WHAT IS KNOWLEDGE? Kelompok 1 I Gst. Ayu Made Agung Mas Andriani Pratiwi (19) Ni Luh Nyoman Sherina Devi (21) UNIVERSITAS UDAYANA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
WHAT IS KNOWLEDGE?
Kelompok 1
I Gst. Ayu Made Agung Mas Andriani Pratiwi (19)
Ni Luh Nyoman Sherina Devi (21)
UNIVERSITAS UDAYANAFAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI 7 MARET 2014
APA ITU PENGETAHUAN?
1. Analisis Filosofis
Berikut ini adalah awal dari percakapan seseorang yang sedang berbincang dengan
temannya.
Ayu : Menurutmu siapa penyanyi yang terbaik Indonesia?
Agus : Sudah jelas, pasti Agnes Monica.
Ayu : Bagaimana bisa, ia baru merintis karir internasionalnya, sedangkan Anggun
C. Sasmi bahkan sudah berkarir di dunia Internasional sejak lama dan terbukti
sukses.
Agus : penyanyi terbaik tidak selalu diukur dengan lamanya karir internasionalnya
Ayu : Lalu bagaimana saya bisa menentukan siapa penyanyi terbaik Indonesia saat
ini?
Agus : Tentunya dengan setiap penampilannya di atas panggung
Ayu : Tapi penampilan di atas panggung tidaklah cukup, iya juga harus memiliki
pribadi yang bagus juga sehingga bisa menjadi panutan penggemarnya.
Agus : Iya, tapi menurutku penampilan itu adalah segala-galanya, lihatlah Agnes
yang selalu total dalam penampilannya.
Apa yang mereka bicarakan diatas adalah salah satu contoh dari analisis filosofis.
Dalam menganalisis filosofis tersebut seseorang akan mencoba untuk menyusun
aturan-aturan apa yang menentukan sesuatu yang disepakati akan dianalisis.
2. Definisi Tripartit Pengetahuan
Ilmu pengetahuan terdiri dari keyakinan yang dibenarkan. Sebagai contoh, ada
sesorang yang bertanya “Apakah rendang adalah makanan asli Indonesia?”. Untuk
mengetahui bahwa rendang adalah makanan asli Indonesia, yang perlu
dipertimbangkan adalah:
a. Memang benar rendang adalah makanan asli Indonesia
b. Berkeyakinan bahwa rendang adalah makanan asli Indonesia
c. Memiliki pembenaran atas bahwa rendang adalah makanan asli Indonesia.
Atau yang lebih umum, s tahu bahwa p, jika:
1
a. P benar
b. Berkeyakinan bahwa p
c. Memiliki pembenaran atas keyakinan bahwa p
Contoh diatas tadi adalah analisis tripartit atau definisi pengetahuan. Tigak kondisi
tadi diperlukan untuk pengetahuan. Pengetahuan selalu terdiri dari yang dibenarkan,
yang benar, dan keyakinan. Apabila kondisi tersebut sudah terpenuhi, maka seseorang
memiliki pengetahuan. Pengetahuan dibangun atas kepercayaan, untuk mengetahui p
tersebut, seseorang harus percaya bahwa p, dan berkeyakinan akan p. Hal ini
menekankan bahwa satu syarat dalam pengetahuan adalah harus benar. Jika seseorang
memikirkan sebuah kasus dengan keyakinan yang dibenarkan tanpa didukung
pengetahuan atau adanya pengetahuan tanpa keyakinan yang dibenarkan, maka ini
akan menunjukkan bahwa analisis tersebut tidak sempurna.
3. Pembenaran dan Keyakinan yang Diperlukan untuk Pengetahuan
Pada bagian ini akan mempertanyakan asumsi bahwa keyakinan dan
kebenaran diperlukan untuk pengetahuan. Sebagai contoh, terdapat seseorang yang
sedang memancing ikan di sebuah kolam, ia percaya bahwa ia dapat menemukan ikan
di salah satu sudut pada kolam tersebut. Ia tidak dapat memberikan alasan mengapa ia
berkeyakinan bahwa ada ikan disana, ia hanya berkeyakinan bahwa ikan tersebut
seolah-olah ada. Akhirnya orang tersebut meminta bantuan kepada temannya yang
ahli memancing untuk memancing di sudut kolam itu, dan ternyata benar, terdapat
ikan di sudut kolam tersebut. Hal ini menyimpulkan bahwa keyakinan yang benar
sudah cukup untuk pengetahuan, sedangkan pembenaran tidak selalu diperlukan.
Adalagi sebuah contoh tentang seorang nenek yang menunjukkan pada
cucunya tentang tanaman-tanaman yang ada di halaman rumahnya. Cucu tersebut
hanya mendengarkan perkataan nenek tersebut tanpa bermaksud untuk tahu lebih
banyak. Suatu ketika saat ada tayangan kuis di televisi yang menanyakan tentang
nama-nama tanaman, cucu tersebut mencoba menjawab pertanyaan sebisanya dengan
berteriak di depan tv tanpa berkeyakinan jawabannya benar. Ternyata jawabannya
benar, bahwa secara konsisten selalu benar. Cucu tersebut berpikir bahwa ia hanya
menjadi orang beruntung yang menjawab pertanyaan di televisi karena semua
jawabannya benar. Namun, dalam kasus ini tampaknya masuk akal apabila
mengklaim bahwa cucu tersebut memiliki pengetahuan, pengetahuan yang didapat
2
dari neneknya, sehingga dapat menjadi pengetahuan dengan pembenaran tanpa
keyakinan.
4. Mendapatkan Kasus
Serangan paling yang paling berpengaruh pada analisis tripartite dapat dilihat
dalam makalah Edmund Gettier, yaitu “Keyakinan yang Benar Dibenarkan dalam
Pengetahuan?” (1963). Ia menyarankan suatu skenario dimana pemikir telah yang
memiliki keyakinan benar dapat dibenarkan meskipun pemikir tersebut tidak memiliki
pengetahuan. Skenario Gettier merupakan lawan dari analisis tripartit. Gettier tidak
mempertanyakan apakah pembenaran, kebenaran, dan keyaknan diperlukan untuk
pengetahuan. Ia mengklaim bahwa ketiga kondisi tersebut dapat dipenuhi tanpa
seorang pemikir memiliki pengetahuan. Contohnya adalah sebuah pertandingan
sepakbola antara Inggris vs Jerman yang disiarkan di salah satu bar di pinggir jalan.
Begitu mendengar sorak sorai dari dalam, seseorang percaya bahwa bahwa Inggris
baru saja mencetak gol, dan skornya menjadi 1-0. Orang tersebut menganggap bahwa
keyakinannya benar dan itu juga dibenarkan dengan suara gemuruh sorak sorai dari
dalam sehingga lebih meyakinkan bahwa Inggris mencetak gol. Namun, setelah
ditelusuri, ternyata sorak sorai yang didengar oleh orang tersebut berasal dari depan
bar dimana tidak ada televisi yang menayangkan pertandingan tersebut, tetapi ternyata
disana sedang berlangsung sebuah kompetisi karaoke. Ini hanyalah kebetulan saat
penyanyi tersebut mengakhiri penampilannya dengan disambut sorak sorai penonton
dan disaat yang sama dengan Inggris mencetak gol. Disimpulkan bahwa keyakinan
seseorang tersebut benar dengan beruntung walaupun tidak memiliki pengetahuan.
Contoh ini menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki keyakinan yang benar dan
dibenarkan oleh sebuah kesalahan, dan dengan ini maka definisi tripartit gagal untuk
menjelaskan kondisi yang cukup untuk pengetahuan.
Terdapat empat jenis respon terhadap Gettier, diantaranya adalah:
a. Pada bagian selanjutnya, kita akan melihat klaim bahwa ada sesuatu yang
salah dengan dugaan pembenaran dalam skenario Gettier, atau yang lebih
tepatnya apa yang dimiliki dalam kasus tersebut tidak sama dengan
pembenaran. Gagasan yang kaya akan kebenaran harus dicukupi agar kita
dapat memiliki pengetahuan, dan pemikir dalam kasus Gettier tidak memiliki
pembenaran yang mencukupi.
3
b. Dalam bagian 6, kita akan mengklaim bahwa keyakinan dan pembenaran
harus dijelaskan dalam pengetahuan.
c. Pada bagian 7, akan berpendapat bahwa hal yang diungkapkan Gettier tidak
tepat untuk mendefinisikan pengetahuan.
d. Pada bagian 8, kita akan membahas tentang respon eksternal dari Gettier.
5. Pemikiran Yang Kaya Pembenaran
5.1. Kebenaran Mutlak (Infalibilitas)
Dapat dipastikan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan, kita harus memiliki
alasan konklusif atau alasan yang pasti dan meyakinkan untuk mendukung
kepercayaan kita, alasan bahwa kita tidak dapat memiliki suatu kepercayaan adalah
jika kepercayaan tersebut ternyata tidak benar; alasan-alasan yang ada akan
mengartikan bahwa kepercayaan kita adalah infalibel (mutlak). Satu masalah
mengenai nilai dari pembenaran adalah kenyataan bahwa pengetahuan sekarang
sangat sulit didapat. Tidak jelas apakah ada kepercayaan empiris kita yang infalibel.
Untuk memastikan bahwa sebuah klaim lumrah bagi ilmu pengetahuan adalah benar,
konsepsi modern tentang pengetahuan adalah fallibilist. Kita harus berhati-hati,
bagaimana kita menyebutkan posisi ini, bagaimanapun juga klaim tersebut bukanlah
menyebutkan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu yang salah, klaim fallibilist
menerangkan bahwa kita dapat memiliki pengetahuan tanpa alasan yang pasti. Jadi,
kira dapat mengklaim mengetahui sesuatu walaupun bukti yang kita miliki tidak
menutup kemungkinan bahwa kita mungkin salah.
Ilmu ilmiah menyediakan ilustrasi yang bagus mengenai fallibilism. Kita
mengetahui banyak kebenaran ilmiah meskipun sejarah dan kemajuan ilmu
pengetahuan telah mengajarkan kita bahwa beberapa teori kita bisa salah, dan bahwa
hal itu mungkin ternyata kita tidak memiliki banyak pengetahuan ilmiah seperti yang
kita pikir kita lakukan. Jika teori-teori ilmiah adalah benar maka teori-teori tersebut
terhitung merupakan pengetahuan meskipun alasan kita untuk menerima mereka
tidaklah konklusif. Kita memiliki konsepsi fallibilist tentang pengetahuan empiris,
namun ada area tertentu pada pengetahuan di mana infalibilitas lebih masuk akal,
salah satunya adalah pengetahuan a priori. Alasan konklusif yang dianjurkan untuk
skenario Gettier: jika alasan tersebut diperlukan untuk pembenaran, maka kasus
4
Gettier bukan tandingan untuk analisis tradisional karena pemikir yang dibahas tidak
memiliki kepercayaan yang dibenarkan.
5.2. Tidak Ada Kepercayaan Yang Salah
Kita telah mengatakan bahwa adanya pembenaran atau justifikasi memiliki
bukti yang cukup atau alasan yang baik untuk berpikir bahwa kepercayaan kita adalah
benar. Kepercayaan yang salah tidak dapat memberikan bukti ataupun dukungan
rasional. Kita tidak memiliki pembenaran bagi kepercayaan yang benar jika alasan
kita melibatkan kepercayaan yang merupakan kepercayaan yang salah. Larangan
terhadap kepercayaan yang salah tidak dapat digunakan untuk menolak tandingan
tersebut untuk teori tradisional karena ini adalah kasus kepercayaan yang benar
dibenarkan tanpa sepengetahuan yang tidak terkait kepercayaan yang salah.
Kasus Gettier bukan tandingan untuk analisis tradisional karena pemikir yang
dibahas tidak memiliki kepercayaan yang dibenarkan dalam arti yang lebih ketat
sesuai yang disarankan, dan oleh karena itu intuisi kita benar bahwa kasus ini tidak
melibatkan pengetahuan. Pengetahuan masih dianggap kepercayaan yang benar
dibenarkan, meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa kita harus
memperhatikan lebih ketat terhadap istilah ‘dibenarkan’. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mempertahankan respon yang berfokus pada infalibilitas dan
kepercayaan yang salah, dan cara lain untuk menjabarkan dan melengkapi analisis
tradisional telah disarankan.
6. Pengetahuan Sebagai Dasar
Menurut teori tradisional, pengetahuan diperoleh ketika kepercayaan Anda
adalah benar, dan ketika kondisi pembenaran juga memuaskan. Pengetahuan dibentuk
oleh komponen epistemis lebih mendasar yaitu kepercayaan, kebenaran, dan
justifikasi. Timothy Williamson berpendapat bahwa pendekatan semacam itu
didorong oleh dua asumsi. Pertama, diasumsikan bahwa konsep pengetahuan mampu
dianalisa menjadi konsep konstituen sederhana. Kedua, diasumsikan bahwa ketika
seseorang memiliki pengetahuan, ia berada dalam kondisi hybrid state, yang sebagian
dibentuk oleh kondisi pikirannya dan sebagian lagi oleh dunia. Memiliki kepercayaan
dan justifikasi dapat berujung pada munculnya kondisi mental tertentu, tapi
5
kenyataannya merupakan gagasan yang independen dari keadaan psikologi yang
mengetahuinya. Kedua asumsi ini saling terkait di mana analisis dapat dilanjutkan
(asumsi pertama) untuk menguraikan jenis komponen mental yang diperlukan selain
untuk komponen non mental tentang kebenaran (asumsi kedua). Strategi Williamson
adalah untuk mempertanyakan kedua asumsi tersebut. Jika keduanya didapatkan tidak
mendasar, maka pendekatan yang seluruhnya berbeda dapat digunakan, yang tidak
didorong oleh kebutuhan untuk menganalisis pengetahuan dalam hal kepercayaan,
kebenaran dan justifikasi.
Dalam kasus pengetahuan, sejarah epistemologi bukan pertanda yang baik
bagi kesuksesan suatu analisis yang dicoba. Filsuf telah mencoba untuk memunculkan
definisi pengetahuan sejak zaman Plato, hingga belakangan ini meskipun empat puluh
tahun dilakukan penelitian intensif, tidak ada konsensus telah dicapai pada bagaimana
kita harus menanggapi suatu kasus mengenai pengetahuan. Williamson mengambil
kurangnya keberhasilan tersebut sebagai indikasi dari wrong-headedness (keras
kepala menantang dari apa yang benar atau wajar; keras kepala menyimpang dalam
penilaian atau pendapat) dari teori tradisional.
Williamson berpendapat bahwa pengetahuan tidak terdiri dalam kepemilikan
seperti kondisi hybrid, motivasi untuk analisis karenanya hilang. Pengetahuan adalah
kondisi sepenuhnya mental. Ini adalah teori bahwa sifat kondisi mental tertentu tidak
sepenuhnya ditentukan oleh apa yang ada di dalam kepala pemikir, isi dari keadaan
mental ini sebagian ditentukan oleh apa yang ada di dunia ini. Dalam teori tradisional,
kebenaran diperlukan untuk pengetahuan, tetapi dipandang sebagai komponen non-
mental hybrid state untuk mengetahui sesuatu. Bagi Williamson, pengetahuan itu
sendiri terdiri dalam kepemilikan kondisi yang sepenuhnya mental, suatu keadaan
yang Anda hanya dapat jika pikiran Anda merepresentasikan dunia dengan tepat.
Williamson juga memberikan teori dari justifikasi. Kepercayaan dibenarkan
jika kita memiliki bukti yang bagus untuk itu, dan hal itu adalah hanya untuk
pengetahuan yang dapat memainkan peran bukti yang diperlukan. Urutan penjelasan
di sini adalah kebalikan dari yang diberikan oleh teori tradisional, di mana
pengetahuan didefinisikan dari segi keyakinan dibenarkan. Pengetahuan tidak harus
dilihat sebagai hybrid state yang terdiri dari komponen mental kepercayaan yang
6
dibenarkan, dan komponen non-mental dari kebenaran. Pengetahuan itu sendiri terdiri
atas kepemilikan tipe kondisi mental yang berbeda, kondisi mental yang merupakan
epistemis dasar. Para juri, bagaimana pun juga, keluar dari pendekatan Williamson
yang baru dan berbeda untuk epistemology, dan untuk saat ini, sebagian besar
epistemologi kontemporer tetap menganut teori tradisional.
7. Family Resemblance
Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa kita seharusnya tidak berasumsi
bahwa berbagai instantiasi dari konsep punya kesamaan. Selanjutnya Wittgenstein
berpendapat bahwa hal-hal yang dapat dianggap terhubung oleh salah satu fitur umum
yang penting mungkin sebenarnya dihubungkan oleh serangkaian kesamaan yang
tumpang tindih, di mana tidak ada satu fitur yang umum untuk semua. Contoh yang
diberikan oleh Wittgenstein adalah konsep Game.
Wittgenstein menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi
berikut:
“Suatu permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika dalam
permainan catur telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja” memegang
peranan yang sangat penting, maka tentu jelas itu merupakan bagian yang esensial
dalam permainan tersebut. Apakah kita boleh menyalahi aturan yang telah ditentukan
di sini? Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk
yang sebenarnya tentang aturan permainan itu. Barangkali kita juga tidak dapat
memahami dengan baik petunjuk permainan yang menggariskan agar kita berpikir
tiga kali (berpikir tiga langkah ke depan) sebelum menggerakkan setiap biji catur.
Jika kita melihat penerapan peraturan ini di atas papan catur, maka tentu kita akan
merasa kagum dan tahu maksud atau tujuan suatu aturan permainan…”
Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah permainan
jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada tata aturan
permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan lainnya, akan kehilangan
maknanya. Istilah “tata aturan”, memiliki arti seperangkat aturan yang melingkari
sebuah permainan, termasuk dalam bahasa. Bahasa pun memiliki seperangkat tata
aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas tentangnya. Jika
7
tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan kehilangan makna terangnya.
Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang terang, bahasa tidak boleh dilepaskan
dari tata aturan permainannya. Wittgenstein mengistilahkan hal ini sebagai tata
permainan bahasa (language game).
Atas dasar teori tata permainan bahasa ini, Wittgenstein mengkritik persoalan
mendasar dalam dunia filsafat yang memiliki kecenderungan untuk sangat sulit
dipahami makna bahasa yang diungkapkan para filosof. Menurutnya, hal itu terjadi
lantaran para filosof tidak memperhatikan tata aturan permainan bahasa ini sehingga
menimbulkan kekacauan pemahaman untuk memahami ungkapan-ungkapannya.
Wittgenstein menguraikan masalah ini sebagai berikut:
Pertama, pola penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak
sesuai dengan tata aturan permainan bahasa.
Kedua, kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan
merangkum berbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya.
Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for generality” (ketunggalan dalam
kamajemukan), yaitu kecenderungan mencari sesuatu yang umum pada semua satuan
konkret yang dihimpunkan di bawah suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan
pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan
dalam kemajemukan.
Ketiga, kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang
terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini semestinya dihindari
untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak terkurung dalam
keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia
belaka.
Wittgenstein juga menyorot tentang adanya kata-kata yang sepintas tampak
memiliki makna umum dalam penggunaan konteks yang berbeda-beda. Bagi
Wittgenstein, ini bukan berarti bahwa terdapat pengertian umum dalam sebuah kata
meskipun digunakan dalam konteks yang berbeda-beda. Ini yang dianalogikannya
sebagai “aneka kemiripan keluarga” (family resemblance), yaitu bahwa dalam sebuah
keluarga tetap saja selalu terdapat perbedaan-perbedaan bentuk wajah, pikiran, sifat,
8
dan perilaku. Meskipun memiliki dasar kemiripan yang dekat, ia tidak benar-benar
sama, karenanya tidak bisa dinyatakan sebagai memiliki makna yang umum, tetapi
hanya sekadar memiliki kemiripan-kemiripan yang dekat.
Contohnya, kata “aku” dan “engkau”, memiliki makna umum yang melekat
pada pihak si penutur (aku) dan lawan tuturan (engkau) dalam konteks
penggunaannya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa kata tersebut benar-benar steril dari
konteks penggunaannya untuk dinyatakan sebagai adanya makna umum. Ia tetap
terikat dengan konteks penggunaannya, tata aturan permainannya, sehingga tidak bisa
dinyatakan sebagai pembantah terhadap teori tata permainan bahasa ini. Kata “aku”
atau “engkau” jika digunakan dalam keseharian, non-formal, memiliki makna sebagai
keakraban antara penutur dan lawan tuturan. Tetapi jika digunakan dalam situasi
formal, spserti terhadap atasan ataupun orang yang lebih tua, ia akan menimbulkan
kesan tidak etis, tidak pas, serta tidak menghormati. Inilah bukti bahwa kendati ada
kata-kata yang memiliki makna umum, namun tetap saja akan selalu terikat dengan
tata aturan permainannya. Dalam ungkapan lain, kata-kata yang tergolong ke dalam
family resemblance itu tidaklah benar-benar sama secara umum, tetapi hanya “serupa
tapi tak sama”, dan karenanya harus tetap patuh pada tata aturan permainannya.
Bila kita menerima pendapat Wittgenstein ini, kemudian kita dapat mengklaim
bahwa pengetahuan merupakan konsep family resemblance. Jika demikian, maka kita
tidak diwajibkan untuk mencari definisi pengetahuan, seperti yang disarankan oleh
Williamson. Dan jika teori dari konsep pengetahuan diterima, masih ada pekerjaan
untuk epistemologist yang harus dilakukan, yaitu: berusaha untuk memetakan pola
"ciri-ciri keluarga (family traits)" dan menggambarkan bagaimana berbagai sifat
epistemik yang dimiliki oleh pemikir "tumpang tindih dan silang-menyilang (overlap
and criss-cross)". Terdapat catatan bahwa kita memiliki pengetahuan know-how (how
to knowledge), pengetahuan dengan kenalan (acquaintance knowledge), dan
pengetahuan factual (propositional knowledge), dan kami tidak berpikir itu perlu
untuk menemukan ciri utama bahwa mereka semua berbagi. Bab ini fokus pada yang
terakhir dan kita harus karenanya ‘mencari dan melihat apakah ada sesuatu yang
umum untuk semua’ kasus pengetahuan faktual. Jika tidak ada, maka analisis filosofis
pengetahuan harus ditinggalkan.
9
Terdapat contoh paradigma tertentu mengenai pengetahuan, kasus yang
memiliki fitur yang kita semua akan setuju pentingnya epistemologis. Pengetahuan
tersebut memiliki tiga sifat penting, yaitu melibatkan (1) kepercayan yang benar, (2)
pembenaran, dan (3) kepastian. Analisis tradisional masih diperjuangkan dan
diasumsikan bahwa sebagian besar gambaran tradisional benar, yakni pengetahuan
dengan kepercayan yang benar dibenarkan. Bahkan jika ini akhirnya keliru,
pembenaran akan tetap menjadi gagasan epistemologis penting dalam dirinya sendiri.
10
DAFTAR PUSTAKA
Khamid, Abdul. 2012. Ludwig Wittgenstein. http://abdulkhamid12.wordpress.com/bahasa-
indonesia/materi/ludwig-wittgenstein/. Tanggal Akses: 6 Maret 2014.
O’Brien, Dan. 2006. An Introduction to The Theory of Knowledge. United Kingdom: Polity
Press.
11
JAWABAN KASUS BAB II:
WHAT IS KNOWLEDGE?
Kelompok 1
I Gst. Ayu Made Agung Mas Andriani Pratiwi (19)
Ni Luh Nyoman Sherina Devi (21)
UNIVERSITAS UDAYANAFAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
12
14 MARET 2014
1. Jelaskan mengapa pembenaran, keberanan, dan kepercayaan dipandang perlu
untuk pengetahuan?
Jawaban:
Pengetahuan selalu terdiri dari yang pembenaran, kebenaran, dan kepercayaan. Apabila
kondisi tersebut sudah terpenuhi, maka seseorang memiliki pengetahuan. Pertama-tama,
pengetahuan dibangun atas kepercayaan, untuk mengetahui suatu pernyataan, seseorang
harus percaya bahwa pernyataan itu benar, kemudian dilihat apakah pernyataannya benar,
dan yang terakhir ada pembenaran terhadap pernyataan tersebut. Hal ini menekankan
bahwa satu syarat dalam pengetahuan adalah harus benar.
2. Apa yang salah dengan pernyataan berikut (berdasarkan pernyataan pertama yang
didengar dari sebuah program televisi baru-baru ini)? “Suku Afrika telah tahu
tentang roh selama berabad-abad”, “dulu diketahui bahwa bumi itu datar,
sedangkan sekarang kita tahu bahwa bumi itu adalah bola”.
Jawaban:
Pernyataan 1 : “Suku Afrika telah tahu tentang roh selama berabad-abad”
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa Suku Afrika memiliki
kepercayaan tentang roh selama berabad-abad, namun kebenaran dari pernyataan tersebut
belum pasti karena belum ada penelitian ilmiah yang meneliti tentang kebenaran
pernyataan tersebut sehingga secara otomatis tidak ada pembenaran atas pernyataan ini.
Pernyataan 2 : “dulu diketahui bahwa bumi itu datar, sedangkan sekarang kita tahu bahwa
bumi itu adalah bola”
Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa dahulu orang-orang memiliki
kepercayaan tentang bumi itu datar, setelah dilakukan penelitian, maka didapatkan
kebenaran bahwa bumi berbentuk bola yang berarti keyakinan tersebut salah, dan
selanjutnya dari hasil penelitian tersebut, muncullah pembenaran dari pernyataan itu.
3. Kondisi yang bagaimanakah dirasa cukup dan diperlukan untuk memiliki
pengetahuan?
Jawaban:
13
Ilmu pengetahuan terdiri dari keyakinan yang dibenarkan. Untuk memiliki pengetahuan,
haruslah terdapat tiga kondisi, yaitu pembenaran, kebenaran, dan kepercayaan. Sebagai
contoh, ada sesorang yang bertanya “Apakah rendang adalah makanan asli Indonesia?”.
Untuk mengetahui bahwa rendang adalah makanan asli Indonesia, yang perlu
dipertimbangkan adalah:
a. Percaya bahwa rendang adalah makanan asli Indonesia
b. Memang benar rendang adalah makanan asli Indonesia
c. Memiliki pembenaran atas rendang adalah makanan asli Indonesia
Berdasarkan contoh diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa suatu pengetahuan haruslah
terdiri dari tiga kondisi, yaitu pembenaran, kebenaran, dan kepercayaan yang nantinya
menjadi pedoman agar pengetahuan tersebut didasarkan atas kebenaran.
4. Apakah hubungan kasus Gettier terhadap analisis mengenai pengetahuan?
Jawaban:
Teori tradisional yang didukung oleh Plato menetapkan bahwa suatu pernyataan harus
memenuhi tiga kriteria untuk dipertimbangkan pengetahuan, yaitu pernyataan tersebut
kita percaya, yang kita percayai adalah benar, dan sudah terjustifikasi (pembenaran).
Munculnya kasus Gettier dari Edmund Gettier sangat berpengaruh terhadap analisis
tripartite pengetahuan. Skenario Gettier mengklaim bahwa ketiga kondisi (kepercayaan,
kebenaran, dan pembenaran) dapat dipenuhi oleh seorang pemikir yang tidak memiliki
pengetahuan. Hal tersebut sangat berhubungan dengan analisis pengetahuan, di mana
setelah kasus Gettier muncul, timbul pemikiran lebih lanjut mengenai pengetahuan,
seperti terdapat klaim bahwa ada sesuatu yang salah dengan dugaan pembenaran dalam
skenario Gettier, atau lebih tepatnya apa yang dimiliki dalam kasus tersebut tidak sama
dengan pembenaran. Pemikiran yang kaya kebenaran harus dicukupi agar kita dapat
memiliki pengetahuan, dan pemikir dalam kasus Gettier tidak memiliki pembenaran yang
mencukupi.
5. Saya sering terganggu oleh wajah-wajah aktor minor tertentu: “saya hanya
mengetahui ia ada pada film lainnya – saya tidak dapat mengingat namanya,
meskipun itu di ujung lidah saya”. Di kemudian hari terkadang hal itu datang
kembali ke saya, dan saya ingat nama film itu. Apakah saya mengetahui film mana
14
yang dibintangi aktor ini sebelum saya mengingat namanya? Mungkinkah saya
telah mengetahui ini walaupun jika saya belum mengingatnya? Dan bagaimana
jawaban anda terkait dengan definisi tripartite ilmu pengetahuan?
Jawaban:
Melalui ilustrasi tersebut, dapat dijawab pertanyaan-pertanyaan yang ada sebagai berikut:
- Tokoh “saya’ mengetahui film yang dibintangi oleh aktor tersebut sebelum ia
mengingat nama aktor tersebut. Hal ini merupakah contoh dari yang disebut dengan
memiliki pengetahuan dengan pembenaran tanpa kepercayaan. Jadi, tokoh “saya”
kemungkinan mendapatkan pengetahuan mengenai judul film tersebut melalui
memory atau ingatan saat ia menonton film tersebut, melalui informasi dari
seseorang, melalui ulasan film tersebut di televisi, ataupun melalui sumber lainnya.
Sehingga atas dasar pengetahuannya itu, ia menjadi mengetahui nama atau judul film
yang dibintangi aktor tersebut bahkan sebelum ia mengingat nama aktornya.
- Terdapat kemungkinan tokoh “saya” mengetahui hal tersebut walaupun ia belum
mengingat nama aktor tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan tokoh “saya”
yang menyebutkan bahwa di kemudian hari ia dapat mengingat nama film tersebut.
Ini menunjukkan bahwa tokoh “saya” mengetahui kebenaran dari permasalahan
tersebut sejak awal, hanya saja ia kurang memiliki kepercayaan terhadap hal tersebut.
- Apabila dikaitkan dengan definisi tripartite ilmu pengetahuan, kondisi yang dialami
oleh tokoh “saya” tersebut belum memenuhi persyaratan kondisi dimilikinya
pengetahuan oleh seseorang. Definisi tripartite pengetahuan menyebutkan bahwa
suatu pernyataan harus memenuhi tiga kriteria untuk dipertimbangkan pengetahuan,
yaitu pernyataan tersebut kita percaya (kepercayaan), yang kita percayai adalah benar
(kebenaran), dan sudah terjustifikasi (pembenaran). Ilustrasi kasus tersebut
menunjukkan bahwa kriteria yang terpenuhi hanyalah dengan adanya kebenaran,
namun unsur kepercayaan dan pembenaran pernyataan tokoh “saya” belum terpenuhi.
Sehingga dapat diismpulkan bahwa jika ditinjau dari definisi tripartite pengetahuan,
pernyataan tokoh “saya” tersebut tidak menjadikan tokoh “saya” sebagai seseorang
yang memiliki pengetahuan mengenai pernyataan tersebut.
15