BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Islam identik dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah. Salah satu filosofi dasar ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, yaitu larangan untuk berbuat curang dan dzalim. Semua transaksi yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip rela sama rela (an taraddin minkum), dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi atau dizalimi. Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang ekonomi dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan. Salah satu kritik Islam terhadap praktek perbankan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama resiko). Dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro, bank konvensional
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi Islam identik dengan berkembangnya lembaga
keuangan syariah. Salah satu filosofi dasar ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi
dan bisnis, yaitu larangan untuk berbuat curang dan dzalim. Semua transaksi yang
dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip rela sama rela (an
taraddin minkum), dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi atau dizalimi.
Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang ekonomi
dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan.
Salah satu kritik Islam terhadap praktek perbankan konvensional adalah
dilanggarnya prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya)
dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama resiko). Dalam
pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro,
bank konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran
bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed
and predetermined rate). Sedangkan nasabah yang mendapatkan pinjaman tidak
mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam
bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung yang besarnya tidak dapat
ditentukan dari awal. 1
1 Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta, IIIT Indonesia, 2003) Ed.I Cet I, hal. 40.
Oleh karenanya mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman
merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu
diharamkan. Disini bank konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed
and predetermined tetapi menolak untuk menanggung resikonya (al ghunmu bi
laa ghurmi / againing return without being responsible for any risk). Bank
konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung
biayanya (al kharaj bi laa dhaman / gaining income without being responsible for
any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam
teori keuangan, yakni prinsip bahwa return selalu beriringan dengan resiko (return
goes along with risk).2
Di Indonesia maupun di Dunia Islam terdapat dua aliran pemikiran
sehubungan dengan sistem keuangan dan perbankan. Aliran pertama berpendapat
bahwa bahwa bunga bank tidak tergolong riba, karena yang disebut riba adalah
pembungaan uang oleh mindering yang bunganya sangat tinggi sehingga disebut
“lintah darat”.
Tetapi aliran yang melahirkan ide bank Islam berpendapat bahwa bunga
bank itu tetap riba. Akan tetapi keberadaan bank sebagai lembaga keuangan, tidak
dilarang, bahkan diperlukan. Sehingga menjadi sebuah kewajaran, atau mungkin
keharusan jika lembaga keuangan syariah yang muncul memberikan warna baru
yang lebih menawarkan keadilan, baik kepada pemilik modal ataupun peminjam
(pengusaha).
Sebagai sebuah alternatif, bank (lembaga keuangan) syariah telah
memformulasikan sistem interaksi kerja yang dapat menghindari aspek-aspek
2 Ibid, hal 43
2
negatif dari sistem kerja bank konvensional, yaitu dengan menerapkan beberapa
sistem, dimana harus diciptakan bank (lembaga keuangan) syariah yang tidak
bekerja atas dasar bunga melainkan atas sistem bagi hasil, antara lain yang dikenal
dalam fiqh mu’amalah sebagai transaksi mudharabah atau qiradh.3
Secara umum para fuqaha mendefinisikan mudharabah sebagai
penyerahan sejumlah modal tertentu dari seorang sahib al mal (penyandang dana)
kepada mudarib (pengusaha) agar uang tersebut dapat dikelola dan jika ada
keuntungan dibagi secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan dan jika terjadi
kerugian maka ditanggung uang modal itu oleh sahib al- mal dengan syarat-syarat
tertentu.4
Nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak
tidak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak
yang lain. Selain itu proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui
pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan.
Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (‘aqd) atau perjanjian
menempati posisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang
digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan
harta atau manfaat sesuatu secara sah.5
3 Mudharabah disebut juga qiradh atau muqaradah. Makna keduanya sama. Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta).
4 Al Jaziri, Kitab al- fiqh ‘ala mazahib al- Arba’ah, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr, 1990), hal.34
5 Musthafa Ahmad Az Zarqa, al fiqh fi Tsubih al Jadi (Beirut, Dar-al Fikr,1989) juz I hal. 55.
3
Didalam akad atau perjanjian terdapat pernyataan atas suatu keinginan
positif dari salah satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak lainnya, yang
menimbulkan akibat hukum pada obyek perjanjian.
Kesepakatan atau akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau
disebut dengan tasharruf. Mustafa Al Zarqa mendefinisikan tasharruf adalah
“segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’
menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban)”.6
Suatu tindakan dapat disebut sebagai akad atau perjanjian jika
memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad adalah unsur mutlak yang
harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada
secara syariah akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu
sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi akad.
BMT Bina Ihsanul Fikri adalah salah satu BMT di Yogyakarta, yang
sebagaimana BMT pada umumnya berorientasi pada upaya peningkatan
kesejahteraan anggota dan masyarakat. Selama ini BMT Bina Ihsanul Fikri dalam
kaitannya dengan nasabah, telah melakukan dua kegiatan, yaitu menabung atau
menitip dan meminjamkan dana (uang).
BMT Bina Ihsanul fikri telah memberikan bantuan pembiayaan dalam
bentuk fasilitas pembiayaan mudharabah (bagi hasil), yang sedapat mungkin
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nasabahnya.
Dalam menjalin beberapa ketentuan transaksi antara BMT dan nasabah,
sistem mudharabah telah mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan
6 Ghufron A Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, cet.1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2002), hal. 77.
4
mekanisme kesepakatan (akad) pembiayaan mudharabah dan mekanisme
pelaksanaan bagi hasil. Aturan mengenai hal itu tentu saja secara teoritis berkiblat
pada perspektif literatur fiqh klasik muamallah tentang mudharabah yang
kemudian direaktualisasikan oleh para praktisi dan akademisi perbankan syariah
kontemporer.
Karena dalam masyarakat banyak muncul asumsi bahwa BMT dan
lembaga keuangan syariah lainnya sama saja dengan lembaga keuangan
konvensional lainnya, maka penelitian ini dibuat guna mencari solusi alternatif
bagi permasalahan tersebut, serta untuk mengetahui apakah para nasabah
memahami konsep pembiayaan mudharabah baik dari segi pemahaman arti akad
maupun sistem nisbah bagi hasilnya, sekaligus dalam rangka membangun sistem
transaksi ekonomi yang Islami (berkeadilan) dalam sebuah lembaga keuangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, persoalan yang akan
dibahas dalam tesis ini yaitu :
1. Apakah nasabah BMT telah memahami mengenai konsep pembiayaan
mudharabah dan nisbah bagi hasil pada waktu melaksanakan akad ;
2. Apakah pemahaman nasabah dalam konsep akad pembiayaan mudharabah
dan kesepakatan nisbah bagi hasil tersebut dapat menimbulkan sengketa
antara nasabah dengan pihak BMT ?
3. Bagaimana cara penyelesaian yang ditempuh jika terjadi sengketa antara BMT
dengan nasabah ?
5
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat pemahaman nasabah mengenai akad pembiayaan
mudharabah dan nisbah bagi hasil.;
2. Untuk mengetahui kemungkinan timbulnya sengketa berkaitan dengan
pemahaman nasabah mengenai konsep akad pembiayaan mudharabah dan
kesepakatan nisbah bagi hasilnya;
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademik
a. Bagi institusi pendidikan
Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran sebagai pembanding
penemuan-penemuan peneliti terdahulu tentang pemahaman nasabah
mengenai akad pembiayaan mudharabah dari BMT .
b. Bagi penulis lain
Dapat dijadikan referensi untuk pengembangan penelitian dan dasar atau
acuan penelitian lain.
2. Manfaat Sosial
a. Bagi BMT
Masukan bagi BMT untuk bahan pertimbangan melakukan peningkatan
kinerja dan srategi dalam pemberian fasilitas pembiayaan mudharabah
bagi nasabahnya.
6
b. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan tentang pemahaman nasabah mengenai akad
pembiayaan mudharabah serta nisbah bagi hasilnya dan kemungkinan
timbulnya sengketa berkaitan dengan akad pembiayaan mudharabah.
E. Telaah Pustaka
Penelitian mengenai mudharabah dan bagi hasil ini bukanlah yang pertama
yang pernah dilakukan, namun ada penelitian yang dilakukan dan mirip dengan
penelitian yang dilakukan baik oleh peneliti dari Magister Studi Islam Universitas
Islam Indonesia maupun oleh peneliti lain, antara lain sebagai berikut :
Ahmad Dahlan dalam tesisnya menemukan bahwa didalam lembaga
keuangan BMT menerapkan sistim mudarabah muqayyadah fi al-nisbah bi al-
miyyah7. Mudarabah ini mempunyai asumsi perhitungan nisbah yang ditetapkan
2,5 % atas dasar besarnya pembiayaan yang dikeluarkan pihak BMT sebagai
shohib al- mal (pemodal) sehingga mekanisme ini menyerupai perhitungan
bunga. Penemuan ini menunjukkan bahwa disini didalam aplikasi pembiayaan
mudharabah terdapat kelemahan sistim bagi hasil yang menyimpang dari sejarah
pendiriannya yang bebas bunga.
Amirudin membicarakan konsep mudarabah dalam perspektif fiqh Islam
dan praktisi perbankan syariah melalui studi perbandingan dua kasus LKS di
Ponorogo. Perspektif fiqh juga disampaikan dalam penelitiannya.8 Selain itu
7 Ahmad Dahlan, Implementasi Pembiayaan Mudarabah di BMT Mentari Bina Artha Tegal: Studi Kasus Tahun 1996-2001, Tesis (Yogyakarta : MSI UII,2002).
8 Amiruddin, Studi Perbandingan Pelaksanaan Prinsip Mudarabah pada Koperasi Pondok Pesantren al-Muslim dan Lembaga Keuangan Syariah PT Bank Perkreditan Syariah al-Mabrur Ponorogo, Tesis (Yogyakarta: MSI UII,2003).
7
penelitian lain yang dilakukan oleh Subroto, yang mengemukakan tentang
prosedur pembiayaan mudarabah dan mekanisme pembagian keuntungan serta
menyelesaikan masalah kredit macet di 5 BMT di Ponorogo.9
Sumiyanto membicarakan mengenai atribut mudarib, ciri-ciri proyek, dan
minat BMT terhadap pembiayaan Mudarabah. Ketiganya digali dari perspektif
shahibul mal dan menggunakan analisis statistik sehingga analisisnya sangat kuat
bernuansa kuantitatif semata. Dari penelitiannya diketahui bahwa pembiayaan
mudharabah belum menjadi pola pembiayaan yang menarik bagi BMT sehingga
temuan tersebut memperkuat motivasi penelitian tesis ini.
Hikmatullah melakukan penelitian mengenai kemampuan alternatif
mudarabah atas sistim riba.10 Menurutnya bunga adalah riba dan bagi hasil yang
terdapat pada proyek mudarabah adalah sistim pengganti riba itu. Muatan
penelitiannya mengetengahkan teori alternatif yang aman dan tepat untuk
menggunakan pembiayaan mudarabah. Terkait dengan penelitian ini akan
digunakan dalam kerangka pemikiran perbaikan pada aspek pelaksanaannya.
Masudul Alam Choudhury mencermati prinsip bagi untung (profit
sharing) pada mudarabah.11 Dia mengartikan mudarabah sebagai suatu kerjasama
kemitraan yang didalamnya masing-masing menyertakan modal, pengelola
ataupun perusahaan dengan kesepakatan untuk berbagi keuntungan dalam bentuk
persentase. Dalam pandangannya, mudarabah terjadi hanya untuk memperoleh
keuntungan dari masing-masing pihak. Pandangan ini berbeda dengan pandangan 9 Subroto, Mudarabah Studi atas Teori dan Aplikasinya pada BMT di Ponorogo, Tesis
(Yogyakarta : MSI UII, 2004)10 Hikmatullah, Mudarabah Suatu Sistim Ekonomi Alternative tanpa Riba : Studi tentang
Perspektif Islam Terhadap Ekonomi , Tesis (Yogyakarta : MSI UII, 2003).11 Masudul Alam Choudhury, Contributions to Islamic Economic Theory : a Study in
Social Economics (New York : St. Martin’s Press,1986).
8
bahwa mudarabah merupakan kerjasama kemitraan dalam keuntungan maupun
kerugian. Akan tetapi penelitian ini akan sangat mempertimbangkan analisisnya
atas hubungan tingkat keuntungan (profit rate) dengan rasio pembagian
keuntungan (profit –sharing ratio) untuk mencermati kemampuan BMT
memandang kelayakan suatu proyek sekaligus kemampuan manajemennya.
Zaidi Satar (ed) mengetengahkan pemikiran dan tulisan banyak tokoh
ekonomi Islam mulai dari segi etika moral ekonomis bagi untung rugi hingga
konsekuensi maupun model investasi dinamis pembagian untung rugi. 12Ulasan
tiap bagiannya sangat mendukung dalam kerangka berpikir tentang realisasi
pemikiran moralitas kepada realitas ekonomi sehingga sistim bagi hasil sebagai
prinsip pembiayaan pada lembaga keuangan syariah selanjutnya dikenali secara
utuh.
F. Kerangka Teori
Mudharabah atau qiradh disebut juga perjanjian bagi hasil, yaitu berupa
kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak
pertama/supplier/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak
lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis,
dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh
masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka
ketentuannya berdasarkan syara’ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan
kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.13
12 Zaidi Satar (ed), Resource Mobilization and Investment in An Islamic Economic Framework (U.S.A : the international institute of islamic thought, 1412 H-1992 M).
13 Afazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4, (Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf,1996),hlm 380
9
Dalam teori yang dikembangkan para pemikir dan praktisi perbankan,
dimunculkan kata amin dan wakil sebagai sebutan bagi mudharib dalam kontrak
mudharabah. Kata amin dimaksudkan agar mudharib benar-benar menjaga titipan
(modal) yang diberikan shahib al-mal kepadanya. Namun perbedaan makna amin
dalam amanah dan amin dalam mudharabah sebagai inisial dari mudharib
terdapat dalam penggantian kerugian. Dalam makna yang sebenarnya kerugian
harus ditanggung oleh amin, sedangkan dalam mudharabah kerugian dipikul oleh
shahib al-mal atau orang yang menitipkan barang.14
Begitu pula dengan wakil, penyiasatan ini muncul ketika dalam kerugian
mudharib tidak akan mendapatkan apa-apa sementara wakil tetap mendapatkan
laba sebagai renumeration tetapnya. Namun penyiasatan ini muncul dalam
konteks wakalah nya atau sistim perwakilannya dimana shahib al mal mempunyai
kewenangan apapun dalam mengatur wakil nya. Sementara mudharib sebagai
wakil tidak akan berbuat bebas karena dia hanyalah seorang agen, tangan kedua
dari shahib al-mal.15
Kesan yang mudah ditangkap dalam kaitannya dengan penyebutan itu
adalah adanya tindakan antisipatif shahibul al-mal bank syariah (baca BMT)
sekaligus penggiringan mudharib dalam sebuah ruang yang dirancang agar
mudharib tidak dapat berbuat apapun jika pada suatu saat terjadi kerugian dalam
kontrak mudharabah.
14 Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah : Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, (Yogyakarta, Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI), 2003),Cet-1, hal 156.
15 Ibid, hal 157.
10
Masalah amin atau wakil seharusnya ditempatkan pada porsinya yang
tepat. Penyiasatan kedua istilah tersebut untuk kepentingan pengukuhan
keberadaan sistem mudharabah dalam perbankan syariah (baca BMT) merupakan
tindakan yang mengada-ada. Perlu kiranya dimunculkan pemahaman yang benar
akan hakikat mudharabah. Mudharabah memang sebuah kerjasama yang
membutuhkan kejujuran total dari kedua belah pihak terlebih bagi mudharib.
Kejujuran yang dimaksud meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan
usaha dan pelaporan hasil usahanya. 16
Perlu dipahami, persepsi masyarakat tentang bank syari’ah masih keliru.
Bank syari’ah dipandang sebagai : 17
(1) Bank Syari’ah sebagai bank sosial (Baitul Mal) untuk membantu
pembangunan (ekonomi) umat. Implikasi kekeliruan persepsi ini
berdampak pada pemahaman masyarakat bahwa : (a) bank syari’ah tidak
boleh meminta jaminan dalam memberikan pembiayaan, (b) bank syari’ah
tidak mengenakan denda bila nasabah tidak membayar tepat pada waktunya,
(c) bank syariah tidak boleh menyita jaminan.
(2) Bank Syari’ah sebagai bank bagi hasil. Implikasinya adalah pemahaman
masyarakat bahwa : (a) Untuk semua kebutuhan nasabah harus
menggunakan produk mudharabah atau musyarakah, (b) Bagi hasil yang
diberikan bank kepada nasabah harus lebih besar jika dibandingkan dengan
bunga dari bank konvensional, sehingga bagi hasil nasabah pembiayaan
16 Moedigdo Sigit Prakosa, Permasalahan Penerapan Mudharabah di Bank Syari’ah, Makalah disampaikan pada diskusi rutin Forum Pemberdayaan Lembaga Keuangan Syari’ah Yogyakarta, p.3.
17 Muhammad, Konstruksi, hal 172-173.
11
harus lebih kecil daripada bunga bank, (c) bagi hasil dibayar setahun sekali,
seperti waktu pembayaran deviden, (d) Bank akan turut campur dalam
manajemen perusahaan nasabah, dan (e) Bank akan turut memiliki
perusahaan nasabah.
Kesalahan persepsi masyarakat ini bertambah parah lagi dengan sikap
sebagian karyawan bank Islam yang cenderung terlalu menyederhanakan konsep
bank Islam di lapangan, sehingga umat Islam sebagian diantara mereka lebih
senang berhubungan dengan bank konvensional, karena ketidakmampuan bank
syariah memenuhi kebutuhan umat.
Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad
berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari
pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu
pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak
pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul
agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut :18
a. Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki;
b. Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul;
c. Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para
pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa;
18 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syariah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman et.al., cet.1, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001) hal 249-251.
12
Nisbah keuntungan adalah salah satu rukun yang khas dalam akad
mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan
imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah.
Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul al-mal
mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang
akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara
pembagian keuntungan, adapun nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam
bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai
nominal Rp tertentu.19
G. Metode Penelitian
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kantor BMT Bina Ihsanul Fikri yang
berlokasi di Jalan Semangu No. 26 Gedongkuning Yogyakarta. Waktu penelitian
dilaksanakan selama 3 bulan yaitu sejak bulan Juni sampai dengan Agustus 2007.
2. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Pendekatan yang dilakukan
adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif disini digunakan untuk
19 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan edisi II, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) hal.194.
13
mengungkapkan, mengemukakan, dan memperjelas hubungan antara keterangan
dari BMT dan nasabah.
Metode penelitian yang digunakan adalah Deskriptif, yaitu suatu metode
penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran atau deskripsi
tentang suatu keadaan secara obyektif.
3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 51 orang nasabah pembiayaan
mudharabah. Sampel yang diambil sebanyak 12 orang nasabah dan 2 orang
karyawan BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning Yogyakarta sebagai responden.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Non
Random (Non Probability) Sampling yaitu : Pengambilan sampel bukan secara
acak atau random adalah pengambilan sampel yang tidak didasarkan atas
kemungkinan yang dapat diperhitungkan, tetapi semata-mata hanya berdasarkan
kepada segi-segi kepraktisan belaka.. Sampelnya adalah praktisi dan nasabah
BMT Bina Ihsanul Fikri.
Sedangkan teknik penentuan besarnya sampel menggunakan Porposive
Sampling yaitu : pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan pada ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Penentuan besarnya sampel pada
penelitian ini menggunakan cara key person dari populasi penelitian yaitu :
nasabah. Dalam penelitian ini nasabah yang dijadikan responden diambil
berdasarkan : 1) Nasabah dengan umur terendah, 2) Nasabah dengan umur
tertinggi, 3) Nasabah dengan pendidikan terendah, 4) Nasabah dengan pendidikan
14
tertinggi, 5) Nasabah yang berprofesi sebagai Pedagang, 6) Nasabah yang
berprofesi sebagai pengusaha/swasta, 7) Nasabah berjenis kelamin laki-laki, 8)
Nasabah berjenis kelamin wanita, 9) Nasabah dengan pembiayaan tertinggi, 10)
Nasabah dengan pembiayaan terendah, 11) Nasabah baru dalam pembiayaan
mudharabah, 12) Nasabah lama dalam pembiayaan mudharabah dan 2 orang
sebagai sumber yaitu karyawan BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning
Yogyakarta.
4. Pengumpulan Data
a. Metode Interview
Adapun metode yang paling tepat untuk memperoleh data adalah dengan deep
interview sebagai suatu tanya jawab lisan dimana 2 orang atau lebih berhadap-
hadapan secara fisik yang satu dapat melihat yang lain dapat mendengarkan
suara dengan telinganya sendiri. Ini merupakan pengumpulan informasi yang
langsung mengenai beberapa jenis data.
b. Metode Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang diperoleh dengan sumber
pada dokumentasi antara lain catatan, laporan tertulis serta akad perjanjian.
Metode ini digunakan untuk memperoleh data dari BMT Bina Ihsanul Fikri
Yogyakarta.
c. Kuesioner (angket)
15
Yaitu pertanyaan yang disusun secara tertulis untuk memperoleh data berupa
jawaban-jawaban dari para responden.20 Responden yang akan dimintai angket
adalah nasabah dan karyawan BMT Bina Ihsanul Fikri. Data yang diperoleh
dari angket ini merupakan sumber data utama primer dalam penelitian ini.
d. Metode Observasi
Sebagai metode ilmiah, observasi biasanya diartikan sebagai pengamatan dan
pencatatan dengan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki
baik secara langsung maupun tidak langsung.
H. Identifikasi Variabel
Menurut Notoatmojo, Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai
ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang
suatu konsep pengertian tertentu, misalnya umur, tingkat pendidikan, pekerjaan,
pengetahuan, dan sebagainya. Di dalam penelitian ini menggunakan dua variabel
yaitu :
1. Variabel bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat, dalam
penelitian ini variabel bebasnya adalah akad pembiayaan mudharabah dan
nisbah bagi hasil.
2. Variabel terikat.
Variabel terikat adalah variabel yang terikat oleh variabel bebas, dalam
penelitian ini variabel terikatnya adalah pemahaman nasabah.
kekeluargaan/koperasi, kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme.44
Tujuan dari BMT adalah untuk menyediakan dana murah dan cepat guna
pengembangan usaha kecil bagi anggotanya. BMT juga bertujuan meningkatkan
kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya. 45
Pada awalnya BMT adalah sebuah organisasi informal dalam bentuk
Kelompok Simpan Pinjam (KSP) atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
yaitu suatu lembaga yang melakukan penghimpunan dana dari anggota dan
diperuntukkan bagi anggota. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mencontoh
proyek yang sering dilakukan pemerintah dalam upaya pengembangan
masyarakat.Secara Hukum BMT berpayung pada koperasi tetapi sistim
operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syari’ah sehingga produk-produk
yang berkembang dalam BMT seperti apa yang ada di Bank Syari’ah.
Oleh karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus tunduk pada
Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP Nomor 9
44 PINBUK, Modul Pelatihan Pengelola Baitut Tamwil (Jakarta, PINBUK, tt). Hal 2-3.45 Ibid
31
tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi.46 Juga
dipertegas oleh KEP.MEN Nomor 91 tahun 2004 tentang Koperasi Jasa keuangan
syari’ah. Undang-undang tersebut sebagai payung berdirinya BMT ( Lembaga
Keuangan Mikro Syari’ah). Meskipun sebenarnya tidak terlalu sesuai karena
simpan pinjam dalam koperasi khusus diperuntukkan bagi anggota koperasi saja,
sedangkan didalam BMT, pembiayaan yang diberikan tidak hanya kepada anggota
tetapi juga untuk diluar anggota atau tidak lagi anggota jika pembiayaannya telah
selesai. 47
Peraturan operasional bank syari’ah berdasarkan undang-undang
Perbankan Nomor 7 tahun 1992 dengan ketentuan pelaksanaannya seperti PP
Nomor 71 tahun 1992 tentang BPR serta PP Nomor 72 tahun 1992 yang mengatur
mengenai bank dengan prinsip bagi hasil. Kemudian Undang-undang Nomor 7
tahun 1992 tersebut telah diganti dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998.48
Gerakan BMT dicanangkan sebagai gerakan nasional oleh presiden
Soeharto pada pembukaan silaknas ICMI di Jakarta pada tanggal 7 Desember
1995.49 Dalam beberapa tahun kemudian BMT dibina dan dikembangkan oleh
PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) yang merupakan badan pekerja dari
YINBUK (Yayasan Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil). YINBUK didirikan pada
tanggal 13 Maret 1995 dengan tujuan untuk mengembangkan BMT secara meluas
dan sehat.Upaya yang dilakukan PINBUK dengan beberapa langkah kelembagaan
46 Baihaqi Abd. Madjid (Ed), Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syariah : Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT, (Jakarta, PINBUK,2000), hal. 85-91.
47 Ibid, hal 92.48 Umi Pujiastuti, Pendirian dan Pengelolaan BMT di Lingkungan Pondok Pesantren,
antara lain, berupa kerjasama dengan BI sejak 1995 melalui Proyek Hubungan
Kerjasama (PHBK) dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). 50
Seiring dengan perkembangan keberadaan BMT, selanjutnya PINBUK
tidak lagi menjadi satu-satunya perintis dan pendukung pendiriannya. Ormas
Islam atau lembaga keislaman juga mengambil peran mereka dalam memunculkan
BMT-BMT baru. Ormas itu antara lain ICMI, MUI, NU dan Muhammadiyah. 51
Bahkan sejak tahun 2005 pendirian BMT telah bergeser kepada perusahaan bisnis
yang disokong oleh seorang investor kuat atau kelompok bisnis. Tanda-tandanya
dapat dilihat dari kepemilikan dan kemunculan kantor kas-kantor kasnya dalam
jumlah besar dan dalam waktu yang singkat. Pada sisi legalitasnya terdapat
pergeseran pengakuan kewenangan legalitasnya yang semula diberikan oleh
PINBUK dengan bekerjasama dengan Departemen Koperasi dan PHBK BI
beralih menjadi kewenangan sepenuhnya Departemen Koperasi sehingga yang
bertanggungjawab membinanya secara legal tetaplah departemen koperasi.
B. Struktur Organisasi dan Mekanisme Operasional
1. Struktur Organisasi
Struktur organisasi BMT menunjukkan adanya garis wewenang dan
tanggungjawab, garis komando serta cangkupan bidang pekerjaan masing-masing.
Struktur ini menjadi sangat penting supaya tidak terjadi benturan pekerjaan serta
memperjelas fungsi dan peran masing-masing bagian dalam organisasi. Tentu saja
masing-masing BMT dapat memiliki karakteristik tersendiri, sesuai dengan besar
50 Ibid, hal 256.51 Muhammad (Ed), Bank Syari’ah, Analisis Kekuatan, Kelenahan, Peluang dan Ancaman,
(Yogyakarta, Ekonisia,2006), hal 144-148.
33
kecilnya organisasi. Namun demikian, struktur organisasi dalam setiap BMT
terdiri dari :
- Musyawarah Anggota Tahunan
- Dewan Pengurus
- Dewan Pengawas Syariah
- Dewan Pengawas Manajemen
- Pengelola yang terdiri minimal terdapat Manajer, Marketing,Accounting dan
Kasir52
Gambar 3.1
Struktur Organisasi BMT
52 Tim Penyusun Pedoman BMT Jaringan Muamalat Center Indonesia, Yogyakarta, 2004.
34
2. Mekanisme Operasional
a. Musyawarah Anggota Tahunan
Musyawarah ini dilaksanakan setiap tahun sekali, yang dihadiri oleh
semua anggota atau perwakilannya. Musyawarah ini merupakan kekuasaan
tertinggi dalam sistem manajemen BMT dan oleh karenanya berhak memutuskan :
- Pengesahan atau perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
organisasi;
- Pemilihan, pengangkatan dan sekaligus pemberhentian pengurus dan pengawas,
baik pengawas syariah maupun manajemen;
- Penetapan anggaran pendapatan dan belanja BMT selama satu tahun ;
- Penetapan visi dan misi organisasi ;
- Pengesahan laporan pertanggungjawaban pengurus tahun sebelumnya;
Musyawarah AnggotaTahunan
Dewan PengawasPengawasManajemen
Dewan PengawasSyari’ah
Manajer/Direksi
Marketing/PemasaranAccounting/Pembukuan
Teller/Kasir
35
- Pengesahan rencana program kerja tahunan.53
b. Dewan Pengurus
Dewan Pengurus BMT pada hakekatnya adalah wakil dari anggota dalam
melaksanakan hasil keputusan musyawarah tahunan. Oleh karenanya, pengurus
harus dapat menjaga amanah yang telah dibebankan kepadanya. Amanah ini
nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada anggota pada tahun berikutnya.
Masa kerja pengurus sangat tergantung pada kepentingan organisasi. Artinya
BMT dapat menetapkan masa kerjanya 2,3,4 atau 5 tahun. Secara umum fungsi
dan peran serta tanggungjawab pengurus dapat dirumuskan sebagai berikut :
1) Perencanaan
Dewan pengurus berfungsi menyusun perncanaan, baik jangka panjang
maupun jangka pendek, baik keuangan maupun non keuangan, sehingga
diperlukan pengurus yang memiliki wawasan luas, pengetahuan, dan pengalaman
bisnis, serta rasa optimis yang tinggi.
2) Personifikasi badan hukum
Dewan Pengurus merupakan personifikasi BMT baik dimuka maupun
diluar peradilan sesuai dengan keputusan musyawarah anggota. Pengurus pula
yang paling bertanggungjawab terhadap pelaksanaan AD/ART organisasi.
3) Penyediaan sumber-sumber yang diperlukan
53 Muhammad Ridwan, Manajemen, hal. 141
36
Dewan Pengurus harus mengusahakan berbagai sumber (resources) yang
diperlukan agar BMT dapat berjalan dengan baik.
4) Personalia
Dewan pengurus pada dasarnya memegang kuasa atas jalannya BMT,
namun karena keterbatasan tenaga kerja dan waktu, pengurus dapat mengangkat
wakilnya si pengelola. Namun hal ini tidak mengurangi sedikitpun
tanggungjawabnya.
5) Pengawasan
Karena pengurus telah menunjuk pengelola dalam menjalankan
operasional rutin, maka fungsi pengurus terpenting berada pada fungsi
pengawasan. 54 Fungsi melekat pada semua lini kepengurusan. Baik secara
bersama-sama maupun perbidang, pengurus harus melakukan fungsi ini secara
berkala.55
c. Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah memiliki tugas utama dalam pengawasan BMT
terutama yang berkaitan dengan sistem syariah yang dijalankannya. Landasan
kerja dewan ini berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Fungsi utama
tersebut meliputi :
1) sebagai penasehat dan pemberi saran dan atau fatwa kepada pengurus dan
pengelola mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah seperti penetapan
produk.
54 Modul Materi Umum dan Perkoperasian, Pusat Pengembangan Bisnis, LPKwu, Universitas Sebelas Maret, Solo, 2003, hal 7.
55 Muhammad Ridwan, Manajemen, hal. 142.
37
2) sebagai mediator antara BMT dengan Dewan Syariah Nasional atau Dewan
Pengawas Syariah Propinsi.
3) mewakili anggota dalam pengawasan syariah.
d. Dewan Pengawas Manajemen
Dewan pengawas Manajemen merupakan representasi anggota terutama
berkaitan dengan operasional kerja pengurus. Masa kerja pengawas sama dengan
pengurus. Anggota dewan pengawas manajemen dipilih dan disyahkan dalam
musyawarah anggota tahunan. Setiap anggota BMT memiliki hak yang sama
untuk dipilih menjadi dewan pengawas manajemen. Fungsi dan peran utamanya
meliputi :
1) mewakili anggota dalam memberikan pengawasan terhadap kerja pengurus
terutama berkaitan dengan pelaksanaan keputusan musyawarah tahunan;
2) memberikan saran, nasehat, dan usulan kepada pengurus;
3) mempertanggungjawabkan hasil kerja pengawasannya kepada anggota
dalam musyawarah tahunan.56
e. Pengelola
Pengelola merupakan satuan kerja yang dibentuk oleh dewan pengurus.
Mereka merupakan wakil pengurus dalam menjalankan fungsi operasional
keseharian. Ia bertanggungjawab kepada pengurus dan jika diminta dapat
memberikan penjelasan kepada anggota dalam musyawarah anggota. Satuan kerja
pengelola dipimpin oleh manajer atau direktur diusulkan oleh pengurus dan
ditetapkan dalam musyawarah tahunan. Namun demikian, pengurus dapat
mengusulkan diadakan musyawarah bersama pengawas untuk memberikan dan
56 Ibid, hal. 143-144.
38
mengganti direksi atau manajer, jika nyata-nyata manajer /direktur telah
melanggar aturan BMT.
Satuan kerja pengelola dapat terdiri minimal : manajer, pembukuan,
marketing dan kasir. Dalam tahap awal dan dalam permodalan yang masih sangat
terbatas, fungsi pemasaran dapat dirangkap oleh manajer, sehingga strukturnya
hanya terdiri dari manajer, kasir dan pembukuan.
1) Manajer/ Direktur
- Ia merupakan struktur pengelola yang tertinggi oleh karenanya ia yang
paling bertanggungjawab terhadap operasional BMT ;
- Manajer berfungsi merumuskan strategi dan taktik operasional dalam
rangka melaksanakan keputusan pengurus atau keputusan musyawarah
tahunan;
- Ia dapat juga mengusulkan pemberhentian dan pengangkatan karyawan ;
- Ia juga melakukan fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja
karyawan ;
- Manajer melaporkan kinerjanya kepada pengurus dalam periode waktu
tertentu minimal enam bulan sekali.57
2) Pembukuan
- Staf khusus pembukuan sedapat mungkin diangkat dari mereka yang
memahami masalah akuntansi keuangan syariah;
- Bagian ini berfungsi membuat laporan keuangan yang minimal meliputi :
laporan neraca, laba rugi, dan perubahan modal dan arus kas;
57 Ibid, hal. 145.
39
- Ia dapat memberikan masukan kepada manajer terutama yang berkaitan
dengan penafsiran atas laporan keuangan.
- Bagian ini juga berfungsi memberikan laporan perkembangan arus kas
pembiayaan dan penghimpunan dana pada setiap periode seperti harian,
mingguan, atau bulanan.
- Bagi organisasi yang sudah berkembang, dapat membentuk unit
administrasi tersendiri yang meliputi bagian administrasi pembiayaan, dan
bagian administrasi tabungan.
- Bagian administrasi pembiayaan akan berfungsi menyediakan berbagai
kelengkapan untuk realisasi pembiayaan, dokumentasi, serta informasi
berbagai hal tentang kondisi pembiayaan tersebut. Ia juga berfungsi
mencatat angsuran supaya sesuai antara kartu angsuran yang dibawa
nasabah /anggota dengan catatan BMT.
- Bagian administrasi tabungan akan berperan dalam penyiapan buku
tabungan bagi anggota baru, pencatatan saldo pada kartu monitoring,
pemindahbukuan bagi hasil, serta catatan atas perilaku anggota penabung
termasuk jadwal pengambilan tabungan dan informasi deposito jatuh
tempo dan pengambilan tabungan besar.58
3) Marketing /Pemasaran
- Bagian ini menjadi ujung tombak BMT dalam merebut pasar;
- Ia berfungsi dalam merencanakan sistem dan strategi pemasaran meliputi :
segmentasi pasar, taktis operasional, sampai pada pendampingan
anggota/nasabah;
58 Ibid, hal 145-146
40
- Bagian ini juga berfungsi untuk melakukan analisis usaha anggota
/nasabah calon peminjam;
- Menarik kembali pinjaman yang sudah digulirkan;
- Menjemput simpanan dan tabungan anggota ;
- Dalam keadaan tertentu (pada tahap awal dan modal masih terbatas)
fungsi marketing dapat dirangkap oleh manajer/direktur;
- Bila organisasi yang sudah berkembang, bagian marketing dapat dibagi
menjadi bagian funding atau menghimpun dana, dan financing atau
pembiayaan. Selanjutnya pada bagian funding dapat terdiri dari funding
officer–funding officer dan pada bagian financing dapat terdiri dari
account officer-account officer. Kedua bagian ini dipakai oleh kepala
bagian marketing.59
4) Kasir /Teller
- Bagian ini merupakan yang berkaitan langsung dengan bagian keuangan;
- Pada setiap hari, kasir harus melakukan pembukuan dan penutupan kas;
- Bagian ini bertugas membuat, merencanakan kebutuhan kas harian,
mencatat semua transaksi kas serta menerapkannya dalam catatan uang
keluar dan masuk;
- Staf khusus pada kasir harus terpisah dengan bagian pembukuan;
- Pada tahap awal staf kasir dapat berfungsi ganda yaitu sebagai fungsi
pelayanan nasabah atau anggota;
- Namun pada perkembangannya dapat dibentuk staf khusus yang akan
menangani masalah jasa pelayanan anggota. Bagian ini merupakan bagian
59 Ibid.
41
terdepan dari pelayanan BMT. Ia akan memberikan penjelasan
secukupnya terhadap berbagai hal tentang BMT kepada calon anggota
/nasabah.60
Dalam perkembangannya struktur organisasi BMT dapat dirubah dan
disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Pengembangannya struktur tersebut
dapat menjadi :
- Direktur
- Manajer Operasional yang membawahi bagian kasir, pembukuan, bagian
administrasi pembiayaan- tabungan dan bagian pelayanan nasabah /anggota.
- Manajer Marketing yang membawahi bagian funding officer (FO), account
officer (AO), dan remedial (penagihan).
- Bagian pembukuan yang akan membawahi : internal audit dan staf
pembukuan.61
3. Produk dan Jasa BMT
Pendirian BMT didesain untuk bermitra dengan usaha-usaha mikro yang
tidak bisa dijamah oleh perbankan, baik konvensional maupun syariah. Selama ini
perbankan masih kesulitan untuk mengalirkan dananya ke usaha mikro, hal ini
karena jenis usaha ini dinilai kurang ekonomis untuk mendapatkan pembiayaan
dari bank. Belum lagi karena berbagai kendala seperti masalah agunan, serta
kondisi administrasi keuangan yang dinilai kurang memenuhi syarat.
60 Ibid.61 Ibid, hal 147
42
Kegiatan utama BMT adalah menghimpun dana dan mendistribusikan
kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark up/margin sesuai
syariah.
Dasar-dasar pengelolaan BMT dengan sistim syari’ah tidak menggunakan
bunga sebab bunga adalah riba. Komitmen ini berdasarkan pada pengertian
mengenai Q.S. 2 :278-279, 2 : 275-276, 3:130, 4:29, dan 30:39. Apalagi setelah
MUI, dalam Rakernas di Jakarta Desember 2004, menyatakan fatwanya bahwa
bunga bank haram hukumnya sebab bunga bank adalah riba. Seiring dengan
gagasan Islamisasi perbankan, maka BMT pun mempedomani prinsip bagi hasil
sebagai pengganti sistim bunga.62
Selama ini demi menjaga konsistensi lembaga keuangan yang
mengatasnamakan Islam di Indonesia terutama pada level BMT, saat ini lingkup
lembaga keuangan Islam sangat mendesak untuk mengembangkan pertukaran
pandangan mengenai kemampuan produk-produk keuangan mereka sebagai satu
kesatuan dalam kerangka pengganti sistim bunga, yang seharusnya lebih mampu
membentuk keadilan ekonomi. Upaya itu adalah kebutuhan dalam kerangka
62 Penegasan ini diketahui dari permulaan pendirian bank syari’ah dan kemudian BMT. Hingga sekarang ini penilaian bahwa bunga adalah riba mungkin cenderung berkembang kepada pandangan bahwa riba itu adalah bunga. “ Sistim bunga “ dinyatakan mempunyai dampak buruk berupa pertentangan dengan nilai akidah oleh karena perolehan keuntungan yang ditetapkan dimuka tanpa mengindahkan untung atau rugi dari usaha yang dibiayai dengan uang pinjaman; pertentangan dengan nilai keadilan yang terjadi pada peminjaman baik produktif maupun konsumtif; penyebab kejahatan moral berupa terbentuknya sifat rakus kehartaan, egoisme atau individualisme, hilangnya persaudaraan sosial dan sifat saling mengasihi, dan melemahnya etos kerja di sektor riil oleh karena pembungaan uang; penyebab kebencian dan permusuhan sesama dan penyebab kejahatan ekonomi yaitu penciptaan tingginya harga jual dan ekonomi biaya tinggi untuk pinjaman produktif dan penurunan daya beli masyarakat gara-gara pinjaman konsumtif dengan sistim bunga. Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul- Mal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta, UII Press, 2003), hal.33-34.
43
menghilangkan kelemahan lembaga keuangan Islam karena tidak nyangkutnya
teori dengan praktik atau antara ilmu dengan kenyataan.63
Dalam pembiayaan, fungsi dan layanan BMT tidak berbeda dengan bank
syari’ah. BMT juga menjadi penyandang dana bagi pengusaha yang datang
kepadanya untuk mengajukan permohonan dana. Besar kecil dana dalam
permohonan pengusaha itu pada akhirnya mendapatkan ketetapannya dari pihak
BMT.
Jenis-jenis layanan melalui produk BMT pun tidak berbeda dari jenis
layanan bank syari’ah, yang dapat dibagi menjadi 3 :
a. Sistim jual beli
1) Ba’i Bitsaman Ajil
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan
(margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan
cara mengangsur.
2) Murobahah
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan
(margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan
cara jatuh tempo/sekaligus.
3) Ba’i As-Salam
63 Lihat pencermatan Kuntowijoyo, seputar perkembangan sejarah umat dalam Muslim tanpaMasjid, (Bandung, Mizan,2001) hal 102 dan dalam keseuruhan gagasan ilmu sosial profetiknya. Disamping itu kelemahan mendasar sistim perbankan Islam adalah tidak tahan kritik baik dalam teori maupun praktik.
44
Penjualan hasil produksi (komoditi) yang terlebih dahulu dipesan anggota
dengan kriteria tertentu yang sudah umum. Anggota harus membayar uang muka
kemudian barang dikirim belakangan (setelah jadi).
4) Jual beli Istisna’
Penjualan hasil produksi (komoditi) pesanan yang didasarkan kriteria
tertentu (yang tidak umum) anggota boleh membayar pesanan ketika masih dalam
proses pembuatan/setelah barang itu jadi dengan cara sekaligus/mengangsur.
5) Ijaroh
Pembelian suatu barang yang dilakukan dengan cara sewa terlebih dahulu
setelah masa sewa habis maka anggota membeli barang sewa tersebut.64
b. Sistim Bagi Hasil
1). Musyarokah
Kerjasama penyertaan modal dan masing-masing menentukan jumlahnya
sesuai kesepakatan bersama yang digunakan untuk mengelola suatu usaha/proyek
tertentu.
Pada prinsipnya dalam pembiayaan musyarokah tidak ada jaminan, namun
untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah dapat
meminta jaminan. Kerugian harus dibagi antara para anggota secara proporsional
menurut saham masing-masing dalam modal.
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyarokah akan tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat.
Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari lainnya dalam hal ini
64 Ibid, hal. 168-169
45
ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Hal ini dapat
dijadikan dasar dalam penentuan nisbah dimana anggota BMT sebagai pengelola
usaha mendapatkan porsi yang lebih tinggi.
2). Mudharabah
Pemberian modal kepada anggota yang mempunyai skill untuk mengelola
usaha/proyek yang dimilikinya. Pembagian bagi hasil usaha ditentukan
berdasarkan kesepakatan. Modal 100 % dari shohibul maal, tidak terdapat jadwal
angsuran, bagi hasil tidak ditetapkan dimuka dan sifatnya tidak tetap, tergantung
fluktuasi keuntungan yang diperoleh.
BMT sebagai penyandang dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah kecuali jika mudharib /anggota melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai/menyalahi perjanjian. Dalam akad ini biaya operasional dibebankan kepada
mudharib.65
c. Sistim Jasa
1). Qord
Pemberian pinjaman untuk kebutuhan mendesak dan bukan bersifat
konsumtif. Pengembalian pinjaman sesuai dengan jumlah yang ditentukan dengan
cara angsur atau tunai. Contohnya untuk biaya rumah sakit, biaya pendidikan,
biaya tenaga kerja.
2). Al-Wakalah
65 Ibid, hal 170-171
46
Pemberian untuk melaksanakan urusan dengan batas kewenangan dan
waktu tertentu. Penerima kuasa mendapat imbalan yang ditentukan dan disepakati
bersama.
3). Al-Hawalah
Penerimaan pengalihan utang/piutang dari pihak lain untuk kebutuhan
mendesak dan bukan bersifat konsumtif. BMT sebagai penerima pengalihan
hutang /piutang akan mendapatkan fee dari pengaturan pengalihan (management
fee).
4). Rahn
Pinjaman dengan cara menggadaikan barang sebagai jaminan utang
dengan membayar jatuh tempo. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhum)
ditanggung oleh penggadai (rahin). Barang jaminan adalah milik sendiri (rahin),
untuk itu hendaknya rahin bersedia mengisi surat pernyataan kepemilikan.
5). Kafalah
Pemberian garansi kepada anggota yang akan mendapatkan pembiayaan
(pelaksanaan suatu usaha/proyek) dari pihak lain. BMT mendapatkan fee dari
anggota sesuai dengan kesepakatan bersama. 66
Sejalan dengan sejarah kemunculan Bank Islam, disini diperlukan suatu
penegasan terhadap kedudukan produk-produk tersebut sebagai pengganti bunga
bank. Prinsip bagi hasil didalam BMT menjadi gagasan yang mengemuka dalam
upaya mencari pengganti bunga, dan penerapannya dilaksanakan dalam
pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
66 Ibid, hal 171-174
47
Didalam pembahasan selanjutnya hanya akan dibatasi pembahasan
mengenai pembiayaan mudharabah.
C. Al-Mudharabah
1. Pengertian Mudharabah
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa
Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya
mencampur, berjalan, dan lain sebagainya.67 Perubahan makna tersebut
bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam
oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu
perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu
pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.”68 Sedangkan madzhab Maliki
menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah
uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang
itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.69
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan
sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang
dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.70 Sedangkan
67 Al-Mu’jām al-Wasit, Al-juz’ al-awwal, Cet III, (Kairo, Majma’ al-lughah al-Arabiyah), 1972.68
? Ibn. Abidin, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al Mukhtār, juz IV, (Beirut: Dar Ihya al-Turas,1987) hal 483.
69 Al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi’ala al-Sarh al-Kabir, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr,1989),hal 63.
70 Al-Nawawi, Riyad al-Salihin, Vol.IV, (Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal 289.
48
madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya
dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya
dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.71
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal)
dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.
Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah
disepakati di awal akad. 72
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak
zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya
Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang,73 ia
melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari
segi hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut Al
Qur’an, Sunnah maupun Ijma’. 74
Dalam praktek mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu
Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual ke Nabi Muhammad
saw ke luar negeri. Dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal
(shahib al-māl) sedangkan Nabi Muhammad saw berperan sebagai pelaksana
usaha (mudharib). 75
71 Al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina,Vol.II, (Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal.509.72 Wirdyaningsih, Bank dan asuransi Islam di Indonesia, Ed.I.Cet. 1, Jakarta, Kencana,
2005,hal.13073 Kala itu Nabi Muhammad SAW berusia kira-kira 20-25 tahun, dan belum menjadi
Nabi (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta) hal. 180;
74 M. Anwar Ibrahim, “Konsep Profit dan Loss Sharing System Menurut Empat Madzhab”. Makalah tidak diterbitkan, hal 1-2. Menurut Al Qur’an, lihat misalnya dalam QS (73:20). Menurut Sunnah, diantaranya hadits Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan Al Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib. Menurut ijma’, karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman Nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak yang mempraktekkannya dan tidak ada yang mengingkarinya.
75 Sayyid Sabbiq, Fiqus Sunnah (Terjemahan), Bandung, Al Maarif
49
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS.
Al Muzammil ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi
mencari sebagian karunia Allah SWT “.76 Dalam ayat tersebut terdapat kata
yadribun yang asal katanya sama dengan mudharabah, yakni dharaba yang
berarti mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul
Mutholib jika memberikan dana kepada mitranya secara mudharabah ia
mensyaratkan supaya dananya tidak dibawa untuk mengarungi lautan, menuruni
lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut,
yang berhutang bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikannya syarat-
syarat tersebut kepada Rasullah SAW dan Rasulullah SAW dan Rasulullah pun
membolehkannya. (HR. Tabrani).77
Dari Shalih bin Shuhaib, r.a. bahwa r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu : jual beli secara tangguh,
muqaradhah (mudharabah), serta mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah tangga dan bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majjah no. 2280,
kitab at-Tijarah). 78
Menurut Antonio, mudharabah berasal dari kata dharib, berarti memukul
atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses
seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usahanya, secara teknis, al-
mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama 76 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an Depag RI. Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra,1989), hal 990.
77 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Teori dan Praktek, (Jakarta, Gema Insani Press dengan Tazkia Cendikia, 2001) hal 96.
78 Ibid.
50
menyediakan 100 % modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, seandainya kerugian
tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus
bertanggungjawab atas kerugian tersebut.79
Sudarsono80 mengatakan juga bahwa mudharabah berasal dari kata
adhdharbu fi asdhi, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh
yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti alqoth’u (potongan), karena pemilik
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungan. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, selama kerugian itu akibat
si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
2. Pembiayaan Mudharabah
Dalam pembiayaan Bank Syariah dan BMT, mudharabah merupakan
suatu bentuk kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai penyedia
modal sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola agar keduanya berbagi
keuntungan menurut kesepakatan bersama dengan kesanggupan untuk
79 Ibid, hal. 95. 80
? Sudarsono, Bank, hal.54-55.
51
menanggung resiko. 81 Bagian keuntungan yang disepakati itu harus berbentuk
prosentase (nisbah) dan yang berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Akan
tetapi jika terjadi kerugian yang ditimbulkan dari resiko bisnis dan bukan gara-
gara kelalaian pengusaha, maka pemilik modal akan menanggung kerugian modal
itu seluruhnya (100 %) dan pengusaha terkena kerugian dari kehilangan seluruh
tenaga dan waktunya atau 0 % modal.82 Pembagian kerugian ini didasarkan pada
kemampuan menangung kerugian masing-masing yang tidak sama.
Pada konsepnya, mudharabah menggunakan prinsip bagi untung rugi
yang dianggap merupakan konsekuensi dari adanya ketidakpastian dalam kontrak
investasi. Akan tetapi, menurut Abdullah Saeed, pada kenyataannya bank Islam
(bank Syariah, istilah yang digunakan di Indonesia) hampir menghilangkan
karakter ketidaktentuan hasil usaha dalam kontrak mudharabah, melalui berbagai
pertimbangan.83
Praktek kontrak mudharabah hampir sama dengan bisnis beresiko
rendah atau bisnis yang tidak beresiko. Oleh karenanya penerapan transaksi
mudharabah dalam perbankan Islam dinilai oleh Timur Kuran terdorong untuk
menggunakan “bunga yang disamarkan (thinly disguised interest)”84 atau dengan
kata lain bisa disebut dengan bunga yang direkayasa.
Perhitungan nisbah bagi hasil sangat dipengaruhi oleh tingkat resiko
yang mungkin terjadi. Semakin tinggi tingkat resikonya, akan semakin besar
81 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah (Jakarta, Djambatan,2001). Hal 164-167. 82
? Ibid, hal 168.83 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Penerjemah. M. Ufuqul Mubin, Nurul Huda
dan Ahmad Sahidah (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003) hal. 105.84 http:// www.pupress.princeton.edu mengenai karya Timur Kuran, Islam and Mammon :
The Economic Predicaments of Islamism (Princeton : Princeton University,2004), bab I.
nisbah bagi hasil dan sebaliknya. Oleh karenanya pengelola BMT harus selektif
dalam memilih usaha yang akan dibiayai. Biasanya pembiayaan Mudharabah
dapat dijalankan untuk proyek-proyek yang sudah pasti.
3. Jenis-jenis mudharabah
Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah
mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah
(Restricted Investment Account).85
a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment
Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal
selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau
dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan
(disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu
usaha, maupun yang lain.
b. Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu
kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan
pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal
jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain
yang serupa.86
85 Adiwarman, Bank, hal. 18886
53
D. Akad Perjanjian
1. Akad Perjanjian Menurut KUHPerdata dan Hukum Islam
Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (aqd) atau perjanjian
menempati posisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang
digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan
harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Ada 2 (dua) istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan perjanjian,
yaitu al-aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah
ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun
atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang
lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.87
Kata al-‘aqdu terdapat dalam QS. Al Maidah (5) ayat 1 bahwa manusia
diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah
al-‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUH Perdata). 88 Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat
disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan
dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak
berkaitan dengan orang lain. 89 Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imron (3) : 76,
yaitu “ sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat) nya dan bertakwa,
maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa “.90
87 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamallah Konstekstual, Cet. 1 (Jakarta, Raja Grafindo Persada,2002), hal. 75.
88 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syariah” dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman et al, cet.1, (Bandung, Citra Aditya Bakti,2001), hal. 247-248.
89 Ibid, hal. 248.90 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed. Revisi, (Semarang :
Kumudasmoro Grafindo Semarang,1994), hal. 88.
54
Perikatan dalam hukum Perdata Barat diambil dari istilah bahasa Belanda
“Verbintenis”. Istilah Hukum Perdata ini mencakup semua ketentuan dalam buku
ketiga dari KUH Perdata yang termasuk ikatan hukum yang berasal dari perjanjian
dan ikatan hukum yang terbit dari undang-undang. Ikatan hukum yang terbit dari
undang-undang ini pun ada yang terbit dari undang-undang saja dan ada yang dari
undang-undang karena perbuatan manusia yang bisa berupa perbuatan halal
maupun yang melawan hukum.91
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai :
“pertalian antara Ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan
akibat hukum terhadap obyeknya”.92
Menurut Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan
(al-‘aqdu) melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut :93
a. Al-‘Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan
orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan
janji tersebut, seperti yang difirmankan oleh Allah dalam QS. Ali Imran : 76.
b. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang
dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji
pihak pertama.
91 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta, PT. Intermasa, 1984) hal. 12292 Mas’adi, op.cit hal. 76. Lihat juga Djamil, op.cit hal.247. Ahmad Azhar Basyir, Asas
asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), ed Revisi, (Yogyakarta, UII Press,2000) hal 65; dan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet 1, ed.2, (Semarang, Pustaka Rizki Putra,1997), hal.14.
93 Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Djakarta, Bulan Bintang,1970), hal.122-123.
55
c. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka
terjadilah apa yang dinamakan ‘akdu’ oleh Al Qur’an terdapat dalam QS Al-
Maidah (5) :1. Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah
pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau ‘ahdu itu tetapi ‘akdu.
Proses perikatan ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang
dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Menurut Subekti,
Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu “. 94
Sedangkan pengertian perjanjian menurut Subekti adalah “ suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.95 Peristiwa perjanjian ini menimbulkan
hubungan diantara orang-orang tersebut yang disebut dengan perikatan. Dengan
demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian
menerbitkan perikatan. Seperti yang tercantum dalam pasal 1233 KUH Perdata,
bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan.
Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara Hukum Islam dan
KUH Perdata adalah tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan Islam, janji
pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua tahap), baru
kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak
pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan
94 Subekti, Hukum Perjanjian, cet 14, (Jakarta, Intermasa, 1992), hal 195 Ibid.
56
menimbulkan perikatan diantara mereka. Menurut Abdul Gani Abdullah, dalam
Hukum Perikatan Islam, titik tolak yang paling membedakannya adalah pada
pentingnya unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji
antara para pihak tersebut disepakati, dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan
kabul), maka terjadilah ‘aqdu (perikatan).96
2. Syarat dan Rukun Akad
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat suatu rukun dan syarat
yang harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu pekerjaan”,97 sedangkan syarat adalah “ketentuan (peraturan,
petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan”. 98 Dalam syari’ah, rukun dan
syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi,
rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu
perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dan ada atau tidaknya sesuatu itu”99 Definisi syarat adalah “ sesuatu yang
tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu
sendiri yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.
Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama Ushul Fiqh bahwa
rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia
termasuk dalam hukum itu sendiri. Sedangkan syarat merupakan sifat yang
96 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2005) Ed.1.Cet.1,2005) hal. 47.
97 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002) hal. 966.
98 Ibid hal. 1114.99 Abdul Azis Dahlan, ed. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, (Jakarta : Ichtiar Baru van
Hoeve,1996) hal.1510
57
kepadanya tergantung keberadaan hukum tetapi ia berada diluar hukum itu
sendiri.
Mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun akad
dalam Hukum Islam, terdapat beraneka ragam pendapat dikalangan para ahli fiqh.
Dikalangan mazhab Hanafi bahwa rukun akad hanya sighat al-‘aqd, yaitu ijab dan
kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqidain (subyek akad) dan mahallul-
‘aqd (obyek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan
merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua hal
tersebut berada diluar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapat dari
kalangan mazhab Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki
termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk
rukun akad karena hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya
akad.100
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-‘aqidain,
mahallul ‘aqd, dan sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-
(akal) atau kehilangan). Kerusakan atau terganggunya akal seseorang
dapat dikarenakan oleh Intoxication/Sukr (mabuk, keracunan obat, dan
sebagainya) atau karena Ignorance /Jahl (ketidaktahuan dan kelalaian).
107 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta, UII Press, 2000), hal 32.
108 Ghufron A.Mas’adi, Fiqh, hal 82.
62
Selain dilihat dari tahapan kedewasaan seseorang, dalam suatu akad kondisi
psikologis perlu juga diperhatikanuntuk mencapai sahnya suatu akad. Ya’cub
mengemukakan syarat-syarat subyek akad adalah sebagai berikut :109
a) Aqil (berakal)
Orang yang bertransaksi haruslah berakal sehat, bukan orang gila,
terganggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih dibawah umur,
sehingga dapat mempertanggungjawabkan transaksi yang dibuatnya.
b) Tamyiz (dapat membedakan)
Orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan yang
baik dan yang buruk, sebagai pertanda kesadarannya sewaktu bertransaksi.
c). Mukhtar (bebas dari paksaan)
Syarat ini didasarkan oleh ketentuan QS. An-Nisa (4) : 29 dan Hadits Nabi
SAW yang mengemukakan prinsip An-Taraddin (rela sama rela). Hal ini
berarti para pihak harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan dan
tekanan.
2). Badan Hukum
Badan hukum menurut Wirjono adalah badan yang dianggap dapat bertindak
dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan
perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.110 Badan hukum ini
memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian,
109 Hamzah Ya’cub, Kode Etik Dagang Menurut Islam Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi, (Bandung, CV. Diponegoro, 1984) hal. 79.
110 R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata,cet 8, (Bandung, Sumur Bandung,1981) hal 23.
63
meskipun pengurus badan hukum berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan
tersendiri. Yang dapat menjadi badan hukum adalah dapat berupa negara,
daerah otonom, perkumpulan orang-orang, perusahaan atau yayasan.111
Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat dari
beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan
istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam :
- QS An Nisa (4):12 disebutkan “ Tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu……..”112
- QS. Shād (38) :24, disebutkan “ Dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim
kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman………………”113
- Pada hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu
Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “ Aku (Allah) adalah
pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari
keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat
terhadap lainnya, maka Aku keluar dari keduanya”.114
Adanya kerjasama diantara beberapa orang menimbulkan kepentingan-
kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubungannya
111 Ibid.112 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed.Revisi, (Semarang,
Kumudasmoro, Grafindo, Semarang, 1994), hal. 117.113 Ibid, hal. 735.114 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh, hal.192.
64
dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subyek hukum yang
disebut dengan badan hukum.115
b. Obyek Perikatan (Mahallul ‘Aqd)
Mahallul’aqd adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan
padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk obyek akad dapat berupa benda
berwujud, seperti mobil dan rumah maupun benda tidak berwujud seperti manfaat.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul’aqd adalah sebagai berikut :116
1) Obyek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan.
Suatu perikatan yang obyeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual anak
hewan yang masih dalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum
tumbuh. Alasannya bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin
bergantung pada sesuatu yang belum ada. Terdapat pengecualian terhadap
bentuk akad-akad tertentu, seperti salam, istishna dan musyaqah, yang
obyeknya diperkirakan ada dimasa yang akan datang. Pengecualian ini
didasarkan pada istihsan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan
muamallat.
2) Obyek perikatan dibenarkan oleh syara’.
Pada dasarnya benda-benda yang menjadi obyek perikatan haruslah memiliki
nilai dan manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam
tasharruf akad tidak mensyaratkan kesucian obyek akad. Selain itu jika obyek
115 Gemala Dewi, Hukum, hal 59116 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih, hal. 86-89 dan Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian
Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman, et.al.Cet.1,(Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 255-256.
65
perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan
syariah, seperti pelacuran, pembunuhan,117 adalah tidak dapat dibenarkan pula,
batal.
3) Obyek ada harus jelas dan dikenali.
Suatu benda yang menjadi obyek perikatan harus memiliki kejelasan dan
diketahui oleh ‘aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman
diantara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika obyek tersebut
berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi dan keadaannya.
Jika obyek tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memiliki
keahlian sejauh mana kemampuan, ketrampilan, dan kepandaiannya dalam
bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum atau kurang ahli, terampil, mampu
maupun pandai, tetap harus diberitahukan agar masing-masing pihak
memahaminya. 118
4) Obyek dapat diserahterimakan.
Benda yang menjadi obyek perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi,
atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu, disarankan bahwa
obyek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah
menyerahkannya pada pihak kedua. Untuk obyek perikatan yang berupa
manfaat maka pihak pertama harus melaksanakan tindakan (jasa) yang
manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua, sesuai dengan kesepakatan.
117
? Yani Salma Barlinti, Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Berdasarkan Ketentuan World Trade Organization dalam Perspektif Hukum Islam, tesis pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta, 2001), hal. 68.
118 Gemala Dewi, hukum, hal 62
66
c. Tujuan Perikatan (Maudhu’ul’Aqd)
Maudhu’ul ‘aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyari’atkan untuk
tujuan tersebut. Dalam Hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT
dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam hadits. Menurut ulama fiqh,
tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’ah tersebut.
Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.119
Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai
berikut :120
1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak
yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan ;
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad;
dan
3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’;
d. Ijab dan Kabul (sighat al-‘aqd).
Sighat al’aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad
berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari
pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu
pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak
pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab kabul agar
memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut :121
119 Faturrahman Djamil, Hukum, hal 257-258.120 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas, hal. 99-100.121 Faturrahman Djamil, Hukum, hal 253
67
1) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu
jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki ;
2) Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul; dan
3) Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan
kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Menurut Azhar Basyir, Ijab dan kabul dapat dilakukan dengan empat cara
yaitu secara :122
a. Lisan.
Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas.
b. Tulisan.
Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung
dalam melakukan perikatan, atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya
lebih sulit, seperti perikatan yang dilakukan oleh badan hukum.
c. Isyarat.
Orang cacat misalnya tuna wicara, juga dimungkinkan untuk melakukan satu
perikatan (akad) dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan
tersebut mempunyai pemahaman yang sama.
d. Perbuatan.
Adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah saling
memahami suatu perbuatan perikatan dan segala akibat hukumnya, disebut
dengan ta’athi atau mu’athah (saling memberi dan menerima).
122 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas, hal. 68-71.
68
3. Hak dan Kewajiban dalam Akad
Hak dan kewajiban adalah dua sisi yang saling bertimbal balik dalam
suatu transaksi. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lain,
begitupun sebaliknya, kewajiban salah satu pihak menjadi hak bagi pihak lain.
Keduanya saling berhadapan dan diakui dalam hukum Islam. Dalam hukum
Islam, hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat, atau
pada keduanya, yang diakui oleh syarak. Berhadapan dengan hak seseorang
terdapat kewajiban orang lain untuk menghormatinya.123
a. Hak
1). Pengertian hak.
Menurut kamus, terdapat banyak sekali pengertian dari kata hak. Salah
satunya menurut bahasa adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk
menuntut sesuatu. Arti lain adalah wewenang menurut hukum.124 Sedangkan
menurut ulama mutākhirin “ hak adalah sesuatu hukum yang telah ditetapkan
secara syara.” Sedangkan Mustafa Az-Zarqa mengatakan bahwa “hak adalah
sesuatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan atau
taklif”. Ibnu Nujaim (ahli fiqh Madzhab Hanafi) mengatakan bahwa “ hak
adalah sesuatu kekhususan yang terlindungi”.125
2). Macam-macam hak.
123 Ibid, hal 19.124 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat), (Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal 3.125 Ibid.
69
Menurut ulama fiqh, dilihat dari segi pemilik hak, hak terbagi menjadi 3 (tiga)
yaitu :126
a) Hak Allah SWT
Yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah,
mengagungkan Nya, seperti melalui berbagai macam ibadah, jihad, dan
amar ma’ruf nahi munkar. Hak Allah disebut juga hak masyarakat karena
karena hak Allah bertujuan untuk kemanfaatan umat manusia pada
umumnya dan tidak dikhususkan bagi orang-orang tertentu. Seluruh hak
Allah tidak dapat digugurkan baik melalui perdamaian (al-shulh), maupun
pemaafan, dan tidak boleh diubah.
b) Hak Manusia
Hak ini pada hakekatnya ditujukan untuk memelihara kemaslahatan setiap
pribadi manusia. Mengenai hak manusia ini, seseorang boleh
menggugurkan haknya, memaafkannya dan mengubahnya, dan boleh pula
mewariskannya kepada ahli waris. Disini tampak adanya kebebasan
berbuat dan bertindak atas dirinya sendiri.
c) Hak Gabungan antara hak Allah dan hak Manusia.
Mengenai hak gabungan ini, ada kalanya hak Allah lebih dominan, dan
ada kalanya hak manusia yang lebih dominan. Sebagai contoh hak Allah
yang lebih dominan dalam masalah idah dan dalam hal menuduh zina
tanpa bukti yang cukup. Sedangkan hak manusia yang lebih dominan
adalah dalam pidana Qisas dalam pembunuhan atau penganiayaan dengan
sengaja, dimana dapat diganti dengan diyat yang berupa pembayaran
126 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas, hal 20-22.
70
sejumlah harta oleh pihak pelaku sebagai ganti kerugian bagi pihak si
korban.
3). Kewenangan Pengadilan
Ulama Fiqh membagi masalah ini dalam dua macam :
a) Haqq Diyāni (keagamaan)
Yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri (intervensi) oleh kekuasaan
kehakiman. Misalnya dalam persoalan utang yang tidak dapat
dibuktikan oleh pemberi utang karena tidak cukup alat bukti didepan
pengadilan. Sekalipun tidak dapat dibuktikan didepan pengadilan,
tanggungjawab yang berutang di hadapan Allah tetap ada dan dituntut
pertanggung jawabannya di akherat kelak. Oleh sebab itu, bila lepas
dari hak kekuasaan kehakiman, seseorang tetap dituntut dihadapan
Allah dan dituntut hati nuraninya sendiri.127
b) Haqq Qadhāi
Adalah seluruh hak dibawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan
pemilik hak itu mampu membuktikan haknya didepan hakim.
Perbedaan antara Haqq Diyani dan Haqq Qadhāi terletak pada
persoalan zahir (lahir) dan batin. Hakim hanya dapat menangani hak-
hak yang lahir (tampak nyata) atau yang dapat dibuktikan saja.
Sedangkan Haqq Diyani menyangkut persoalan-persoalan yang
tersembunyi dalam hati yang tidak terungkap didepan pengadilan.128
127 Gemala Dewi, hukum, hal 72.128 Ibid, hal. 73.
71
Dalam kaitan dengan kedua hak ini ulama fiqh membuat kaidah yang
menyatakan “ Hakim hanya menangani persoalan-persoalan yang nyata
saja, sedangkan Allah akan menangani persoalan-persoalan yang
tersembunyi (yang sebenarnya) dalam hati.129
b. Kewajiban
Kewajiban berasal dari kata “wajib” yang diberi imbuhan ke-an. Dalam
pengertian bahasa kata wajib berarti : (sesuatu) harus dilakukan, tidak boleh
tidak dilaksanakan. 130 Wajib ini juga merupakan salah satu kaidah dari hukum
taklifi yang berarti hukum yang bersifat membebani perbuatan mukallaf. 131
Adapun pemahaman kewajiban dalam pengertian akibat hukum dari suatu
akad biasa diistilahkan dengan “iltizam”.
Secara istilah iltizam adalah :”Akibat (ikatan) hukum yang
mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu
perbuatan atau tidak berbuat sesuatu”. Substansi hak sebagai taklif (yang
menjadi keharusan yang terbebankan pada orang lain) dari sisi penerima
dinamakan hak, sedang dari sisi pelaku dinamakan Iltizam yang artinya
“keharusan atau kewajiban”. Jadi antara hak dan iltizam keduanya terkait
dalam satu konsep.132
129 Ibid.130 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus, hal 1266.131 Gemala Dewi, Hukum, hal 77.132 Ibid, hal. 78.
72
4. Penggolongan Akad
Menurut para ulama fiqih,secara garis besar akad dapat diklasifikasikan
dalam berbagai segi :
a. Dari segi penamaannya, akad dibagi menjadi dua macam yaitu :
1) Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara’
serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa,
perikatan.
2) Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh
masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang jaman dan
tempat, seperti istishna’, bai’al-wafa’, dan lain-lain.133
b. Dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad, dibagi menjadi dua yaitu :
1) Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misalnya
akad yang menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah.
2) Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya jual beli yang tidak
perlu ditempat yang ditentukan dan tidak perlu dihadapan pejabat.134
c. Dilihat dari maksud dan tujuannya, dibagi menjadi dua yaitu :
1) Akad Tabarru’, yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni
semata-mata karena mengharap ridho dan pahala dari Allah, sama sekali
tidak ada unsur mencari ” return” atau motif. Akad yang termasuk dalam
133 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000), hal.108134
? Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqqy, Pengantar, hal 110.
73
kategori ini adalah hibah, wakaf, wasiat,ibra, wakalah, kafalah, hawalah,
rahn,dan qirad.
2) Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan
mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi
semuanya. Akad yang termasuk disisni adalah murabahah, salam,
istisna’, dan ijarah muntahiya bittamlik serta mudharabah dan
musyarakah.135
d. Dilihat dari akibat hukumnya, akad dibagi menjadi :136
1) Akad pemberian hak milik, yaitu akad yang bertujuan memberikan hak
milik seseorang kepada orang lain, baik berupa benda atau manfaat benda,
baik dengan imbalan atau tanpa imbalan, seperti jual beli, sewa menyewa,
dan lain-lain. Pemberian hak milik dengan imbalan disebut akad tukar
menukar (mu’awadhah), yang tanpa imbalan disebut akad kebajikan
(tabarru’).
2) Akad pelepasan hak (isqath), yaitu melepaskan hak dengan atau tanpa
ganti. Misalnya membebaskan pihak berutang dari kewajiban membayar
hutang (Ibra’).
3) Akad pelepasan kekuasaan (ithlaq) yaitu akad yang bertujuan untuk
melakukan sesuatu perbuatan kepada orang lain, Misalnya orang
memberikan kuasa kepada orang lain untuk bertindak atas nama orang
yang mewakilkan.
135 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta, Kencana,2004), hal.19.
136 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas, hal.123-124.
74
4) Akad pengikatan (taqyid) yaitu akad yang bertujuan mengikat orang dari
wewenang berbuat yang semula dimilikinya. Misalnya orang yang
mewakilkan menghentikan kekuasaan wakilnya.
5) Akad persekutuan (syirkah), yaitu akad yang bertujuan bekerjasama untuk
memperoleh suatu hasil /keuntungan. Misalnya persekutuan bagi hasil.
6) Akad pertanggungan (dhaman, takmin, atau tautsiq), yaitu akad yang
bertujuan untuk memperkuat sesuatu akad lain, seperti akad gadai sebagai
penguat akad utang piutang.
5. Berakhirnya Akad
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Selain
telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh
(pembatalan) atau telah berakhir waktunya. Fasakh terjadi dengan sebab-sebab
sebagai berikut :
a. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan
syara’, seperti yang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya jual beli barang
yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
b. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat,atau
majelis.
c. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena
merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini
disebut iqalah. Dalam hubungan ini Hadits Nabi Riwayat Abu Daud
mengajarkan, bahwa barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan orang
75
yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan
kesukarannyapada hari Kiamat kelak.
d. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
e. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka
waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
f. Karena tidak mendapat izin pihak yang berwenang;
g. Karena kematian.137
Mengenai kematian ini, terdapat perbedaan pendapat diantara para fuqaha
mengenai masalah apakah kematian pihak-pihak yang melakukan akad
mengakibatkan berakhirnya akad. Sejalan dengan perbedaan pendapat mereka
apakah hak yang ditimbulkan oleh akad itu dapat diwariskan atau tidak. Demikian
pula adanya perbedaan pendapat tentang bagaimana terjadinya akad-akad tertentu
serta sifat (watak) masing-masing.
6. Penyelesaian Perselisihan.
Penyelesaian perselisihan dalam Hukum Perikatan Islam pada prinsipnya
boleh dilakukan dengan 3 jalan, yaitu :
a. Shulhu ( jalan perdamaian).
Jalan pertama yang dilakukan apabila terjadi perselisihan dalam suatu akad
adalah dengan menggunakan jalan perdamaian (shulhu) antara kedua pihak.
Dalam fiqh pengertian shulhu adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri
perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan, atau untuk mengakhiri
137 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih, hal 114-117.
76
sengketa.138 Disini tampak adanya pengorbanan dari masing-masing pihak
untuk terlaksananya perdamaian. Jadi dalam perdamaian ini tidak ada pihak
yang mengalah total ataupun penyerahan keputusan kepada pihak ketiga.139
Perdamaian (shulhu) disyariatkan berdasarkan Al-Quran (QS. 49:9), Sunnah
dan Ijma’. Umar ra pernah berkata : “ Tolaklah permusuhan hingga mereka
berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan
mengembangkan kedengkian diantara mereka”.140
b. Tahkim (jalan arbitrase)
Istilah tahkim secara literal berarti mengangkat sebagai wasit atau juru damai.
Sedangkan secara terminologis tahkim berarti pengangkatan seorang atau
lebih, sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang
bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara
damai. Dalam hal ini, hakam ditunjuk untuk menyelesaikan perkara bukan
oleh pihak pemerintah, tetapi ditunjuk langsung oleh dua orang yang
bersengketa. Aktivitas penunjukan itu disebut tahkim, dan orang yang
ditunjuk itu disebut hakam (jamaknya hukam). Penyelesaian yang dilakukan
oleh hakam pada abad modern ini disebut dengan arbitrase.141
Dasar hukum dari tahkim ini adalah : QS. An Nisa (4) : 35 , QS. Asy Syura
(17) : 38, QS. Ali Imran (3) : 159, Hadits Nabi Riwayat Tarmizi dari Amru
bin ‘Auf yang berbunyi : “ Kaum muslimin sangat terikat dengan
138 A.T. Hamid, Ketentuan Fiqih dan Ketentuan Hukum yang Kini Berlaku di Lapangan Perikatan (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1983) hal.135.
139 Ibid.140 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 12, terjemahan oleh H. Kamaluddin A.M, (Bandung,
PT. Al Ma’arif,1988), hal. 190.
141 Gemala Dewi, Hukum, hal 91.
77
perjanjiannya, kecuali persyaratan (perjanjian) yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram “.142 Maksud dari hadits ini yaitu bahwa
dalam perjanjian dapat dicantumkan klausul arbitrase.
c. Al-Qadha (Proses Peradilan).
Al-Qadha secara harfiah antara lain memutuskan atau menetapkan. Menurut
istilah fiqh kata ini berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa
atau sengketa untuk menyelesaikan secara adil dan mengikat. Lembaga
peradilan semacam ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara tertentu
yang mencakup perkara atau masalah keperdataan, termasuk didalamnya
Hukum Keluarga, dan masalah tindak pidana. Orang yang berwenang
menyelesaikan perkara pada pengadilan semacam ini dikenal dengan qadhi
(hakim).143
Sebagai ilustrasi, berikut dapat dilihat skema mengenai bagaimana
sengketa dalam akad dapat timbul dan jalan penyelesaiannya apabila
perdamaian tidak dapat diperoleh, ke lembaga mana sengketa tersebut dapat
diselesaikan.144
142 Ibid, hal 92143 Ibid
144 Ibid, hal 93.
78
Gambar 3.2
BAGAIMANA BISA TIMBUL SENGKETA145
145 Hartono Mardjono, Menjalankan Syari’ah Islam, (Jakarta, Studia Press,2000) hal 90.
Dengan Sempurna
Tidak Sempurna
Terlaksana
Beda pendapat dengan memahami isi
Tidak terlaksana
Akan timbul Sengketa
Bagaimana menyelesaikannya
Harus dilihat apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak mengenai cara penyelesaian sengketa
Melalui Pengadilan Melalui Arbitrase
Perjanjian
79
Penyelesaian serngketa melalui peradilan melewati beberapa proses, salah
satu proses yang penting adalah pembuktian. Alat bukti menurut hukum Islam
yaitu :
1) Ikrar (pengakuan para pihak mengenai ada tidaknya sesuatu);
2) Syahadat (persaksian);
3) Yamin (sumpah);
4) Riddah (murtad);
5) Maktubah (bukti-bukti tertulis), seperti akta dan surat keterangan;
6) Tabayyun (upaya perolehan kejelasan yang dilakukan oleh pemeriksaan
majelis pengadilan yang memeriksa);
7) Alat bukti bidang pidana, seperti pembuktian secara kriminologi ;146
Sedangkan alat bukti menurut Hukum Perdata pasal 164 HIR antara lain :147
1) Alat bukti tertulis, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan ;
2) Keterangan saksi ;
3) Pengakuan; dan
4) Persangkaan hakim/pengetahuan hakim ;
Secara umum, alat bukti menurut hukum Islam dan hukum perdata sama.
Letak perbedaan yang jelas terletak pada fungsi alat bukti sumpah (yamin) dalam
hukum Islam dengan pengakuan pada hukum Perdata dimana dalam hukum Islam
alat bukti sumpah adalah alat bukti yang berdiri sendiri (mutlak) dan mengikat
sebagai bukti yang terkait (contoh : sumpah li’an) tanpa disertai petunjuk lain.
Sedangkan menurut hukum Perdata sumpah adalah salah satu bentuk pengakuan
146 Ibid147 Ibid.
80
yang menegaskan adanya pengaduan atau gugatan saja, sehingga sumpah tersebut
harus disertai dengan petunjuk lainnya. Dalam Hukum Islam syarat-syarat saksi
serta jumlah mereka telah jelas untuk masing-masing perkara, sedangkan dalam
Hukum Perdata Barat tidak ditentukan demikian.
E. PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH
1. Pengertian Akad Pembiayaan Mudharabah
Akad mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu
pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya
untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni pihak pelaksana usaha, dengan tujuan
untuk mendapatkan untung. Atau singkatnya, akad mudharabah adalah
persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak
lain.148
Sedangkan menurut Muhammad, Mudharabah adalah suatu akad
(kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau sema’nanya tertentu dalam
jumlah, jenis dan karakternya (sifatnya) dari orang yang diperbolehkan mengelola
harta (jaiz attashruf) kepada orang lain yang ‘aqil, mumayyiz dan bijaksana, yang
ia pergunakan untuk berdagang dengan mendapatkan bagian tertentu dari
keuntungannya menurut nisbah pembagiannya dalam kesepakatan.149
2. Syarat dan Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
a. Syarat Akad Pembiayaan Mudharabah
148 M. Anwar Ibrahim, hal 1.149 Muhammad, Konstruksi, hal. 47.
81
Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut150 :
1. Bahwa modal itu harus berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk barang
perhiasan, emas, perak, atau barang dagangan, maka tidak sah. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Munzir, “ Semua orang yang ilmunya kami
jaga /hafal sepakat, bahwa seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai
hutang bagi orang lain untuk suatu mudharabah. Namun jika modal itu berupa
barang yang akan diperdagangkan harus dihitung ke dalam nilai uang.
2. Bahwa ia diketahui dengan jelas. Maksudnya agar dapat dibedakan modal
yang diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah
pihak sesuai dengan kesepakatan pada waktu akad.
3. Keuntungan yang menjadi hak pengelola usaha dengan investor harus jelas
nisbahnya (prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabah dengan
penduduk Khaibar, dengan mengambil separo dari keuntungannya. Motif dari
perlunya nisbah ini ialah untuk menghindari kerugian tertentu dari pihak yang
bermudharabah, jika yang ditetapkan besaran nilai uang, bukan prosentase,
karena bisa jadi keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
4. Menurut Maliki dan Syafii, mudharabah itu bersifat mutlak. Artinya pemilik
modal/investor tidak membatasi kepada pengelola usaha, untuk
menggunakannya dalam usaha apa dan dimana, kapan, dan dengan siapa harus
bermuamallah. Namun Hanafi dan Hambali membolehkan mudharabah baik
dengan mutlak maupun muqoyyad. Baik dengan persyaratan tertentu atau
bebas.
150 Sayyid Sabiq, Fiqus Sunnah (Terjemahan),( Bandung, Al Ma’arif, 2001),hal 23.
82
b. Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah :151
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2. Obyek mudharabah (modal dan kerja)
3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab- qobul)
4. Nisbah keuntungan
Ad.3.1. Pelaku
Dalam akad mudharabah minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama
bertindak selaku pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak
sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad
mudharabah tidak ada.
Ad.3.2. Obyek
Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai obyek
mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek
mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang
dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk
keahlian, ketrampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.
Ad. 3.3. Persetujuan
Faktor ketiga yaitu persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi
dari prinsip at-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus
151 Ahmad Sumiyanto, Problem dan Solusi Transaksi Mudharabah, (Yogyakarta, Magistra Insania Press,2005) hal. 3-6.
83
secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si
pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana sedangkan
pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.
Ad. 3.4. Nisbah Bagi Hasil
Faktor yang keempat yaitu Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad
mudharabah. Faktor inilah yang membedakan akad mudharabah dengan akad
jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua
pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya,
sedangkan shahib al-māl mendapat imbalan atas penyertaan modalnya.
3. Permasalahan dalam Penerapan Akad Mudharabah
a. Mengenai penentuan jangka waktu
Terdapat perbedaan pendapat dari para fuqaha mengenai penentuan jangka
waktu dalam akad mudharabah. Madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan kalau
seandainya Mudharabah ditentukan jangka waktu berlakunya, dan jika telah lewat
masa berlakunya, maka akadnya dianggap batal dengan sendirinya, adalah
diperbolehkan. 152 Madzhab Maliki dan Syafi’i mengatakan, penentuan itu tidak
dibolehkan dan tidak sah. Karena melakukan usahanya dan merusak tujuan dari
mudharabah, sebab mungkin ia tidak mendapat keuntungan dalam waktu yang
ditentukan, padahal mungkin keuntungan baru akan didapatkan setelah lewat
waktu yang telah ditentukan itu.
152 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, (Yogyakarta, UII Press,2001), hal.54-55.
84
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam penentuan jangka waktu
berlakunya pengelolaan mudharabah dan lainnya sebenarnya dikembalikan
kepada ‘urf (kondisi sosio kultural dan kebiasaan) para pengusaha dalam
perdagangan. Oleh karena itu apa yang berlaku pada para pedagang yang
merupakan suatu batasan (ketentuan) yang bermanfaat bagi kepentingan maka
batasan itu diperbolehkan seperti masa berlakunya akad mudharabah, namun apa
yang mereka anggap tidak relevan dan tidak bermanfaat maka tidak sah.153
b. Kemungkinan Shahibul menarik modal mudharabah sewaktu-waktu
Mudharabah pada prinsipnya adalah akad jaiz (boleh dan tidak mengikat)
dan bukan akad lazim (wajib, harus dan mengikat) menurut semua fuqaha
madzhab. Oleh karena itu dibolehkan bagi kedua belah pihak (mudharib dan
shāhibul māl) untuk membatalkannya kapanpun mereka mau, dengan syarat
modal tersebut sudah dalam bentuk uang tunai.154
Dengan demikian shahibul māl boleh menarik kembali modalnya
sewaktu-waktu, dan mudharib mendapat kompensasi yang lazim/kompensasi
dengan standar konvensional (ujroh mitsl) atau sesuai kesepakatan antar
keduanya bila mudharib atau ‘amil telah memulai usaha kerjanya, sebab tidak
boleh ada yang dirugikan atau mendapatkan bahaya dalam kepentingannya.
Adapun jika modal tersebut masih berujud barang atau komoditi maka fasakh
(penarikan modal atau pembatalan akad) tersebut dapat dilaksanakan tetapi
mudharib masih memiliki kewenangan untuk mengelolanya sampai dapat
153 Ibid.154 Ibid, hal. 56
85
menguangkannya agar menjadi jelas bagiannya.menurut Madzhab Hanafi dan
Syafi’i. Sedangkan madzhab Hambali membolehkan bagi kedua belah pihak
untuk sepakat menjual barang tersebut atau membaginya.155
c. Kemungkinan shahibul māl menetapkan syarat-syarat penggunaan modal
mudharib
Para ulama telah sepakat membolehkan dan mengakui syarat-syarat atau
ketentuan yang ditetapkan shahibul māl dalam penggunaan modal mudharabah
dan mereka mewajibkan kepada mudharib selaku ‘amil untuk menepatinya selama
bermanfaat bagi kepentingan syarikat dan tidak bertentangan dengan kaidah dan
hukum syarikat.Karena firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 1 dan
hadits Rasulullah SAW yang artinya : “ orang-orang muslim terikat dengan
syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal”.156
d. Kemungkinan Mudharib membatalkan akad mudharabah sewaktu-waktu
Mudharib dapat membatalkan akad mudharabah sewaktu-waktu
sebagaimana shahibul māl dengan syarat sepengetahuan pihak mitranya untuk
membatalkan akad dan modal berbentuk uang tunai. Adapun modal berbentuk
barang, jika ia menuntut pembatalan, maka supaya menunggu sampai modal dan
155 Muhammad, Permasalahan Fiqhiyah dalam Penerapan Mudharabah, (Yogyakarta, Pusat Studfi Ekonomi Islam, 2003), hal.82.
156 Ibid, hal 91
86
aset tersebut menjadi tunai, dengan demikian menjadi jelas keuntungan atau
kerugian usaha tersebut.157
e. Kemungkinan shahibul māl menetapkan sanksi dalam akad mudharabah
kepada mudharib bila ia melanggar syarat-syarat shahibul māl.
Shahibul māl diperbolehkan untuk menetapkan sanksi yang akan
diberlakukan kepada mudharib bila ia melanggar syarat-syarat shahibul māl.
Sebab hal itu termasuk dalam kesepakatan bersama yang harus dipenuhi dan
ditepati, maka jika melanggar harus menanggung akibatnya dan menjamin
kerugian yang menimpa modal atau kepentingan shahibul māl. Sebab ia adalah
wakil dari shahibul māl dalam menjalankan modal, maka tindakannya yang
terkait dengan mudharabah harus sesuai dengan ketentuan atau syarat yang
ditetapkan oleh muwakkil dalam hal ini shahibul māl.158
F. Nisbah Bagi Hasil
1. Pengertian Bagi Hasil
Menurut kamus bahasa Indonesia, bagi hasil diartikan sebagai pemberian
perolehan suatu usaha kepada mitra usaha atas keikutsertaan modal atau kerja
pengelolaan dalam jumlah yang ditentukan bersama sebelumnya. Secara rinci
pengertian kata hasil menunjuk pada perolehan atau pendapatan.159
Disini bagi hasil dapat mengandung pengertian bagi perolehan revenue
sharing bagi untung rugi profit-and loss sharing dan bagi untung (profit sharing).
157 Ibid, hal. 83158 Ibid, hal 92159 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989) hal 300
87
Tetapi dalam tehnik penghitungan, dikenal dua istilah bagi hasil yang terdiri dari
bagi untung (profit sharing) dan bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi untung
profit sharing adalah pembagian keuntungan usaha yang dihitung dari pendapatan
setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Didalam BMT, pola ini juga digunakan
untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaganya pada penabung (depositor).
Bagi hasil (revenue sharing) ialah bagi hasil yang dihitung dari seluruh
total pendapatan pengelolaan dana. Demikian juga, pola ini dapat digunakan
untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan Islam seperti BMT.
Karena itu sistim bagi hasil pada BMT berarti sistim yang diterapkan dalam
ekonomi yang diatas namakan Islam yang menekankan pada pembagian hasil
usaha yang besarannya sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terkait.
Dalam perkembangannya Lembaga Keuangan Syariah biasanya memberlakukan
pola bagi hasil itu untuk pembiayaan perdagangan. Dalam hukum Islam lama
(fiqh), bagi hasil terdapat dalam mudharabah dan musyarakah (syirkah). Kedua
bentuk perjanjian keuangan itu dianggap dapat menggantikan riba, yang
mengambil bentuk bunga. 160
Antara bunga dan bagi hasil, keduanya sama-sama memberikan
keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang
sangat nyata. Perbedaan itu dapat dilihat dari tabel berikut :161
160 Waqaar Msood Khan, Towards, An Interest –Free Islamic Economic System, (UK: The Islamic Foundation UK and The International Association For Islamic Economies, Islamabad,1985M-1406 H) hal.28.
161 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, Dari Teori ke Praktik, (Jakarta, Gema Insani, 2001) hal 61.
88
Tabel 3.1. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA BAGI HASIL
a.Penentuan bunga dibuat pada waktu
akad dengan asumsi harus selalu
untung
a.Penentuan besarnya rasio /nisbah bagi
hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan ganti
rugi
b.Besarnya prosentase berdasarkan
pada jumlah uang (modal) yang
dipinjamkan.
b.Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
pada jumlah keuntungan yang
diperoleh.
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah
proyek yang dijalankan oleh pihak
nasabah untung atau rugi.
c.Bagi hasil bergantung pada
keuntungan proyek yang dijalankan.
Bila usaha merugi, kerugian akan
ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak.
d.Jumlah pembayaran bunga tidak
meningkat sekalipun jumlah
keuntungan berlipat atau keadaan
ekonomi sedang “booming”.
d. Jumlah pembagian laba meningkat
sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
e.Eksistensi bunga diragukan (kalau
tidak dikecam) oleh semua agama
termasuk Islam.
e.Tidak ada yang meragukan keabsahan
bagi hasil.
f.Jika terjadi kerugian ditanggung f. Jika terjadi kerugian ditanggung
89
nasabah saja. kedua belah pihak, nasabah dan
lembaga.
Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara
shahibul māl dengan mudharib. Dengan demikian semua pengeluaran rutin yang
berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib,
dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi
antara shahibul māl dan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati
sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada
pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shahibul māl telah
dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian
akan dianggap sebagai pembagian keuntungan dimuka.162
Secara umum bagi hasil dalam mudharabah dapat digambarkan sebagai
berikut :163
Gambar 3.3. Bagi Hasil dalam Mudharabah
Perjanjian Bagi Hasil Keahlian/ Modal 100%Ketrampilan
Nisbah X % Nisbah X%
162 Muhammad, Teknik, hal 24163 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank, hal 94
Konsumen (mudharib)
Bank (Shahibul maal)Proyek /usaha
Pembagian keuntungan
90
( sumber : Antonio, 1997:94) pengembalian modal pokok
Implementasi konsep pembiayaan bagi hasil akan menimbulkan
konsekuensi lebih lanjut bahwa seluruh kerugian dalam usaha yang dibiayai akan
ditanggung oleh bank (shahibul māl) , kecuali jika kerugian tersebut disebabkan
oleh kelalaian nasabah atau melanggar persyaratan yang telah disepakati. Selain
itu juga pihak shahibul māl harus aktif berusaha mengantisipasi kemungkinan
terjadinya kerugian nasabah sejak awal, sehingga keduanya cenderung
bekerjasama untuk mengatasi masalah yang timbul.
2. Nisbah Keuntungan
Nisbah keuntungan adalah proporsi pembagian keuntungan dari hasil
aktivitas mudharabah. Nisbah harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara
kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu.
Penentuan nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan pada porsi setoran
modal, walaupun dapat juga bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar
porsi setoran modal. 164
Ketentuan bagi untung dan bagi rugi merupakan konsekuensi logis dari
karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak
investasi (natural uncertainty contracts). Dalam kontrak ini, return dan timing
cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Apabila laba bisnisnya
164 Muhammad, Konstruksi, hal 184.
Modal
91
besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya
kecil, mereka mendapat bagian kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika
nisbah laba ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal
rupiah tertentu.165
Menurut Madzhab Hanafi dan sebagian Madzhab Syafi’i, keuntungan
harus diakui seandainya keuntungan usaha sudah diperoleh (walaupun belum
dibagikan). Sedangkan, Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali
menyebut, bahwa keuntungan hanya dapat diakui hanya ketika dibagikan secara
tunai kepada kedua pihak.166
Pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan mengembalikan lebih
dahulu modal yang ditanamkan shahibul māl, namun kebanyakan ulama
menyetujui bila kedua belah pihak sepakat membagi keuntungan tanpa
mengembalikan modal. Hal ini berlaku sepanjang kerjasama masih berlangsung.
Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menahan untung, bila
keuntungan telah dibagikan, setelah itu usaha mengalami kerugian, sebagian
ulama berpendapat, bahwa pengelola akan diminta menutupi kerugian tersebut
dari keuntungan yang telah dibagikan kepadanya.167
Keuntungan adalah milik bersama antara shahibul māl dan mudharib,
karena modal dan kerja adalah sejajar, saling berkepentingan, dan membutuhkan,
maka keduanya harus berhak atas keuntungan dengan nisbah masing-masing.
Dalam pembagian hasil keuntungan mudharabah, nisbah mudharib dapat
lebih besar atau sebaliknya lebih kecil daripada shahibul māl tergantung pada
165 Ahmad Sumiyanto, Problem, hal 10-11.166 Gemala Dewi,dkk, Hukum, hal. 128.167 Ibid.
92
kesepakatan dalam akad mudharabah. Sebagaimana para ulama sepakat bahwa
keuntungan yang didapat oleh masing-masing pihak (shahibul māl dan mudharib)
harus dalam jumlah nisbah tertentu, jika keduanya telah sepakat bahwa
seperempat (25%) atau setengah (50 %) bagi mudharib misalnya, maka hal itu
sudah cukup dimengerti karena bagian sisa tentunya adalah bagi shahibul māl,
semuanya itu tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, baik nisbah
masing-masing sama atau lebih besar atau lebih kecil dan harus ditepati. Sebab
umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati.168
168 Muhammad, Teknik, hal 63-64.
93
BAB III
DESKRIPSI BMT BINA IHSANUL FIKRI DAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum BMT Bina Ihsanul Fikri
1. Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya
BMT Bina Ihsanul Fikri adalah lembaga keuangan mikro syariah yang
berdiri pada tahun 1996 di Gedongkuning Yogyakarta. BMT Bina Ihsanul Fikri
didirikan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) organisasi satuan
Gedongkuning yang salah satu programnya adalah pemberdayaan ekonomi
kerakyatan. Pendiriannya dilatar belakangi oleh adanya keprihatinan atas
banyaknya usaha kecil yang kebutuhan modalnya dicukupi oleh rentenir yang
memungut bunga tinggi. Disamping itu juga kecendurungan dakwah Islamiyah
yang belum mampu menyentuh kebutuhan ekonomi sehingga misi dakwah belum
terasa sempurna. Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1997 BMT Bina Ihsanul Fikri
resmi berdiri dengan Badan Hukum Nomor : 159/BH/KWK.12/ V/1997 yang
berkedudukan di Jl. Semangu No. 28 Gedongkuning Yogyakarta.
Prinsip usaha BMT Bina Ihsanul Fikri dibagi menjadi dua yaitu usaha
sosial ( Baitul Māl ) dan usaha bisnis ( Baitul Tamwil ). Usaha sosial ini
bergerak dalam bidang penghimpunan dana zakat, infaq, dan shodaqoh kemudian
mentasyarufkan kepada delapan ashnaf, dengan skala prioritas untuk
94
mengentaskan kemiskinan melalui program ekonomi produktif dan bea siswa.
Sedangkan usaha bisnisnya bergerak dalam pemberdayaan masyarakat ekonomi
kelas bawah dan intensifikasi penarikan dan penghimpunan dana masyarakat
dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka serta menyalurkannya dalam
bentuk pembiayaan (kredit) kepada pengusaha atau pedagang kecil dengan sistem
bagi hasil.
Sasaran penghimpunan dananya adalah golongan masyarakat kelas
menengah atas ( aghnia) tetapi masyarakat kelas bawah tetap diarahkan untuk
menabung sesuai dengan kesanggupannya. Sedangkan sasaran utama penyaluran
pembiayaan adalah para pengusaha dan pedagang kecil yang tidak mampu
berhubungan dengan bank, dengan pola pengembalian dananya meliputi harian,
mingguan, dua mingguan, bulanan, serta pasaran.
Antusiasme masyarakat terhadap kehadiran BMT Bina Ihsanul Fikri
menjadi semangat pengelola untuk lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan usaha
kecil, namun mereka belum bisa berbuat maksimal karena terbatasnya modal yang
dimiliki.
2. Visi dan Misi serta Tujuan BMT Bina Ihsanul Fikri.
1. BMT Bina Ihsanul Fikri mencanangkan visinya untuk menjadi lembaga
keuangan syariah yang mandiri, amanah dan profesional serta unggul di
bidangnya dalam upaya memberdayakan ekonomi umat.
95
2. Misi BMT Bina Ihsanul Fikri adalah adalah menerapkan prinsip syariah,
membina kepedulian aghniya’ kepada dhuafa secara terpola dan
berkesinambungan menuju peningkatan kualitas kehidupan umat.
3. Tujuan BMT Bina Ihsanul Fikri adalah membangun kehidupan ekonomi umat
dengan pola syariah, menghindarkan sistem ekonomi dan keuangan dari
praktek ribawi, serta meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat.
Sedangkan untuk mencapai ketiga tujuan tersebut diatas, BMT Bina
Ihsanul Fikri menerapkan strategi sebagai berikut :
1. Penguatan Basis Anggota (jam’iyah)
BMT Bina Ihsanul Fikri melakukan pengembangan dan penguatan basis masa
keanggotaan, meningkatkan kualitas dan loyalitas anggota, membina yang
kecil dan bermitra dengan yang besar. Sebab dengan jumlah yang banyak dan
berkualitas serta memiliki loyalitas yang kuat, meskipun kecil niscaya akan
mampu memberikan akumulasi ekonomi yang besar dan relatif lebih stabil.
Atas usaha ini BMT Bina Ihsanul Fikri dalam waktu sebelas tahun telah
berhasil karena telah berkembang dan memiliki 5 kantor cabang.
2. Kemitraan Pelanggan (silaturahim)
Untuk memenangkan persaingan, BMT Bina Ihsanul Fikri telah memilih
strategi dengan cara menjalin atau membangun komunikasi bisnis dan sosial,
memperbanyak silaturahim, hubungan yang baik dan kemitraan, baik sebelum
maupun sesudah menjadi nasabah atau anggota, karena dengan kedekatan dan
96
kehangatan bermitra akan tercipta hubungan bisnis secara transparandan adil,
sehingga kepuasan nasabah dapat tercapai.
3. Proaktif (ruhul jadid)
BMT Bina Ihsanul Fikri selalu proaktif dan progresif terhadap perkembangan
bisnis dan sosial, selalu berkreasi dalam persaingan, dan inovatif dalam
produk maupun strategi bisnis.
4. Penguatan jaringan (ukhuwah)
BMT Bina Ihsanul fikri terus mengembangkan usaha, baik secara internal
maupun eksternal melalui pembukaan jaringan (cabang,, unit, kas) pada
sentra-sentra bisnis (dimana ada BRI disitu ada BMT Bina Ihsanul Fikri),
mengambil alih managemen BMT lain yang mengalami masalah, aktif dalam
setiap organisasi yang berhubungan dengan BMT, menjalin kerjasama dengan
lembaga funding, baik bank maupun non bank di dalam maupun diluar negeri.
5. Pengembangan Sumber Daya Insani ( tarbiyah)
BMT Bina Ihsanul Fikri secara terus menerus dan berkesinambungan
membangun keyakinan bahwa bekerja merupakan ibadah dan jihad ekonomi
Islam. Peningkatan sumber daya insani ini dibangun pada semua aspek, sikap,
wawasan, dan ketrampilan dengan mekanisme proses belajar tiada henti.
3. Produk dan Jasa BMT Bina Ihsanul Fikri
1. Un it Simpan Pinjam
97
a. Produk Penghimpunan Dana
BMT Bina Ihsanul Fikri memberikan pelayanan produk
penghimpunan dana dalam bentuk simpanan berdasarkan akad wadi’ah dan
mudharabah.
1) Tabungan Wadi’ah Domanah
Yaitu simpanan titipan murni dari ta’mir masjid atau kelompok pengajian
atau perorangan. Dana yang dititipkan akan dikelola oleh BMT Bina
Ihsanul Fikri dan nasabah akan mendapatkan bonus dengan nisbah bagi
hasil. Aplikasi dalam operasional BMT Bina Ihsanul Fikri antara lain :
Tabungan Haji, Tabungan Qurban, Tabungan Lembaga Islam, Tabungan
Walimahan, Tabungan Idul Fitri yang digolongkan dalam wadi’ah
domanah.
2) Tabungan Mudharabah
Yaitu simpanan umum, yaitu simpanan dana yang penyetoran dan
penarikannya dapat dilakukan sesuai perjanjian yang telah disepakati dan
BMT Bina Ihsanul Fikri memiliki kewenangan penuh untuk mengelola
sesuai dengan prinsip syariah. Atas produk ini penyimpan akan
mendapatkan bagi hasil setiap bulan.
Adapun produk tabungan mudharabah yang dikembangkan pada BMT
Bina Ihsanul Fikri antara lain :
a) Simpanan Umum
Yaitu bentuk simpanan yang disediakan bagi masyarakat umum dalam
bentuk tabungan BIF dimana setorannya dapat dilakukan sewaktu-
98
waktu dan pengambilannya juga dapat setiap saat. Kepada penabung
BMT Bina Ihsanul Fikri akan diberikan nisbah /bagi hasil sesuai
dengan perjanjian setiap bulannya dan diberikan pada setiap akhir
bulan.
b) Simpanan Idul fitri
Simpanan ini digunakan untuk keperluan hari raya idul fitri dimana
setorannya dapat dilakukan sewaktu-waktu, tetapi pengambilannya
hanya dapat dilakukan pada saat hari raya idul fitri.
c) Simpanan Idul Qurban dan Aqiqah
Simpanan ini khusus untuk pelaksanaan idul qurban atau aqiqah
dimana setorannya dapat dilakukan harian atau mingguan dan
pengambilan dananya dilakukan pada waktu akan melakukan ibadah
qurban atau pada saat kelahiran seorang anak.
d) Simpanan Haji
Simpanan yang digunakan khusus untuk persiapan menunaikan ibadah
haji, pembayarannya dapat dilakukan harian atau mingguan, sedang
pengambilannya ditentukan pada saat menjelang berangkat ibadah
haji.
e) Simpanan Pendidikan
Simpanan pendidikan yang simpanannya digunakan untuk keperluan
biaya pendidikan dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Sama halnya dengan simpanan yang lain, simpanan pendidikan inipun
dapat dibayarkan secara harian atau mingguan tetapi pengambilannya
99
hanya dapat diambil pada waktu saat menjelang kebutuhan yang
berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan dan disesuaikan
dengan kesepakatan sebelumnya.
f) Simpanan Walimah
Simpanan yang diperuntukkan untuk keperluan pernikahan atau
walimahan, khitanan atau sejenisnya. Penyetorannya dapat disetor
sewaktu-waktu baik secara harian maupun mingguan dan
pengambilannya sewaktu menjelang walimahan.
3) Deposito Mudharabah
Yaitu simpanan yang jangka waktu pengambilannya sudah dipastikan.
Atas produk ini penyimpan akan mendapatkan bagi hasil yang umumnya
lebih tinggi bila dibandingkan dengan tabungan. Deposito yang tersedia
untuk pilihan waktunya yaitu minimal 3 bulan dengan nominal minimal
Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
4) Sertifikat Bagi hasil atau Obligasi Syariah
Yaitu sejenis surat berharga atau obligasi syariah, dengan jangka waktu
minimal satu tahun. Penyimpanan akan mendapatkan bagi hasil setiap
bulan yang umumnya lebih besar dari deposito, penyimpan dapat memilih
sendiri calon peminjam (muqoyyadah) namun kelayakan usahanya tetap
menjadi kewenangan BMT, sedangkan jangka waktu yang ditentukan
minimal 1 tahun dengan nominal minimal Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah).
100
5) Penyertaan Musyarakah
Yaitu sejenis sertifikat pendiri yang besarnya akan ditetapkan setiap
tahunnya. Pemegang rekening merupakan pemilik yang terbatas atas BMT
Bina Ihsanul Fikri, karena mereka tidak dapat dipilih menjadi pengurus,
tetapi dapat memilih dalam setiap Musyawarah Akhir Tahun. Jangka
waktu minimal satu tahun dan hanya dapat diambil setelah disetujui dalam
Forum Musyawarah Tahunan. Nilai per lembar penyertaan setiap tahun
akan ditinjau ulang dan sejak tahun 2004 dijual dengan harga
Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per lembarnya. Masyarakat dapat
memiliki lebih dari satu lembar akan tetapi suaranya pada Forum
Musyawarah Akhir Tahun tetap hanya satu.
6) Sertifikat Pendiri
Yaitu simpanan pokok anggota sebagai modal pada saat awal BMT Bina
Ihsanul Fikri didirikan. Pemegang Rekening ini merupakan pemilik BMT
Bina Ihsanul Fikri secara mutlak, oleh karenanya dapat dipilih dan
memilih dalam Forum Musyawarah Akhir Tahun. Sertifikat ini tidak dapat
dipindah tangankan, sehingga BMT Bina Ihsanul Fikri secara otomatis
akan menjadi pembeli langsung jika yang bersangkutan mengundurkan
diri. Besarnya nilai satu sertifikat adalah Rp. 250.000,- (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) dan dapat memiliki lebih satu lembar, tetapi suara
dalam rapat tetap satu. Anggota baru akan terus dikembangkan dengan
cara mengangsur sesuai kesanggupan.
7) Wakaf Tunai
101
Yaitu wakaf dalam bentuk uang yang diserahkan kepada Panti Asuhan dan
diinvestasikan di BMT Bina Ihsanul Fikri. Setiap hasil investasinya
disalurkan untuk membiayai / bea siswa sekolah anak-anak panti asuhan.
Besarnya wakaf tunai untuk masing-masing tingkatan sekolah adalah :
- SD : Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
- SLTP : Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah)
- SLTA : Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah)
dana wakaf ini sebagaimana kedudukan wakaf sendiri tidak akan habis
dan terus bergulir, sehingga jika penerima beasiswa wakaf yang pertama
telah selesai sekolahnya, akan dialihkan kepada anak yang lain.
2. Produk Pembiayaan /Penyaluran Dana
Untuk menjangkau umat sampai pada lapisan paling bawah, dalam bidang
pembiayaan BMT Bina Ihsanul Fikri mengembangkan produknya ke dalam :
a. Jual Beli (murobahah)
Yaitu penyediaan barang modal dan atau barang konsumtif oleh BMT Bina
Ihsanul Fikri kepada peminjam. Atas dasar akad ini BMT akan mendapatkan
keuntungan yang besarnya dihitung atas dasar kesepakatan. Ada kalanya jual
beli ini diawali dengan akad sewa beli (ijarah).
b. Bagi Hasil (mudarabah-musyarakah)
Yaitu penyediaan modal usaha atas dasar kemitraan dan patungan modal
(musyarakah) atau dapat juga semua permodalan dari BMT Bina Ihsanul
102
Fikri (mudharabah). Atas akad ini, BMT Bina Ihsanul Fikri akan
mendapatkan bagi hasil sesuai dengan proporsi (nisbah) yang disepakati.
c. Jasa (Hiawalah-Ar-Rahn- Kafalah)
Yaitu produk jasa talangan dana yang dibutuhkan sangat cepat sementara
piutang nasabah ditempat lain belum jatuh tempo (hiwalah). BMT Bina
Ihsanul Fikri juga akan mengembangkan produk gadai syariah (Ar-Rahn)
dalam hal ini BMT Bina Ihsanul Fikri akan berperan sebagai penjamin atas
usaha nasabah terhadap pihak lain (Kafalah). Atas akad ini, BMT Bina
Ihsanul Fikri akan mendapatkan fee manajemen yang besarnya tergantung dari
kesepakatan.
d. Kebajikan (Al-Qord- Al Qordhul Hasan)
Yaitu peminjam kebajikan yang pokoknya harus kembali disebut Al-Qord.
Sedangkan dana yang bisa tidak kembali disebut Al-Qordhul Hasan. Al-Qord
sumber dananya dapat berasal dari dana produktif maupun sosial (ZIS), tetapi
Al-Qordhul Hasan dananya hanya bersumber dari dana sosial (ZIS). Namun
BMT Bina Ihsanul Fikri baru mengembangkan produk Al-Qord. Atas akad ini
BMT Bina Ihsanul Fikri akan mendapatkan fee atau infaq yang besarnya tidak
ditentukan.
4. Bentuk Sosialisasi di Masyarakat
103
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat penyandang dana serta
mengembangkan usahanya, juga untuk memperkenalkan keberadaan BMT Bina
Ihsanul Fikri beserta produk-produknya kepada masyarakat luas, BMT Bina
Ihsanul Fikri melakukan sosialisasi antara lain dengan cara :
1. Membagi-bagikan brosur tentang BMT Bina Ihsanul Fikri.
2. Memberi penjelasan melalui pengajian-pengajian di masjid-masjid dan
sekolah-sekolah berbasis Islam.
3. Memberikan pembinaan kepada pedagang-pedagang pasar ataupun kepada
pengrajin /pengusaha kecil, dan home industri.
4. Bekerjasama dengan instansi-instansi yang dianggap interes terhadap
perkembangan ekonomi yang Islam.
Selain meningkatkan pelayanan terhadap nasabah, BMT Bina Ihsanul
Fikri juga melakukan pembinaan ke dalam yakni meningkatkan sumber daya
karyawannya, antara lain dengan cara :
1. Setiap hari Jum’at diadakan tadarus dan majelis taklim di masing-masing
cabang dengan dipandu oleh manajer cabang masing-masing ;
2. Setiap bulan sekali diadakan pembinaan dan majelis taklim yang wajib diikuti
oleh seluruh pengurus baik pusat maupun cabang.
3. Setiap hari Rabu diadakan majelis rebon bagi para manajer cabang yang
membahas perkembangan BMT dan pertukaran informasi serta diskusi.
4. Setiap dua bulan sekali pada minggu kedua diadakan pembinaan khusus bagi
para petugas marketing..
104
5. Setiap tiga bulan sekali diadakan pembinaan khusus bagi para kasir dan
petugas pembukuan.
Selain pembinaan rutin sebagaimana tersebut diatas, secara temporal juga
diadakan pelatihan-pelatihan secara mandiri serta pelatihan-pelatihan yang
bermitra dengan pihak luar, yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan
kinerja, pengetahuan, dan pemahaman tentang lembaga ekonomi syariah bagi
pengurus BMT Bina Ihsanul Fikri.
5. Keadaan dan Kondisi Nasabah
Sejak berdiri tahun 1997 hingga sekarang, BMT Bina Ihsanul Fikri
mengalami perkembangan yang cukup membanggakan. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah nasabah, cabang-cabang yang dimiliki, total asset dan lain sebagainya
yang setiap tahun mengalami peningkatan.
1. Perkembangan Nasabah
Jumlah nasabah BMT Bina Ihsanul Fikri setiap tahun mengalami
kenaikan, hal ini dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 3.2. Jumlah Nasabah BMT Bina Ihsanul Fikri tahun 2006