Top Banner
Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013
16

15 September

Oct 27, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

Page 2: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

Kisruh Mesir kini juga

menguak fakta bahwa

masih banyak mahasiswa

al-Azhar yang tak

mengenal struktur

kepengurusan serta metode

berpikir (manhaj) al-Azhar

yang moderat, hingga kata-

kata tak pantas pun tak

jarang dilontarkan kepada

para syaikh al-Azhar

2

Email: [email protected]

Telp / Mobile: 01113320397/01129739162

Alamat Redaksi: Wisma Nusantara, 8 Wahran St. Rabea el-Adawea , Nasr City, Cairo, Egypt.

Web Master: Lukmanul Hakim, Dana Ahmad Dahlani

Distributor dan Periklanan: Lina Nabila Ahmad: +201142274707 Nisa‟ul Mujahidah : +201144938061

Layouter & Ilustrator: Hanif Ilyas, Miftah Firdaus

Editor: Abdul Wahid Satunggal, Ahwazy Anhar, Kurniawan Saputra, Umar Abdulloh

Reporter: Abdi Zakaria, Assadullah Rouf, Ikhwan Hakim, Mifta-khuddin Wibowo, Miftah Firdaus, Pangeran Arsyad Ihsanulhaq, Suhardi Junaidi, Aisyah Ummu Fadhilah, Farah Arifiatul Maula, Fatimah Nurul Khoiriyah, Hielya Abdurrahman, Kamila Etna Larasati, Khoirun Nisa, Nashirat Zimam Alhusna, Nur Fitria Qurrotu Aini’, Rab-bani Rizqi Fadhila, Raidah Sekar Harani, Ratih Ayu

Redaktur Ahli: Ahmad Satriawan Hariadi, Fajar Pradika, Lc., Hilmy Mubarok, Sayyid Zuhdi, S.S., Fitra Yuzarni, Rini Arianti, Nurul Azizah, Ayu Rizki Amalia

Penanggungjawab:

Koordinator Departemen Media dan Komunikasi Orsat ICMI Kairo

Pengarah:

Drs. Ahmad Isrona Alfakhri Zakirman, Lc. Indra Gunawan, Lc.

Pelindung: Ketua Umum ICMI Orsat Kairo

Informatika

Dewan Redaksi: Barmawi Mahral, Arif Yusuf, Ilham Sujefri, Khalid Muddatstsir, Yusrizal, Akfini Bifadlika Ghofar, Rafika Nur Jannah

Sekretaris Redaksi: Nisa‟ul Mujahidah

Pemimpin Redaksi: Achmad Fawatih Nurizqi

Pemimpin Usaha: Lina Nabila Ahmad

Pemimpin Umum: Fakhry Emil Habib A

Masa-masa mencekam Mesir kian pudar seiring dengan situasi Mesir yang mulai membaik. Larangan untuk keluar malam yang sudah diperpanjang hingga pukul 23.00 mengembalikan roh bagi pergerakan Masisir yang sempat beralih pasif.

Kegiatan keorganisasian berjalan lagi. Para penikmat talaqqi mulai bertebaran. Tak mengherankan, sejak dulu Mesir memangterkenal sebagai pusat peradaban serta ilmu pengetahuan. Tak heran jika dahulu Imam Syafi‟i rahimahullah, juga tak ragu melakukan perjalanan jauh dari Baghdad menuju Mesir.

Seiring dengan isu evakuasi yang makin pudar, isu bantuan KBRI berupa sembako mulai mencuat. Memang tak bisa dipungkiri, gejolak yang terjadi sejak Juni lalu sedikit banyaknya berpengaruh pada kondisi perekonomian Republik.

Bicara persoalan yang dihadapi mahasiswa Indonesia di Mesir tentu tak bisa dilepaskan dari kajian, peluang serta resiko. Situasi keamanan yang tidak stabil, harga kebutuhan pokok yang naik turun, transportasi yang kadang ada, kadang tidak, semua adalah resiko yang harus ditanggung. Tentu saja bagi mereka yang percaya, di balik resiko yang besar terdapat reward yang bukan main, luar biasa!

Al-ujratu bi hasabi‟l `amal. Hasil yang didapat sesuai dengan usaha yang

dikeluarkan. Begitulah bunyi sebuah ungkapan Arab. Yang harusnya menjadi titik fokus kini adalah bagaimana mencari peluang di tengah hambatan. Itulah titik yang membedakan antara mereka yang sukses dan mereka yang gagal.

Mengawali penerbitan setelah

situasi yang mulai membaik, Informatika

berbagi cerita mengenai para pebisnis Mesir yang tetap mencari rejeki meski jam malam sempat menghambat laju ekonomi, terutama bisnis kuliner yang biasa aktif setelah zuhur hingga hampir pertengahan malam.

Bukan hanya berdampak pada bisnis, kisruh Mesir kini juga menguak fakta bahwa masih banyak mahasiswa al-Azhar yang tidak mengenal struktur kepengurusan serta metode berpikir (manhaj) al-Azhar yang moderat,

hingga kata-kata tak pantas pun tak jarang dilontarkan kepada para Syaikh al-Azhar.

Mesir, memang memiliki banyak

cerita, mulai dari Fir‟aun dan Nabi Musa,

hingga Fakhri dalam Ayat-ayat Cinta.

Namun sebagai mahasiswa yang nanti

akan menjadi agen ilmiah saat kembali ke

tanah air nanti, tentu kita harus berusaha

untuk hanya mengukir cerita indah, agar

bukan hanya Islam, namun juga bangsa

dan negara kita kelak menjadi lebih

baik.◙

Dinamika di Balik Konflik ◙Editorial

Page 3: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013 3

Selengkapnya...Hal 8

◙Suara Mayoritas

“Y ang penting data

dulu aja!” Wahyudin terkejut. Pasalnya, menurut Ketua KPMJB ini, Pak Nugroho dari pihak Protkons menginstruksikan agar melakukan pendataan repatri-asi anggotanya dan tidak memberitahukan kabar ini lewat jejaring sosial, artinya konfirmasi ke ang-gota via telepon.

Di tengah kon-disi Mesir yang mene-gangkan, kabar pen-dataan repatriasi WNIpun merebak. Ditemui di sekretariat KPMJB di distrik 9, Rabu (28/8), Wahyudin Apud mengatakan bahwa dia ditelepon langsung oleh pihak Protokoler Konsuler jam 11 siang dan diberi tenggang waktu agar mendata anggota yang ingin direpatriasi sampai waktu ashar.

Pendataan dari pihak Protkons dibuka lewat kekeluargaan, dan di-

peruntukan bagi siapa saja yang siap direpatriasi dengan syarat oneway Kairo-Jakarta. Muncul pertanyaan, “Kenapa pendataan ini terkesan san-gat singkat? Pihak kekeluar-gaan sendiri hanya mem-berikan waktu kurang lebih dua jam?”

“Saya pun kaget ketika Pak Nugroho menginstruksikan hal ini.” imbuh Wahyudin Apud.

Setelah dikonfirmasi langsung via telepon, Nugroho selaku staf Proto-koler Konsuler mengatakan

bahwa pihak pemerintah pusat meminta untuk melakukan pendataan se-cepatnya. “Pendataan yang kami bataskan hingga ashar waktu itu bersifat sementara, karena pada dasarnya hingga saat ini pun kami masih melakukan pendataan, jadi tidak ada batasan dalam pen-dataan itu,” ujarnya.

Gema evakuasi dan repatriasi kemudian mulai bermunculan di kalangan Masisir, perdebatan mulai hangat dibicarakan. Baik di dunia nyata maupun dunia maya yang ikut menjadi saksi perdebatan

Masisir. Munculnya dua grup Facebook “Mendesak

Evakuasi Masisir Jilid II” dan “Jangan Evakuasi Kami dari Mesir” dalam waktu yang sama menjadi bukti adanya dua komunitas yang saling bersitegang, antara pro dan kontra.

Ahmad Sadzali, ma-hasiswa asal Banjarmasin,

◙Sorot

Kebijakan KBRI Sulut Kontroversi

W aktu menun-jukkan pukul dua belas mal-

am, namun komentar dan like di sebuah halaman FB malah makin ramai. Penyebabnya adalah postingan provokatif yang berke-naandengan Grand Syaikh al-Azhar, Ahmad Thayyib. Bahkan, di salah satu media online, berbagai pemberitaan negatif tentang beliau menuai banyak komentar, baik dukungan maupun hujatan.

Di Hay „Asyir, kru In-

formatika sempat bertanya kepada

SN, DT dan AP, mahasiswa ting-kat dua Syariah Islamiah, mengenai sosok Syaikh al-Azhar dan rektor Universitas al-Azhar. Namun, jawaban yang kami dapat-kan sangat menyedihkan, “Kurang tahu”.

Kemudian kami mengajukan pertanyaan yang sa-ma kepada ZI, mahasiswa Bu‟ust yang relatif dekat dengan kom-pleks perkuliahan. Ternyata, ZI juga hanya mengenal Syaikh Ah-mad Thayyib, namun tak

Mahasiswa

◙Lapsus Pudarnya Kode Etik Jurnalistik

Selengkapnya... Hal 5

Tak Tahu Ulama

Selengkapnya... Hal 6

“S aya sih ga‟ pernah buka media online berbahasa Indo, Om!” tutur Yuli Yasin pada

Informatika. Putri pengasuh salah satu

pondok pesantren di Jawa ini mengaku tak pernah membaca berita kemesiran dari media berbahasa Indonesia. “Masa iya, kita ada di Mesir, tapi baca berita tentang Mesir dari media berbahasa Indo.” Benda-hara IAAI ini mengaku enggan karena takut bila kawan-kawan WNI salah mener-jemahkan beritanya. “Apalagi sekarang, kan Masisir jadi terpola sesuai ke-percayaan. Masing-masing punya alasan dan sumber bacaan.”

Maraknya media online berbaha-sa Indonesia saat ini -seperti Moslemin-fo.com, Islamedia.com, Fimadani.com, dakwatuna.com, kabaris-lam.wordpress.com, muslimmedi-anews.com- bisa berdampak baik dan buruk. Muhammad Hidayatullah, maha-siswa pascasarjana Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar, memberi pan-dangannya, “Sebagaimana lumrahnya

dalam segala hal, sebenarnya media online itu baik juga, karena kita bisa baca berita super cepat. Tapi ada juga sisi bu-ruknya,” tuturnya.

Ia menambahkan, pembaca memiliki banyak alternatif berita, sehingga bisa mengkomparasikannya dan tak fanatik terhadap media tertentu. Se-dangkan sisi buruknya, menurut warga Gamajatim ini adalah mudahnya terjadi pembohongan publik. Pembaca juga cenderung gampang menyalahkan media tanpa tahu duduk perkara. “Di titik ini pem-baca dituntut untuk cerdas memilih dan memilah berita yang sampai kepadanya,” lanjut Hidayat.

Berbicara masalah independensi jurnalis, dijelaskan media harus netral dan independen, serta tak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi hingga terjadi fitnah dalam pemberitaan. Menurut Hidayat, keberpihakan suatu media pada golongan tertentu, sebenarnya kurang baik bagi media tersebut karena dalam kode etik jurnalistik, media harus netral. “Tapi, jika harus berpihak pun, satu-satunya yang boleh adalah berpihak pada kebena-

ran,” tandas Hidayatullah. Sementara itu, Wahyudin Apud,

mahasiswa pascasarjana asal Sukabumi, mengatakan bahwa keberpihakan media tersebut kepada satu golongan sangat terlihat dari penyampaian beritanya. Ia mengatakan bahwa sejatinya seorang jurnalis dalam membuat berita harus mengedepankan kode etik jurnalistik dan memberikan berita yang berimbang kepa-da publik. “Jadi tak hanya memuat satu pandangan golongan tanpa memper-hatikan pendapat dan realita dari golongan lain,” komentarnya.

Lebih jauh, Gubernur KPMJB ini menyatakan bahwa jika mereka (wartawan.red) menganggap pendapat mereka benar dan berlandaskan pada realita, maka mereka harus berani men-jelaskan dan mempertanggungjawabkann-ya kepada publik tentang pendapatnya.

Lantas apa keuntungan mereka dari membuat berita miring tersebut? Menurut Wahyudin, adanya keinginan mengekspos suatu tragedi dari sisi positif

Selengkapnya... Hal 4

Page 4: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013 4

bagi golongan tertentu dan menjatuhkan atau bahkan menjelekan golongan lain. “Padahal ini sebuah etika yang tak layak dilakukan oleh seorang jurnalis,” ungkap-nya.

Hal senada diungkapkan Saeful Luthfy. Menurut mahasiswa Usuludin asal Cirebon ini seharusnya media mematuhi kode etik jurnalistik dan benar-benar kro-scek. “Laisa al-khabaru kal mu'ayanati, berita tak akan valid jika hanya mendengar kabar simpang siur tanpa melihat langsung di TKP,” tuturnya.

Menurut Fahmi Hasan, mahasiswa Syariah Islamiah, sisi negatif dari media-media online tersebut adalah kurangnya profesionalitas dalam mengambil sumber berita. Pemuda asal Bandung ini menga-takan, meski mereka (media online.red) mengutip berita kemesiran dari media local Mesir, namun hanya dari satu pihak. Se-baliknya, menurutnya, media-media kita yang di Indonesia kebanyakan hanya men-gutip dari media-media berbahasa Inggris, seperti: Reuters, Al Jazeera English, BBC dan sebagainya, tanpa memerhatikan me-dia-media lokal Mesir, seperti Ahram dan Youm Sabi' yang berbahasa Arab. “Ya, jadinya sebelah pihak,” imbuhnya.

Adapun sisi positif media online, menurut pegiat buletin Terobosan itu, ada-lah cepatnya berita tersebar. “Termasuk yang sekarang hangat berita tentang pe-nutupan sekian ribu masjid yang mereka kutip dari sumber Ikhwan,” ungkapnya. “Dan akhirnya semua kembali kepada pem-baca,” timpal Fahmi.

Sedangkan menurut Tsabit Qoda-mi, mahasiswa Syariah Islamiah asal Ci-lacap, banyak dari media-media itu tak tahu kode etik dari prinsip tabayun. Pemred Ter-obosan periode 2011-2012 selanjutnya mengutip perkataan Bapak Rosihan, seorang wartawan senior, “setiap media sah-sah saja mengangkat permasalahan. Hanya saja, seorang jurnalis itu tak boleh langsung menjustifikasi dan harus banyak membaca fakta dan data lalu mengkompar-asikannya.”

Menurut warga Madinah Bu‟uts ini, kemungkinan terjadi jual beli berita dalam media-media itu. “Tak heran kalau bebera-pa media ada yang tak profesional dan tak independen, karena kalau mau menang dalam hal politik, ya, kuasai dulu median-ya.” Selain itu, katanya, mereka ingin mengambil keuntungan dengan cara pen-galihan isu, sehingga jika masyarakatnya belum bijak, maka masyarakat akan lupa. “Contoh, kasus Century. Setelah itu datang kasus Ariel (sebagai pengalih, red.),” imbuh Tsabit.

Selaras dengan pernyataan Tsabit, Hadi Bakri Raharjo berpendapat bahwa media adalah sarana untuk men-guasai dunia. Mahasiswa Ushuludin ini mengatakan, “Barangsiapa yang ingin men-guasai dunia, maka kuasailah media. Saya kira, berangkat dari adagium ini disimpul-

kan media-media itu dibuat atas kepent-ingan.” Demikian pula dengan kasus media media online serampangan yang kerap membuat gempar. Bakri berpandangan mereka hanya memberitakan apa yang sesuai dengan kepentingan mereka saja, tanpa mempedulikan berita yang faktual dan etika jurnalistik lainnya. “Admin yang sulit diidentifikasi membuat mustahil untuk mengupayakan tabayyun,” tutur Bakri.

Untuk menyikapi dampak buruk dari media-media tersebut, mahasiswa asal Indramayu ini menilai perlu adanya pencer-dasan massal kepada para pembaca ten-tang bagaimana membaca berita yang baik dari media online. Ia mengaku berharap meski media memiliki kepentingan, tapi mencerdaskan masyarakat, khususnya mengenai jurnalistik. “Sehingga masyarakat mampu menilai sendiri dengan objektif ma-na media yang baik dan yang tidak,” ujar mantan ketua Sema Fakultas Usuludin ter-sebut.

Berbicara mengenai kode etik jurnalistik, Zulfahani Hasyim, pegiat media Masisir, mengatakan bahwa kode etik jurnalistik adalah aturan yang di- sepakati oleh sejumlah wartawan profe- sional dari media- media resmi dan ter-daftar di kemen-trian komu-nikasi dan infor-masi, serta sah secara hukum. “Kode etik ini sebagai landasan yang bisa digunakan wartawan untuk menggali, meliput berita, dan menyebarkannya ke khalayak luas,” ujar Zulfahani.

Karena itu, menurut mahasiswa yang tinggal di Hay Sadis ini, kode etik wajib dipahami masyarakat umum, hingga masyarakat bisa melaporkan para warta-wan jika melanggar. Nah, persoalan sekarang, apakah media-media online yang menyebarkan berita di dunia maya itu ada-lah media resmi dan profesional yang harus tunduk pada kode etik.

Bagi Zulfahani, bisa jadi mereka (media-media online, red.) hanya bagian dari corong suara sekelompok orang dan ormas. Bisa pula merupakan alat politik suatu parpol. Maka, mereka tak perlu tun-duk pada kode etik jurnalistik. Toh, mereka bukan wartawan resmi dan profesional. “Ini hanya bagian dari “citizen journalism” di mana warga masyarakat menjadi partisipan dalam membuat laporan, opini, dan analisa sebuah fenomena,” ujarnya. Jika citizen journalism ini dikelola oleh media resmi, maka media tersebut yang memberikan beberapa aturan sebagai kode etiknya. “Ini bergantung pada kebijakan internal masing-masing media,” imbuh pemuda asal Banyumas, Jawa Tengah tersebut. Sifrul akhyar, aktivis media Masisir, mengatakan masalah objektifitas media memang kembali kepada pembaca.

“Harus banyak baca, mengomparasikan, menyaring dan menyimpulkan. Kalau perlu investigasi lapangan langsung,” ujar Wakil presiden PPMI Mesir ini. Bahkan narasum-berpun bisa didesign, dengan wawancara orang yang pro pada kepentingan media tersebut. Selain sisi negatif, menurut Sifrul, sisi positifnya media online pun banyak. Pertama, diantaranya kemudahan dan penghematan. Kita tidak perlu pergi ke toko buku atau kedai koran untuk mendapatkan informasi, selain juga yang pasti transfor-masi beritanya lebih cepat. “Kejadian yang terjadi jam ini, bisa langsung kita tahu, tu-turnya. Adapun sisi negatifnya adalah menurunnya hubungan sosial antar individu dan berkembangnya jurnalis-jurnalis „amatir‟, terutama di media sosial. Inilah yang dapat menggerus populasi jurnalis professional. “Seringkali pemberitaan itu hanya mengejar kecepatan, akibatnya mengabaikan keakuratan,” imbuh maha-siswa Syariah Islamiah tersebut.

Ditanya tanggapannya terhadap masalah ini, Muhammad Nur Salim, mantan ketua KSW ini menjawab lebih baik mengarahkan kreativitas dan tenaga kita untuk yang lain saja. “Yang kayak gitu menurut saya nggak usah dianggap. Apa ada manfaatnya selain provokasi?” Ia juga tak heran bila media-media tersebut me-nolak diwawancarai. “Ya, jelas nggak mau! kan nggak resmi.” Pria yang pernah men-jadi kru buletin Prestasi KSW itu juga ber-pesan kepada para jurnalis agar bekerja profesional dan memegang kaidah-kaidah periwayatan dalam tradisi Islam ketika berurusan dengan berita. “Untuk pembaca, hati-hatilah memilih konsumsi berita agar tidak disesatkan,” imbuhnya.

Pemred Buletin Afkar NU, Muham-mad Amud Shofy menjelaskan bahwa akar masalah media online adalah ketid-akdewasaan para pegiatnya. “Sebenarnya media online itu bagus, cuma fenomenanya yang tak dewasa, sehingga ada keber-pihakan bahkan sampai menyerang golon-gan,” ungkap Amud. “Apapun medianya, kalau berpihak pada satu golongan, sudah jelas merusak kode etik jurnalistik,” lanjut pria asal Cirebon ini. Ia juga menambahkan sebagai seorang jurnalis kita harus profe-sional dan independen dalam memuat beri-ta.

Sepakat dengan Zulfahani, Amud

mengatakan bahwa keberpihakan

sebenarnya merupakan hak tertentu. Setiap

orang bisa saja memihak golongannya dan

menyerang golongan tertentu, asal ada

fakta dan data valid, bukan mengada-ada.

“Sebenarnya, mereka para penulis di media

online itu tentu tahu apa yang diberitakan

itu melanggar kode etik jurnalistik, hanya

saja mereka tak mau tahu dan me-

nutupinya,” sambungnya. (Suhardi, Farah,

Kamila) ◙

Pudarnya Kode Etik… Lanjutan halaman 3

Page 5: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

mengungkapkan masalah repatriasi sekarang bukan terkait masalah keamanan lagi. Menurutnya, saat ini Masisir berada dalam kondisi yang relatif aman, se-dangkan yang dilakukan oleh negara Ma-laysia, Thailand dan Filipina itu lebih kepa-da memberikan tekanan politik kepada pemerintah Mesir sekarang.

“Indonesia kedudukannya kan ditengah-tengah, sesuai dengan pern-yataan Pak SBY, Indonesia berada dan mendukung sikap Syaikh al-Azhar, artinya secara politikpun Indonesia masih men-dukung pemerintahan yang ada sekarang,” lanjut koresponden majalah Hidayatullah tersebut.

Menyikapi pendataan yang sem-pat diinstruksikan KBRI, Sadzali menjelas-kan pendataan warga merupakan kewajiban pemerintah, dan itu adalah per-siapan, sekaligus langkah awal sebagai antisipasi jika kondisi Mesir semakin mem-buruk. “Memang ketika ada pendataan cepat di awal dan terkesan memberi hara-pan palsu, tapi saya pribadi bisa me-mahami langkah seperti itu,” ujar maha-siswa yang baru saja menyelesaikan jen-jang S1-nya itu.

Kamis, (29/8), Dahlia Kusuma Dewi, Fungsi Pensosbud KBRI Kairo, memberikan klarifikasi terkait isi intruksi pemerintah pusat, “Instruksi itu sebenarnya bukan untuk repatriasi, tapi untuk melakukan pendataan dengan format yang kita buat, artinya pendataannya ada skala prioritas dari mulai ibu hamil, anak-anak, mahasiswi, lalu mahasiswa. “Masih menurut Dahlia, pendataan ini sampai sekarang masih terus dilakukan. Antisipasi jika sewaktu-waktu diputuskan untuk sege-ra melakukan repatriasi,” imbuhnya.

Hal senada dilontarkan oleh Ipung Purwadi, Atase Pertahanan KBRI Kairo, ia mengatakan kondisi keamanan Mesir sekarang semakin membaik, maka untuk saat ini repatriasi belum perlu dilakukan. “Kami akan selalu memantau perkem-bangan kondisi keamanan Mesir setiap harinya dan kami akan selalu siap untuk melakukan repatriasi jika sudah diper-lukan,” lanjutnya.

Fahmi Lukman selaku Atase Pen-didikan juga turut memberikan komentar terkait wacana repatriasi dan proses pen-dataan yang tersendat. Ia mengatakan bahwa presentasi tempat yang aman masih lebih banyak dibandingkan tempat yang dianggap rawan, jadi terlalu gegabah jika kita menyimpulkan untuk segera melakukan evakuasi ke Indonesia. “Dengan keadaan yang seperti ini apakah masih perlu evakuasi? Memang, masih ada kericuhan di beberapa tempat, tapi per-lukah memindahkan orang ke luar Mesir? Sampai sekarang ini, rasional jika kita mengatakan belum, karena keadaan yang mulai membaik,” tegasnya.

Kegagalan repatriasi kali ini ten-

tunya menuai banyak asumsi dari ka-langan mahasiswa. Fahmi Farid Permana misalnya, menanggapi wacana repatriasi yang sempat direncanakan dengan syarat oneway, mengatakan bahwa ada aroma yang kurang, bahkan tidak tegas dan ka-bur. Mulai dari kebijakan evakuasi yang diperhalus menjadi repatriasi. Hal ini, menurutnya, merupakan pengaburan mak-na evakuasi itu sendiri. Ada gejala kegamangan dan kebingungan yang boleh jadi dipicu trauma sejarah evakuasi 2011.

“Saya pribadi melihat KBRI cukup berperan aktif mengantisipasi hal tersebut. Walau jika kita baca secara „berbeda‟, boleh jadi evakuasi pada tahun 2011 meninggalkan trauma tersendiri yang men-jadikan opsi evakuasi tidak menemukan

momentumnya saat ini. Hal ini terpotret bagaimana KBRI seolah setengah-setengah dalam mengambil kebijakan,” jelas Fahmi.

KBRI juga turut aktif melakukan aksi tanggap dengan membagikan berbagai kebutuhan pokok seperti beras, sarden, minyak, mie, kecap, adas dan se-bagainya. Di sisi lain bantuan logistik terse-but pun menuai kritik, pasalnya sembako yang dibagikan secara simbolis oleh Dubes Nurfaizi Kairo pada tanggal 19 lalu belum mencukupi seluruh WNI, khusunya dari kalangan mahasiswa yang masih keku-rangan.

Wahyudin Apud menegaskan bah-wa dirinya merasa kebingungan untuk ma-salah teknis pembagian sembako karena dari 400 jumlah anggotanya, KPMJB hanya mendapatkan 9 paket bantuan sembako. “Karena kami juga bingung bagaimana membaginya, maka kamipun meminta kepada anggota bagi siapa yang ingin sem-bako dan membutuhkannya, silahkan da-tang ke Pasangrahan, karena jika dibagikan secara merata, tidak mungkin mencukupi semua anggota,” lanjutnya.

Menanggapi keluhan tersebut, Dahlia Kusuma Dewi menjelaskan bahwa pada awalnya yang menjadi dasar ke-bijakan pembagian sembako adalah adan-ya keluhan dari beberapa WNI. Juga kare-na kebanyakan toko yang menjual barang-barang pokok menutup tokonya, yang mengakibatkan kesulitan mendapatkan bahan pangan. Menyikapi keadaan yang seperti ini, KBRI berinisiatif memberikan bantuan sembako kepada yang membutuh-

kan melalui ketua kekeluargaan. “Ketua kekeluargaan seharusnya lebih tahu war-ganya, Pak Dubes pun mengatakan bahwa ini tak akan mencukupi kebutuhan semua WNI yang begitu banyaknya, tapi bantuan ini kami berikan kepada yang membutuh-kan,” ujarnya sambil tersenyum.

Juga oleh Ipung, “Bantuan logistik tidak diberikan kepada seluruh Masisir, karena KBRI bukan yayasan. Untuk masa-lah kucuran dana, yang jelas itu bukan ban-tuan khusus dari Indonesia, melainkan ini-siatif dari dana KBRI sendiri,” ungkap pria yang akrab disapa Pak Athan ini.

Nurul Chasanah, Ketua WIHDAH 2012-2013, berpendapat sebenarnya pem-bagian sembako semacam ini sudah diatur oleh ketua kekeluargaan. Seperti yang ia alami di KSMR, jika ada bantuan semacam ini, maka ada giliran masing-masing, artinya tidak semua anggota akan mendapatkan bantuan dalam satu waktu. “Ya, kita bersyukurlah dapat bantuan dari KBRI dan juga ACT, walau hanya sedikit dan memang tak mungkin semua anggota kebagian, tapi pasti ketua kekeluargaan sudah memikirkan yang terbaik untuk ang-gotanya,” paparnya menutup perb-incangan.

Selain itu, timbul pertanyaan terkait realisasi gerakan ronda malam KBRI. Dahlia kembali menjelaskan bahwa gerakan ronda malam sudah berjalan sejak bulan lalu, terhitung ketika Mesir mulai memanas. Sebelum diberlakukan jam mal-am, pihak KBRI sempat berkeliling ke wila-yah-wilayah yang sekiranya dianggap ra-wan. Menurutnya, ronda malam ini tak dil-akukan setiap hari, tetapi hanya ketika kondisi Mesir dianggap sedang tak aman.

Dahlia menambahkan, sejak adanya jam malam di Mesir, Pak Dubes memutuskan untuk mencabut gerakan ronda malam, karena ini peraturan pemerintah Mesir. Namun, menurutnya, hotline KBRI tetap berjalan, baik di KBRI ataupun konsuler. “Bahkan kami menambah satu hotline lagi, yaitu layanan terkini seputar keadaan Me-sir,” pungkasnya.

Kritik dan saran pun tak berhenti

terkait kinerja KBRI sebagai institusi yang

mewakili pemerintah pusat. Wahyudin

Apud mengungkapkan sebenarnya KBRI

sudah punya planning ke depan, namun

belum ada semacam pemberitahuan yang

dibocorkan ke warga. “Seharusnya ada

sosialisasi kepada Masisir agar kami tahu

bagaimana kerja KBRI dan apa saja yang

mereka lakukan.” Ia mengatakan sempat

meminta untuk mengadakan perkumpulan

terbuka antara KBRI dan Masisir, supaya

KBRI tahu apa saja keluhan Masisir dan

memberikan solusi secara langsung. “Itu

saja permintaan kita kepada KBRI,” ungkap

Wahyudin Apud. (Ikhwan, Miftahuddin,

Fitria) ◙

5

Kebijakan KBRI… Lanjutan halaman 3

Dok. berdikarionline

Page 6: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

mengenal rektor al-Azhar, Dr. Usama al-Abd. Hal serupa kami tanyakan kepada beberapa mahasiswa, baik mereka yang baru ataupun yang sudah lama. Dari 13 narasumber yang kami wawancarai secara acak, kami mendapat jawaban yang be-ragam, namun kebanyakan mengaku tak mengenal rektor Universitas al-Azhar.

Sebenarnya, ketidaktahuan Masisir terhadap petinggi institusi pendidi-kan mereka sendiri adalah rahasia umum. “Memang benar (banyak mahasiswa tak tahu gurunya, red.), contoh saja jika kita bertanya tentang struktur al-Azhar, siapa nama ulama-ulama dan masyayikh, serta rektornya, mungkin masih banyak yang tak bisa menjawab,” ungkap Mabda Dzikara, sekretaris umum PCINU Mesir yang tinggal di asrama Bu‟uts.

Menurut Zamzami Saleh, ketua umum Pwk. PII Mesir 2010-2012, secara lembaga al-Azhar memang sangat dikenal. Tapi secara kultural dan manhaj, sebagian besar mahasiswa masih belum tahu banyak dan paham. “Untuk mengetahui standar pengetahuan Masisir tentang al-Azhar, harus dilakukan penelitian,” ujar mahasiswa yang baru saja menuntaskan pendidikan strata satunya itu.

Menurut pria yang akrab disapa Uda Zami ini, minimnya pengetahuan Masisir tersebut disebabkan oleh banyak hal. Pertama, sosialisasi di Indonesia yang kurang. Para calon mahasiswa yang akan datang ke Mesir hanya dikenalkan dengan pendidikan perkuliahan. Kedua, talaqqi sendiri baru booming pasca rezim Mubarak. Karena pada masa itu –masa Mubarak-, talaqqi masih diawasi. Ketiga, Masisir sendiri belum merasakan nikmatnya talaqqi di masjid. “Niat Masisir sendiri ke Mesir harus diperbaiki,” tukas pria asal Padang tersebut.

Berdasarkan keterangan Uda Zami yang memperoleh predikat jayyid tiap tahunnya ini, Syaikh Ali Jum‟ah pernah berkata, dalam belajar kita harus mengikuti rukun menuntut ilmu, di antaranya; pelajar, guru, kitab, lingkungan ilmiah yang mendukung kita dan metodologi belajar. Ketika salah satu rukun tidak lengkap, maka proses belajar juga akan terhambat. Karena itu, Azhariy yang mengenyam dunia perkuliahan dan talaqqi harus mengenal gurunya. “Karena ilmu yang dipelajari di al-Azhar adalah ilmu syar‟i, jadi harus jelas sumbernya. Jangan sampai kamu belajar pada orang yang keilmuannya tak teruji,” tuturnya lagi.

Sementara itu, pendapat berbeda namun senada disampaikan oleh Ahmad Hujjaj Nurrohim. Mahasiswa tingkat tiga Syariah Islamiah ini mengatakan bahwa penyebab sebagian mahasiswa tidak mengenal al-Azhar adalah; pertama, kurangnya sosialisasi dari senior kepada junior tentang ulama-ulama al-Azhar secara mendalam. Kedua, kurangnya

kesadaran mahasiswa sendiri. Dan ketiga, belum adanya campur tangan langsung dari pihak yang berwenang di kalangan Masisir, seperti PPMI, atau KBRI pada umumnya. “PPMI tahun lalu mengadakan halaqah hanya beberapa kali dibandingkan dengan acara-acara lain,” jelas pemilik Tempe Alif Tub Romli tersebut.

Masalah ketidaktahuan Masisir terhadap gurunya sendiri tak berhenti sam-pai di sini. Kealpaan ini mengakibatkan kurangnya etika Masisir dalam berinteraksi dengan para guru. “Jika ada satu dua mahasiswa yang menghujat gurunya, itu semata perkara etika,” ujar Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir, Khozien Dipo. Menurutnya, hal itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Yang demikian adalah „keteledoran‟ yang fatal. Menurutnya, -dari fenomena minimnya etika- publik boleh jadi akan membaca sekian motif, semisal: simpati yang berlebihan dan fanatisme pada orang yang menghujat atas cara pandangnya sendiri.

Mengenai fanatisme, baik ter-hadap golongan, partai atau ormas, Zamzami memandang penyebabnya adalah masalah personal. Menurutnya, jika mahasiswa al-Azhar rajin kuliah, talaqqi, dan bertemu dengan masyayikh, insya Allah fanatik tersebut akan hilang. “Seorang thalibus syar‟i tak mungkin melakukan hal demikian. Ini kritikan bagi yang hanya mengambil al-Azhar jâmi‟atan saja,” imbuh lulusan Fakultas Syariah Islamiah tersebut.

Menurut Zamzami lagi, belajar di al-Azhar secara jâmi‟atan (semata-mata kuliah) seringkali membuat para mahasiswa tak mengetahui ilmu adab atau akhlak. Dalam perkuliahan, mahasiswa hanya masuk, belajar, kemudian pulang sehingga tak diajarkan ilmu akhlak. Berbeda dengan mahasiswa yang

mengikuti talaqqi di Masjid al-Azhar. Sebelum memulai maupun selesai belajar mereka diajarkan ilmu adab. “Ketika talaqqi, para murid duduk menanti guru (syaikh). Ketika syaikh datang, mereka berdiri menyalami tangan syaikh. Syaikh-pun tak langsung menyampaikan ilmu, tapi sesuai adab ulama terdahulu, yaitu mengajarkan adab,” tutur Zamzami.

Al-Azhar juga tidak mengajarkan untuk berburuk sangka kepada ulama meski ada perbedaan pendapat. Adab yang paling baik menyikapi perbedaan pendapat itu, menurut Zamzami, adalah diam dan memahami sambil melakukan verifikasi. “Fatabayyanû, ber-husnudzan dahulu!” tegas Zamzami. “Ilmu yang masih rendah tak bisa langsung mencela ulama. Beda soal jika statusnya setara sebagai ulama,” lanjutnya. Menurutnya, Islam tak mengajarkan mencela, meski bila terbukti ulama tersebut bersalah. Islam mengajarkan untuk saling menasehati, atau dengan mendatangi ulama tersebut lalu menyampaikan kesalahannya, tapi tetap dengan adab yang sopan. Terlebih, tidak boleh menyebarkan aib ulama tersebut.

Barangkali fenomena pencercaan

ulama akhir-akhir ini membawa hikmah

tersendiri, yaitu Masisir yang notabenenya

mahasiswa al-Azhar lebih mengenal ulama

-ulamanya. “Memang ironis jika ada

mahasiswa al-Azhar yang tidak mengenal

syaikh dan ulamanya sendiri,” tutur Hujjaj.

“Apalagi guru merupakan pengganti orang

tua di rumah, maka tak sepantasnya bagi

murid mencela atau menghujat gurunya,”

imbuhnya. Dengan pengetahuan Masisir

yang baik mengenai guru-guru dan ulama,

kita berharap fenomena menyedihkan ini

tak „kan terulang di masa depan.

(Khoirunnisa, Aisyah Ummu F, Miftah F).◙

6

Mahasiswa Tak Tahu… Lanjutan halaman 3

Dok. msrwrya.com

Page 7: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

◙Keislaman Nilai Sebuah Niat

Oleh: Nurfitria Qurrotuaini*

J ika berbicara niat, tentu teringat kaidah usulfikih: al-umuuru bi maqâshidiha,

bahwa segala sesuatu kembali ke maksud masing-masing. Pijakan kaidah ini adalah hadis nabi Innama al-amâlu bin-niyât (sesungguhnya segala sesuatu harus disertakan niat). Hadis ini sahih menurut aimmah sittah, walau jika merujuk pada al-Muwaththa‟-nya Imam Malik, beliau tidak memasukannya sebagai kumpulan hadis sahih beliau. Imam Baihaqi dalam Sunan-nya mengatakan, “Tidak disebut pekerjaan jika ia tidak berniat”. Bahkan dalam Musnad Syihab disebutkan jika niat mukmin lebih baik dari pekerjaan itu sendiri. Begitu besarnya nilai niat bagi muslim sehingga Imam Nasâ‟i meriwayatkan, “Barang siapa yang telah berniat bangun malam untuk salat malam, namun tertidur hingga subuh, maka niatnya akan dicatat sebagai amalannya. Tetapi, jika seseorang berniat buruk tak akan tercatat sebagai perbuatannya sampai ia melakukannya.” Sungguh Islam sangat rahim dengan ajarannya dan agama yang paling mudah ibadahnya. Hal kecil seperti niat pun akan mendapat ganjaran selama itu baik. Diceritakan seorang lelaki yang menghabiskan masa hidupnya dengan maksiat: berjudi, mabuk-mabukan dan membunuh. Hal tersebut ia lakukan setiap hari karena faktor lingkungan yang mendukung. Suatu hari datang keinginannya untuk bertaubat dan meninggalkan maksiat. Akhirnya, ia putuskan untuk meninggalkan desanya menuju desa yang ramai ibadah. Sayang, di perjalana ia menemui ajalnya. Tetapi, Maha Besar Allah, apa yang ia lakukan semasa hidupnya terhapus karena di akhir hayatnya ia berniat bertaubat, selain juga jarak desa yang dituju lebih dekat daripada desa yang ia tinggalkan. Pelajaran di atas bahwa niat ikhlas melakukan kebaikan dapat merubah derajat seseorang, walau hidupnya penuh dosa. Niat yang ikhlas berada dalam hati pelakunya karena hakikat maksud seseorang terdapat dalam hati. Imam Baihaqi mengatakan bahwa pekerjaan seseorang terlihat dari tiga hal; hati, lisan, dan gerakannya, maka berniat dalam hati merupakan sepertiga dari amalan. Jika dibandingkan dengan pekerjaan, niat diibaratkan pekerjaan hati si pelaku. Imam Baidhâwi, seorang fakih dan ushuliy, mengartikan niat sebagai keinginan hati seseorang terhadap apa yang ia lihat baik, untuk mengambil manfaat ataupun menghindari mudarat,

baik yang dilakukan saat ini maupun akan datang. Tentunya niat ini dilakukan semata-mata untuk mencari keridaan Allah SWT. Dalam niat sendiri terdapat dua usul; Pertama, sesuatu yang terucap dengan lisan tak cukup tanpa niat dan tidak disyaratkan mengucapkan niat secara lisan jika telah berniat dalam hati. Dari kedua usul tersebut timbul permasalahan-permasalahan antara hati dan lisan, misal dalam usul pertama jika lisan seseorang berbeda dengan niatnya, maka pengibaratan diambil dari apa yang ia niatkan. Contoh, jika seseorang berniat dalam hati salat zuhur pada saat salat asar, maka ibadah yang diterima adalah apa yang diniatkan oleh hati. Begitu pula dalam umrah dan haji. Jika hati berniat haji, walaupun lisannya mengucapkan umrah, maka yang diterima oleh Allah niat dalam hati. Tak hanya itu, dalam masalah niat talak (cerai) Islam mengungkapkan secara detail. Jika lisan berucap talak tanpa sengaja, artinya tak ada niatan bercerai dalam hati, maka suami-istri tidak dikatakan bercerai, dan itu tidak terhitung janji pelaku tersebut dengan Allah SWT. Ucapan talak yang merupakan janji seorang hamba dengan Allah tak akan diterima karena tak ada niatan dalam hati meski perceraian sudah terucap. Sebaliknya, jika janji terucap sengaja, tapi hati tak berniat, maka janji itu tak diterima oleh Allah SWT. Hal ini terdapat dalam mazhab Syafii seperti yang dijelaskan al-Furani dalam al-Ibanah „an Ahkâm furu‟ al-Diyânah. Lain hal jika Thâliq merupakan sebuah nama dan tidak berniat mentalak, maka tak berarti ia menjatuhkan talak secara syariat. Ada pula pendapat yang mencukupkan niat dengan lisan tanpa niat dalam hati, pendapat ini dinyatakan lemah. Seperti halnya zakat, ada yang mengatakan bahwa niat zakat cukup dengan lisan tanpa niat dalam hati, maka zakat seperti ini sebagian berpendapat boleh dan sebagian melarangnya karena niat cerminan ibadah muzaki. Zakat pun dapat diwakilkan dengan syarat niat dalam hati pula. Dalam usul pertama ini dijelaskan beberapa permasalahan bahwa niat tidak cukup secara lisan, tetapi harus ada niat dalam hati pula. Usul kedua, dalam hal niat tidak disyaratkan mengucapkannya secara lisan, jika sudah berniat dalam hati. Contoh sederhana jika seseorang membangun sebuah gedung dan berniat menjadikannya masjid ataupun tempat ibadah, maka gedung tersebut menjadi masjid sesuai dengan niat awalnya. Walaupun secara

kasat mata bentuk gedung tidak menyerupai masjid, tetapi pahala bagi orang tersebut sama halnya dengan membangun masjid. Hal semacam ini tak perlu diungkapkan secara lisan, cukup dalam hati. Seperti diungkapkan di awal, jika seseorang berniat maksiat, namun belum diucapkan atau dikerjakan, maka ia tidak akan berdosa kecuali jika ia mengerjakannya. Dalam kitab al-Halabiyyât, Syaikh Taqiyuddin al-Subki mengatakan ada lima tingkatan niat bermaksiat. Pertama disebut hâjis, yaitu sampainya keinginan maksiat ke dalam hati seseorang dan ini tingkatan terendah. Lalu Khâtir, yaitu adanya niatan dalam hati untuk melakukan maksiat itu. Selanjutnya hadits an-nafs, masa kebimbangan antara melakukan maksiat atau tidak. Kemudian di atasnya hamm dan „azam. Dalam al-Asybâh wa an-Nadzâir Imam al-Suyuthi mengemukakan perbedaan pendapat beliau dengan Syaikh Taqiyuddin al-Subki tentang hamm dan „azam. Menurut beliau hamm merupakan niat yang tercatat sebagai amalan sesuai hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari. Hadis itu menjelaskan sesungguhnya keinginan (hamm) berbuat baik akan tercatat sebagai kebaikan pula, sedang keinginan berbuat buruk tak akan dicatat sebagai keburukan. Jika ia meninggalkan keinginan buruk yang ia niatkan, ia mendapat kebaikan. Tetapi, jika ia mengerjakannya maka akan tercatat sebagai satu keburukan. Sedang Syaikh Taqiyuddin al-Subki menyatakan kata „azam untuk pemakaian niat sendiri. Kata „azam yang ia rujuk berdasarkan pemakaian para ahli bahasa dalam usul fikih tidak bisa dijadikan sebagai rujukan yang kuat hingga detik ini. Dengan hadis sahih tersebut,

selayaknya seorang muslim mengetahui

Allah Yang Maha Bijaksana tak pernah

membebani umat-Nya. Hal sekecil niat pun

jika untuk berbuat baik dan ikhlas, maka

hasilnya pun baik dan berbuah kebaikan.

Dan betapa Allah Maha Penyayang,

keburukan yang sudah diniatkan tak akan

dicatat selama itu tidak diucapkan dan

dikerjakan. Wallahualam. ◙

*Kru Informatika

7

Page 8: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013 8

Berbisnis di Tengah Konflik ◙Lapsus

“S ampai sejauh ini belum terlihat (pengaruh krisis Mesir terhadap Indone-

sia)," ujar mantan Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, dalam pernyataannya di sebuah media online tanah air. Namun, sejauh manakah krisis Mesir sendiri mempengaruhi warga kita yang kini menetap di dalamnya, serta bagaimanakah pengaruhnya terhadap usaha mereka. Menurut Heri Nuryahdin dengan diberlakukannya peraturan jam malam tentu berdampak pada income mereka, terutama enam hari setelah peristiwa ekstrim itu terjadi. Namun keadaan seperti ini tidak menghalangi niat baik mereka untuk tetap melayani para konsumen sebaik mungkin. “Alhamdulillah sampai saat ini, jasa pengiriman uang kami masih bisa berjalan dengan normal seperti sedia kala,” ungkap Heri yang menjabat sebagai Manajer Transferindo. Ia juga menuturkan, “Sebagai seorang entrepreneur sejati mereka harus berani jatuh bangun dalam dunia bisnis. Entrepreneur juga merupakan elemen penting dalam kehidupan, karena mengajarkan untuk terbiasa dengan tangan di atas yang tentu lebih baik daripada tangan di bawah.” Tak jauh berbeda dengan Transferindo, ATM Al-Masry yang juga bergerak di bidang pengiriman uang juga menghadapi kendala yang sama. “Meskipun tidak berdampak pada segi fi-nansial kami, tapi sangat berdampak pada finansial nasabah kami. Karena kurs Indo-nesia yang semakin memburuk,” ungkap Agus al Masry, Manajer ATM Al-Masry. Sementara itu Cargo NU, salah satu jasa pengiriman buku dan barang, mengakui cukup terpengaruh dengan situasi panas yang kini melanda Mesir. Selain mengalami kendala finansial, perusahaan yang dikelola oleh Sonhaji dan Muhammad Ariq Udlohi itu juga mengalami kendala ketika pengambilan barang kiriman. Namun, menurut mereka, semua itu bisa disiasati dengan baik sehingga tetap berada dalam koridor pengiriman seutuhnya, yaitu dengan cara memajukan lebih awal waktu untuk pengiriman buku atau barang. Selain juga sebagai lahan bisnis, jasa pengiriman buku tersebut mempunyai orientasi untuk memupuk kemandirian Masisir, menjalin silaturahim antar anggota NU (Nahdhatul Ulama) maupun non NU. “Kita juga akan melebarkan sayap dalam artian tak hanya menerima jasa

pengiriman buku saja namun juga melayani jasa pembelian buku-buku kontemporer dari Mesir-Indonesia yang nanti kita distri-busikan ke pesantren Sidogiri, Jawa Timur dan pesantren-pesantren lainnya,” ujar Ariq yang merupakan mahasiswa Jurusan Usuludin asal Tuban, Jawa Timur. Habibul Anami, pemilik Anami Travel, juga mengalami hal serupa akibat konflik horizontal yang melanda Mesir. “Kalau ke bisnis berpengaruh banget, Mas! Orang jadi takut kalau mau ke Mesir,” tutur Habibul.

Yahya Ibrahim, manajer Resto Farawla yang terletak di kawasan Hay Sabi‟ juga mengalami kendala yang serupa. Ia mengaku kondisi Mesir yang belum stabil membuat keuntungan yang diperolah menurun, bahkan memaksa mereka untuk menutup math‟amnya. “Adanya hazru tajawwul, atau larangan untuk keluar malam dari jam tujuh malam sampai jam enam pagi, dari pemerintah Mesir ini sangat berpengaruh kepada usaha. Orang Malaysia atau masyarakat umumnya tidak mau keluar berbelanja kalau sudah pada waktu larangan keluar malam tersebut,‟‟ ujar Yahya yang merupakan mahasiswa asal KMM. Berbeda halnya dengan warung Baraya. Warung makan yang berada di kawasan Gami‟ ini, mengaku tak pernah sepi dari pelanggan. “Alhamdulillah meski kondisi mesir labil saat ini, kita masih diberi rizki yang cukup,” imbuh Didi Suryadi, ma-hasiswa asal kekeluargaan KMB.

Termasuk usaha home industry

turut terkena imbas dari konflik Mesir tersebut. Seperti apa yang dialami oleh Tempe Bawabah. Usaha yang bergerak di bidang pembuatan dan penjualan tempe tersebut mengaku mengalami kendala dengan diberlakukannya jam malam. Salah satu pegawai Tempe Bawabah, Ahwazy Anhar, mengungkapkan biasanya Tempe Bawabah menitipkan dagangannya di toko sayur di Bawabah Tiga, tetapi karena diberlakukannya jam malam, toko sayurpun buka hanya sampai sore sehingga membuat income mereka menurun. Untuk menyiasati hal tersebut, lanjut Ahwazy lagi, Tempe Bawabah me-

nyediakan layanan delivery tiap hari se-hingga keuntungan yang akan mereka

peroleh bisa digenjot. Usaha yang kini terdiri dari 4 orang itu, menjual

tempenya dengan berbagai macam harga. Untuk harga di kedai sayur dan delivery, mereka patok tiga Junaih. Namun, jika pelanggan da-tang langsung ke rumah untuk membeli atau untuk dijual kembali akan mem-peroleh harga khusus. Selain itu, mahasiswa asal KMM tersebut menuturkan bahwa

berbisnis itu merupakan pekerjaan yang mulia. “Karena

berdagang termasuk awal pekerjaan Nabi Muhammad SAW,

bahkan dunia sekarang dikuasai oleh mereka para pengusaha. Itu

menjadi motivasi tersendiri bagi saya untuk berbisnis,” papar mahasiswa yang juga aktif di Indonesian Photographic Society in Cairo (IPSC). Kondisi keamanan Mesir memang terkadang mengundang kekhawatiran, tapi tak seharusnya membuat para pebisnis gulung tikar ataupun rehat sejenak. “Sudah seharusnya mereka tetap eksis. Karena suatu bisnis bisa berkembang karena melawan tantangan yang ada,” tutur Heni Septianingsih, mahasiswi tingkat dua Syariah wal Qanun. Menurut gadis asal Kediri, Jawa Timur itu, sejak militer Mesir memberla-kukan jam malam seharusnya mereka be-rusaha mencari antisipasi guna menghindari kerugian dalam jumlah besar “Mereka harus bekerja ekstra keras sebe-lum berlakunya jam malam ataupun men-gubah jadwal kerja di luar jam malam,” ujarnya. (Assadullah, Fatimah, Hielya) ◙

Dok. Google.com

Page 9: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

Panggilan Pertiwi Untuk Semua Anak Bangsa

9

“I ndonesia tanah airku, tanah tumpah darahku." Sepenggal lirik yang tak

pernah surut digemakan di seantero negeri pertiwi. Selang sehari setelah Indonesia tersenyum riang merayakan hari ke-merdekaannya ke-68, 18 Agustus 2013, digelar acara agung yang melibatkan seki-tar 3.800 orang sukses Indonesia di luar negeri yang pulang kampung. Mereka berkumpul untuk mengikuti Kongres Dias-pora Indonesia II di Jakarta Convention Centre (JCC), Senayan, Jakarta.

Kongres kedua Diaspora ini dibu-ka langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rentetan acara dimulai dari tanggal 18 Agustus bertemakan “Publik Forum Pencak Silat for World” dengan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Roy Suryo, sebagai narasumber serta Ketua KONI, Tono Suratmana. Agenda ini berlanjut tiap hari dengan tema berbeda hingga 20 agustus dan ditutup langsung secara resmi oleh Mantan Presiden Indonesia ke 3, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie.

Pada even kali ini, perantau Indonesia di Mesir turut mengirim delegasinya. Delegasi yang mayoritas pelajar ini beranggotakan Jamil Abdul Latief (ketua Diaspora Indonesia di Mesir), M. Saefuddin, M.A. (ketua Muntada dan ketua delegasi), Murtadlo Bisyri, Lc. (anggota Muntada dan ketua tim penyusun buku Profil Diaspora Indonesia di Mesir ), Nuhdi Febriasnyah, Lc. (ketua PCIM Mesir dan ketua tim penyusun makalah), M. Latip (anggota tim penyusun buku Profil Diaspora Indonesia di Mesir).

Menurut Muhammad latip, ang-gota tim penyusun buku profil Diaspora Indonesia di Mesir, visi dan misi pengurus Diaspora Indonesia di Mesir adalah mem-berikan support agar potensi yang dimiliki para anggota semakin maju. “Agar potensi yang dimiliki para anggota (Diaspora Indo-nesia di Mesir, red.) dapat bersaing dengan penduduk setempat,” imbuhnya.

Tuturnya, Masisir adalah bagian dari Indonesian Diaspora in Egypt (IDE) dan kontribusi mereka memberi yang ter-baik dari apa yang mereka dapat di Mesir. Adapun program jangka pendek IDE ini meningkatkan kualitas Diaspora Indonesia di bidang yang digeluti, baik kuliner, kajian keilmuan, jurnalis, bisnis dan prestasi akad-emik. Program jangka panjangnya bagaimana agar bidang-bidang yang ditekuni oleh IDE disegani oleh Mesir. “Contoh nyatanya, produk Indomie, pencak silat, dan memasyarakatkan bahasa serta budaya Indonesia,” ujarnya.

Pelaksanaan program kerja IDE langsung ditangani dua badan. Badan pre-sidium dan Badan Eksekutif. Badan presidi-um terdiri dari 8 orang yang merupakan

representasi dari home staff KBRI, local staff KBRI, PPMI Mesir, WIHDAH, El-Montada, ormas, pers dan pebisnis. Se-dangkan badan eksekutif diketuai oleh saudara Jamil Abdul Latief yang dibantu oleh segenap jajaran pengurus.

Menurut Latip, ketua Diaspora memang jatuh ke tangan mantan presiden PPMI, Jamil Abdul Latief, tapi bukan sema-ta-mata karena jabatan yang pernah diem-bannya itu. “Ini adalah keputusan kita ber-sama, hasil dari

musya-warah home staff KBRI, local staff KBRI, PPMI, Wihdah, El-Montada, ormas, pers dan pebisnis, serta almamater dan beberapa organisasi di lingkup Masisir,” ungkap Latip. “Jadi belum tentu presiden PPMI selanjut-nya bakalan jadi ketua Diaspora,” imbuh pria asal Jakarta ini.

Jamil Abdul Latief saat ditemui

awak Informatika menjelaskan bahwa Dias-

pora Indonesia merupakan komunitas Indo-nesia yang berada di luar negeri. “Walau orang itu tidak bisa berbicara bahasa Indo-nesia, tapi ia masih memiliki sangkut paut dengan Indonesia, maka ia termasuk dalam Diaspora Indonesia,” tuturnya. Menurutnya, tujuan Diaspora adalah membangun kem-bali rasa nasionalisme warga Indonesia di luar negeri, untuk berkontribusi bagi ke negaranya. “Di samping itu, dengan Dias-pora, networking antara WNI di luar negeri, baik secara organisasi, pendidikan, bisnis dan bidang yang lain dapat dibangun,” im-buhnya.

Terkait isu keberangkatannya ke Indonesia saat ia menjabat presiden PPMI dan kala Mesir sedang kacau, mantan pres-iden PPMI itu memaparkan bahwa hal ter-sebut di luar perencanaan. “Untuk lebih jelasnya saya sudah menulis pernyataan di fb resmi PPMI Mesir, suara PPMI dan

lainya,” tuturnya. Ia juga mengatakan ia telah memberikan surat mandat kepada wakil presiden PPMI, Delfa Hariadi, untuk memegang penuh kendali sementara. “Setelah selesai semua agenda di Indone-sia saya sendiri langsung balik ke Kairo tanpa melakukan kegiatan di luar tugas,” imbuhnya.

Akhwaf Habiburrahman, Menko Sosial, Seni Budaya dan Olahraga PPMI 2012-2013, mengungkapkan Diaspora ini perlu diperhatikan lebih lanjut. Delegasi yang berangkat kemarin hendaknya men-sosialisasikan apa yang telah didapat kepa-da PPMI dan WIHDAH, agar hasilnya dapat dirasakan Masisir keseluruhan.

“Networking yang sudah dibangun hendaknya bisa dimanfaatkan, jadi wujud kongres itu nyata buat kita, khu-susnya Masisir,” ujar Akhwaf. Dengan demikian, menurut Mahasiswa asal NTB ini, jika PPMI mau mengadakan workshop ataupun kegiatan, mereka bisa mengundang narasumber yang berkompeten dalam bidangnya dan mengundang Diaspora yang berada di seluruh dunia.

Salah satu hasil pertemuan Dias-pora itu diantara lain adalah publikasi

silat di luar negeri dan perekrutan warga negara asing untuk mengiku-ti seni pencak silat. Salah seorang pesilat Tapak Suci Kairo, Mujaddid Ramli, menyampaikan dukungann-ya, “Kami dari pihak Tapak Suci

Kairo sangat mengapresiasi kegiatan Diaspora yang salah satu

temanya tentang silat.” Ia juga menu-turkan Tapak Suci Kairo telah membuka

kesempatan bagi warga Mesir yang bermi-nat ikut, serta latihan Tapak Suci. “Hal ini merupakan salah satu cara mengenalkan budaya Indonesia di negeri kinanah ini,” tuturnya.

Namun, selaku pengurus Tapak Suci Kairo ia menyayangkan tak adanya keterlibatan perwakilan Tapak Suci Kairo dalam Kongres Diaspora tersebut. Menurut-nya, seharusnya delegasi yang berangkat memang benar-benar ada kaitan dengan silat sendiri sehingga manfaatnya akan lebih terasa untuk penyebaran silat itu sendiri di Mesir.

“Sebenarnya, kami tak masalah

dengan siapa yang diutus, tapi setidaknya

kalau memang benar-benar ingin mem-

perkenalkan silat ke dunia, seharusnya ada

perwakilan dari pengurus silat di Kairo biar

visi dan misi kita lebih jelas,” ujarnya.

“Semoga saja budaya Indonesia akan lebih

dikenal lagi di dunia internasional,” imbuh

Mahasiswa asal Banten ini. (Abdi, Ziya,

Ratih) ◙

◙Lapsus

Dok. Diaspora Mesir

Page 10: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013 10

Mengapa Bapak masih berani bertandang ke Mesir, meski kondisi di sini sedang kacau? Kalau ada wabah penyakit di sua-tu daerah, maka jangan datang ke daerah itu. Juga kalau ada geger, maka jangan pergi ke tempat geger itu. Tapi, waktu itu saya sempat telpon-telponan dengan yang di sini, katanya gak papa itu, hanya di man-tiqah-mantiqah saja. Ya sudah, akhirnya saya tetap datang. Makanya, jangan tanya mengapa? Ya, karena yang tidak aman hanya beberapa. Menurut Bapak, apakah selama ini media tanah air terlalu berlebihan dalam memberitakan kondisi Mesir? Saya kira tidak, cuma menanggapi situasinya saja yang selama ini Indonesia selalu di belakang. Selain itu, saya juga menyaksikan Al-Jazeera dari parabola, jadi saya kira, tidak berlebihan. Antum juga pernah merasakan belajar di Mesir. Bagaimana perbedaan mahasiswa kita di sini dengan yang di Indonesia? Masalah nilai. Di Indonesia nilai-nilai kehidupan tidak begitu hidup, semua hanya urusan perut ke bawah. Akhlak dan keilmuan juga tidak mempunyai peran be-sar. Tapi, di sini mahasiswa/i masih punya nilai. Betul, saya tidak memuji. Setahu saya, Indonesia payah,dari segi pemikiran, dan akhlak juga sudah bubrah, illa man rahima Rabbi. Jadi, kalau mau nilai, mend-ingan orang Indonesia keluar negeri saja, soalnya Indonesia gitu-gitu saja. Tapi banyak pula mahasiswa yang rasib atau justru berlama-lama di sini. Apa karena terlalu sibuk berorgan-isasi, atau bekerja? Kesalahan sikap al-Azhar yang tidak memberi batasan atau sanksi dan sebagainya, itu yang pertama. Kedua, orang Indonesia di sini yang seenaknya saja, budayanya santai. Ketiga, bangsa Indonesia. Penghargaan terhadap keilmuan dan ilmuwannya di luar negeri juga kurang. Artinya, kalau di tempat lain, seperti di Ma-laysia, orang datang langsung mendapat-kan pekerjaan dan dihargai, tapi di Indone-sia tidak! Makanya orang Indonesia yang kerja di luar negeri nggak balik-balik, pa-ham ya? Jadi, dirumuskan omongan saya tadi. Artinya, mereka takut berubah orienta-si ketika sudah pulang nanti. Orientasi yang

cuma urusan perut ke bawah. Sebagai mahasiswa Timur Ten-gah, kita mempunyai kelebihan selain juga kekurangan. Kira-kira apakah keku-rangan alumni Timur Tengah yang harus kita waspadai? Sekali lagi, jangan sombong! Jan-gan lengah! Jangan dikira Indonesia tidak berkembang! Jangan dikira yang bisa maju itu orang yang dari luar negeri saja! Banyak juga di Indonesia yang sudah tahu bahwa alumni luar negeri ada yang berkualitas dan ada juga yang tidak. Jadi, jangan berlama-lama dan jangan merasa sombong seakan-akan kalau dari luar negeri itu ada nilai plus, padahal dirinya sendiri tidak berkuali-tas. Paham, ya! Kira-kira setelah kita lulus nanti, adakah wadah di Indonesia yang siap menampung para alumni Timur Tengah? Kalau Gontor lain, yuqaddim khirrij-nya. Jadi, kembali ke pertanyaan ente, jawabannya kembali kepada pribadi masing-masing. Kalau dia memang orangnya kre-atif, dia bisa di mana saja. Tapi kalau orangnya hanya menunggu saja, akhirnya klereran (terkatung-katung). Paling da-gang, PT Haji, ngurusi umroh, ya 'kan gitu-gitu aja. Kenapa? Karena jadi guru gak dapat tempat, gaji, dan gak layak. Ya mendingan jadi pengurus umroh. Lantas seberapa besar peran lulusan al-Azhar di Indonesia? Kurang! Saya mengatakan, ku-rang di sini bukan berarti menjelekkan akan tetapi perlu ditingkatkan. Para alumni Timur tengah harus mau meningkat-kan diri dan musti tampil berani untuk berperan dan bertanggung ja-wab. Jangan hanya menunggu disuruh atau menunggu dihor-mati. Kalau kita tidak menunjukkannya, ka-lau kita tidak meng-gerakkan, atau mengeksplorasi diri kita, bakat kita dan sebagainya, maka jangan harap berperan atau akan diperankan di Indonesia. Jadi, apa yang perlu kita

perankan saat pertama kali terjun dalam masyarakat? Pembinaan dan profesi. Artinya, bagaimana dia tidak hanya bergerak dalam profesi, tapi juga bisa menggerakkan masyarakat. Jangan sampai dia hanya tampil sebagai pembina, tapi potensinya dalam usaha dan lain-lain tidak punya. Kasihan itu, nantinya hanya akan direbut oleh 'penjajah'. Saya ingin alumni Timur Tengah khususnya, anti penjajah secara „amaliyyan, bukan hanya fikriyyan saja. Bisa membuat koperasi, membuat PT is-lami yang bisa membendung arus penjajah-penjajah, karena Indonesia sedang 'dijajah'. Bukan hanya liberalisme dan sebagainya, namun juga harus mempunyai kekuatan pribadi, kekuatan ekonomi sehingga berani mandiri. Dengan demikian dia bisa mem-bina masyarakat. Jangan dia be- rusaha tapi tidak

membina, tapi juga jangan dia hanya

membina, na-mun tidak pu-nya usaha. Karena itu nanti hanya bisa jadi al-Imam al-Amplopi, yai-tu ngomong

thok! Se-

bagaimana da-lam

Nikmatilah Masa Menuntut Ilmu KH. Hasan Abdullah Sahal:

“K emodernan itu jiwa, bukan sistem. Jadi, kemodernan Gontor terletak pada jiwanya, bukan sistemnya. Hafalkan ini!” nasehat KH. Hasan Abdullah Sahal, salah satu Pimpi-nan Pondok Modern Darussalam Gontor dalam sebuah status Facebook-nya. Rama-

dhan lalu, beliau kembali melawat anak dan cucunya yang berada di Mesir. Kru Informatika tentu ber-

gegas untuk tidak menyiakan kesempatan ini dalam bersilaturahim, sekaligus berbincang-bincang santai bersamanya terkait asam garam menuntut ilmu di Timur Tengah. Berikut cuplikannya:

◙Wawancara

Do

k.

Prib

ad

i H

aid

ar

Page 11: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

tausiyah Antum kita di sini adalah mun-dzirul qaum, kira-kira nilai apa yang per-tama kali kita tanamkan? Sesuai dengan medan masing-masing. Kalau jadi petani, juga tetap mun-dzirul qaum. Jadi tajir juga tetap mundzirul qaum. Guru juga mundzirul qaum. Kon-traktor juga mundzirul qaum. Mereka semua wajib membina kebenaran, keju-juran dan keadilan. Jadi, mereka punya profesi dan amanah juga. Jangan sampai nggak punya profesi, nanti diambil orang-orang dan 'penjajah'. Akhirnya, kita hanya menjadi decision ngekor, bukan decision mikir. Tidak menentukan, tapi hanya ngekor decision orang. Decision mikir itu orang yang membuat perencanaan. Kalau kita hanya menjadi decision ngekor kita hanya ikut keputusan orang, kalahlah kita! Akhirnya kita 'dijajah', padahal semestinya kita sudah merdeka. Yang terakhir, sekiranya adakah nasihat Bapak untuk calon-calon alumni al-Azhar seperti kami? Ente tahu kalau kamu di pondok tidak dapat Mumtaz, hanya dapat Jayyid, apalagi Maqbul, lalu bodohnya lagi, kamu di luar negeri tidak mau menambal, maka jangan harap kamu akan berkualitas. Jadi kamu harus perbaiki diri. Betul! Orang pin-tar dan berkembang di Indonesia juga ban-yak. Nggak cukup hanya mengatakan ana pernah kuliah di Mekah, ana pernah kuliah

di Mesir, nggak cukup! Jadi, kamu harus lebih dari mereka yang tidak pernah kuliah di luar negeri. Makan makanannya orang Arab, pakaiannya juga Arab, ngomong

omongannya orang Arab, begitu! Jangan nggerombol bahasa Jawa. Keluar negeri malah fasih bahasa jawanya, lha, edan! Jangan sampai kamu keluar negeri justru lebih lancar bahasa daerahnya, kan me-malukan! Tetap, kamu harus memperbaiki kualitas. Jangan sampai ada surat kabar berbahasa Arab atau Inggris, lalu di Indo-nesia ditanya orang, ini karepe piye? Kamu

tidak bisa menjawab, jangan sampai! Bakal banyak pertanyaan, semisal surat kabar al-Ahram, ini artinya apa? Kok, gak tahu, payah! Ngerti, ya? Itulah kelebihan orang luar negeri

dari pada orang yang tidak pernah keluar

negeri. Artinya, kamu supaya belajar

sungguh-sungguh untuk meningkatkan

kualitas. Karena kamu yang pasti tetap

punya kekurangan. Entah mungkin dari

Nahwu-Sharafnya, dalil-dalilnya juga, lalu

hafalan Quran-nya, meskipun sudah ting-

kat tiga. Jangan sampai kamu ndalil Quran

gak pakai Tajwid, ya kan? Masih ada wak-

tu. Pokoknya, jangan biarkan kualitas ente

diremehkan. Saya ingatkan, banyak alumni

luar negeri yang kualitasnya dipandang

sebelah mata. Banyak orang bertitel tanpa

kualitas, banyak orang berkualitas tanpa

titel. Jadi, mahasiswa Timur Tengah harus

punya titel dan punya kualitas. Jangan

sampai kuliah di luar negeri, tapi nggak

tahu bahasa Arab dan bahasa Inggris!

Ngomongnya aja gede. Ingat! Hanya orang

bodoh yang butuh pengakuan. Hanya

orang bodoh yang minta diakui. Jangan!

(Fawatih, Lukman). ◙

11

Selengkapnya...Hal 8

Meraup Berkah dari Guru Oleh: Lina Nabila Ahmad*

S ebagai umat Islam, kita pasti mengetahui wahyu pertama yang Allah turunk-

an kepada Nabi Muhammad SAW adalah iqra‟ – bacalah. Membaca adalah cara un-tuk mendapatkan ilmu, karena dengan membaca kita menjadi paham dan mengerti. Maka sangat jelas sekali bahwa Islam adalah agama yang sangat mempri-oritaskan umatnya untuk selalu belajar dan mencari ilmu. Banyak faktor yang harus diper-hatikan oleh penuntut ilmu, baik dari segi pelajaran yang berlandaskan dengan syari-at Islam, maupun segi guru atau teman. Banyak hadis Rasulullah SAW mengenai pentingnya mencari teman, misal hadis perumpamaan berteman dengan penjual minyak dan pandai besi, “Permisalan te-man duduk yang baik dan teman duduk yang jelek sepeti penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi, mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli dari min-yak wangi atau paling tidak enkau akan dapati darinya aroma wangi. Sementara pandai besi bisa jadi (percikan apinya) akan mengenai pakaianmu atau bisa jadi engkau akan dapati darinya bau asap yang tak sedap.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Maka sepatutnya memilih teman yang baik, tak hanya dalam segi bermain saja, terlebih lagi dalam mencari ilmu. Inilah pentingnya memerhatikan pelbagai faktor yang meliputi pencarian ilmu dan adabnya, karena akan memengaruhi manfaat ilmu itu sendiri. Imam Syafi‟i pernah berkata, tak akan pernah seseorang mendapatkan ilmu, kecuali memperhatikan enam hal: cerdas, rakus (ilmu), bersungguh-sungguh, uang, ber-teman baik dengan seorang guru, serta membutuhkan waktu yang panjang (tidak instan). Karena itu untuk mendapatkan berkah ilmu, para pelajar harus bergaul dengan gurunya secara baik. Menjadikan guru sebagai ladang berkah untuk ke-manfaatan ilmu yang didapat, serta mem-perbanyak doa bagi mereka yang dengan keikhlasan dan kesabarannya mampu menjadikan seorang murid yang tak tahu menjadi tahu, yang tak paham menjadi paham, dan yang bodoh menjadi pintar. Inilah hasil kesabaran seorang guru, serta keikhlasannya. Bahkan Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Aku akan menjadi seorang hamba bagi siapa saja yang mengajariku walau satu huruf.” Menghormati guru dan men-

doakannya adalah bentuk akhlak seorang penuntut ilmu. Bukan malah mencerca, bahkan mencaci makinya jika tak senang kepadanya. Ini bukti tidak manfaatnya ilmu yang diperoleh karena mencaci maki guru dengan nafsunya. Wajar jika banyak ungkapan bahwa jaman sekarang banyak orang pintar, tapi sedikit orang pintar yang berakhlak, mungkin salah satu faktornya kurangnya rasa hormat terhadap gurunya. Wallahu a‟lam. Segala macam ilmu itu ber-manfaat sebagaimana seorang bijak berka-ta, “Ilmu adalah sebaik-baik dan seindah-indahnya perbendaharaan. Ia ringan diba-wa, namun besar manfaatnya.” Namun, seberapa besar manfaat ilmu itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Kare-na ilmu merupakan amanah yang harus selalu dijaga. Banyak cara untuk menjaga ilmu, di antaranya menjaga hubungan baik dengan guru. Seyogyanya pencari ilmu menge-tahui bagaimana agar ilmunya menjadi ladang pahala, bukan sebaliknya! Lantas diupayakan agar ilmu tersebut bermanfaat dan berkah. Semoga hidayah Allah selalu

bersama kita, amin. ◙

*Penus Informatika

◙Gerbang

“Kalau kita tidak

menunjukkannya, kalau kita

tidak menggerakkan atau

mengeksplorasi diri kita,

bakat kita dan sebagainya,

maka jangan harap berperan

atau akan diperankan di

Indonesia.”

Page 12: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

Nasionalisme yang Dipertanyakan

Pancasila Makin Dilupakan Pancasila yang perumusannya sempat berjalan alot, akhirnya mencapai sepakat oleh tim perumusnya, termasuk Bung Karno, resmi menjadi pijakan dasar NKRI. Namun nama Pancasila dewasa ini jarang didengungkan. Lima ayat itu seolah buku kecil usang, terkucil di rak pojok ru-angan yang gelap dan berdebu. Cahayanya mulai meredup, tak lagi diperbincangkan, keberadaannya bagai tak dianggap. Bukan hanya kita yang di luar negeri, bahkan warga kita sendiri yang berada di dalam negeri pun berbondong-bondong melupakannya. Pancasila yang pernah ngetren kala kita SD atau SMP, sering diperdengarkan ketika upacara hari Senin, sekarang tak pernah terdengar lagi. Ada beberapa penyebab men-gapa Pancasila kian ditinggalkan. Salah satunya, pertama perubahan situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsa Indonesia paska reformasi. Baik tingkat domestik, regional maupun global, situasi yang kini telah berubah dan masih akan terus berubah, turut menyebabkan perubahan di kehidupan berbangsa kita. Kemudian kedua, pem-anfaatan teknologi informasi yang jelas san-gat mempengaruhi arah perkembangan bangsa menuju perbaikan atau kehancuran. Di era globalisasi ini, informasi dan teknolo-gi telah menjelma menjadi sebuah kekuatan yang amat menentukan, sekaligus rentan terhadap penyalahgunaan. Ketiga, ter-jadinya pergeseran nilai dan norma yang terlihat dari pola hidup masyarakat Indone-sia juga turut berpengaruh, nilai Pancasila di masyarakat akan dikenang atau justru dilupakan. Selain itu, pada era pra reformasi, Pancasila sempat ditunggangi oleh elit poli-tik sebagai alat melanggengkan kekuasaan. Ambisi politik golongan tertentu menjadi-kannya symbol untuk mengecap lawannya dengan label 'tidak pancasilais', atau keluar dari rambu-rambu negara serta mengan-cam kedaulatan. Sebaliknya, mereka mengklaim dirinya sendiri yang paling benar dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pan-casila. Hal ini juga menimbulkan shock yang berakibat ditinggalkannya Pancasila paska reformasi dan berlanjut hingga saat ini. Dengan perubahan tersebut perlu dil-akukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila supaya dapat dijadikan acuan dan tak hilang dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembaharuan nilai-nilai Pan-casila tersebut tak cuma bagi warga tingkat kanak-kanak atau remaja, namun juga bagi mereka para mahasiswa atau pekerja tanpa memandang usia. Pancasila memang bukan kitab

suci al-Quran atau hadis, namun ruh dan nilai keislaman tetap terkandung di da-lamnya. Dahulu, Pancasila bersama sem-boyan "Bhinneka Tunggal Ika" merupakan kebanggaan bangsa kita yang menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Lantas, sampai hari ini sangatlah jarang orang yang tidak hafal sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa hingga Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, namun mencukupkannya sebagai sekedar hafalan,

tanpa didukung dengan pemahaman dan amalan. Ruh Pancasila harus selalu ditancapkan dalam tiap sanubari bangsa Indonesia. Peringatan Kemerdekaan Tak Berkesan Seolah tak berkesan, meski upacara hari kemedekaan RI dan peringatan Agustus-an senantiasa dil-aksanakan tiap tahun, namun filosofi dari kemerdekaan sendiri pun nyaris hilang di tengah gegap gempita zaman. Makna ke-merdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan nasional tampaknya belum dihayati seutuhnya, baru sekedar perlom-baan, upacara dan hura-hura. Sedang pem-bangunan hakiki yang dicita-citakan sejak dulu masih jauh dari sempurna, hanya berkutat dengan infrastruktur di perkotaan dan tak merata, juga mengesampingkan pendidikan akhlak dan moral bangsa. Se-hingga pembangunan identitas bangsa dan kemerdekaan terjajah oleh ketidakmoralan kita sendiri. Sudah enam puluh delapan tahun sejak pembacaan teks proklamasi ke-merdekaan, namun hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya masih belum terasa. Justru nilai-nilainya mulai memudar. Masyarakat betah dicekoki nilai-nilai destruktif bangsa lain, seperti: westernisasi, globalisasi dan sebagainya. Seakan ke-hilangan jati diri bangsa Indonesia, pemuda-pemudi kita pun terus-menerus diracuni oleh virus-virus luar yang merusak pola pikir mereka. Meski telah menjadi sebuah bang-

sa yang merdeka, namun sebenarnya pan-dangan hidup mereka masih terjajah, cuma bisa mengekor tanpa bisa memilah, baik atau buruk, lalu berakhir terjerembap hanya menyaksikan bangsa lain bersorak-sorai kegirangan. Maksud dari kemerdekaan adalah bebas dari segala macam penjajahan, dari segi budaya, sosial, ekonomi, politik dan pendidikan, termasuk kebebasan dalam membangun bangsa bermoral. Makna dan

nilai sesungguhnya kemerdekaan ini harus diajarkan, maka para pendahu-lu tak boleh berlepas tangan. Makna pengorbanan dan perjuangan harus dipupuk sejak dini. Penerus yang tak tahu jati diri hanya akan menjadi beban tanggungan bangsa ini dan justru akan menyianyiakan nikmat kemerdekaan yang susah payah di-perjuangkan. Tak menutup kemung-kinan tantangan global akan lebih kompleks dan dahsyat di zaman yang makin 'edan' ini. Persatuan Masisir Diragukan Rasa cinta kita sebagai agen perubahan bangsa Indonesia akan sering diuji. Jarak yang jauh dari

Tanah Air, ditambah beragamnya watak WNI di Mesir, menghadang persatuan Indo-nesia di sini. Muncul berbagai kelompok dan golongan di masyarakat Mesir, ternyata juga turut mempengaruhi nasionalisme kita. Mahasiswa Indonesia di Mesir! Sudahkah kalian memahami benar arti mencintai negara yang telah membesarkan kalian atau justru rasa cinta kalian kian memudar? Al-Qoumiah, nationalism atau na-sionalisme dalam KBBI merupakan paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri atau sifat kenasionalan. Tapi, berkaca kepada peran kita selama ini, kontribusi kita bagi tanah air masih belum terlihat nyata. Organisasi-organisasi mahasiswa, PPMI, WIHDAH, kekeluargaan, afiliatif, ormas dan sebagainya bermunculan, namun bukannya mendekatkan kita kepada nusantara, justru mengkotak-kotakkan mahasiswa dalam berbagai golongan. Saat timbul clash di Mesir waktu lalu, WNI justru saling mencerca habis-habisan, entah karena masalah pernyataan sikap, evakuasi dan pelecehan sosok figur. Meski HUT kemerdekaan pada 17 Agustus tetap dirayakan, namun setelah itu kita kembali berperang, justru setelah merayakan kemenangan persatuan bangsa kita. Memang tak terpikir akan terjadi hal-hal tersebut, namun seyogyanya sebagai satu bangsa dan satu tanah air, kita saling menyokong. Kita kembalikan persatuan sebagai cirri khas bangsa kita. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu

jua. ◙

◙Dinamika

12

Oleh : Achmad Fawatih Nurizqi *

Dok. Google.com

Page 13: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

Kepada : Mesir Tercinta Kairo, 21 Agustus 2013 Assalamu’alaikum Kukirimkan salam terindah untukmu, wahai negeri seribu menara, negeri piramida. Negeri Cleopatra. Salam sesejuk embun di pagi buta, salam sehangat mentari waktu duha, salam seindah senja di Alexandria. Salam hormat dariku, seorang penuntut ilmu di negerimu. Semoga keselamatan, kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian kan segera menyertaimu. Mesir, apa kabar dirimu saat ini? Aku tahu kondisimu sekarang sedang tidak sehat, banyak korban berjatuhan di tempatmu. Banyak pula yang terluka, entah luka lahir maupun batin. Hatiku miris melihat semua kejadian belakangan ini. Hatiku teriris menyaksikan orang-orang Islam saling berkelahi, bunuh-membunuh. Telingaku merah terbakar mendengar semua berita itu. Mesir, bagaimana perasaanmu melihat ratusan -atau ribuan- orang berdemo membawa senjata. Bagaimana perasaanmu mendengar suara bom, tembakan, teriakan orang-orang yang terzalimi atau yang menzalimi menjadi satu, memecahkan jendela mata, telinga dan pintu hati manusia? Mesir, bagaimana keadaanmu? Tanahmu telah ternodai oleh darah. Merah, marah, darah para syuhada atau darah orang-orang yang bersalah. Tanahmu telah dikotori. Sesama muslim, mengapa mereka saling berperang? Padahal engkau adalah negeri para nabi, negeri para aulia, negerinya para ulama. Tidakkah mereka mengerti? Mesir, aku tak mengerti mengapa mereka berkelahi, padahal waktu itu adalah bulan puasa Ramadhan, bulan suci penuh ampunan. Aku tahu Ramadhan artinya pembakaran, tapi bukan berarti diri mereka, jiwa mereka, hati mereka terbakar sehingga menjadi kobaran api amarah yang amat besar. Ramadhan pertamaku di Mesir sungguh panas. Musim panas bertambah panas dengan episode pembantaian itu. Terbakar, gerah, resah, gelisah. Aku jadi ingat ketika Nishfu Ramadhan yang bertepatan dengan tanggal 24 Juli 2013 kemarin, aku tersesat di tempat demo di Rab‟ah bersama teman-teman. Kau tahu kan, Mesir, Rab‟ah saat itu menjadi titik pusat demonstran. Saat itu aku

takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Entah ditembak, dibunuh, diculik, atau yang lain. Aku pun kasihan melihat banyak orang tua, bapak-bapak, ibu-ibu, wanita-wanita, dan anak-anak berada di sana. Aku melihat tempat itu seperti tempat pengungsian bencana alam. Iba dan asa memenuhi hati nuraniku. Aku berharap mereka baik-baik saja, hidup damai, aman, sentosa. Mesir, mengapa mereka bunuh-membunuh di bulan suci Ramadhan sedangkan mereka berpuasa? Bukankah

puasa tak hanya menahan haus dan lapar, tapi juga harus menahan amarah serta hawa nafsu yang menjerumuskan pada jurang kenistaan, jurang kezaliman, jurang kematian? Mesir, aku heran mengapa mereka tak bermaaf-maafan di hari lebaran? Padahal mereka orang Islam, pengikut Nabi Muhammad SAW, utusan Allah. Mengapa mereka tak bersalam-salaman lalu berdamai? Padahal hari itu adalah hari Idul Fitri yang hanya sekali dalam setahun? Seandainya mereka bisa menahan, berfikir panjang, bersikap toleran, mungkin tak kan ada peperangan atau pertumpahan darah yang banyak merenggut nyawa dan memakan korban. Tidakkah kau dengar tangisan itu? Tidakkah kau dengar rintihan itu? Tidakkah kau lihat air mata dan darah yang mengalir tanda luka jiwa raga? Mesir, wahai Negeri Seribu Menara! Negeri Nabi Musa! Aku sangat menyukaimu. Kaulah negeri yang sekarang kupijak, negeri yang kukagumi dan amat kuhormati. Aku berdo‟a untuk keselamatanmu, semoga kau selamat dari

orang-orang zalim, selamat dari pendudukmu yang jahat. Semoga kau mendapatkan pemimpin yang baik, saleh, dan bertakwa. Semoga engkau mendapatkan yang terbaik sehingga tak kan terjadi lagi hal seperti ini. Kebenaran dijunjung tinggi, kemungkaran ditumpas dibersihkan, liberal dihanguskan, dan keadilan ditegakkan. Tak kan ada lagi peperangan antar saudara atau pertumpahan darah sesama muslim. Penduduk hidup damai, masyarakat makmur tentram.

Mesir, maafkan aku! Aku tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkanmu. Aku hanya bisa berdo‟a pada Allah di setiap sujud panjangku, semoga engkau cepat aman, damai. Di sela-sela aktivitas aku mengingatmu, betapa kasihan engkau. Ku harap peristiwa ini segera usai, kemarahan ini cepat mereda, kedamaian hadir kembali. Mesir, sekarang aku bingung, apakah aku harus tetap tinggal di bumi kinanah ini atau ikut evakuasi walau hanya one way? Sebenarnya aku ingin tetap bertahan, tinggal diantara „imarah-‟imarah-mu, bangunan-bangunan kotak tinggi ini. Tapi, di sisi lain aku juga ingin pulang ke tanah air Indonesia karena rindu pada kedua orang tua, keluarga, dan semuanya.

Dalam menentukan kedua pilihan ini, aku sudah bertanya dan meminta pendapat orang tua. Tapi Ummi dan Abi percaya bahwa aku bisa mengambil keputusan sendiri. Dan kau tahu, Mesir, apa yang dikatakan Abi? Abi bilang “Mesir adalah negeri para nabi dan rasul Allah juga para Wali Allah. Jadi, Insya Allah para penuntut ilmu Allah akan mendapat perlindungan, rasa aman, tentram, dan semoga Mesir selalu dapat penjagaan dari Pemilik Semesta dan akan segera diberikan solusi yang terbaik. Amin! Mesir, bagaimana kondisimu esok hari? Bagaimana keadaanmu nanti? Tentu pertanyaan ini tak kan terjawab sekarang. Tapi seiring waktu berjalan pertanyaan itu kan terjawab sendiri. Ya, waktu kan menjawabnya. Ku harap jawabannya nanti adalah: “Alhamdulillah, baik.“ Kondisi nanti memang belum bisa diprediksikan, keadaan kemudian hari memang tak bisa dikira-kira. Tapi kami yakin kebenaran kan menang dan kedamaian pun akan datang. Maha benar Allah yang berfirman :

Surat Untuk Mesir

Oleh: Aisyah Ummu Fadhillah*

13

◙Sastra

Selengkapnya... Hal. 14

Dok. Google.com

Page 14: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

“Wa qul jâa al-haqqu wa zahaqa al-bâthilu, inna al-bâthila kâna zahuuqâ” “Dan katakanlah kebenaran pasti datang dan kebatilan pasti musnah, sesungguhnya kebatilan itu pasti akan musnah.” Allah pasti kan menolong dan menyelamatkan kita. Wassalamu „alaikum warahmatullah wabarakatuh. Aisy Najma Penuntut ilmu di negerimu

*** Surat ini sudah selesai kutulis, tapi aku tak tahu harus mengirimnya kemana, harus menyerahkannya kepada

siapa. Haruskah kumengirimnya lewat kantor pos? Atau menitipkannya pada burung merpati putih yang kini jarang kudapati? “Apakah surat ini harus kuberikan pada presidenmu, Mesir? Siapa? Aku tak mengenal presidenmu, aku pun tak pernah bertemu dengannya dan tak bisa menemuinya. Walaupun kuberikan padanya, apakah ia mengerti bahasaku? Tentu ia tak mengerti bahasa Indonesia, aku pun belum mahir bahasa „ammiyyah. Setidaknya, ia mengerti maksud dari suratku, bahasa hatiku, itu sudah cukup, ya kan Mesir?” ucapku dalam hati. Lembaran surat itu pun kulipat dan kumasukkan ke dalam sebuah amplop putih dengan gambar bendera kecil berwarna merah, putih, dan hitam di sudut

kanan atasnya. Sebuah amplop yang sengaja kubeli beberapa bulan lalu di Maktabah Tauhid karena aku sering menulis surat untuk orang tua dan satu-satunya sahabat karibku di Madinah. Setelah semuanya beres, surat yang telah beramplop itu aku simpan dalam kotak berinisial AN, tempat penyimpanan barang-barang berhargaku. “Entah sampai kapan surat itu berada di sana? Dan entah sampai kapan surat itu berdiam diri tak bergerak, tak berpindah ke tangan yang berhak membacanya?” Aku

membatin. ◙

(Aisyah Ummu Fadilah)

*Kru Informatika

14

◙Aktualita

K amis-(29/8). 66 utusan organisasi-organisasi di bawah naungan PPMI

dan perwakilan WIHDAH memadati aula Konsuler KBRI Kairo. Setelah checking peserta hampir 2 jam, Sidang Umum II pun dimulai sehabis zuhur. Agenda yang memuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) DPP PPMI Mesir periode 2012-2013, sekaligus Progress Report MPA PPMI Mesir 2012-2013 ini dipimpin oleh 4 pimpinan MPA yang bertindak sebagai presidium sidang. DPP pun membacakan laporan pertanggungjawabannya di hada-pan hadirin, dilanjutkan dengan pemben-tukan fraksi-fraksi sebelum sesi tanya jawab. Atas kesepakatan tiap fraksi,

Wahid Hasyim selaku presidium sidang mengesahkan LPJ DPP PPMI Mesir 2012-2013 yang dinahkodai oleh Jamil Abdul Latief. “LPJ-nya mumtaz. Saya, yang bi-asanya thabur ngurus visa di Jawazat, di jaman Jamil tidak terjadi lagi. Semuanya cukup kolektif lewat kekeluargaan,” ucap Abdul Gofur mengomentari LPJ PPMI 2012-2013. Di sela-sela sidang turut di-bacakan laporan Panwaslura terkait Pemi-lu Raya dan hasil penghitungan suara. Peserta pun terlihat antusias mengikuti jalannya acara. Di akhir sidang, MPA PPMI Mesir 2012-2013 membacakan Pro-gress Report-nya dan secara resmi mengakhiri masa jabatannya di tahun ini. Sidang dilanjutkan pada Ahad, 1 September, di tempat yang sama. Ber-

beda dengan agenda sebelumnya, Sidang Umum I kali ini berisi pemili-han pimpinan MPA baru dan pelanti-kan anggota MPA periode 2013-2014. Di tengah acara, sidang dis-kors selama 1 menit karena jumlah peserta yang tak memenuhi quorum, yaitu 2/3 dari keseluruhan anggota MPA. Masih dipimpin oleh presidium sementara, para peserta fraksi memilih 5 kandidat pimpinan MPA periode 2013-2014. Terpilih sebagai pimpinan MPA; Abdul Gofur, Zakiah Zainun, Hanofis Kalitrah, Avan Senapraja dan Muhammad Fadli Menyusul selanjutnya, se-rah terima amanat dari presiden PPMI lama sekaligus pelantikan presiden PPMI baru, Amrizal Batu-bara, dan wakilnya, Sifrul Akhyar. Dalam pidatonya, presiden memo-hon doa, saran dan bantuan dalam menjalankan amanahnya. Amrizal turut menyatakan akan pulang ke Indonesia guna mengupayakan

penyelenggaran ujian bagi camaba tahun ini, selain juga meminta pihak KBRI Kairo melaksanakan seleksi bagi mereka jika terpaksa terjun bebas ke Mesir. Menurut-nya, wisuda akan diadakan pada tanggal 3 Oktober mendatang melihat kondisi kea-manan Mesir saat ini. Ia juga menyebut-kan bantuan beasiswa bagi 60 maha-siswa, S1 dan S2. Acara terakhir, namun tidak luput dari daftar agenda, Pro-gress Report BPA PPMI 2012-2013 atau Sidang Pleno V BPA dan dilanjutkan dengan Sidang Pleno I BPA yang berisi pemilihan pimpinan BPA baru dan pelanti-kan anggota BPA masa bakti 2013-2014. Terpilih sebagai ketua BPA 5 orang, mere-ka adalah Arzil, Asep, Muhajir, Beri Prima

dan Roziq. (Rara) ◙

MPA PPMI 2012-2013 Adakan Sidang Umum II dan I

Sambungan Surat Untuk Mesir... Hal. 13

Do

k.

Pa

nitia

Sid

an

g U

mu

m

Pidato pimpinan MPA baru 2013-2014

Page 15: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013

Oleh: Ahmad Satriawan Hariadi*

Antara Pembunuhan Karakter dan Pengkultusan

S ebagai insan akademis, seha-rusnya kita membangun nalar kepekaan dan kekritisan di atas

istiqra yang menyeluruh dan jauh dari ten-densi personal. Bukan sebaliknya. Dengan begitu, kita akan keluar dengan analisis tajam dan kesimpulan objektif, namun tetap menjunjung tinggi norma dan prinsip agung Islam, yang mengedepankan kelapangan dada, menghargai perbedaan pendapat, dan tanpa mendiskreditkan mereka yang tidak sepaham.

Namun karena terlalu berambisi untuk meyakinkan manusia bahwa pendapat kita-lah yang paling benar, kita sering menga-baikan fondasi istiqra menyeluruh. Aki-batnya, orang yang berbeda pendapat dengan kita pun menjadi korban dari duri lidah dan racun tulisan kita.

Lihatlah analisis tendensius saudara-saudara kita terhadap mauqif Syaikh Ah-mad Tayyib! Tulisan-tulisan mereka terus mendiskreditkan Grand Syaikh kita terse-but. Nalar-nalar kritis yang menjadi mahko-ta seorang insan akademis, tergerus oleh api kemarahan yang membuat mereka mencukupkan diri dengan mauqif beliau saat pemakzulan Presiden Mursi dan tidak mau lagi mendengar atau mengikuti mauqif-mauqif beliau setelah itu.

Akibatnya, kekritisan saudara-saudara kita tersebut sudah kehilangan makna dan implementasinya di dalam perkataan mau-pun tulisan mereka. Lebih parahnya lagi, mereka melakukan barbagai macam upaya untuk melegitimasi analisis tendensius mereka yang menghilangkan respek saudara-saudara mereka sesama insan akademis.

Logika pengalaman yang menjadi ba-han pertimbangan dalam kehidupan akade-mis adalah "la ya'rifu qadra rajulin illa rajulun mitsluh", yang berarti tak akan tahu kadar keilmuan seseorang kecuali yang semisal dengannya. Dengan mantik seperti inilah kita harus tahu, mengapa para ulama atau pemikir seperti Syaikh Hasan Syafii, Dr. Muhammad Imarah, Fahmi Huwaidi, Dr. Muhammad Salim al-Awwa, Dr. Muham-mad Mukhtar al-Mahdi, Syaikh Muhammad Isa al-Ma'sarawi dan lain-lain; tetap menar-uh respek yang besar terhadap Syaikh Ahmad Tayyib, meski mereka berbeda pendapat dengan beliau.

Dengan mantik itu pula kita seharusnya berkaca diri dengan para ulama itu, bukan hanya mengambil pendapat mereka yang menolak kudeta ini, lalu mengabaikan kesantunan dan kelapangan dada mereka terhadap Grand Syaikh. Sehingga me-nyebabkan ketimpangan yang begitu signif-ikan dalam kepribadian dan keilmuan kita. Kita menganggap diri berilmu karena bela-

jar di perguruan tinggi Islam ternama, na-mun realisasi keilmuan dan wawasan kea-zharan, yang mengedepankan kematangan akal dan pikiran, kerendahan hati, kesan-tunan, dan kelapangan dada dalam perbe-daan; sama sekali nol dan tak bisa diharap-kan sedikitpun. Pengkultusan Al-Azhar dan Grand Syaikh

Saya tidak heran dengan reaksi yang ditunjukkan oleh saudara-saudara saya yang begitu mencintai al-Azhar dan Grand Syaikhnya; saat melihat al-Azhar dan Grand Syaikh didiskreditkan hingga melampaui titik naluri kewajaran. Lebih anehnya, yang melakukan penghinaan dan pembunuhan karakter ini saudara-saudara saya sesama penimba ilmu di al-Azhar. Kita tentunya sangat menyayangkan, ada sekelompok mahasiswa al-Azhar yang meludah di piring tempat mereka makan.

Reaksi tersebut merupakan akibat yang tak terelakkan dari pembunuhan karakter Syaikh al-Azhar yang mereka gembor-gemborkan lewat beberapa media. Bahkan kemarahan saudara-saudara saya yang begitu mencintai Grand Syaikh semakin tersulut saat media partai politik di Indone-sia memasang karikatur Grand Syaikh --yang mengenakan seragam resmi tentara Mesir dengan serban azhari sebagai pe-nutup kepalanya-- pada artikel pendek yang ditulis oleh seorang mahasiswa al-Azhar, meski kini sudah diganti dengan foto Raja Abdullah dan Jenderal al-Sisi.

Namun yang membuat kita semua gigit jari adalah ketika karikatur Grand Syaikh diletakkan pada artikel yang tidak me-nyebutkan secuil pun nama Grand Syaikh. Okay, paragraf pertama sampai ketiga me-mang mengulas permasalahan fatwa yang mungkin bisa mengaitkan Grand Syaikh. Tetapi, analisis dangkal dan pengabaian istiqra yang menyeluruh pada tulisan anda, tidak akan mungkin mengantarkan anda pada hakikat, dan justru meyakinkan kami kalau analisis tendensius anda semata-mata untuk mengokohkan kepentingan politik dan golongan anda sendiri.

Sekali lagi saya tak heran dengan pem-belaan mati-matian para pecinta Grand Syaikh yang terlihat sampai pada tahap pengkultusan. Bahkan pembelaan tersebut memunculkan paradigma baru bahwa al-Azhar adalah hakikat yang menjadi lum-bung kebenaran. Menyalahi al-Azhar dan Grand Syaikhnya adalah menyalahi kebenaran. Apapun mauqif Grand Syaikh adalah kebenaran yang wajib didukung. Dan seterusnya.

Saya melihat betapa perlunya kita membaca al-Azhar dari awal sampai akhir. Mengapa demikian? Karena paradigma

destruktif yang demikian hanya akan men-gubah orientasi al-Azhar dan menebalkan awan kelam kemunduran al-Azhar itu sendiri. Dengan membaca al-Azhar, kita akan tahu betapa humanisnya al-Azhar dan para ulamanya, sehingga kita pun menatap al-Azhar dan ulamanya dengan tatapan yang humanis, mantiki, dan penuh respek.

Kita, para azhari, setelah mendapatkan pengajaran dari para dosen dan masyayikh di kampus, maupun di Masjid al-Azhar, tentu sangat memahami paradigma seorang mujtahid/alim. Kerangka berpikir seorang mujtahid adalah keyakinan kebenaran pendapat kita itu mengandung kesalahan; dan keyakinan bahwa kesala-han pendapat orang lain itu mengandung kebenaran.

Dengan demikian, tidak ada alasan yang rasional untuk sebuah pengkultusan, baik al-Azhar sendiri maupun Grand Syaikhnya. Al-Azhar pun --di dalam pan-dangan kita-- tetap menjadi rujukan ilmu-ilmu keislaman (marji'iyah „ilmiyah), bukan menjadi rujukan Islam itu sendiri (marji'iyah diniyah). Sebab, yang menjadi rujukan Is-lam adalah Allah dan Nabi Muhammad, bukan al-Azhar, bukan Grand Syaikh, bukan Mufti, dan lain.

Selanjutnya, kita kembali menegaskan bahwa bagaimanapun juga, Grand Syaikh tetap seorang manusia, yang memegang teguh identitas dan tabiat menusia itu sendiri. Kita, selaku anak-anak asuh beliau, harus tetap menatap beliau dengan tatapan hormat dan humanis. Jika hari ini kita mungkin sepakat dengan beliau, maka boleh jadi besok atau lusa kita bisa saja berbeda pendapat dengan beliau. Namun tetap saja, kita harus menghormati beliau, bukan mendiskreditkan dan membunuh karakter beliau.

Grand Syaikh tentu sangat mengharap-

kan anak didiknya kritis dan peka dengan

pekerti azhari. Saya pun berani menjamin,

kalau Grand Syaikh tidak akan rida kalau

anak didiknya seperti keledai yang memba-

wa tumpukan buku bermanfaat, namun tak

tahu apa yang dibawa, apalagi untuk me-

mahami lalu mengamalkan. ◙

Saqr Quraish, 30 Agustus 2013

*Keluarga Informatika

15

◙Kolom

Page 16: 15 September

Edisi: 170/ 1 - 15 September 2013