Top Banner
UJI FIKSASI KOMPLEMEN Telah diketahui bahwa pada suatu interaksi antigen-antibodi, komplemen yang ada dalam serum dapat diikat atau dikonsumsi oleh kompleks antigen-antibodi tersebut, dan bahwa komplemen dapat diaktivasi oleh kompleks erithrosit-hemolisin, sehingga mengakibatkan eritrosit tersebut melisis. Kenyataan ini dipakai untuk menggunakan komplemen sebagai salah satu bahan untuk penetapan antigen maupun antibodi. Pengujian ini didasarkan atas reaksi yang terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap pertama dimana sejumlah tertentu komplemen oleh suatu kompleks antigen-antibodi, dan tahap kedua dimana komplemen yang tersisa (bila ada) menghancurkan eritrosit yang telah dilapisi hemolisin. Banyaknya komplemen yang tidak dikonsumsi pada reaksi tahap pertama, dan yang mengakibatkan hemolisis pada reaksi tahap kedua, secara tidak langsung merupakan parameter untuk antibodi atau antigen yang diperiksa. Untuk mendapatkan hasil yang bisa dipercaya, semua reaktan yang diperlukan untuk uji ini harus disesuaikan satu dengan yang lain dan berada dalam jumlah atau titer yang optimal. Oleh karena itu sebelum melaksanakan pemeriksaan pada sampel penderita, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan untuk menstandarisasi titer hemolisin dan titer komplemen yang dipakai pada sistem uji ini. Titer hemolisin ditentukan oleh pengenceran tertinggi hemolisin yang masih dapat melisiskan eritrosit berkonsentrasi 2% secara lengkap, bila ada komplemen. Titer hemolisin ini disebut 1 unit dan untuk pemeriksaan sampel penderita dipakai 2 unit. Oleh karena uji fiksasi komplemen melibatkan suatu sistem yang terdiri atas berbagai reaktan, disamping titrasi hemolisin dan komplemen diatas, setiap reaktan harus diuji terhadap ada tidaknya faktor penghambat atau faktor yang meningkatkan aktivasi komplemen (antikomplemen atau prokomplemen). Untuk keperluan ini, pada titrasi komplemen diikutsertakan antigen dan antigen kontrol, serta pada pemeriksaan sampel
37

164556737 Uji Fiksasi Komplemen

Nov 22, 2015

Download

Documents

Dhiya Ul Haqqi

farmasi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • UJI FIKSASI KOMPLEMEN

    Telah diketahui bahwa pada suatu interaksi antigen-antibodi, komplemen yang ada dalam

    serum dapat diikat atau dikonsumsi oleh kompleks antigen-antibodi tersebut, dan bahwa

    komplemen dapat diaktivasi oleh kompleks erithrosit-hemolisin, sehingga mengakibatkan

    eritrosit tersebut melisis.

    Kenyataan ini dipakai untuk menggunakan komplemen sebagai salah satu bahan untuk

    penetapan antigen maupun antibodi. Pengujian ini didasarkan atas reaksi yang terdiri atas 2

    tahap, yaitu tahap pertama dimana sejumlah tertentu komplemen oleh suatu kompleks

    antigen-antibodi, dan tahap kedua dimana komplemen yang tersisa (bila ada)

    menghancurkan eritrosit yang telah dilapisi hemolisin. Banyaknya komplemen yang tidak

    dikonsumsi pada reaksi tahap pertama, dan yang mengakibatkan hemolisis pada reaksi

    tahap kedua, secara tidak langsung merupakan parameter untuk antibodi atau antigen yang

    diperiksa.

    Untuk mendapatkan hasil yang bisa dipercaya, semua reaktan yang diperlukan untuk uji ini

    harus disesuaikan satu dengan yang lain dan berada dalam jumlah atau titer yang optimal.

    Oleh karena itu sebelum melaksanakan pemeriksaan pada sampel penderita, terlebih dahulu

    dilakukan uji pendahuluan untuk menstandarisasi titer hemolisin dan titer komplemen yang

    dipakai pada sistem uji ini.

    Titer hemolisin ditentukan oleh pengenceran tertinggi hemolisin yang masih dapat

    melisiskan eritrosit berkonsentrasi 2% secara lengkap, bila ada komplemen. Titer hemolisin

    ini disebut 1 unit dan untuk pemeriksaan sampel penderita dipakai 2 unit.

    Oleh karena uji fiksasi komplemen melibatkan suatu sistem yang terdiri atas berbagai

    reaktan, disamping titrasi hemolisin dan komplemen diatas, setiap reaktan harus diuji

    terhadap ada tidaknya faktor penghambat atau faktor yang meningkatkan aktivasi

    komplemen (antikomplemen atau prokomplemen). Untuk keperluan ini, pada titrasi

    komplemen diikutsertakan antigen dan antigen kontrol, serta pada pemeriksaan sampel

  • selalu harus diikutsertakan kontrol serum positif maupun negatif. Suatu hasil pemeriksaan,

    baru bisa dipercaya apabila semua reaktan pada sistem ini terkontrol dengan baik.

    Uji fiksasi komplemen dipakai pertama kali oleh Wassermann, Neisser dan Bruck untuk

    menentukan diagnosis Sifilis (Test Wassermann), akan tetapi kemudian prinsip pengujian

    yang sama dipakai juga dalam diagnosis serologik berbagai penyakit lain, diantaranya

    penyakit-penyakit yang disebabkan oleh parasit, seperti Trypanosoma, Schistosoma, serta

    penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti virus Hepatitis B, Herpes, Rotavirus,

    Rubella dan lain-lain.

    Uji Fiksasi Komplemen untuk penetapan antibodi terhadap virus

    Peralatan dan bahan yang diperlukan (cara mikro)

    1. Peralatan yang dipakai sama seperti untuk teknik mikrohemaglutinasi

    2. Kit reagens (Behring) terdiri atas antigen virus, komplemen, eritrosit domba, hemolisin

    dan larutan penyangga.

    Cara kerja :

    I. Uji Pendahuluan

    1. Titrasi hemolisin

    a. Sediakan 9 tabung reaksi. Masukkan kedalam tabung pertama dan seterusnya larutan

    penyangga dengan volume seperti pada gambar.

    b. Masukkan 1,0 ml hemolisin yang telah diencerkan 1:100 kedalam tabung pertama, lalu

    campur kemudian pindahkan 1 ml kedalam tabung berikutnya, demikian seterusnya hingga

    tabung terakhir.

    c. Sediakan 12 tabung, kemudian kedalam 9 tabung pertama dimasukkan masing-masing 0,2

  • ml larutan hemolisin dari tabung-tabung permulaan. Tabung 10-12 dipakai untuk kontrol

    erithrosit.

    d. Kedalam tabung 1-9 dimasukkan 0,1 ml komplemen yang sudah diencerkan 1:30, 0,2 ml

    suspensi eritrosit 2% dan 0,5 ml larutan penyangga.

    e. Kedalam tabung 10-12 masukkan 0,2 ml suspensi eritrosit 2% dan 0,8 ml larutan

    penyangga.

    f. Campur lalu inkubasikan tabung-tabung tersebut pada suhu 37OC selama 30 menit.

    g. Perhatikan adanya hemolisis dan tentukan tabung dengan pengenceran hemolisis

    tertinggi yang menyebabkan hemolisis lengkap. Pengenceran ini disebut 1 unit dan untuk

    pemeriksaan sampel penderita dipakai 2 unit.

    h. Pembuatan sistem hemolitik

    Campur eritrosit 2% sama banyak dengan hemolisin yang titernya 2 unit. Biarkan dalam suhu

    kamar selama minimal 10 menit sebelum dipakai.

    2. Titrasi Komplemen

    a. Sediakan 3 baris tabung yang jumlahnya masing-masing 8 buah. Kedalam tabung-tabung

    baris I masukkan larutan penyangga, komplemen dan larutan antigen, lalu campur

    b. Lakukan hal yang sama pada tabung baris ke II dan ke III, hanya sebagai pengganti antigen,

    kedalam tabung baris II dimasukkan antigen kontrol dan kedalam tabung baris ke III

    dimasukkan larutan penyangga.

    c. Inkubasikan semua tabung dalam penangas air dengan suhu 37OC selama 30 menit.

    d. Masukkan sistem hemolitik (1h) kedalam semua tabung sebanyak 0,2 ml. Campur dan

    inkubasikan lagi pada suhu 37OC selama 30 menit.

    e. Perhatikan hemolisis yang terjadi dan tentukan pengenceran komplemen tertinggi yang

    menyebabkan hemolisis lengkap. Apabila hemolisis lengkap pada ketiga baris tabung terjadi

    pada pengenceran komplemen yang sama, berarti semua reaktan pada sistem ini baik.

  • f. Pengenceran tertinggi komplemen yang dapat menyebabkan hemolisis lengkap disebut 1

    unit dan dipakai 2 unit untuk pengujian.

    II. Pemeriksaan sampel

    Pada setiap pemeriksaan selalu harus diikutsertakan kontrol antigen, kontrol sistem

    hemolitik, kontrol eritrosit dan kontrol komplemen.

    Serum penderita terlebih dahulu diinaktifkan dalam penangas air dengan suhu 56OC untuk

    menghilangkan komplemen yang ada dalam serum, sehingga satu-satunya sumber

    komplemen hanya yang dibubuhkan pada pengujian dan diketahui titernya.

    1. Sampel

    Pakai satu baris sumur untuk sampel pertama (sampel akut) dan satu baris lain untuk sampel

    kedua (konvalesen).

    a. Masukkan ke dalam sumur 1 dan sumur 4-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul.

    b. Masukkan ke dalam sumur 1-4 sampel yang terlebih dahulu telah diencerkan 1:5 sebanyak

    25 ul.

    c. Buat pengenceran serum mulai sumur 4 sampai 12 dengan mikrodiluter.

    d. Masukkan kedalam sumur 2, sebanyak 25 ul antigen kontrol dan ke dalam sumur 3-12

    sebanyak 25 ul antigen virus (2 unit).

    e. Campur, kemudian masukkan kedalam sumur 1-2 komplemen 2 unit sebanyak 25 ul, lalu

    campur lagi.

    2. Kontrol antigen

    Pakailah satu baris sumur.

    a. Masukkan ke dalam sumur 1 dan 4-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul.

    b. Masukkan kedalam sumur 1-4 serum kontrol positif yang telah diencerkan 1:5 sebanyak

  • 25 ul, dan ke dalam sumur 11-12 serum kontrol negatif yang telah diencerkan 1:5 sebanyak

    25 ul.

    c. Buat pengenceran serum mulai sumur 10 dengan mikrodiluter.

    d. Ke dalam sumur 2-12 dimasukkan 25 ul antigen virus (2 unit) kemudian campur.

    e. Masukkan ke dalam sumur 1-12 komplemen (2 unit) sebanyak 25 ul, kemudian campur

    (kocok dengan alat pengocok).

    3. Kontrol sistem hemolitik

    Pakailah baris terakhir untuk kontrol sistem hemolitik, eritrosit dan komplemen dengan

    prosedur seperti yang diuraikan dibawah ini :

    Masukkan ke dalam sumur 1 dan 2 larutan penyangga sebanyak 50 ul dan komplemen

    sebanyak 25 ul.

    4. Kontrol eritrosit

    Masukkan ke dalam sumur 3 dan 4 larutan penyangga sebanyak 75 ul dan sistem hemolitik

    sebanyak 50 ul.

    5. Kontrol komplemen

    a. Masukkan ke dalam sumur 5-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 5-8

    antigen virus sebanyak 25 ul dan kedalam sumur 9-12 antigen kontrol sebanyak 25 ul.

    b. Buat pengenceran komplemen dalam tabung terpisah sehingga memperoleh larutan

    komplemen 2 unit, 1,5 unit, 1,0 unit dan 0,5 unit.

    c. Masukkan ke dalam sumur 5 dan 9 komplemen 2 unit sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 6

    dan 10 komplemen 1,5 unit sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 7 dan 11 komplemen 1,0 unit

    sebanyak 25 ul dan ke dalam sumur 8 dan 12 komplemen 0,5 unit sebanyak 25 ul.

    d. Campurlah reaktan dalam setiap sumur.

  • 6. Plate ditutup dengan plate lain kemudian diinkubasikan pada suhu 4-6OC selama 18 jam

    dalam kotak yang lembab (diberi kain basah).

    7. Keesokkan harinya, biarkan plate dalam suhu kamar selama 15 menit, kemudian

    masukkan ssitem hemolitik ke dalam semua sumur.

    8. Kocok, lalu inkubasikan pada suhu 37OC selama 15-30 menit.

    9. Reaksi dianggap selesai bila telah timbul hemolisis lengkap dalam sumur yang berisi

    komplemen 2 dan 1,5 unit, hemolisis tak lengkap dalam sumur berisi komplemen 1 unit dan

    tidak ada hemolisis dalam sumur berisi komplemen 0,5 unit.

    10. Perhatikan hemolisis yang terjadi pada sumur-sumur berisi sampel dan nyatakan

    pengenceran tertinggi sampel yang tidak menyebabkan hemolisis.

    Penafsiran

    1. Adanya reaksi positif (tidak ada hemolisis) berarti dalam serum terdapat antibodi

    terhadap virus bersangkutan.

    2. Titer antibodi dalam serum tunggal belum memastikan apakah ada infeksi atau pernah

    divaksinasi.

    3. Untuk mengetahui adanya infeksi diperlukan pemeriksaan serum ganda, yaitu 2 sampel

    yang diperoleh pada masa akut dan masa konvalesen dengan jarak waktu 2 minggu. Suatu

    kenaikan titer sebanyak 4 kali merupakan indikasi adanya infeksi.

    4. Reaksi positif pada kontrol antigen berarti dalam serum antibodi terhadap zat-zat

    nonspesifik yang menyertai antigen. Untuk memastikan, titrasi terhadap serum diulang

  • dengan menggunakan kedua jenis antigen secara paralel. Adanya antibodi spesifik dapat

    dipastikan bila titernya terhadap antigen virus 4 kali titer terhadap antigen kontrol.

    5. Serum kontrol yang diperoleh dari binatang, kadang-kadang mengandung antibodi

    terhadap antigen kontrol hingga dapat menimbulkan hemolisis.

    alice athecnthe

    Selasa, 13 Desember 2011

    UJI SEROLOGIS KHUSUS ELISA

    ELISA ( Enzyme-linked immunosorbent assay) atau 'penetapan kadar imunosorben taut-

    enzim' merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium

    imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang

    relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA

    diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk

    menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan

    menggunakan enzim sebagai pelapor (reporter label).

    Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang

    menggunakan konjugat antigenenzim atau konjugat antobodienzim, dan non-

    competitive assay yang menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-competitive

    assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik

    kedua ini seringkali disebut sebagai "Sandwich" ELISA.

    Uji ini dilakukan pada plate 96-well berbahan polistirena. Untuk melakukan teknik

    "Sandwich" ELISA ini, diperlukan beberapa tahap yang meliputi:

  • Well dilapisi atau ditempeli antigen.

    Sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan.

    Ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti

    peroksidase alkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel

    sebelumnya.

    Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi.

    Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA reader

    hingga mendapatkan hasil berupa densitas optis (OD). Dengan menghitung rata-rata

    kontrol negatif yang digunakan, didapatkan nilai cut-off untuk menentukan hasil

    positif-negatif suatu sampel. Hasil OD yang berada di bawah nilai cut-off merupakan

    hasil negatif, dan demikian juga sebaliknya.

    Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di antaranya adalah kemungkinan yang

    besar terjadinya hasil false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang

    satu dengan antigen lain. Hasil berupa false negative dapat terjadi apabila uji ini

    dilakukan pada window period, yaitu waktu pembentukan antibodi terhadap suatu

    virus baru dimulai sehingga jumlah antibodi tersebut masih sedikit dan kemungkinan

    tidak dapat terdeteksi

    1. Pengujian Secara Serologi (ELISA)

    1.1 Secara langsung (baku) (Double Antibody Sandwich) (DAS ELISA)

  • Dalam uji ini digunakan konjugat gamma globulin murni dari antibody virus yang telah

    dilabel dengan enzim. Konjugat ini hanya dapat digunakan untuk virus tertentu

    saja.

    Cara kerja

    Gamma globulin (pengenceran yang telah disiapkan) dimasukkan ke dalam sumur-sumur

    cawan elisa, masing-masing sebanyak 100-200 ul.

    Selanjutnya diinkubasikan selama 1 2 jam pada suhu 37oC, lalu buang larutannya dan

    cawan ELISA dibilas dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing 3 menit.

    Contoh antigen (dilarutkan dalam PBST + PVP atau ekstrak buffer) dimasukkan ke dalam

    sumur-sumur cawan ELISA, masing-masing 100 200 ul.

    Inkubasikan selama 1 2 jam pada suhu 37oC. Lalu buang larutannya dan cawan Elisa

    dibilas kembali dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.

    Enzim konjugat yang telah dlarutkan dengan konjugat buffer dengan perbandingan

    tertantu dimasukkan dalam lubang-lubang cawan masing-masing sebanyak 100 200

    ul.

    Inkubasikan selama 1 2 jam pada suhu 37oC. Lalu buang larutannya dan cawan Elisa

    dibilas kembali dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.

    Siapkan substrat buffer kemudian larutkan PNPP ke dalamnya dengan perbandingan 1:1

    (ul/ml), masukkan larutan tadi kedalam lubang-lubang cawan Elisa sebanyak 150

    200 ul. Inkubasikan cawan Elisa pada suhu kamar. Lihat perubahan warnanya setelah

    30 60 menit. Pembacaan dapat dilakukan secara langsung (visual) atau dengan Elisa

    Reader.

    1.2 Secara tidak langsung (Double Antigen Coating/DAC)

  • Cara pengujian tidak langsung digunakan konjugat gamma globulin dari serum darah

    hewan(kelinci, kambing atau mencit) yang telah dilabel dengan enzim. Konjugat ini

    dapat digunakan untuk mendeteksi semua virus tanaman.

    Cara Kerja :

    Sap antigen dilarutkan dalam coating buffer dengan perbandingan 1:50 atau lebih

    Larutan tersebut dimasukkan ke dalam lubang-lubang cawan Elisa, masing-masing

    sebanyak 100 ul.

    inkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC, lalu buanglah larutannya dan cawan Elisa

    dibilas dengan PBS-Tween sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.

    Antiserum (dilarutkan dalam konjugat buffer) dimasukkan ke dalam lubang-lubang

    cawan Elisa, masing-masing sebanyak 100 ul.

    Inkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC. Lalu lakukanlah tahap kerja ke-2

    Konjugat (anti rabbit FC gamma globulin + alkalin phospatase) dimasukkan masing-

    masing sebanyak 100 ul.

    Inkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC, lalu lakukan tahap kerja ke-2.

    Substrat (sama seperti pada uji Elisa baku) dimasukkan ke dalam lubang-lubang cawan

    Elisa, masing-masing sebanyak 100 ul.

    inkubasikan cawan Elisa pada suhu kamar selama 15 30 menit. Pembacaan dapat

    langsung (warna kuning yang timbul) atau dengan menggunakan ELISA Reade

    Aplikasi ELISA

    ELISA dapat mengevaluasi kehadiran antigen dan antibodI dalam suatu sampel,

    karenanya merupakan metode yang sangat berguna untuk mendeterminasi

    konsentrasi antibodi dalam serum (seperti dalam tes HIV), dan juga untuk

    mendeteksi kehadiran antigen. Metode ini juga bisa diaplikasikan dalam indiustri

    makanan untuk mendeteksi allergen potensial dalam makanan seperti susu, kacang,

  • walnut, almond, dan telur. ELISA juga dapat digunakan dalam bidang toksikologi

    untuk uji pendugaan cepat pada berbagai kelas obat.

    Beberapa Tipe ELISA

    A. Indirect ELISA

    Tahap umum yang digunakan dalam indirect ELISA untuk mendeterminasi konsentrasi

    antibodi dalam serum adalah:

    1. Suatu antigen yang sudah dikenal dan diketahui konsentrasinya ditempelkan pada

    permukaan lubang plate mikrotiter. Antigen tersebut akan menempel pada permukaan

    plastik dengan cara adsorpsi. Sampel dari konsentrasi antigen yang diketahui ini akan

    menetapkan kurva standar yang digunakan untuk mengkalkulasi konsentrasi antigen

    dari suatu sampel yang akan diuji.

    2. Suatu larutan pekat dari protein non-interacting, seperti bovine serum albumin (BSA)

    atau kasein, ditambahkan dalam semua lubang plate mikrotiter. Tahap ini dikenal

    sebagai blocking, karena protein serum memblok adsorpsi non-spesifik dari protein

    lain ke plate.

    3. Lubang plate mikrotiter atau permukaan lain kemudian dilapisi dengan sampel serum

    dari antigen yang tidak diketahui, dilarutkan dalam buffer yang sama dengan yang

    digunakan untuk antigen standar. Karena imobilisasi antigen dalam tahap ini terjadi

    karena adsorpsi non-spesifik, maka konsentrasi protein total harus sama dengan

    antigen standar.

    4. Plate dicuci, dan antibodi pendeteksi yang spesifik untuk antigen yang diuji

    dimasukkan dalam lubang. Antibodi ini hanya akan mengikat antigen terimobilisasi

    pada permukaan lubang, bukan pada protein serum yang lain atau protein yang

    terbloking.

  • 5. Antibodi sekunder, yang akan mengikat sembarang antibodi pendeteksi, ditambahkan

    dalam lubang. Antibodi sekunder ini akan berkonjugasi menjadi enzim dengan

    substrat spesifik. Tahap ini bisa dilewati jika antibodi pendeteksi berkonjugasi dengan

    enzim.

    6. Plate dicuci untuk membuang kelebihan konjugat enzim-antibodi yang tidak terikat.

    7. Dimasukkan substrat yang akan diubah oleh enzim untuk mendapatkan sinyal

    kromogenik/ fluorogenik/ elektrokimia.

    8. Hasil dikuantifikasi dengan spektrofotometer, spektrofluorometer atau alat optik/

    elektrokimia lainnya.

    Enzim bertindak sebagai amplifier, bahkan jika hanya sedikit antibodi terikat enzim yang

    tetap terikat, molekul enzim akan memproduksi berbagai molekul sinyal. Kerugian

    utama dari metode indirect ELISA adalah metode imobilisasi antigennya non-

    spesifik, sehingga setiap protein pada sampel akan menempel pada lubang plate

    mikrotiter, sehingga konsentrasi analit yang kecil dalam sampel harus berkompetisi

    dengan protein serum lain saat pengikatan pada permukaan lubang. Mekanisme

    indirect ELISA dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

  • 2. Sandwich ELISA

    Tahapan dalam Sandwich ELISA adalah sebagai berikut:

    Disiapkan permukaan untuk mengikatkan antibodi penangkap

    Semua non spesifik binding sites pada permukaan diblokir

    Sampel berisi antigen dimasukkan dalam plate

    Plate dicuci untuk membuang kelebihan antigen yang tidak terikat

    Antibodi primer ditambahkan, supaya berikatan secara spesifik dengan antigen

    Antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim dimasukkan, yang akan berikatan

    dengan antibodi primer

    Plate dicuci, sehingga konjugat antibodi-enzim yang tidak terikat dapat dibuang

    Ditambahkan reagen yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal berwarna/

    berfluoresensi/ elektrokimia

    Diukur absorbansinya untuk menetukan kehadiran dan kuantitas dari antigen

  • Keuntungan utama dari metode sandwich ELISA adalah kemampuannya menguji sampel

    yang tidak murni, dan mampu mengikat secara selektif antigen yang dikehendaki.

    Tanpa lapisan pertama antibodi penangkap, semua jenis protein pada sampel

    (termasuk protein serum) dapat diserap secara kompetitif oleh permukaan lempeng,

    menurunkan kuantitas antigen yang terimobilisasi. Prinsip kerja sandwich ELISA

    dapat dilihat pada skema berikut ini:

    3. ELISA kompetitif

    Tahapan pengerjaan ELISA kompetitif berbeda dari dua metode yang telah dibahas

    sebelumnya, yaitu:

    Antibodi yang tidak berlabel diinkubasi dengan kehadiran antigennya

    Komplek antigen-antibodi ini selanjutnya ditambahkan pada lubang yang telah dilapisi

    antigen

  • Plate dicuci, sehingga kelebihan antibodi tercuci (semakin banyak antigen dalam sampel,

    semakin sedikit antibodi yang dapat terikat pada antigen yang menempel pada

    permukaan lubang, karena inilah disebut kompetisi

    Ditambahkan antibodi sekunder yang spesifik utnuk antibodi primer. Antibodi sekunder

    ini berpasangan dengan enzim

    Substrat ditambahkan, enzim akan mengubah substrat menjadi sinyal kromogenik/

    fluoresensi.

    Dalam ELISA kompetitif, semakin tinggi konsentrasi antigen orisinal, semakin lemah

    sinyal yang dihasilkan. Prinsip kerjanya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

    Diposkan oleh yurnima sari di 20.32

    Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

    Tidak ada komentar:

    Poskan Komentar

    Posting Lebih Baru Beranda

    Langganan: Poskan Komentar (Atom)

    Pengikut

  • Mengenai Saya

    yurnima sari

    dreams never come true if you don't believe in

    yourself,,,,, @^_

    Lihat profil lengkapku

    Arsip Blog

    2011 (3)

    Desember (3)

    Aku HIDUP BUKAN Hanya untuk MENUNGGU

    Mu SEPERTI IN...

    Pengenalan blog

    UJI SEROLOGIS KHUSUS ELISA

    Template Travel. Gambar template oleh rocksunderwater. Diberdayakan oleh Blogger.

    PENDIDIKAN,KESEHATAN DAN BIOTEKNOLOGI KEDOKTERAN

    Pendidikan dan Kesehatan merupakan hal yang sangat penting, karena itu kami tampilkan

    beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan terutama di bidang Laboratorium

    Kesehatan. Serta hal-hal yang menyangkut masalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

    Mikroba atau parasit

    Senin, 20 Desember 2010

    Imunodiagnostik dan Serologi Pada Infeksi Mikroba

    Pada laboratorium mikrobilogi klinik, pembiakan mikroorganismee dari specimen pasien masih

    merupakan metoda yang digunakan untuk penyakit infeksi. Pada tahun 1940 dan 1950an

    dikembangkan teknik serologi seperti teknik Oudin dan imunodifusi Ouchterlony. Kemudian

    setelah itu mulai berkembang metode lain yang didasarkan kepada konsep immunologi,

    seperti fiksasi komplemen, yang diperkenalkan sebagai metode yang dapat menentukan

    respon imun seseorang terhadap infeksi. Pemeriksaan seperti radioimmunoassay, enzyme

    assays dan teknik hibridoma meningkatkan peranan pemeriksaan serologis untuk penyakit

    infeksi.

  • Respon imun spesifik secara sederhana dibagi dalam 2 kategori yaitu: respon yang dimediasi

    oleh sel dan respon yang dimediasi oleh antibodi. Respon imun yang dimediasi oleh sel

    dibawakan oleh sel limfosit T. Limfosit T berproliferasi dan berdifferensiasi menjadi beragam

    sel efektor, termasuk sel T helper dan sel T sitotoksik. Sel T sitotoksik secara spesifik

    menyerang dan membunuh mikroorganismee pada sel hospes yang rusak atau karena

    terinfeksi pathogen. Sel T helper memproduksi sitokin, sitokin merangsang pematangan sel B

    sehingga sel B memproduksi antibodi yang mampu membunuh organisme yang mengifeksi.

    Respon imun yang dimediasi oleh antibodi adalah merupakan protein spesifik yang dihasilkan

    oleh limfosit B. karena protein bersifat menimbulkan reaksi fungsi imunologis dan memiliki

    struktur globular pada keadaan aktif maka disebut juga immunoglobulin.

    Antibodi disekresikan ke dalam darah atau cairan limpa (kadangkala pada cairan tubuh lainnya)

    oleh sel B limfosit, atau tetap melekat pada permukaan sel limfosit atau sel lain. Karena sel

    yang terlibat dalam kategori respon imun ini berada dalam sirkulasi darah, tipe imunitas

    seperti ini disebut juga imunitas humoral. Untuk keperluan penentuan antibodi pada pasien

    yang telah diproduksi ketika proses melawan infeksi, serum pasien (atau kadangkala plasma)

    diperiksa untuk mengetahui adanya antibodi. Mempelajari diagnosa suatu penyakit

    berdasarkan penentuan kadar antibodi dalam serum disebut serologi.

    Karakteristik Antibodi.

    Secara genetik manusia memilki kemampuan untuk memproduksi secara langsung antibodi

    spesifik terhadap hampir semua jenis antigen, baik melalui kontak selama hidup dan oleh

    pengenalan tubuh sebagai benda asing. Antigen dapat berupa bagian struktur fisik atau

    bahan kimia yang diproduksi dan dilepaskan oleh pathogen misalnya eksotoksin. Satu

    pathogen dapat mengandung atau memproduksi banyak antigen yang berbeda-beda yang

    dapat dikenali oleh hospes sebagai benda asing, sehingga infeksi oleh satu agent penyakit

    dapat menimbulkan produksi antibodi yang berbeda-beda. Sebagai tambahan, beberapa

    antigen memiliki sifat tidak dapat dikenali oleh sel hospes apabila antigen tersebut tidak

  • melalui proses perubahan fisik, sebagai contoh sebelum bakteri pathogen dicerna oleh

    leukosit polimormonuklear, beberapa antigen pada permukaan sel tidak dapat dikenali oleh

    sistem imun, sekali bakteri tersebut pecah, antigen inilah yang akan dikenali sehingga

    terbentuk antibodi untuk melawan antigen tersebut. Berdasarkan alasan tersebut pasien

    dapat memproduksi antibodi yang berbeda pada saat infeksi oleh satu jenis penyakit.

    Respon imun akan semakin matang dengan adanya paparan yang berulang, dan antibodi

    yang terbentuk akan lebih spesifik dan lebih dapat terikat dengan kuat.

    Antibodi bekerja dengan jalan:

    1). Melekat pada permukaan pathogen dan membuat pathogen lebih dapat diterima oleh sel

    fagosit (opsonisasi antibodi)

    2). Berikatan dan menghalangi reseptor permukaan pada sel hospes (antibodi netralisasi)

    3). Melekat pada permukaan sel pathogen dan berperan dalam penghancuran dengan aktifitas

    lisis sistem komplemen (fiksasi komplemen antibodi).

    Meskipun metode diagnostik serologi rutin biasanya hanya mengukur dua kelas antibodi yaitu

    IgM dan IgG, terdapat lima kelas antibodi yang berbeda yaitu : IgG, IgM, IgE, IgA dan IgD.

    Pada struktur antibodi terdapat tempat melekatnya antigen (antigen binding site), yang

    bersifat spesifik pada setiap antibodi yang terbentuk. Berdasarkan spesifitas antibodi,

    antigen dengan beberapa kesamaan tetapi tidak identik, dapat berikatan pula dengan

    antibodi, disebut dengan reaksi silang. Komplemen-binding site terletak ditengah-tengah

    struktur molekul dan semua sama pada setiap kelas antibodi. IgM merupakan respon

    pertama untuk beberapa antigen, walaupun jumlahnya yang tinggi hanya bersifat

    sementara. Sehingga dengan adanya IgM menandakan bahwa baru terinfeksi atau

    permulaan infeksi aktif. Dilain pihak IgG merupakan antibodi yang dapat tetap bertahan

    lama sampai setelah infeksi hilang. Struktur molekul IgM terdiri dari lima monomer antigen

    dengan sepuluh antigen binding site.

    Respon imun humoral yang bermanfaat dalam pengujian diagnostik

  • Sistem imun manusia mampu memproduksi baik antibodi IgM atau IgG dalam hampir semua

    pathogen. Pada kebanyakan kasus, IgM diproduksi oleh pasien hanya setelah interaksi

    pertama dengan pathogen dan tidak lagi terdeteksi setelahnya dalam waktu singkat. Untuk

    kepentingan diagnosa secara serologis, perbedaan yang penting dari IgM dan IgG adalah IgM

    tidak dapat menembus plasenta dari ibu hamil, sehingga apabila IgM terdeteksi pada serum

    bayi baru lahir, pasti telah dibuat oleh bayi itu sendiri. Dengan molekul yang besar dan

    jumlah antigen-binding site IgM dapat membantu mempercepat melenyapkan pathogen.

    IgG merupakan antibodi yang lebih spesifik terhadap antigen, walaupun IgG hanya memiliki dua

    antigen binding site, tapi dapat pula terikat pada komplemen. Ketika IgG terikat pada

    antigen, dasar molekul akan melekat dan terikat pada membran sel fagosit, meningkatkan

    kemampuan menelan dan penghancuran pathogen oleh sel hospes. Pertemuan kedua

    dengan antigen yang sama biasanya hanya menimbulkan respon IgG. Karena sel B limfosit

    menyimpan sel memori dari pathogen tersebut, sehingga dapat lebih cepat merespon dan

    lebih banyak dihasilkan antibodi dibandingkan dengan interaksi pertama. Respon cepat

    tersebut dinamakan respon anamnestik. Karena sel B memori tidak sempurna, kadangkala

    kelompok sel memori akan distimulasi oleh antigen yang mirip tapi tidak sama seperti

    antigen asal, yang menimbulkan respon anamnestik poliklonal dan tidak spesifik. Sebagai

    contoh infeksi ulang cytomegalovirus akan menstimulasi sel B memori untuk memproduksi

    antibodi terhadap virus Eipstein-Barr (family virus herpes lainnya).

    Interpretasi pada pemeriksaan serologi

    Pemahaman umum dari konsep serologi adalah terjadinya peningkatan titer. Titer antibodi

    sebanding dengan pengenceran tertinggi serum pasien dimana antibodi masih dapat

    terdeteksi. Pasien dengan jumlah antibodi yang tinggi, karena antibodi masih dapat

    terdeteksi pada pengenceran tertinggi, serum yang digunakan untuk penentuan titer

    antibodi harus diambil selama fase akut dari penyakit (ketika pertama kali diketahui atau

    masih tersangka) dan diulangi selama masa penyembuhan (biasanya dua minggu kemudian).

  • Specimennya disebut serum akut dan serum konvalesen. Untuk beberapa infeksi, seperti

    penyakit legionnaires dan hepatitis, titer dapat tidak meningkat sampai beberapa bulan

    setelah infeksi akut atau dapat tidak pernah meningkat sama sekali. Untuk kebanyakan

    pathogen, peningkatan titer dari pengenceran empat kalinya (yaitu dari positif pada titer 1/8

    menjadi 1/32 pada serum berpasangan (akut dan konvalesen), dapat dipertimbangkan

    didiagnosa sebagai infeksi baru. Hasil yang akurat untuk diagnosa penyakit infeksi ini akan

    didapatkan hanya ketika serum akut dan konvalesen diperiksa bersama-sama dalam sistem

    pengujian yang sama.

    Prinsip-prinsip pemeriksaan metode serologis

    Penentuan antibodi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam beberapa kasus antibodi

    terhadap satu jenis antigen dapat diperiksa dengan lebih dari satu cara tetapi metode

    penentuan antibodi yang berbeda terhadap satu antigen boleh jadi mengukur antibodi yang

    berbeda. Berdasarkan alasan tersebut adanya antibodi terhadap pathogen tertentu yang

    dideteksi oleh satu metode mungkin saja tidak berhubungan dengan adanya antibodi

    terhadap antigen yang sama tapi dengan metode yang berbeda. Kemudian pula setiap

    metode pemeriksaan memiliki derajat sensitifitas yang bervariasi dalam mendeteksi adanya

    antibodi. Walaupun demikian, karena IgM biasanya diproduksi hanya pada pasien dengan

    infeksi pertama kali terhadap agent infeksi, penentuan IgM dapat membantu klinisi dalam

    penentuan diagnosa, sehingga kebanyakan metode serologis didasarkan kepada analisa IgM.

    Pemeriksaan IgM untuk pemeriksaan serologis

    Pemeriksaan IgM berguna khususnya untuk penyakit yang memiliki gejala klinik yang tidak jelas,

    misalnya toksoplasmosis atau untuk penyakit yang memerlukan keputusan pengobatan yang

    cepat contohnya infeksi rubella pada wanita hamil yang dapat berakibat tidak baik bagi janin

    seperti katarak, glukoma, keterbelakangan mental, dan ketulian. Sehingga untuk wanita

    hamil yang terinfeksi virus rubella dan mengalami sakit demam dapat dlakukan pemeriksaan

  • terhadap IgM antirubella. Apabila positif dapat diajukan pilihan untuk menghentikan

    kehamilan.

    Agent yang sulit dibiakan atau hanya dapat ditemui saat stadium dewasa selama siklus hidupnya

    seperti Treponema pallidum, cytomegalovirus, virus herpes, Toxoplasma atau Rubella, biasa

    digunakan pemeriksaan IgM, dan telah dikelompokkan dalam satu pemeriksaan STORCH

    (syphilis, Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes). Tes ini dilakukan secara

    terpisah tergantung gejala klinik pada bayi baru lahir. Akan tetapi kadangkala pada bayi yang

    terinfeksi terlihat sehat. Demikian pula pada beberapa keadaan biasa terjadi positif palsu

    atau negatif palsu dalam pemeriksaan serologis, sehingga berbagai pertimbangan termasuk

    kondisi klinis harus disertakan pada infeksi neonatal dan teknik pembiakan pada beberapa

    kasus masih merupakan metode yang dipercaya untuk diagnosa penyakit.

    Pemisahan IgM dari IgG diperlukan untuk metode pemeriksaan yang menggunakan IgM sebagai

    marker yang diberi label, misalnya metode IgM capture sandwich. IgM dahulu dapat

    dipisahkan dengan metode sentrifugasi kecepatan tinggi. Metode lain yang digunakan untuk

    memisahkan IgG dan IgM didasarkan pada kenyataan bahwa protein permukaan

    staphylococcus (proteinA) dan streptococcus (protein G) terikat pada bagian Fc dari IgG .

    dengan sentrifugasi dan pemisahan partikel dan ikatan IgG dari campuran maka akan

    didapatkan IgM. Metode lainnya yang dapat digunakan untuk memisahkan IgM dari serum

    yang mengandung IgG dan IgM adalah dengan penambahan rheumatoid factor. Antibodi

    IgM diproduksi oleh beberapa pasien bersama-sama IgG, rheumatoid factor berikatan

    dengan IgG sehingga IgM dapat dipisahkan dari IgG.

    Metode pemeriksaan antibodi

    A. Metode aglutinasi

    Reaksi aglutinasi (direk atau pasif) banyak digunakan, sebagai contoh penentuan tipe eritrosit

    dalam penggolongan darah, diagnosis imunologi pada penyakit hemolitik seperti anemia

  • hemolitik yang diinduksi obat, tes rheumatoid faktor (IgM dan IgG), tes untuk syphilis dan

    aglutinasi untuk tes kehamilan.

    Contoh reaksi aglutinasi pada pemeriksaan Golongan darah

    Pada reaksi aglutinasi bakteriologis, dasar pemeriksaan penentuan antibodi adalah pengukuran

    antibodi yang terbentuk yang merupakan respon terhadap antigen. Antibodi spesifik

    melekat pada permukaan bakteri dalam suspensi yang kental sehingga menyebabkan bakteri

    berkumpul membentuk agregat. Antibodi yang demikian disebut dengan aglutinin dan

    pemeriksaannya disebut aglutinasi bakteri. Reaksi aglutinasi biasa dilakukan untuk infeksi

    bakteri yang sulit dilakukan pembiakan secara in vitro. Bakteri yang menggunakan teknik ini

    diantaranya: tetanus, yersiniosis, leptospirosis, brucellosis, dan tularemia. Demam thypoid

    agglutinin test (Widal test) sudah jarang digunakan karena biasa bereaksi positif pada pasien

    dengan infeksi bakteri lain atau reaksi silang antibodi atau karena pernah imunisasi thypoid.

    Pemeriksaan yang paling sesuai untuk pasien tersangka demam thypoid adalah dengan

    pembiakan dan identifikasi adanya bakteri Salmonella. Sel parasit Plasmodium, Leismania

    atau Toxoplasma gondii, juga telah menggunakan metode aglutinasi langsung untuk deteksi

    antibodi. Banyak pasien yang terinfeksi ricketsia memproduksi antibodi yang dapat

    menyebabkan aglutinasi non spesifik terhadap bakteri proteus. Tes Weil-Felix dapat

    digunakan untuk mendeteksi reaksi silang tersebut, tetapi telah tersedia metode

    pemeriksaan infeksi ricketsia yang baru yang lebih spesifik sehingga tes Weil-Felix tidak

    dipergunakan lagi.

    B. Tes Aglutinasi partikel

    Teknik pemeriksaan serologis yang mendeteksi antibodi melalui aglutinasi dari partikel pembawa

    (carrier) tiruan dimana antigen terikat pada partikel tersebut. Carrier yang biasa digunakan

    partikel lateks atau sel darah merah yang telah di olah, atau biologic carrier seperti sel

    bakteri yang dapat membawa antigen pada permukaannya dan dapat berikatan dengan

    antibodi yang diproduksi sebagai respon dari sel hospes. Ukuran partikel pembawa

  • memungkinkan reaksi aglutinasi dapat terlihat. Contohnya untuk antigen cryptococcal

    digunakan lateks bead yang dilekati antibodi spesifik pada metode lateks agglutination.

    Untuk mendeteksi streptococcus grup A dari swab tenggorok , digunakan metode pemeriksaan

    aglutinasi partikel untuk grup -hemolitik streptococcus. Hasil aglutinasi dipengaruhi oleh

    beberapa faktor diantaranya jumlah dan afinitas konjugat antigen terhadap carrier, waktu

    inkubasi dengan serum penderita dan interaksi yang terjadi pada lingkungan mikro (pH dan

    konsentrasi protein). Tes komersial telah dikembangkan sebagai satu kesatuan lengkap

    dengan pelarut, kontrol dan wadah tersendiri. Untuk hasil yang akurat harus digunakan

    sebagai kesatuan tidak bisa dimodifikasi atau digantikan dengan reagen lain. Apabila tes

    digunakan untuk specimen LCS misalnya, tidak dapat digunakan untuk pemeriksaan

    specimen serum kecuali ada teknik prosedur yang disajikan didalamnya dan telah

    distandarisasi untuk digunakan.

    Sel darah merah binatang biasa juga digunakan sebagai carrier antigen pada tes aglutinasi, tes ini

    disebut dengan haemaglutinasi untuk mendeteksi adanya partikel virus berdasarkan sifat

    mengaglutinasikan eritrosit yang terlihat secara makroskopis dan indirect haemaglutinasi

    atau haemaglutinasi pasif, karena bukan merupakan antigen sel darah merah itu sendiri,

    tetapi sebagai sel pembawa antigen secara pasif, yang akan diikat oleh antibodi. Yang

    digunakan secara luas dari metode ini dan telah tersedia secara komersial adalah

    Mikrohaemaglutinasi untuk antibodi Treponema pallidum (MHA-TP), Haemaglutinasi

    treponemal untuk syphilis (HATTS), haemaglutinasi pasif untuk antibodi terhadap antigen

    ekstraseluler steptococcus , dan tes indirek haemaglutinasi untuk antibodi virus Rubella,

    eritrosit diolah dengan penambahan formaldehid-piruvat aldehid sehingga virus rubella

    dapat terabsorpsi pada membrane permukaan eritrosit . Pedoman laboratorium terpercaya

    seperti Center for Disease Control and Prevention (CDC) juga menyelenggarakan

    pemeriksaan indirek haemaglutinasi untuk tes antibodi terhadap beberapa clostridia,

  • Burkholderia psudomallei, Bacillus anthracis, Corynebacterium diphtheria, Leptospira dan

    beberapa agen virus dan parasit.

    Contoh pemeriksaan aglutinasi partikel:

    ASI Color Mono II test merupakan tes aglutinasi untuk pemeriksaan kualitatif dan semikunatitatif

    untuk mendeteksi antibodi heteropil serum yang berhubungan dengan Mononukleus

    infeksiosa (IM). Tidak diperlukan pengenceran sampel.

    Prinsip pemeriksaan:

    Tes didasarkan reaksi antara antibodi IM dalam sampel bereaksi dengan antigen yang dilekatkan

    pada eritrosit kuda dan diberi indikator warna. Apabila dalam sampel terdapat antibodi

    heterofil akan terjadi aglutinasi yang menunjukkan hasil positif apabila tidak ada antibodi,

    tidak terjadi aglutinasi (hasil tes negatif)

    Gambar contoh reaksi aglutinasi Positif (1) dan negatif (2)

    Sumber www.dshs.state.tx.us/LAB/serology_cf.shtm

    Tes Haemaglutinasi

    Digunakan untuk pemeriksaan

    - Virus influenza dan virus lainnya

    - Pemeriksaan protein : Neuramidase , Haemaglutinin ( yang secara spesifik terikat pada sel

    eritrosit)

    Langkah-langkah pemeriksaan:

    1. Pemipetan larutan pengencer.

    2. Tambahkan eritrosit dan aduk secara perlahan sampai homogen.

    3. Biarkan sel eritrosit tenang dan amati pola susunan eritrosit.

    4. Amati apakah sel normal mengendap atau ada aglutinasi dengan mengamati apakah

    terbentuk seperti kancing pada dasar mikrotiter plate atau terbentuk suspensi eritrosit yang

    terlarut .

  • Haemaglutinasi inhibisi

    Pada umumnya virus yang menginfeksi manusia dapat berikatan dengan sel darah merah dari

    spesies yang berbeda. Sebagai contoh partikel virus rubella dapat berikatan dengan sel

    darah manusia tipe O, angsa atau eritrosit ayam dan menyebabkan aglutinasi sel darah

    merah. Virus influenza dan parainfluenza dapat mengaglutinasikan eritrosit babi, ayam dan

    manusia tipe O, arbovirus dapat mengaglutinasikan eritrosit angsa, adenovirus dapat

    mengaglutinasikan eritrosit tikus atau sel rhesus kera, virus mumps berikatan dengan

    eritrosit kera, virus herpes dan cytomegalovirus mengaglutinasikan eritrosit domba.

    Tes serologi untuk mendeteksi adanya antibodi berbagai virus tersebut berdasarkan kemampuan

    aglutinasi virus. Serum pasien yang telah diolah dengan penambahan kaolin atau heparin-

    magnesium chloride (untuk menghilangkan inhibitor nonspesifik dan nonspesifik agglutinin

    sel eritrosit) ditambahkan ke dalam system yang mengandung virus tersangka penyebab

    penyakit. Apabila serum mengandung antibodi terhadap virus, akan terbentuk kompleks dan

    akan menghalangi binding-site permukaaan virus. Ketika sel eritrosit ditambahkan ke dalam

    larutan seluruh partikel virus akan terikat pada antibodi, sehingga akan mencegah virus

    mengaglutinasikan eritrosit. Sehingga serum pasien dikatakan positif untuk tes

    haemaglutination inhibition antibodi

    Gambar Reaksi pada tes haemaglutinasi inhibisi

    C. Tes flokulasi

    Berbeda dengan pembentukkan agregat ketika partikel antigen berikatan dengan antibodi

    spesifik, interaksi antara antigen terlarut dengan antibodi akan membentuk presipitat,

    pemadatan partikel halus, biasanya terlihat hanya jika presipitat tetap stabil berada pada

    matrik.

    Ada dua jenis tes berdasarkan flokulasi:

    1). Tes Presipitin

  • Metode klasik untuk mendeteksi antigen terlarut yaitu antigen dalam suatu larutan adalah

    Outcherlony double immunodiffusion. Pada metode ini sumur dibuat dalam suatu agar,

    suatu matrik berbentuk gelatin yang memungkinkan partikel berdifusi dalam cawan petri.

    Metode ini biasanya digunakan untuk mendeteksi eksoantigen yang diproduksi oleh jamur

    sistemik untuk konfirmasi keberadaannya dalam pembiakan. Akan tetapi teknik ini terlalu

    lambat untuk penggunaan secara umum untuk deteksi antigen secara langsung dari

    specimen serum pasien.

    Contoh hasil double immunodiffusi dan imunopresipitasi

    Imunodiffusi

    Tes imunodifusi didasarkan pada pembentukkan imunokompleks yang berdasarkan berat

    molekul yang tinggi, presipitat dan bentuk garis presipitasi dapat diamati secara

    makroskopik. Metode ini untuk mendapatkan hasil diperoleh kurang lebih satu minggu

    itupun hanya hasil kualitatif. Teknik imunodifusi dapat dilakukan pada cawan petri yang

    mengandung agar gelatin 1% dalam suasana buffer posfat atau tris buffer. Sumur-sumur

    dibuat menggunakan perforator, untuk menempatkan antigen di sumur dan serum-serum

    diletakkan mengeliligi antigen. Antigen dan antibodi dalam serum akan berdifusi dalam agar

    dan ketika bertemu akan membentuk garis agak kabur yang akan terlihat pada cahaya

    langsung dan dengan latar belakang gelap. Kontrol positif (standar serum) harus disertakan

    untuk panduan pembacaan hasil positif dan interpretasi. Teknik imunodifusi selain untuk

    serum juga dapat digunakan untuk LCS dan urine. Teknik imunodifusi biasa digunakan pula

    untuk deteksi antibodi terhadap jamur pathogen : Histoplasma, Blastomyces, Coccidioides,

    Paracoccidioides, dan beberapa jamur opportunistic yang pemeriksaannya memerlukan

    waktu sekurang-kurangnya 48 jam bahkan lebih untuk mengembangkan pembentukan pita .

    Gambar contoh hasil imunodifusi yang positif untuk paracoccidioidomycosis (a) dan hasil positif

    pada reaksi aglutinasi latek pada sumur atas dan hasil negatif pada sumur di bawah (b)

    VDRL (Veneral Disease Research Laboratory test)

  • Merupakan metode yang menggunakan prinsip presipitasi dengan bentuk produk akhir

    presipitin berkumpul terlihat secara makroskopis dan mikroskopis. Pasien yang terinfeksi

    treponema, pada umumnya Treponema. pallidum, penyebab shypilis membentuk antibodi

    seperti protein dinamakan reagin yang akan berikatan dengan antigen cardiolipin-lecithin-

    coated cholesterol partikel, menyebabkan partikel berflokulasi. Karena reagin bukan

    merupakan antibodi langsung yang spesifik terhadap antigen T. pallidum, tes ini kurang

    spesifik tetapi baik digunakan untuk skrining tes. VDRL merupakan satu-satunya tes yang

    paling berguna untuk mendeteksi cairan LCS pasien tersangka Neuroshypilis, meskipun

    kemungkinan terjadi positif palsu. Pelaksanaan tes VDRL memerlukan ketelitian, alat gelas

    yang bersih, dan harus memperhatikan rincian secara tepat, termasuk kontrol kualitas rutin.

    Sebagai tambahan, reagen yang akan digunakan harus disiapkan baru setiap pelaksanaan

    tes, serum pasien harus diinaktivasi dengan pemanasan selama 30 menit pada 56C sebelum

    tes, dan hasilnya dibaca menggunakan mikroskop. Untuk semua alasan tersebut banyak

    laboratorium klinik menggunakan tes kualitatif tandingan Rapid Plasma Reagin (RPRtest)

    RPR (Rapid Plasma Reagin test)

    RPR merupakan tes yang tersedia secara komersial lengkap dengan konrol positif dan negatif,

    kartu tempat reaksi, dan reagen untuk persiapan suspensi antigen. Antigen kardiolipin-

    lecithin-coated cholesterol dengan cholin klorida dan juga mengandung partikel arang untuk

    memperlihatkan flokulasi makroskopis. Serum tanpa pemanasan dan reaksi terjadi pada

    permukaan kartu tes yang kemudian dibuang. RPR merupakan tes yang dianjurkan untuk

    specimen LCS. Seluruh prosedur distandarisasi dan dijelaskan terperinci dalam kit reagen

    dan harus diikuti dengan tepat. Secara keseluruhan RPR merupakan tes skrining yang lebih

    sensitif dibandingkan VDRL, dan lebih mudah dalam pengerjaannya. Beberapa modifikasi

    telah dibuat, misalnya penggunaan zat warna untuk mempermudah melihat hasil reaksi.

    Kondisi dan infeksi lain selain shypilis yang dapat menyebabkan hasil positif pada pemeriksaan

    VDRL atau RPR disebut biologic false positive tes. Penyakit autoimun, seperti lupus

  • erythematosus dan demam reumatik, mononucleosis infeksiosa, hepatitis, kehamilan dan

    usia tua,dapat menyebabkan positif palsu sehingga untuk hasil positif dinyatakan sebagai

    dugaan dan harus dikonfirmasi dengan tes spesifik treponemal.

    Tes RPR

    Contoh : BD Macro-Vue RPR Card Test Kits

    Sumber : www.cardinalhealth.com/.../images/B/B6940-9.jpg

    BD Macro-Vue RPR (rapid plasma reagin) merupakan tes nontreponemal untuk mendeteksi

    shypilis, terdiri dari reagen tetes, kartu tes berdiameter 18 mm dan prosedur yang

    tercantum dalam A Manual of Tests for Syphilis (Larsen, S., et al., editors, 1990, American

    Public Health Association).

    Gambar Rotator untuk RPR

    Sumber : websites.labx.com/rankin/pics/41747.JPG

    BD Macro-Vue Card Test Rotator model 51-II. Merupakan rotator yang digunakan pada

    metodeith Macro-Vue circle card tests. Rotator dengan kecepatan rotasi konstan 100 rpm

    dengan diameter lingkaran kartu tes 2 cm. waktu yang dibutuhkan selama 8 menit dan akan

    terdengar suara bel apabila telah mencukupi waktu yang telah ditentukan. 115V, 60 Hz.

    Gambar pengenceran serum RPR kuantitatif

    Sumber :student.ccbcmd.edu/.../lab18/images/rprdil.jpg

    2). Counterimmunoelectrophoresis

    Jenis tes lain yang menggunakan prinsip presipitasi dan penggunaannya secara luas digunakan

    untuk mendeteksi antibodi dalam jumlah sedikit. Kelebihan tes ini menggunakan muatan

    listrik yang dialirkan pada antigen-antibodi yang dites pada sistem buffer tertentu. Karena

    antigen dan antibodi dipertemukan satu sama lainnya dengan bantuan arus listrik pada

    suatu matriks semisolid untuk bermigrasi sehingga metode ini disebut

    Counterimmunoelectrophoresis (CIE). CIE merupakan modifikasi metode Ouchterlony yang

    dipercepat migrasi antigen antibodinya oleh adanya aliran listrik. Dengan pengecualian

  • bakteri Streptococcus pneumonia serotype 7 dan 14, antigen bakteri akan bermuatan

    negatif pada suasana sedikit basa, sedangkan antibodi bersifat netral. Sifat antigen bakteri

    inilah yang digunakan pada prinsip metode CIE, dimana larutan yang mengandung antibodi

    dan larutan sampel diletakkan pada lubang sumur agarosa yang diletakkan pada permukaan

    kaca. Kertas atau fiber bersumbu digunakan untuk menjembatani dua agarosa yang

    bersebrangan untuk dilalui buffer yang sedikit alkali. Ketika dialiri arus listrik maka akan

    terjadi migrasi dari Antigen yang bermuatan negatif akan bermigrasi ke elektoda positif.

    Antibodi yang bermuatan netral akan terbawa oleh elektroda negatif . pada perbatasan

    antara sumur akan terbentuk zona ekuivalen, dan komplek antigen-antibodi membentuk

    garis presipitasi yang nampak, proses migrasi ini memerlukan waktu satu jam. Banyak

    antigen yang dapat diperiksa oleh metode CIE, mendeteksi hampir 0,01 sampai 0,05 mg/ml

    antigen yang setara dengan 103 organisme/ml larutan. Perlu disertai control pada setiap

    pengerjaan, CIE merupakan metode yang berdasarkan reaksi presipitasi yang cukup mahal,

    sehingga tidak banyak digunakan lagi dalam imunodiagnostik.

    D. Tes Netralisasi

    Tes netralisasi pada kultur sel dan pengujian laboratorik menggunakan hewan coba, antibody

    akan mencegah atau menurunkan virulensi virus. Teknik ini sulit dan membutuhkan waktu

    pengerjaan yang lama dan sulit untuk dikerjakan, akan tetapi kadangkala diperlukan.

    .

    Gambar tahapan tes netralisasi virus

    E. Tes Fiksasi komplemen

    Tes fiksasi komplemen merupakan teknik imunologi yang digunakan untuk menentukan antigen

    spesifik atau antibody apabila ada dalam serum pasien. Metode ini sangat umum digunakan

    untuk membedakan dan menemukan penyebab infeksi. Pada umumnya digunakan untuk

    pemeriksaan mikroorganisme yang sulit di identifikasi melalui metode pembiakan. Akan

    tetapi metode ini telah tergantikan oleh metode serological lainnya dalam dignosa klinik

  • seperti ELISA dan metoda identifikasi patogen yang didasarkan pada DNA khususnya

    polymerase chain reaction (PCR)

    Pada teknik fiksasi komplemen, komplemen digunakan ketika antigen bereaksi dengan antibodi.

    Komplemen dapat ditemukan pada serum babi Guinea. Ketika sel darah merah ditambahkan

    dengan anti-red-cell-antibody, sel darah merah akan lisis ketika ditambahkan komplemen

    (hasil tes negatif). Apabila dalam serum mengandung antibodi maka complemen akan

    menfiksasi ikatan antigen dan antibodi sehingga ketika ditambahkan anti-red-cell antibodi

    tidak menghasilkan hemolisis sehingga tes menunjukkan hasil positif.

    Reaksi pada teknik fiksasi komplemen

    Contoh pemeriksaan dengan metode fiksasi komplemen

    Adenovirus

    Jamur (Blastomyces, Coccicioides, & Histoplasma)

    Virus Influenza A & B

    Parainfluenza 1, 2, & 3

    Poliovirus 1, 2, & 3

    Respiratory Syncitial Virus (RSV)

    F. ELISA (Enzyme Linked Immunoassays)/EIA (Enzym Immunoassays)

    ELISA digunakan untuk pengukuran konsentrasi antibody terhadap suatu antigen, biasanya

    digunakan antibody monoclonal.

    Persiapan tes:

    - Antigen dilekatkan pada fase padat misalnya pada permukaan dasar mikroplate

    - Persiapan anti-human antibody dilabel enzim (contohnya -galaktosida) yang berfungsi sebagai

    indicator warna dari substrat yang jernih.

    Prinsip ELISA

    Cara kerja :

  • - Specimen yang akan diperiksa dimasukkan ke dalam sumur biasanya mikroplate, molekul

    antibody akan berikatan dengan antigen yang dilekatkan pada fase padat

    - Anti-human antibody yang diberi label ditambahkan pada campuran. Antibody berlabel akan

    terikat pada ikatan molekul antigen-antibodi yang pertama sehingga terjadi ikatan sandwich

    antibody-antigen-antibody berlabel

    - Setelah proses pencucian molekul yang tidak berikatan, ditambahkan substrat

    - Setelah beberapa waktu sesuai dengan standar prosedur, ditambahkan reagen untuk

    menghentikan reaksi (penambahan NaOH 1N). intensitas warna yang terbentuk

    proporsional/ sebanding dengan konsentrasi antigen yang terikat.

    Contoh teknik ELISA dan imunoblot

    G. Indirect Flourescent Antibodi Test (IFA)

    Pemeriksaan yang berdasarkan IFA ke dalam analisis serologi dan molekular :

    Ehrlichia antibody

    Fluorescent Treponemal antibody (FTA)

    Legionnella antibody

    Mumps IgM antibody

    Q Fever antibody

    Rocky Mountain Spotted Fever antibody

    Toxoplasma IgG antibody

    Typhus antibody

    Teknik Fluorescent-antibody (FA) masih digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi

    walaupun tidak sebanyak EIA. Teknik fluorescent terdiri dari direct dan indirect, metode

    indirek biasanya digunakan untuk mendeteksi antibodi (IFA) seperti pada EIA, sedangkan

    untuk pemeriksaan antigen digunakan metode direk.

    Indirect Fluorescent Antibody Test (IFA)

  • 1. Antigen mikroba diletakkan dalam kaca objek dan diberi bahan fiksatif

    2. Serum pasien yang telah diencerkan diinkubasi bersama antigen pada kaca objek, kemudian

    dicuci

    3. Antibodi berlabel flouresen (konjugat) ditambahkan

    4. Kaca objek dicuci hemudian dikeringkan, kemudian dibaca dibawah mikroskop flouresen

    Preparat diamati adanya area terang berfloresensi warna hijau dan dibandingkan dengan control

    positif dan negatif. Adanya floresensi hijau menandakan adanya antibodi terhadap antigen

    Contoh teknik IFA untuk antibodi toxoplasma.

    Pada lapang pandang kiri hasil positif,

    sedangkan kanan hasil negatif

    Contoh tes IFA untuk antibodi ehrlichia .

    Ehrlichiae adalah obligat intraseluler

    rickettsiae, penyebab penyakit seperti

    Rocky Mountain Spotted Fever.

    H. Immunoprecipitasi

    Imunopresipitasi merupakan metode dimana protein antigen dipresipitasikan dalam larutan

    menggunakan antibodi spesifik yang berikatan dengan protein antigen tersebut. Metode ini

    dapat digunakan ketika isolasi dan pemadatan protein spesifik pada bahan pemeriksaan

    terdiri dari berbagai macam protein dan tidak sejenis. Antibodi harus dilekatkan pada fase

    padat pada saat yang sama pada teknik pemeriksaan.

    J. Immunoblot

    Immunoblot disebut juga dengan Western Blot adalah suatu metoda analisa. Mendeteksi

    protein tertentu yang terdapat pada sampel ekstrak atau jaringan. Pada teknik imunoblot,

    protein didenaturasi, rantai panjang polipeptida atau struktrur tiga dimensi protein dengan

    elektroforesis. Setelah protein dipindahkan ke dalam membrane nitroselulosa, protein

  • dideteksi dengan penambahan antibodi. Setiap protein akan berikatan dengan antibodi yang

    digunakan untuk mendeteksi adanya antigen. Sebuah indicator spesifik digunakan untuk

    melabel antibodi yang akan menimbulkan warna setelah bereaksi dengan streptavidin.

    K. Pemeriksaan biologi molecular

    Misalnya : PAGE atau SDS PAGE (sodium dodecyl sulfate poliacrylamide gel electrophoresis)

    adalah metode yang biasanya digunakan untuk biokimia, forensik, genetik dan biologi

    molekular. Metode ini menggunakan teknik pemisahan protein berdasarkan kemampuan

    pergerakan molekul dalam elektroforesis

    L. Teknik pemeriksaan lainnya

    Protein sequencing dan X-ray crystallography digunakan untuk analisis protein virus.

    Sedangkan teknik Agarose gels, restriction analysis, sequencing, southern blot, northern

    blot, PCR atau RT-PCR biasanya digunakan untuk analisa genom virus.

    Diposkan oleh Mursalim Achmad di 20.27

    Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

    Reaksi:

    Tidak ada komentar:

    Poskan Komentar

    Link ke posting ini

    Buat sebuah Link

    Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

    Langganan: Poskan Komentar (Atom)

    Iklan berlangganan

    Apple Google Microsoft

    didukung oleh

  • Pengikut

    Arsip Blog

    2013 (41)

    April (6)

    Apr 26 (1)

    Apr 15 (1)

    Apr 02 (4)

    Maret (8)

    Mar 28 (4)

    Mar 26 (1)

    Mar 25 (1)

    Mar 24 (2)

    Februari (22)

    Feb 25 (2)

    Feb 22 (2)

    Feb 17 (16)

    Feb 10 (2)

    Januari (5)

    Jan 28 (3)

    Jan 24 (1)

    Jan 20 (1)

    2012 (22)

    November (5)

    Nov 13 (5)

    Oktober (1)

  • Okt 06 (1)

    September (7)

    Sep 29 (3)

    Sep 22 (4)

    Agustus (1)

    Agu 25 (1)

    Juni (2)

    Jun 03 (2)

    Mei (2)

    Mei 27 (2)

    Februari (4)

    Feb 13 (2)

    Feb 12 (2)

    2011 (10)

    Desember (1)

    Des 11 (1)

    Juni (3)

    Jun 11 (3)

    Februari (1)

    Feb 16 (1)

    Januari (5)

    Jan 26 (3)

    Jan 05 (2)

    2010 (9)

    Desember (6)

    Des 20 (6)

  • PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH UNTUK JURNAL

    Isolasi dan identifikasi bakteri

    Imunodiagnostik dan Serologi Pada Infeksi Mikroba

    Pewarnaan Bakteri

    Penuntun Pemeriksaaan Bakteriologis ISK (urogenita...

    bakteriologi

    Agustus (1)

    Agu 04 (1)

    Juli (2)

    Jul 21 (2)

    2009 (20)

    Juli (2)

    Jul 25 (1)

    Jul 08 (1)

    Juni (18)

    Jun 27 (1)

    Jun 22 (1)

    Jun 21 (16)

    Mengenai Saya

    Mursalim Achmad

    Sungguminasa, Sulawesi Selatan, Indonesia

  • Nama saya : Mursalim Dg Masselekang S.Pd.M.Kes. Lahir di Gowa SulSel tanggal 16 September

    1968. Sekolah SD di SD Negeri ParangloE dan Lanjut di SMP Negeri ParangloE Gowa

    kemudian lanjut ke Sekolah Menengah Analis Kesehatan Depkes Makassar tahun1984.

    Kemudian Lanjut di PT Universitas Muhammadiyah Palu FISIP JURUSAN sosioloGI Thn 1988.

    dan AAK Depkes Bandung Tahun 1993,Lanjut ke FMIPA Universitas Negeri Makassar Jurusan

    Pendidikan Kimia 2000 dan Pascasarjana Universitas Hasanuddin Prodi BIOMEDIK

    Konsentrasi Mikrobiologi Tahun 2004. Pekerjaan : Kepala Laboratorium Kesehatan RS Jiwa

    Palu tahun 1987 s/d 1999, Guru SMAK depkes Makassar tahun 1999 s/d 2004, Ketua

    Program Analis SMK Kesehatan Megarezky Makassar Tahun 2005 S/d 2009,Dosen Poltekkes

    Makassar Jurusan Analis Tahun 2004 S/D sekarang