Top Banner
Pengaruh Penggunaan Metode Student Facilitator and Explaining dalam Pembelajaran Kooperatif terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMK di Tasikmalaya A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, pendidikan adalah seperangkat proses berupa penanaman nilai, gagasan, konsep dan teori- teori yang bertujuan mengembangkan kepribadian, pengetahuan, keterampilan, dan tingkah laku serta mencapai cita-cita dan tujuan hidup. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan dilakukan terus- menerus baik secara konvensional maupun inovatif. Dalam era globalisasi, pendidikan sangat dibutuhkan oleh segenap lapisan masyarakat agar terhindar dari pengaruh negatif yang dapat mencelakakanya.
84

25022013 siska ryane mpmt

May 28, 2015

Download

Documents

siskaryane
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 25022013 siska ryane mpmt

Pengaruh Penggunaan Metode Student Facilitator and Explaining

dalam Pembelajaran Kooperatif terhadap Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa

SMK di Tasikmalaya

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan

mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, pendidikan adalah

seperangkat proses berupa penanaman nilai, gagasan, konsep dan teori-teori

yang bertujuan mengembangkan kepribadian, pengetahuan, keterampilan, dan

tingkah laku serta mencapai cita-cita dan tujuan hidup. Upaya meningkatkan

kualitas pendidikan dilakukan terus-menerus baik secara konvensional

maupun inovatif. Dalam era globalisasi, pendidikan sangat dibutuhkan oleh

segenap lapisan masyarakat agar terhindar dari pengaruh negatif yang dapat

mencelakakanya.

Dalam dunia pendidikan, sekolah merupakan salah satu jalur yang

sangat strategis untuk mencapai tujuan tersebut. Semua mata pelajaran di

sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan

kualitas manusia.

Namun, kenyataannya pendidikan di Indonesia belumlah sesuai dengan

apa yang diharapkan. Lembaga-lembaga pendidikan belum mampu

menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas pendidikan

Indonesia tercermin dari penguasaan materi matematika siswa. Hal ini terlihat

Page 2: 25022013 siska ryane mpmt

dari hasil laporan The Trends International Mathematics and Science Study

(TIMSS) yang menunjukkan bahwa rata-rata skor prestasi matematik siswa

Indonesia berada signifikan di bawah skor rata-rata Internasional. Pada tahun

1999, Indonesia berada pada peringkat ke 34 dari 38 negara, tahun 2003 berada

di peringkat ke 35 dari 46 negara, dan tahun 2007 berada di peringkat ke 36 dari

49 negara. Mengenai hasil studi TIMMS pada tahun 1999, Suryadi (Alhadad,

Syarifah Fadilah, 2010:5) mengemukakan, “Soal-soal matematika tidak rutin

yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak

berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia”.

Hasil Studi TIMMS ini didukung oleh hasil survey yang dilakukan JICA

Technical Cooperation Project for Development of Science and Mathematics

Teaching for Primary and Secondary Education in Indonesia atau IMSTEP

(Alhadad, Syarifah Fadilah, 2010:4) pada tahun 1999 di kota Bandung, yang

menemukan bahwa salah satu kegiatan bermatematika yang dipandang sulit

oleh siswa untuk mempelajarinya dan oleh guru untuk mengajarkannya adalah

pemecahan masalah.

Lemahnya kemampuan pemecahan masalah siswa teridentifikasi dari

bagaimana cara mereka menyelesaikan soal-soal matematika yang bersifat tidak

rutin. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh Fakhrudin (2010),

dapat diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa Kota Semarang

masih rendah. Penelitian ini dilakukan peneliti pada kedua kelompok yaitu

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Skor maksimum ideal pada tes

ini adalah 70. Rata-rata skor untuk kelompok eksperimen adalah 21,47 atau

30,67% dari skor ideal dan untuk kelompok kontrol 22,82 atau 32,6% dari skor

Page 3: 25022013 siska ryane mpmt

ideal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan

masalah matematik siswa pada umumnya masih rendah.

Rendahnya hasil belajar matematika mengindikasikan ada sesuatu yang

salah dan belum optimal dalam pembelajaran di sekolah. Dalam pembelajaran

matematika, biasanya aktivitas belajar mengajar berpusat pada guru, materi

matematika disampaikan melalui ceramah, siswa pasif, pertanyaan dari siswa

jarang muncul, berorientasi pada satu jawaban yang benar. Kegiatan

pembelajaran seperti ini tidak memberikan kesempatan yang luas bagi siswa

untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.

Matematika merupakan pondasi yang melandasi ilmu pengetahuan,

baik itu ilmu eksak maupun ilmu non-eksak, mulai dari tingkat sekolah dasar

sampai ke perguruan tinggi. Kenyataan di lapangan menyebutkan, bahwa

pembelajaran matematika masih saja ditakuti dan dianggap sebagai pelajaran

yang sukar, sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika.

Ruseffendi ( 1991: 157 ) mengemukakan, “Matematika dianggap sebagai

ilmu yang sukar, ruwet, dan banyak memperdayakan”. Matematika

menumbuhkembangkan kemampuan bernalar, yaitu berpikir sistematis, logis

dan kritis, dalam mengkomunikasikan gagasan atau dalam pemecahan

masalah.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa siswa harus

mengetahui dan memahami relevansi matematika dalam kehidupan sehari-

hari serta menggunakannya menjadi aspek penting yang harus diperhatikan

dalam mempelajari matematika. Selain itu, sebagai pembekalan mereka

menghadapi tantangan kehidupan, para siswa juga perlu dibiasakan

Page 4: 25022013 siska ryane mpmt

menggunakan keterampilan berpikirnya untuk menyelesaikan soal-soal yang

berupa pemecahan masalah, sebab disadari atau tidak dalam kehidupan

manusia sehari-hari tidak terlepas dari masalah. Dengan pembelajaran yang

dimulai dari masalah, siswa belajar suatu konsep dan prinsip sekaligus

memecahkan masalah.

Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada dua hasil belajar yang

dicapai, yaitu jawaban terhadap masalah (produk) dan cara memecahkan

masalah (proses). Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa sebaiknya perlu ada inovasi dalam pembelajaran, dimana

siswa diberikan masalah kemudian siswa belajar untuk mengajukan masalah

kemudian menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pembelajaran

hendaknya dimulai dari masalah-masalah aktual, autentik, relevan, dan

bermakna bagi siswa.

Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu fokus dalam

pembelajaran matematika. Tim MKPBM (2001: 83) menyatakan,

Pemecahan masalah matematika bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin.

Pemecahan masalah merupakan kegiatan matematika yang sangat sulit

untuk mengajarkan dan mempelajarinya karena menurut Tim MKPBM

(2001:83), “... pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi dari

delapan yang dikemukakan Gagne, yaitu: signal learning, stimulus-response-

learning, chaining, verbal assosiation, discrimination learning, concept

learning, rule learning, dan pemecahan masalah”. Dengan kata lain

Page 5: 25022013 siska ryane mpmt

keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui

pemecahan masalah.

Menurut Wardani, Sri (2011:6), ”Pemecahan masalah (problem

solving) adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan/hambatan yang

ditemui dalam mencapai tujuan yang diharapkan”. Pada umumnya, siswa

merasa kesulitan apabila dihadapkan pada masalah-masalah yang tidak rutin

karena tingkat kemampuan pemecahan masalah mereka masih rendah.

Padahal, pengajaran matematika harus digunakan untuk memperkaya,

memperdalam, dan memperluas kemampuan siswa dalam memecahkan

masalah. Hasil penelitian yang dilakukan The National assessment of

Educational Progress (NAEP) (dalam Wulanratmini, Diani, 2010:4)

menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal

kreatif pemecahan masalah menurun drastis manakala setting (konteks)

permasalahannya diganti dengan hal yang tidak dikenal siswa, walaupun

permasalahan matematikanya tetap sama.

Tim survey IMSTEP-JICA (1999) di kota Bandung menemukan

sejumlah kegiatan yang dianggap sulit oleh siswa untuk mempelajari soal

yang diberikan oleh guru yaitu dalam cara pembuktian, pemecahan masalah

yang memerlukan penalaran matematis, menemukan generalisasi atau

konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang

diberikan. Kegiatan-kegiatan yang dianggap sulit tersebut, kalau kita

perhatikan merupakan kegiatan yang menuntut kemampuan berpikir kritis

dari siswa dan guru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil survey

Page 6: 25022013 siska ryane mpmt

tersebut menemukan bahwa siswa mengalami kesulitan jika dihadapkan

kepada persoalan yang memerlukan kemampuan berpikir kritis.

Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui kegiatan

pembelajaran matematika karena tujuan pembelajaran matematika di sekolah

menurut Depdiknas (2006) adalah: (1) memahami konsep matematika,

menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau

algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;

(2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan  matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi

kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,

menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4)

mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai

kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,

perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan

percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis sangatlah penting untuk

dikembangkan pada pembelajaran matematika secara formal baik itu di

tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, ataupun perguruan tinggi.

Salah satu model pembelajaran yang menyediakan banyak

kesempatan bagi siswa dalam melakukan pengembangan kemampuan

memecahkan masalah dan berpikir kritis adalah dengan menggunakan model

pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif menekankan pada

Page 7: 25022013 siska ryane mpmt

pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif

kepada siswa untuk memperoleh, dan mengembangkan pengetahuan, sikap,

nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi

kehidupannya di masyarakat. Menurut Trianto (2007:41), “Pembelajaran

kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan

dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan

temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling

membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks”.

Pada model cooperative learning siswa diberi kesempatan untuk

berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk saling

membantu memecahkan masalah, sementara guru bertindak sebagai

motivator dan fasilitator aktivitas siswa. Artinya dalam pembelajaran ini

kegiatan aktif dengan pengetahuan dibangun sendiri dengan aktif oleh siswa

dan mereka bertanggung jawab atas hasil pembelajarannya.

Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan

untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam pemecahan masalah

adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and

Explaining. Model pembelajaran kooperatif dengan metode Student

Facilitator and Explaining merupakan metode pembelajaran dimana siswa

belajar mempresentasikan ide/pendapat pada rekan siswa lainnya. Tujuan dari

metode pembelajaran ini yaitu akan melatih sikap kritis siswa. Misalnya,

seorang pendidik memberikan sebuah masalah. Berdasarkan masalah tersebut

siswa diminta membuat soal dan jawaban dari masalah yang diberikan oleh

Page 8: 25022013 siska ryane mpmt

pendidik tersebut. Maka akan muncul banyak pertanyaan dan jawaban dari

permasalahan yang diberikan.

Melalui metode pembelajaran ini siswa bisa termotivasi untuk

mengembangkan pengetahuan dengan cara yang mudah dan murah.

Pengetahuan siswa dengan metode pembelajaran kooperatif Student

Facilitator and Explaining bisa dikembangkan dari yang sederhana hingga

pada pengetahuan yang kompleks. Selain itu, dengan metode pembelajaran

kooperatif Student Facilitator and Explaining ini siswa akan belajar sesuai

dengan tingkat berpikirnya. Karena antara siswa yang pandai dengan yang

kurang pandai tidak diperlakukan sama. Keberhasilan pengajaran matematika

tidak hanya tergantung pada materi-materi pelajaran matematika, tetapi

sangat tergantung pada keahlian guru dalam menyampaikan materi tersebut.

Sehingga seorang guru harus memiliki kompetensi akademik dan menguasai

materi-materi yang akan diajarkan. Untuk menguasai konsep-konsep dasar

matematika, baik guru ataupun siswa harus banyak berlatih menyelesaikan

soal-soal mulai dari yang sederhana hingga yang sukar, termasuk soal-soal

yang menyangkut pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir

kritis matematis siswa.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian

dengan judul ”Pengaruh Penggunaan Metode Student Facilitator and

Explaining dalam Pembelajaran Kooperatif terhadap Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis dan Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Siswa SMK”

Page 9: 25022013 siska ryane mpmt

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti

merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Adakah pengaruh positif metode pembelajaran kooperatif Student

Facilitator and Explaining terhadap pemecahan masalah matematik

siswa?

2. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator

and Explaining akan lebih baik dari pada siswa yang memperoleh

pembelajaran langsung?

3. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh

pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator

and Explaining?

4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis

matematis siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh

pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator

and Explaining?

5. Apakah ada hubungan antara pemecahan masalah matematik dan berpikir

kritis matematis siswa?

6. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran dengan metode

pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining?

Page 10: 25022013 siska ryane mpmt

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka penelitian bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh positif penggunaan metode pembelajaran Student

Facilitator and Explaining terhadap pemecahan masalah matematik siswa.

2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran Student

Facilitator and Explaining dan siswa yang mengikuti pembelajaran

langsung.

3. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan

masalah matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang

memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran Student

Facilitator and Explaining.

4. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis

matematis siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh

pembelajaran dengan metode pembelajaran Student Facilitator and

Explaining.

5. Mengetahui hubungan/kaitan/korelasi antara pemecahan masalah

matematik dengan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan metode pembelajaran Student Facilitator and

Explaining dan siswa yang mengikuti pembelajaran langsung.

6. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran kooperatif dengan

metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining.

Page 11: 25022013 siska ryane mpmt

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan masukan bagi pendidik agar selalu mempertimbangkan

dan memilih pembelajaran yang sesuai dengan materi ajar sehingga dapat

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

2. Sebagai bahan masukan untuk menanggulangi kendala-kendala yamg

muncul khususnya dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah matematik siswa dalam mata pelajaran matematika.

3. Sebagai sarana untuk mengembangkan daya pikir siswa dan kemampuan

pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika.

E. Kajian Teori

1. Metode Pembelajaran Kooperatif Student Facilitator and Explaining

Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari

pada suatu strategi, metode atau prosedur. Istilah model pembelajaran

mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode

tertentu yaitu: rasional teoretik yang logis, tujuan pembelajaran yang akan

dicapai, tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat

dilaksanakan secara berhasil, dan lingkungan belajar yang diperlukan agar

tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Suprijono, Agus (2010:54)

menyatakan,

Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-benruk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran kooferatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana

Page 12: 25022013 siska ryane mpmt

guru menetapkan tugas dan pernyataan-pernyataan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu siswa menyelesaikan masalah yang dimaksud. Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas.

Melalui pembelajaran kooperatif siswa diharapkan dapat saling

membantu dan saling bekerjasama satu sama lain dalam menyelesaikan suatu

masalah untuk mencapai tujuan bersama.

Model pembelajaran kooperatif diperlukan adanya saling

ketergantungan positif sehingga siswa mempunyai rasa tanggung jawab

terhadap tugas yang mereka peroleh.Selama pembelajaran berlangsung siswa

melakukan interaksi dengan anggota kelompoknya agar komunikasi antar

anggota berjalan secara efektif dan setiap anggota kelompok saling

memberikan kontribusi terhadap kegiatan pembelajaran tersebut.

Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang

menggunakan model pembelajaran kooperatif menurut Suprijono, Agus.

(2010:65), langkah-langkah itu ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 1

Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Fase Tingkah Laku Guru

Fase-1: Present goals and set

Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa

Menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan siswa siap belajar.

Fase-2: Present information Menyajikan informasi

Mempresentasikan informasi kepada siswa secara verbal.

Fase-3 : Organize students Memberikan penjelasan kepada

Page 13: 25022013 siska ryane mpmt

into learning teams

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif

peserta sisik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien

Fase-4 : Assist team work and study

Membantu kerja tim dan belajar

Membantu tim-tim belajar selama siswa mengerjakan tugasnya.

Fase-5 : Test on the materials

Mengevaluasi

Menguji pengetahuan siswa mengenaia berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

Fase-6 : Provide recognition

Memberikan pengakuan atau penghargaan

Mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok.

Sumber: Suprijono, Agus. (2010: 65)

Penghargaan atau penilaian individu dan kelompok yang merupakan

salah satu dari karakteristik pembelajaran kooperatif lebih berorientasi pada

kelompok dari pada individu. Menurut Slavin, Robert E. (2009: 159),

petunjuk perhitungan skor perkembangan individu terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2Konversi Skor Perkembangan

Skor Kuis Individu Skor PerkembanganLebih dari 10 poin di bawah skor awal 5 poin10-1 poin dibawah skor awal 10 poinSkor awal sampai 10 poin di atas skor awal

20 poin

Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30 poinKertas jawaban sempurna (terlepas dari skor awal)

30 poin

Sumber: Slavin, Robert E. (2009 : 159)

Page 14: 25022013 siska ryane mpmt

Selanjutnya untuk lebih memotivasi siswa dalam setiap pembelajaran,

maka dalam pembelajaran kooperatif setelah guru memberikan penilaian

kepada setiap siswa dalam kelompok kooperatif, guru memberikan

penghargaan kepada kelompok-kelompok yang memiliki nilai sumbangan

kelompoknya yang memenuhi kriteria. Kriteria yang digunakan untuk

memberikan penghargaan kelompok diambil dari selisih skor awal

pembelajaran dengan tes individu kemudian hasilnya dibagi dengan jumlah

anggota kelompok untuk memperoleh tingkat penghargaan kelompok.Ada

tiga macam tingkatan penghargaan diberikan dalam model pembelajaran

kooperatif.Menurut Slavin, Robert E (2009: 160) dapat dilihat pada tabel.

Tabel 3

Tingkat Penghargaan Kelompok

Kriteria (Rata-rata Tim) Penghargaan

15 TIM BAIK

16 TIM SANGAT BAIK

17 TIM SUPER

Sumber: Slavin, Robert E. (2009 : 160)

Metode Pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining

merupakan metode pembelajaran dimana siswa belajar mempresentasikan

ide/pendapat pada rekan siswa lainnya Suprijono, Agus (2010,128)

menyatakan bahwa langkah-langkah metode pembelajaran kooperatif Student

Facilitator and Explaining :

a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai/KD.b. Guru mendemonstrasikan/menyajikan garis-garis besar

materi pembelajaran.

Page 15: 25022013 siska ryane mpmt

c. Memberikan kesempatan siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan/peta konsep. Hal ini bisa dilakukan secara bergiliran,

d. Guru menyimpulkan ide/pendapat dari siswa.e. Guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu,

Penutup.

Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan

bahwa metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining

adalah suatu metode yang mendasarkan pada penugasan tiap-tiap kelompok

dimana guru mendemontrasikan atau menyajikan secara garis besar materi

yang akan disampaikan untuk selanjutnya memberikan kesempatan kepada

siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya melalui peta konsep atau

bagan.

2. Pembelajaran Langsung

Pembelajaran langsung biasa disebut juga pembelajaran konvensional.

Masriyah (2002: 1) memandang bahwa pembelajaran yang selama ini sering

dilakukan oleh guru pada umumnya disebut pembelajaran langsung. Masih

menurut Masriyah (2002) bahwa pembelajaran langsung adalah suatu

pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan

dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi

selangkah..Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Arends

(Trianto, 2007: 29) yang menyatakan

Model pembelajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah.

Page 16: 25022013 siska ryane mpmt

Menurut Widaningsih, Dedeh (2010b:150), “Pengetahuan prosedural

yaitu pengetahuan mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Sedangkan

pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan tentang sesuatu”. Menghapal rumus

dalam pembelajaran matematika merupakan contoh pengetahuan deklaratif.

Pengetahuan bagaimana memperoleh rumus tersebut merupakan pengetahuan

prosedural.

Pembelajaran langsung menurut Kardi (Trianto, 2007:30)

“Pembelajaran langsung dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan

atau praktek, dan kerja kelompok”. Pengajaran langsung digunakan untuk

menyampaikan pelajaran yang ditransformasikan langsung oleh guru kepada

siswa. Penyusunan waktu yang digunakan untuk mencapai tujuan

pembelajaran harus seefisien mungkin, sehingga guru dapat merancang

dengan tepat waktu yang digunakan.

Ciri-ciri model pembelajaran langsung Depdiknas (Widaningsih,

Dedeh, 2010:151) adalah sebagai berikut :

a. Adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar. b. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran. c. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung

berlangsung dan berhasilnya pengajaran.

Sintaks model pembelajaran langsung Depdiknas (Widaningsih,

Dedeh, 2010:152) disajikan dalam lima tahap, seperti ditunjukkan pada tabel

berikut :

Page 17: 25022013 siska ryane mpmt

Tabel 4

Sintaks Pengajaran LangsungFase Peran Guru

Fase 1

Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran khusus, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar.

Fase 2

Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan

Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap.

Fase 3

Membimbing Pelatihan

Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal.

Fase 4

Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik

Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik.

Fase 5

Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan

Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari.

Menurut Depdiknas (Widaningsih, Dedeh, 2010:152), terdapat ciri

utama yang dapat terlihat pada saat melaksanakan model pembelajaran

langsung adalah sebagai berikut :

a. Tugas perencanaan.1) Merumuskan tujuan pengajaran.2) Memilih isi.

Guru harus mempertimbangkan berapa banyak informasi yang akan diberikan pada siswa dalam kurun waktu tertentu. Guru harus selektif dalam memilih konsep yang diajarkan dengan model pengajaran langsung.

Page 18: 25022013 siska ryane mpmt

3) Melakukan analisis tugas.Menganalisis tugas, akan membantu guru menentukan dengan tepat apa yang perlu dilakukan siswa untuk melaksanakan keterampilan yang akan dipelajari. Ini bukan berarti bahwa seorang guru harus melakukan analisis tugas untuk setiap keterampilan yang diajarkan.Hal ini disebabkan karena waktu yang tersedia terbatas.

4) Merencanakan waktuGuru harus memperhatikan bahwa waktu yang disediakan sepadan dengan kemampuan dan bakat siswa, dan memotivasi siswa agar mereka tetap melakukan tugas-tugasnya dengan perhatian yang optimal. Mengenal secar baik siswa-siswa yang akan diajar, akan bermanfaat sekali untuk mengira-ngira alokasi waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran.

b. Penilaian pada pembelajaran langsungGrounlund (Widaningsih,Dedeh,2011: 77) mengemukakan 6 prinsip dasar dapat membimbing guru dalam merancang sistem penilaian sebagai berikut : 1) Sesuai dengan tujuan pengajaran 2) Mencakup semua tugas pengajaran 3) Menggunakan soal tes yang sesuai4) Buatlah soal tes yang sesuai 5) Buatlah soal sevalid dan sereliabel mungkin 6) Memanfaatkan hasil tes untuk memperbaiki proses belajar

mengajar berikutnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran langsung

merupakan pembelajaran yang menuntut keaktifan guru karena materi

pelajaran diajarkan langsung kepada siswa. Siswa tidak dituntut untuk

menemukan materi karena materi pelajaran diajarkan seakan-akan sudah jadi.

Pembelajaran langsung disajikan melalui lima tahap yaitu menyampaikan

tujuan dan mempersiapkan siswa, mendemonstrasikan pengetahuan dan

keterampilan, membimbing pelatihan, mengecek pemahaman dan

memberikan umpan balik, serta memberikan kesempatan untuk pelatihan

lanjutan dan penerapan.

Page 19: 25022013 siska ryane mpmt

3. Teori Belajar yang Mendukung Metode Pembelajaran Kooperatif Student Facilitator And Explaining

a. Teori belajar Kognitif

Dalam perspektf teori kogntif Suprijono, Agus (2010:22) menyatakan

“Belajar merupakan pristiwa mental, bukan peristiwa behavioral meskipun

hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata hampir dalam setiap

peristiwa belajar”.

Perilaku individu bukan semata-mata respons terhadap yang ada

melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh

otaknya. Belajar adalah proses aktif untuk mencapai, mengingat dan

menggunakan pengetahuan. Untuk itu teori belajar kognitif mendukung

pembelajaran metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and

Explaining.

b. Teori Vigotsky

Vygotsky (Ratnaningsih, 2003:44) mengatakan bahwa “Pembelajaran

terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of

proximal development)”. Menurut teori ini siswa mempunyai dua tingkat

perkembangan yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan

potensial. Tingkat perkembangan aktual didefinisikan sebagai pemfungsian

intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang

khusus atas kemampuannya sendiri. Sedangkan tingkat perkembangan

potensial sebagai tingkat seorang individu dapat memfungsikan atau

mencapai tingkat itu dengan bantuan orang lain seperti guru, orang tua, atau

teman sejawat yang kemampuannya lebih tinggi. Dengan demikian, tingkat

Page 20: 25022013 siska ryane mpmt

perkembangan potensial dapat disalurkan melalui model pembelajaran

kooperatif.

Ide penting lain yang diturunkan Vygotsky adalah scaffolding, yaitu

memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal

pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada

anak untuk mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Bantuan

tersebut berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada

langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang

memungkinkan pelajar tumbuh mandiri.

Dalam teori Vygotsky dijelaskan ada hubungan langsung antara

domain kognitif dengan sosial budaya. Kualitas berpikir siswa dibangun di

dalam ruangan kelas, sedangkan aktivitas sosialnya dikembangkan dalam

bentuk kerja sama antara pelajar dengan pelajar lainnya yang lebih mampu

dibawah bimbingan orang dewasa dalam hal ini guru.

Teori Vygotsky menghendaki interaksi dan komunikasi baik antara

siswa dengan siswa sehingga terbentuk masyarakat belajar melalui kelompok-

kelompok kecil. Hal ini sesuai dengan salah satu komponen pembelajaran

dengan metode Student Facilitator and Explaining.

4. Teori Belajar yang Mendukung Pembelajaran Langsung

Teori belajar yang mendukung model pembelajaran langsung adalah

teori Ausubel. Teori Ausubel dikenal dengan belajar bermaknanya dan

pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Tim MPKBM (2001:35)

menyatakan,

Page 21: 25022013 siska ryane mpmt

Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal siswa menghafal materi yang sudah dipelajarinya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.

Menurut Ausubel (Dahar, 1989: 110) belajar dapat diklasifikasikan ke

dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi

atau materi pelajaran disajikan pada siswa melalui penerimaan atau

penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat

mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang ada.

Ausubel (Tim MKPBM, 2001:35) mengemukakan, “Metode

ekspositori adalah metode mengajar yang paling baik dan bermakna”. Metode

ekspositori adalah metode yang paling cocok digunakan pada model

pembelajaran langsung yang pembelajarannya berpusat pada guru.

Dalam pelaksanaan pembelajaran langsung, guru memberikan konsep-

konsep dan setiap konsep yang diberikan disertai dengan contoh soal. Selain

itu, dalam model pembelajaran langsung pengaturan awal mengarahkan siswa

ke materi yang akan dipelajari dan menolong siswa untuk mengingat kembali

materi yang sudah dipelajari untuk menanamkan pengetahuan baru. Dalam

pelaksanaan pembelajaran, hal ini disebut apersepsi.

Dari uraian tersebut, teori belajar Ausubel mendukung pembelajaran

dengan menggunakan model pembelajaran langsung. Dalam pembelajaran

langsung, guru memberikan materi kepada siswa lalu siswa menerimanya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Ausubel tentang belajar menerima.

Page 22: 25022013 siska ryane mpmt

5. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang

untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa

yangharus dikerjakan untuk menyelesaikannya.

Pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah matematika

merupakan pertanyaan yang harus dijawab. Namun tidak semua pertanyaan

merupakan masalah. Pendekatan pemecahan masalah matematik merupakan

salah satu dari beberapa macam pendekatan matematik yang sangat penting,

karena dalam proses penyelesaiannya siswa harus memiliki banyak

pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah untuk memperoleh

pengalaman kemampuan dalam memecahkan masalah matematik.

Langkah-langkah dalam memecahkan masalah yang digunakan dalam

penelitian ini adalah langkah-langkah Polya. Menurut George Polya

(Wardani, Sri. 2002:12) ada empat langkah dalam menyelesaikan pemecahan

masalah yang harus dilakukan yaitu: a. memahami masalah (understanding

the problem), b. membuat rencana pemecahan (divising a plan), c. melakukan

penghitungan (carrying out the plan) dan d. memeriksa kembali hasil yang

diperoleh (looking back).

6. Kemampuan Berpikir Kritis

a. Pengertian Berpikir Kritis

Beberapa ahli memberikan pengertian tentang berpikir diantaranya,

Suryabrata (Ratnaningsih, 2003: 17) berpendapat bahwa berpikir merupakan

proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses dan jalannya.

Page 23: 25022013 siska ryane mpmt

Selain itu, Dahar (1996) mengemukakan bahwa berpikir merupakan ciri

manusia (homo sapien) dari semenjak lahir sampai akhir hidupnya.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1991:767) berpikir adalah

menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan sesuatu.

Menurut Lupito (1996) berpikir merupakan aktifitas mental yang disadari dan

diarahkan untuk maksud tertentu. Sedangkan Beyer (1987:16) menyatakan,

“Thinking, in short, is the mental process by wich individuals make sense out

of experience”. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka maksud

yang mungkin dicapai dari berpikir adalah memahami, mengambil keputusan,

merencanakan, memecahkan masalah, dan menilai tindakan.

Dalam kaitannya dengan proses yang terjadi pada saat berpikir,

Marpaung dalam Ratnaningsih (2003: 17) memberikan gambaran bahwa

proses berpikir merupakan proses yang dimulai dari penemuan informasi

(dari luar atau diri siswa), pengolahan, penyimpanan dan memanggil kembali

informasi dari ingatan siswa. Dengan demikian dapat dikatakan, pada

prinsipnya selama berpikir manusia mengkaji dan mengolah berbagai

gagasan, konsep, pengalaman dan peristiwa yang dialaminya agar ia sampai

pada suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut diharapkan dapat

mengantarkannya pada kebenaran. Dengan kata lain, melalui berpikir

manusia dapat sampai pada kebenaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Poedjiadi (2011: 25) yang menyatakan bahwa berpikir adalah kegiatan

akal untuk mengolah pengetahuan yang diterima melalui panca indera dan

ditujukan untuk mencapai kebenaran.

Page 24: 25022013 siska ryane mpmt

Menurut Wijaya (1999), pengembangan kemampuan berpikir menjadi

modal utama bagi siswa dalam menghadapi kehidupan di masa kini dan masa

yang akan datang. Dalam dunia pendidikan, siswa tidak terlepas dari kegiatan

berpikir. Berpikir merupakan kegiatan yang lumrah bagi siswa. Dalam

mengerjakan tugas pasti menggunakan  pikiran untuk memdapakan hasil yang

terbaik. Contohnya, mengerjakan tugas/pekerjaan rumah dan mengerjakan

soal pada saat ujian yang membutukan pemikiran yang sangat baik dalam

merangkai kata-kata. Juga dalam kehidupan sosial yang tidak lepas dari

pemikiran siswa.

Dalam pendidikan, berfikir kritis diartikan sebagai pembentukan

kemampuan dalam aspek logika seperti kemampuan memberikan

argumentasi, silogisme dan penalaran yang proposional. Logika sangat

bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan manusia berfikir rasional dan

kritis.

Berpikir kritis adalah suatu proses dimana seseorang atau individu

dituntut  untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi informasi untuk

membuat sebuah penilaian atau keputusan berdasarkan kemampuan,

menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Beberapa ahli memberikan

pengertian tentang berpikir kritis diantaranya, Norris (Fowler, 1996: 1)

medefinisikan berpikir kritis sebagai pengambilan keputusan secara rasional

apa yang diyakini dan dikerjakan. Sedangkan Huitt (1998: 4) mengemukakan

bahwa Critical thinking is disciplined mental activity of making judgments

that can guide the development of beliefs and taking actions. Dari pengertian

Page 25: 25022013 siska ryane mpmt

tersebut menunjukkan bahwa berpikir kritis berarah pada pengambilan

keputusan mengenai tindakan dan keyakinan yang akan diambil.

Memperhatikan pengertian berpikir kritis di atas, secara umum dapat

diartikan seorang yang berfikir kritis harus selalu melihat ke depan, seseorang

tidak boleh membiarkan berpikir menjadi sesuatu yang rutin atau standar.

Seorang yang berpikir dengan cara kritis akan melihat setiap masalah dengan

sudut yang selalu berbeda meskipun obyeknya sama, sehingga dapat

dikatakan dengan tersedianya pengetahuan baru seorang yang berfikir kritis

harus selalu melakukan sesuatu dan mencari apa yang paling efektif dan

ilmiah  dan memberikan hasil yang lebih baik untuk kesejahteraan diri

maupun orang lain.

Proses berpikir ini dilakukan sepanjang waktu sejalan dengan

keterlibatan manusia dalam pengalaman baru dan menerapkan pengetahuan

yang dimilikinya menjadi lebih mampu untuk membetuk asumsi, ide-ide dan

membuat simpulan yang valid. Semua proses tersebut tidak terlepas  dari

sebuah proses berpikir dan belajar. Jadi, berpikir kritis adalah kemampuan

memberi alasan secara terorganisasi dan  mengevaluasi kualitas suatu alasan

secara sistematis. Berpikir kritis artinya diarahkan, dikendalikan, diawasi oleh

diri sendiri sekaligus merupakan koreksi terhadap diri sendiri. Semua hal

tersebut dilakukan secara teliti karena dikendalikan oleh berbagai tolok ukur

yang berasal dari pemikiran yang berkualitas. Hal ini berkaitan dengan

kemampuan komunikasi yang baik dan kemampuan menyelesaikan masalah

yang dimiliki manusia.

Page 26: 25022013 siska ryane mpmt

b. Berpikir Kritis dan Indikator-Indikatornya

Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat

tinggi. Beberapa ahli mendefinisikan pengertian dengan cara yang berbeda-

beda. Hal ini sesuai dengan pendapat Cotton (1991) yang menyatakan bahwa

tidak ada kesepakatan secara universal mengenai pengertian berpikir kritis.

Menurut pendapat Ennis (1996:4) berpikir kritis didefinisikan sebagai

cara berpikir reflektif dan beralasan yang difokuskan pada pengambilan

keputusan tentang apa yang harus diyakini dan dikerjakan. Reflektif artinya

mempertimbangkan atau memikirkan kembali segala sesuatu yang

dihadapinya sebelum mengambil keputusan. Beralasan artinya memiliki

keyakinan dan pandangan yang didukung oleh bukti yang tepat, aktual,

cukup, dan relevan.

Menurut Ennis (dalam Baron dan Sternberg, 1987: 12-15) terdapat

dua belas indikator berpikir kritis yang dikelompokkan dalam lima

kemampuan berpikir yaitu :

1. Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification)2. Membangun keterampilan dasar (basic support)3. Membuat kesimpulan (inferring)4. Membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification)5. Mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics)

Kelima kelompok indikator berpikir tersebut diuraikan lebih lanjut

pada tabel berikut :

Page 27: 25022013 siska ryane mpmt

Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

Kemampuan Berpikir Kritis

Sub Kemampuan Berpikir Kritis

Penjelasan

1. Memberikan penjelasan sederhana

1. Memfokuskan pertanyaan

a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaanb. Mengidentifikasi kriteria-kriteria untuk

mempertimbangkan jawaban yang mungkinc. Menjaga kondisi pikiran

2. Menganalisis argumen

a. Mengidentifikasi kesimpulan b. Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan

(eksplisit)c. Mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan

(implisit)d. Mengidentifikasi ketidakrelevanan dan

kerelevanane. Mencari persamaan dan perbedaanf. Mencari struktur dari suatu argumeng. Merangkum

3. Bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan

a. Mengapa b. Apa intinya, apa artinyac. Apa contohnya dan apa yang bukan contohd. Bagaimana menerapkannya dalam kasus

tersebute. Perbedaan apa yang membedakannyaf. Akankah anda menyatakannya lebih dari itu

2. Membangun keterampilan dasar

1. Mepertimbangkan kredibilitas (kriteria suatu sumber)

a. Ahli b. Tidak adanya konflik interestc. Kesepakatan antar sumberd. Reputasi e. Menggunakan prosedur yang adaf. Mengetahui resikog. Kemampuan memberi alasanh. Kebiasaan hati-hati

2. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi

a. Ikut terlibat dalam menyimpulkanb. Dilaporkan oleh pengamat sendiric. Mencatat hal-hal yang diinginkan d. Penguatan dan kemungkinan penguatan e. Kondisi akses yang baikf. Penggunaan teknologi kompeteng. Kepuasan observer atas kredibilitas kriteria

3. Membuat kesimpulan

1. Melakukan dan mempertimbangkan deduksi

a. Kelompok yang logisb. Kondisi yang logisc. Interpretasi pernyataan

Page 28: 25022013 siska ryane mpmt

2. Melakukan dan mempertimbangkan induksi

a. Membuat generalisasib. Membuat kesimpulan dan hipotesis

3. Membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan

a. Latar belakang faktab. Konsekuensi c. Penerapan prinsip-prinsipd. Memikirkan alternatife. Menyeimbangkan,memutuskan

4. Membuat penjelasan lebih lanjut

1. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan nilai keputusan

Ada tiga dimensi:

a. Bentuk: sinonim, klasifikasi, rentang, ekspresi yang sama, operasional, contoh dan non contoh

b. Strategi definisi (tindakan mengidentifikasi persamaan)

c. Konten (isi)2. Mengidentifikasi

istilah dan mempertimbangkan definisi

a. Penalaran secara implisitb. Asumsi yang diperlukan, rekonstruksi argumen

5. Mengatur strategi dan taktik

1. Memutuskan suatu tindakan

a. Mendefinisikan masalahb. Menyelesaikan kriteria untuk membuat solusic. Merumuskan alternatif yang memungkinkan d. Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan

secara tentatife. Mereviewf. Memonitor implementasi

2. Berinteraksi dengan orang lain

7. Berpikir Kritis dalam Matematika

Cara berpikir kritis berbeda dalam disiplin ilmu yang satu dengan

yang lain. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan dasar yang digunakan dalam

setiap disiplin ilmu tidak sama. Agar dapat melaksanakan berpikir kritis

dalam disiplin ilmu tertentu, menurut Poedjiadi (1999), kita harus terlebih

dahulu menguasai terminologi, konsep-konsep, dan metodologi disiplin ilmu

tersebut.

Page 29: 25022013 siska ryane mpmt

Matematika sebagai suatu disiplin ilmu memiliki karakteristik

yang berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Matematika mempelajari tentang

pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Hal itu dimulai dari

unsur-unsur yang tidak terdefinisikan kemudian ke unsur yang didefinisikan,

ke aksioma/postulat, dan akhirnya pada teorema (Ruseffendi, 1980: 50).

Sementara Soleh (1998) menyebutkan bahwa ada lima ciri yang

membedakan matematika dari disiplin ilmu lain. Kelima ciri matematika itu

adalah objek pembicaraannya abstrak, pembahasannya menggunakan tata

nalar, konsep-konsepnya hierarkis dan konsiten, adanya perhitungan dan

pengerjaan (operasi), dan dapat dialihgunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Matematika tersusun mulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan,

berkembang ke unsur-unsur yang didefinisikan, terus ke aksioma atau

postulat sampai ke dalil-dalil atau teorema. Komponen-komponen

matematika ini membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan

terorganisir dengan baik. Menurut Suria Sumantri (1998), dalam matematika

kebenaran dibuktikan dengan jalan memeriksa konsistensi suatu konsep

dengan konsep-konsep sebelumnya yang telah dianggap benar. Kebenaran

matematika tidak tergantung pada pembuktian secara empiris melainkan pada

pembuktian secara deduktif.

Mengingat karakteristik matematika yang tidak sama dengan disiplin

lainnya, maka definisi bepikir kritis dalam matematika tentunya harus sesuai

dengan konsepsi dan metodologi matematika. Selain harus memuat

komponen berpikir kritis, definisi tersebut harus memuat karakteristik

(terminologi, konsep-konsep, dan metodologi) matematika. Salah satu

Page 30: 25022013 siska ryane mpmt

definisi yang memuat kedua pernyataan itu dikemukakan oleh Glazer (2002)

yang menyatakan berpikir kritis dalam matematika adalah ketrampilan

kognitif dan disposisi untuk menggabungkan pengetahuan, penalaran, serta

strategi kognitif dalam membuat generalisasi, membuktikan, dan

mengevaluasi situasi matematika yang tidak dikenali dengan cara reflektif.

Glazer menyebutkan syarat-syarat untuk berpikir kritis dalam

matematika, syarat-syarat yang dimaksud adalah:

1. Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab sehingga seorang

individu tidak dapat secara langsung mengenali konsep

matematika atau mengetahui bagaimana menentukan solusi suatu

masalah.

2. Menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya, penalaran

matematika, dan strategi kognitif.

3. Menghasilkan generalisasi, pembuktian dan evaluasi.

4. Berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian suatu solusi,

rasionalisasi argumen, penentuan cara lain untuk menjelaskan

suatu konsep atau memecahkan suatu masalah, dan pengembangan

studi lebih lanjut.

8. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis melalui Pembelajaran

Matematika

Matematika mempunyai peranan beragam pengertian tergantung

bagaimana seseorang memandang dan memanfaatkan matematika dalam

kegiatan hidupnya. Dalam kegiatan hidupnya setiap orang akan terlibat

dengan matematika, hal ini menggambarkan karakteristik matematika sebagai

Page 31: 25022013 siska ryane mpmt

suatu kegiatan manusia atau “mathematics as human activity”. Pandangan

matematika sebagai suatu kegiatan manusia mamuat matematika sebagai

suatu proses yang aktif, dinamik dan generatif, serta sebagai ilmu yang

mengembangkan sikap berpikir kritis, objektif dan terbuka (Sumarmo, 2003).

Oleh karena itu peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilakukan

melalui kegiatan pembelajaran matematika.

Peningkatan kemampuan berpikir kritis telah terbukti dapat dilakukan

seperti apa yang diungkapkan Cotton (1991) bahwa meskipun banyak orang

percaya kita lahir dengan atau tanpa kemampuan berpikir kritis, riset telah

memperlihatkan kemampuan berpikir kritis dapat diajarkan dan dapat

dipelajari. Untuk mengajarkan atau memfasilitasi siswa agar kemampuan

berpikir kritisnya berkembang, maka diperlukan situasi pembelajaran yang

dirancang secara tepat.

Pembelajaran yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kritis harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan

eksplorasi, baik melalui pemberian soal yang tidak bersifat prosedural

ataupun pemberian materi yang tidak secara langsung kepada siswa. Artinya

siswa harus dilibatkan secara aktif dalam menemukan konsep. Hal ini sejalan

dengan pendapat Glazer (2004:6) bahwa kondisi untuk berpikir kritis dalam

matematika harus memuat:

a. Situasi yang tidak rutin (tidak biasa) sehingga individu tidak dapat

dengan cepat memahami konsep matematika atau mengetahui

bagaimana menentukan solusi persoalan ;

b. Penggunaan pengetahuan awal, penalaran dan strategi kognitif;

Page 32: 25022013 siska ryane mpmt

c. Generalisasi, pembuktian dan evaluasi; berpikir reflektif yang

melibatkan pengkomunikasian solusi dengan penuh pertimbangan,

membuat makna tentang jawaban atau argumen yang masuk akal,

dan atau membangkitkan perluaan studi selanjutnya.

Pendapat lain mengenai pembelajaran untuk meningkatkan

kemampuan berpikir kritis, menurut Zohar dkk (dalam Maulana, 2006: 24)

dapat dilakukan melalui pembelajaran yang bersifat student-centered, yakni

pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam pembelajaran serupa ini, guru

memberikan kebebasan berpikir dan keleluasaan bertindak kepada siswa

dalam memahami pengetahuan serta memecahkan masalahnya. Guru

memberikan keleluasaan seluas-luasnya kepada siswa untuk menemukan

cara-cara baru. Dengan aktifnya siswa belajar diharapkan siswa tidak hanya

mengingat fakta-fakta, aturan-aturan dan prosedur-prosedurnya, akan tetapi

mereka dapat mengerjakan dan menyelesaikan masalah matematika secara

kritis dan kreatif.

Pembentukan suasana yang kondusif untuk mengajarkan berpikir

kritis kepada siswa seperti yang dikemukakan oleh Cotton (1991) adalah

dengan mengatur lingkungan kelas agar dapat berperan secara optimal,

merencanakan aktivitas pembelajaran yang baik, memberikan penghargaan

pada setiap respon yang disampaiakan siswa, bersikap fleksibel terhadap

jawaban atau pendapat siswa, menerima perbedaan individual, membuat

model sesuai kebutuhan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk

berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, dan menggunakan model

mengajar yang bervariasi.

Page 33: 25022013 siska ryane mpmt

Applebaum (1999) menyatakan bahwa untuk meningkatkan

kemampuan berpikir kritis didalam proses belajar mengajar matematika

disekolah, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Meminta siswa untuk menemukan algoritma serta selalu mencari

cara lain untuk menyelesaikan masalah;

b. Membangun suatu aktivitas untuk memfasilitasi siswa untuk

meningkatkan dan menyempurnakan kemampuan berpikir kritis

yaitu dengan cara : membandingkan, membedakan, membuat

konjektur, membuat induksi, membuat generalisasi, membuat

spesialisasi, membuat klasifikasi, mengelompokan, melakukan

proses deduksi, membuat visualisasi, mengurutkan, mambuat

prediksi, membuat validasi, membuktikan, menganalisis,

mengevaluasi, dan membuat pola;

c. Meminta siswa untuk menentukan hubungan fungsional diantara

satu variabel dengan variabel lain;

d. Menggunakan bernagai cara dalam mempelajari suatu topik;

e. Meminta siswa mempelajari bagaimana matematika disajikan atau

dipresentasikan beserta alasannya.

f. Mengumpulkan data yang ditemukan siswa, fakta-fakta yang

mereka kumpulkan dalam lebih dari dua cara, dan konjektur-

konjektur atau argument yang mereka percaya merupakan sentral

dari ringkasan materi yang mereka pelajari untuk dijadikan bahan

diskusi lebih lanjut.

Page 34: 25022013 siska ryane mpmt

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir

kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Guru

memegang peranan penting dalam mendesain pembelajaran matematika yang

memberikan kesempatan luas kepada siswa untuk menumbuh kembangkan

kemampuan berpikir kritis. Peran guru dalam memberikan stimulus dan

memelihara lingkungan berpikir kritis merupakan hal yang krusial. Tanpa

adanya peranan dari guru, kemampuan berpikir kritis tersebut tidak akan

berkembang secara maksimal. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka

dalam penelitian ini kemampuan berpikir kritis yang akan dikaji meliputi

kemampuan mengidentifikasi konsep, menggeneralisasi, serta membuat

deduksi.

F. Kerangka Berpikir

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu menghadapi banyak masalah.

Permasalahan-permasalahan itu tentu saja tidak semuanya merupakan

permasalahan matematis, namun matematika memiliki peranan yang sangat

sentral dalam menjawab permasalahan keseharian itu. Oleh karena itu cukup

beralasan jika pemecahan masalah menjadi “trend” dalam pembelajaran

matematika belakangan ini.

Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika

yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran siswa dimungkinkan

memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang

sudah dimilikinya untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat

tidak rutin.

Page 35: 25022013 siska ryane mpmt

Beberapa studi tentang kemampuan berpikir kritis matematis tingkat

tinggi mengimplementasikan pendekatan pembelajaran tidak langsung,

pendekatan gabungan langsung dan tidak langsung. Hasil studinya

menunjukkan bahwa pendekatan tidak langsung dan pendekatan gabungan

secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir

matematis tingkat tinggi siswa disbanding pendekatan langsung.

Maulana (2006: 126) menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir

kritis mahasiswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan

menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik secara signifikan

dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar secara konvensional.

Suriadi (2006) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan

berpikir kritis matematis yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan

discovery lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang belajar

secara konvensional.

Dalam penelitian ini masalah yang akan dikaji berkaitan dengan

penggunaan metode Student Facilitator and Explaining melalui Pembelajaran

Kooperatif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir

kritis matematis siswa SMA. Hal ini dilakukan karena belum ada penelitian

sebelumnya yang mengkaji masalah tersebut.

G. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai hal-hal yang

dimaksudkan dalam penelitian ini, maka penulis memberikan definisi

operasional sebagai berikut:

Page 36: 25022013 siska ryane mpmt

1. Metode Pembelajaran Student Facilitator and Explaining

Metode Pembelajaran Student Facilitator and Explaining merupakan

metode pembelajaran dimana siswa belajar mempresentasikan ide/pendapat

pada rekan siswa lainnya. Metode ini diharapkan siswa mampu menerangkan

dengan bagan atau peta konsep. Selain itu juga metode ini merupakan tipe

model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok

kecil dengan jumlah anggota dari tiap kelompok 4-5 orang siswa secara

heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian

materi, kegiatan kelompok, dan penghargaan kelompok.

2. Pembelajaran Langsung

Pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang menuntut

keaktifan guru karena materi pelajaran diajarkan langsung kepada

siswa.Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi karena materi pelajaran

diajarkan seakan-akan sudah jadi. Pembelajaran langsung disajikan melalui

lima tahap yaitu menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa,

mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, membimbing pelatihan,

mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, dan memberikan

kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan.

3. Kemampuan Pemecahan Masalah

Kemampuan pemecahan masalah matematik adalah kemampuan

menggunakan informasi dan pengetahuan dalam upaya mencari jalan keluar

dari suatu permasalahan matematik yang dilakukan untuk mencapai tujuan

tertentu dengan langkah penyelesaiannya menggunakan fase penyelesaian

menurut polya yang terdiri dari: memahami masalah, merencanakan

Page 37: 25022013 siska ryane mpmt

penyelesaian, melakukan perhitungan dan memeriksa kembali hasil terhadap

semua langkah yang telah dikerjakan. Kemampuan pemecahan masalah

dilihat dari tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

4. Pengaruh penggunaan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining.

Penggunaan metode pembelajaran Student Facilitator and

Explaining dikatakan mempunyai pengaruh positif jika kemampuan

pemecahan masalah matematik siswa yang menggunakan metode

pembelajaran Student Facilitator and Explaining lebih baik dari siswa yang

menggunakan pembelajaran langsung.

5. Kesulitan Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematis

Kesulitan dalam matematika dikategorikan dalam tiga jenis yaitu :

kesulitan dalam mempelajari konsep, kesulitan dalam menerapkan konsep,

kesulitan dalam menyelesaikan masalah verbal. Siswa dianggap mengalami

kesulitan pada tahap tertentu jika pada tahap itu siswa memperoleh nilai

kurang dari X mnimun atau tidak memberikan jawaban dan siswa dianggap tidak

mengalami kesulitan jika siswa memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan

X minimum.Dalam penelitian ini skor maksimum tiap tahap bervariasi untuk tiap

tahap pokok uji.

H. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan metode Student Facilitator and

Page 38: 25022013 siska ryane mpmt

Explaining melalui pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa

yang memperoleh pembelajaran langsung.

2. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan metode Student Facilitator and Explaining melalui

pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran langsung.

3. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh

pembelajaran kooferatif dengan metode Student Facilitator and

Explaining.

4. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis

siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh pembelajaran

kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining.

5. Terdapat korelasi positif antara pemecahan masalah matematik dan

kemampuan berpikir kritis matematis siswa melalui pembelajaran

kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining.

I. Penelitian yang Relevan

Beberapa studi tentang hasil penelitian terdahulu yang mendukung

permasalahan penelitian, diantaranya upaya peningkatkan implementasi siswa

ditinjau dari kemampuan awal siswa, kemampuan terhadap komunikasi

matematik, kemampuan pemahaman, pemecahan masalah dan berpikir kritis

melalui berbagai macam model pembelajaran.

Page 39: 25022013 siska ryane mpmt

Sejumlah studi (Wardani, 2002; Ratnaningsih, 2003; dan Prabawati,

2011) secara umum melaporkan hasil belajar matematika dalam berbagai

aspek berpikir tingkat tinggi melalui berbagai model pembelajaran tergolong

antara cukup dan baik.

Arum, Handini (2010) menyimpulkan bahwa kemampuan pemecahan

masalah matematik siswa dapat meningkat setelah dilaksanakan

pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe Think-Pair-Square

pada pokok bahasan bangun ruang.

Berkaitan dengan pembelajaran yang menggunakan metode

pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining, hasil penelitian

Lesrati (2011) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode Student

Facilitator and Explaining dapat meningkatkan impelemtasi siswa jika

ditinjau dari kemampuan awal siswa.

Suriadi (2006) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan

berpikir kritis matematis yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan

discovery lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang belajar

secara konvensional.

Selanjutnya penelitian yang diajukan Mufrika, Tika (2010) masih

dengan model pembelajaran koopertaif metode Student Facilitator and

Explaining diperoleh nilai thit kemampuan komunikasi matematika siswa

yang diajarkan dengan metode Student Facilitator and Explaining (SFE) lebih

tinggi dan signifikan daripada rata-rata kemampuan komunikasi matematika

siswa yang diajarkan dengan metode konvensional.

Page 40: 25022013 siska ryane mpmt

J. Desain Penelitian

Dalam menjawab pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu untuk melihat

sejauh mana pengaruh penggunaan metode Student Facilitator and

Explaining melalui pembelajaran kooperatif terhadap kemampuan pemecahan

masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMK,

maka penelitian ini didesain dalam studi eksperimen dengan desain berbentuk

randomized pre test-post test control group design.

Penelitian ini akan mengambil sampel sebanyak dua kelas yang

homogen sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan pembelajaran

berbeda. Kelas eksperimen menggunakan pembelajaran dengan metode

Student Facilitator and Explaining dan kelas kontrol menggunakan

pembelajaran langsung. Dengan demikian, desain penelitiannya dapat

digambarkan (Russefendi, E.T.,2005:45) sebagai berikut:

A O1 X1 O2

A X2 O1 - O2

Keterangan :

A = Pemilihan sampel secara acak kelas

O1 = Tes awal (pretes)

O2 = Tes akhir (Postes)

X = Perlakuan berupa pembelajaran kooperatif dengan metode

Student Facilitator and Explaining.

Page 41: 25022013 siska ryane mpmt

K. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Arikunto Suharsimi (2010:130) “Populasi adalah keseluruhan subjek

penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam

wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi”.

b. Sampel

Sudjana (2005:6) berpendapat, “Sampel merupakan bagian dari

populasi, seluruh populasi dianggap semua dan mempunyai kesempatan yang

sama pula untuk dijadikan sampel dari penelitian“. Sampel dalam penelitian

ini akan diambil sebanyak dua kelas berdasarkan random menurut kelas.

Alasan menggunakan sampel random menurut kelas karena kemampuan

siswa setiap kelas memiliki karakteristik yang sama yaitu terdiri dari siswa

berkemampuan kurang, sedang dan pandai.

L. Instrumen Penelitian

Menurut Arikunto, Suharsimi ( 2006:160) “Instrumen penelitian

adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan

data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih

cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah”. Instrumen

digunakan untuk memperoleh data yang digunakan untuk menjawab

penelitian.

Penelitian ini melibatkan dua jenis instrumen yaitu tes dan non-tes.

Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari seperangkat tes pemecahan masalah

matematik dan tes berpikir kritis matematis. Sedangkan instrumen dalam

Page 42: 25022013 siska ryane mpmt

bentuk non-tes melibatkan skala sikap siswa. Masing-masing bentuk tes di

atas diuraikan sebagai berikut:

1. Tes Pemecahan Masalah

Soal tes pemecahan masalah di dalam penelitian ini berbentuk soal

uraian sebanyak 4 soal. Tes pemecahan masalah yang berbentuk uraian

bertujuan untuk mengetahui proses berfikir, keterkaitan, dan sistematika

pekerjaan siswa.

Di dalam penskoran pemecahan masalah terdapat poin-poin atau skor

pada setiap langkah yang dikerjakan. Pada pedoman penskoran pemecahan

masalah yang dikemukakan, Shcoen dan Ochmke (Wardani, Sri, 2002:16)

bahwa setiap langkah memiliki skor yang berbeda.

Tabel

Pedoman Pemberian Skor Pemecahan Masalah

SkorMemahami masalah

Merencanakan penyelesaian

Melakukan perhitungan

Memeriksa kembali hasil

0

Salah menginterpretasikan/salah sama sekali

Tidak ada rencana, membuat rencana yang tidak relevan

Tidak melakukan perhitungan

Tidak ada pemeriksaan atau tidak ada keterangan lain

1 Salah menginterpretasikan soal, mengabaikan soal

Membuat rencana yang benar tapi salah dalam hasil, tidak ada hasil

Melakukan prosedur yang benar dan mungkin menghasilkan jawaban benar tapi salah

Ada pemeriksaan tetapi tidak tuntas

Page 43: 25022013 siska ryane mpmt

perhitungan

2

Memahami masalah soal selengkapnya

Membuat rencana yang benar dan mendapatkan hasil yang benar

Melakukan proses yang benar dan mendapatkan hasil yang benar

Pemeriksaan dilakukan untuk melihat kebenaran proses

3

Membuat rencana yang benar tetapi belum lengkap

4

Membuat rencana sesuai dengan prosedur dan pengaruh pada solusi yang benar

Skor maksimal 2

Skor maksimal 4

Skor maksimal 2

Skor maksimal 2

Sumber: Wardani, Sri (2002 : 16)

2. Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Tes kemampuan berpikir kritis pada penelitian ini terdiri dari 6 soal

berbentuk uraian. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa

dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin.

Kriteria pemberian skor tiap butir soal dalam tes ini menurut pedoman

penskoran soal-soal, dimana setiap butir soal mempunyai bobot nilai

maksimal 4 dan minimal 0. Adapun kriteria penskoran mengacu pada teknik

penskoran Hancock (1995) seperti dijelaskan pada tabel berikut ini:

Page 44: 25022013 siska ryane mpmt

Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Keterangan jawaban Nilai

1. Jawaban lengkap dan benar untuk pertanyaan yang diberikan

2. Illustrasi ketrampilan pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasinya sempurna (excellent)

3. Jika jawaban terbuka, jawaban semuanya benar

4. Pekerjaannya ditunjukkan dan atau dijelaskan clearly

5. Memuat sedikit kesalahan

4

6. Jawaban benar untuk masalah yang diberikan

7. Illustrasi ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi baik (good)

8. Jika jawaban terbuka, banyak jawaban yang benar

9. Pekerjaannya ditunjukkan dan atau dijelaskan

10. Memuat beberapa kesalahan dalam penalaran matematika

3

11. Beberapa jawaban dari pertanyaan tidak lengkap

12. Illustrasi ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasinya cukup (fair)

13. Kekurangan dalam berpikir tingkat tinggi terlihat jelas

14. Penyimpulan terlihat tidak akurat

15. Muncul beberapa keterbatasan dalam pemahaman konsep matematika

16. Banyak kesalahan dari penalaran matematika yang muncul

2

Page 45: 25022013 siska ryane mpmt

17. Muncul masalah dalam meniru ide matematika tetapi tidak dikembangkan

18. Ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan atau komunikasi kurang (poor)

19. Banyak kesalahan perhitungan yang muncul

20. Terdapat sedikit pemahaman matematisa yang diilustrasikan

21. Siswa jarang mencoba beberapa hal

1

22. Keseluruhan jawaban tidak ada atau tidak Nampak

23. Tidak muncul ketrampilan pemecahan masalah, penalaran atau komunikasi

24. Sama sekali pemahaman matematisanya tidak muncul

25. Terlihat jelas bluffing (mencoba-coba, menebak)

26. Tidak menjawab semua kemungkinan yang diberikan

0

3. Skala Sikap Siswa

Skala sikap diberikan kepada siswa kelas eksperimen setelah

memperoleh pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and

Explaining. Sikap yang dilihat meliputi sikap terhadap pelajaran matematika,

sikap terhadap pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator

and Explaining, dan sikap terhadap soal-soal yang mengukur pemecahan

masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis.

Page 46: 25022013 siska ryane mpmt

Model skala sikap yang digunakan adalah model skala sikap Likert,

dengan pilihan jawaban SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju)

dan STS (Sangat Tidak Setuju). Untuk melihat kecenderungan sikap siswa ke

arah positif atau negatif, diberikan penskoran dimana untuk pernyataan positif

SS memiliki nilai 4, pernyataan S memiliki nilai 3, pernyataan TS memiliki

nilai 2 dan pernyataan STS memiliki nilai 1. Sedangkan untuk pernyataan

negatif dengan pemberian skor sebaliknya dari pernyataan positif.

M. Prosedur Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua macam cara pengumpulan data yaitu

melalui tes dan angket. Tes dilaksanakan sebelum dan sesudah pembelajaran.

Sebelum pembelajaran diadakan tes awal (pretes), bertujuan untuk

mengetahui penguasaan materi dan kemampuan awal siswa pada kedua

kelompok. Sedangkan tes sesudah pembelajaran berupa tes pemecahan

masalah matematis serta berpikir krititis matematis yang bertujuan untuk

mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal non-rutin pada

aspek-aspek tersebut.

Skala sikap diberikan kepada siswa kelompok eksperimen setelah

seluruh kegiatan dalam pembelajaran kooperatif dengan metode Student

Facilitator and Explaining berakhir. Pengisian skala sikap ini bertujuan

untuk mengetahui sikap siswa terhadap model pembelajaran kooperatif

dengan metode Student Facilitator and Explaining dan soal-soal pemecahan

masalah serta berpikir kritis matematis.

Page 47: 25022013 siska ryane mpmt

N. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan, yaitu data kuantitatif berupa hasil tes

kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis

matematis siswa dan data kualitatif berupa skala sikap siswa.

1) Data kuantitatif

Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui besarnya

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan

berpikir kritis matematis siswa, sehingga data primer hasil tes siswa sebelum

dan setelah perlakuan penerapan metode pembelajaran kooperatif Student

Facilitator and Explaining dianalisis dengan cara membandingkan skor

pretes dan postes. Perbandingan skor ini dinyatakan dengan nilai gainnya .

Menyatakan gain dalam hasil proses pembelajaran tidaklah mudah.

Misalnya, siswa yang memiliki gain 2 dari 5 ke 7 dan siswa yang memiliki

gain 2 dari 8 ke 10 dengan skor maksimal 10. Gain absolut menyatakan

bahwa kedua siswa memiliki gain yang sama. Secara logis seharusnya siswa

yang kedua memiliki gain yang lebih tinggi dari siswa yang pertama. Hal ini

karena usaha untuk meningkatkan dari 8 ke 10 akan lebih berat daripada

meningkatkan dari 5 ke 7. Menyikapi kondisi bahwa siswa memiliki gain

absolut sama belum tentu memiliki gain hasil belajar yang sama, Meltzer

(Lestari, 2008) mengembangkan sebuah alternatif untuk menjelaskan gain

yang disebut gain ternormalisasi.

Menghitung gain ternormalisasi dengan rumus:

Page 48: 25022013 siska ryane mpmt

g=postes−prete s

skor maksimal−pretes (Meltzer dalam Lestari,

2008)

Tabel Kriteria Indeks Gain Interval Kriteria

g>0,7 Tinggi

0,3<g≤ 0,7 Sedang

g ≤ 0,3 Rendah

(Hake dalam Lestari, 2008)

Hipotesis statistik yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : 1(eksperimen) = 2(kontrol)

H1 : 1(eksperimen) > 2(kontrol)

Hipotesis 1 :

H0 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan

kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh

pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining dengan

siswa yang memperoleh pembelajaran langsung.

H1 : Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang

memperoleh pembelajaran kooperatif Student Facilitator and

Explaining secara signifikan lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran langsung.

Hipotesis 2 :

H0 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan berpikir

kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif

Student Facilitator and Explaining dengan siswa yang memperoleh

pembelajaran langsung.

Page 49: 25022013 siska ryane mpmt

H1 : Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran kooperatif Student Facilitator and

Explaining secara signifikan lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran langsung.

Untuk menguji hipotesis ke-1 dan 2 digunakan uji perbedaaan dua

rata-rata (uji-t) dengan taraf signifikan = 0,05 dan derajat kebebasan dk=

(ne + nk – 2), H0 diterima jika thitung < ttabel (Ruseffendi,1998:278). Adapun

langkah-langkah uji perbedaan rata-rata sebagai berikut.

a) Menghitung rata-rata skor hasil pretes dan postes menggunakan rumus

sebagai berikut:

x̄=

∑i=1

k

x i

n .

Ruseffendi (1998: 76)

b) Menghitung standar deviasi pretest dan postest menggunakan rumus:

s=√∑i=1

k ( x i− x̄ )2

n . (Ruseffendi, 1998)

c) Menguji normalitas data skor pretes dan postes.

Uji normalitas diperlukan untuk menguji apakah data berdistribusi normal

atau tidak. Menguji normalitas data menggunakan uji Chi Kuadrat dengan

hipotesis sebagai berikut.

H0 = sebaran data berdistribusi normal

H1 = sebaran data tidak berdistribusi normal

Page 50: 25022013 siska ryane mpmt

Kriteria:

Hipotesis nol ditolak jika ❑hitung2 ≥❑tabel

2

Hipotesis nol diterima jika ❑hitung2 <❑tabel

2

Dengan ❑tabel2 =❑(1−α ) ( j−3)

2 .

Untuk α=0,05 dan j merupakan banyaknya kelas interval.

Statistik uji Chi-kuadrat yang digunakan adalah:

χ2=∑ ( f e−f o )2

f e . (Ruseffendi, 1998)

Keterangan:

f0 : frekwensi observasi

fe : frekwensi estimasi

d) Menguji homogenitas varians.

Uji homogenitas varians digunakan untuk menguji kesamaan varians dari

skor pretes, postes dan gain pada kedua kelompok (kelompok kontrol dan

kelompok eksperiment) untuk kemampuan pemahaman dan pemecahan

masalah matematik. Adapun hipotesis statistik yang digunakan adalah:

Hipotesis:

H0 : σ A2 =σB

2 , varians kelompok eksperimen tidak terdapat perbedaan dengan

varians kelompok kontrol

H1 : σ A2 ≠ σB

2 , varians kelompok eksperimen tidak sama dengan varians

kelompok kontrol

Kriteria uji homogenitas adalah:

Hipotesis nol ditolak jika Fhitung>F tabel

Page 51: 25022013 siska ryane mpmt

Hipotesis nol ditolak jika Fhitung≤ Ftabel

Untuk menguji hipotesis tersebut, digunakan uji-F sebagai berikut.

F=s A

2

sB2 (Ruseffendi, 1998)

Keterangan:

sA2 = varians kelompok eksperimen

sB2 = varians kelompok kontrol

e) Sebaran data normal dan homogen, maka uji signifikansi dengan statistik

uji-t sebagai berikut:

t=

x1−x2

√ (n1−1 ) s12+( n2−1 ) s2

2

n1+n2−2 ( 1n1

+ 1n2 )

.

(Sudjana, 2005)

Keterangan:

x1 = rata-rata sampel pertama

x2 = rata-rata sampel kedua

s12 = varians sampel pertama

s22 = varians sampel kedua

n1 = banyaknya data sampel pertama

Page 52: 25022013 siska ryane mpmt

n2 = banyaknya data sampel pertama

Kriteria: Terima H0 jika t hitung< ttabel dengan t tabel=t1−α untuk taraf

signifikansi α=0,05 dan derajat kebebasan dk ¿n1+n2−2

Untuk distribusi data normal tetapi tidak homogen, digunakan uji hipotesis

dengan uji-t’ sebagai berikut:

t '=

x1−x2

√( s12

n1

+s2

2

n2) (Sudjana, 2005)

2) Data kualitatif

Dalam penelitian data kualitatif yang dianalisis adalah skala sikap.

Penganalisisan data hasil skala sikap dititik beratkan pada respons siswa

terhadap model pembelajaran yang diberikan, yaitu pembelajaran kooferatif

dengan metode Student Facilitator and Explaining. Untuk mengetahui

hubungan/kaitan antara pemecahan masalah matematis dengan kemampuan

berikir kritis siswa dengan menggunakan rumus korelasi product moment

dengan angka kasar (Arikunto, 2005: 72), yaitu:

r xy=N∑ XY−(∑ X )(∑ Y )

√ { N ∑ X2− (∑ X )2}{N ∑Y 2− (∑Y )2}

dengan rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y

X = Skor pemecahan masalah matematis

Y = Skor kemampuan berpikir kritis siswa

N = Banyaknya siswa peserta tes

Page 53: 25022013 siska ryane mpmt

Untuk menganalisis dan mendeskripsikan sikap siswa diperlukan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pemberian Skor Skala sikap

Penentuan skor skala sikap Likert dapat dilakukan secara apriori dan

dapat pula secara aposteriori (Subino, 1997). Secara apriori, maka bagi skala

yang berarah positif akan mempunyai kemungkinan-kemungkinan skor 4 bagi

SS, 3 bagi S, 2 bagi TS dan 1 bagi STS, sedangkan bagi skala yang berarah

negatif maka kemungkinan skor tersebut menjadi sebaliknya.

2. Memilih Butir-butir Skala Sikap

Pemilihan butir-butir skala sikap Likert ini didasarkan kepada

signifikan tidaknya daya pembeda butir skala yang bersangkutan. Daya

pembeda butir-butir skala sikap Likert ini dianalisis dengan uji-t.

Statistik t dihitung dengan rumus :

t=x

T−x

R

√ ST2

nT

+SR

2

nR

dengan :

XT : Rata-rata skor kelompok tinggi

X R : Rata-rata skor kelompok rendah.

ST

2 : Varians kelompok tinggi

Page 54: 25022013 siska ryane mpmt

SR

2 : Varians kelompok rendah

nT : Banyaknya subjek pada kelompok tinggi

nR : Banyaknya subjek pada kelompok rendah

3. Analisis Reliabilitas Skala Sikap

Reliabilitas skala sikap dianalisis dengan menggunakan rumus Alpha,

setelah dilakukan seleksi terhadap butir-butir pernyataan yang memiliki Daya

Pembeda yang signifikan. Rumus dan kriterianya sama dengan perhitungan

reliabilitas instrumen tes, yaitu :

r=( nn−1 )(1−∑ σ i

2

σ t2 )

dan kriteria reliabilitas dari Guilford.

4. Hasil Pengukuran Sikap dan Minat Siswa

Hasil pengukuran sikap dan minat siswa dihitung rata-ratanya untuk

setiap butir pernyataan. Kemudian dibandingkan dengan rata-rata netralnya.

Apabila rata-rata skor untuk suatu pernyataan lebih besar dari rata-rata skor

netralnya, maka sikap dan minat siswa dikatakan positif terhadap pernyataan

tersebut.