Top Banner
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda Selat Sunda merupakan zona peralihan penunjaman asimetri miring antar Lempeng Samudera Indo-Australia terhadap Lempeng Benua Eurasia di lepas pantai sebelah Barat Sumatera. Sebagai akibat dari penunjaman miring tersebut, terbentuk dua sistem tektonik utama, yakni sistem zona sesar geser menganan yang membentang dari ujung Utara hingga ujung Selatan Pulau Sumatera dan sistem zona subduksi sepanjang palung Sumatera. Selain terbentuknya sistem tektonik tersebut, juga terjadi tarikan cukup besar yang menyebabkan segmentasi di sepanjang Sumatera dengan variasi pergerakan mencapai 37 mm/tahun di Utara Sumatera hingga 6 mm/tahun di Selatan Sumatera (Sieh, 2000). Zona sesar geser menganan yang membentang dari ujung Utara Sumatera hingga ujung Selatan Sumatera tidak hanya terdiri dari zona Sesar Sumatera, tetapi juga terdiri dari zona Sesar Mentawai yang membentang di sepanjang deretan pulau-pulau kecil di busur muka Pulau Sumatera dan terletak di antara palung dan Pulau Sumatera (Diament, 1992). Di sepanjang lepas pantai Selatan Jawa tidak terjadi penunjaman miring layaknya di sepanjang lepas pantai Barat Sumatera, melainkan penunjaman terjadi dengan arah normal sehingga tidak terbentuk zona sesar seperti yang ada di Sumatera. Segmen Sunda merupakan subsegmen Sesar Sumatera dengan panjang 150 km berada di daerah Selat Sunda, hasil observasi lapangan menunjukkan pergeseran yang sangat kecil di ujung Selatan Sumatera sehingga diasumsikan Sesar Sumatera terputus di Selat Sunda (Pramumijoyo, 1991). Selat Sunda terbentuk akibat tarikan karena pergeseran dari blok Barat Daya ke arah Barat Laut Sumatera yang dikenal dengan lempeng Sumatera atau forearc silver plate (Jarrard, 1986) atau Sumatera plate (Diament, 1992) di sepanjang zona Sesar Sumatera (Huchon, 1984). Pelebaran ke arah Selatan dari
15

2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

Nov 28, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

Selat Sunda merupakan zona peralihan penunjaman asimetri miring antar

Lempeng Samudera Indo-Australia terhadap Lempeng Benua Eurasia di lepas

pantai sebelah Barat Sumatera. Sebagai akibat dari penunjaman miring

tersebut, terbentuk dua sistem tektonik utama, yakni sistem zona sesar geser

menganan yang membentang dari ujung Utara hingga ujung Selatan Pulau

Sumatera dan sistem zona subduksi sepanjang palung Sumatera. Selain

terbentuknya sistem tektonik tersebut, juga terjadi tarikan cukup besar yang

menyebabkan segmentasi di sepanjang Sumatera dengan variasi pergerakan

mencapai 37 mm/tahun di Utara Sumatera hingga 6 mm/tahun di Selatan

Sumatera (Sieh, 2000).

Zona sesar geser menganan yang membentang dari ujung Utara Sumatera

hingga ujung Selatan Sumatera tidak hanya terdiri dari zona Sesar Sumatera,

tetapi juga terdiri dari zona Sesar Mentawai yang membentang di sepanjang

deretan pulau-pulau kecil di busur muka Pulau Sumatera dan terletak di antara

palung dan Pulau Sumatera (Diament, 1992). Di sepanjang lepas pantai Selatan

Jawa tidak terjadi penunjaman miring layaknya di sepanjang lepas pantai Barat

Sumatera, melainkan penunjaman terjadi dengan arah normal sehingga tidak

terbentuk zona sesar seperti yang ada di Sumatera. Segmen Sunda merupakan

subsegmen Sesar Sumatera dengan panjang 150 km berada di daerah Selat

Sunda, hasil observasi lapangan menunjukkan pergeseran yang sangat kecil di

ujung Selatan Sumatera sehingga diasumsikan Sesar Sumatera terputus di Selat

Sunda (Pramumijoyo, 1991).

Selat Sunda terbentuk akibat tarikan karena pergeseran dari blok Barat Daya

ke arah Barat Laut Sumatera yang dikenal dengan lempeng Sumatera atau

forearc silver plate (Jarrard, 1986) atau Sumatera plate (Diament, 1992) di

sepanjang zona Sesar Sumatera (Huchon, 1984). Pelebaran ke arah Selatan dari

Page 2: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

7

selat mengakibatkan teramatinya prisma akresi berbentuk cembung ke arah

Utara diselatan Selat Sunda yang dicerminkan dengan kompleks deformasi

yang tersusun dari sesar-sesar normal dan geser. Adanya bukti bahwa dua dari

tiga zona kegempaan di kerak bagian atas berkumpul di Graben Semangko dan

di bawah kompleks Krakatau (Harjono, 1991) memperkuat pendapat tersebut

sehingga zona tersebut bersifat tektonik dan dapat dihubungkan dengan tarikan

di dalam Selat Sunda.

Sebelum Miosen atas, Pulau Jawa dan Pulau Sumatera terhubung menjadi satu

(Hall, 1997) kemudian terpisah akibat penyobekan dan pembentukan Selat

Sunda yang disebabkan oleh pergerakan ke arah Barat Laut Sumatera di

sepanjang Sesar Sumatera Tengah (Huchon, 1991). Sesar ini menjadi

pengontrol hadirnya Gunungapi Rajabasa Purba dengan umur Miosen atas,

membentuk Pulau Panaitan, dan Gunung Sebuku yang merupakan kerucut

Gunungapi Rajabasa Purba yang berumur Pliosen serta diikuti dengan

bermunculan gunungapi lainnya hingga munculnya Gunungapi Krakatau

(Memed, 2019).

Gambar 2. 1 Perkembangan Tektonik Zona Transisi Antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa

(Memed, 2019)

Gambar 2.1 a memperlihatkan kondisi sebelum terjadi ekstensi dengan asumsi

keseragaman struktur busur muka di sepanjang Pulau Jawa dan Pulau

Sumatera, terdapat cekungan dan punggungan akresi yang menerus. Gambar

Page 3: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

8

2.1 b memperlihatkan pergeseran sesar geser di dekat palung yang membentuk

cekungan secara terus-menerus hingga terbentuk zona ekstensi. Gambar 2.1 c

memperlihatkan bukaan akibat adanya ekstensi sehingga punggungan akresi

antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa menjadi terpecah. Bukaan yang melebar

dan ekstensi yang menerus merupakan zona lemah yang menyebabkan garis

palung bergerak menuju arah dalam busur muka. Gambar 2.1 d

memperlihatkan struktur cekungan akibat ekstensi yang terjadi terus-menerus

dan meluas seiring dengan melengkungnya garis palung. Berdasarkan hal

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa aktivitas tektonik yang terjadi adalah

pemicu pembentukan Selat Sunda sebagai zona peralihan penunjaman asimetri

tegak di sebelah Selatan Jawa dengan penunjaman asimetri miring lempeng

Samudera Indo-Australia terhadap lempeng Benua Eurasia di sebalah Barat

Sumatera (Memed, 2019).

2.2 Stratigrafi Regional Selat Sunda

Geologi regional Selat Sunda berhubungan erat dengan geologi Pulau Jawa

bagian Barat dan Pulau Sumatera bagian Selatan. Interpretasi data geologi

lapangan menunjukkan bahwa keragaman batuan di daerah Selat Sunda

berumur Prakenozoikum sampai Kuarter yang terbagi menjadi beberapa satuan

stratigrafi sebagai berikut.

1. Batuan Tertua Berumur Prakenozoikum

Satuan batuan tertua Prakenozoikum terdiri atas formasi Menanga yang

tersusun oleh marmer yang tersingkap di daerah Lampung dan satuan batuan

sekis. Di Pulau Jawa tersingkap batuan sedimen berumur Paleosen yang

terendapkan di dalam cekungan sedimen dengan kemungkinan dialasi oleh

batuan Prakenozoikum (sekis atau granit).

2. Batuan Gunungapi Oligosen-Miosen

Satuan batuan gunungapi Oligosen-Miosen terendapkan di atas batuan

sedimen Paleosen di Pulau Jawa dan batuan Prakenozoikum di Pulau

Sumatera secara tidak selaras. Di beberapa tempat batuan gunungapi ini

diterobos oleh dasit juga granit.

Page 4: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

9

3. Batuan Sedimen Plio-Plistoseni

Satuan batuan sedimen Plio-Plistosen merupakan formasi Kasai yang

disusun oleh konglomerat batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa, dan

batulanau. Satuan batuan ini adalah batuan paling muda dalam cekungan

Sumatera Selatan.

4. Batuan Gunungapi Plio-Plistosen

Satuan batuan gunungapi Plio-Plistosen membentuk kerucut terpacung yang

secara umum sudah tidak aktif yang disebut sebagai batuan gunungapi tidak

terpisahkan. Tuf Plio-Plistosen diduga merupakan produk hasil erosi

gunungapi Plio-Plistosen.

5. Batuan Gunungapi Plistosen

Satuan batuan gunungapi Plistosen umumnya telah tererosi denga kuat dan

memiliki kawah yang dapat diidentifikasi. Di Pulau Sumatera terdapat

singkapan batuan Basal Sukadana dengan morfologi bergelombang dan

sebagian menunjukkan kerucut tumpul yang terdiri dari lava basal.

6. Batuan Gunungapi Holosen

Satuan batuan gunungapi Holosen umumnya membentuk kerucut dan

muncul dalam kaldera gunungapi Plio-Plistosen, tetapi ada juga yang

muncul menyendiri. Batuan tersebut terendapkan di bawah endapan-

endapan resen secara tidak selaras, yaitu batugamping yang membentuk

Pulau Panjang di sebelah Timur Laut Cilegon dan Timur Gunung Karang,

terdiri dari pecahan moluska dan koloni koral; endapan alluvial yang

merupakan endapan rawa atau sungai sebagai hasil ubahan batuan yang

lebih tua; endapan pantai tua yang tersingkap di Pantai Timur Sumatera

merupakan hasil erosi Formasi Kasai yang terdiri dari batupasir kuarsa; dan

endapan pantai yang merupakan hasil ubahan batuan yang lebih tua yang

terendapkan oleh air dan angin di sepanjang pantai.

Page 5: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

10

2.3 Keadaan Tektonik Selat Sunda

Busur Sunda dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu Busur Sunda tunjaman

asimetri tegak di lepas pantai Selatan Pula Jawa dan Busur Sunda tunjaman

asimetri miring Lempeng Samudera Indo-Australia terhadap Lempeng Benua

Eurasia di lepas pantai Barat Pulau Sumatera. Selat Sunda sebagai zona

peralihan dari perbedaan kedua sistem tunjaman tektonik tersebut mengalami

ekstensi dengan arah relatif Barat Laut – Tenggara dan arah gaya kompresi

relatif Barat Daya – Timur Laut. Pada daerah Selat Sunda dijumpai deretan

gunungapi sebagai akibat dari ekstensi yang terjadi, yaitu Gunungapi Tua

Panaitan, Gunungapi Tua Sukadana dengan arah Barat Daya – Timur Laut,

Gunungapi Tua Komplek Sebesi, Gunungapi Krakatau dan Anak Krakatau,

serta Gunungapi Tua dan Muda Rajabasa.

Sepanjang pantai Selat Sunda di Sumatera dikontrol oleh beberapa sesar aktif

dan besar sebagai berikut.

1. Sesar Semangko dan Sesar Kotaagung

Sesar Semangko dan Sesar Kotaagung membentuk graben yang dapat

memicu hadirnya gunungapi baru dan berpotensi sebagai sumber gempa

bumi di bawah laut.

2. Sesar Panjang

Sesar Panjang merupakan sesar normal mendatar dengan arah menganan

yang berpotensi sebagai sumber gempa bumi di bawah laut.

3. Sesar Krakatau

Sesar Krakatau bersifat ekstensi sehingga menjadi pemicu hadirnya deretan

gunungapi berumur Miosen Atas yang masih aktif hingga kini.

Selain aktivitas sesar-sesar tersebut, daerah Selat Sunda menjadi daerah

potensial gempa bumi di bawah laut atau disebut dengan zona rumpang gempa

bumi (seismic gap) juga dikarenakan terbentuknya strain ellipsoidal akibat

adanya gaya kompresi maksimum yang terpusat di sebelah Selatan Selat Sunda

yang (Memed, 2019).

Page 6: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

11

2.4 Gempa Bumi

Gempa bumi merupakan peristiwa bergetarnya permukaan tanah saat terjadi

pelepasan energi secara tiba-tiba akibat dari pecahnya massa batuan di lapisan

kerak bumi (Pawirodikromo, 2012). Pergerakan lempeng-lempeng tektonik

menghasilkan akumulasi energi penyebab terjadinya gempa bumi. Energi yang

dihasilkan kemudian dipancarkan ke segala arah melalui gelombang dan

dirasakan hingga ke permukaan bumi.

Menurut teori lempeng tektonik, permukaan bumi terpecah menjadi beberapa

lempeng tektonik besar. Lempeng tektonik merupakan segmen keras kerak

bumi yang mengapung diatas astenosfer cair dan panas sehingga dapat

bergerak bebas dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Daerah perbatasan

lempeng-lempeng tektonik adalah tempat dengan kondisi tektonik aktif yang

menyebabkan gunung berapi, gempa bumi, dan pembentukan dataran tinggi.

Teori lempeng tektonik merupakan kombinasi dari teori sebelumnya yakni

teori pemekaran dasar samudera (Sea Floor Spreading) dan pergerakan benua

(Continental Drift). Terdapat tiga mekanisme pergerakan lempeng tektonik

relatif terhadap lempeng lainnya, yaitu ketika antar lempeng saling mendekati,

saling menjauhi, dan saling bergeser (Putri, 2012).

Apabila dua lempeng bertemu pada suatu sesar, keduanya dapat bergerak

saling mendekati, saling menjauhi ataupun saling bergeser. Biasanya, gerakan

ini tidak dapat dirasakan oleh manusia karena berlangsung lambat dan terukur

sebesar 0 - 15 sentimeter per tahun. Pada suatu kondisi, pergerakan lempeng

dapat terhenti dan saling mengunci sehingga terjadi pengumpulan energi yang

berlangsung terus-menerus hingga batuan pada lempeng tektonik tidak cukup

kuat untuk menahan pergerakan tersebut dan energi terlepas secara mendadak

yang kita kenal sebagai gempa bumi.

Menurut teori elastic rebound, apabila terdapat dua gaya bekerja dengan arah

berlawanan pada batuan kulit bumi, maka batuan tersebut akan mengalami

deformasi karena memiliki sifat elastis. Saat gaya bekerja dalam durasi yang

Page 7: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

12

lama dan secara terus-menerus, daya dukung batuan akan mencapai batas

maksimum dan mulai mengalami pergeseran. Akibatnya batuan akan

mengalami patahan secara tiba-tiba di sepanjang bidang sesar (fault) dan

kembali stabil dengan bentuk dan posisi yang telah berubah.

2.4.1 Parameter Sumber Gempa Bumi

Parameter sumber gempa bumi merupakan hasil dari pengumpulan,

pengolahan, dan analisis informasi seismik yang diperoleh berdasarkan

kejadian gempa bumi. Parameter sumber gempa bumi adalah sebagai

berikut.

a. Waktu Terjadinya Gempa Bumi

Waktu terjadinya gempa bumi (origin time) merupakan waktu

terlepasnya akumulasi energi yang berbentuk perambatan gelombang

dan dinyatakan dalam hari, tanggal, bulan, tahun, jam, menit, dan

detik dalam satuan UTC (Universal Time Coordinated) yang

diperoleh dari hasil pengurangan antara waktu tiba dan waktu tempuh

gelombang.

b. Lokasi Pusat Terjadinya Gempa Bumi

Lokasi pusat terjadinya gempa bumi (episenter) merupakan titik

refleksi tegak lurus di permukaan bumi dari kedalaman sumber gempa

yang dibuat dalam sistem koordinat kartesian bola atau sistem

koordinat geografis bumi dan dinyatakan dalam derajat lintang dan

bujur.

c. Kedalaman Pusat Gempa Bumi

Kedalaman pusat gempa bumi (hiposenter) merupakan jarak yang

dihitung tegak lurus dari permukaan bumi yang dinyatakan dalam

besaran jarak dengan satuan kilometer. Berdasarkan kedalamannya,

gempa bumi terbagi menjadi tiga zona sebagai berikut

(Pawirodikromo, 2012).

Page 8: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

13

- Zona dangkal, gempa bumi terjadi pada kedalaman kurang dari 70

kilometer di bawah permukaan bumi.

- Zona menengah, gempa bumi terjadi pada kedalaman 70 – 300

kilometer di bawah permukaan bumi.

- Zona dalam, gempa bumi terjadi pada kedalaman lebih dari 300

kilometer dibawah permukaan bumi.

d. Kekuatan Gempa Bumi

Kekuatan gempa bumi (magnitudo) merupakan ukuran kekuatan

gempa bumi yang menggambarkan besarnya energi yang terlepas saat

gempa bumi terjadi yang dapat diestimasi berdasarkan amplitudo

maksimum dan periode atau durasi sinyal. Umumnya, kekuatan

gempa bumi dinyatakan dalam satuan skala richter (SR) yang bersifat

logaritimik.

2.5 Mekanisme Penjalaran Gelombang

Pada penjalaran gelombang seismik terdapat beberapa prinsip sebagai berikut.

1. Prinsip Huygens

Prinsip Huygens menyatakan bahwa setiap titik pada muka gelombang

dapat dianggap sebagai sumber gelombang kecil sekunder yang bergerak

keluar ke setiap arah maju dengan kecepatan medium pada titik tersebut.

Gelombang baru menjalar dalam bentuk bola, sehingga akan memiliki

kecepatan yang sama di segala arah. Gelombang dapat diperlakukan sebagai

bidang ketika gelombang tersebut menjalar dengan radius yang besar.

Prinsip Huygens memberikan informasi mengenai gangguan seismik yang

terjadi di dalam bumi, apabila diketahui posisi dari wavefront tertentu, maka

posisi wavefront selanjutnya dapat ditentukan dengan menjadikan setiap

titik pada wavefront pertama sebagai sumber gelombang baru.

Page 9: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

14

Gambar 2. 2 Ilustrasi Prinsip Huygens

2. Prinsip Fermat

Prinsip Fermat menyatakan bahwa gelombang akan menjalar dengan

mengikuti jalur waktu minimum, dimana gelombang yang menjalar dari

satu titik ke titik lain akan memilih lintasan dengan waktu tempuh yang

paling singkat (tercepat). Prinsip Fermat dapat diaplikasikan dalam

penentuan lintasan gelombang dari satu titik ke titik lain dengan melihat

lintasan yang memiliki waktu tempuh minimum. Dengan diketahuinya

lintasan yang memiliki waktu tempuh minimum, maka dapat dilakukan

pendeteksian jejak gelombang yang telah merambat di dalam medium.

Pendeteksian jejak gelombang akan membantu dalam penentuan posisi

reflektor di bawah permukaan, dimana lintasan tercepat tidak selalu

berbentuk garis lurus (Hamimu, 2017).

Gambar 2. 3 Ilustrasi Prinsip Fermat (Waldhauser, 2000)

Page 10: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

15

3. Hukum Snellius

Hukum Snellius atau yang biasa dikenal dengan Hukum Snell menyatakan

bahwa sudut pantul dan sudut bias merupakan fungsi dari sudur datang dan

kecepatan gelombang. Penjalaran gelombang seismik antar medium

memiliki sifat fisik (kecepatan dan densitas) yang bervariasi yang

menyebabkan perubahan arah saat melewati bidang batas antar medium.

Gelombang datang pada bidang batas dua medium yang berbeda sifat akan

akan dipantulkan jika sudut datang lebih besar dari sudut kritis dan

dibiaskan jika sudut datang lebih kecil atau sama dengan sudut kritis. Sudut

kritis sendiri merupakan sudut datang yang menyebabkan gelombang

dibiaskan sebesar 90°. Ketika gelombang primer mengenai permukaan

bidang batas dua medium yang berbeda, sebagian energi akan dipantulkan

sebagai gelombang primer dan gelombang sekunder serta sebagian lagi akan

dibiaskan sebagai gelombang primer dan gelombang sekunder.

Gambar 2. 4 Ilustrasi Hukum Snellius

2.6 Penentuan Episenter

Pada penentuan episenter gempa bumi dibutuhkan informasi data koordinat

stasiun perekam yang digunakan, minimal empat waktu tiba gelombang P dan

model kecepatan gelombang seismik. Penentuan episenter gempa bumi dapat

dilakukan secara manual menggunakan metode Lingkaran serta dapat

Page 11: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

16

(2.1)

(2.2)

(2.3)

dilakukan dengan program komputer menggunakan metode Grid Search dan

metode Geiger dengan penjelasan sebagai berikut.

a. Metode Lingkaran

Data yang digunakan dalam metode Lingkaran adalah data waktu tiba

gelombang P dan S dari minimal tiga stasiun perekam, yakni S1, S2, dan S3

yang kemudian dibuat lingkaran dari masing-masing pusat stasiun dengan

jari-jari r1, r2, dan r3. Jari-jari lingkaran merupakan jarak hiposenter dengan

stasiun perekam yang diperoleh melalui persamaan berikut.

D = (TP – T0)* VP

Jika dari ketiga stasiun diketahui informasi waktu tiba gelombang S, maka

jarak hiposenter dapat diperoleh menggunakan persamaan berikut.

D = k * TSP

dengan

k = 𝑉𝑃

𝑉𝑃𝑉𝑆

−1

keterangan :

D = jarak hiposenter

TP = waktu tiba gelombang P

T0 = waktu terjadinya gempa

VP = kecepatan gelombang P

TSP = selisih waktu tiba gelombang S dan P

VS = kecepatan gelombang S

k = koefisien Oomori

Koordinat titik episenter merupakan titik perpotongan dari ketiga garis

lingkaran yang saling berpotongan yang dilambangkan dengan huruf E

pada gambar 2.5, sedangkan huruf H melambangkan titik hiposenter. Jarak

antara titik E dan titik H merupakan kedalaman fokus gempa (focal depth).

Page 12: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

17

Gambar 2. 5 Penentuan Episenter Metode Lingkaran (Modifikasi dari Hurukawa, 2008)

b. Metode Grid Search

Metode Grid Search dilakukan dengan membuat kisi dalam ruang di suatu

daerah yang diasumsikan sebagai lokasi sumber terjadinya gempa bumi

dengan mengasumsikan lokasi hiposenter pada setiap titik kisi. Solusi awal

dilakukan dengan memperhatikan harga fungsi obyektif minimum titik kisi

yang dibuat. Penentuan parameter gempa bumi fungsi obyektif tersebut

adalah selisih waktu tiba observasi dengan waktu tiba perhitungan. Titik

kisi yang memiliki nilai kesalahan minimum merupakan koordinat

episenter gempa. Solusi metode Grid Search akan semakin akurat jika kisi

yang digunakan semakin rapat, namun akan membutuhkan waktu

perhitungan yang semakin lama.

c. Metode Geiger

Data yang digunakan dalam metode Geiger adalah data waktu tiba

gelombang P dan atau gelombang S. Metode Geiger melakukan

perhitungan hiposenter dengan mengasumsikan bahwa bumi terdiri dari

lapisan yang heterogen, kemudian mencari solusi kuadrat terkecil secara

iteratif dengan perubahan model awal (perturbasi) sehingga jarak

hiposenter kalkulasi mendekati nilai hiposenter observasi (Cahyaningrum,

2013). Proses metode Geiger dimulai dengan menentukan model awal (M0)

berupa parameter hiposenter yang terdiri dari longitude (X0), latitude (Y0),

Page 13: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

18

(2.4)

(2.5)

(2.6)

(2.7)

(2.8)

kedalaman (Z0), dan waktu terjadinya gempa (T0). Selanjutnya melakukan

perhitungan waktu tiba kalkulasi (Tcal) dari model awal ke setiap stasiun

perekam yang memenuhi persamaan berikut.

Tcal = T0 + √(𝑋0−𝑋𝑖)

2+(𝑌0−𝑌𝑖)2+(𝑍0−𝑍𝑖)

2

𝑉𝑃

Kemudian dilakukan penurunan terhadap masing-masing parameter dan

disusun dalam sebuah matriks Jacobian dengan ukuran n×4, dimana n

adalah jumlah stasiun perekam gempa seperti berikut.

J =

[ 𝜕𝑡1

𝜕𝑋0

𝜕𝑡1

𝜕𝑌0

⋮ ⋮𝜕𝑡𝑛

𝜕𝑋0

𝜕𝑡𝑛

𝜕𝑌0

𝜕𝑡1

𝜕𝑍0

𝜕𝑡1

𝜕𝑇0

⋮ ⋮𝜕𝑡𝑛

𝜕𝑍0

𝜕𝑡𝑛

𝜕𝑇0]

Berdasarkan hasil perhitungan waktu kalkulasi tersebut, dapat diperoleh

residu antara waktu tiba kalkulasi dengan waktu tiba observasi melalui

persamaan berikut.

∆T = Tobs - Tcal

untuk mendapatkan fungsi obyektif minimum dari lokasi hiposenter,

dilakukan inversi kuadrat terkecil dengan persamaan berikut.

∆M = (𝐽T𝐽 + 𝜀2𝐼)-1𝐽T∆T

∆M merupakan parameter hiposenter, 𝐽 merupakan matriks Jacobian, 𝜀

merupakan damping, dan 𝐼 merupakan matriks identitas. Model parameter

hiposenter baru diperoleh dengan menjumlahkan model awal dan nilai

perubahan model parameter hiposenetr hasil inversi.

Mn = M0 + ∆M

Pembaharuan model parameter hiposenter dilakukan secara terus-menerus

hingga diperoleh nilai residual waktu tiba minimum.

2.7 Metode Double Difference

Metode Double Difference yang diperkenalkan oleh Felix Waldhauser dan

William L. Ellsworth merupakan salah satu metode relokasi posisi hiposenter

dengan mengembangkan prinsip Geiger yang memanfaatkan waktu tempuh

pasangan gempa menuju stasiun perekam. Metode ini termasuk dalam metode

relokasi hiposenter relatif yang efektif untuk meminimalisir kesalahan

Page 14: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

19

(2.9)

penentuan posisi hiposenter akibat pengaruh model kecepatan (Fremont,

1987). Metode Double Difference didasarkan pada fakta bahwa jika jarak

hiposenter antara dua gempa lebih kecil dibandingkan dengan jarak terhadap

stasiun dan panjang skala heterogenitas kecepatan yang dapat dikatakan sama,

maka jalur atau pola sinar antara daerah sumber dan stasiun umumnya serupa

pada hampir seluruh jalur sinar (Waldhauser, 2000).

Gambar 2. 6 Ilustrasi Metode Double Difference Ketika Gempa i dan j Direlokasi Bersama

Terhadap stasiun k dan l (Waldhauser, 2000)

Residual waktu tempuh pasangan gempa bumi yang terekam di sebuah stasiun

akan dianggap sebagai fungsi jarak antar hiposenter pasangan gempa bumi

tersebut (Waldhauser, 2000). Pada gambar 2.6 terlihat event i dan j masing-

masing direkam oleh stasiun k dan l dengan selisih waktu tempuh dijk dan dijl.

Posisi kedua event memiliki jarak yang jauh lebih kecil dibandingkan jarak

event terhadap stasiun sehingga jalur sinar dianggap serupa yang ditunjukkan

oleh sik, sil, sjk, dan sjl. Arah panah ∆xi dan ∆xj menunjukkan vektor relokasi

gempa yang memperhatikan perlambatan yang terjadi pada kedua gelombang

gempa bumi tersebut.

𝑇𝑘𝑖 = 𝜏𝑖 + ∫ 𝑢𝑑𝑠

𝑖

𝑘

𝑇𝑘𝑖 merupakan waktu tiba gempa i pada stasiun, 𝜏𝑖 merupakan waktu kejadian

gempa i, 𝑢 merupakan perlambatan, dan 𝑑𝑠 merupakan elemen panjang jalur

sinar. Waktu tempuh dan lokasi gempa memiliki hubungan yang tidak linier

sehingga persamaan perlu dilinierisasi menggunakan ekspansi deret Taylor.

Selanjutnya persamaan residual menjadi (𝑟𝑘𝑖) linier terhadap perturbasi

Page 15: 2.1 Mekanisme Pembentukan Selat Sunda

20

(2.10)

(2.11)

(2.12)

(2.13)

(2.14)

parameter hiposenter, yakni longitude (∆Xi), latitude (∆Yi), kedalaman (∆Zi),

dan waktu terjadinya gempa (∆Ti).

𝑟𝑘𝑖 =

𝜕𝑡𝑘𝑖

𝜕𝑚 ∆mi

Dalam melakukan relokasi menggunakan metode Double Difference,

dibutukan pasangan gempa yang terdiri atas dua event sehingga persamaan

2.10 menjadi seperti berikut.

𝑟𝑘𝑖𝑗

= 𝜕𝑡𝑘

𝑖

𝜕𝑚 ∆mi −

𝜕𝑡𝑘𝑗

𝜕𝑚 ∆mj

Residual waktu antara observasi dan kalkulasi didefinisikan sebagai perbedaan

waktu tempuh observasi dan kalkulasi antara dua event gempa yang disebut

sebagai persamaan Double Difference dan dinyatakan seperti berikut.

𝑑𝑟𝑘𝑖𝑗

= (𝑇𝑘𝑖 − 𝑇𝑘

𝑗)𝑜𝑏𝑠 − (𝑇𝑘

𝑖 − 𝑇𝑘𝑗)𝑐𝑎𝑙

Persamaan 2.12 kemudian dimasukkan dalam persamaan 2.10 dengan

menguraikan ∆mij menjadi parameter hiposenter.

𝑑𝑟𝑘𝑖𝑗

= 𝜕𝑡𝑘

𝑖

𝜕𝑋 ∆Xi +

𝜕𝑡𝑘𝑖

𝜕𝑌 ∆Yi +

𝜕𝑡𝑘𝑖

𝜕𝑍 ∆Zi + ∆Ti −

𝜕𝑡𝑘𝑖

𝜕𝑋 ∆Xj −

𝜕𝑡𝑘𝑖

𝜕𝑌 ∆Yj −

𝜕𝑡𝑘𝑖

𝜕𝑍 ∆Zj −∆Tj

Perturbasi parameter hiposenter merupakan nilai yang perlu dihitung saat

melakukan relokasi hiposenter. Perhitungan dilakukan secara inversi

menggunakan persamaan berikut.

𝑊𝑑 = 𝑊𝐺𝑚

�̂� = (𝐺𝑇𝑊−1𝐺)−1 𝐺𝑇𝑊−1𝑑

dimana 𝑊 adalah matriks pembobotan pada perhitungan waktu tempuh

kalkulasi, 𝑑 adalah vektor data Double Difference, 𝐺 adalah matriks jacobian

yang berdimensi Mx4N dengan M merupakan jumlah observasi Double

Difference, N merupakan jumlah event, dan angka empat merupakan jumlah

parameter hiposenter serta 𝑚 adalah matriks parameter hiposenter.