Top Banner
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HELLP SYNDROME A. ANATOMI DAN FISIOLOGI Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003). Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu (Darmawan, 1995): 1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa) 2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis. 3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis. Peritonitis 1
42

2. Peritonitis

Dec 29, 2015

Download

Documents

Risna Irviani

Askep
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 2. Peritonitis

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HELLP

SYNDROME

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel

yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia

membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya.

Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk

ke organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003). Lapisan peritonium

dibagi menjadi 3, yaitu (Darmawan, 1995):

1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika

serosa)

2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.

3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Peritonitis 1

Page 2: 2. Peritonitis

Gambar 2. Lapisan Peritonium

Luas permukaan peritoneum mendekati luas permukaan tubuh yang pada

orang dewasa mencapai 1,7m2. Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel

untuk difusi 2 arah untuk cairan dan partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas

± 1m2 (Heemken, 1997). Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc

cairan peritoneal yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa

albumin. Jumlah sel normal adalah 33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45%

sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya

terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat

meningkat sampai > 3000/mm3 (Marshall, 2003). Dalam keadaan normal, 1/3

cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma sedang sisanya

melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001).

 Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan

partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel

difragma yang berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe

substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke

mediastinum (Hau, 2003). Oleh karena itu, sangat penting menjamin

berlangsungnya pernapasan spontan yang baik agar clearance bakteri peritoneum

dapat berlangsung (Evans, 2001). Dalam keadaan normal, peritoneum dapat

mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum

menangani infeksi dengan 3 cara:

1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma

Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah

stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah,

Peritonitis 2

Page 3: 2. Peritonitis

bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat

menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang

disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans, 2001).

Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel

ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam

lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken,

1997).

2. Penghancuran bakteri oleh sel imun

Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag,

sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997).

Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat

vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan

prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi

dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan

eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan, dan

fibrin (Marshall, 2003).

3. Lokalisasi infeksi sebagai abses

Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein

yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang

mengubah protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin.

Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses.

Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum

dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat

dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak

berfungsi (Evans, 2001).

B. DEFINISI

Peritonitis  adalah inflamasi peritonium-lapisan Membran serosa rongga

abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat dari infeksi  bakteri: Organisme

berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ

Peritonitis 3

Page 4: 2. Peritonitis

reproduktif internal (Brunner & suddarth, 2002). Peritonitis adalah peradangan

yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Lokasi

peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis

disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat

daruratan  yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut

peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus

(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada

intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis (Fauci et al,

2008).

C. ETIOLOGI

Penyebab peritonitis yaitu (Nurarif, 2013):

1. Infeksi bakteri

1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal

2) Appendisitis yang meradang dan perforasi

3) Tukak peptik (lambung / dudenum)

4) Tukak thypoid

5) Tukak disentri amuba / colitis

6) Tukak pada tumor

7) Salpingitis

8) Divertikulitis

Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta

hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya

adalah clostridium wechii.

2. Secara langsung dari luar.

1) Operasi yang tidak steril : Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium,

sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan

granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga

peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.

2) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati, melalui tuba

fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula

peritonitis granulomatosa.

Peritonitis 4

Page 5: 2. Peritonitis

3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang

saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.

Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.

D. KLASIFIKASI

Peritonitis diklasifikasikan menjadi (Nurarif, 2013):

1. Peritonitis primer

Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari

rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer

adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.

Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan

berkembang menjadi peritonitis bakterial. Terjadi biasanya pada anak-anak

dengan syndroma nefritis atau sirosis hati lebih banyak terdapat pada anak-

anak perempuan dari pada laki-laki. Peritonitis terjadi tanpa adanya sumber

infeksi di rongga peritonium, kuman masuk ke rongga peritonium melalui

aliran darah atau pada pasien perempuan melalui saluran alat genital.

2. Peritonitis sekunder

Di sini peritonitis terjadi bila kuman masuk ke rongga peritonium dalam

jumlah yang  cukup banyak. Biasanya dari lumen saluran cerna. Peritonium

biasanya dapat masuknya bakteri melalui saluran getah bening diafragma

tetapi bila banyak kuman masuk secara terus-menerus akan terjad peritonitis,

apabila ada rangsangan kimiawi karena masuknya asam lambung, makanan,

tinja, Hb dan jaringan nekrotik atau bila imunitas menurun. Biasanya terdapat

campuran jenis kuman yang menyebabkan peritonitis, sering kuman-kuman

aerob dan anaerob, peritonitis juga sering terjadi bila ada sumber intra

peritoneal seperti appendixitis, divertikulitis, salpingitis, kolesistitis,

pangkreatitis, dan sebagainya. Bila ada trauma yang menyebabkan ruptur

pada saluran cerna / perforasi setelah endoskopi, kateterisasi. Biopsi atau

polipektomi endoskopik, tidak jarang pula setelah perforasi spontan pada

tukak peptik atau peganasan saluran cerna, tertelannya benda asing yang

tajam juga dapat menyebabkan perforasi dan peritonitis.

Peritonitis 5

Page 6: 2. Peritonitis

3. Peritonitis karena pemasangan benda asing ke dalam rongga peritoneon yang 

menimbulkan peritonitis adalah :

1) Kateter ventrikulo – peritoneal yang dipasang pada pengobatan hidro

sefalus

2) Kateter peritoneal – jugular untuk mengurangi asites

3) Continous ambulatory peritoneal dialysis

E. PATOFISIOLOGI

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya

eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan

fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga

membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,

tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan

obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler

dan membran mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara

cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai

mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,

sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ.

Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan

elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya

meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia

(Fauci et al, 2008).

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen

mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler

organ-organ tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum

dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem

dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.

Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,

serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus,

Peritonitis 6

Page 7: 2. Peritonitis

lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan

penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang

menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar,

dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,

aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus

kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang

kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan

oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang

meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan

obstruksi usus (Fauci et al, 2008).

Gambar 3. Skema Patofisiologi Peradangan dari Peritoneum

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan

ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan

peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa

ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh

darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai

terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan

nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran

bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. Tifus abdominalis

adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang

masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian

kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan

Peritonitis 7

Page 8: 2. Peritonitis

mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami

hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat

terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam

selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang

disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang

merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang

mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis

generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan

peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat

seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah

epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau

enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh

perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase

peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan

peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini

akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis

bacteria. Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena

fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi

mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak,

namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran

limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan

obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan

terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren

dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan

peritonitis baik lokal maupun general. Pada trauma abdomen baik trauma tembus

abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai

dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan

peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari

Peritonitis 8

Page 9: 2. Peritonitis

gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan

kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi

dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera

sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian

bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme

membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala

akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Fauci et al, 2008).

Peritonitis 9

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Resiko Intak nutrisi tidak Mual, muntah, Gangguan

Penurunan curah jantung

Suplai darah ke otak menurunResiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak

Syok sepsis

Respon kardiovaskular

distensi abdomen

Nyeri

Kerusakan jaringan pasca bedah

Penurunan kemampuan batuk efektif

Port de entre pasca bedah

Respon lokal saraf terhadap inflamasi

Pasca operatif

Resiko infeksi

Resiko psikologis misintepretasi perawatan dan penatalaksanaan pengobatan

Defisiensi pengetahuan

AnsietasPembentukan eksudat fibrinosa atau

abses pada peritonium

Peningkatan suhu tubuh

Hipertermia

Respons sistematik

Pembentukan eksudat fibrinosa atau abses pada peritoneum

Peritonitis

Penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen

Respons peradangan pada peritoneum dan organ didalamnya

Invasi kuman kelapisan peritoneum oleh berbagai kelainan pada sistem gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen atau perforasi organ pascatraum abdomen

Invasi bedah laparatomi

Preoperatif

Kecemasan pemenuhan informasi

Ketidakefektifan bersihan jalan napasPerubahan tingkat

kesadaran

Page 10: 2. Peritonitis

Gambar 4. Patofisisologi Peritonitis (Nurarif, 2013)

F. MANIFESTASI KLINIK

Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam

rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu:

lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan

tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole

et al,1970). Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi tanda abdomen yang berasal

dari awal peradangan dan manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal

meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi,

adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang

merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus.

Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu,

gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok

(Doherty, 2006).

1. Gejala

1) Nyeri abdomen : nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu

ada pada peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba,

hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada

seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006). Seiring dengan berjalannya

penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa

seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya

lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.

Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya

lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah

Peritonitis 10

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Resiko Intak nutrisi tidak Mual, muntah, Gangguan

Page 11: 2. Peritonitis

meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan

penyebaran dari peritonitis (Schwartz et al, 1989).

2) Anoreksia, mual, muntah dan demam: pada penderita juga sering

didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah. Penderita

biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering

diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh

biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989).

3) Facies Hipocrates: pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies

Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan

kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang

tampak pucat (Cole et al,1970). Penderita dengan peritonitis lanjut

dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal.

Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan

dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat

menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989). Tanda ini

merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian

yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan

perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang

(Cole et al,1970).

4) Syok : pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua

factor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum

peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan

terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970). Yang utama dari

septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative

diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok.

Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian

diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat

memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran

yang terlihat pada manusia (Cole et al,1970).

2. Tanda

Peritonitis 11

Page 12: 2. Peritonitis

1) Tanda Vital : Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan

atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis

metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat

daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan

ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan

tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok

hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan

yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat

perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartz et

al, 1989).

2) Inspeksi : Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah

adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi

abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika

penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3

hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat

penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen

terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).

Gambar 5. Distensi Abdomen

3) Auskultasi : Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh

perhatian. Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada

seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising

usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan

peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut

yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen

akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang

mengalami strangulasi (Cole et al,1970).

Peritonitis 12

Page 13: 2. Peritonitis

4) Perkusi : Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari

pengalaman pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari

adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas

dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami

perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et

al,1970). Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ

berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah

diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang

(Schwartz et al, 1989).

5) Palpasi : Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan

abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah

dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum

berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama

dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah

yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang

dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah

sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk

menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.

Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap

lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih

luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter.

Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah,

tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan

mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari

peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada

apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti

pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada

daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal (Cole et

al,1970). Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut

melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan.

Peritonitis 13

Page 14: 2. Peritonitis

Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan

(Schwartz et al, 1989).

G. PEMERIKSAAN

1. Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat

penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan

adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung

sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang

sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak

dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970). Pada

perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh

polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun

jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al,

1989). Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes

fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).

2. Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup

foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat

memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan

proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat

terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas

dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen

(Cole et al,1970). Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada

peritonitis, usus halus dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat

terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan

dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau

keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi

dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus

halus (Cole et al,1970).

Peritonitis 14

Page 15: 2. Peritonitis

Gambar 6. Pneumoperitoneum pada foto thorax posisi berdiri

H. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan

elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik

(Doherty, 2006).

1. Penanganan Preoperatif

1) Resusitasi Cairan

Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan

perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang

intersisial (Schwartz et al, 1989). Pengembalian volume dalam jumlah

yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga

produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat

anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi

PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan

koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty,

2006). Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan

cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan

kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang

lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al,

1989). Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari

jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty,

2006).

2) Antibiotik

Peritonitis 15

Page 16: 2. Peritonitis

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi

bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan

Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah

Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan

penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus

dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum

(Schwartz et al, 1989). Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan

sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil

kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita

baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan

menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan

dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas

(Cole et al,1970). Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung

kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2)

penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman

oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai

antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz

et al, 1989). Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1

gram harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika

dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin

dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif.

Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin

sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang

logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis

tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada

chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970). Pemberian

clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida

sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz et

al, 1989). Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga

untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme

anaerob (Doherty, 2006). Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan

Peritonitis 16

Page 17: 2. Peritonitis

anerob lebih penting daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi.

Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam

kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-

hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari

peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas

obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak

didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty,

2006).

3) Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis

cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari

metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi

paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti

(1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai

dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2)

hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya

nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).

4) Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,

mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah

udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari

kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan

darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi

biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah,

bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).

2. Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya

dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan

ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer

Peritonitis 17

Page 18: 2. Peritonitis

atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa

yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan

dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus

lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari

bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).

1) Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk

menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi

penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada

peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang

terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik

atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang

rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak

meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan

mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung

empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut).

Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun

anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty,

2006).

2) Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)

dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin,

serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi

tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal:

tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral

akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada

efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage

dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas

dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari

neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum

peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme

Peritonitis 18

Page 19: 2. Peritonitis

pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang

permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).

3) Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan

peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum

peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase

yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat

menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus

tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu

terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal

residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk

peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi

(Doherty, 2006).

3. Pengananan Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak

stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk

perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping

pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada

keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin

yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan

umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan

keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric)

lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006 dalam

Pratinia K, 2012).

I. KOMPLIKASI

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi

komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis

intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama

postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan

distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya

Peritonitis 19

Page 20: 2. Peritonitis

infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut

misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan

kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan,

dan sistem imun (Doherty, 2006 dalam Pratinia K, 2012).

J. PROGNOSIS

Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-

faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe

penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel

sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat

mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis,

pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada

pasien yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006 dalam Pratinia K, 2012). 

Tabel 1. Penyebab dari Peritonitis dan Prediksi angka Kematian

K. MASALAH KEPERAWATAN YANG PERLU DIKAJI

Masalah keperawatan yang perlu dikaji adalah:

1. Identitas :

1) Identitas pasien

2) Identitas Penanggung Jawab

2. Keluhan utama

Pasien peritonitis mengalami nyeri di perut bagian kanan.

3. Riwayat penyakit

1) Riwayat penyakit sekarang.

Peritonitis 20

Page 21: 2. Peritonitis

2) Riwayat kesehatan dahulu.

3) Riwayat kesehatan keluarga.

4. Pola kesehatan :

1) Aktivitas / istirahat

Penderita peritonitis mengalami letih, kurang tidur, nyeri perut, dengan

aktivitas.

2) Eliminasi

Pasien mengalami penurunan berkemih

3) Makan dan cairan

Kehilangan nafsu makan, mual/muntah.

4) Hygiene

Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.

5) Nyeri / kenyamanan

Kulit lecet, kehilangan kekuatan, perubahan dalam fungsi mental.

6) Interaksi sosial

Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.

5. Pemeriksaan laboratorium

1) CT-scan dan USG

2) Terapi antibiotic

3) Terapi nutrisi dan metabolic

4) Terapi modulasi respon peradangan

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Masalah keperawatan yang lazim muncul, yaitu :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi : rangsangan peritoneum

oleh asam lambung empedu dan enzim pacreas

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan dalam mekanisme

pengaturan

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

tidak mampuan memasukkan makanan karena factor biologi

Peritonitis 21

Page 22: 2. Peritonitis

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hal yang mengakibatkan terjaga :

nyeri

5. Kurang perawatan diri mandi / higyen berhubungan dengan nyeri dan

kelemahan

6. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : tindakan laparatomi

7. Resiko ketidakefektifan bersihan jalan napas

M. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

No. Diagnosa NOC NIC1. Nyeri akut b.d dengan

agen cidera biologi : rangsangan peritoneum oleh asam lambung empedu dan enzim pacreas

Definisi: pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the study of pain): awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dipresikdia dan berlangsung <6 bulan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan setiap 2 jam sekali diharapkan nyeri akan berkurang.a. Pain levelb. Pain management

Dengan kriteria hasil:a. Klien

menggunakan teknik relaksasi dan distraksi

b. Klien melaporkan nyeri berkurang dengan menggunakan skala nyeri (rentang 1-10)

c. Klien merasa nyaman

d. Klien menggunakan analgetik jika diperlukan

e. Tekanan darah dalam rentang

Pain Managementa. Kaji level nyeri pada klien

secara benar dan menggunakan alat yang terpercaya,seperti skala nyeri 0-10.

RasionalLangkah pertama mengkaji nyeri untuk menentukan jika klien dapat mempersiapkan dirinya sendiri. Bertanya pada klien tentang intensitas nyeri menggunakan alat yang tepat (Breivik et al, 2008; Pasero et al, 2009)b. Kaji adanya nyeri secara

rutin dengan interval yang sama, pada saat vital sign, selama aktivtas dan istirahat. Kaji nyeri dengan intervens atau prosedur untuk mengetahui penyebab nyeri.

RasionalPengkajian nyeri penting untuk vital sing dan nyeri

Peritonitis 22

Page 23: 2. Peritonitis

Batasan Karakteristik:a. Perubahan selera

makanb. Perubahan tekanan

darahc. Perubahan frekeunsi

jantungd. Perubahan frekuensi

pernapasane. Mengekspresikan

perilaku (gelisah)f. Fokus menyempitg. Melaporkan nyeri

secara verbalh. Gangguan tidur

normal (120/80 mmHg)

f. Frekuensi napas dalam rentang normal (18-24x/menit)

g. Nadi dalam rentang normal (80-100x/menit)

dianggap sebagai vital sign yang kelima (Ackley, 2011).c. Tanyakan pada klien

gambaran tentang nyeri, efektivits managemen nyeri, respon obatan-obatan alagesik, hubungan tentang nyeri, pengobatannya, informasi yang dibutuhkan

RasionalMendapatkan riwayat nyeri klien dapat membantu mengidentfikasi faktor potensial yang mempengaruhi kesehatan klien, faktor yang mungkin mempengaruhi intensitas nyeri, respon klien terhadap nyeri, ansietas dan farmakokinetik analgesic (Kalkman et al, 2003)d. jelaskan pada klien

tentang manajemen nyeri, termasuk farmakologi dan nonfarmakologi, kaji dan ulangi proses pengkajian, pengaruh potensial yang kurang baik.

RasionalSalah satu langkah yang penting mengurangi nyeri adalah mengontrol nyeie. Ajarkan dan

implementasikan interventasi nonfarmakologi ketika nyeri saat nyeri terkontrol dengan intervensi farmakologi.

RasionalIntervensi nonfarmakologi dapat digunakan untuk suplemen, tidak dapt diganti, intervensi farmakologi

Peritonitis 23

Page 24: 2. Peritonitis

f. Pantau efek samping dari obat misal nafsu makan, konstipasi.

RasionalOpioid biasanya mengindukasi konstipasi dan merupakan masalah pada manajement nyeri. Opioid menyebabkan konstipasi karena peningkatan motalitas intestinal dan penuruan sekresi mukosag. Gunakan obat analgesic,

dukung klien menggunakan metode nonfarmakologi untuk mengontrol nyeri, seperti distraksi, relaksasi.

RasionalStrategi kognitif-behavioural dapat memperbaiki perasaan klien, pastisipasi aktif terhadap perawatannya sendiri.h. Anjurkan pemberian

analgetik secara oral/IVRasionalRute pemberian obat yang cepat dapat mengontrolnyeri dengan cepat. Rute IV dianjurkan untuk nyeri karena efeknya yang cepat.i. Anjurkan istirahat yang

cukupRasionalIstirahat dapat membuat klien nyaman

2 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan dalam mekanisme pengaturan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama3x 24 jam diharapkan kebutuhan akan cairan dapat terpenuhi.

Fluid Managementa. Monitor tanda-tanda vitalRasionalTanda yang membantu mengidentifikasi fluktasi volume intravascular

Peritonitis 24

Page 25: 2. Peritonitis

Fluid Balance

Dengan kriteria hasil :a. TD dalam batas

normalb. Nadi dalam batas

normalc. Tidak haus

berlebihand. Elektrolit serum

dalam batas normal

e. Nilai hematokrit dalam batas normal

b. Monitor status dehidrasiRasionalMenunjukkan status hidrasi dan perubahan pada fungsi ginjal, yang mewaspadakan terjadinya gagal ginjalc. Monitor intake dan outputRasionalMempertahankan volume sirkulasi dan keseimbangan elektrolit

d. Monitor hasil laboratorium berhubungan dengan retensi cairan (peningkatan BUN, penurunan hematokrit)

RasionalMemberikan informasi berbagai ganguan dengan konsekuensi tertentu pada fungsi sistemik sebagai akibat dari perpindahan cairan

Peritonitis 25

Page 26: 2. Peritonitis

DAFTAR PUSTAKA

Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook. An Evidance-Based Guide to Planning Care. Ninth Edition. United States of Amerika: Elsevier

Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM et al. Assesment of pain, Br J Anesth 101 (1): 17-24, 2008

Brunner & Suddart. 2002.Keperawatan Medikal Bedah 5.Jakarta:EGC

Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century Corp, Hal 784-795

Darmawan. M. 1995. Peritonitis dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: FKUI

Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc

Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63

Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill, Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917

Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4

Kalkman Cj, Visser K, Moen J et al. Peroperative predication of severe postoperative pain, Pain 57: 415-423, 2003

Peritonitis 26

Page 27: 2. Peritonitis

Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37

Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Medication

Pratinia Kusumadewi. Referat Peritonitis. Diakses pada 10 Maret 2014. http://pranitiakusuma.blogspot.com/2012/12/referat-peritonitis.html

Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467

Peritonitis 27