Top Banner

of 32

2.BAB1&2 (2)

Oct 28, 2015

Download

Documents

bab 1 2 referat radiologi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

7

BAB 1. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, stroke merupakan penyebab kematian utama di rumah sakit dan penyebab utama kecacatan pada kelompok usia dewasa. Penyakit stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu dan penyebab kematian nomor tiga di Indonesia, sesudah penyakit jantung dan kanker. Karena itu sangat penting untuk mengenal secara dini gejala dan faktor penyebab terjadinya stroke. Secara garis besar, National Stroke Association (NSA) USA membagi stroke menjadi stroke iskemik dan stroke perdarahan. (Ova dan Suharyo, 2008; Thaib, 2008).Stroke merupakan suatu masalah kesehatan yang besar dalam kehidupan modern saat ini. Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke. Sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal dan sisanya cacat ringan maupun berat. Jumlah penderita stroke cenderung meningkat setiap tahun. Bukan hanya menyerang penduduk usia tua tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. Insiden stroke di berbagai negara berbeda - beda. Di negara maju diperkirakan 200/100.000 per tahun untuk segala usia, 5/1000 pada usia 40 tahun dan meningkat menjadi 10/1000 pada usia 70 tahun. Angka kematian stroke cukup tinggi, terutama stroke hemoragik. Di Amerika Serikat setiap tahunnya tercatat sebanyak 297.000 penderita dirawat di rumah sakit karena stroke dan kira - kira 45 % meninggal dunia, 25 % mengalami cacat dan perlu terapi, sedangkan 30 % sisanya mendapatkan kesembuhan dengan fungsi kehidupan sehari - hari yang normal. Di Indonesia angka kejadian stroke menurut data dasar rumah sakit yaitu 63,52 per 100.000 penduduk pada kelompok usia diatas 65 tahun. Secara kasar, tiap hari 2 orang Indonesia terkena serangan stroke. Di perkirakan bahwa hampir setengah

juta penduduk berisiko tinggi terserang stroke, sedangkan jumlah yang meninggal mencapai 125.000 jiwa (Ova dan Suharyo, 2008). Faktor risiko penyakit stroke adalah usia, jenis kelamin, keturunan, ras, hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus, merokok, aterosklerosis , penyakit jantung, obesitas, konsumsi alkohol, stress, kondisi sosial ekonomi yang mendukung, diet yang tidak baik, aktifitas fisik yang kurang, penggunaan obat anti hamil. Dari beberapa faktor risiko penyakit stroke yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah hipertensi, kadar lipid dan merokok (Ova dan Suharyo, 2008).Mengingat tingginya angka kejadian stroke tersebut maka diperlukan diagnosis stroke seawal mungkin untuk menentukan terapi yang sesuai, sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kematian yang disebabkan stroke. Sebelum menentukan terapi kita perlu mengetahui dahulu penyebab antara kedua jenis stroke yaitu stroke hemoragik dan non hemoragik (iskemik).Menurut Wiryanto (2004), stroke hemoragik terjadi bila salah satu pembuluh darah di otak bocor atau pecah. Darah yang keluar dari pembuluh darah yang bocor itu kemudian mengenai jaringan otak sekitarnya, sehingga menimbulkan kerusakan. Selain itu, sel-sel otak pada bagian lain dari bocoran atau pecahan itu juga akan mengalami kekurangan darah dan kerusakan. Sedangkan pada stroke iskemik, sekitar 80 persen stroke disebabkan oleh aterosklerosis atau menumpuk dan mengerasnya lemak yang mengandung kolesterol (plak) dalam pembuluh darah. Pertumbuhan plak membuat dinding dalam arteri menjadi kasar. Permukaan yang tidak rata tersebut dapat menimbulkan perputaran aliran darah di sekitar timbunan bagai sebuah batu besar di tengah aliran sungai deras yang bisa memicu terbentuknya gumpalan.

Karena adanya perbedaan penyebab tersebut maka timbul perbedaan dalam terapinya. Oleh karena itu, untuk membedakan antara stroke hemoragik dan iskemik saat ini telah rutin dilakukan pemeriksaan CT scan sebagai gold standard. Pada pemeriksaan CT scan akan didapatkan gambaran abnormal yang berbeda antara stroke hemoragik dan iskemik. Lesi berupa perdarahan akan didapatkan pada stroke hemoragik sedangkan lesi iskemik atau infark otak akan terlihat pada stroke iskemik (Wulandari, 2009).Namun, pada beberapa kasus bisa saja area otak tidak menunjukkan abnormalitas pada beberapa jam awal stroke. Kemungkinan dikarenakan region yang terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan menggunakan CT scan atau karena adanya bagian dari otak (brainstem atau cerebellum) yang tidak menunjukkan bayangan yang jelas pada pemeriksaan CT scan (Wulandari, 2009).Penggolongan faktor risiko stroke didasarkan pada dapat atau tidaknya resiko tersebut ditanggulangi / diubah : (a) Faktor resiko yang tak dapat diubah atau dicegah/dimodifikasi, (b) Faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan (c) Faktor resiko yang sangat dapat dimodifikasi. Pengenalan faktor faktor resiko ini penting, karena banyak pasien mempunyai faktor resiko lebih dari 1 (satu) faktor atau bahkan kadang kadang faktor resiko ini diabaikan. Setelah mengetahui maka perlu dikenal juga bagaimana cara pengatasan atau penghindaran faktor faktor resiko dan cara cara pemeriksaan faktor (Bethesda, 2006).Dari berbagai faktor risiko penyakit stroke yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, yaitu salah satu faktor yang tidak dapat diubah. Stroke diketahui lebih banyak pada laki laki dibanding perempuan. Kecuali umur 35 44 tahun dan diatas 85 tahun, lebih banyak diderita perempuan. Hal ini diperkirakan karena pemakaian obat obat kontrasepsi dan usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibanding laki laki (Bethesda, 2006). Oleh karena itu, saat ini, diduga sudah terjadi pergeseran jumlah penderita stroke yang berhubungan dengan faktor resiko jenis kelamin. Insidensi stroke dalam kaitannya dengan jenis kelamin tidak dapat dihilangkan dari peran gaya hidup tiap individu. Penelitian mengenai faktor resiko jenis kelamin, yang akan dilakukan di RSD dr. Soebandi Jember, kasus stroke berdasarkan gambaran CT scan pada tahun 2009 - 2010 jumlahnya mencapai ........ kasus. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi motivasi kita untuk lebih peduli terhadap faktor faktor yang dapat menyebabkan stroke untuk meningkatkan tindakan pencegahan terhadap penyakit stroke. 1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, dirumuskanlah beberapa masalah sebagai berikut :1.2.1 Bagaimana hubungan faktor resiko jenis kelamin terhadap angka kejadian stroke berdasarkan hasil CT Scan di RSD dr. Soebandi Jember periode tahun 2009-2010?

1.2.2 Apakah ada perbedaan signifikan jumlah penderita stroke iskemik pada jenis kelamin tertentu?1.2.3 Apakah saat ini pria tetap lebih beresiko terkena serangan stroke dari pada perempuan?1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan UmumPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran umur dan jenis kelamin pasien stroke yang menjalani pemeriksaan CT scan di RSD dr. Soebandi Jember periode 1 Januari 30 September 2011.1.3.2 Tujuan Khusus1) Mengetahui ada tidaknya perbedaan signifikan jumlah penderita stroke pada jenis kelamin tertentu.2) Mengetahui golongan usia dan jenis kelamin tertentu yang lebih beresiko saat ini.1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat teoritisa) Meninjau lebih jauh serta memberikan bukti-bukti tentang hubungan antara faktor resiko jenis kelamin dan kejadian stroke berdasarkan gambaran CT scan.

b) Sebagai sumber pemikiran dan acuan untuk penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktisa) Memberi pengetahuan kepada pembaca dan masyarakat luas terutama penderita stroke tentang hubungan antara faktor resiko jenis kelamin dan kejadian stroke berdasarkan gambaran CT scan.b) Meningkatkan kesadaran bagi pasien pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang memiliki resiko tinggi terkena stroke untuk lebih peduli terhadap kesehatannya serta segera melakukan pemeriksaan CT scan secepatnya bila ditemukan gejala klinis stroke.c) Memberi informasi yang diharapkan dapat berguna dalam mendiagnosis pasien stroke pada umumnya.BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

1.5 Stroke1.5.1 Definisi

Definisi stroke menurut WHO Task Force in Stroke and other Cerebrovascular Disease (1989) adalah suatu gangguan disfungsi neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah, dan terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau setidak-tidaknya secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala-gejala dan tanda-tanda yang sesuai dengan daerah fokal otak yang terganggu (WHO, 1989). Sedang definisi stroke menurut WHO Monica Project adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global) yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakir dengan kematian, tanpa ditemukannya penyebab selain dari pada gangguan vascular (Ritarwan, 2003).Menurut Wulandari (2009), stroke atau serangan otak (brain attack) adalah defisit neurologis yang mendadak dari susunan saraf pusat yang disebabkan oleh peristiwa iskemik atau hemoragik. Stroke digunakan untuk menamakan sindrom hemiparesis atau hemiparalisis akibat lesi vaskuler yang bisa bangkit dalam beberapa detik sampai hari, tergantung pada jenis penyakit yang menjadi kausanya. Daerah otak yang tidak berfungsi lagi, bisa disebabkan karena secara tiba-tiba tidak menerima jatah darah lagi karena arteri yang memperdarahi daerah itu putus atau tersumbat. Penyumbatan itu bisa terjadi secara mendadak, secara berangsur-angsur ataupun tiba tiba namun berlangsung hanya sementara (Mahar & Priguna, 1997).1.5.2 EpidemiologiUsia merupakan faktor resiko yang paling penting bagi semua jenis stroke. Insiden stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambahnya usia. Di Oxfordshire, selama tahun 1981 1986, tingkat insiden (kasus baru per tahun) stroke pada kelompok usia 45-54 tahun ialah 57 kasus per 100.000 penduduk dibanding 1987 kasus per 100.000 penduduk pada kelompok usia 85 tahun keatas (Lumbantobing, 2001). Sedangkan di Aucland, Seland ia Baru, insiden stroke pada kelompok usia 55 64 tahun ialah 20 per 10.000 penduduk dan di Soderhamn, Swedia, insiden stroke pada kelompok usia yang sama 32 per 10.000 penduduk. Pada kelompok usia diatas 85 tahun dijumpai insiden stroke dari 184 per 10.000 di Rochester, Minnesota, dan 397 per 10.000 penduduk di Soderhamn, Swedia (Witarwan, 2003).

Berdasarkan jenis kelamin, insidens stroke di Amerika Serikat 270 per 100.000 pada pria dan 201 per 100.000 pada wanita. Di Denmark, insidens stroke 270 per 100.000 pada pria dan 189 per 100.000 pada wanita. Di Inggris insidens stroke 174 per 100.000 pada pria dan 233 per 100.000 pada wanita. Di Swedia, insidens stroke 221 per 100.000 pada pria dan 196 per 100.000 pada wanita (Fieschi, dalam Ritarwan, 2003).

Data di Indonesia menunjukkan terjadinya kecendrungan peningkatan insidens stroke. Di Yogyakarta, dari hasil penelitian morbiditas di 5 rumah sakit dari 1 Januari 1991 sampai dengan 31 Desember 1991 dilaporkan sebagai berikut : (1) angka insidensi stroke adalah 84,68 per 10.000 penduduk, (2) angka insidensi stroke wantia adalah 62,10 per 100.000 penduduk, sedangkan laki-laki 110,25 per 100.000 penduduk, (3) angka insidensi kelompok umur 30 50 tahun adalah 27,36 per 100.000 penduduk, kelompok umur 51 70 tahun adalah 142,37 per 100.000 penduduk; kelompok umur > 70 tahun adalah 182,09 per 100.000 penduduk, (4) proporsi stroke menurut jenis patologis adalah 74% stroke infark, 24% stroke perdarahan intraserebral, dan 2% stroke perdarahan subarakhnoid (Lamsudin, 1998). Sedangkan pada penelitian di 28 rumah sakit di seluruh Indonesia diperoleh data jumlah penderita stroke akut sebanyak 2065 kasus selama periode awal Oktober 1996 sampai dengan akhir Maret 1997, mengenai usia sebagai berikut : dibawah 45 tahun 12,9% , usia 45 65 tahun 50,5%, diatas 65 tahun 35,8%, dengan jumlah pasien laki-laki 53,8% dan pasien perempuan 46,2% (Misbach,1999). Di Amerika Serikat, perbandingan stroke antara pria dan wanita yakni 1,2 : 1 serta perbandingan stroke antara kulit hitam dan kulit putih yakni 1,8 : 1 (Ritarwan, 2003).).

Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, stroke menempati urutan pertama (52,5%) dari semua penderita yang masuk rumah sakit di Bagian Ilmu Penyakit Saraf, dan angka kematiannya 18,4% untuk stroke trombotik, serta 56,4% untuk perdarahan intraserebral (Widjaja, 1999). Sedangkan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, proporsi mortalitas stroke yang tertinggi adalah stroke perdarahan intra-serebral. Mortalitas untuk stroke jenis ini sebesar 51,2% dari seluruh penderita stroke jenis ini. Kemudian disusul oleh stroke perdarahan subarakhnoidal (46,7%) dan stroke iskemik akut atau infark (20,4%) dari jumlah masing- masing jenis stroke tersebut (Lamsudin, 1998).1.5.3 KlasifikasiMenurut WHO, ada 3 tipe utama stroke. Masing-masing tipe berbeda dalam kemampuan bertahan hidup dan tingkat kecacatan jangka panjang.

1) Stroke Iskemik

Stroke iskemik disebabkan oklusi arteri serebri.

a. Trombus dapat disebabkan secara langsung pada tempat tersebut (stroke iskemik trombotik). Gejala utama timbulnya defisit neurologik secara mendadak/subakut, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tak menurun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Pada pungsi lumbal, Liquor Cerebro Spinalis (LCS) jernih, tekanan normal, dan eritrosit kurang dari 500. Pemeriksaan CT Scan dapat dilihat adanya daerah hipodens yang menunjukkan infark/iskemik dan edema (WHO, 2006).b. Embolus dari sirkulasi yang mengikuti aliran darah sehingga menyebabkan obstruksi arteri serebri (stroke iskemik embolik). Stroke ini terjadi pada usia lebih muda, mendadak dan pada waktu aktif. Sumber emboli berasal dari berbagai tempat yakni kelainan jantung atau ateroma yang terlepas. Kesadaran dapat menurun bila embolus cukup besar. Pemeriksaan LCS normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan neuroimaging (WHO, 2006).2) Stroke Hemoragik Intraserebral

Merupakan perdarahan arteri yang menuju parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Diagnosis ditegakkan berdasarkan neuroimaging (WHO, 2006).

3) Stroke Hemoragik Subarachnoid

Merupakan perdarahan arteri di subarachnoid. Gejala khas yang muncul adalah sakit kepala hebat, onset mendadak dan biasanya disertai penurunan kesadaran. Diagnosis ditegakkan berdasarkan neuroimaging atau lumbal pungsi (WHO, 2006).

Menurut peristiwa terjadinya, stroke dibagi 4 tipe :

a. Serangan Pertama

Terjadi pada orang yang belum pernah terkena stroke sebelumnya. Transient Ischemic Attack (TIA) bukan merupakan serangan stroke karena gejala klinisnya berlangsung kurang dari 24 jam (WHO, 2006).

b. Serangan Berulang

Terjadinya defisit neurologi fokal mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam, dan terjadi setiap saat setelah 1 minggu dari serangan stroke sebelumnya dan gambaran infark akut pada CT scan (Shin et al., 2005).

c. Non Fatal

Kasus stroke yang mampu bertahan hidup paling sedikit 28 hari setelah gejala stroke terjadi (WHO, 2006).

d. Fatal

Pasien meninggal dalam 28 hari setelah terjadinya stroke (WHO, 2006).Berdasarkan etiologinya, stroke terbagi menjadi 2 macam, yaitu stroke hemoragik atau stroke perdarahan dan stroke iskemik atau stroke non hemoragik.

1) Stroke Hemoragik

Stroke perdarahan atau hemoragik terjadi bila salah satu pembuluh darah di otak bocor atau pecah. Darah yang keluar dari pembuluh yang bocor itu kemudian mengenai jaringan otak sekitarnya, sehingga menimbulkan kerusakan. Selain itu, sel-sel otak pada bagian lain dari bocoran atau pecahan itu juga akan mengalami kekurangan darah dan kerusakan (Wiryanto, 2004).

Stroke hemoragik dibagi atas :a) Perdarahan Subaraknoid (PSA)

PSA adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Sumber dari perdarahan adalah pecahnya dinding pembuluh darah yang lemah (apakah suatu malformasi arteriovenosa ataupun suatu aneurisma) secara tiba-tiba. Kadang aterosklerosis atau infeksi menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah sehingga pembuluh darah pecah (Wulandari, 2009).

b) Perdarahan Intraserebral (PIS)

PIS disebabkan oleh adanya perdarahan ke dalam jaringan otak. PIS merupakan jenis stroke yang paling berbahaya. Stroke biasanya luas, terutama pada penderita tekanan darah tinggi menahun. Lebih dari separuh penderita yang memiliki perdarahan yang luas, meninggal dalam beberapa hari (Wulandari, 2009).2) Stroke Non Hemoragik (Iskemik)

Pada stroke iskemik, terjadi kekurangan suplai darah ke suatu area di jaringan otak. Iskemia adalah keadaan dimana vaskularisasi ke suatu organ atau jaringan menjadi berkurang atau tidak ada. Keadaan ini bisa disebabkan karena bekuan darah, plak aterosklerosis, atau vasokontriksi. Sedangkan infark adalah kematian suatu daerah atau jaringan sebagai akibat iskemia (Outlines, 1997).

Stroke iskemik dibagi menjadi :

a) TIA (Transient Ischemic Attack)

TIA adalah manifestasi vasospasmus regional yang berlangsung sementara atau sepintas. Terjadi akibat penyumbatan salah satu aliran darah karena vasospasmus, langsung menimbulkan gejala defisit atau perangsangan, sesuai dengan fungsi daerah otak yang terkena. Setelah vasospasmus itu hilang, gejala-gejala itu akan hilang juga dan keadaan sehat seperti semula pulih kembali (Mahar & Priguna, 1997). Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam (Wulandari, 2009).b) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Defisit)

Gangguan neurologis yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak, akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu (Wulandari, 2009).c) Stroke Progresif (Progresif Stroke/Stroke in Evolution)

Pada stroke in evolution, gejala neurologik yang terjadi makin lama makin berat (Wulandari, 2009). Perkembangan penyakit biasanya (tetapi tidak selalu) diselingi dengan periode stabil, dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau terjadi beberapa perbaikan (Wulandari, 2009).d) Stroke Komplet (Complete Stroke/Permanent Stroke)

Pada stroke komplet gejala klinis yang terjadi sudah menetap (Wulandari, 2009).1.5.4 Etiologi

Penyebab utama stroke adalah oklusi vaskuler (trombosis), embolisme, hipertensi yang menimbulkan perdarahan intraserebral dan ruptur aneurisma vaskular. Pada umumnya telah ada penyakit lain yang mendahului gangguan peredaran darah otak (stroke) antara lain penyakit kardiovaskular (penyakit jantung, hipertensi), penyakit/gangguan otak lainnya (penyakit degeneratif), artritis, penyakit vaskular perifer penyakit paru-paru menahun, kanker, diabetes melitus yang tak terkendali, dan trauma kepala (Harsono, 2008).1.5.5 Vaskularisasi OtakOtak tidak mempunyai cadangan energi, sehinga kebutuhan energi otak sangat ditentukan oleh suplai energi lewat aliran darah sistemik. Suplai darah pada otak lewat sepasang arteri karotis interna dan vertebralis, yang membentuk sistem sirkulus willisi di dasar otak (Ishak, 2010).

Gambar 1. Suplai darah otak1.5.6 Patofisiologi

1.5.6.1 Patofisiologi Stroke Non Hemoragik

Stroke iskemik terjadi apabila terjadi oklusi atau penyempitan aliran darah ke otak. Otak membutuhkan oksigen dan glukosa sebagai sumber energi agar fungsinya tetap baik. Di otak sendiri hampir tidak ada cadangan oksigen, dengan demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat. Aliran darah otak atau Cerebral Blood Flow (CBF) dijaga pada kecepatan konstan antara 50-150 mmHg. Aliran darah ke otak dipengaruhi oleh faktor :

1) Keadaan pembuluh darahBila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersumbat oleh trombus/embolus maka aliran darah otak terganggu.

2) Keadaan darah

Viskositas darah yang meningkat, polisitemia menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat; anemia yang berat menyebabkan oksigenasi otak menurun.

3) Tekanan darah sistemik.

Autoregulasi serebral merupakan kemampuan intrinsik otak untuk mempertahankan aliran darah ke otak tetap konstan walaupun ada perubahan tekanan perfusi otak.

4) Adanya kelainan jantung

Kelainan berupa fibrilasi, blok jantung menyebabkan menurunnya curah jantung. Selain itu, lepasnya embolus juga menimbulkan iskemia di otak akibat oklusi lumen pembuluh darah (Harsono, 2007).

Aliran darah otak yang terganggu akan menimbulkan iskemia dan ini selanjutnya akan menyebabkan kerusakan sel otak di sekitarnya hanya dalam waktu beberapa menit. Iskemia terjadi bila CBF kurang dari 30 ml/100 g jaringan otak per menit. Bila CBF dibawah 10 ml/kg jaringan/menit akan terjadi kegagalan homeostasis. Perubahan seluler akibat iskemia, kemungkinan bukan hanya merupakan jalur tunggal (Suroto, 2004). Iskemi menyebabkan hilangnya ATP yang berperan pada paralisis transporter glutamat (neurotransmitter eksitatori) yang pada keadaan normal memindahkan glutamat dari celah sinap. Terdapatnya glutamat yang berlebihan di ekstraseluler mengakibatkan aktivasi reseptor glutamat dan peningkatan influks kalsium (Huang & McNamara, 2004). Hal ini mengakibatkan aktivasi protease, keadaan eksitotoksik dan kematian neuronal. Jejas akibat reperfusi yang terjadi dapat mengakibatkan pelepasan radikal bebas yang menyebabkan kematian neuronal lebih lanjut (Suroto,2004). Gangguan aliran darah otak akan menimbulkan perbedaan daerah jaringan otak :

a. Daerah infarkDi daerah iskemik didapati tekanan perfusi yang rendah, PO2 menurun, PCO2 meningkat, dan asam laktat tertimbun sehingga berkembanglah edema serebri regional. Infark terjadi pada daerah edema tersebut bila tidak terdapat perubahan yang dapat meningkatkan CBF regional. Neuron-neuron yang infark sudah mati dan tidak berfungsi (Sidharta, 2004).

b. Daerah penumbraDaerah di sekitar infark dimana sel masih hidup tetapi tidak berfungsi (Harsono, 2007).

c. Daerah di sekitar penumbraTerdapat edema lokal dimana neuron masih bertahan hidup tapi kemampuan fungsionalnya sangat menurun (Sidharta, 2004).

1.5.6.2 Patofisiologi Stroke HemoragikPerdarahan intraserebral biasanya timbul pada ganglia basalis, talamus, lobus serebri, batang otak dan serebelum. Kerusakan jaringan primer dan distorsi terjadi saat pembentukan hematom pada waktu darah menyebar diantara celah substansia alba. Perdarahan umumnya timbul akibat rupturnya arteri kecil oleh efek degeneratif dan hipertensi kronik. Vaskulopati pada hipertensi kronik mengenai arteri perforantes yang berdiameter 100 400 m, kemudian mengakibatkan terjadinya lipohialinosis atau nekrosis fokal. Hal ini dapat menjelaskan distribusi perdarahan hipertensif pada teritori yang mendapat suplai dari arteri lentikulostriata (ganglia basalis), arteri talamo perforantes (talamus), rami perforantes dari arteri basilaris (pons) dan arteri serebelaris anterior inferior dan anterior superior (serebelum) (Fewel, 2003).Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik. Menurut Cushing bahwa brain injury oleh karena perdarahan spontan intraserebri diakibatkan oleh tekanan lokal yang menekan mikrosirkulasi dan menyebabkan iskemia di sekeliling hematom (Misbach, 1999).Produk darah dan plasma merupakan mediator dari berbagai proses sekunder yang terjadi setelah perdarahan spontan intraserebri. Setelah perdarahan spontan intraserebri, mediator inflamasi dari darah dapat menginduksi reaksi inflamasi pada hematom dan daerah sekitarnya, dapat ditemukan neutrofil, makrofag, leukosit, dan mikroglia aktif. Pelepasan enzim sitotoksik, radikal bebas, nitrid oksida dan produk kaskade fosfolipid diduga berperan pada secondary neural injury dan kematian sel. Disebutkan pula mengenai peranan nekrosis dan apoptosis pada kematian neuron (Fewel, 2003).

Proses pembentukan edema perihematom berawal segera setelah onset PIS, umumnya dalam 3 jam, dan meningkat secara bertahap dalam sekurangnya 72 jam. Beberapa mekanisme dalam sekuens yang berperan dalam pembentukan edema antara lain: fase pertama ditandai dengan retraksi clot dan ekstrusi serum; fase kedua (dalam 2 hari pertama) terjadi aktivasi kaskade koagulasi dan produksi trombin; serta fase terakhir (3 hari setelah onset) terjadi suatu lisis sel darah merah dan kerusakan neuron yang diinduksi oleh hemoglobin. Peran sentral trombin dalam meningkatkan edema perihematom telah dilaporkan dalam sejumlah penelitian baik dalam percobaan maupun pada PIS manusia, dan didapat data adanya penurunan pembentukan edema setelah pemberian trombin inhibitor. Efek merusak dari trombin pada jaringan perihematom diperantarai oleh inflamasi, sitotoksisitas dan kerusakan sawar darah otak. Petanda molekular yang berhubungan dengan peningkatan edema perihematom meliputi peningkatan glutamat, tumor necrosis factor-, interleukin-1, dan intercellular adhesion molecule-1, tetapi hanya kadar tumor necrosis factor- yang tidak tergantung dengan volume edema perihematom. Kadar glutamat serum yang tinggi berhubungan dengan outcome neurologis yang buruk setelah PIS (Juvela, 2006).Pemecahan hematom meliputi invasi makrofag, progresi edema sekitar, pembentukan microvessel pada tepi klot dan kadangkala gliosis. Hasil akhir adalah jaringan parut yang ditandai dengan hemosiderin atau kavitas yang mengandung darah lama yang dikelilingi jaringan ikat (Fewel, 2003). Gejala neurologis yang timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak sehingga menyebabkan nekrosis. Pada saat awal mungkin darah hanya akan mendesak jaringan otak tanpa merusaknya, karena saat itu difusi darah ke jaringan belum terjadi. Perdarahan intraserebral dan edema bisa mengganggu dan menekan jaringan otak sekitarnya, mengakibatkan gangguan neurologis. Absorpsi dapat terjadi dalam waktu 3-4 minggu (Misbach, 1999).Proses kematian sel otak akibat iskemia melalui 2 proses yaitu nekrosis dan apoptosis. Kematian akibat nekrosis ditandai dengan adanya edema sitoplasma dan pembengkakan sel, kerusakan sitoskeleton dan ruptur membran sel dan organela. Tanda-tanda inflamasi nyata didapatkan pada nekrosis sel. Kematian sel pada proses apoptosis bersifat aktif dan didapatkan ekspresi protein baru. Energi sel normal sampai tahap final kematian sel, penurunan energi sel terjadi lambat akibat sekunder dari apoptosis. Aktifasi endonuklease menyebabkan pemecahan ikatan ganda DNA, terbentuk fragmentasi DNA, dan kondensasi kromatin. Sel menjadi mengkerut dan terbentuk tonjolan-tonjolan membran. Tonjolan membran bertambah besar dan terpisah dari sel membentuk apoptotic bodies, yang kemudian mengalami lisis dan mengalami proses fagositosis. Proses apoptosis ini terjadi dalam beberapa hari. Pada apoptosis tidak didapatkan inflamasi atau hanya terdapat inflamasi ringan (Graham, 2002; Smith, 2004). 1.5.7 Gejala dan Manifestasi Klinis

Gejala neurologis stroke yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Manifestasi klinis stroke dapat berupa :

1) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul mendadak.

2) Gangguan sensibilitas pada satu atua lebih anggota badan (gangguan hemisensorik).

3) Perubahan mendadak status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma).

4) Afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan, atau kesulitan memahami ucapan).

5) Disartria (bicara pelo atau cadel).

6) Gangguan penglihatan (hemianopsia atau monokuler) atau diplopia.

7) Ataksia (trunkal atau anggota badan), vertigo, mual dan muntah, atau nyeri kepala (Mansjoer et al., 2000).Tabel 1. Perbedaan stroke iskemik dan hemoragik secara klinisGEJALAHEMORAGIKISKEMIK

Onset sangat akut subakut/akut

Saat terjadinya waktu aktif tidak aktif

Nyeri kepala hebat ringan/tak ada

Muntah pada awal sering tak ada

Kaku kuduk jarang/biasa ada tak ada

Kejang bisa ada tak ada

Kesadaran biasa hilang dapat hilang

1.5.8 Diagnosis1) Penemuan Klinisa. Anamnesis : terjadinya keluhan/gejala defisit neurologis mendadak tanpa trauma kepala, adanya faktor resiko stroke.b. Pemeriksaan Fisik : adanya defisit neurologis fokal dan ditemukannya faktor resiko stroke.

2) Pemeriksaan Tambahan/Laboratorium

a. CT scan /MRI : memperkuat diagnosis, menentukan jenis patologi, lokasi lesi, ukuran lesi dan menyingkirkan lesi non vaskuler.

b. Angiografi serebral : untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pembuluh darah yang terganggu.c. Pemeriksaan LCS : membantu membedakan infark dan perdarahan otak (perdarahan intraserebral maupun subaraknoidal).

3) Pemeriksaan Lain-lain

a. Darah rutin (Hb, Hct, leukosit, eritrosit, LED), hitung jenis.

b. Komponen kimia darah, gas, elektrolit.

c. Doppler, EKG, ECG (Harsono, 2008).Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan klinis anamnesis dan pemeriksaan fisis neurologis. Namun, cara yang akurat untuk membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik adalah dengan bantuan CT scan dan pungsi lumbal. CT scan merupakan gold standard untuk membedakan stroke infark dan perdarahan. Menurut suatu penyelidikan pada zaman pra-CT scan, ketepatan diagnosis klinis mengenai stroke hemoragik ternyata hanya berlaku untuk 65% saja. Sedangkan ketepatan diagnosis klinis mengenai stroke non hemoragik, dapat dikonfirmasi hanya 57%. Setelah CT scan digunakan secara rutin dalam kasus-kasus stroke diketahui bahwa 19% adalah stroke hemoragik dan 81% adalah stroke non hemoragik. Kini CT scan mengungkap banyak fakta, sehingga pegangan klinis perlu ditinjau kembali. Terdapat alat yang lebih sensitif dari CT scan dalam mendeteksi infark serebri dini dan infark batang otak, alat tersebut adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Mahar & Priguna, 1997).

1.5.9 Penatalaksanaan

1.6 Faktor Risiko StrokePenggolongan faktor risiko stroke didasarkan pada dapat atau tidaknya resiko tersebut ditanggulangi / diubah : (a) Faktor resiko yang tak dapat diubah atau dicegah/dimodifikasi, (b) Faktor resiko yang dapat dimodifikasi, (c) Faktor resiko yang sangat dapat dimodifikasi . Pengenalan faktorfaktor resiko ini penting, karena banyak pasien mempunyai faktor resiko lebih dari 1 (satu) faktor atau bahkan kadangkadang faktor resiko ini diabaikan. I. Faktor resiko yang tak dapat diubah a. Umur

Kemunduran sistem pembuluh darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia hingga makin bertambah usia makin tinggi kemungkinan mendapat stroke. Dalam statistik faktor ini menjadi 2 x lipat setelah usia 55 tahun.

b. JenisStroke diketahui lebih banyak laki-laki dibanding perempuan. Kecuali umur 35 44 tahun dan diatas 85 tahun, lebih banyak diderita perempuan. Hal ini diperkirakan karena pemakaian obat-obat kontrasepsi dan usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibanding laki laki.

c. Berat Lahir Yang Rendah

Statistik di Inggris memungkinkan orang dengan berat bayi lahir rendah menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi dibanding orang yang lahir dengan berat normal. Namun apa hubungan antara keduanya belum diketahui secara pasti.

d. Ras

Penduduk Afrika Amerika dan Hispanic Amerika berpotensi stroke lebih tinggi dibanding Eropa Amerika. Pada penelitian penyakit artherosklerosis terlihat bahwa penduduk kulit hitam mendapat serangan stroke 38 % lebih tinggi dibanding kulit putih.

e. Faktor Keturunan

Adanya riwayat stroke pada orang tua menaikkan faktor resiko stroke. Hal ini diperkirakan melalui beberapa mekanisme antara lain :

Faktor genetik

Faktor life style

Penyakitpenyakit yang ditemukan

Interaksi antara yang tersebut diatas

f. Kelainan Pembuluh Darah Bawaan : sering tak diketahui sebelum terjadi stroke

II. Faktor Resiko Yang Dapat Diubah

Banyak data menunjukkan bahwa penderita stroke yang pertama kali menunjukkan bahwa penderita stroke yang pertama kali menunjukkan angka penurunan terjadinya stroke setelah penanggulangan faktor resikonya, terutama pengatasan faktor resiko artherosklerosis.

a. Hypertensi/tekanan darah tinggi

Makin tinggi tensi darah makin tinggi kemungkinan terjadinya stroke, baik perdarahan maupun bukan. b. Merokok

Penelitian menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor resiko terjadinya stroke, terutama dalam kombinasi dengan faktor resiko yang lain misal pada kombinasi merokok dan pemakaian obat kontrasepsi . Hal ini juga ditunjukkan pada perokok pasif. Merokok meningkatkan terjadinya thombus, karena terjadinya artherosklerosis. c. Diabetes

Penderita diabetes cenderung menderita artherosklerosis dan meningkat kan terjadinya hypertensi, kegemukan dan kenaikan lemak darah. Kombinasi hypertensi dan diabetes sangat menaikkan komplikasi diabetes termasuk stroke. Pengendalian diabetes sangat menurunkan terjadinya stroke.d. Penyakit Jantung/Atrial FibrilationPenderita penyakit katub jantung dengan atau tanpa atrium fibrilasi membutuhkan obat pengencer darah. Atrium fibrilasi apapun penyebabnya dapat menyebabkan terjadinya emboli/jendalan darah yang memicu terjadinya suatu stroke.e. Kenaikan kadar cholesterol/lemak darah

Penelitian menunjukkan angka stroke meningkat pada pasien dengan kadar cholesterol diatas 240 mg %. Setiap kenaikan 38,7 mg % menaikkan angka stroke 25 %. Sedangkan kenaikan HDL 1 m mol (38,7 mg %) menurunkan terjadinya stroke setinggi 47 %. Demikian juga kenaikan trigliserid menaikkan jumlah terjadinya stroke. Pemberian obatobat anti cholesterol jenis statin sangat menurunkan terjadinya stroke.

f. Penyempitan Pembuluh darah Carotis

Pembuluh darah carotis berasal dari pembuluh darah jantung yang menuju ke otak dan dapat diraba pada leher. Penyempitan pembuluh darah ini kadangkadang tak menimbulkan gejala dan hanya diketahui dengan pemeriksaan. Penyempitan > 50 % ditemukan pada 7 % pasien lakilaki dan 5 % pada perempuan pada umur diatas 65 tahun. Pemberian obatobat aspirin dapat mengurangi incidence terjadinya stroke, namun pada beberapa pasien dianjurkan dikerjakan carotid endarterectomy.

g. Gejala Sickle Cel

Penyakit ini diturunkan, kadangkadang tanpa gejala apapun. Beberapa menunjukkan gejala anemia hemolytic dengan episode nyeri pada aanggota badan, penyumbatanpenyumbatan pembuluh darah termasuk stroke.

h. Penggunaan terapi sulih hormon.

Penggunaan terapi sulih hormon dianjurkan untuk mencegah terjadinya stroke dan penyakit jantung vaskuler, namun pada beberapa penelitian pada pemakaian 6 bulan berturutturut meningkatkan terjadinya stroke pada pemakaian restradol. Pemakaian sulih hormon untuk mencegah stroke tidak dianjurkan.

i. Diet dan Nutrisi

Asupan makanan yang mengandung banyak sayur dan buah mengurangi terjadinya stroke. Pemakaian garam dapur berlebihan meningkatkan terjadianya stroke. Mungkin ini dikaitkan dengan terjadinya kenaikan tensi. j. Latihan fisik

Kegiatan fisik yang teratur dapat mengurangi terjadinya stroke ( 30 menit gerakan moderate tiap hari).

k. Kegemukan

BMI (Body Mass Index) yaitu BB (kg) = TB (m) > 25 29,9 dikategorikan berat berlebih (over weight). Sedang > 30 dikategorikan obesitas

Central Obesitas/Gemuk perut = Dihitung jika lingkar perut > 102 cm pad alakilaki dan > 88 cm pada perempuan. Kegemukan meningkatkan terjadnya stroke, baik jenis penyumbatan ataupun perdarahan. Penurunan berat badan akan menurunkan juga tekanan darah III. Faktor Resiko Yang Sangat Dapat Diubah

a. Metabolik Sindrom

Dikatakan metabolik sindrom jika terdapat 3 atau lebih gejalagejala sebagai berikut:

Gemuk perut

Trigliceride > 150 mg %

HDL < 40 mg %

Tensi 130 / 85 mm Hg

Gula puasa 110 mg %

Perubahan gaya hidup, pola makan, penurunan BB dan diet seimbang akan menurunkan terjadinya stroke. b. Pemakaian alkohol berlebihan

Pemakaian alkohol berlebihan memicu terjadinya stroke. Pemakaian jumlah sedikit dapat menaikkan HDL cholesterol dan mengurangi perlengketan trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen. Alkohol berlebihan akan menyebabkan peningkatan tensi darah, darah gampang menjendal, penurunan aliran darah dan juga atrium fibrilasi.

c. Drug Abuse/narkoba

Pemakaian obat obat terlarang seperti cocain, auphetamine, heroin dsb meningkatkan terjadinya stroke. Obat obat ini dapat mempengaruhi tensi darah secara tiba tiba, menyebabkan terjadinya emboli, karena adanya endocarditis dan menaikkan kekentalan darah dan perlengketan thrombosit.

d. Pemakaian obat obat kontrasepsi (OC)

Resiko stroke meningkat jika memakai OC dengan dosis obstradial 50 ug. Umumnya resiko stroke terjadi jika pemakaian ini dikombinasi dengan adanya usia > 35 tahun, perokok, hipertensi, diabetes dan migrain.

e. Gangguan Pola Tidur

Penelitian membuktikan bahwa tidur ngorok meningkatkan terjadinya stroke. Pola tidur ngorok sering disertai apneu (henti nafas) tidak hanya berpotensi menyebabkan stroke tapi juga gangguan jantung. Hal ini disebabkan penurunan aliran darah ke otak, kenaikan tensi dan sebagainya. Pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan yang cermat dengan mencari penyebabnya.

f. Kenaikan homocystein

Homocystein adalah sulpenydril yang mengandung asam amino dan diet yang mengandung methirin. Kenaikan homocystein meningkatkan artheriosclerosis. Diet kaya sayur dan buah akan menurunkan homocystein.

g. Kenaikan lipoprotein (a)

Lipid protein komplex yang meningkat merupakan resiko terjadinya penyakit jantung dan stroke. Lp (a) merupakan partikel dari LDL dan peningkatannya akan meningkatkan terjadinya thrombosis dengan mekanisme menghambat plasminogen aktivator. Pengobatan dengan niacin akan menurunkan lp (a).h. Hypercoagubility

Ada kecenderungan darah mudah menggumpal di karenakan adanya autiphospolipid antibody. Test dapat dikerjakan dengan pemeriksaan anti crdiolipin antibody dan anticoagulant lypus.

i. Peradangan

Infeksi dan peradangan pembuluh darah antara lain TBC, syphilis, AIDS, Cacing dapat memicu terjadinya stroke. Kebersihan dan pola hidup sehat diperlukan unuk mencegahnya (Bethesda, 2006).1.7 CT Scan 1.7.1 DefinisiCT scan berarti Computed Tomography Scan. Pemeriksaan khusus ini mutakhir, tidak menyakiti, tidak berbahaya, dapat cepat dikerjakan dan banyak memberikan informasi yang dapat diandalkan. CT scan diperkenalkan pada dunia kedokteran oleh EMI Limited London di tahun 1972 pada kongres British Institute of Radiology (Mahar & Priguna, 1997).

CT scan merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan untuk mengevaluasi stroke, terutama pada fase akut di ruang UGD. CT scan dapat menunjukkan ; jaringan lunak, tulang, otak dan pembuluh darah. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan area otak yang abnormal, dan dapat menentukan penyebab stroke , apakah karena insufisiensi aliran darah (stroke iskemik), rupture pembuluh darah (hemoragik) atau penyebab lainnya. CT scan juga dapat memperlihatkan ukuran dan lokasi otak yang abnormal akibat tumor, kelainan pembuluh darah, pembekuan darah, dan masalah lainnya (Anonim, 2006).1.7.2 Perkembangan CT Scan

Kuncahyo (2003) membagi CT scan menjadi beberapa generasi berdasarkan perkembangannya, yaitu :

1) CT scan generasi Ia. Kantong air dengan detektor tunggal.

b. X-ray tipis dan berputar 180 derajat.

c. Memakan waktu 4,5 menit, sangat lambat.

d. Orang diam sedangkan kepala masuk ke suatu alat, kepala dikelilingi kantong air, dalam alat ada detektor dan X-ray yang berputar membentuk irisan tipis, hasil gambar kurang bagus.2) CT scan generasi IIa. Memakai zat/bolus material yang densitasnya hampir sama dengan densitas isi kepala.

b. Penyinaran dilakukan secara narrow fan like radiation, menggunakan sinar dengan berkas tipis dan sempit (narrow fan beam).

c. Rotasi 180 derajat dengan 8-30 buah detektor.

d. Gambar lebih bagus dan memakan waktu 20 detik sampai 3,5 menit.3) CT scan generasi IIIa. Sinar x dan detektor berputar 360 derajat (sehingga irisan yang terjadi menjadi lebih banyak).

b. Sinar berberkas tipis tetapi lebih lebar dari generasi I.

c. Prosesnya 5-10 detik, dengan detektor yang lebih banyak, yaitu 128-576 detektor.

d. Bisa untuk whole body foto thoraks.4) CT scan generasi IVa. Penyinaran menggunakan stationary-rotary system.b. Detektor tidak berputar, tabung sinar x berputar 360 derajat.

c. Prosesnya 2-10 detik (proses makin cepat maka artefak yang terjadi juga semakin sedikit).

d. Dapat untuk memeriksa seluruh tubuh.

e. Orang harus dibuat tidak gelisah untuk menekan terjadinya artefak sehingga dapat diberi obat penenang/anastesi.

1.7.3 Teknik Pemeriksaan

I Goesti (1991) membagi teknik pemeriksaan CT scan dalam 2 fase :

1) Pengumpulan data

Pembacaan sinar x yang ditangkap kembali oleh suatu detektor radiasi. Untuk pengumpulan data ini dipergunakan suatu sistem sumber sinar x-detektor dengan berkas sinar roentgen berbentuk kipas yang tipis.

2) Pemrosesan dataYang diproses adalah pembacaan detektor tadi sehingga akhirnya akan diperoleh nilai-nilai absorbsi (attenuasi) sinar roentgen bagi masing-masing volume element (voxel) jaringan. Nilai-nilai ini kemudian dapat dijabarkan pada masing-masing picture element (pixel). Hasil yang diperoleh adalah suatu digital printout dari nilai attenuasi dari masing-masing picture element. Printout ini memberikan gambaran yang cukup akurat tentang keadaan otak dalam potongan horizontal. Pemrosesan data ini dilakukan oleh suatu komputer. Gambaran rekonstruksi hasil komputer pada suatu sken dapat diperlihatkan pada satu layar tabung sinar katoda yang dilengkapi dengan fasilitas reproduksi gambar.

Nilai absorbsi (atenuasi) yang didapat dari pembacaan detektor tadi dinyatakan dalam skala yang ditetapkan atas dasar satuan Hounsfield (Housfiled Unit) dengan rumus sebagai berikut :HU = (u jaringan u air)

u airKeterangan : K = konstanta pembesaran

u = koefisien atenuasi linear

Sedangkan, nilai HU dari berbagai jaringan dalam Eka Hounsfield adalah sebagai berikut :

a) Tulang/kalsium : +80 - +1000b) Darah yang membeku : +40 - +95c) Substansi Grisea : +36 - +46d) Substansi Alba : +22 - +32e) Likuor : 0 - +8f) Air : 0g) Lemak : -20 - -100h) Udara : -1000

Satuan lain yang sering digunakan adalah Eka EMI, dimana 1 EMI unit = 2 Hounsfield units. Menurut Eka EMI densitas untuk tulang yang keras adalah +500, untuk air 0, dan untuk udara -500. Namun untuk praktisnya skala +500 sampai -500 lantas diperpendek menjadi +50 sampai -50 (I Goesti, 1991). Karena perbedaan nilai atenuasi tersebut, maka penembusan sinar rontgen dalam tubuh akan menghasilkan berbagai variasi densitas pada film. Untuk satuan EMI, jaringan dengan densitas yang melebihi +50 akan tampak putih (hiperdens) dan yang kurang dari -50 akan tampak hitam (hipodens). Tulang menyerap lebih banyak sinar-X, sehingga tulang akan menunjukkan warna putih pada bayangan yang ditampilkan. Air (dalam ventrikel cerebral, cairan dalam ruang tengah otak) menyerap sedikit dan menunjukkan warna hitam. Otak agak padat dan menunjukkan warna abu-abu. Pada stroke iskemik akan menunjukkan warna lebih gelap dibandingkan dengan otak normal sedangkan pada hemoragik lebih padat dan kelihatan berwarna putih pada CT scan (Anonim, 2006).

Adakalanya suatu daerah yang abnormal tidak terlihat pada gambaran CT scan polos, oleh karena itu untuk meningkatkan densitas daerah yang abnormal tersebut dapat dilakukan dengan penyuntikan zat kontras seperti Urografin atau Telebrix, secara intravena. Zat kontras itu akan melampaui blood-brain-barrier dan berkumpul di sekitar jaringan yang biasanya telah mengalami kerusakan atau di daerah yang abnormal, sehingga densitas jaringan pada daerah abnormal tersebut akan meningkat. Pada CT scan, daerah yang abnormal itu tampak dengan jelas karena berwarna putih di dalam jaringan otak yang berwarna kelabu. Keadaan yang demikian dinamakan enhancement. Enhancement dilakukan bila ada ersangkaan adanya kelainan pada CT scan polos.

I Goesti (1991) menyebutkan beberapa indikasi pemakaian zat kontras, antara lain :

a) Persangkaan klinis lesi parasellar.

b) Persangkaan tumor fossa kranii posterior atau tumor sudut serebelopontin.

c) Persangkaan klinis metastasis dari keganasan yang diketahui.

d) Persangkaan klinis tanda-tanda tekanan intrakranial yang meninggi dengan CT scan yang menunjukkan kelainan sistem ventrikel.

e) Persangkaan oklusi vaskuler serebral dan infark serebri.

f) Persangkaan aneurisma.

g) Kelainan ukuran, bentuk atau letak sistem ventrikel pada CT scan polos (tanpa kontras) yang menyebabkan kecurigaan proses desak ruang.

h) Untuk follow up kelainan intrakranial, misalnya pasca bedah, radioterapi atau kemoterapi

1.7.4 Gambaran CT Scan Stroke Non HemoragikMenurut Mahar & Priguna (1997), proses-proses yang menimbulkan kelainan dalam otak yang dapat dilihat dalam CT scan antara lain :

1) Tumor intrakranial

2) Edema serebri

3) Lesi kontusio serebri

4) Infark serebri

5) Perdarahan serebral/intrakranial

6) Lesi demielinisasi

7) Hidrosefalus internus dan eksternus

Kelainan berupa perdarahan serebral/intrakranial dapat ditemukan pada stroke hemoragik, sedangkan pada stroke non hemoragik dapat ditemukan kelainan berupa gambaran infark serebri. Pada perdarahan memperlihatkan kepadatan yang tinggi, sedangkan infark tampak dengan kepadatan yang rendah. Infark segar yang baru terjadi biasanya tidak dapat dikenal pada CT scan. Setelah infark itu berusia 3-4 hari, lesi dapat dijumpai sebagai bercak yang hipodens, biasanya ditemukan di daerah perdarahan arteri serebri anterior, media atau posterior, bentuknya seperti baji. Edema yang menyertai infark serebri tampak dalam 3 minggu setelah infark terjadi, baik di substansi alba maupun di substansi grisea (Mahar & Priguna, 1997).

Secara histopatologis terdapat 3 fase infark serebri, yaitu :

1) Pada awalnya terjadi perlunakan disertai edema intra seluler dan ekstra seluler.

2) Perlunakan lebih lanjut mulai tampak pada hari kedua, disertai disintegrasi selubung medulla dan kariolisis sel-sel makroglia serta terjadi phagositosis selubung medulla secara progresif oleh sel-sel limfosit granuler (mikrogliosit dan histiosit).

3) Terbentuk kista ensefalomalasia dengan jeratan-jeratan dendrit dan sisa-sisa pembuluh darah yang berisi cairan seperti liquor.Fokus-fokus perlunakan yang lebih kecil, sembuh dengan meninggalkan bekas jaringan parut glia. Pada CT scan, fase awal infark serebri tampak sebagai daerah dengan densitas sedikit menurun dan batas yang tidak jelas, mungkin ada proses desak ruang sehingga liquor yang berdekatan mengalami penekanan. Lebih lanjut densitas daerah infark akan semakin menurun, gambaran akan semakin jelas, terjadi gambaran bentuk baji yang khas yang sesuai dengan daerah perdarahan arteri serebral. Pada fase akhir (sesudah kista ensefalomalasia), khas tampak adanya daerah berbatas tegas dengan densitas seperti liquor, yang mungkin disertai dengan pelebaran ventrikel yang berdekatan dan cisterna sebagai akibat adanya defek substansi (Risono, 2004).

Gambar 2. Gambaran CT sken kepala penderita stroke iskemik1.7.5 Gambaran CT Scan Stroke HemoragikGambaran Ct Scan yang tipikal pada Perdarahan Intra serebral memperlihatkan suatu area bulat, oval atau tidak teratur tergantung lokasi dan ukurannya, batas tegas dengan peningkatan attennuasi (35-80 HU). Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai lebih 500 mm persegi. Haemoragik memperlihatkan bayangan hyperdens pada gray / white matter. Pada perdarahan Sub Arachnoid CT Scan memperlihatkan gumpalan atau lapisan darah tipis yang hyperdens juga terlihat pada sulci hemisfer (Ishak, 2010).

Gambar 3. Gambaran CT scan stroke hemoragik (a) perdarahan epidural, (b) perdarahan subdural, (c) perdarahan intrakranial, (d) perdarahan sub arachnoid

1.8 Kerangka Konseptual

1.9 Hipotesis

b

a

d

c