REFERATAbses Parafaring
Muhammad FadillahH1A007041Pembimbing : dr. Markus Rambu,
Sp.THT-KL
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU PENYAKIT
TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKRUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTBFAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM2013
ABSES PARAFARINGI. PENDAHULUANAbses leher dalam adalah abses
yang terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher
akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti infeksi
pada daerah faring dan tonsil, gigi, kelenjar liur, telinga tengah
atau bisa juga akibat trauma pada saluran cerna, limfadenitis,
serta penggunaan obat injeksi secara intravena dan subkutan. Sejak
ditemukannya antibiotik, secara signifikan angka kesakitan dan
kematian kasus abses leher dalam menurun secara drastis. Walaupun
demikian, abses leher dalam sampai saat ini masih menjadi salah
satu kasus kegawatdaruratan di bidang THT.1,2Kebanyakan kuman
penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman
anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat
berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula dan angina ludovici.1Abses parafaring adalah abses
leher dalam paling sering terjadi kedua setelah abses peritonsilar.
Insidensi kejadian abses parafaring diseluruh dunia adalah 1 dalam
6-10.000 orang setiap tahun. Abses parafaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat
tusukan saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen. Gejala klinis
berupa demam, nyeri tenggorok dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan trismus, pembengkakan disekitar angulus mandibula,
pembengkakan dinding lateral faring hingga menonjol ke arah medial.
Pemeriksaan penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan
tomografi komputer.1,3,4Secara umum terapi abses leher dalam
terdiri dari medikamentosa dan drainase. Terapi medikamentosa
meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman aerob maupun
anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinis yang
timbul. Drainase abses dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu
insisi eksterna dan intra oral. II. ANATOMI FARINGFaring adalah
suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong, yang
besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai
dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra
servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan
melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14
cm. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal.1
Gambar 1. Struktur muskulus penyusun faring5Otot faring tersusun
dalam lapisan melingkar dan memanjang. Otot-otot yang sirkular
terdiri dari m.konstriktor faring superior, media dan inferior.
Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan berbentuk
seperti kipas dengan tiapbagian bawahnya menutupi sebagian otot
bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan otot-otot ini
bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat.
Kerja otot konstriktorini adalah untuk mengecilkan lumen faring dan
otot-otot ini dipersarafi oleh nervus vagus.1,4 Otot-otot faring
yang tersusun memanjang terdiri dari m.stilofaring dan
m.palatofaring. M. stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan
menariklaring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus
orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Kedua otot
ini bekerja sebagai elevator, kerja kedua otot ini penting untuk
proses menelan.1Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan
kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang
arteri karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial)
serta dari cabang arteri maksila interna yakni cabang palatina
superior.1
Gambar.2 Pendarahan faring5
Gambar 3. Bagian-bagian Faring6Untuk keperluan klinis faring
dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring, orofaring, dan
laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga
bagian atas faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole
di bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengah faring,
meluas dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual
epiglotis. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang
menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari saluran
pencernaan bagian atas.1,2
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :1) Nasofaring Batas
nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal.1Nasofaring yang relatif kecil,
mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting
misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring
dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong
rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas
penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang
dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius
spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus
os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.12)
Orofaring Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglottis, ke depan
adalah rongga mulut sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior
dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. 13)
Laringofaring (hipofaring) Batas laringofaring disebelah superior
adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk
melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada
saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian
medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring
superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan
ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah
laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah
vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari
lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esophagus. 1Bila
laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan
laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan
laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar
lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang
dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum
glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
kantong pil ( pill pockets), sebab pada beberapa orang,
kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. 1Dibawah
valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun
kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai
dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian
lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak
langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk
melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke
esofagus. Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus
piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk
diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada
tindakan laringoskopi langsung.1III. RUANG PARAFARINGRuang
parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang
faringeal lateral atau ruang perifaring. Ruang ini berbentuk
kerucut terbalik dengan dasarnya pada bagian superior di dasar
tengkorak dan puncaknya pada inferior tulang hyoid. Batas ruang ini
adalah dasar tengkorak di bagian superior (pars petrosus os
temporal dan os sphenoid), os hyoid di inferior, rafe
pterygomandibular di anterior, fasia prevertebra di posterior,
fasia bukofaringeal di medial dan lapisan superfisial fasia
servikal profunda yang meliputi mandibula, pterygoid medial dan
parotis di lateral. Ruang parafaring berhubungan dengan beberapa
ruang leher dalam termasuk ruang submandibula, ruang retrofaring,
ruang parotis dan ruang mastikator. Ruang parafaring dibagi menjadi
2 bagian yang tidak sama besarnya oleh prosesus styloid menjadi
kompartemen anterior atau muskuler atau prestyloid dan komponen
posterior atau neurovaskuler atau poststyloid. Ruang prestyloid
berisi lemak, otot, kelenjar limfe dan jaringan konektif serta
dibatasi oleh fossa tonsilar di medial dan pterygoid medial di
sebelah lateral. Ruang poststyloid berisi a. karotis interna, v.
jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang
disebut selubung karotis dan saraf kranialis IX, X, XII. Bagian ini
dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan yang
tipis.4,5,6
Gambar 4. Potongan koronal melalui ruang parafaring.5 IV. FUNGSI
FARING Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada
waktu menelan, resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3
fase dalam menelan yaitu fase oral, fase faringeal dan fase
esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring.
Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada
waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak
disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak
disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara
peristaltik di esofagus menuju lambung. 1Pada saat berbicara dan
menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.
Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah
dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat
dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring,
kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring
superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatine
menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding
posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold
of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2
mavam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan
m,palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif
m.konstriktor faring superior.1V. ABSES PARAFARINGa. Kekerapan
Abses parafaring adalah abses leher dalam paling sering terjadi
kedua setelah abses peritonsilar. Insidensi kejadian abses
parafaring diseluruh dunia adalah 1 dalam 6-10.000 orang setiap
tahun.3Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,
menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses
submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses
parafaring (38,4), diikuti oleh angina Ludovici (12,4%), parotis
(7%) dan retrofaring (5,9%).7Fachruddin melaporkan 33 kasus abses
leher dalam selama Januari 1991-Desember 1993 di bagian THT
FKUI-RSCM dengan rentang usia 15-35 tahun yang terdiri dari 20
laki-laki dan 13 perempuan. Ruang potensial yang tersering adalah
submandibula sebanyak 27 kasus, retrofaring 3 kasus dan parafaring
3 kasus. 7 Di sub bagian laring faring FK Unand/RSUP M Djamil
Padang selama Januari 2009 sampai April 2010, tercatat kasus abses
leher dalam sebanyak 47 kasus, dengan abses submandibula menempati
urutan ke dua dengan 20 kasus dimana abses peritonsil 22 kasus,
abses parafaring 5 kasus dan abses retrofaring 2 kasus. 7 b.
EtiologiRuang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara 1)
Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan
tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung
jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot
tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang
parafaring dari fosa tonsilaris. 2) Proses supurasi kelenjar limfa
leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinusparanasal,
mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring. 3) Penjalaran infeksi dari ruang
peritonsil, retrofaring atau submandibula.1c. PatologiSekali
terjadi infeksi dimulai pada jaringan lunak leher, jika tidak
segera terdeteksi, akan meluas ke salah satu ruang fasia leher yang
paling lemah. Dari sana dapat mengalir ke atas, ke bawah atau ke
lateral, mengikuti ruang-ruang fasia. 8Infeksi leher dalam
merupakan selulitis fregmentosa dengan tanda-tanda setempat yang
sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan
yang melapisinya. Seringkali dimulai pada daerah prastiloid sebagai
suatu selulitis, jika tidak diobati akan berkembang menjadi suatu
trombosis dari vena jugalaris interna. Abses dapat mengikuti
m.stiloglosus ke dasar mulut dimana terbentuk abses. 8 Infeksi
dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan perluasan
ke bawah sepanjang sarung-sarung pembuluh darah besar, disertai
oleh trombosis v.jugularis atau suatu mediastinitis. Infeksi dari
bagian posterior akan meluas ke atas sepanjang pembuluh-pembuluh
darah dan mengakibatkan infeksi intrakranial atau erosi a.karotis
interna. 8
Gambar 5. Skema Perluasan Infeksi pada ruang potensial leher.
7(PMS = ruang faringo maksilar, VVS = ruang vaskuler visceraal)
d. Manifestasi KlinisPada infeksi dalam ruang parafaring
terdapat pembengkakan dengan nyeri tekan di daerah submandibula
terutama pada angulus mandibula, leukositosis dengan pergeseran ke
kiri dan adanya demam. Terlihat edem uvula, pilar tonsil, palatum
dan pergeseran ke medial dinding lateral faring. Sebagai
perbandingan pada abses peritonsil, hanya tonsl yang terdorong ke
medial.8Trismus yang dapat disebabkan oleh meregangnya m.pterigoid
internus merupakan gejala yang menonjol, tetapi mungkin tidak
terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan
struktur yang melekat padanya sehingga tidak mengenai m.pterigoid
internus. 8e. DiagnosisDiagnosa ditegakkan berdasarkan riwayat
penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa fotorontgen, jaringan lunak AP atau CT
scan.1Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral
merupakan prosedur diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto
jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh
gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam
jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak
leher.4Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak
dapat membedakan antara selulitis dan pembentukan abses.
Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya
edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran
kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu
menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya
daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding
abses dan edema jaringan lunak disekitar abses. Pemeriksaan kultur
dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan
pemberian antibiotika yang sesuai.1,4,
Gambar 7. Gambaran CT-scan; A. Tampak abses parafaring (panah),
B. Selulitis pada abses parafaring dengan abses di ruang
masseter.6f. TatalaksanaTatalaksana absen parafaring dilakukan
dengan medikamentosa dan terapi bedah. Terapi medikamentosa
meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman aerob maupun
anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinik yang
timbul. Terapi bedah dapat dilakukan dengan 2 cara pendekatan
eksternal atau intra oral.4 Jika terdapat pus maka tidak ada cara
lain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnya diperlukan tirah
baring dan kompres panas untuk menekan lokalisasi abses. Terapi
antimikroba sangat perlu, lebih baik berdasarkan tes sensitivitas.8
1. Pemberian antibiotikaBanyak mikroorganisme yang dapat menjadi
penyebab infeksi kepala dan leher, dan berasal dari berbagai
sumber. Flora bakteri campuran sering ditemukan pada hasil kultur.
Bakteri gram positif, streptococcus beta hemolitik dan
staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering ditemukan.
Bakteri gram negatif dan juga anaerob juga sering ditemukan.
Anaerob biasanya ditemukan terutama pada infeksi-infeksi akibat
penyebaran dentogen. Bakteri-bakteri penghasil beta laktamase
ditemukan meningkat frekuensinya pada infeksi kepala dan leher.
6Dengan insidensi bakteri gram negatif dan bakteri penghasil beta
laktamase yang tinggi, penisilin bukan lagi merupakan obat pilihan
untuk kasus infeksi ini. Sebelum hasil kultur dan uji sensitifitas
didapatkan, antibiotik yang digunakan adalah yang memiliki spektrum
terhadap bakteri gram positif, gram negatif, anaerob dan penghasil
beta laktamase. Biasanya diberikan kombinasi antibiotik, seperti
klindamisin dan cefuroxime serta ampisilin dan sulbaktam, sebagai
pilihan yang paling baik. 6 2. Drainase absesSebagian besar abses
leher dalam perlu dilakukan drainase untuk penyembuhan dan mencegah
komplikasi. Tindakan drainase pada abses parafaring dilakukan
dengan dengan pendekatan eksterna dan intra oral.a. Insisi
intraoral Insisi intra oral dilakukan jika timbul penonjolan ke
dalam faring, dilakukan anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan
dengan insisi dan drainase.Insisi intra oral dilakukan pada dinding
lateral faring harus dilakukan dengan memakai klem arteri,
eksplorasi dilakukan dengan menembus m. konstriktor faring superior
ke ruang parafaring. Insisi intra oral dilakukan bila perlu dan
sebagai terapi tambahan dari insisi eksternal.1,8b. Insisi eksterna
Insisi ekterna jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak
pembengkakan yang jelas. Drainase eksterna dilakukan secara teknik
Mosher yaitu insisi seperti huruf T yang dilakukan pada 2 jari di
bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan
dari anterior m. sternokleidomastoideus ke arah kranio-posterior
menyusuri medial mandibula dan m. pterygoid internus mencapai ruang
parafaring dengan meraba prosesus styloideus. Bila nanah terdapat
di selubung karotis, insisi dilanjutkan secara vertikal dari
pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan m.
sternokleiodomastoideus.1,4,8,9g. Komplikasi Proses peradangan
dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung
karotis mencapai mediastinum, sehingga terjadi mediastinis dan bisa
berlanjut menjadi sepsis.1 Komplikasi yang paling berbahaya dari
infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah
sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septik vena jugularis.
Juga dapat terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari
erosi arteri karotis interna.4 Komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah sindrom horner dan obstruksi jalan napas.9VI.
KESIMPULANAbses parafaring adalah merupakan salah satu abses leher
dalam paling sering terjadi kedua setelah abses peritonsilar. Ruang
parafaring dapat mengalami infeksi dengan berbagai cara diantaranya
dengan cara langsung akibat komplikasi tonsilektomi, proses
supurasi, maupun akibat penjalaran infeksi dari abses leher dalam
yang lain. Gejala utama dari abses parafaring ialah trismus,
odinfagia, dan demam tinggi. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan
indurasi atau pembengkakan disekitar angulus mandibula, dan
pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah
medial. Kemudian pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa fotorontgen, jaringan lunak AP atau CT scan
Tatalaksana absen parafaring dapat dilakukan dengan medikamentosa
dengan antibiotik atau terapi bedah..
VII. DAFTAR PUSTAKA1. Fachruddin, Darnila. Abses leher dalam.
Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,
2007, h. 226 - 230.2. Novialdi dan Triana, Wahyu. Abses leher dalam
multipel dengan kesulitan intubasi dan komplikasi fistula
faringokutan. Padang: Bagian THT-KL FK UNAND/RSUP dr.M.Jamil, 2011,
h. 1 - 7.3. Erdogliza M, Sotirovic J, dan Grgurevic U. A severe
case of parapharyngeal abscess treated as a spastic torticollis.
Dalam Medical review. Volume ketiga. Milan: 2011, h. 387-3894.
Adams, L george. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam:
Adams L, Boies L, Higler P. Boies buku ajar penyakit THT Edisi
keenam. Jakarta: EGC, 1997, h 320-3555. Probst R, Grevers G dan Iro
H. Basic otorhinolaryngology a step by step learning guide. New
York: Thieme, 2006, h 97-1306. Tom, Lawrence. Disease of oral
cavity, Oropharynx and Nasopharynx. Dalam: Snow J dan Ballenger J.
Ballengers otorhinolaryngology. Edisi enam belas. Ontario:
Bedecker, 2003, h1020-10477. Novialdi dan Asyari, Ade.
Penatalaksanaan abses mandibula dengan penyulit uremia dan infark
miokardium lama. Padang: Bagian THT-KL FK UNAND/RSUP dr.M.Jamil,
2010, h. 1 - 7.8. Ballenger, J. Leher, orofaring dan Nasofaring,
Dalam Snow J dan Ballenger J. Ballenger: Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1991. Hal:
295-3249. Amar Y dan Manoukian J. Intraoral drainage: Recommended
as the initial approach for the treatment of parapharyngeal
abscesses. Canada: Department of ENT McGill University, 2003, h
676-680
15