Top Banner
INDONESIA: KETEGANGAN ANTAR AGAMA DI PAPUA Asia Report N°154 – 16 June 2008
39

154 Indonesia Communal Tensions in Papua Indonesian

Nov 24, 2015

Download

Documents

asd
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • INDONESIA: KETEGANGAN ANTAR AGAMA DI PAPUA

    Asia Report N154 16 June 2008

  • DAFTAR ISI

    RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI.............................................................. i I. PENDAHULUAN.............................................................................................................. 1 II. MANOKWARI .................................................................................................................. 3

    A. MESJID RAYA ...............................................................................................................................3 B. RANCANGAN PERATURAN DAERAH (RAPERDA) ...........................................................................5 C. REAKSI MUSLIM ...........................................................................................................................7

    III. KAIMANA ......................................................................................................................... 9 A. KETEGANGAN KARENA KONSER DAN POHON NATAL....................................................................9 B. PENGARUH ALIRAN AGAMA BARU..............................................................................................10

    IV. KEGADUHAN MENGENAI KAMPUS MUSLIM DI JAYAPURA......................... 12 V. MENJELASKAN KETEGANGAN: DEMOGRAFI................................................... 13

    A. PERTUMBUHAN ISLAM ................................................................................................................13 B. ISLAMISASI DAN MIGRASI .......................................................................................................14

    VI. IMBAS KONFLIK MALUKU....................................................................................... 16 A. EUPHORIA PASKA SOEHARTO .....................................................................................................16 B. KONFLIK MALUKU DATANG KE PAPUA ......................................................................................18

    VII. KELOMPOK ISLAM DAN KRISTEN BARU ......................................................... 19 A. HIZB UT-TAHRIR.........................................................................................................................19 B. SALAFI DI PAPUA ........................................................................................................................21 C. JEMAAH TABLIGH .......................................................................................................................21 D. PANTEKOSTA DAN KHARISMATIK ...............................................................................................22

    VIII. KESADARAN BARU SOAL SEJARAH ................................................................... 25 IX. MEREDAM KETEGANGAN?...................................................................................... 26

    A. REKOMENDASI-REKOMENDASI DARI MAJELIS MUSLIM PAPUA...................................................26 B. INSTITUSI-INSTITUSI LAIN...........................................................................................................26

    X. KESIMPULAN ................................................................................................................ 28 LAMPIRAN

    A. PETA INDONESIA ........................................................................................................................29 B. PETA PAPUA...............................................................................................................................30 C. TENTANG INTERNATIONAL CRISIS GROUP..................................................................................31 D. LAPORAN DAN BRIEFING CRISIS GROUP UNTUK ASIA SEJAK 2005 .............................................32 E. CRISIS GROUP BOARD OF TRUSTEES ..........................................................................................34

  • Asia Report N154 16 Juni 2008

    INDONESIA : KETEGANGAN ANTAR AGAMA DI PAPUA

    RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI

    Di Papua, Indonesia, bentrokan antara pendukung gerakan pro-kemerdekaan dengan aparat keamanan kerap terjadi. Namun, konflik antara umat beragama yaitu umat Islam dan Kristen juga bisa terjadi bila tak ditangani secara efektif. Pada 2007 kekerasan yang nyaris terjadi dapat dihindari di Manokwari dan Kaimana di propinsi Papua Barat. Tapi, tetap saja ketegangan itu menyisakan perasaan sakit hari di kedua belah pihak. Penyebab utamanya yaitu perpindahan penduduk Muslim dari daerah lain di Indonesia ke Papua yang terus berlangsung; munculnya kelompok-kelompok baru yang bersifat eksklusif di masyarakat Islam maupun Kristen yang telah memperkuat persepsi bahwa agama yang lain adalah musuh; dampak yang tidak hilang-hilang dari konflik Maluku; dan pengaruh dari perkembangan di luar Papua. Pemerintah daerah maupun pusat perlu memastikan bahwa tidak ada peraturan daerah yang diskriminatif yang dijadikan undang-undang dan tidak ada kegiatan oleh organisasi agama yang eksklusif yang dibantu oleh dana pemerintah.

    Peristiwa Manokwari, yang terjadi dalam selang waktu lebih dari dua tahun, memperlihatkan beberapa perubahan-perubahan tersebut. Dimulai pada tahun 2005, ketika masyarakat Kristen menggalang massa untuk mencegah dibangunnya sebuah Islamic Centre dan mesjid di daerah dimana misionaris Jerman membawa agama Kristen masuk ke Papua pada pertengahan abad kesembilanbelas. Kemarahan masyarakat Muslim merembet hingga keluar Papua; banyak warga Muslim di Indonesia, yang baru mengetahui tentang sejarah pedagang Muslim di daerah tersebut, melihat Islam sebagai agama asli penduduk Papua dan menganggap penolakan pembangunan mesjid disitu sebagai hal yang tidak dapat ditolerir. Para pemuka gereja setempat demi melihat reaksi tersebut percaya bahwa mereka harus memperkuat identitas Kristen Manokwari, sehingga pada tahun 2007 membuat rancangan peraturan ke DPRD yang menanamkan nilai-nilai dan simbol-simbol Kristen ke dalam pemerintah daerah dan mendiskriminasikan Muslim dalam prosesnya. Rancangan peraturan tersebut hingga saat ini akhirnya

    tidak pernah diundangkan tetapi telah memicu kemarahan diantara masyarakat Muslim di seluruh Indonesia dan semakin menambah perasaan terancam di kedua belah pihak. Masih perlu dilihat bagaimana tanggapan terhadap rancangan undang-undang baru yang baru mulai diedarkan akhir bulan Mei 2008.

    Namun tidak di Manokwari saja yang masyarakatnya merasa terancam. Banyak penduduk asli Kristen yang merasa bahwa mereka secara perlahan tapi pasti bakal tersingkir terancam oleh banjir migrant Muslim ke Papua, pada saat yang sama pemerintah pusat dipandang mendukung terhadap Islam yang lebih konservatif. Sementara itu, beberapa pendatang percaya bahwa mereka menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran dalam sebuah sistem demokratis dimana warga Kristen bisa melakukan tirani kelompok mayoritas. Perpecahan antar agama ini diwarnai oleh politik: Banyak warga Papua Kristen yang menganggap otonomi daerah belum berjalan cukup jauh, sementara banyak pendatang Muslim yang melihat otonomi daerah sebagai sebuah bencana dan menjadi pendukung kekuasaan terpusat dari Jakarta.

    Di beberapa daerah, ketegangan yang terpendam selama ini dikendalikan dengan memasang bupati asal Papua yang beragama Kristen dengan wakil bupati dari luar Papua yang beragama Muslim, dan kekuasaan politik dan ekonominya dibagi sesuai dengan komposisi tersebut. Pengaturan ini mungkin bisa berjalan di wilayah seperti Merauke, dimana populasi pendatangnya sudah lebih dari 50 persen, tetapi hal ini bukan jalan keluar bagi daerah yang penduduk mayoritasnya merasa terancam.

    Didaerah dimana resiko konfliknya tinggi, penduduk asli Papua Muslim, yang sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Kepala Burung di bagian barat laut pulau Papua, bisa memainkan peran untuk menjembatani kedua belah pihak, terutama lewat sebuah organisasi baru bernama Majelis Muslim Papua. Organisasi ini secara tegas bertekad untuk menerapkan nilai-nilai Islam yang universal dan juga sangat berakar pada budaya dan tradisi Papua. Mereka memiliki kemampuan yang terbukti untuk meredakan ketegangan antar

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page ii

    agama, bekerja sama dengan rekan Kristen mereka. Tetapi masyarakat asli Muslim pun sedang terpecah, karena semakin banyak warga yang memiliki kesempatan untuk belajar tentang Islam ke luar Papua dan pulang dengan pandangan-pandangan yang bertentangan dengan kebiasaan dan tradisi asli. Akan menjadi kepentingan banyak pihak untuk mendukung sebuah jaringan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri di Papua yang bisa menghasilkan ulama-ulama dari warga asli dan mendorong karakteristik moderat yang sudah lama dianut oleh Muslim Papua.

    Ada beberapa mekanisme yang bisa dipakai untuk melakukan dialog antar para pemuka agama di Papua, termasuk kelompok kerja (Pokja) bidang agama Majelis Rakyat Papua, yaitu sebuah lembaga yang dibentuk untuk melestarikan hak dan tradisi warga Papua, tapi mereka tidak punya dampak ke akar rumput. Yang lebih efektif mungkin lewat program-program yang dirancang untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah rawan konflik dan menyusun program-program non-agama yang bisa memberi manfaat bagi kedua masyarakat.

    REKOMENDASI-REKOMENDASI KEPADA:

    Pemerintah Pusat:

    1. Hindari mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki agenda politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak.

    2. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit yang seringkali tidak efektif.

    3. Bekerja sama dengan pemerintah propinsi untuk mendukung STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) di Jayapura dan memfasilitasi hubungan

    yang dekat dengan UIN (Universitas Islam Negri) di Jakarta untuk memastikan bahwa Papua mengembangkan ulama-ulama dan para guru dari daerahnya sendiri yang mampu menafsirkan nilai-nilai Islam yang universal dengan cara-cara yang lebih harmonis daripada bertentangan dengan adat dan tradisi Papua.

    Pemerintah Daerah:

    4. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara independen, dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah di situs-situs atau di dokumen publik.

    5. Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain.

    6. Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah administratif lebih lanjut.

    7. Menolak peraturan daerah yang diskriminatif. 8. Bekerja sama dengan para donor untuk

    mengidentifikasi daerah-daerah yang rawan konflik dimana konflik mungkin bisa diredakan dengan proyek-proyek non-agama yang melibatkan kerjasama untuk keuntungan bersama bagi seluruh masyarakat.

    Para Donor:

    9. Mendukung pelatihan resolusi-konflik bagi organisasi-organisasi yang berbasis di Papua, termasuk Majelis Muslim Papua dan kelompok kerja bidang agama Majelis Rakyat Papua.

    Jakarta/Brussels, 16 Juni 2008

  • Asia Report N154 16 Juni 2008

    INDONESIA: KETEGANGAN ANTAR AGAMA DI PAPUA

    I. PENDAHULUAN

    Hubungan antara Muslim dan Kristen di Papua saat ini sedang tegang dan kemungkinan memburuk karena faktor demografi, dakwah yang agresif oleh elemen-elemen garis keras dari kedua belah pihak, politisasi sejarah agama dan perkembangan di luar Papua yang memperkuat persepsi bahwa agama lain adalah musuh. Dua kali di tahun 2007, satu di Manokwari, satu lagi di Kaimana, konflik antar agama hampir menjelma menjadi kekerasan di wilayah Kepala Burung di bagian barat laut pulau Papua Nugini. Walaupun pertempuran fisik yang nyaris terjadi berhasil dihindarkan, bentrokan lain semacam itu mungkin bisa terjadi, terutama dimana ketegangan antar agama menjadi tersangkut dalam pertikaian politik setempat. Ada mediator yang bisa dimanfaatkan, yaitu Majelis Muslim Papua (MMP), sebuah organisai orang Muslim asli Papua yang memiliki hubungan baik dengan pendatang Muslim dan penduduk asli Kristen. Dengan memperkuat lembaga ini mungkin bisa membantu mencegah terjadinya konflik terbuka, namun demikian menangani sumber perselisihan yang mendasari mungkin akan lebih berat.

    Masalah yang paling besar yaitu demografi: proporsi jumlah penduduk Muslim semakin bertambah, dan sebagian besar adalah pendatang dari daerah lain di Indonesia.1 Statistik resmi dari pemerintah memperlihatkan trend ini, tetapi hanya sedikit yang

    1 Untuk analisa sebelumnya mengenai Papua, lihat Crisis Group Asia Briefings N66, Indonesian Papua: A Local Perspective on the Conflict (Papua: Perspektif Lokal atas Konflik), 19 Juli 2007; dan N53, Papua: Answers to Frequently Asked Questions (Papua: Jawaban untuk Pertanyaan yang Sering Ditanyakan), 5 September 2006; N47, Papua: The Dangers of Shutting Down Dialogue (Papua: Bahaya yang Dapat Timbul Jika Menghentikan Dialog), 23 Maret 2006; N24, Dividing Papua: How Not To Do It, 9 April 2003; dan Asia Reports N39, Indonesia: Resources and Conflict in Papua (Indonesia: Sumberdaya dan Konflik di Papua), 13 September 2002; dan N23, Ending Repression in Irian Jaya, 20 September 2001.

    mempercayai angka tersebut. Pemimpin gereja menilai bahwa jumlah Muslim sengaja dihitung lebih sedikit dari yang sebenarnya, supaya tidak menimbulkan kekhawatiran. Sementara itu sejumlah Muslim menuduh pemerintah menggabung jumlah penganut animisme dengan Protestan untuk mengingkari posisi Islam yang sebenarnya sebagai agama yang dominan. Kedua belah pihak percaya, namun dengan alasan yang berbeda, bahwa kemungkinan sebenarnya jumlah penduduk Muslim sudah melebihi Protestan, yang mana berdasarkan statistik jumlahnya sekitar 50 sampai 60 persen dari jumlah total penduduk Papua. Bagi banyak penduduk Kristen, hal ini menjadi bukti kebijakan Islamisasi dan Nonpapuanisasi pemerintah yang terencana untuk menjadikan mereka sebagai minoritas di tanah mereka sendiri; bagi sejumlah Muslim, hal ini memperlihatkan kebutuhan untuk berkonsentrasi mendapatkan pengaruh yang sesuai dengan jumlah mereka.

    Ketegangan diperburuk dengan kecenderungan pendatang Muslim yang sangat mengaitkan diri dengan pemerintah pusat dan menganggap penduduk Kristen sebagai separatis, sementara itu banyak penduduk asli Kristen dan pemimpin gereja yang cenderung untuk mengaitkan diri dengan nasionalisme Papua begitu juga dengan banyak dari penduduk asli yang Muslim. Hubungan ras dan etnis yang saling berkaitan dengan agama di Papua semakin mempersulit penanganan konflik.

    Selain itu, datangnya elemen baru yang lebih militan dari kedua agama di Papua selama sepuluh tahun belakangan, yang mengakibatkan ketegangan inter dan antar agama, semakin memperburuk keadaan. Di pihak Muslim, Hizb ut-Tahrir2 dan Muslim salafi memberi tampilan keagamaan yang lebih keras kepada Islam yang selama ini lebih dipengaruhi oleh dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, keduanya cukup moderat. Di pihak Kristen, kelompok pantekosta baru dan karismatik menyerukan kebenaran mereka sebagai

    2 Di Indonesia cara pengejaan organisasi ini yaitu Hizbut Tahrir.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 2

    satu-satunya kebenaran dan melihat ekspansi dakwah pihak Muslim sebagai tantangan terbesar bagi mereka.

    Selain itu, di seluruh Indonesia kelompok-kelompok Muslim secara antusias mempelajari sejarah Islam di Papua, menyebut Papua dengan nama Nu Waar, yaitu sebutan yang diberikan oleh para pedagang dari Arab. Meskipun penduduk Kristen sudah lama menerima bahwa agama Kristen masuk ke Papua tahun 1855, yaitu ketika dua orang Jerman Protestan tiba di Manokwari, Muslim diluar Papua baru-baru ini baru mengetahui bahwa Islam sudah masuk ke Papua beberapa abad sebelumnya dan pengetahuan ini dipakai untuk menambah rasa keberhakan terhadap tanah dan kekuasaan, terutama di sepanjang pesisir barat.3

    Yang terakhir, kedua masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan yang berlangsung di luar Papua. Masa paling buruk untuk hubungan antar agama baru-baru ini adalah tahun 1999-2002, ketika euphoria politik paska Soeharto dan pengorganisiran gerakan pro-independen di Papua bersamaan dengan meletusnya konflik antar agama di Maluku, arah barat Papua. Laskar Jihad, milisi Muslim yang dibekingi TNI dan bertekad untuk memerangi separatis Kristen di Maluku, tiba di Papua pada saat pasukan pro-Jakarta, yang merekrut banyak pendatang, sedang berusaha memadamkan demonstrasi Papua merdeka yang bermunculan di seluruh Papua. Lebih dari sebelumnya, para pendatang Muslim diasosiasikan dengan pemerintah dan menjadi sasaran kemarahan penduduk asli.

    Saat ini, aksi penyerangan terhadap gereja di daerah-daerah lain di Indonesia dan persepsi bahwa pemerintah pusat sedang bergerak menuju sebuah Islam yang monokultur, telah memperdalam perasaan terancam di kalangan penduduk Papua Kristen, menambah ketakutan bahwa mereka akan dipinggirkan, dan membuat mereka menjadi ingin menunjukkan bahwa mereka adalah Papua Kristen. Dalam konteks inilah ketegangan di Manokwari dan Kaimana hampir meletus tahun 2007 kemarin, dan membuat kemungkinan meletusnya konflik di masa depan menjadi lebih nyata. Dan dalam konteks ini pula konflik lain yang mungkin terjadi sedang mendidih.

    Kekerasan, jika itu terjadi, kemungkinan akan terjadi tidak secara menyeluruh; kerusuhan di Manokwari tidak berarti akan menyebar hingga ke Merauke. Selain itu, meskipun persoalan yang mendasari terjadi di seluruh Papua, daerah-daerah yang rawan konflik hanya di beberapa daerah yang sebagian besar terpusat di daerah perkotaan Papua Barat, dimana

    3 Tuan Rumah Menjadi Tamu, Suara Hidayatullah, Juli 2005, hal. 53.

    jumlah Muslim dan Kristen lebih seimbang dari pada di pedalaman. Tetapi ketegangan yang meningkat bisa membawa akibat lain. Ketidaksenangan dengan cara pemerintah lokal menangani persoalan agama dapat memperkuat sentimen separatis di beberapa daerah atau di lain pihak mendorong untuk minta bantuan kepada elemen radikal dari luar Papua.

    Laporan ini berdasarkan sejumlah wawancara yang lengkap dan menyeluruh di Manokwari, Sorong, Kaimana dan Jayapura pada bulan Februari, Maret dan April 2008. Laporan ini mengkaji perkembangan di dua wilayah yang hampir terjadi konflik dan meningkatnya ketegangan.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 3

    II. MANOKWARI

    Manokwari, yaitu sebuah kabupaten yang terletak di bagian ujung timur laut dari wilayah Kepala Burung, adalah tempat masuknya agama Kristen di Papua pada tangal 5 Februari 1855.4 Dua misionaris Jerman, Carl Ottow dan Johan Gottleib Geissler, menginjakkan kaki mereka pertama kali di pulau Mansinam, di pesisir Manokwari, dan menyatakan wilayah ini sebagai tanah suci. Sejak itu, Manokwari secara tidak resmi dikenal sebagai Kota Injil, dan belakangan setiap tahun diadakan perayaan untuk memperingati peristiwa itu. Sebuah persengketaan atas pembangunan sebuah mesjid di Manokwari dan upaya pihak Kristen selanjutnya untuk merancang sebuah peraturan daerah yang akan menanamkan nilai-nilai Kristen dalam kehidupan masyarakat mendorong terjadinya perpecahan yang belum pernah terjadi antara kedua belah pihak masyarakat. Meskipun akibatnya peraturan tersebut kelihatannya menjadi ditangguhkan, sebuah draft baru tiba-tiba muncul pada akhir bulan Mei 2008 yang mengancam akan menyulut ketegangan.

    A. MESJID RAYA

    Pada akhir tahun 2005, penduduk Muslim setempat memutuskan untuk membangun sebuah Mesjid Raya dan Islamic Centre di Manokwari, di sebuah tanah seluas empat hektar. Kompleks mesjid dan Islamic Center yang diusulkan ini jauh lebih besar dari gereja manapun di daerah itu. Kemudian merebak isu di masyarakat Kristen bahwa Islamic Center ini akan menjadi Islamic Center yang terbesar di Asia Tenggara, dan bahwa Muslim punya agenda tersembunyi untuk mengubah Manokwari menjadi kota Muslim.5 Bagi para pemimpin gereja, keputusan untuk membangun Islamic Center adalah tidak bijaksana dan yang paling buruk sangat menyinggung status Manokwari sebagai Kota Injil. Mereka tidak percaya bahwa yang akan menjadi gedung terbesar di daerahnya adalah sebuah mesjid. Mereka mengatakan hal itu akan seperti membangun gereja paling besar di

    4 Tatanama administratif agak membingungkan di Papua. Di daerah lain di Indonesia, district biasanya diterjemahkan sebagai kabupaten, dan unit dibawahnya yaitu subdistrict (kecamatan). Tapi di Papua, unit dibawahnya itu dikenal sebagai distrik. Untuk menghindari kebingungan, istilah kabupaten yang dipakai di laporan ini, bukan terjemahan bahasa Inggris langsungnya. 5 Wawancara Crisis Group, aktivis gereja, Manokwari, Februari 2008. Juga lihat Binsar A. Hutabarat, Kontroversi Perihal Perda Manokwari Kota Injil, makalah yang tidak dipublikasikan, 2007.

    wilayah Aceh yang sangat Islami. Dan mengapa, tanya mereka, Muslim membutuhkan sebuah mesjid besar padahal mereka sudah punya banyak tempat ibadah?6

    Sementara penduduk Kristen mencurigai bahwa rencana pembangunan mesjid ini sudah dibicarakan secara rahasia sejak beberapa tahun yang lalu. Sebenarnya gagasan ini baru muncul sekitar September 2005, pada saat para politikus lokal sedang bersiap-siap untuk pemilihan langsung yang pertama kali untuk posisi gubernur Irian Jaya Barat, yang rencananya akan diselenggarakan pada bulan Maret 2006. Salah seorang kandidat wakil gubernur, Rahimin Kacong, sedang mencari dukungan dari pemilih Muslim dan mengusulkan pembangunan Islamic Center. Gagasan ini disambut hangat, dan Kacong menjadi ketua panitia pembangunan mesjid, dan mulai mencari donatur-donatur pribadi.7 Untuk memfasilitasi para penyumbang, panitia mengusulkan sebuah sistem wakaf per meter, yaitu: para penyumbang bisa membeli tanah seluas satu atau dua meter persegi, kemudian menyumbangkannya sebagai wakaf untuk mesjid. Penduduk Muslim setempat menanggapi dengan sangat antusias dan dalam hitungan dua minggu, panitia telah berhasil menggalang dana sebesar Rp 500 juta termasuk sumbangan sebesar lebih dari Rp 100 juta dari satu buah masjid sehabis shalat Jumat.8

    Tetapi rencana pembangunan Islamic Center menghadapi masalah. Pada tanggal 4 Oktober 2005, panitia menyerahkan sebuah permohonan resmi kepada bupati, meminta ijin untuk membangun mesjid. Prosedur ini sesuai dengan Dekrit Dua Menteri tahun 1969 dari Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menyatakan untuk membangun tempat ibadah perlu persetujuan kepala daerah atau pejabat pemerintahan dibawahnya yang dikuasakan untuk itu.9 Sebelum jawaban diterima

    6 Wawancara Crisis Group, aktivis gereja, Manokwari, Februari 2008. 7 Wawancara Crisis Group, Tim Sukses Yoris, dikonfirmasi oleh panitia pembangunan Mesjid Raya, Februari-Maret 2008. 8 Wawancara Crisis Group, oleh panitia pembangunan mesjid, Manokwari, Februari 2008. 9 Pada saat itu, sebuah perdebatan sengit terjadi di seluruh Indonesia mengenai usulan revisi terhadap SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 01/BER/MDN/ MAG/1969. Sebagian besar pemimpin Kristen ingin SKB itu dicabut, bukan direvisi, karena selama ini dipakai sebagai dasar untuk melakukan penyerangan-penyerangan terhadap gereja, terutama di Jawa Barat, oleh kelompok Muslim setempat yang mengklaim bahwa persetujuan dari masyarakat yang harus diperoleh sebelumnya belum pernah diberikan. Tahun 2006, SKB ini direvisi sedemikian yang tidak

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 4

    tapi yakin jawabannya akan positif panitia menjadwalkan sebuah upacara peletakan batu pertama kali pada tanggal 21 Oktober. Beberapa hari menjelang upacara, penduduk Manokwari Kristen mulai mengadakan aksi protes, dan spanduk-spanduk berisi penolakan terhadap pembangunan mesjid bermunculan di seluruh kota.

    Pada tanggal 19 Oktober, pemimpin gereja, melalui Badan Kerjasama Antar Gereja Kabupaten Manokwari (BKAG), mengeluarkan sebuah pernyataan bersama keprihatinan yang mendalam atas pendirian pemerintah yang diskriminatif dan tidak adil terhadap perkembangan agama Kristen di Indonesia. Mereka mengutip 991 aksi penyerangan terhadap gereja-gereja di seluruh Indonesia sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1949 hingga hari ini; pola intimidasi terhadap Kristen dan penyerangan terhadap para pendeta dan gereja-gereja; kerugian material yang dialami gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen; trauma yang diderita oleh warga Kristen di wilayah konflik seperti di Ambon dan Poso; dan diskriminasi hukum lewat SKB Dua Menteri. Kedatangan Injil pada tanggal 5 Februari 1855 di pulau Mansinam, tutur pernyataan bersama tersebut menjadi tonggak sejarah dimulainya peradaban baru di tanah Papua, membuka sebuah tabir gelap dan menanamkan keyakinan lewat pengorbanan dan kemartiran para misionaris.10

    Kemajuan, perkembangan dan integrasi Irian Barat ke Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran gereja, lanjut pernyataan tersebut, dan hanya gereja, lewat prinsip damainya, yang telah mampu menyelesaikan konflik politik di Papua. Manokwari adalah sebuah kota bersejarah dimana agama Kristen pertama kali tiba di Papua, dan statusnya perlu dilestarikan dan dihormati oleh semua masyarakat agama dan etnis. Karena itu, tutup pernyataan tersebut, para pemimpin gereja dan masyarakat Kristen di Manokwari menolak rencana pembangunan Mesjid Raya.11 Ironisnya, mereka mengutip SKB yang sama yang mereka sesalkan dalam pernyataan mereka sebagai landasan hukum penolakan mereka.

    Di hari yang sama, bupati Manokwari, Dominggus Mandacan, menulis kepada panitia pembangunan mesjid, menolak ijin pembangunan dan menyebutkan

    membuat senang siapapun, yaitu persetujuan masyarakat setempat masih diperlukan, tapi lewat sebuah panitia antar agama yang terdiri dari perwakilan yang proporsional dari setiap agama yang dianut dalam lingkungan masyarakat tersebut. 10 Pernyataan Bersama Pemimpin dan Tokoh Serta Umat Kristen di Kabupaten Manokwari, 19 Oktober 2005. 11 Ibid.

    keberatan pemimpin gereja dan merekomendasikan panitia untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan mereka.12 Namun ternyata surat tersebut belum cukup bagi para penduduk Kristen Manokwari. Sebulan kemudian, pada tanggal 17 November, ribuan orang yang mewakili 30 aliran gereja, melakukan protes di jalanan terhadap pembangunan Mesjid Raya. Pendeta Herman Awom, seorang anggota Dewan Presidium Papua yang pro-kemerdekaan yang saat itu juga menjadi wakil ketua Sinode GKI (Gereja Kristen Indonesia) ikut dalam aksi protes. Mereka menuntut DPRD segera mengeluarkan sebuah peraturan daerah yang secara resmi menyatakan Manokwari sebagai Kota Injil.13

    Demonstrasi yang sejenis juga berlangsung di Jayapura, dimana sekitar 100 orang, sebagian besar mahasiswa, yang menyebut diri mereka sebagai Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Kristen di Tanah Papua berunjuk rasa mendukung mereka yang menolak pembangunan Mesjid Raya. Aksi demonstrasi tersebut hampir menjadi aksi kekerasan, ketika para peserta marah karena di wilayah Kotaraja polisi berusaha menghentikan mereka, dan para peserta mengancam akan membakar mesjid kalau tidak dibolehkan melanjutkan aksi unjuk rasa mereka.14 Para mahasiswa mengeluarkan pernyataan menolak Mesjid Raya; menuntut pemerintah daerah untuk melindungi aset Kristen dan mendukung sekolah Kristen; dan menuntut pemerintah daerah untuk memberi perlindungan dari semua ancaman secara sengaja atau tidak sengaja yang diciptakan oleh kelompok tertentu dan mengesahkan sebuah peraturan daerah yang melindungi penduduk asli Papua dari para pendatang.15

    Sebagian besar Muslim sangat marah dengan tindakan umat Kristen tersebut; beberapa mengancam untuk melancarkan jihad. Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusaha mencari jalan tengah. Dalam surat tertanggal 30 November ke Majelis Rakyat Papua, sebuah lembaga yang dibentuk untuk melindungi hak-hak dan budaya asli rakyat Papua, mereka mengatakan bahwa Manokwari sudah dikenal sebagai ibukota propinsi baru Irian Jaya Barat, nama Papua Barat sebelumnya. Surat itu melanjutkan bahwa pembangunan Mesjid Raya sejalan dengan

    12 Surat no 450/1040 dengan kop surat Bupati Manokwari, 19 Oktober 2005. 13 Ribuan Massa Demo Damai di DPRD IJB, Cenderawasih Pos, 18 November 2005. 14 Wawancara Crisis Group dengan dua wartawan yang meliput demonstrasi tsb, Jayapura, Februari 2008. 15 Di Jayapura Pendemo Mendatangi MRP, Cenderawasih Pos, 18 November 2005.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 5

    keputusan menteri agama tahun 2004 yang menetapkan bahwa harus ada sebuah Mesjid Raya di setiap ibukota propinsi. Biasanya hal ini ditetapkan oleh gubernur dan kantor urusan agama tingkat propinsi. Tapi karena di Manokwari belum ada, maka sudah cukup yang menolak ijin adalah bupati.

    Meskipun begitu, karena ibukota propinsi seharusnya dapat mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok sosial, dan MUI-Papua mengakui status kota Manokwari sebagai tempat lahirnya agama Kristen di Papua, jalan keluarnya yaitu dengan memindahkan ibukota propinsi ke Sorong.16 Tetapi hal ini tidak realistis, dan kemarahan masyarakat masih tetap tinggi.

    Pendapat Muslim yang menganggap tidak ada yang salah dengan mendirikan sebuah Islamic Center yang besar di tempat lahirnya agama Kristen di Papua terkait dengan pengetahuan baru bahwa Islam telah berakar di Papua jauh sebelum kedatangan misionaris. Dipopulerkan oleh sebuah buku, Islam atau Kristen Agama Orang Papua?, yang ditulis oleh Ali Athwa, seorang wartawan dari majalah Suara Hidayatullah, fakta-fakta yang dikemukakan bukanlah hal baru, tapi untuk pertama kali, gagasan bahwa Islam adalah agama terbesar pertama di Papua mendapat banyak pendengar di seluruh Indonesia. Menanggapi larangan terhadap pembangunan Mesjid Raya, seorang pemimpin Muslim di Manokwari berkata dengan marah,Islam agama asli Papua, Kristen hanya tamu; punya hak apa tamu melarang tuan rumah?17

    Banyak hadits yang menyatakan bahwa membangun mesjid rumah Allah adalah amal yang utama. Allah menganggap hal itu sebagai amal jariah, sebuah perbuatan yang pahalanya akan terus mengalir walaupun si pemberi sedekah telah wafat, karena selama Muslim beribadah di mesjid, yang membangunnya akan terus mendapat pahala. Pembangunan mesjid juga berhubungan dengan status sosial, yang melambangkan kekayaan dan kesalehan. Konsep wakaf per meter tiba-tiba memungkinkan siapapun memperoleh status itu dan menjadi sumber kebanggaan yang amat sangat, terutama karena hasilnya bukan cuma sebuah rumah ibadah biasa tapi sebuah Mesjid Raya.

    Hampir setiap pendatang Muslim di Manokwari menyumbang. Kemudian, tiba-tiba, proyek itu dihentikan oleh umat Kristen, merampas para donor dari status yang sangat mereka harap-harapkan.

    16 Surat Majelis Ulama Indonesia Provinsi Papua No. 62/MUI-PAPUA/XI/2005, 30 November 2005. 17 Wawancara Crisis Group, pemimpin Muslim, Manokwari, Februari 2008.

    Setelah spanduk-spanduk yang menolak pembangunan mesjid muncul, sejumlah Muslim siap untuk menggunakan kekerasan untuk mempertahankan rencana mereka terhadap pembangunan mesjid, bahkan bersedia mati untuk itu, terutama karena menurut ajaran Islam, membela rumah Allah dari serangan musuh adalah bentuk jihad yang dibenarkan. Saya tidak pernah shalat lima waktu, saya sering berbuat dosa, kapan lagi saya punya kesempatan untuk masuk surga tanpa khawatir mengenai masa lalu saya? kata seorang Muslim setempat.18

    Kemarahan mereka hanya bisa diredakan setelah aparat keamanan, yang khawatir akan terjadi kekerasan, melobi pemimpin masyarakat Muslim. Pemerintah menjanjikan bahwa setelah pilkada, rencana pembangunan mesjid bisa diteruskan; dan Rahimin Kacong memanfaatkan hal ini sebagai janji kampanyenya. Sementara itu, kontroversi masalah ini menarik perhatian kelompok-kelompok jihadi di luar Papua. Tiga orang dari Jawa, yang menurut sebuah sumber di Manokwari digambarkan sebagai pengikut Abu Bakar Baasyir,19 tiba di Papua bulan Desember 2005, menawarkan bantuan ke masyarakat Muslim lewat seorang kontak disana jika konflik pecah. Mereka membuat daftar berisi 38 nama dan alamat para pendeta yang memimpin kampanye menolak pembangunan Mesjid Raya, tampaknya sebagai kemungkinan sasaran. Tapi penghubung mereka disana menolak bantuan yang ditawarkan, dan mereka segera kembali ke Jawa.20 Sekitar tiga minggu kemudian, sebuah delegasi jihadi dari Maluku menghubungi orang yang sama, juga menawarkan bantuan kalau terjadi konflik dan delegasi ini juga ditolak dengan sopan.21

    B. RANCANGAN PERATURAN DAERAH (RAPERDA)

    Bulan Februari 2006, GKI yang mengadakan rapat di Wamena, di pegunungan tengah Papua, membahas situasi di Manokwari dan sepakat bahwa sebuah peraturan daerah (perda) perlu diimplementasikan untuk mempertahankan status kota Manokwari sebagai Kota Injil. Namun pada saat yang sama, pilkada di Irian Jaya Barat terus berjalan. Pasangan Abraham Atururi dan Rahimin Kacong mengantongi 61.3

    18 Wawancara Crisis Group, pedagang di Pasar Sanggeng, Manokwari, Februari 2008. 19 Abu Bakar Baasyir memimpin organisasi teroris terbesar di Asia Tenggara, Jemaah Islamiyah, hingga penangkapannya di tahun 2002. 20 Wawancara Crisis Group, pemimpin Muslim, Manokwari, Februari 2008. 21 Ibid.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 6

    persen suara dan dilantik bulan Juli. Penduduk Muslim berharap bahwa Kacong akan memegang janjinya untuk mengijinkan pembangunan mesjid. Tetapi pemerintah daerah menyadari bahwa melanjutkan pembangunan padahal penduduk Kristen sangat menentang rencana itu akan membawa konflik yang lebih serius, sehingga pada akhirnya rencana pembangunan mesjid tetap terkatung-katung.

    Menjelang akhir tahun, mulai beredar isu di tengah-tengah masyarakat Kristen bahwa Laskar Jihad, milisi salafi yang mendatangkan kerusakan di Maluku dari tahun 2000 hingga 2002, sedang melakukan pelatihan militer di sebuah wilayah transmigrasi yang dikenal dengan nama Satuan Pemukiman (SP) 7 di Masmi, di luar Manokwari, dengan tujuan memerangi Kristen yang telah menentang pembangunan mesjid. Ketakutan masyarakat mereda setelah diketahui bahwa ternyata para pemuda yang terlibat, hampir seluruhnya pendatang, bukan anggota Laskar Jihad tapi anggota sebuah organisasi pencak silat yang tidak ada kaitannya dengan politik maupun agama.22

    Tapi untuk pihak Kristen, keberhasilan menghentikan pembangunan Mesjid Raya memberi perasaan berkuasa bagi pemimpin setempat, dan mereka mulai mendorong untuk melarang mesjid dan organisasi Muslim yang lain di daerah Manokwari. Pada 11 Desember 2006, lebih dari setahun kemudian, BKAG mengirim surat ke ketua Yayasan Islam al-Hidayah, menolak kehadiran yayasan ini di kabupaten Ransiki dan pembangunan sebuah mesjid dekat Abreso. Kalau Muslim mau sembahyang, katanya, mereka sebaiknya ikut dengan mesjid di kota Ransiki daripada membangun mesjid baru. Terima kasih, tutup surat tersebut, dan mudah-mudahan surat ini dapat diindahkan sebagai suatu toleransi antar umat beragama di distrik Ransiki.23

    Kemudian, tanggal 1-2 Februari 2007, para pemimpin gereja menyelenggarakan sebuah seminar bertema Menjadikan Mansinam dan Manokwari sebagai Kota Injil, di gereja Elim Kuali, Manokwari. Beberapa peserta seminar mengutarakan kekhawatiran mereka atas penyebaran agama Islam di Papua. Pendeta Phil Erari, seorang tokoh nasional, memperingatkan bahwa Manokwari, kota suci bagi Papua Kristen, sedang menghadapi nasib yang sama seperti Nazareth, Betlehem dan Capernaum. Betlehem yang merupakan tempat kelahiran Yesus sekarang dikuasai oleh Muslim, katanya. Pemerintah perlu mengambil

    22 Wawancara lewat telepon Crisis Group dengan aktivis Muslim, Manokwari, Mei 2008. 23 Pernyataan Sikap BKAJ distrik Oransbari, Ransiki, Womi Waren Tahota Izim dan Pulau Rumberpn, 11 Desember 2006.

    tindakan proaktif untuk mempertahankan Manokwari sebagai kota Kristen.24

    Pada tanggal 7 Maret, pemimpin gereja menguraikan kota yang mereka inginkan dalam sebuah rancangan perda berjudul Penyelenggaraan Pembinaan Mental dan Spiritual, yang lebih dikenal sebagai Perda Injil. Ide dasarnya adalah untuk menanamkan nilai-nilai Kristen di dalam masyarakat Manokwari, dan beberapa ketentuan mau tidak mau membawa kekhawatiran bagi masyarakat Muslim. Raperda ini mendefinisikan Injil sebagai kabar baik yang mengatakan bahwa kedatangan Yesus Kristus adalah permulaan dari pemerintahan Allah di bumi, memberi kehidupan baru bagi nilai-nilai kasih, perdamaian, persaudaraan, kesejahteraan, keadilan, persekutuan dan keterbukaan. Program pembinaan Spiritual akan didedikasikan untuk menyebarkan nilai-nilai tersebut. Pasal 25 dari Raperda itu berbunyi:

    Kegiatan pembinaan mental spiritual diselenggarakan dengan memperhatikan, nilai-nilai sejarah, budaya, adat istiadat dan kearifan local yang berlaku dalam masyarakat local, terutama mayoritas orang asli atau penduduk asli Papua yang menganut agama Kristen.

    Pasal 26 berbunyi pemerintah dapat memasang simbol agama di tempat umum dan perkantoran, karena agama Kristen adalah agama hampir seluruh warga asli Papua. Pasal 28 menetapkan hari Minggu sebagai hari ibadah, dimana seluruh kegiatan bisnis dilarang, setidaknya untuk setengah hari. Hal ini menyebabkan kekhawatiran yang luarbiasa karena pelabuhan Manokwari biasanya sangat sibuk pada hari Minggu. Kota Manokwari akan menjadi kota bebas maksiat: perjudian, prostitusi serta produksi dan distribusi minuman alkohol akan dilarang.

    Raperda ini juga berisi ketentuan-ketentuan yang kelihatannya merupakan tanggapan langsung terhadap ketakutan terhadap Islamisasi. Pasal 37 sebenarnya melarang perempuan mengenakan jilbab di tempat-tempat umum, sekolah dan kantor pemerintah, dengan melarang busana yang menonjolkan symbol keagamaan di daerah ini; jilbab tampaknya dianggap sebagai sebuah cara untuk menyebarluaskan agama.25 Pasal 30 mewajibkan tempat-tempat ibadah memperoleh ijin dari 150 tokoh adat dan individu di lingkungan terkait dan sebetulnya mencegah pembangunan

    24 Pdt. Karel Phil Erari, Mansinam dan Manokwari Kota Injil, kopi presentasi untuk Seminar tentang Menjadikan Mansinam dan Manokwari sebagai Kota Injil, 1-2 Februari 2007. 25 Binsar Hutabarat, op. cit.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 7

    mesjid di daerah yang penduduk aslinya sudah dilayani oleh gereja.

    Raperda tersebut segera dikecam oleh para pemimpin Muslim maupun Kristen. Para pemimpin Muslim lokal mengirim surat protes ke bupati. Tapi tidak seperti pertikaian Mesjid Raya yang hanya menjadi persoalan setempat, masalah raperda meluap menjadi persoalan nasional. Media-media muslim besar menggambarkan hal ini sebagai diskriminasi terhadap Islam dan memang betul.26 Pada tanggal 15 Maret 2007, organisasi Islam utama di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama mengeluarkan sebuah pernyataan yang menolak raperda tersebut. Hidayat Nur Wahid, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengatakan raperda ini dapat memecah belah Indonesia. Bahkan kota Roma tidak menyatakan dirinya sebagai Kota Injil, meskipun Roma adalah pusat agama Katolik, katanya.27 Organisasi garis keras Forum Umat Islam mengatakan raperda tersebut memperlihatkan sifat asli Kristen, yaitu kalau mereka kecil, mereka menuntut, dan kalau besar, mereka menindas. Dan mereka mengklaim bahwa raperda tersebut merupakan langkah awal untuk mengusir Muslim dari Papua.28

    Ketua KWI dan PGI juga menolak rancangan peraturan daerah tersebut. Keduanya mengatakan menolak peraturan daerah manapun yang berbasis agama, sebuah sindiran yang tidak terlalu ditutupi terhadap puluhan perda yang terinspirasi syariah Islam yang diadopsi oleh daerah-daerah mayoritas Muslim di Indonesia.29

    Pemerintah Manokwari kaget demi melihat protes yang bertubi-tubi. Sekretaris Daerah Propinsi mengatakan kepada wartawan bahwa raperda tersebut hanya merupakan sekumpulan saran dari pemimpin gereja dan tidak memiliki kekuatan hukum. Segala sesuatunya harus didiskusikan terlebih dahulu dengan tim DPRD, dan ia yakin ketentuan yang diskriminatif akan

    26 Masalahnya adalah media yang sama tidak memperlihatkan ketertarikan yang sama terhadap ketentuan diskriminatif peraturan daerah yang dirancang untuk menanamkan prinsip-prinsip Islami di wilayah mayoritas Muslim. Memang banyak sumber yang berpendapat perda Syariah menjadi inspirasi perda Manokwari. 27 Hidayat: Raperda Kota Injil Memecah Bangsa, Republika, 30 Maret 2007. 28 Kristen, Kecil Menuntut, Besar Menindas, Suara Umat Islam, 13 April 2007. 29 KWI dan PGI Tolak Raperda Berdasarkan Injil, UCAN, 3 April 2007, at http://faithfreedom.myforumportal.com/ forum/viewtopic.php?p=15709.

    ditarik.30 Pada bulan Mei, bupati Dominggus Mandacan, mengatakan bahwa walaupun mewakili aspirasi mayoritas, raperda tersebut masih perlu perbaikan sebelum dapat disampaikan secara resmi ke DPRD kabupaten, dan tim DPRD akan mempertimbangkan akibat sosial negatif yang akan dihadapi kalau penetapan Manokwari sebagai Kota Injil dilanjutkan.31

    C. REAKSI MUSLIM

    Namun, kerusakan sudah terjadi. Bulan Agustus 2007, tiga anggota MUI kabupaten Manokwari menyampaikan sebuah surat pernyataan kepada rapat MUI Daerah V yang meliputi Papua, Sulawesi dan Maluku yang isinya layak dikemukakan disini karena kegetirannya. Pernyataan tersebut mengemukakan bahwa sebuah kelompok, atas nama agama tertentu, sedang berusaha untuk menentang keberadaan Muslim di Tanah Papua dan terutama di Manokwari, mencoba untuk merusak persatuan negara Indonesia dan menjadikan agama sebagai komoditas politik. Akses yang setara terhadap Muslim diingkari, katanya, sementara Kristen mengklaim bahwa tanah mereka bukan milik Muslim, walaupun peradaban Islam sudah mendahului Kristen di Papua lebih dari 200 tahun yang lalu. Undang Undang Otonomi Khusus tahun 2001 untuk Papua digambarkan sebagai sebuah musibah yang sangat dasyat yang bisa mengakibatkan perpecahan di Indonesia.32

    Kalau umat dibelenggu, dipojokan, direkayasa untuk menghilangkan keutuhan umat, maka sudah saatnya Umat Islam bangkit dan bersatu padu dan berjihad menegakan ajaran Allah di negeri ini.33

    Untuk kepentingan memastikan perdamaian dan menghindari konflik antar agama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso, MUI mendesak rapat daerah untuk membentuk sebuah panitia khusus untuk mengkaji persoalan ummat di wilayah bagian timur Indonesia dan bahwa rekomendasi yang disusun akan disampaikan ke pemerintah pusat, lewat MUI nasional.34

    Sejumlah kelompok jihadi juga sudah siap membela agama mereka di Manokwari, dengan mengirimkan tim peninjau untuk memeriksa situasi. Kelompok-

    30 Binsar Hutabarat, op. cit. 31 Raperda Manokwari Kota Injil Masih Perlu Penyempurnaan, Cenderawasih Pos, 29 Mei 2007. 32 Mengenai Sejarah dan Keberadaan Muslim di Tanah Papua, Terutama Manokwari, 30 Agustus 2007, fotokopi surat pernyataan tersebut ada di Crisis Group. 33 Ibid. 34 Ibid.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 8

    kelompok seperti Laskar Jundullah dari Sulawesi Selatan membicarakan tentang memulai jihad baru disana. Di kalangan ini, teori konspirasi sangat populer, antara lain seperti bahwa raperda Injil merupakan rencana pihak asing untuk Mengkristenkan wilayah timur Indonesia, atau raperda Injil adalah bagian dari agenda Kristen untuk mendirikan Negara Kristen Arafuru Raya yang akan meliputi Maluku dan Papua. Kemudian hal ini dikaitkan dengan isu yang beredar sejak awal tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Gloria Macapagal-Arroyo, presiden Filipina, telah menulis surat kepada presiden AS George Bush, meminta bantuannya untuk mendirikan sebuah kerajaan Kristen di Asia Tenggara.

    Di rapat MUI Daerah V, di Manado, Sulawesi Utara, Haji Adnan Arsal, pemimpin Muslim radikal dari Poso yang sekolahnya menjadi pusat kegiatan JI di Poso, menurut laporan telah menawarkan bantuan dari para mujahidinnya jika konflik pecah di Manokwari. Tetapi para pemimpin setempat terus menolak bantuan apapun dari luar.35

    Beberapa umat Kristen di Manokwari merasa tidak perlu mundur dari raperda, yang mereka anggap sebagai keharusan yang mutlak untuk melindungi dari perkembangan Islamisasi yang pesat. Bagi mereka, ketentuan yang dianggap oleh Muslim sebagai hal yang diskriminatif bukanlah larangan melainkan batasan. Tentang ketentuan yang berhubungan dengan jilbab, kita tidak melarangnya, tapi sebaiknya hanya dipakai di tempat-tempat yang tepat, kata salah seorang dari mereka, dan terutama bagi pegawai negeri yang wajib memakai baju seragam, kenapa ada yang boleh kelihatan berbeda? Mereka tidak melarang adzan, yang mereka larang penggunaan pengeras suara karena mengganggu orang-orang dari agama lain.36

    Akhir bulan Mei 2008, rancangan yang kedua perda Injil muncul. Yang ini jauh lebih baik dari yang pertama dan sebagian besar ketentuan-ketentuan yang kontroversial sudah dihilangkan, tetapi judulnya Raperda Tentang Penetapan Kampung-Kampung Sebagai Perkampungan Penginjilan/Pembinaan Mental Spiritual.37 Bagi sebagian besar Muslim, kata penginjilan berarti dakwah yang bertujuan untuk memurtadkan Muslim, dan karena itu memicu kemarahan. Rancangan yang kedua juga tetap memuat ketentuan yang

    35 Wawancara Crisis Group dengan pemimpin Muslim, Manokwari, Februari 2008. 36 Binsar Hutabarat, op. cit. 37 Raperda Tentang Penetapan Kampung-Kampung Sebagai Perkampungan Penginjilan/Pembinaan Mental Spiritual, fotokopinya tidak bertanggal, diterima oleh Crisis Group, 9 Juni 2008.

    mewajibkan ijin dari masyarakat sekitar untuk membangun rumah ibadat hal yang membuat khawatir Katolik dan juga Muslim, karena keduanya adalah agama minoritas di daerah itu. Polarisasi agama kelihatannya akan terus berlanjut.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 9

    III. KAIMANA

    Dengan mendinginnya situasi di Manokwari, suhu di Kaimana, yaitu sebuah kabupaten di bagian barat daya pulau Papua yang dimekarkan dari Fakfak pada tahun 2002, meningkat. Bertahun-tahun Kaimana dikenal karena hubungan yang harmonis antara Kristen dan Muslim; tahun 2006, seorang pendeta setempat menulis referensi standar mengenai topik itu, menekankan komitmen dari kedua belah pihak masyarakat terhadap pluralisme dan hidup berdampingan.38 Oleh karena itu ketegangan di akhir tahun 2007 sangat mengejutkan, tetapi ketegangan ini sudah menumpuk sejak beberapa lama, terutama sejak konflik di Ambon.

    Tahun 2005, kabupaten Kaimana berpenduduk 37,469 orang. Sebagian besar adalah warga Papua asli dari beberapa kelompok etnis termasuk Koyway, Irarutu, Mairasi dan Madewana. Para pendatang, sebagian besar bekerja sebagai pedagang kecil dan di sektor transport, berasal dari Jawa, Maluku, Sulawesi Tenggara, Selatan dan Utara; tidak ada angka jumlah total mereka.

    Jumlah penganut Protestan lebih dari setengah jumlah penduduk seluruhnya; Muslim diurutan yang kedua, yaitu sekitar 40 persen, sebagian besar Papua asli, dan Katolik 9.5 persen.39 Keharmonisan kehidupan beragama di Kaimana merupakan hasil dari norma-norma adat yang kuat yang menekankan solidaritas marga dan keluarga lintas agama.40 Banyak dari marga-marga seperti Werfete, Tanggarofa, Kamakaula, Amerbay, Jaisono, Feneteruma dan Waita, yang menjadi penganut kedua agama. Warga Kristen sering duduk dalam kepanitiaan pembangunan mesjid dan ikut dalam pembangunan gedung baru; warga Muslim membantu membangun gereja. Selama bulan Ramadhan, warga Kristen sering membantu menyiapkan sahur bagi tetangga Muslimnya dan membangunkan mereka untuk makan sahur.41 Yayasan pendidikan Kristen membangun sekolah di lingkungan Muslim dan mempekerjakan guru Muslim untuk mengajarkan pelajaran agama dan membaca al-Quran.

    Sebagian warga Muslim mengikuti cara-cara beribadah yang sama dengan organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Protestan terdiri dari

    38 J.F. Onim, Islam dan Kristen di Tanah Papua (Bandung, 2006). 39 Propinsi Papua Barat dalam Angka, Badan Pusat Statistik, 2006 . Sisanya pemeluk agama Hindu dan Buddha. 40 Wawancara Crisis Group, Fadel Al Hamid, sekretaris Dewan Adat Papua, Kaimana, Maret 2008. 41 Wawancara Crisis Group, Andi Karan, GKI Kaimana, Maret 2008.

    yang dulunya Gereja Protestan Maluku, sekarang GPI (Gereja Protestan Indonesia) di Papua, dan GKI (Gereja Kristen Injili), aliran terbesar di Papua. Konflik yang hampir pecah muncul sebagian karena datangnya elemen baru yang kurang berpikiran terbuka dari kedua agama.

    A. KETEGANGAN KARENA KONSER DAN POHON NATAL

    Ketegangan ini dimulai bulan Oktober 2007, dipicu oleh keputusan GPI untuk mengadakan konser menggalang dana untuk pembangunan sebuah gereja. Acara seperti ini biasa di Kaimana, tapi konser ini, yang mendatangkan penyanyi dari Maluku, akan diadakan dalam bulan Ramadhan dan akan mulai jam 7 sore, hampir sama dengan waktunya Muslim shalat tarawih, yaitu shalat malam yang dilakukan pada bulan puasa. Selain itu, konser ini akan diselenggarakan di sebuah SD Kristen yang lokasinya terletak diantara dua mesjid (Sabililah dan Cendrawasih) di lingkungan kota Cenderawasih. Mendengar rencana itu, banyak Muslim yang marah dan menuduh Kristen tidak menghiraukan perasaan Muslim. Pemimpin Muslim berusaha menenangkan mereka dengan mengatakan warga Kristen mungkin tidak memahami ada shalat tarawih. Tetapi sebuah kelompok menganggap hal itu tak masuk akal: bagaimana mungkin Kristen tidak tahu pentingnya Ramadhan atau tidak tahu tentang shalat tarawih? Akhirnya panitia konser mengalah dan merubah jam konser jadi jam 9 malam.

    Bentrokan dapat dihindarkan, tapi pada pertengahan bulan Desember, ketegangan naik lagi. Kali ini dipicu oleh pemasangan sebuah menara besi yang berbentuk Pohon Natal, dan dipuncaknya bukan salib (yang lebih umum di Papua) yang dipasang, tapi Star Of David, bintang bercabang enam, sebuah simbol yang sensitif di Indonesia yang sering dipakai oleh kelompok karismatik. Menara ini dipasang permanen di Taman Hiburan Rakyat (THR) tidak jauh dari pusat kota. Sekali lagi, GPI, yang anggotanya banyak dari Maluku dan Sorong, tapi juga dari Ayamaru, merencanakan sebuah upacara, tanpa kordinasi baik dengan anggota aliran Kristen yang lain maupun dengan tetangga Muslimnya. GKI mengklaim mereka tidak tahu tentang pohon natal tersebut, tapi GPI bersikeras untuk terus memasangnya, dan mengatakan bahwa mereka sudah punya ijin dari wakil bupati Kaimana, Mathias Mayruma, yang datang menghadiri pemasangan menara tersebut. Hasan Achmadi, bupati Kaimana, menurut laporan tidak tahu bahwa menara

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 10

    pohon natal ini dipasang permanen, lengkap dengan pondasi semennya.42

    Warga Muslim setempat sangat marah. Di lingkungan tempat tinggal seperti Kampung Seram, Anda Air, Bungsur dan Kaki Air, massa mulai berkumpul, menunggu komando untuk membongkar pohon natal itu. Di wilayah-wilayah Kristen seperti Cenderawasih, Jalan Sisir dan Kebon Kelapa, kelompok-kelompok mulai menggalang massa setelah mendengar isu bahwa pohon natal akan dihancurkan dan lingkungan mereka akan diserang. Di Kampung Baru, Muslim mulai menyiapkan truk-truk untuk membawa massa ke kota Kaimana. Suasana panik timbul, beberapa orang bersiap-siap untuk mengungsi kalau konflik pecah. Di Arguni, sebuah lingkungan tempat tinggal Kristen, beberapa orang bersembunyi ke hutan. Bupati turun tangan tanggal 14 Desember 2007, menghimbau kepada Muslim untuk tidak menyalahkan Kristen atas ketegangan yang terjadi, tapi kepada dirinya yang telah memberikan ijin. Pernyataannya meredakan situasi panas, dan keesokan harinya ia mengadakan rapat dengan para pemimpin agama dari kedua belah pihak. Disepakati bahwa pohon natal bisa tetap dipasang sampai tanggal 21 Januari 2008 dan setelah itu akan dibongkar.43

    Sampai tanggal 28 Desember tidak terjadi apa-apa. Kemudian, tiba-tiba, anggota GPI mengundang para pemimpin dari aliran lain untuk rapat dan mengumumkan bahwa mereka telah mendengar bahwa Muslim berencana untuk menyerang Kristen hari berikutnya, dan untuk mencegah hal ini terjadi, mereka memutuskan untuk membongkar pohon natal segera. Namun anehnya, GPI mengumumkan bahwa sebelum membongkar pohon natal, mereka akan melakukan sembahyang bersama dan sebuah kebaktian, yang mana para pendeta diminta memakai jubah mereka. GKI menolak gagasan itu, dan percaya hal itu hanya akan menyulut konflik: kelihatannya akan seperti undangan kepada semua warga Kristen untuk menghadiri layaknya kebaktian gereja resmi, tapi kalau mereka lihat pohon natal dibongkar, hal itu akan membawa reaksi emosional, karena dimata warga Kristen, menara ini merupakan simbol suci. Anggota GKI menjadi bertambah khawatir setelah pemimpin GPI mengatakan orang-orang Kristen dari Tual, di bagian tenggara Maluku, arah selatan Kaimana, sudah siap membantu kalau konflik pecah.44 Tetapi

    42 Wawancara Crisis Group, Anggota DPRD, Kaimana, Maret 2008. 43 Wawancara Crisis Group, Muhammad Katsir, seorang peserta rapat, Jayapura, Maret 2008. 44 Wawancara Crisis Group, peserta rapat tanggal 28 Desember 2008, Kaimana, Maret 2008.

    upacara pembongkaran menara tidak terjadi polisi membubarkan rapat dan memanggil ketua dioses GPI untuk menjelaskan kenapa itu terjadi.

    Pada tanggal 1 Januari 2008, sebuah kapal dari Tual tiba di pelabuhan Kaimana, menyulut isu bahwa orang-orang Kristen dari Tual sudah datang, namun Kaimana tetap tenang. Ketegangan meningkat tanggal 21 Januari, yaitu pada saat batas waktu pembongkaran menara. Muslim mulai berkumpul, menuntut menara dibongkar. Sekali lagi Kristen takut diserang. Pemimpin GPI menolak kalau mereka yang harus membongkar menara, dan mengatakan itu tugas bupati. Hasan Achmad tidak siap, karena tahu itu akan membuat Kristen marah. Akhirnya disepakati jalan tengah yaitu GPI yang akan membongkar menara tapi kemudian dipindahkan ke salah satu gereja mereka.

    Untungnya konflik tak meletus, tapi banyak anggota masyarakat yang kaget karena sudah nyaris sekali. Bagaimanapun juga, perselisihan agama di Kaimana tidak bercampur dengan persoalan etnis dan ekonomi seperti yang terjadi di tempat lain. Walaupun kelompok-kelompok etnis dari Sulawesi Selatan (Bugis, Buton dan Makasar) mendominasi pasar di Kaimana seperti juga di daerah lain di Papua, tapi tidak ada perselisihan pribumi-pendatang yang serius. Di mesjid-mesjid, Muslim dari berbagai latarbelakang, Papua asli dan non-Papua, selama ini selalu mudah membaur; cara beribadah yang paling umum mengikuti Mazhab Syafii, yang akrab bagi banyak pendatang dari Jawa, juga ikut membantu. Begitu juga di pihak Kristen, interaksi yang bersahabat menjadi ciri hubungan pendatang-pribumi.

    B. PENGARUH ALIRAN AGAMA BARU

    Yang berubah di Kaimana yaitu masuknya elemen baru yang lebih fundamentalis di kedua agama sekitar tahun 2000. Gereja-gereja evangelis muncul, termasuk Jemaah Jalan Suci, sebuah kelompok karismatik, bersama dengan gereja-gereja Bethel dan Bethany. Gereja-gereja Pantekosta ini sering mengadakan apa yang mereka sebut sebagai KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani), sering berbentuk kebaktian akbar di tempat-tempat umum, tapi juga menampilkan kesaksian dari para bekas Muslim yang baru masuk Kristen. Banyak Muslim yang menganggap KKR sebagai penghinaan terhadap agama mereka dan memutuskan untuk melakukan tindakan balasan, secara terbuka mempertanyakan ajaran dasar agama Kristen, seperti ketuhanan Yesus.45

    45 Wawancara Crisis Group, Muslims , Kaimana, Maret 2008.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 11

    Menjelang Natal 2006, muncul persoalan. Tiba-tiba, dan tanpa ijin dari pemuka adat, kelompok karismatik Jalan Suci memasang salib besar di sebuah bukit di Bungsur, wilayah Muslim. Penduduk Muslim menurunkan salib itu.

    Tidak hanya gereja-gereja baru yang menimbulkan masalah; sebuah aliran radikal juga mulai muncul di dalam GPI di sekitar waktu yang sama. Dulunya GPI bernama Gereja Protestan Maluku. Jemaahnya sudah lama ada di Kaimana, dibawa oleh orang-orang Maluku yang bekerja sebagai birokrat atau guru setelah integrasi Irian Barat tahun 1969. Hubungan dengan Muslim setempat pada umumnya baik-baik saja, sampai meletusnya konflik di Ambon tahun 1999 dan tak lama kemudian di Tual. Banyak warga Kristen yang mengungsi dari konflik ini pergi ke Kaimana, membawa cerita kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Muslim disana. Banyak dari cerita mereka yang didukung oleh media masa, khususnya media TV. Bahkan setelah konflik berkurang, beberapa warga Maluku masih terus datang, termasuk beberapa pendeta, dimana salah seorang dari mereka menjadi ketua classis GPI. Kedatangannya menandai memburuknya hubungan Kristen-Muslim dengan kedatangan pendeta itu.

    Sebuah fenomena pembaharuan agama juga terjadi di pihak Muslim. Tapi tidak seperti elemen baru dalam agama Kristen yang dibawa oleh orang luar, Islam yang baru dibawa oleh warga Papua asli yang belajar diluar. Salah satunya yaitu Ahmad Nausrau, sekarang tokoh Partai Keadilan Sejahtera disana, yang belajar agama Islam ke Timur Tengah. Ketika ia kembali ke Kaimana, ia bergabung dengan Al Fatih Kafah Nusantara (AFKN), yang dipimpin oleh Fadzlan Garamatan, ketua Hizb ut-Tahrir Papua. AFKN dengan cepat menarik banyak pengikut dari daerah setempat, karena mereka tidak hanya memberi ceramah tapi juga pelayanan sosial seperti sunat masal, dan menawarkan beasiswa bagi anak-anak Muslim untuk belajar di pesantren dan institusi-institusi di luar Papua.

    Perkembangan di bidang teknologi, khususnya penggunaan handphone yang ada dimana-mana, juga berperan mengubah hubungan antara kedua masyarakat agama. Handphone dengan teknologi canggih 3G digunakan untuk mendownload film dan video yang menyebarkan kebencian yang dilakukan oleh pihak masyarakat yang satu ke pihak yang lain. Sebuah kumpulan video yang beredar memperlihatkan kekejaman terhadap Muslim di Ambon dan Poso.46 46 Beberapa dari video tersebut dibuat oleh Seyam Reda, warga Jerman keturunan Mesir yang diduga terkait al-Qaeda

    Bagi banyak Muslim, gambar-gambar tersebut membawa kesan Kristen adalah jahat. Video mengenai pemenggalan kepala tawanan di Iraq juga beredar, meninggalkan kesan di warga Kristen bahwa Islam adalah agama kekerasan.

    Sama seperti di Manokwari, kelompok-kelompok jihadi di luar Papua mendengar tentang ketegangan yang terjadi dan dalam posisi menunggu, siap untuk ikut campur kalau kekerasan meletus. Pada akhirnya, hal ini bisa dihindarkan, tetapi pondasi untuk terjadinya konflik sudah tertanam.

    dan ditangkap di Jakarta tahun 2002 karena kasus pelanggaran imigrasi, dan akhirnya dideportasi ke Jerman.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 12

    IV. KEGADUHAN MENGENAI KAMPUS MUSLIM DI JAYAPURA

    Pada awal tahun 2007, sebuah persoalan baru muncul di Jayapura. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), bermaksud mendirikan sebuah kampus di Bumi Perkemahan, di wilayah Waena. Di seluruh Indonesia, tanpa terkecuali, institut-institut ini telah menjadi kekuatan yang moderat dan rumah bagi beberapa ulama yang paling progresif di Indonesia.47 Di Papua, pendukungnya percaya bahwa institut seperti itu akan menghasilkan ulama-ulama asli dari Papua, mengurangi ketergantungan pada guru-guru non-Papua dan memastikan bahwa nilai-nilai Islam yang universal disampaikan dengan cara-cara yang harmonis dengan tradisi budaya rakyat Papua.

    Tetapi Asosiasi Pendeta Indonesia (API) mengeluarkan sebuah surat yang menentang proyek itu, walaupun sudah disetujui oleh GKI, aliran Protestan terbesar di Papua, karena berpikir bahwa hal ini juga merupakan tanda-tanda lain berkembangnya Islamisasi. Pribumi Muslim yang paling marah. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama saja tidak pernah mengontrol kita, kata salah seorang pemimpin Muslim lokal, menyebut organisasi Islam terbesar di Indonesia, kemudian tiba-tiba saja API yang menolak kita.48 Kenyataan bahwa API didominasi oleh warga non-Papua semakin menambah kekesalan mereka.49

    Surat API ditembuskan ke gubernur, DPRD dan MRP, yang mana kelompok kerja bidang agamanya membahas hal ini dan mendukung posisi API. Pada tanggal 1 Maret 2007, MRP mengeluarkan pernyataan mereka, yang menolak pembangungan kampus. Arobi Achmad Airtuarauw, seorang anggota MRP Muslim, tidak hadir dalam sesi pembahasan. Pada pertengahan April 2007, Muktamar Majelis Muslim Papua yang dipimpinnya, mengatakan bahwa pernyataan itu telah sangat melukai perasaan Muslim pada umumnya, dan pribumi Muslim pada khususnya dan meminta MRP untuk meminta maaf.50

    47 Ada tiga tingkatan institusi, yaitu STAIN, setingkat perguruan tinggi dengan masa kuliah dua tahun; Institut Agama Islam Negeri (IAIN), perguruan tinggi dengan masa belajar empat tahun; dan Universitas Islam Negeri (UIN), sebuah universitas dengan program S1. 48 Wawancara Crisis Group lewat telepon ke Jayapura, 24 Mei 2008. 49 Banyak anggota API di Papua yang berasal dari Menado (Sulawesi Utara), Toraja (Sulawesi Selatan) dan Sumatra Utara. 50 Rekomendasi Majelis Muslim Papua, Bidang Otonomi Khusus dan Pemerintah Daerah, no. 4 dan 5, dan Bidang Sosial Budaya (Pendidikan) dalam Hasil-Hasil Pelaksanaan

    Pada akhirnya, pembangunan berlanjut dan kampus sekarang berdiri di lokasi seluas 1 hektar di Waena, tetapi peristiwa ini meninggalkan perasaan tidak enak di semua pihak.

    Muktamar I Majelis Muslim Papua, Jayapura, 10-13 April 2007, hal. 38-39.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 13

    V. MENJELASKAN KETEGANGAN: DEMOGRAFI

    Ketegangan yang terjadi di Manokwari dan Kaimana juga terlihat di daerah lain di Papua, dan beberapa faktor penyebabnya sama, yaitu: perubahan demografis, imbas dari konflik Maluku, pemahaman baru sejarah Islam di Papua, perkembangan di luar Papua dan teknologi baru.

    A. PERTUMBUHAN ISLAM

    Statistik pemerintah memperlihatkan pertumbuhan Islam yang stabil di Papua (lihat tabel di bawah).51 Jumlah penduduk Muslim banyak sekali yang non-Papua. Menurut Biro Pusat Statistik tahun 2000, 90.82 persen dari penduduk Muslim adalah para pendatang; dan 9.18 persen adalah Papua asli, sebagian besar dari wilayah Kepala Burung. Secara kontras, 81.24 persen dari pemeluk agama Katolik adalah warga asli Papua, dan Protestan adalah 81 persen. Pengaruh para pendatang juga lebih menonjol di kota-kota di Papua. Warga Papua asli hanya 33.9 persen dari jumlah penduduk perkotaan di tahun 2000, berkisar dari 6 persen di kota Sorong sampai 54 persen di Manokwari, sementara di seluruh Papua, lebih dari 60 persen penduduk asli tinggal di pedesaan.52

    51 Crisis Group menyusun tabel ini dari sejumlah dokumen yang diperoleh dari kantor statistik propinsi di Jayapura dan Biro Pusat Statistik di Jakarta. Data statistik di Papua tidak selalu akurat, sebagian karena sulitnya mengumpulkan data, sebagian lagi karena kesalahan dalam tabulasi. Bahkan dalam satu buah dokumen, persentasinya seringkali tidak genap 100, atau dihitung dengan salah. Namun pola waktunya cukup konsisten. 52 Tabel 3, Persentase Pendukuk Asli Papua Menurut Wilayah Kabupaten/Kota (Perkotaan), dalam Penduduk Asli Papua Menurut Suku Bangsa dan Papua Dalam

    Banyak pemimpin agama yang meyakini bahwa jumlah pendatang sebenarnya lebih banyak dari yang diberitakan, dan warga Papua telah menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Sebuah laporan mengemukakan:

    Komposisi populasi Papua Barat saat ini yaitu 30 persen warga asli Papua Barat dan 70 persen pendatang. Warga asli Papua Barat selama ini terpinggirkan di semua aspek kehidupan.53

    Demikian juga, sebuah artikel di majalah Muslim konservatif yang dibaca luas menulis bahwa data tahun 2003 (tidak jelas data dari mana) memperlihatkan 40 persen dari populasi penduduk Papua adalah Muslim, membuat Islam sebagai agama yang dominan, karena penganut animisme disatukelompokkan dengan Kristen, sehingga angka ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.54 Tetapi Muslim menduduki kurang dari 10 persen posisi politik di Papua hanya bupati di Manokwari dan Kaimana yang beragama Islam dan ketidakseimbangan ini harus ditanggulangi, lanjut artikel dalam majalah tersebut.55

    Persentase 2000, Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Katalog BPS 2116.91 (Jayapura, 2001). 53 West Papuan Churches Deepest Concern and Appeal to the International Community, Juli 2007. 54 Cemburat Cahaya Papua dan Tuan Rumah yang Menjadi Tamu, Suara Hidayatullah, Juli 2005, hal. 52-53. Di pulau Jawa, penganut kepercayaan spiritual tradisional Jawa biasanya dianggap sebagai Muslim dalam statistik pemerintah. 55 Tuan Rumah yang Menjadi Tamu, op. cit., hal. 54

    Tahun Total Jumlah Penduduk

    Kristen Protestan

    % Katolik % Islam % Lain-lain %

    1964 808,336 400,360 49.5 209,875 26.0 51,700 6.5 146,000 18.0 1975 991,537 619,067 62.4 289,614 29.2 65,435 6.6 17,421 1.8 1985 1,452,919 763,547 52.5 306,076 21.0 215,198 14.8 2,951 0.2 1991 1,744,946 998,406 57.2 401,405 23.0 340,632 19.5 4,458 0.3 1998 2,111,500 1,171,297 55.5 478,609 22.7 452,214 21.4 9,380 0.4 2002 2,288,410 1,235,670 54.0 543,030 23.7 498,329 21.4 11,672 0.5 2004* 2,516,284 1,503,124 59.7 422,126 16.7 583,628 23.1 7,406 0.3 *Data 2004 adalah data terakhir yang tersedia sebelum Papua dibagi menjadi dua propinsi. Tak begitu jelas kenapa jumlah umat Katolik turun, tetapi kelihatannya itu terjadi karena kesalahan perhitungan.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 14

    B. ISLAMISASI DAN MIGRASI

    Banyak warga Papua yang melihat pertumbuhan Islam yang stabil di Papua sebagai hasil kebijakan pemerintah yang telah direncanakan. Hal ini menjadi satu argumentasi dari pendeta Socratez Sofyan Yoman, presiden gereja Baptis di Papua, Yoman menulis:

    Merupakan sebuah upaya yang sistematis dan terencana untuk menghapuskan (lewat genosida) penduduk asli Papua dengan cara mengirimkan para transmigran atau pendatang ilegal ke Papua, dengan alasan hanya ada terlalu sedikit warga Papua di daerah-daerah baru yang rencananya akan dilakukan pemekaran sebuah cara Islamisasi dan Jawanisasi jangka panjang untuk menguasai wilayah Pasifik dan Australia.56

    Bersama Sendius Wonda, Yoman bisa dikatakan sebagai tokoh paling gencar mengkampanyekan issue genosida dikaitkan dengan migrasi. Wonda sempat menuangkan gagasannya soal genosida dalam bukunya Tenggelamnya Rumpun Melanesia. Buku itu kemudian dilarang oleh pemerintah SBY bulan Desember 2007. Buku tersebut sangat berpihak, tetapi pengarangnya hanya menuliskan apa yang sudah lama diperbincangkan oleh rakyat Papua bertahun-tahun. Ketika GKI mengadakan diskusi tentang pelarangan buku itu di Jayapura, hampir seluruh peserta diskusi mengatakan mereka percaya bahwa rakyat Papua akhirnya akan tersapu oleh migrasi massal.57

    Statistik populasi memperlihatkan sebuah kenaikan yang sangat dramatis dalam persentasi Muslim antara tahun 1975 dan 1985, ketika program transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah sedang gencar-gencarnya. Meskipun alasannya adalah untuk mengurangi kepadatan di pulau Jawa dan mengembangkan pulau-pulau di luar Jawa, juga ada faktor keamanan yang kuat di daerah perbatasan seperti Kalimantan dan Papua, dan persepsinya begitu kuat diantara para pemimpin Kristen bahwa Jakarta sedang mendorong migrasi penduduk Muslim, daawa (dakwah) dan pembangunan mesjid-mesjid untuk memperkecil jumlah penduduk asli Papua dan melemahkan gerakan pro-independen.58

    56 Socrates Sofyan Yoman, Special Autonomy is The Act of Free Choice Phase 2, 30 Januari 2005. 57 Seorang konsultan Crisis Group hadir dalam pertemuan tersebut. 58 Richard Chauvel, Constructing Papuan Nationalism: His-tory, Ethnicity and Adaptation, East-West Center, Washing-ton DC, 2005. Ada beberapa pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang pernah secara terbuka menuntut su-

    Jumlah transmigran yang dikirim ke Papua meningkat stabil di tiga REPELITA yang pertama, pada masa pemerintahan Soeharto, yaitu tahun 1969-1973, 1974-1978, dan 1979-1983. Pemerintah memindahkan sekitar 10,000 keluarga (41,701 orang), sebagian besar asal Jawa, ke Papua, dan menempatkan mereka di lima daerah: Jayapura, Merauke, Manokwari, Paniai dan Sorong.59 Antara tahun 1981 dan 1985, sebanyak 9,772 transmigran, semuanya dari Jawa, sebagian besar Muslim.60 Karena jumlah tanah di daerah transmigrasi lain berkurang, tahun 1985 Papua telah menjadi tujuan utama untuk semua program transmigrasi pemerintah.

    Kritik internasional terhadap program transmigrasi di Papua, termasuk kritik bahwa program transmigrasi terkait dengan Islamisasi, membuat pemerintah Soeharto mengubah taktik tahun 1986. Mereka mengeluarkan Dekrit Presiden no. 4/1986, menetapkan pulau Flores, Alor, Sumba dan Timor di Nusa Tenggara Timur, sebagai daerah tujuan transmigrasi.61 Sejak itu sampai program transmigrasi berhenti seluruhnya tahun 2000, struktur agama para transmigran berubah.

    Namun pada waktu yang sama, ada kenaikan jumlah migrasi spontan yaitu perpindahan penduduk secara sukarela oleh perorangan atas biaya sendiri dalam rangka mencari kesempatan ekonomi yang lebih baik, sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Muslim Sulawesi Tenggara dan Selatan. Para pendatang sudah datang ke wilayah pesisir Papua selama berabad-abad sebelumnya. Pada tahun 1959 ada sekitar 14,000 pendatang, tetapi jumlah mereka naik tajam setelah pemerintah Indonesia tahun 1970 mempermudah pembatasan untuk bepergian ke sana.62 Sebagian besar transmigran spontan menetap di daerah perkotaan, dan dengan cepat mengisi posisi kosong di sektor perdagangan dan transportasi. Mereka tidak hanya bekerja di pasar-pasar perkotaan

    paya negara Kristen didirikan. Lihat John RG Djopari, Pem-beroktakan Organisasi Papua Merdeka (Jakarta, 1993), p. 141. 59 Djopari, op. cit., hal. 115-127. 60 Banyaknya penempatan Transmigrasi Menurut Kabupaten Tahun 1981/2 1984/5, BPS Propinsi Irian Jaya, di Irian Jaya Dalam Angka 1985 (Jayapura, 1985), hal. 69-70. Banyuwangi dan Grobogan Jawa Timur adalah dua wilayah yang paling banyak mengirim transmigran, kedua daerah ini adalah basis kekuatan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. 61 Katolik adalah agama mayoritas di pulau-pulau ini, kecuali di Alor, yang mayoritas Muslim, tetapi ada kelompok minoritas Muslim yang penting di Flores dan Sumba. 62 Rodd McGibbon, Plural Society in Peril: Migration, Economic Change and the Papua Conflict, East-West Center, Washington DC, hal. 20.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 15

    tapi juga menjadi pedagang keliling ke pelosok-pelosok daerah di Papua. Dengan banyaknya pegawai negeri dan TNI yang datang ke Papua, jumlah penduduk non-Papua meningkat sangat tajam.63

    Meskipun program transmigrasi di Papua menimbulkan kontroversi besar, namun persoalan ekonomi justru menjadi factor utama penarik perpindahan penduduk ke Papua. Bahkan jumlah total migrasi yang tidak disponspori oleh pemerintah sudah melampaui jumlah 560,000 hingga tahun 2000.64

    Perasaan dikecualikan dalam ekonomi memperkuat permusuhan penduduk setempat terhadap para pendatang. Ketika kerusuhan sosial meletus di Papua, pasar yang didominasi oleh para pendatang seringkali menjadi sasaran, seperti yang terjadi di Abepura, diluar Jayapura tahun 1996; Entrop, Jayapura tahun 1999 dan 2000; dan Sentani di pantai utara tahun 2000.65 Seorang pendatang yang memiliki toko di Abepura mengatakan bahwa setelah terjadinya pengrusakan pasar tahun 1996 disitu, ia menyimpan sepertiga dari keuntungannya di Papua, dan mengirim yang duapertiga ke Sulawesi, karena ia yakin bahwa kalau Papua akhirnya berpisah dari Indonesia, ia dan pendatang yang lain akan diusir dari Papua.66

    Seorang Papua Muslim mengatakan sebagian dari masalahnya yaitu bahwa para pendatang mempunyai sikap yang menunjukkan mereka dari kelompok mayoritas sehingga merasa tidak perlu menyesuaikan diri dengan warga setempat.67 Mereka juga melihat bahwa mudah mendapat ijin dari pejabat non-Papua untuk membangun mesjid. Banyak Papua Kristen yang percaya bahwa bantuan pemerintah yang tidak proporsional masuk ke mesjid dan kegiatan-kegiatan Muslim lewat departemen agama dengan mengorbankan

    63 Saat ini pendatang Muslim dari Bugis dan Makassar, Sulawesi Selatan, mendominasi pasar-pasar di kota-kota besar dan kecil di Papua. Sektor perikanan yang sebelumnya dikuasai oleh warga asli Papua juga telah diambil alih oleh para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara; begitu juga warung-warung makan dan kios-kios serba ada. Hampir semua petugas penjaga keamanan, buruh konstruksi, pedagang kaki lima dan supir taxi adalah bukan warga asli Papua. Lihat Aryo Wisanggeni Genthong, Orang Asli Papua Yang Terasing di Tanah Sendiri, Laporan Jurnalistik KOMPAS, Jakarta, 2007, hal. 122-125; dan Akhmad, Amber dan Komin: Studi Perubahan Ekonomi di Papua (Yogyakarta, 2005). 64 McGibbon, op. cit., hal. 23. 65 Akhmad, Amber dan Komin, op. cit. 66 Ibid, hal. 57. 67 Wawancara Crisis Group, Thaha al Hamid, Jayapura, April 2008.

    proyek-proyek Kristen, sehingga di tahun 2003, sebuah makalah yang ditulis oleh para pendukung otonomi mengenai bagaimana menerapkan undang-undang otonomi khusus dengan lebih baik, menuntut bahwa bantuan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama harus sebanding dengan besarnya kelompok penerima.68

    Kalau Kristen khawatir dengan Islamisasi, beberapa Muslim di wilayah Islam tradisional khawatir Kristen mengungguli mereka. Di kecamatan Babo dekat Teluk Bintuni, daerah yang terkenal dengan proyek gas alami raksasanya yang dijalankan oleh perusahaan minyak multinasional BP, seorang pengamat menulis bahwa jumlah penduduk Muslim sudah menurun drastis, yang tadinya ada 80 keluarga Muslim di satu desa tahun 1970 an, di tahun 2003 hanya tinggal lima. Ia bilang ini terjadi karena godaan dunia, bertambah lanjut usianya seorang ulama penting, kegiatan misionaris Kristen yang agresif, dan kegagalan Muslim untuk mempertahankan diri dari kegiatan misionaris tersebut. Para kontraktor yang dibawa oleh BP termasuk sejumlah Muslim yang bersedia menyumbang bahan-bahan bangunan untuk pembangunan mesjid dan sekolah-sekolah, catatnya, dan harapan bangkitnya Islam lagi di Papua mungkin terletak pada perusahaan.

    Itu akhir tahun 2003, sebelum beberapa kelompok advokasi Muslim yang lebih konservatif mulai mengadopsi sebuah agenda anti-globalisasi.69 Tapi hal ini menjadi pengingat bahwa sebuah faktor bagi pertumbuhan migrasi Muslim selama ini adalah investasi perusahaan, dan meskipun hal ini dianggap sebagai sebuah keharusan bagi pembangunan propinsi, konsekwensi politik dan sosialnya juga harus diperhitungkan.

    Faktor lain yang mempengaruhi migrasi adalah pemekaran Papua menjadi daerah-daerah yang lebih kecil. Pada tahun 1999, Papua memiliki satu propinsi dan sembilan kabupaten. Tahun 2008, dua propinsi dan 36 kabupaten.70 Beberapa unit baru ini sebelumnya

    68 Agus Sumule (ed.), Mencari Jalan Tengah: Otomi Khusus Provinsi Papua (Jakarta, 2003), hal. 147. 69 Mencari Jejak Muslim Babo, Suara Hidayatullah, Oktober 2003, hal. 84. 70 Di propinsi Papua, kabupaten-kabupaten tsb adalah kota Jayapura; Jayapura; Sarmi; Keerom; Jayawijaya; Lani Jaya; Memberamo Tengah; Nduga Tengah; Yalimo; Pegunungan Bintang; Yahukimo; Tolikara; Puncak Jaya; Puncak; Merauke; Boven Digoel; Asmat; Mappi; Yapen; Waropen; Mamberamo Raya; Biak Numfor; Supiori; Nabire; Digiyai; Paniai dan Mimika. Di Papua Barat (sebelumnya bernama Irian Jaya Barat), kabupaten-kabupatennya adalah kota Sorong; Sorong; Sorong Selatan; Raja Ampat; Manokwari;

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 16

    kekurangan personil yang memenuhi syarat untuk menjalankan daerah-daerah baru ini, sehingga di Boven Digoel, Yahukimo, dan Tolikara (semuanya dibentuk tahun 2002), non-Papua menguasai 84 sampai 85 persen dari jumlah pegawai negeri.71 Meskipun khawatir dengan migrasi, kepentingan elit lokal untuk menciptakan jabatan-jabatan tinggi yang baru dan akses ke sumber-sumber daya untuk diri mereka sendiri, atau mendapat kesempatan lebih besar untuk jaringan sosial mereka yang seringkali berbasis marga, memastikan bahwa pemisahan antara pendatang dan pribumi akan terus berlanjut.

    Patut untuk dikemukakan bahwa di Merauke, kota paling tenggara Papua, dekat perbatasan dengan Papua Nugini, dimana jumlah pendatang sudah melampaui penduduk asli dan jumlah penduduk Muslim sebesar 58 persen dari jumlah total penduduk Merauke, semacam kompromi politik berhasil dicapai. Bupati Merauke adalah Papua asli; wakilnya orang Jawa. Mereka dianggap salah satu tim eksekutif yang efektif di Papua, memberi lebih banyak perhatian kepada kesehatan dan pendidikan, daripada eksekutif-eksekutif yang lain. Mereka juga berusaha keras untuk memperoleh sebuah propinsi baru, Papua Selatan, yang akan menambah kesempatan buat patronase. Bukan berarti Merauke bebas dari ketegangan antar agama, tapi dengan sudah lama dilewatinya ambang batas faktor demografi, masalah di sini dipecahkan dengan cara yang berbeda.72

    Bintuni; Teluk Wondama; Fakfak dan Kaimana. Sejumlah pemekaran lain sedang direncanakan. 71 Bagaimana Kesejahteraan Masyarakat di Daerah Peme-karan?, Suara Perempuan Papua, no. 35, 12-18 May 2008. 72 Pada tahun 2001, ketika Papuan Spring sedang mencapai puncaknya, warga asli Papua menyerang Pesantren Hidayatullah di Merauke. Beberapa santri terluka dan sejumlah bangunan dirusak. Pesantren ini memiliki hubungan dekat dengan militer setempat, dengan guru-guru dari pesantren memimpin pengajian mingguan di markas Komando Distrik Militer (KODIM 707). Pesantren Hidayatullah didirikan tahun 1989 oleh seorang lulusan Pesantren Hidayatullah yang pertama di Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur, di desa Kombe, kecamatan Kurik Merauke, sekitar 20km diluar kota. Sekitar tahun 1994, seorang donatur Muslim mewakafkan sebidang tanah di dalam kota, dan pesantren ini kemudian pindah ke kampus yang baru. Sekarang pesantren ini menjadi salah satu dari beberapa pesantren Hidayatullah di Papua.

    VI. IMBAS KONFLIK MALUKU

    Dampak konflik Maluku di Papua terhadap peneguhan identitas agama sangat besar, terutama karena waktunya bersamaan dengan dibukanya ruang politik untuk mengekspresikan pandangan pro-independen. Pendatang Muslim menjadi identik dengan pro-Jakarta, kekuatan anti-kemerdekaan, dan penduduk Papua asli yang beragama Kristen identik dengan nasionalisme Papua. Kenyataan bahwa banyak Papua Muslim yang juga mendukung kemerdekaan dan merasa tertindas dibawah kekuasaan Indonesia seringkali tidak dihiraukan, tetapi memperkuat pentingnya potensi mereka sebagai mediator.

    A. EUPHORIA PASKA SOEHARTO

    Jatuhnya pemerintahan Soeharto pada bulan Mei 1998 segera memicu aksi-aksi demonstrasi di Papua yang menuntut pertanggunganjawaban atas pelanggaran HAM di masa lalu dan eksploitasi sumber daya dan penarikan TNI dari Papua. Saat itu menjadi awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai Papua Spring. Tuntutan untuk lepas dari Indonesia meningkat, dan dalam jangka waktu enam bulan, separuh dari seluruh kabupaten di Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol resmi Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    Tahun 2000, para pemimpin pro-independen membentuk Presidium Dewan Papua (PDP), dengan pemimpin adat Theys Eluay sebagai ketua PDP dan Thaha Muhammad al Hamid, seorang Muslim keturunan Yemen, sebagai sekretaris jendralnya. Mereka menyelenggarakan apa yang mereka sebut sebagai Kongres Papua Kedua dari tanggal 29 Mei hingga 4 Juni, yang dihadiri oleh ribuan peserta yang menuntut kemerdekaan.73

    Usulan para pemimpin PDP termasuk sebuah pilar untuk para pendatang didalam stuktur pemerintahan untuk memperlihatkan komitmen mereka terhadap keanekaragaman di negara yang akan datang, tapi hal ini tidak pernah terpenuhi, mungkin karena tuntutan baru untuk kemerdekaan dibarengi oleh sebuah sentimen yang menguat terhadap pendatang.74 Keadaannya seperti

    73 Kongres Papua yang pertama yaitu pada tahun 1961, sebelum dimasukkannya wilayah Papua sebagai bagian dari negara Indonesia. Lihat Richard Chauvel, Where Nationalisms Collide, Inside Indonesia, July-September 2001. 74 Tadinya PDP akan menjadi cabang executive gerakan kemerdekaan, sementara pilar-pilar yang mewakili berbagai bagian masyarakat Papua akan membentuk badan legislatif. Lihat Octovianus Mote dan Danilyn Rutherford,

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 17

    perasaan sakit hati yang sudah lama terpendam atas kehilangan tanah dan kekuasaan ekonomi tiba-tiba mendapat pelepasan. Beberapa menuntut pengusiran; yang lain mendatangi para pendatang dan menuntut rumah yang ditempati atau tanah mereka. Salah seorang berkata:

    Kita tidak bisa menolak tuntutan mereka; kebanyakan dari kita bilang ya, ya. Tapi bukan berarti kita menerima. Kita orang Bugis dan Makasar sepakat bahwa sebelum meninggalkan Papua, kita akan bakar rumah kita. Enak saja mereka meminta rumah dan tanah yang kita beli dengan keringat kita sendiri. Kalau kita diusir, Papua bisa hangus.75

    Sentimen yang sama juga dirasakan oleh para pendatang di kota-kota yang lebih besar seperti Jayapura, Timika, Sorong dan Manokwari.76

    Naiknya suhu politik membuat para pendatang khawatir. Beberapa bergabung dengan kelompok-kelompok anti-separatis yang dibekingi oleh TNI, sehingga membuat hubungan dengan warga asli Papua semakin renggang. Pada tanggal 8 Juli 1998 di Sorong misalnya, setelah sejumlah aksi penyerangan terhadap para pendatang di seluruh Papua oleh Satgas Papua (milisi pro-independen), para pendatang yang menyebut diri mereka sebagai Kelompok Pro Persatuan dan Kesatuan Bangsa Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan melakukan sebuah demonstrasi anti-separatis yang provokatif, dengan keamanan disediakan oleh Batalion Infantri 733 dari TNI. Mereka membawa parang, clurit, pipa besi dan senjata lain, dan berteriak, Kutuk perusuh!, OPM pencuri dan perampok! dan slogan-slogan yang jauh lebih kasar, dan rasis terhadap warga Papua.77

    Bergabungnya para pendatang dengan gerakan anti-separatis di beberapa daerah hanya memperkeruh situasi. Sikap permusuhan warga Papua asli meningkat, karena mereka menuduh para pendatang tidak saja mencuri tanah mereka dan menguasai ekonomi mereka tapi juga menghalangi lepasnya mereka dari Indonesia. Ketegangan itu meledak di Wamena bulan Oktober 2000. Perkelahian antara polisi dan gerakan pro-independen berakhir dengan sebuah serangan oleh From Irian Jaya to Papua: The Limits of Primordialism in Indonesias Troubled East, Indonesia, vol.72, Oktober 2001, hal. 130. 75 Wawancara Crisis Group, supir taxi, Sorong, Februari 2008 76 Komunikasi Crisis Group dengan buruh pendatang di Jayapura, Februari 2008. 77 Muridan S.S. Wijoyo, Diantara Kebutuhan Demokrasi dan Kemenangan Politik Kekerasan, makalah yang tidak dipublikasikan untuk konferensi tentang Demokrasi: Konflik Papua Pasca Order Baru, Jakarta, 2001.

    ribuan penduduk asli Papua terhadap para pendatang yang mengakibatkan 37 orang tewas, 24 diantaranya adalah pendatang; 89 luka-luka; dan sekitar 13,500 orang ditangkap di duapuluh tempat yang berbeda. Ribuan pendatang kehilangan rumah dan barang-barang milik mereka dan pergi meninggalkan Wamena, tetapi insiden ini berimbas hingga keluar pegunungan tengah.78 Sementara beberapa keluarga di tempat lain mengepak barang-barang mereka dan pergi diam-diam, yang lain memutuskan untuk tinggal dan mempertahankan diri dengan senjata tajam atau senjata rakitan dan beberapa bergabung dengan gerakan anti-separatis.79

    Agama mempengaruhi pilihan yang diambil oleh kelompok yang terakhir ini. Banyak pendatang Muslim yang melihat pisah dari Indonesia sebagai aspirasi warga Papua Kristen, terlebih karena atribut Kristen seperti salib, kutipan Injil dan lagu-lagu rohani sering dipakai dalam demonstrasi pro-independen. Muslim semakin yakin bahwa jika Papua memperoleh kemerdekaannya, maka mereka akan menderita.80

    Persepsi bahwa gerakan pro-independen adalah gerakan Kristen tidak hanya kuat diantara para pendatang tapi juga diantara Papua Muslim. Di Kaimana dan Fakfak dimana Papua Muslim adalah mayoritas, sebagian besar menolak berpisah dari Indonesia, dan melihat Kristen sebagai promotor separatisme. Memang, Fakfak menjadi markas milisi pro-pemerintah, yaitu Satgas Merah Putih, yang diketuai oleh Ismail Bauw, seorang aparat pemerintah.

    Sebagian besar, tapi tidak semua, anggotanya Muslim. Salah satunya Ismail Yeni, seorang pemimpin marga Yapen Waropen. Pada tahun 1970an, ABRI menarik Ismail sebagai relawan sipil dalam program ABRI Masuk Desa. Progam ini dimaksudkan sebagai upaya mengambil hati (hearts-and-minds program) untuk membantu ekonomi setempat tapi kemudian menjadi ungkapan untuk perluasan ABRI ke daerah-daerah pedesaan. Ismail menjadi pegawai negeri yang loyal di kantor Pekerjaan Umum (PU) setempat, dan kemudian, walaupun masih memeluk agama Kristen, dia menjadi salah seorang tokoh di Satgas Merah Putih. Tetapi dia punya empat istri dan 35 anak, dan gereja Protestan hanya mengakui anak-anak dari istri pertamanya. Ismail memutuskan untuk pindah agama, tapi Muslim setempat menolak untuk membantunya

    78 Indonesia: Violence and Political Impasse in Papua, Human Rights Watch, July 2001. 79 Komunikasi Crisis Group dengan pendatang di Jayapura, Februari 2008. 80 Wawancara Crisis Group dengan pemimpin Muslim di Manokwari, Maret 2008.

  • Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua Crisis Group Asia Report N154, 16 Juni 2008 Page 18

    khawatir akan terjadi kerusuhan agama. Ia terbang ke Jakarta, dimana kepindahannya ke agama Islam di tahun 2002 di sebuah mesjid besar di Jakarta disaksikan oleh bekas KASAD Jendral Hartono.81

    Bentrokan antara anggota Satgas Merah Putih dan para pendukung Kristen pro-independen setempat di Wayati, Fakfak, bulan Maret 2000 memperdalam kerenggangan agama-politik, tapi konflik Maluku lah yang membawa dampak yang tidak hilang-hilang.

    B. KONFLIK MALUKU DATANG KE PAPUA

    Pada bulan Juli 2000, ELSHAM, sebuah organisasi HAM yang berbasis di Jayapura, melaporkan bahwa 100 pemuda pengungsi dari Ceram, Maluku, yang melarikan diri dari pertempuran antar agama disitu sedang diberi pelatihan militer di Sorong, dan memakai beberapa puluh senjata dan bom Molotov.82 Ada pertanyaan tentang kredibilitas informasi ini, tetapi tidak ada keraguan bahwa banyak warga Papua percaya konflik Maluku menyebar ke Papua. Namun para pemimpin gerakan pro-independen sangat memahami bahwa kalau konflik antar agama meletus di Papua, hal itu bisa merusak perjuangan mereka, dan memerintahkan Satgas Papua untuk menolak setiap pendatang dari Maluku.83

    Korban pertama dari kebijakan ini yaitu 3,000 orang pengungsi Kristen dari Maluku, yang dibawa oleh kapal penumpang, Dobonsolo, ke Papua tanggal 27 Juli 2000.84 Awalnya Satgas Papua dan pemerintah setempat mencegah mereka turun dari kapal. Untuk beberapa hari nasib mereka tidak pasti; akhirnya setelah negosiasi yang alot, mereka dibolehkan tinggal dua atau tiga bulan dibawah perlindungan gereja.85

    Kasus Dobonsolo tidak menghentikan desas-desus bahwa Papua berada di ambang konflik agama, terutama setelah isu kedatangan Laskar Jihad ke Papua. Laskar Jihad adalah milisi yang sebagian besar anggotanya berasal dari Jawa dan diback-up oleh TNI. Mereka diketuai oleh Jaafar Umar Thalib (berbasis di 81 Ismail Yenu, Kepala Suku dan Penginjil yang Bersyahadat, Suara Hidaytaullah, 11/XV/Dzulhijjah-Muharram 1423, Maret 2003, hal. 76. 82 Pengungsi Maluku Latihan Perang di Sorong, Kompas, 27 Juli 2000. 83 Wawancara Crisis Group, Thaha al Hamid, Jayapura, Februari 2008. 84 3.000 Pengungsi Ambon Ditolak Masuk Irja, Kompas, 31 Juli 2000. 85 Ibid; Wawancara Crisis Group dengan Fadel al Hamid, Kaimana, Maret 2008. Juga lihat 3.000 Pengungsi Ambon Ditolak Masuk Irja, Kompas, July 2000

    Yogyakarta) yang telah memimpin penyerangan terhadap masyarakat Kristen di Maluku. Bulan September 2000 Amnesty International, mengutip organisasi HAM lokal, melaporkan bahwa sekitar 300 anggota Laskar Jihad bersenjata telah tiba di Sorong.86 Beberapa laporan menyebutkan pasukannya ada yang di Manokwari, Biak, Nabire, Jayapura dan Arso, selain di Sorong, dengan jumlah total mencapai hingga ribuan.87 Beberapa dari angka yang lebih dibesar