions Act dan

the Personal Data Protection Act. Sebelumnya Malaysia telah

memiliki undang-undang: the Digital Signatture Act 1997, the

Computer Crimes Act 1997, the Copyright (Amendment) Act 1997

dan the Communications and Multimedia Act 1998.

� Indonesia, melalui instruksi Presiden RI Nomor 6 Tahun 2001,

Tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di

Page 62: 30bidang IT

Indonesia, antara lain bertujuan memfasilitasi masyarakat untuk

turut serta dalam pengembangan dan pendayagunaan

telekomunikasi, media dan informatika (Telematika).33

Sambil menunggu kehadiran “cyber law” di Indonesia beberapa

aspek yang mendesak untuk diatur sebagai jaminan kepastian hukum yaitu

perlunya pengaturan “secure transaction”, “public key infrastructure”,

“registration authority”, “electronic payment” dan “sertification authority”.

BAB IV

INTERPRETASI DAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN-PERJANJIAN

INTERNASIONAL DI BIDANG KEANTARIKSAAN SERTA IMPLIKASINYA

BAGI UPAYA PERUMUSAN LEGISLASI NASIONAL

33

Inpres Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan dan Pemberdayagunaan Telematika di

Indonesia.

Page 63: 30bidang IT

A. Space Treaty 1967

I. Prinsip-prinsip Pokok

Sebagai “Magna Charta” Bagi kegiatan keantariksaan.

“Space Treaty 1967” memuat prinsip-prinsip pokok bagi kegiatan

keantariksaan, yang mencakup :

a. Prinsip kebebasan dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan

penggunaan antariksa secara non-diskriminatif (“freedom of

exploration and use on a non-discriminators basis”) untuk

kepentingan dan manfaat semua bangsa34.

b. Prinsip larangan penundukan nasional (“not subject national

appropriation”) atas antariksa, termasuk bulan dan benda-

benda langit lainnya35.

c. Prinsip berlakunya Ketentuan-ketentuan Hukum

Internasional termasuk Piagam PBB bagi kegiatan

keantariksaan36.

d. Prinsip Larangan penempatan dan percobaan senjata nuklir

dan senjata perusak masal serta perbentengan di antariksa37

e. Prinsip kewajiban pertolongan terhadap astronaut sebagai

duta kemanusiaan (“envoys of mankind”) serta

pengembalian terhadap astronaut dan benda-benda

34

Lihat Pasal I Space Treaty 1967. 35

Ibid. Pasal II 36

Ibid. Pasal III 37

Ibid. Pasal IV

Page 64: 30bidang IT

antariksa yang melakukan pendaratan darurat, kecelekaan

atau dalam keadaan “distress”38.

f. Prinsip tanggung jawab negara (“state responsibility”) bagi

“national activities” dengan melaksanakan “authorization and

continuing supervision”. serta kewajiban memberikan ganti

rugi internasional (“international liability”) atas akibat yang

ditimbulkan oleh kegiatan benda-benda antariksa39.

g. Prinsip pelaksanaan yurisdiksi dan pengendalian atas benda

antariksa oleh negara pendaftar dari suatu benda

antariksa40.

h. Prinsip perlindungan dan pelestarian lingkungan melalui

“international consultation”41.

i. Prinsip kerjasama internasional42.

Mengingat prinsip-prinsip di atas bersifat universal, maka tak

heran jika sampai dengan tanggal 1 Januari 2003 jumlah negara

yang telah meratifikasi Space Treaty 1967 berjumlah 98 (sembilan

puluh delapan) negara. bahkan negara-negara yang belum

meratifikasinya dalam prakteknya menghormati dan melaksanakan

prinsip-prinsip “Space Treaty 1967”. Dengan demikian dapat

38

Ibid. Pasal V 39

Ibid. Pasal VI dan VII 40

Ibid. Pasal VIII 41

Ibid. Pasal IX 42

Ibid. Pasal XI

Page 65: 30bidang IT

dikatakan “Space Treaty 1967” bukan hanya sekedar “treaty

contract”, tetapi merupakan “law making treaty”.

2. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi

Meskipun bersifat universal, akan tetapi banyak negara dan

para ahli yang menginterpretasikan serta mengimplementasikan

secara berbeda prinsip-prinsip di atas. Beberapa contoh mengenai

perbedaan interpretasi dan implementasi tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut :

a. Pengertian “province of mankind” apakah sama dengan

“common heritage of mankind”, meskipun keduanya

merupakan kawasan “beyond national territory”, namun

penafsirannya yang berbeda dapat mengakibatkan

implementasi yang berbeda pula;

b. Mengenai status antariksa sebagai “province of mankind”

dan “common heritage of mankind”. ada yang

menafsirkannya sebagai “common interesr”, sementara yang

lain memahaminya sebagai “common ownership”;

c. Mengenai konsep “non-appropriation”, AS berpendapat

bahwa hanya terbatas pada pengertian tidak tunduk kepada

“kedaulatan nasional”, akan tetapi kepemilikan pribadi

(“private ownership”) dimungkinkan, di mana hal itu dapat

diatur pada hukum nasional masing-masing. Sementara itu

Page 66: 30bidang IT

beberapa negara lain (mis: Italy, Perancis, Belanda)

berpendapat bahwa “non-appropriation” tidak hanya berlaku

terhadap negara, tetapi juga berlaku bagi badan hukum

lainnya;

d. Mengenai pengertian “peaceful” meskipun dari rumusan

“Space Treaty 1967” sesuai dengan penafsiran AS yaitu

“partial demilitarization” (sepanjang tidak agresif), namun

negara lain (mis. Iran) masih mempertanyakan, terutama

dikaitkan dengan penafsiran Uni Sovyet (dulu), yang

memahami “peaceful” sebagai “non-military”;

e. Masih banyak negara yang belum/tidak memahami adanya

perbedaan konsepsi antara “state responsibility” dan

“international liability” dalam konteks kegiatan keantariksaan,

dimana “state responsibility” merupakan bentuk “tanggung

jawab umum” sedangkan “international liability” merupakan

salah satu bentuk konsekuensinya yaitu berupa kewajiban

untuk membayar ganti rugi;

f. Menyangkut kewajiban untuk melakukan “international

consultation”, masih terdapat penafsiran yang berbeda,

terutama dalam hal permintaan konsultasi dilakukan oleh

negara yang secara potensial akan menghadapi dampak dari

kegiatan keantariksaan yang dilakukan oleh negara lain.

Apabila langkah konsultasi tersebut gagal, tetap tidak ada

Page 67: 30bidang IT

kewajiban bagi negara yang melakukan kegiatan untuk

menghentikan kegiatannya;

g. Tidak jelasnya kriteria tentang kualifikasi dari “space crew”

yang dapat dikategorikan sebagai “astronaut” yang notabene

adalah “envoys of mankind”. Hal ini penting mengingat di

masa depan akan semakin banyak personil yang dikirim ke

antariksa (termasuk sebagai “tourist”), yang tidak semuanya

layak diperlakukan sebagai “envoys of mankind”.

h. Tidak adanya kejelasan mengenai negara mana yang

dimaksud dengan “appropriate state”, apakah “launching

state”, “state of registry” ataukah negara yang memberikan

lisensi bagi suatu kegiatan keantariksaan;

i. Masih perlunya redefinisi terhadap beberapa istilah dan

pengertian seperti : “space activities”, “space objects”,

“launching State”, “national activities”, dan lain-lain.

3. Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional

Perbedaan interpretasi dan implementasi prinsip-prinsip

Space Treaty tentu saja membawa implikasi bagi upaya

perumusan legislasi nasional, khususnya yang akan dituangkan

dalam RUU Keantariksaan. Oleh karena itu maka perkembangan

tersebut perlu dicermati dan sekaligus dapat diambil sikap sebelum

diinkorporasikan ke dalam RUU Keantariksaan. Untuk itu

Page 68: 30bidang IT

parameter yang dapat digunakan adalah kepentingan nasional

Indonesia, khususnya dalam konteks kegiatan keantariksaan.

Beberapa contoh mengenai sikap yang dapat diambil adalah

sebagai berikut :

a. Perlu penetapan status antariksa sebagai “province of mankind”

dan “common heritage of mankind” yang tidak tunduk pada

kedaulatan nasional;

b. Mengenai status antariksa sebagai “province of mankind” dan

“common heritage of mankind” kiranya secara prinsip terlebih

dahulu dipahami sebagai “common ownership” sebelum ada

rejim khusus yang menjabarkannya, hal ini diperlukan untuk

mencegah pemanfaatan oleh negara-negara maju dengan

semata-mata berdasarkan prinsip “first come, first served” dan

hanya didasarkan atas kemampuan ilmiah dan teknis;

c. Mengenai penerapan prinsip “non-appropriation” juga harus

diartikan bukan hanya tidak tunduk kepada kedaulatan

nasional, tetapi juga tidak dapat dimiliki oleh privat sepanjang

tidak berdasarkan atas rejim internasional yang berlaku;

d. Mengenai pengertian “peaceful”,perlu ditetapkan beberapa

parameter hukum dan teknis serta diterapkannya sistem

verifikasi untuk menjamin pemanfaatan antariksa untuk

maksud-maksud damai;

Page 69: 30bidang IT

e. Mengenai pengertian “launching state” perlu dilakukan

redefinisi dalam konteks kemungkinan partisipasi swasta bagi

kegiatan keantariksaan, misalnya dengan mengintrodusir istilah

“launching authority”. Disamping itu perlu diperhatikan pula

modus peluncuran baru seperti “air launch” dan “sea launch”

yang dapat berpengaruh pada batasan “launching state”.

f. Sebagai suatu negara yang disatu sisi aktif di bidang

pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi keantariksaan

serta pada sisi lain menjadi “potential victims” bagi kegiatan

keantariksaan, maka Indonesia perlu memperhatikan

penafsiran tentang “international consultation” dari sudut

pandang pengamanan kepentingan nasional.

g. Mengingat eratnya kaitan antara pendaftaran, yurisdiksi dan

pengendalian atas benda antariksa dengan masalah “state

responsibility” dan “International liability”, maka masalah ini

harus terus didalami, termasuk dalam hal kegiatan

keantariksaan dilakukan oleh badan hukum bukan negara.

h. Dan lain-lain.

B. Rescue Agreement 1968

I. Ketentuan Pokok

“Rescue Agreement” merupakan penjabaran dari ketentuan

pasal V “Space Treaty 1967” yang menyatakan bahwa astronaut

Page 70: 30bidang IT

adalah duta kemanusiaan (“envoys of mankind”) sebagai

konsekuensinya, perjanjian ini meletakkan kewajiban bagi negara

lain untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna

memberikan pertolongan bagi astronaut yang melakukan

pendaratan darurat (“emergency landing”), mengalami kecelakaan

atau dalam keadaan “distress”, serta mengembalikan benda

antariksanya kepada negara peluncur.

Perjanjian yang terdiri dari 10 Pasal ini memuat prinsip-

prinsip sebagai berikut :

a. Kewajiban negara anggota untuk menyampaikan

pemberitahuan, baik kepada pihak peluncur (“launching

authority”) maupun Sekretaris Jenderal PBB atas tiap

informasin atau penemuan menyangkut astronaut yang

mengalami kecelakaan, melakukan pendaratan darurat atau

dalam keadaan “distress” pada wilayah yurisdiksi negara

lainnya43.

b. Kewajiban negara anggota untuk segera mengambil

langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelamatkan dan

memberikan bantuan yang diperlukan serta melaporkan atas

langkah-langkah yang diperlukan tersebut baik kepada

negara peluncur maupun Sekretaris Jenderal PBB.

Disamping itu mendorong pihak peluncur dan negara

43

Lihat Rescue Agreement, Pasal 1

Page 71: 30bidang IT

anggota bekerjasama bagi upaya penyelamatan yang

efektif44.

c. Kewajiban negara anggota yang terdekat dengan lokasi

kejadian di laut lepas di luar wilayahnya untuk segera

memberikan bantuan dan melakukan operasi penyelamatan

serta melaporkannya, baik kepada pihak peluncur maupun

kepada Sekretaris Jenderal PBB45.

d. Kewajiban negara anggota untuk mengembalikan astronaut

dan/atau benda-benda antariksa kepada pihak peluncur46.

e. Kewajiban pihak peluncur untuk membiayai segala kegiatan

negara yang memberikan bantuan dan mengembalikan baik

astronaut maupun benda antariksanya47.

f. Pihak peluncur (“launching authority”) diartikan sebagai baik

negara yang bertanggung jawab atas peluncuran maupun

organisasi internasional yang bertanggungjawab atas

peluncuran48.

2. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi

Secara ideal ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

“Rescue Agreement” tidak menimbulkan persoalan karena

menonjolkan aspek kemanusiaan, akan tetapi dalam

44

Ibid. Pasal 2. 45

Ibid. Pasal 3. 46

Ibid. Pasal 4. 47

Ibid. Pasal 5 ayat 5. 48

Ibid. Pasal 6.

Page 72: 30bidang IT

pelaksanaannya dapat memunculkan persoalan-persoalan praktis

yang perlu dipecahkan, seperti:

a. Dikaitkan dengan perkembangan keantariksaan yang

mungkin menyertakan personil seperti “payload specialist”,

“researcher”, “scientist”, dan bahkan “military personnel”,

termasuk keikutsertaan “space tourist”, apakah mereka

semua dapat dikategorikan sebagai “astronaut” yang adalah

merupakan “envoys of mankind”? jika tidak, apakah

parameter yang dapat digunakan untuk membedakannya?

b. Apakah negara anggota tetap wajib memberikan bantuan

kepada astronaut negara lain yang melakukan misi militer

(mis. mata-mata) yang tidak bersahabat kepada negaranya?

c. Bagaimana mekanisme penegakan hukum yang dapat

dilakukan terhadap negara yang tidak memberikan bantuan

sesuai kewajiban dalam “Rescue Agreement”?

d. Mengapa istilah “launching authority” hanya berlaku bagi

negara dan organisasi internasional? Bagaimana bila pihak

peluncur adalah perusahaan swasta, apakah dapat

diklasifikasikan sebagai “launching authority”?

e. Mengingat “Rescue Agreement” merupakan perjanjian yang

relatif lama, apakah tepat waktu untuk melakukan

amademen terhadap ketentuan-ketentuan yang dipandang

sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi ?

Page 73: 30bidang IT

3. Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional

Dengan mendasarkan kepada masih adanya beberapa

persoalan yang berkaitan dengan interpretasi dan implementasi

“Rescue Agreement”, maka dalam rangka mengintegrasikan

ketentuan-ketentuan “Rescue Agreement” ke dalam RUU

Keantariksaan harus dilakukan dengan memperhatikan dan

mengantisipasi perkembangan yang terjadi dengan tetap bersandar

kepada kepentingan nasional.

Langkah-langkah yang dapat ditempuh mencakup namun

tidak terbatas pada:

a. Menata aspek kelembagaan yang terkait dengan koordinasi

pelaksanaan tindakan penyelamatan dan pengembalian

terhadap astronaut dan benda antariksa yang melakukan

pendaratan darurat, mengalami kecelakaan atau dalam

keadaan “distress”.

b. Mengaktualisasikan pengertian “astronaut” dengan

perkembangan yang ada dengan merumuskan parameter

objektif mengenai kualifikasi “astronaut”.

c. Terhadap kegiatan yang nyata-nyata bersifat “tidak

bersahabat” dan bertentangan dengan prinsip “peaceful uses

of outer space”, kewajiban dalam “Rescue Agreement” dapat

dinyatakan tidak berlaku.

Page 74: 30bidang IT

d. Mengembangkan pengertian “launching authority” agar juga

mencakup kegiatan keantariksaan yang dilakukan oleh

badan hukum swasta dan bahkan individu.

C. Liability Convention

1. Ketentuan-ketentuan Pokok

Liability Convention merupakan perjanjian yang

menjabarkan ketentuan pasal VI dan VII “Space Treaty 1967”.

Perjanjian ini disebut “victims-oriented” karena di desain untuk

melindungi kepentingan negara/pihak ketiga yang tidak ikut serta

melakukan kegiatan keantariksaan tetapi menjadi “potential victims”

dari kegiatan keantariksaan. Inti dari perjanjian ini adalah memuat

prosedur dan mekanisme ganti rugi internasional atas kerugian

yang diakibatkan kegiatan benda-benda antariksa

Perjanjian yang terdiri dari 28 (dua puluh delapan) pasal ini

memuat ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut :

Page 75: 30bidang IT

a. Pengertian-pengertian pokok seperti kerugian (“damage”),

peluncuran (“launching”). Negara peluncur (“launching

state”), benda antariksa (“space object”)49.

b. Prinsip pertanggungjawaban yang bersifat absolute

(“absolute liability”) dalam hal kerugian terjadi pada

permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang

dalam penerbangan50. Sementara itu bagi kerugian yang

terjadi di antariksa pertanggungjawabannya didasarkan atas

unsur kesalahan (“liability based on fault”)51.

c. Pihak yang bertanggungjawab atas kerugian yang

diakibatkan oleh benda-benda antariksa adalah negara

peluncur (“launching state”) yang meliputi negara yang

benar-benar meluncurkan. Negara yang membiayai

peluncuran; Negara yang menyediakan wilayah atau

fasilitasnya untuk peluncuran; Negara yang menyediakan

wilayah atau fasilitasnya untuk kepentingan peluncuran52.

Dalam hal dilakukan peluncuran bersama, maka

pertanggungjawaban nya bersifat bersama-sama dan

tanggung renteng53.

d. Pihak yang dapat mengajukan tuntutan ganti rugi adalah

negara yang tidak termasuk dalam pengertian negara

49

Lihat Liability Convention 1972, Pasal 1. 50

Ibid. Pasal II. 51

Ibid. Pasal III. 52

Ibid. Pasal I ( C ). 53

Ibid. Pasal IV dan V.

Page 76: 30bidang IT

peluncur yang mewakili baik kepentingan negara maupun

badan hukum dan badan pribadi yang menderita kerugian

akibat kegiatan benda-benda antariksa54.

e. Tata cara pengajuan tuntutan ganti rugi pada instansi

pertama dilakukan melalui jalur diplomatik (“diplomatic

chanel”)55. Jika gagal dapat dibentuk “claim commission”56

atas kesepakatan negara korban dengan negara peluncur57.

Gugatan juga dapat dilakukan melalui pengadilan-pengadilan

administrasi atau badan-badan pemerintah terkait pada

negara peluncur.

f. Penetapan jumlah ganti rugi harus didasarkan atas prinsip-

prinsip hukum internasional serta prinsip keadilan untuk

memulihkan keadaan korban seperti sebelumnya58.

g. Dalam hal terjadinya “large scale danger” sebagai akibat dari

kegiatan benda antariksa yang dapat membahayakan

kehidupan manusia dan lingkungannya. Negara peluncur

wajib memberikan bantuan kepada negara korban dalam

melakukan “search and recovery and clean-up operation” jika

diminta oleh negara korban59.

54

Ibid. Pasal VIII, 55

Ibid. Pasal IX. 56

Ibid. Pasal XIV. 57

Ibid. Pasal XV dan XVI. 58

Ibid. Pasal XII. 59

Ibid. Pasal XXI.

Page 77: 30bidang IT

h. Perjanjian ini juga berlaku bagi organisasi-organisasi

internasional yang menyatakan manerima hak-hak dan

kewajiban sebagaimana diatur dalam perjanjian ini60.

II. Interpretasi dan Implementasi

Selama berlakunya “Liability Convention” terdapat suatu

kasus internasional yang menonjol yaitu kasus jatuhnya satelit ex-

Uni Sovyet “Cosmos 954” di wilayah Kanada pada tahun 1978. Dari

“diplomatic communication” yang dilakukan antara Kanada dan Uni

Sovyet, terdapat perbedaan penafsiran mengenai beberapa isu,

yaitu:

a. Dalam hal jatuhnya benda antariksa yang mengandung

ancaman yang sangat besar (“large scale danger”) Uni Soyet

menafsirkan bahwa yang berhak menentukan bantuan dalam

melakukan kegiatan “search and recovery and clean-up

operation” adalah negara peluncur, sementara Kanada

berpendapat bahwa hal tersebut merupakan hak negara

korban.

b. Sebagai konsekuensi dari penafsiran tersebut, Uni Sovyet

berpendapat bahwa negaranya tidak bertanggung jawab

atas biaya tindakan “search and recovery and clean-up

operation” yang dilakukan oleh Kanada bekerjasama dengan

Amerika Serikat. Artinya kerugian yang dapat dimintakan 60

Ibid. Pasal XXII.

Page 78: 30bidang IT

kompensasinya (“recoverable damages”) tidak termasuk

biaya “search and recovery and clean-up operation”, tetapi

hanya terbatas pada kerugian yang bersifat fisik (“physical

damages”) dan langsung (“direct damages”) saja.

Di luar kasus di atas, masih dapat diamati adanya beberapa

kelemahan pada “Liability Convention”, antara lain :

a. Pengertian “launching state” apabila mengacu pada

pengertian dalam konvensi dapat menimbulkan posisi yang

“unfair” khususnya bagi negara yang hanya “menyewakan”

wilayah atau fasilitasnya untuk kepentingan peluncuran,

sementara kontribusinya untuk menimbulkan kerugian

adalah minimal. Hal yang sama juga dirasakan oleh negara

yang melakukan “procurement” sepanjang mereka tidak

secara aktif terlibat dalam kegiatan peluncuran.

b. Karena perjanjian ini yang bersifat “government to

government”, maka jaminan atas proses ganti rugi yang

cepat, efektif dan layak bagi kepentingan korban kurang

terpenuhi. Disamping itu perjanjian ini kurang mampu

mengakomodasikan secara memuaskan kenyataan

meningkatnya peran swasta dalam kegiatan keantariksaan

beserta segenap implikasinya.

Page 79: 30bidang IT

3. Implikasi terhadap Upaya Legislasi Nasional

Dalam perumusan RUU keantariksaan, khususnya

ketentuan yang mengatur tentang tata cara dan mekanisme

penyelesaian tuntutan ganti rugi, ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam “Liability Convention” dapat diinkorporasikan,

termasuk dalam pengembangan sistem ganti rugi yang bersifat

nasional (domestik) dari kegiatan keantariksaan di mana Indonesia

adalah termasuk negara peluncur yang menimbulkan kerugian

terhadap jiwa dan harta benda warganegara atau badan hukum

Indonesia. Sejalan dengan itu, perlu adanya penataan sistem

koordinasi nasional untuk menghadapi jatuhnya benda-benda

antariksa di wilayah Indonesia. Koordinasi tersebut mencakup

aspek-aspek kelembagaan, aparatur, kesiapan teknologi maupun

pendanaan. Mengingat adanya beberapa kekurangan/kelemahan

pada “Liability Convention” maka perlu didalami kemungkinan

mengajukan usulan perubahan terhadap ketentuan “Liability

Convention” untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman

dan perkembangan teknologi. Usulan perubahan tersebut dapat

mencakup substansi seperti :

a. Perluasan kerugian yang dapat diganti (“recoverable damages”)

agar tidak terbatas kepada kerugian fisik dan langsung saja

(“physical and direct damages”).

Page 80: 30bidang IT

b. Jika mungkin sistem dan mekanisme pertanggungjawaban

dalam “Liability Convention” dapat diperluas hingga mencakup

pula tanggungjawab pihak peluncur swasta dan mekanisme

penyelesaiannya dipersingkat untuk menjamin ganti rugi bagi

korban secara cepat, efektif dan layak.

c. Keputusan “claim commission” dapat diusulkan bersifat “final

and binding”.

d. Rumusan kerjasama internasional dalam hal terjadinya “large

scale danger” agar lebih jelas dan tidak menimbulkan

interpretasi ganda.

e. Mengenai pembagian beban tanggungjawab diantara sesama

negara peluncur dalam suatu peluncuran bersama (“joint

launching”), selayaknya negara yang benar-benar

meluncurkanlah yang paling bertanggung jawab karena secara

teknis kontribusi bagi timbulnya kegagalan paling besar berada

pada mereka.

D. Registration Convention

1. Ketentuan-ketentuan Pokok

Konvensi tentang pendaftaran atas benda/objek yang

diluncurkan ke antariksa atau yang dikenal dengan “Registration

Convention” merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal VIII

Page 81: 30bidang IT

“Space Treaty 1967”. Perjanjian yang terdiri dari 12 Pasal ini

mengatur hal-hal, seperti:

a. Beberapa pengertian pokok seperti “launching state”, “space

objects” dan “state of registry”61.

b. Kewajiban negara peluncur untuk mendaftarkan objek yang

diluncurkan ke antariksa dalam suatu sistem pendaftaran yang

terpelihara serta melaporkan pendaftaran tersebut kepada

Sekretaris Jenderal PBB62.

c. Dalam suatu peluncuran bersama (“joint launching”) para pihak

wajib menetapkan pihak yang harus melakukan pendaftaran63.

d. Sekretaris Jenderal PBB wajib memelihara catatan pendaftaran

atas benda-benda yang diluncurkan ke antariksa, termasuk

segala informasi yang melengkapinya. Informasi yang ada

dalam catatan pendaftaran tersebut bersifat terbuka untuk

diakses penuh64.

e. Informasi-informasi apa yang harus disampaikan oleh negara

pendaftar, seperti : nama negara peluncur; tanda-tanda dan

nomor registrasi; tanggal dan wilayah atau lokasi peluncuran;

parameter dasar orbit yang meliputi “nodal period”; “apogee”

dan “perigee”; fungsi umum dari benda antariksa yang

61

Lihat Registration Convention, Pasal I. 62

Ibid. Pasal II ayat 1. 63

Ibid. ayat 2. 64

Ibid. Pasal III.

Page 82: 30bidang IT

bersangkutan; informasi lain yang diperlukan yang disampaikan

secara berkala; dan informasi dalam hal benda antariksa

tersebut sudah tidak berfungsi65.

f. Kerjasama untuk memberikan bantuan dalam mengidentifikasi

benda antariksa yang menimbulkan kerugian66.

g. Berlakunya perjanjian ini bagi intergovermental organization

(IGO) yang menyatakan menerima hak-hak dan kewajiban

sesuai dengan ketentuan konvensi67.

2. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi

Dalam upaya perumusan ketentuan mengenai sistem

registrasi nasional bagi kegiatan keantariksaan, harus diperhatikan

interpretasi dan implementasi negara-negara lain terhadap

“Registration Convention” yang dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Kenyataan bahwa hanya 10 negara dan 2 intergovernmental

organization (“IGO's) yang melaporkan pendaftaran atas benda-

benda antariksanya sesuai dengan “Registration Convention”,

bahkan 5 diantaranya bukan negara pihak dari “Registration

Convention” dan mendaftarkan benda antariksanya atas dasar

Resolusi Majelis Umum PBB No. 1721 Tahun 1961.

65

Ibid. Pasal IV. 66

Ibid. Pasal VI. 67

Ibid. Pasal VII.

Page 83: 30bidang IT

b. Bahwa tanda-tanda pendaftaran (“registration markings”) bukan

merupakan kewajiban atas dasar “Registration Convention”, hal

ini dapat menimbulkan kesulitan dalam melakukan identifikasi.

c. Bahwa negara-negara pada umumnya tidak mendaftarkan

benda-benda antariksa yang diluncurkan untuk misi militer atau

yang tergolong dalam “sensitive satellite”.

d. Sejauh ini tidak ada mekanisme penegakan hukum bagi isu

“non-compliance” terhadap “Registration Convention”.

e. Untuk menghindari “double registration” pemerintah AS

menetapkan untuk tidak mendaftarkan satelit asing.

f. Perkembangan komersialisasi dan privatisasi kegiatan

keantariksaan ternyata tidak terakomodasikan secara

memuaskan oleh “Registration Convention” jika tidak dilakukan

penafsiran yang fleksibel terhadap ketentuan-ketentuannya.

3. Implikasi bagi Perumusan Legislasi Nasional

Dengan memperhatikan kewajiban-kewajiban internasional

Indonesia atas dasar “Registration Convention” serta kepentingan

nasional dan dengan mempertimbangkan interpretasi dan

implementasinya oleh berbagai negara maka perumusan legislasi

nasional akan mengarah kepada :

a. Pengembangan sistem pendaftaran nasional bagi kegiatan

keantariksaan untuk kepentingan identifikasi bagi setiap benda

Page 84: 30bidang IT

antariksa Indonesia dan melaporkannya sesuai dengan

mekanisme “Registration Convention”;

b. Pelaksanaan “jurisdiction” and “control” atas benda antariksa

yang didaftarkan di Indonesia;

c. Pengaturan mengenai pengalihan pendaftaran dalam hal

terjadinya pengalihan hak kepemilikan (“Transfer of ownership”)

atas benda antariksa;

d. Pengaturan mengenai penunjukan negara yang melakukan

pendaftaran dalam hal dilakukan kegiatan-kegiatan peluncuran

bersama antar negara;

e. Penetapan lembaga yang bertugas melaksanakan sistem

pendaftaran nasonal.

E. Moon Agreement 1979

Meskipun Indonesia belum meratifikasi “Moon Agreement”, namun

beberapa ketentuan dari “Moon Agreement” ini patut diperhatikan dalam

perumusan RUU Keantariksaan. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi :

Page 85: 30bidang IT

1. Adanya upaya untuk mengembangkan suatu rejim internasional

dalam rangka eksploitasi sumber daya di bulan68 sebagai “Common

Heritage of Mankind” (CHM).

2. Penjabaran CHM dalam suatu rejim internasional nantinya akan

memberikan kejelasan mengenai penafsiran prinsip “non-

appropriation”.

3. Adanya pernyataan bahwa kegiatan di bulan dan benda-benda

langit lainnya “exclusively for peaceful”.

Sikap negara-negara terhadap “Moon Agreement” dapat

digambarkan sebagai berikut :

1. Hanya 10 negara yang telah meratifikasi “Moon Agreement”;

2. Amerika Serikat tidak meratifikasi “Moon Agreement” dengan

alasan bahwa ketentuan Pasal XI “Moon Agreement” sangat

kontroversial karena penafsiran CHM sebagaimana yang

dirumuskan dalam Pasal tersebut merupakan disinsentif bagi

pembangunan. Disamping itu penerapan ketentuan menyangkut

“orderly development” dan “equitable sharing” dapat dianggap

sebagai pengenaan pajak yang hanya menguntungkan negara-

negara yang tidak mempertaruhkan risiko (negara-negara

68

Lihat Pasal XI ayat 5 Moon Agreement 1979

Page 86: 30bidang IT

berkembang). Ditambahkan bahwa“Moon Agreement” merupakan

suatu moratorium bagi eksploitasi sumber daya di bulan69.

3. Dalam perkembangan terakhir bahkan Amerika Serikat dan

Australia mengusulkan agar pengaturan eksploitasi sumber daya di

bulan dikembalikan kepada hukum nasional masing-masing,

pendapat mana antara lain ditentang oleh Italy, Belanda dan

Kanada70.

Dari segi kepentingan Indonesia pada saat ini belum ada urgensi

untuk meratifikasi “Moon Agreement”, namun penjabaran CHM perlu terus

dipelajari dan didalami.

F. Perjanjian-perjanjian Internasional Terkait Lainnya

Di luar perjanjian-perjanjian internasional yang secara khusus

mengatur kegiatan keantariksaan, terdapat beberapa perjanjian

internasional terkait yang perlu diperhatikan dalam perumusan RUU

Keantariksaan, antara lain:

1. ITU Constitution and Convention 199271 beserta Administrative

Regulations sepanjang menyangkut masalah keantariksaan.

69

Lihat Glenn Harland Reynolds, “The Moon Treaty Prospect for the Future”, Space Policy, May 1995,

halaman 117. Lihat juga Martin Mentor, “Commercial Space Activities Under the Moon Treaty”,

Prosiding IISL, Colloqium, 1980, halaman 37. 70

Perdebatan ini berkembang pada UN/Korea Workshop on Space Law, Daejeon, Korea, 3-6

Nopember 2003. 71

Telah diratifikasi dengan Keppres No.18 Tahun 1996.

Page 87: 30bidang IT

2. Treaty Banning Nuclear Weapons Test on the Surface of the Earth,

In the Atmosphere, or in Outer Space of 1963.

3. The Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons of 1968.

4. Kesepakatan kelompok negara-negara maju tentang “Missile

Technology Control Regime”(MCTR).

BAB V

EFEK RUMAH KACA

Page 88: 30bidang IT

A. Efek Rumah Kaca (Green House Efect)

Pada awalnya istilah efek rumah kaca atau “green house effect” ini

digunakan berdasarkan pengalaman para petani didaerah beriklim atau

berhawa dingin yang menanam sayur-sayuran dan biji-bijian di dalam

rumah kaca. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa pada waktu siang

hari, pada cuaca cerah meskipun tanpa alat pemanas suhu, didalam

ruangan rumah kaca suhu lebih tinggi dari pada suhu di luarnya. Hal ini

terjadi karena sinar mata hari yang menembus kaca dipantulkan kembali

oleh tanaman/tanah di dalam ruangan rumah kaca sebagai radiasi infra

merah yang berupa panas. Sinar yang dipantulkan tidak dapat keluar

ruangan rumah kaca sehingga udara di dalam rumah kaca suhunya naik

dan panas sebagi akibat dari udara yang terperangkap di dalam ruangan

rumah kaca dan tidak tercampur dengan udara di luar rumah kaca.

Akibatnya suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi dari pada suhu

diluarnya. Oleh sebab itu selanjutnya dikenal sebagai “efek rumah kaca”.

Efek rumah kaca ini juga dapat terjadi di dalam mobil yang di parkir

ditempat yang panas, dalam keadaan jendela tertutup, akibatnya suhu

didalam mobil akan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu diluar.

Dalam keadaan yang normal, sinar mata hari masuk menembus

atmosfer dan diabsorbsi oleh permukaan bumi. Kemudian panas atau

sinar mata hari ini siap dipantulkan kembali, yang diemisikan atau dibuang

oleh permukaan bumi sebagai radiasi infra merah ke atmosfer. Tetapi

Page 89: 30bidang IT

pada kasus rumah kaca, radiasi infra merah ini tidak dapat keluar ke

atmosfer seperti pada pada saat radiasi atau sinar mata hari masuk.

Radiasi infra merah ini terperangkap oleh beberapa gas, sehingga

menimbulkan reaksi atau efek rumah kaca. Secara rinci terjadinya efek

rumah kaca di atmosfer dapat dijelaskan sebagai berikut. Pancaran sinar

mata hari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan oleh

berbagai gas di atmosfer) sebagian dipantulkan dan sebagian lain diserap

oleh bumi. Bagian yang diserap akan dipancarkan lagi oleh bumi sebagai

radiasi infra merah yang panas. Radiasi infra merah tersebut di atmosfer

akan diserap oleh gas-gas rumah kaca seperti uap air (H2O) dan Carbon

dioksida (CO2) sehingga tidak terlepas ke luar angkasa dan

menyebabkan panas terperangkap dan akhirnya mengakibatkan

peningkatan suhu lapisan trospofer dan bumi, maka terjadilah efek

rumah kaca di bumi (Meivena dan Arnelly, 2004)

B. Pemanasan Global (Global Warming)

Akibat atau efek yang sangat serius rumah kaca adalah apa yang

disebut pemanasan global atau pemanasan bumi (global warming).

Menurut Sri Tjahjani Budi Utami (Utami,2003) pemanasan global adalah

sebuah fenomena ketika energi yang berasal dari radiasi matahari diserap

oleh permukaan bumi dan dilepas kembali sebagai energi infra merah

yang tidak dapat menembus keluar angkasa karena terhambat atau

terperangkap oleh berbagai macam gas rumah kaca yang ada diatmosfer.

Page 90: 30bidang IT

Pemanasan global terjadi karena kenaikan suhu permukaan bumi yang

disebabkan oleh peningkatan emisi CO2 dan gas-gas lain yang dikenal

sebagai gas-gas rumah kaca (GRK) yang meliputi bumi dan

memerangkap panas. Kenaikan suhu ini merubah iklim, menyebabkan

berubahnya pola cuaca yang dapat menimbulkan peningkatan curah

hujan yang tidak biasa, semakin ganasnya angin dan badai bahkan

terjadinya bencana alam.

Secara umum dapat dikatakan, bawa pemanasan global

merupakan peristiwa meningkatnya suhu rata-rata bumi yang diakibatkan

oleh meningkatnya penggunaan teknologi dan aktivitas manusia sehingga

menyebakan meningkatnya gas-gas rumah kaca. Beberapa factor yang

yang menyebabkan meningkatnya gas rumah kaca, antara lain sebagai

berikut: (Messmer, Maja: 1998).

1. Konsumsi bahan bakar fosil ( minyak tanah, gas, dan batu bara)

pada industri, transportasi, pembangkit tenaga listrik, dan

penggunaan pada rumah tangga dan perkantoran.

2. Kebakaran dan penggundulan hutan: menurut Bank Dunia, laju

kerusakan hutan di Indonesia tahun 1990 sampai dengan tahun

2004 adalah sebesar 2 – 2,2 juta ha per tahun. Sedangkan

kebakaran hutan pada periode yang sama telah melahap 22,7 ha

per tahun.

3. Kegiatan pertanian dan peternakan yang mengeluarkan emisi

antara lain CO2 dan N2O dan CH4.

Page 91: 30bidang IT

4. Sampah: Kegiatan manusia selalu menghasilkan sampah, baik

sampah organic maupun sampah non organic. Sampah di

Indonesia, terutama di kota-kota besar, bukan saja menimbulkan

masalah tempat pembuangannya saja, melainkan juga dampak

sampah tersebut. Karena sampah mempunyai kontribusi yang

besar terhadap pemansan global, diperkirakan 1 ton sampah padat

akan menghasilkan sekitar 50 kg gas metan atau metana. Oleh

sebab itu makin besar jumlah volume sampah, makin besar

menghasilkan gas metan ke atmosfer, dan makin besar

menimbulkan efek rumah kaca atau pemanasan global.

Volume sampah di Indonesia makin lama makin meningkat seiring

dengan kemajuan teknologi dan pertambahan penduduk. Apabila pada

tahun 1990 setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah 0,5 kg per

orang per hari, maka pada tahun 2003 meningkat menjadi 1,0 kg sampah

per orang/hari. Pada tahun 2010 nanti di perkirkan setiap penduduk

Indonesia akan menghasilkan sampah 2,1 kg per hari.

C. Gas-Gas Rumah Kaca

Seperti telah disebutkan diatas bahwa pemanasan global adalah

merupakan efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini terjadi karena adanya

gas-gas yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca, yang disebut

Page 92: 30bidang IT

gas-gas rumah kaca (GRK), antara lain:

([email protected]/Kegerahan ddi Rumah Kaca)

1. Karbon Dioksida (CO2):

Karbon dioksida adalah gas rumah kaca terpenting

penyebab pemanasan global. Sumbangan utama manusia

terhadap meningkatnya jumlah CO2 di atmosfer berasal dari hasil

pembakaran utamanya dari kendaraan bermotor, juga pembakaran

yang dilakukan oleh pabrik, dan rumah tangga. Akhir-akhir ini

dengan sering terjadinya kebakaran, terutama kebakaran hutan

akan menambah kontribusi CO2 dalam atmosfer, yang berarti

meningkatnya efek rumah kaca atau pemanasan global.

2. Uap air (H2O):

Uap air bersifat tidak terlihat dan harus dibedakan dari awan

dan kabut yang terjadi ketika uap membentuk butir-butir aiar. Uap

aiar juga merupakan penyumbang besar efek rumah kaca. Jumlah

uap air dalam atmosfer berada di luar kendali manusia dan

dipengaruhi oleh suhu global. Jika bumi menjadi lebih hangat,

jumlah uap air di atmosfer akan meningkat karena naiknya laju

penguapan, dan selanjutnya akan meningkatkan efek rumah kaca,

serta makin mendorong pemanasan global.

3. Metana atau metan (CH4):

Page 93: 30bidang IT

Metana adalah gas rumah kaca lain yang terdapat secara

alami, yang dihasilkan oleh jenis-jenis mikroorginsme tertentu

menguraikan bahan organic pada kondisi tanpa udara (anaerob).

Gas ini juga dihasilkan secara alami pada saat pembusukan

biomassa di rawa-rawa sehingga disebut juga gas rawa. Metana

mudah terbakar, dan mengahsilkan karbon dioksida sebagai hasil

sampingan. Jumlah metana yang terbesar yang disumbangkan ke

atmosfer sehingga mempengaruhi efek rumah kaca adalah

pembuangan sampah. Disamping itu makin meningkatnya jumla

ternak kerbau, sapi dan sejenisnya merupakan sumber lain yang

bararti dalam mengahsilkan metana. Pada gilirannya juga akan

meningkatkan kontribusinya terhadap efek rumah kaca.

4. Ozon:

Ozon adalah gas rumah kaca yang terdapat secara alami di

atmosfer (troposfer, stratosfer). Di troposfer, ozon merupakan zat

pencemar hasil sampingan yang terbentuk ketika sinar mata hari

bereaksi dengan gas buangan kendaraan bermotor. Ozon pada

troposfer dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan

tumbuh-tumbuhan.

5. Dinitrogen Oksida (N2O):

Page 94: 30bidang IT

N2O adalah juga gas rumah kaca yang terdapat secara

alami, namun tidak banyak diketahui secara rinci tentang asal gas

ini di dalam atmosfer. Diduga sumber utamanya merupakan hasil

kegiatan mikroorginisme dalam tanah. Pemakaian pupuk nitrogen

dapat meningkatkan jumlah gas ini dalam atmosfer. Dinitrogen

oksida juga dihasilkan dalam skala kecil oleh pembakaran bahan

bakar dari fosil (minyak bumi, batu bara, dan gas bumi).

6. Cloroflurocarbon (CFC):

CFC adalah sekelompok gas buatan, dan mempunyai sifat-

sifat tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan amat stabil sehingga

dapat digunakan dalam berbagai peralatan. CFC yang paling

banyak digunakan mempunyai nama dagang “Freon”. Freon

digunakan dalam proses mengembangkan busa di dalam peralatan

pendingin ruangan dan lemari es.

D. Dampak Pemanasan Global

Pemanasan global, yang diperkirakan telah dimulai puluhan tahun

yang lalu mempunyai berbagai dampak terhadap bumi kita, antara lain

sebagai berikut: (http.pkrtn.go.id/gobal warning/bambang/doc)

1. Iklim mulai tidak stabil:

Page 95: 30bidang IT

Pemanasan global dapat menyebabkan kenaikan

permukaan air laut akibat pencairan di kutub, perubahan pola

angin , meningkatnya badai atmosfer, bertambahnya populasi

dan jenis organisme penyebab penyakit yang berdampak pada

kesehatan masyarakat. Disamping itu, pemanasan global dapat

menyebabkan perubahan pola curah hujan dan siklus hidrologi.

Seperti kita rasakan pada saat ini, pada bulan Juli yang

seharusnya sudah berada dalam musim panas (kering), tetapi

curah hujan masih tinggi, bahkan di beberapa daerah termasuk

Jakarta masih terjadi banjir. Disamping itu dengan tidak stabilnya

musim ini juga berdampak kepada meningkatnya penyebaran

penyangkit seperti demam berdarah (Kompas, 20 Agustus 2005).

Peningkatan gas-gas rumah kaca dalam atmosfer

sebenarnya sudah berlangsung lama, dengan bukti-bukti antara

lain sebagai berikut:

2. Mencairnya es di kutub:

Seperti telah diketaui bahwa es yang menyelimuti

permukaan bumi di kedua kutub bumi telah berkurang 10 % sejak

tahun 1960. Sementara ketebalan es di kutub utara telah berkurang

42% dalam 40 tahun terakhir. Kalau hal ini tidak dikendalikan,

maka pada tahun 2500 nanti maka kedua kutub bumi kita sudah

Page 96: 30bidang IT

tidak akan diselimuti oleh es lagi. (http.pkrtn.go.id/gobal

warning/bambang/doc.

Pergeseran musim nampaknya juga sudah terjadi di

beberap belahan bumi kita, termasuk di Indonesia. Di Indonesia,

terasa bahwa batas antara musim hujan dan musim panas sudah

tidak jelas lagi. Pada musim panas curah hujan masih tinggi,

intensitas hujan pada musim hujan dan musim kemarau hampir

tidak ada bedanya. Iklim dan curah hujan yang tidak teratur ini

akan menyebabkan gangguan pola tanam pada petani, dan

akhirnya akan mengganggu produksi bahan pangan., terutama

beras dan makanan pokok lainnya (Kompas 13 Juli 2005).

3. Peningkatan permukaan air laut:

Berbagai studi tentang perubahan ilkim memperlihatkan

telah terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 1 – 2 meter

dalam 100 tahun terakhir ini. Menurut IPCC (Inter governmental

Climate Change) pada tahun 2030 nanti permukaan air laut akan

bertambah antara 8 – 29 cm dari permukaan air laut saat ini.

4. Dampak social ekonomi dan politik:

Tahun 2000, Indonesia telah mengalami 33 kejadian banjir,

kebakaran hutan, dan 6 bencana angin topan. Hal ini semua

membawa kerugian sebesar kurang lebih $150 milyard dan 690

Page 97: 30bidang IT

nyawa hilang (Kompas 7 Maret 2003). Bencana ini menimbulkan

dampak social sepereti perubahan mata pencaharian pendduduk,

terutama di daerah pertanian akibat perubahan iklim yang

menyebabkan kurangnya masa panen. Sehingga menyebabkan

para petani mencari mata pencaharian lain yang tidak tergantung

pada iklim, sehingga tejadi urbanisasi besar-besaran.

Kebakaran hutan tahun 1997 telah menghabiskan biaya

kesehatan lebih dari Rp.1,2 trilyun, dan hilangnya hari kerja

penduduk sebanyak 2,5 juta hari. Sementara itu akibat kebakaran

hutan tersebut diperkirakan mengakibatkan kerugian ekonomi

sebesar US$9,3 milyar (Bappenas, 2000). Sedangkan dampak

politik yang terjadi berupa hilangnya batas-batas Negara atau

berkurangnya pulau-pulau kecil akibat kenaikan permukaan air laut.

Banyak pulau-pulau kecil yang hilang karena naiknya permukaan

air laut. Dengan naiknya permukaan air laut juga menyebabkan

mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia.

Akibatnya bila ditarik garis batas 12 mil laut dari garis pantai, maka

sudah barang tentu wilayah Indonesia akan berkurang.

5. Sumber daya air:

Perubahan suhu akibat perubahan iklim menyebabkan

perubahan curah hujan serta menyebabkan pergeseran vegetasi

didaerah hulu sungai, sehingga akan mempengaruhi ketersediaan

Page 98: 30bidang IT

air dan limpasan permukaan air tanah. Secara umum di Indonesia,

diperkirakan pada tahun 2080 akan terdapat 2 – 3,5 milyard

penduduk yang akan mengalami kekurangan air, akibat menurunya

persediaan air tanah.

6. Kesehatan masyarakat.

Transmisi beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi

eleh factor iklim dan suhu. Parasit dan vector penyakit sangat peka

terhadap factor-faktor iklim, khususnya suhu dan kelembaban

udara. Penyakit-penyakit tropis yang ditularkan melalui vector

seperti malaria, demam berdarah, filariasis (kaki gajah) akan makin

meningkat, bukan hanya di Negara yang beriklim tropis, tapi juga di

Negara-gara sub tropis, bahkan di Negara yang bermusim dingin.

Di Indonesi penyakit penyakit tersebut yang semula terjadi daerah

dataran rendah, mungkin pada waktu yang akan datang akan dapat

menyebar didaerah pegunungan yang berhawa dingin, namun

karena pemanasan global berubah menjadi bersuhu panas.

E. Meminimalkan Dampak Pemanasan Global

Seperti telah disebutkan diatas, bahwa pemanasan global ini terjadi

karena efek rumah kaca. Pada gilirannya efek rumah kaca terjadi karena

meningkatnya gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi akibat dari

meningkatnya teknologi dan kegiatan manusia. Akibat yang fatal dari

Page 99: 30bidang IT

pemanasan global adalah terancamnya kehidupan dibumi ini, termasuk

manusia. Oleh sebab itu harus segera dilakukan upaya-upaya untuk

meminimalkan dampak pemanasan global tersebut, antara lain:

1. Konservasi dan efisiensi energi:

Penghematan energi, bukan semata-mata untuk alasan

ekonomi seperti Kepres No. 10/2005, tetapi seyogyanya juga untuk

alasan konservasi energi. Potensi terbesar untuk penghematan

energi adalah di dunia industri, dimana sebagian besar energi

dikonsumsi. Penghematan energi yang lain adalah di sector

transportasi dan rumah tangga, baik dalam penggunaan listrik

maupun bahan bakar lainnya.

2. Eliminasi CFC:

Eliminasi CFC sangat diperlukan karena gas-gas tersebut

dapat menyumbangkan 20 % dari efek rumah kaca pada tahun

2030. Oleh karena itu harus segera diambil tindakan guna

penghapusan penggunaan CFC secara menyeluruh. Penggantian

“Freon” dengan gas lain dalam system atau peralatan pendingin

udara adalah perlu segera dilakukan.

3. Menukar bahan bakar:

Page 100: 30bidang IT

Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar fosil (minyak

bumi) yang bervariasi atau menggantinya denagan bakar dari

bahan baku tumbuh-tumbuhan atau biogas. Untuk produksi jumlah

panas atau listrik yang sama, gas alam menghasilkan CO2 40%

lebih rendah dibandingkan dengan batu bara, dan sekitar 25% lebih

rendah dari pada minyak. Sehingga dengan menukar sumber

bahan bakar dari minyak bumi ke gas alam dan biogas dapat

mengurangi emesi CO2.

4. Teknologi energi yang dapat diperbaharui (renewable):

Upaya mengurangi emisi GRK dapat dilakukan dengan

mengembangkan suatu teknologi yang dapat menekan emisi

penyebab efek rumah kaca, seperti PLTA, pemanas air dengan

tenaga mata hari, penggunaan tenaga angin dikonversi menjadi

listrik maupun penagkapan metana dari tempat sampah dan

kotoran manusai atau heawan mejadi energi atau listrik.

5. Reboisasi kehutanan:

Untuk menyerap 10% emisi CO2 yang ada di atmosfer saat

ini dapat dilakukan dengan tanaman areal seluas Zambia atau Turki

sendangkan untuk menyerap semua emisi tahunan diperlukan

menanam seluar Australia. (http.pkrtn.go.id/global

warning/bambang/doc.)

Page 101: 30bidang IT

F. Aspek Hukum Dalam Pemanasan Global

Pada bulan Desember tahun 1997, di Kyoto, Jepang diadakan

Konferensi ke 3 Perubahan Iklim oleh “The United Nations Framework

Cooperation on Climate Change” (UNFCCC). Dalam konferensi tersebut

disepakati adanya program “Clean Development Mecanism” atau CDM

dalam rangka mengahadapi fenomena pemansan bumi atau pemanasan

global (global warming). Selanjutnya kesepakatan ini disebut “Protokol

Kyoto”, yang intinya semua negara maju akan mengurangi tingkat emisi

gas buangan atau gas yang menimbulkan gas-gas rumah kaca (green

house gases), antara lain CO2, CH4, HFCS, minimal 5,5% dari emisi

tahun 1990. Sampai dengan tahun 2001 dari 84 negara yang telah

menanda tangani Protocol Kyoto tersebut baru 33 negara yang telah

meratifkasinya.

Meskipun Indonesia bukan Negara maju, dan belum diwajibkan

untuk meratifikasi Protokol Kyoto tersebut, namun seyogyanya sudah

mulai menyiapkan perangkat hukumnya. Sebab Indonesia terdiri dari

banyak pulau dan mempunyai banyak hutan, yang rentan terhadap

dampak pemanasan bumi ini. Alangkah baiknya kalau Inpres No. 10 tahun

2005 yang baru dikeluarkan oleh presiden tentang hemat energi ini

ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang.

Konsiderans produk hokum itupun tidak hanya semata-mata factor

Page 102: 30bidang IT

ekonomi, melainkan juga karena pertimbangan faktor lingkungan hidup

yang bersih atau bebas emisi gas rumah kaca.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang

tentang pengelolaan lingkungan hidup, yakni PP.No. 4/1982. Tujuan

dikelurkannya UU tersebut adalah tercapainya keselarasan hubungan

antara manusia dengan lingkungannya, dan terkendalinya pemanfaatan

sumber daya secara bijaksana. Untuk pelaksanaan UU tersebut baru

dikeluarkan 3 Peraturan Pemerintah (PP), yakni PP. No. 29/1986 tentang

Analisis Dampak Lingkungan, PP.No. 20/1990 tentang pengendalian

pencemaran air, dan PP. No. 35/1991 tetang sungai. Sedangkan PP

tentang pengendalian pencemaran udara belum ada. Oleh sebab itu

sebagai partisipasi terhadap pengurangan pemanasan global sebagai

efek rumah kaca di Indonesia, dan sekali gus mertifikasi Protokol Kyoto,

seyogyanya segera mengeluarkan PP tentang pengendalian pencemaran

udara mengacu pada UU No. 4 tahun 1982.

BAB VI

Page 103: 30bidang IT

PEMBAJAKAN HAK CIPTA DAN MALL-MALL YANG ADA

DI INDONESIA SEBAGAI TEMPAT PENJUALANNYA

A. Sasarannya Mall-Mall Yang Ada Di Jabotabek

Pada saat ini seperti diketahui bersama masalah pembajakan,

dalam hal ini kami memfokuskan kepada pembajakan di bidang industri

video, melihat semakin parah dan bahkan ada kecendrungan meningkat.

Contohnya tempat-tempat pembajakan yang dahulu misalnya hanya

dikenal di daerah glodok atau mangga dua akan tetapi sekarang

pembajakan tersebut berdasarkan survey sudah merambah ke pertokoan,

mall dan retailer besar sebagai contoh seperti di Pondok Indah mall, Hero,

Matarhari, ITC, Ratu Plaza, Mall Ambasador dll.

Dampak Pembajakan

Seperti diuraikan diatas jelas membawa beberapa dampak baik

bagi penerimaan negara melalui pajak maupun terhadap idustri video

secara keseluruhan.

1. Kerugian Negara

a. Berdasarkan asumsi dan data-data diatas jelas terlihat

kontribusi:

• Dari produk legal sebenarnya juga cukup besar

dimana kalau kita ambil asumsi rata-rata pajak yang

Page 104: 30bidang IT

dibebankan melalui stiker PPN adalah Rp 1000 – Rp

3000 maka kontribusi produk legal melalui pajak

adalah sebesar 7,5 milyar – 22,5 milyar rupiah

pertahunnya (dengan kondisi 10% produk legal di

pasar), yang sebetulnya kontribusi tersebut dapat

ditingkatkan apabila pembajakakan dapat diatasi atau

paling tidak dikurangi.

• Dengan asumsi 90% berupa produk bajakan,

perkiraan minimal adalah sebanyak 68,4 juta keeping

berupa produk bajakan dimana kerugian pajak negara

ditaksir berkisar � 200 milyar pertahunnya.

b. Perlu diingat Indonesia telah meratifikasi persetujuan

pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement

Establishing the World Trade Organization) melalui Undang-

undang No. 7 tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994

(Lembaran Negara RI tahun 1994 no. 57). Dimana salah

satu bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia Agreement Establishing the World

Trade Organization) adalah aspek-aspek dagang Hak

Kekayaan Intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights/TRIPs), dan berdasarkan data dari IIPA

Indonesia masuk dalam daftar Priority Watch List, dimana

Page 105: 30bidang IT

apabila keadaan pembajakan seperti saat ini masih terus

dibiarkan maka terdapat kemungkinan yang sangat besar

Indonesia dapat dikenakan sanksi.

c. Pengaruh terhadap perubahan budaya diantaranya:

• Matisurinya Industri Perfilman dalam negeri,

perkembangan industri film local sangat lamban

disbanding negara-negara lain.

• Banyaknya kejahatan misalnya baik violence /

kekerasan, kejahatan seksual disebabkan karena film

tidak disensor melalui Lembaga sensor.

• Sangatlah menyedihkan apabila pembajakan telah

menjadi budaya yang dapat diterima oleh masyarakat

atau telah dianggap sebagai sesuatu yang tidak

melanggar hukum.

2. Kerugian Dari Industri Video

Berdasarkan data dan asumsi tersebut dan kekayaan yang

terjadi dilapangan industri video mengalami beberapa kerugian

yang cukup besar, diantaranya:

a. Penurunan penjualan yang cukup tajan dari tahun ke tahun

yang sangat mengancam matinya industri video legal di

Indonesia dalam waktu dekat.

Page 106: 30bidang IT

b. Belum lagi beban pajak yang dikenakan terhadap produk

legal sangatlah berat karena seperti yang kami ketahui

dilapangan para pembajak menjual hasil bajakan dengan

harga relative sama dengan beban pajak yang harus

dipenuhi oleh produk legal (baik DVD maupun VCD).

B. Pembajakan Hak Cipta Dan Penegakan Hukumnya

Selanjutnya Direktorat Jenderal HKI Departemen Kehakiman dan

Hak Asasi Manusia, berdasarkan Tim Kepres No. 189 telah pula

melakukan koordinasi dengan Departemen terkait seperti : Mabes POLRI,

Kejaksaan Agung, Ditjen. Bea Cukai, Mahkamah Agung, Departemen

Perindustrian dan Perdagangan, berbabagai asosiasi di bidang Hak Cipta

seperti: MPA (Motion Picture Association), ASIRI (Asosiasi Industri

Rekaman Indonesia), ASPILUKI (Asosiasi Piranti Lunak Komputer

Indonesia), YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia), ASIREVI (Asosiasi

Importir Rekaman Video Indonesia), PAPPRI (Persatuan Artis Pencipta

Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia), IKAPI (Ikatan Penerbit

Indonesia), dan lain-lain. Beberapa langkah prioritas yang disepakati akan

lebih ditingkatkan penanganannya antara lain adalah:

1. Gerakan menanggulangi pembajakan HKI khususnya Hak Cipta

secara menyeluruh terutama antara lain : optical disk yang terdiri

dari film, musik, dalam bentuk CD/VCD, DVD dan program

computer.

Page 107: 30bidang IT

2. Mengupayakan pelarangan impor mesin bekas untuk pembuatan

optical disk.

3. Mengupayakan untuk membatasi import biji plastik sebagai bahan

baku produksi optikal disk.

4. Malakukan pengawasan terhadap pabrik-pabrik yang telah

mendapat izin dengan memperhatikan apakah produk-produk

tersebut telah mendapat izin dari licensor, termasuk produk-produk

bajakan.

5. Dilaksanakannya sanksi berupa pencabutan izin operasional

apabila diketahui terdapat pelanggaran Hak Cipta dan memberikan

sanksi pidana terhadap pelaku berdasarkan ketentuan Undang-

undang hak Cipta baik hukuman kurungan maupun denda.

Berikut ini Pelanggaran Hak Cipta dari tahun 1998 s/d 2003

(Kerjasama antara Ditjen. HKI, ASIREVI dan Pihak Kepolisian)

NO Tanggal Bekerjasama Sasaran Operasi VCD yang disita

Page 108: 30bidang IT

1 13 Feb 98 Polda Metro Jaya Toko Mince, Mangga Dua 909 pcs VCD ilegal

2 25 Sep 98 Polda Metro Jaya Toko Milik Susuan, Ahui, A cing, Mangga Dua

+ 2.411 VCD ilegal

3 15 Sep 99 Mabes Polri Mobil angkut VCD & CV. Pura Angkasa

+ 22.930 pcs VCD illegal

4 8 Dec 99 Mabes Polri Toko Manna & Toko III No. 5 Mangga dua

2.000 pcd & 14 doos VCD illegal

5 4 May 00 Polres Jakbar Mall Citraland, di toko Disc 88 & Toko studio

3.910 pcs VCD illegal

6 13 May 00 Polres Jakbar Toko-toko didepan Harco Glodok

300.000 pcs VCD illegal

7 24 Jul 00 Tipiter Mabes Polri Petak 9, Jl. Kemenangan Gg. II, Glodok – Jakbar

160.571 pcs VCD illegal

8 5 Okt 00 Polda Metro jaya Mangga Dua Mall Lt. Dasar & Lt. 1

5.000 pcs VCD illegal

9 5 Feb 01 Polres Jakbar Pabrik PT. Multi Cakara di Kapuk

Software komputer

10 25 Apr 02 Polda Metro Jaya Toko di Mangga Dua Mall 604 VCD illegal

11 21 May 03 Mabes Polri 2 toko di Lt. 2 Mangga Dua Mall

5 Karung dan 651 VCD illegal

12 6 Jun 03 Mabes Polri 2 toko di Mangga Dua Mall 1.270 pcs VCD

illegal.

C. UPAYA PENGURANGAN PEMBAJAKAN

Adapun upaya untuk mengurangi pembajakan ialah memberikan

sistem perundang-undangan HKI Indonesia sendiri dapat dikatakan sudah

cukup kuat untuk dapat memberi perlindungan hukum kepada karya–

karya intelektual bangsa sendiri dan pihak asing. Akan tetapi tidak dapat

Page 109: 30bidang IT

disangka pula bahwa penegakan hukum masih lemah. Beberapa alasan

dapat dikemukakan mengenai lemahnya penegakan hukum tersebut,

diantaranya :

1. Kurangnya pemahaman akan HKI dan perbedaan pandangan serta

persepsi akan HKI. Ini tidak terjadi hanya dikalangan penagak

hukum (Polisi, Jaksa, Bea Cukai, Hakim) akan tetapi juga

dikalangan bisnis.

2. Kurangnya koordinasi antara penegak hukum untuk menerapkan

penegakan hukum.

3. Penegakan hukum seringkali bertentangan dengan suasana social.

Pelanggar hukum sering kali adalah rakyat dari kalangan “bawah”

atau kurang berpendidikan.

4. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menambah berat biaya-

biaya dalam rangka operasi penegakan hukum.

5. Kurangnya kesadaran masyarakat sendiri untuk menghormati Hak

Kekayaan Intelektual milik orang lain

6. Terbatasnya tenaga ahli utamanya pada sector pemerintah dan

juga swasta untuk menangani Hak Kekayaan Intelektual.

7. Kesulitan penegakan hukum di Indonesia dengan luas wilayah dan

penduduk yang sangat banyak (sekitar 200 juta penduduk) amat

tidak sebanding dengan jumlah penegak hukum yang ada.

8. Memberikan penyuluhan bagi para pemilik mall yang ada di

Jabotabek untuk tidak memberikan tempat kepada penjual ataupun

Page 110: 30bidang IT

pengecer penjual VCD bajakan baik itu berupa CD lagu atau pun

VCD atau DVD serta CD software computer yang dulu sangat

marak di lihat di mall yang ada di sekitar Jabotabek ini.

9. Memberikan sanksi yang berat serta denda yang tinggi bagi penjual

serta pengganda CD, VCD bajakan dan juga kepada pembeli

barang bajakan juga dikenakan sanksi yang berat untuk dapat

memberikan rasa takut kepada para pembeli barang bajakan serta

kepada pembajaknya juga.

BAB VII

SITUS WEB INSTANSI PEMERINTAH, LEMBAGA LEGISLATIF DAN

JUDIKATIF SEBAGAI SARANA PENYEBARLUASAN DAN PELAYANAN

INFORMASI HUKUM

Page 111: 30bidang IT

A. Kebutuhan Sistem Informasi Hukum Nasional

Berbagai kegiatan pembangunan hukum, seperti penyelenggaraan

pemerintahan negara memerlukan pengambilan keputusan oleh pimpinan

eksekutif sampai ke eselon empat. Begitu pula instansi yang secara

langsung berhadapan dengan masyarakat yang mengemban tugas

pelayanan memerlukan informasi dan data hukum yang lengkap, cepat

dan akurat untuk dapat mengambil keputusan yang sebaik-baiknya di

dalam setiap kasus yang memerlukan keputusan dan izin dari instansi

Pemerintah (Pusat maupun Daerah/Otonom).

Demikian pula lembaga legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

memerlukan informasi hukum dan data yang lengkap dalam proses

penyusunan peraturan perundang-undangan (legislation). Dibidang

judikatif, para hakim, jaksa dan polisi tidak mungkin dapat memutus

perkara atau menuntut seseorang ke Pengadilan dengan dakwaan atau

tntutan yang tepat, apabila sebelumnya mereka tidak dilengkapi dengan

peraturan hukum dan ilmu hukum yang paling mutakhir karena keadaan

hukum di Indonesia sudah jauh berbeda, termasuk juga susunan dan

struktur organisasi badan-badan peradilan serta Hukum Acaranya.

Page 112: 30bidang IT

Dalam era globalisasi ini bahkan setiap penegak hukum, pengacara

dan dosen/guru besar pun harus terus mengikuti perkembangan-

perkembangan hukum yang baru, baik di negerinya sendiri, di luar negeri,

maupun perkembangan baru di berbagai bidang Hukum Internasional. Hal

ini hanya akan berhasil, apabila setiap insan yang berkecimpung di bidang

hukum (termasuk para pejabat negara dan pemerintah) dapat

memperoleh data dan informasi hukum yang paling mutakhir, sistematis

dan lengkap (komplit) dengan cara yang cepat, mudah dan murah, dan

pada saat ia membutuhkan informasi hukum itu. Oleh sebab itu maka

kehadiran suatu Sistim Informasi Hukum Nasional adalah sangat penting

untuk memajukan dan memperbaiki keadaan hukum di Indonesia.

Kebutuhan Sistem Informasi Hukum yang beroperasi secara

Nasional dengan memelihara komunikasi `dua arah` yaitu mengirimkan

pesan dari instansi Pemerintah/Negara atau masyarakat ke Jaringan

Informasi Hukum dan sebaliknya mengirimkan informasi dari Jaringan

Informasi Hukum ke instansi Pemerintah/Negara dan/atau masyarakat

adalah dirasakan sangat mendesak dalam era informasi ini terlebih lagi

untuk mengantisipasi berlakunya Undang-undang Kebebasan

Memperoleh Informasi Publik dalam waktu dekat ini, yang sekarang RUU

nya masih dalam taraf pembahasan oleh Pansus DPR72. Apabila RUU

tersebut telah disahkan menjadi Undang-undang maka Pemerintah

berkewajiban dan semakin dituntut untuk dapat menyajikan pelayanan

72

http://www.parlemen.net, diakses pada tanggal 15 Oktober 2005

Page 113: 30bidang IT

informasi hukum secara mudah, murah, cepat dan tepat waktu.

`Mudah`dalam arti prosedur untuk mendapatkan informasi publik tidak

berbelit-belit dan mudah dilakukan. Sedangkan pengertian `Informasi

Publik` merujuk pada semua jenis informasi yang dihasilkan atau dikelola

lembaga publik termasuk informasi hukum, peraturan perundang-

undangan dan bahan hukum lainnya serta putusan pengadilan yang

penting. Sementara yang dimaksudkan lembaga publik meliputi seluruh

lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif dan pengawasan publik baik di

tingkat pusat maupun daerah. Termasuk juga organisasi non pemerintah,

Lembaga Swadaya Masyarakat atau swasta yang menggunakan dana

pemerintah atau yang mempunyai perjanjian kerja dengan pemerintah

untuk menjalankan fungsi pelayanan publik.

B. Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Membangun Sistem

Informasi Hukum Nasional

Membangun sebuah Sistem Informasi Hukum tentunya tidak

terlepas dari komponen-komponen dasar yang menjadi pilar berdirinya

sistem itu sendiri yang meliputi komponen-komponen seperti infrastruktur

(berbasis teknologi), konten(data), organisasi dan Sumber Daya Manusia,

yang akan berhubungan dengan manajemen sistem informasi hukum.

Definisi Teknologi Informasi

Page 114: 30bidang IT

Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang

berhubungan dengan pengolahan data menjadi informasi dan proses

penyaluran data/informasi tersebut dalam batas-batas ruang dan waktu.73

Definisi kata `informasi` secara internasional telah disepakati sebagai

hasil dari pengolahan data` yang secara prinsip mempunyai nilai lebih

dibandingkan dengan data mentah.74 Teknologi Informasi yang

berkembang dipertengahan tahun 80-an ini merupakan pengembangan

teknologi komputer yang dipadukan dengan teknologi telekomunikasi dan

muatan informasi.

Teknologi komputer dan teknologi telekomunikasi bersinergi

dengan Sistem Informasi menjadi Teknologi Informasi yang kita kenal

sekarang ini dan menjadi faktor pendorong utama implementasi teknologi

dalam seluruh kegiatan manusia terutama proses penyebaran informasi

secara masal dan mendunia. Perkembangan teknologi informasi dan

konvergensi media komunikasi telah mengubah kegiatan manusia yang

sebelumnya dilakukan secara manual kemudian bergeser dengan

menggantungkan pada kecanggihan sistem komputer, sistem jaringan

komputer maupun sistem datanya yang antara lain sangat menonjol

adalah penggunaan internet dalam pengelolaan informasi.

Metode penyebarluasan hukum

73

Teknologi Informasi Pilar Bangsa Indonesia Bangkit, Kominfo 2003 74

Ibid hal 3

Page 115: 30bidang IT

Fungsi Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH)

yang diemban oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)

sebagaimana diamanatkan oleh Keppres No 91 tahun 1999 tentang

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional adalah antara lain :

• Merumuskan kebijakan pengembangan dan pelayanan JDIH;

• Sebagai pusat rujukan informasi dan dokumentasi hukum nasional;

• Pengumpul dan penyebarluasan bahan dokumentasi dan informasi

hukum kepada para Anggota Jaringan yang meliputi berbagai

instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif baik dalam

bentuk salinan, abstraksi, panduan penemuan kembali, maupun

bentuk lainnya;

• Pembinaan tenaga pengelola dokumentasi dan informasi hukum

• Pembinaan kerjasama antara Anggota Jaringan;

• Evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan JDIH Nasional;

• Pelayanan informasi dan dokumentasi hukum nasional kepada

masyarakat.

Untuk memenuhi fungsi tersebut diatas perlu dibangun suatu

sistem yang dapat memenuhi paling tidak 3 (tiga) kebutuhan utama

sebagai berikut :

1. Pemenuhan kebutuhan informasi hukum khususnya bagi lembaga

eksekutif, legislatif, yudikatif, penegak hukum dan profesi hukum

Page 116: 30bidang IT

lainnya serta masyarakat luas pada umumnya. Sehingga informasi

dapat diakses dengan mudah cepat dan akurat.

2. Penyediaan sarana koordinasi bagi Anggota Jaringan untuk

perumusan kebijakan, pengembangan dan pelayanan JDIH,

pembinaan tenaga pengelola, penyebaran bahan dokumentasi

dan informasi antar anggota, serta proses evaluasi berkala.

Koordinasi diperlukan mengingat hal ini sangat mempengaruhi

kadar dan kualitas yang informasi yang dihasilkan. Informasi harus

bersifat komprihensif yang hanya bisa dicapai apabila semua

komponen yang terlibat dalam penyediaan informasi dapat

merumuskannya secara terkoordinir.

3. Menjadikan JDIH sebagai pusat data informasi hukum yang

nantinya akan menjadi pusat rujukan utama untuk dokumentasi

dan informasi hukum.

Untuk memenuhi ke tiga kebutuhan utama tersebut diatas satu

langkah mendasar yang paling sesuai dilakukan adalah melakukan

digitalisasi data yang selanjutnya dengan menggunakan beberapa

perangkat lunak pemrosesan dapat dilakukan lebih lanjut guna

menghasilan data hukum terstruktur secara elektronik dalam membangun

database.

Page 117: 30bidang IT

Konfigurasi JDIH on-line

Selanjutnya dalam konteks pengembangan JDIH sebagai sarana

pendayagunaan bersama perturan perundang-undangan dan bahan

hukum lainnya, maka data base produk hukum pemerintah Pusat dan

Daerah merupakan aset yang harus terus di pupuk dan dikembangkan

baik kuaalitas maupun kuantitasnya. Oleh karenanya kelengkapan semua

produk hukum baik di Pusat dan Daerah yang memenuhi standar

pengelolaan data elektronik menjadi sangat krusial mengingat

kelengkapan dokumentasi produk hukum akan menghasilkan informasi

hukum yang berkualitas. Sehingga diharapkan baik Pusat maupun

Anggota Jaringan dapat melengkapi dan membangun basis data

elektronik dengan format pangkalan data yang seragam dan format

komunikasi standar yang pada gilirannya dapat mewujudkan Sistem

Informasi Hukum Nasional yang terpadu dan handal sehingga dapat

memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan informasi hukum yang

mudah diakses.

Sementara itu dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang terjadi

dilapangan antara lain :

Page 118: 30bidang IT

1. Tersebarnya lokasi fisik database produk hukum dengan berbagai

sistem yang pernah ada di Indonesia dimana masing-masing sistem

membentuk sistem hukum dan infrastruktur tersendiri.

2. Tersebarnya anggota-anggota jaringan dengan cakupan berskala

nasional dimana unit kerja yang melaksanakan tugas dalam bidang

hukum dan peraturan perundang-undangan dari berbagai daerah

yang harus melakukan koordinasi. Dengan keadaan seperti ini, maka

diperlukan suatu infrastruktur yang bisa memberikan kemudahan

bagi para anggota JDIH untuk berkomunikasi satu sama lain.

3. Tempat akses informasi hukum, sejalan dengan fungsi JDIH sebagai

penyedia informasi hukum kepada masyarakat, maka tempat akses

yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh

informasi hukum akan memegang peranan penting dari proses

penyebaran informasi hukum.

Untuk memenuhi ketiga kebutuhan tersebut, Infrastruktur yang paling

sesuai adalah mengimplementasikan sistem JDIH dengan memanfaatkan

penyebaran jaringan Internet yang berkembang sangat pesat di Indonesia

pada saat ini yang diimplementasikan dalam bentuk portal situs web baik

yang diselenggarakan oleh instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan

Judikatif dalam rangka penyebarluasan dan layanan informasi hukum.

Namun harus pula dipertimbangkan kesiapan sistem tersebut untuk diakses

publik apabila menggelar sistem melalui Internet. Satu hal yang penting

Page 119: 30bidang IT

pada suatu sistem yang bersifat publik adalah masalah yang berkaitan

dengan masalah keamanan data dan informasi.

C. Sistem Informasi Hukum Nasional Berbasis Jaringan Internet Berupa

Portal Situs Web bphn.go.id

Dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai Pusat Jaringan

Dokumentasi dan informasi Hukum yang mengemban tugas pembinaan,

pengembangan, pengumpulan, pengolahan dan penyebarluasan peraturan

perundang-undangan dan bahan hukum lainnya serta pengembangan

otomasi data hukum sebagaimana diamanatkan oleh Keppres 91/1999

tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional, maka

diperlukan infrastruktur Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum yang

handal. Diharapkan pula infrastuktur tersebut dapat beroperasi optimal dan

berskala Nasional bahkan Regional maupun Internasional.

untuk mewujudkan infrastruktur tersebut BPHN telah memanfaatkan

Teknologi Informasi berbasis web/jaringan internet dengan pemasangan

jaringan intranet dilingkungan lokal BPHN dan pemasangan jaringan

ekstranet dan internet serta pembangunan aplikasi yang terintegrasi

dengan data yang terpusat pada sistem yang dinamakan Sistem Informasi

Hukum Nasional (SisFoKum Nas). Sistem ini akan berjalan dengan

menggunakan jaringan intranet yang telah dibangun di BPHN yang

Page 120: 30bidang IT

selanjutnya dikoneksikan ke setiap Anggota Jaringan (JDIH) yang meliputi

berbagai instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan Judikatif serta publik

(Nasional/ Internasional) melalui jaringan internet yang terhubung pada

salah satu penyedia jasa internet/ISP (Internet Service Provider)

Sistem Informasi Hukum BPHN dibangun pula berdasarkan misi yang

diemban BPHN dalam membangun sistem e-government di bidang hukum,

sehingga dapat diakses oleh lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif dan

profesi hukum lainnya serta masyrakat luas pada umumnya melalui

pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. Pelaksanaan

e-government adalah sebagai upaya pemerintah dalam menggunakan

Teknologi Informasi (baik telepon, fax, komputer, internet) dalam

meningkatkan kinerjanya terutama dalam hubungannya dengan

masyarakat, dunia usaha maupun lembaga terkait menunju good

governance, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan

mengedepankan transparansi, akuntabilitas serta melibatkan peran

masyrakat dalam perumusan suatu kebijakan publik termasuk peraturan

perundang-undangan.

Misi lain yang merupakan penjabaran dari tugas pokok dan fungsi

BPHN telah pula tercakup dalam sistem ini yang meliputi : perencanaan

pembuatan peraturan perundang-undangn melalui Program Legislasi

Nasional. Kegiatan penelitian, pengkajian hukum dan penyusunan Naskah

Page 121: 30bidang IT

Akademis dalam rangka penggantian peraturan perundang-undangan yang

sudah tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan RI. Penyuluhan hukum

untuk meningkatkan kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat.

Mengoptimalkan kerjasama dengan lembaga baik dalam maupun luar

negeri serta peningkatan Sumber Daya Manusia terutama dalam

penguasaan Teknologi Informasi.

Penggunaan Teknologi Informasi berbasis Jaringan Internet ini

memungkinkan sistem yang interaktif (dua arah) sehingga dapat

memfasilitasi peran serta dan partisipasi masyarakat seluas-luasnya,

terutama dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sejak

tahap pra legislasi yang diawali dengan perencanaan hukum, penelitian,

pengkajian dan penyusunan Naskah Akademis yang menjadi materi

muatan suatu RUU menuju tahap legislasi yaitu pembahasan RUU di DPR

untuk disepakati dan diundangkan yang kemudian disebarluaskan dan

disosialisasikan yang pada akhirnaya tahap paska legislasi yaitu analisa

evaluasi apakah suatu peraturan undang-undang masih sesuai dengan

kebutuhan masyarakatbpada masa kini.

Dengan demikian jelaslah merujuk kepada pemberlakuan hukum yang

harus memenuhi aspek sosiologis, keterlibatan masyarakat dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan sejak awal sekaligus dapat

menjadi sarana sosialisai sebelum peraturan itu diberlakukan. Sehingga

Page 122: 30bidang IT

diharapkan hukum yang akan dihasilkan akan lebih responsif karena betul-

betul lahir dari kebutuhan masyarakat dan dapat memenuhi rasa keadilan.

Jadi hukum tidak semata-mata dirumuskan oleh segelintir elite yang ahirnya

hanya menjadi wacana yang tidak berkembang di masyarakat yang

kandangkala baru diundangkan harus dicabut karena sudah tidak sesuai

dengan perkembengan masyarakat.

Secara teknis Sistim Informasi Hukum di BPHN meliputi antara lain :

Komponen dasar sistem dalam jaringan data dan informasi hukum

nasional

Sistem informasi yang dibangun merupakan hasil konvergensi dari

tiga komponen teknologi informasi mencakup unsur telekomunikasi,

komputer dan konten (data/Informasi) ini mensyaratkan adanya kegiatan

pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis dan proses

penyebarluasan informasi75.Model yang dibangun dalam sistem informasi

yang menjadi basis Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional

berorientasi interaksi antar komponen masyarakat hukum untuk tujuan

peningkatan kualitas pengetahuan hukum dan membantu proses

pengambilan keputusan.

75

Prof. Efraim Turban, R Kelly Rainer Jr and Richard E Potter dalam

Introduction to Information Technology, John Willey and Son, Inc 2003.

Page 123: 30bidang IT

Sistem ini akan merangkum kegiatan output, input penyebarluasan ke

anggota dalam sistem atau keluar sistem. Dalam proses ini diperlukan juga

mekanisme feedback yang dapat mengontrol semua proses operasi. Untuk

penyebarluasan hukum dibuat proses pemilahan antara data, informasi dan

pengetahuan yang didefinisikan secara tepat yang diinstalisasikan dalam

Kerangka JDIH.

Komponen dasar pembentuk Sistem Informasi Hukum BPHN ini

mencakup 6 (enam) katagori yaitu :

1. Pengadaan Hardware meliputi perangkat dari setting processor,

monitor, keyboard, printer, scanner dan komponen hardware lain

yang mampu menunjang proses penerimaan data dan informasi,

perangkat yang membantu pemrosesan data, informasi dan

pengetahuan, serta perangkat yang mampu menampilkan

(display) data, informasi dan pengetahuan hukum.

2. Pengadaan software pendukung. Software sesungguhnya

merupakan aplikasi berupa seperangkat program komputer yang

dibuat khusus untuk menangani pemrosesan data yang

dilakukan hardware. Dan program khusus untuk komunikasi

antara pengelola JDIH.

3. Pengadaan Database. Diperlukan sebuah definisi yang sangat

jelas tentang proses organisasi data. Bagaimana korelasi antar

Page 124: 30bidang IT

file yang berhubungan. Bagaimana sebuah data ditampilkan.

Bagaimana hubungan penyimpanan antar data dan proses

penterjemahan hubungan antar data.

4. Pengadaan Jaringan bagaimana pembuatan koneksi atau

hubungan antar node sistem yang dibangun bagaimana proses

sharing informasi antar komponen sistem yang ada di dalam

jaringan.

5. Pembuatan prosedur operasi dalam sistem. Penyusunan

strategi, kebijakan, metode dan aturan di dalam implementasi

sistem informasi.

6. Analisis persiapan Sumber Daya Manusia yang merupakan

komponen yang paling penting meliputi antara lain siapa saja

yang akan menjalankan sistem informasi, siapa yang akan

masuk menjadi katagori pemakai saja (user) dan bagaimana

cara user ini dilayani oleh Sumber Daya Manusia yang ada.

Pembangunan Jaringan

Pembanguna Jaringan komputer meliputi pembangunan jaringan

Local Area Network (LAN) maupun Wide Area Network (WAN) untuk

menunjang operasional semua aplikasi JDIH. Pembangunan LAN akan

mempermudah sharing penggunaan komputer, file system maupun printer.

Selain itu dengan LAN akan memudahkan implementasi Sistem Informasi

Hukum yang berbentuk Client/Server maupun Web-based. Sedangkan

Page 125: 30bidang IT

WAN diperlukan untuk menghubungkan Pusat dengan Anggota Jaringan.

Sebagai ujicoba untuk menjamin beroperasinya Sistem Informasi JDIH

telah ditempatkan terminal kerja di 2 (dua) Anggota Jaringan yaitu Biro

Hukum Pemerintah Daerah Provinsi DI Yogyakarta dan Kantor Wilayah

Departemen Kehakiman dan HAM DKI Jakarta.

Pembangunan jaringan Sistem Informasi Hukum di BPHN meliputi :

A. Perangkat Keras :

1. Web Server dan Database Sever serta fungsi Firewall

• 2xIntel Xeon Prosesor 2Ghz, Memory 4 GB ECC DDR

SDRRAM, 4 x 146 GB HDD SCSI Hot Swap, FDD

3.5``, Redudant Power Suplay;

• Switch 4-ports untuk monitor, keyboard, dan mouse;

• 13 (tigabelas) Workstation Intel Pentium 4 Processor 2

Ghz, Memory 256 MB DDR DIMM, 40 GB HDD 48 X

CD-ROM Drive, FDD 3.5`` monitor, keyboard, mouse.

2 terminal ditempatkan di Biro Hukum Pemda Prov DI

Yogyakarta dan KanWil DepKehHam DKI Jakarta;.

• 3 (tiga) buah Scanner, A4, USB 2,0, 2400 dpi, 48 bit

• 1 (satu) set perangkat infrastruktur ADSL;

• 2 (dua) buah modem External 56 Kbps (ditempatkan

di 2 Anggota Jaringan diatas)

1. Aplication Server

Page 126: 30bidang IT

2. Rack.

B. Perangkat Lunak

• Web Server : Red Hat LINUX dan PHP

• Mailserver :

• Anti Virus Mail

• Proxy

• Database : MySQL

• Implementasi Firewall

• Implementasi ADSL

• Aplikasi Client/Server (SisFoKumNas) berbasis web dengan

fungsi utama memberikan fasilitas pengolahan data secara

terpadu dalam rangka melakukan kegiatan pengoperasian

sistem sehari-hari.

Pembangunan aplikasi

Pembangunan model layanan informasi berbentuk portal yang

digabung dengan halaman situs berisi informasi hukum dan dapat

menampilkan data yang mutakhir, cepat aksesnya, mudah pemeliharaanya

dan dapat dengan mudah dikembangkan serta diintegrasikan dengan

aplikasi lainya.

Pengembanga SDM berbasis Kompetensi dan kebutuhan Tenaga Ahli

Page 127: 30bidang IT

Hal lain yang cukup krusial yang harus diperhatikan dalam

pengembangan Sistem Dokumentasi dan Informasi hukum adalah

dukungan Sumber Daya Manusia berbasis Teknologi Informasi (TI).

Sedangkan tenaga ahli yang dibutuhkan terdiri dari beberapa kelompk

pekerja seperti Sistem Analys, Programer, Teknisi Jaringan dll

Substansi dan Materi yang Dikumpulkan (Dan Merupakan Koleksi

yang menjadi aset) Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

Nasional

Dalam mencapai tujuan agar menjadi institusi terdepan dan

terpercaya dalam penyediaan data dan informasi hukum, BPHN secara

tertib dan berkelanjutan berupaya untuk dapat mengumpulkan, melengkapi

dan mengolah peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya,

antara lain meliputi:

I. Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari:

1. Undang Undang Dasar 1945

2. Ketetapan MPRS/MPR RI

3. Undang-undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

5. Peraturan Pemerintah

6. Peraturan Presiden/Keputusan Presiden

7. Peraturan Daerah

Page 128: 30bidang IT

Serta produk hukum lainnya, seperti:

8. Undang-undang Darurat

9. Penetapan Presiden

10. Peraturan Presiden

11. Instruksi Presiden

12. Peraturan Menteri

13. Keputusan Menteri

14. Peraturan Gubernur

15. Keputusan Gubernur

16. Peraturan Bupati/Walikota

17. Keputusan Bupati/Walikota

18. Yurisprudensi

19. Traktat

Nomor urut 12 s.d. 17 tidak lengkap, dalam arti tidak semua

Departemen, Pemerintah Daerah, maupun Instansi yang

menerbitkannya mengirim secara kontinyu produk hukum

dimaksud.

2. Bahan Hukum lainnya, :

1. Buku-buku Hukum langka produk Hindia Belanda.

2. Buku terbitan dalam dan luar negeri.

Page 129: 30bidang IT

3. Buku-buku terbitan hasil kegiatan BPHN;

4. Hasil-hasil Penelitian Hukum;

5. Hasil-hasil Pengkajian Hukum;

6. Hasil-hasil Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan;

7. Hasil-hasil Naskah Akademis;

8. Hasil-hasil Pembahasan Rencana Legislasi Nasional;

9. Hasil-hasil Penulisan Ilmiah Bidang Hukum;

10. Makalah-makalah ilmiah bahan Seminar Pembangunan Hukum

Nasional;

11. Hasil-hasil Seminar;

12. Direktori Tesis (termasuk sebagian bahan fisiknya), Disertasi;

13. Hasil-hasil Evaluasi, Orientasi, Forum diskusi, Pertemuan

Berkala, Rakorwil dan Rakornas JDI Hukum.

D. Pendayagunaan Situs Web Instansi Pemerintah, Lembaga Legislatif

dan Judikatif Sebagai Sarana Penyebarluasan dan Layanan

Informasi Hukum

Dalam konteks pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi

Hukum sebagai sarana pendayagunaan bersama peraturan perundang-

undangan dan bahan hukum lainnya, kelengkapan semua produk hukum yang

dikeluarkan oleh instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif baik di

Pusat dan Daerah yang memenuhi standar pengelolaan data elektronik menjadi

Page 130: 30bidang IT

sangat krusial mengingat kelengkapan dokumentasi produk hukum akan

menghasilkan informasi hukum yang berkualitas.

Diharapkan instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan Judikatif baik di

Pusat maupun Daerah dapat membangun simpul-simpul informasi berupa basis

data elektronik dengan format pangkalan data yang seragam dan format

komunikasi standar yang pada gilirannya dapat mewujudkan Sistem Informasi

Hukum Nasional yang terpadu, berbasis jaringan internet yang handal yang

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan informasi hukum yang

mudah diakses.

Agar sistem ini dapat beroperasi optimal dan berdaya guna maka

koordinasii antara instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan Judikatif menjadi

sangat penting dalam hal pendayagunaan bersama dokumentasi peraturan

perundang-undangan dan bahan hukum lainnya sebagaimana telah ada

wadahnya yaitu Keppres No. 91/99 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi

Hukum Nasional. Komunikasi interaktif melalui portal dengan cara tanya jawab

secara on-line, pembentukan milis, masih terus diupayakan.

Ujicoba beroperasinya portal situs bphn.go.id secara nasional telah

dilaksanakan pada bulan Juli 2005 dengan menempatkan terminal kerja

(komputer, modem, scanner) di 2 (dua) Anggota Jaringan yang selama ini telah

Page 131: 30bidang IT

mengikuti pelatihan (Pemda DI Yogyakarta dan Kanwil Dep Hukum dan HAM

DKI Jakarta.

Pengelola JDIH di Pemerintah Prov Yogyakarta menginput data Perda

yang dimilikinya secara jarak jauh (remote) ke server BPHN yang selanjutnya

disebarluaskan melalui portal situs bphn.go.id.

Mengingat keterbatasan dana APBN tidak mungkin menempatan terminal

kerja di semua instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif yang

berjumlah ratusan dan pula adanya keterbatasan daya tapung server. Oleh

karenanya telah diupayakan suatu bentuk koordinasi antara instansi Pemerintah,

lembaga Legislatif dan Judikatif dengan melakukan ‘link’ ke situs web dimaksud

yang telah mengoperasikan dan menempatkan produk peraturan yang

dihasilkannya di situs webnya masing-masing ke portal situs bphn.go.id.

Sehingga fungsi BPHN sebagai pusat rujukan penyajian dokumentasi dan

informasi hukum lainnya masih bisa dilaksanakan.

Kegiatan pengolahan, penyajian dan penyebarluasan peraturan

perundang-undangan dan bahan hukum melalui jaringan internet ini dapat

meningkatkan aksesibilitas penyampaian informasi dan jangkauan penyebaran

yang lebih luas bahkan dapat diakses secara internasional. Dan yang terlebih

penting lagi dapat meningkatkan interaksi dan partisipasi masyarakat dalam

Page 132: 30bidang IT

proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan

hukum dapat memenuhi rasa keadilan dan kebutuhan masyarakat.

BAB VIII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Meskipun Undang-undang yang secara khusus mengatur Cyber

crime belum disahkan, tetapi ketentuan tentang Cyber crime

Page 133: 30bidang IT

termasuk pengakuan alat bukti elektronik yang bersifat spesifik dan

sektoral telah ada dalam hukum positif Indonesia.

2. Perlunya peningkatan SDM penegak hukum dalam menangani

kasus-kasus Cyber Crime, oleh karena itu pelatihan tentang Cyber

Crime untuk Hakim, Jaksa, Polisi dan pihak-pihak terkait termasuk

kalangan perguruan Tinggi perlu terus dikembangkan dan menjadi

perhatian negara-negara maju untuk kerjasama pelaksanaannya,

sehingga penanganan dan penegakkan hukumnya dapat lebih

optimal.

3. Perkembangan Teknologi Informasi yang telah menembus batas

ruang dan waktu tanpa dibarengi dengan perkembangan hukum

yang memadai akan melahirkan penyalahgunaan yang

menyesatkan.

4. Perkembangan Telematika telah mengantarkan transaksi kegiatan,

termasuk transaksi bisnis makin banyak dilakukan secara elektronik,

suatu perubahan dari “paper transaction”, menjadi “electronic

transaction”.

5. Dalam rangka perumusan legislasi nasional di bidang keantariksaan,

maka ketentuan-ketentuan dan perjanjian-perjanjian internasional di

bidang keantariksaan serta perjanjian-perjanjian internasional terkait

lainnya dimana Indonesia merupakan negara pihak (“contracting

parties”) sedapat mungkin diintegrasikan.

Page 134: 30bidang IT

6. Upaya pengintegrasian tersebut dilakukan dengan memperhatikan

dinamika kepentingan nasional serta perkembangan pada lingkup

internasional menyangkut interpretasi dan implementasinya oleh

berbagai negara.

7. Terhadap perjanjian-perjanjian internasional lainnya di mana

Indonesia bukan menjadi negara pihak, maka ketentuan-ketentuan

yang relevan akan diperhatikan sepanjang sesuai dengan

kepentingan nasional.

8. Sistem HKI akan melindungi para pencipta dalam menghasilkan

karya-karya intelektual tanpa merasa takut bahwa karya-karya

mereka akan ditiru, dibajak atau dipakai oleh orang yang tidak

berhak. Segala usaha yang telah dikeluarkan dalam mencipta suatu

kreasi akan menghasilkan suatu “reward” yang sepadan dan akan

menambah keinginan untuk terus berkreasi yang pada akhirnya akan

semakin memajukan masyarakat secara umum untuk menikmati

hasil-hasil karya intelektual tersebut.

9. Keberadaan Situs web Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif

merupakan sarana yang efisien dan effektif dalam penyebarluasan

dan layanan informasi hukum.

10. Dalam rangka pemberdayaan bersama informasi hukum berbagai

instansi baik eksekutif, legeslatif maupun Judikatif dapat

membangun simpul-simpul informasi berupa basis data elektronik

dengan format pangkalan data yang seragam dan format komunikasi

Page 135: 30bidang IT

standar yang terhubung dengan portal situs web bphn.go.id

sehingga pada giliranya dapat mewujudkan Sistem Informasi Hukum

Nasional yang terpadu, berbasis jaringan internet yang dapat

memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan informasi hukum

yang mudah diakses.

11. Portal situs web bphn.go.id merupakan sarana pemberdayaan

pengetahuan hukum untuk berbagai kalangan yang membutuhkan

informasi hukum berupa peraturan perundang-undangan, putusan

pengadilan, kepustakaan hukum berupa buku-buku, hasil

penelitian/pengkajian hukum, Naskah Akademis, Analisa dan

Evaluasi peraturan-perundang-undangan, hasil pembahasan produk

legislasi Nasional, proceding Pertemuan Ilmiah, hasil

12. pembahasan jaringan dokumentasi dan informasi hukum dll.

B. Saran

1. Perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana dan hukum acara

pidana agar dapat memberi ruang gerak yang cukup kepada

penegak hukum dalam menyidik, menuntut dan memeriksa

kejahatan-kejahatan penyalahgunaan teknologi informasi

(information technology).

Page 136: 30bidang IT

2. Rancangan Undang-undang (RUU) Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik harus segera diproses menjadi Undang-undang agar lebih

dapat memberikan kepastian hukum dalam mengahadapi

perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat dengan segala

akibat yang ditimbulkannya.

3. kajian terhadap hukum dan teknologi perlu terus dilakukan

mengingat perkembangan teknnologi begitu pesat. Dengan demikian

kajian-kajian yang sifatnya spesifik di bidang hukum dan teknologi

perlu terus ditindak lanjuti.

DAFTAR PUSTAKA

http.bkrtn. bappenas.go.id/globalwarming/bambang/doc.

[email protected]/Konsumsi Energi, Emisi, dan Pemanasan

Global.

Page 137: 30bidang IT

Messmer Maja, dipl.Natw.ETH, Erika Stutz, dipl.Chem.HTL. Atmosfer dan PemanasanGlobal. Indah Off set Malang, Malang:1998.

Meivina, Arnely, dkk. Bumi Makin Panas, Ancman Perubahn Iklim di

Indonesia, Jakarta: 2004. M Utami, Sri Tjahyani Budi, Modul Mata Pencenaran Udara dan Kesehatan,

FKM-UI, Depok: 2003. http:[email protected]/Kegerahan di Rumah Kaca.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: 1982.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1986, tentang Analisis

Dampak Lingkungan Beserta Penjelasnnya, Jakarta: 1986. Undang-undang nomor 19 tahun 2003 tentang Hak Cipta.

GATT on TRIPs Agreement

Daftar pelanggaran Hak Cipta yang disidik di Ditjen. Hak Cipta.

Gregory Churchill,J.D., Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH), Makalah Pertemuan Berkala Pelaksanaan JDI Hukum, BPHN, Pontianak 24-27 Juli 2005. Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH, Manajemen Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional Menuju Good Governance, BPHN Departemen Hukum dan HAM, 2004. Prof. Dr. Wahyono Darmabrata, S.H, M.H, Prospek Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Indonesa menyongsong globalisasi Informasi, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 2004. Cahyana Ahmadjayadi, Peran Teknologi Informasi dalam penyebarluasan Informasi Hukum di Indonesia, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 2004. Tim Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika Indonesia,Penerapan SIMDK dan Telematika Bidang Hukum, Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman dan HAM, 2004. Teknologi Informasi Pilar Bangsa Indonesia Bangkit, Kominfo 2003.

Page 138: 30bidang IT