Top Banner
Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi Oleh: Prof. Dr. Mustaji, M.Pd Dosen Program Studi TP FIP Universitas Negeri Surabaya A. Pendahuluan Kegiatan pembelajaran di Perguruan Tinggi (PT) selama ini dinilai belum optimal. Penyebab belum optimalnya kegiatan pembelajaran itu karena 3 hal, yakni (1) pembelajar kurang mampu menyelenggarakan proses pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan perkembangan di bidang teknologi pembelajaran, (2) pembelajar keliru dalam memandang proses pembelajaran, dan (3) pembelajar menggunakan konsep-konsep pembelajaran yang tidak relevan dengan perkembangan teknologi pembelajaran Selain itu belum optimal tersebut bisa dilihat dari proses pembelajarannya. Proses pembelajaran belum optimal karena 2 hal, yakni (1) proses pembelajaran bersifat informatif, belum diarahkan ke proses aktif pebelajar untuk membangun sendiri pengetahuannya, dan (2) proses pembelajaran berpusat pada pembelajar belum diarahkan ke pembelajaran yang berpusat pada pebelajar(Joni ,2000). Xaviery (2004) menemukan bahwa proses pembelajaran saat ini kurang memiliki daya tarik. Kurang menariknya pembelajaran karena 2 hal. Pertama, pembelajaran yang dirancang oleh pembelajar tidak dapat memacu keingintahuan pebelajar untuk membedah masalah seputar lingkungan sosialnya sekaligus dapat membentuk opini pribadi terhadap masalah tersebut. Kedua, pembelajar memposisikan diri sebagai pribadi menggurui pebelajar, belum memerankan diri sebagai fasilitator yang membelajarkan pebelajar. Dengan mencermati sebab-sebab proses kegiatan pembelajaran yang belum optimal seperti diuraikan di atas, adalah masuk akal apabila hasilnya juga belum optimal. Hal ini ditemukan oleh Gaspersz (2007) mencatat bahwa lulusan PT kurang memiliki kemampuan memecahkan masalah dan keterampilan berkolaborasi. Menurutnya telah terjadi kesenjangan antara kinerja kebutuhan jasa alumni yang umumnya adalah dunia kerja di banyak aspek bidang pekerjaandengan kinerja lulusan di Indonesia seperti ditunjukkan dalam tabel berikut
21

125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

Oct 31, 2015

Download

Documents

sidjerk

fsdrfserfsdfsdfsdfsdfsdfsdfdsfsdfsdf
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model

Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan

Kemampuan Berkolaborasi

Oleh: Prof. Dr. Mustaji, M.Pd

Dosen Program Studi TP FIP Universitas Negeri Surabaya

A. Pendahuluan

Kegiatan pembelajaran di Perguruan Tinggi (PT) selama ini dinilai belum optimal. Penyebab

belum optimalnya kegiatan pembelajaran itu karena 3 hal, yakni (1) pembelajar kurang mampu

menyelenggarakan proses pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan perkembangan di bidang

teknologi pembelajaran, (2) pembelajar keliru dalam memandang proses pembelajaran, dan (3)

pembelajar menggunakan konsep-konsep pembelajaran yang tidak relevan dengan

perkembangan teknologi pembelajaran

Selain itu belum optimal tersebut bisa dilihat dari proses pembelajarannya. Proses pembelajaran

belum optimal karena 2 hal, yakni (1) proses pembelajaran bersifat informatif, belum diarahkan

ke proses aktif pebelajar untuk membangun sendiri pengetahuannya, dan (2) proses pembelajaran

berpusat pada pembelajar belum diarahkan ke pembelajaran yang berpusat pada pebelajar(Joni

,2000).

Xaviery (2004) menemukan bahwa proses pembelajaran saat ini kurang memiliki daya tarik.

Kurang menariknya pembelajaran karena 2 hal. Pertama, pembelajaran yang dirancang oleh

pembelajar tidak dapat memacu keingintahuan pebelajar untuk membedah masalah seputar

lingkungan sosialnya sekaligus dapat membentuk opini pribadi terhadap masalah tersebut.

Kedua, pembelajar memposisikan diri sebagai pribadi menggurui pebelajar, belum memerankan

diri sebagai fasilitator yang membelajarkan pebelajar.

Dengan mencermati sebab-sebab proses kegiatan pembelajaran yang belum optimal seperti

diuraikan di atas, adalah masuk akal apabila hasilnya juga belum optimal. Hal ini ditemukan oleh

Gaspersz (2007) mencatat bahwa lulusan PT kurang memiliki kemampuan memecahkan masalah

dan keterampilan berkolaborasi. Menurutnya telah terjadi kesenjangan antara kinerja kebutuhan

jasa alumni —yang umumnya adalah dunia kerja di banyak aspek bidang pekerjaan—dengan

kinerja lulusan di Indonesia seperti ditunjukkan dalam tabel berikut

Page 2: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

Tabel : Kesenjangan Kinerja Lulusan PT dengan Kinerja Kebutuhan Jasa

Alumni di Indonesia (Gaspersz, 2007)

No Kinerja Lulusan Kinerja Kebutuhan

1 Hanya memahami teori Kemampuan memecahkan masalah

berdasarkan konsep ilmiah

2 Memiliki keterampilan

individual

Memiliki keterampilan berkolaborasi

(teamwork)

3 Memotivasi belajar hanya untuk

lulus ujian

Mempelajari bagaimana belajar yang efektif

untuk memecahkan masalah yang kompleks

4 Hanya berorientasi pada

pencapaian tingkat atau nilai

tertentu (pembatasan target)

Berorientasi pada peningkatan kinerja terus-

menerus dengan tidak dibatasi pada target

tertentu.

5 Orientasi belajar hanya pada

bidang studi secara terpisah

Membutuhkan pengetahuan terintegrasi

antar disiplin ilmu untuk pemecahan

masalah yang kompleks

6 Pasif, hanya menerima perintah

dari atasan

Bekerja adalah suatu proses berinteraksi

dengan orang lain dan mengolah informasi

secara aktif untuk pemecahan masalah yang

kompleks

7 Penggunaan teknologi (misalnya:

komputer terpisah dari proses

kerja)

Penggunaan teknologi merupakan bagian

integral dan proses kerja untuk pemecahan

masalah yang kompleks

Bertolak dari kelemahan proses dan hasil pembelajaran sebagaimana di uraikan di atas, penulis

(teknolog pembelajaran) berkeyakinan bahwa salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah

melakukan perbaikan sistem pembelajaran. Perbaikan sistem pembelajaran dalam perspektif

Teknologi Pembelajaran (TEP) berawal dari pemecahan masalah dan berorientasi pada pebelajar

dengan menggunakan sistem dan sumber belajar dalam arti luas, sehingga proses pembelajaran

dapat dilaksanakan secara optimal. Asumsi yang ditancapkan adalah semakin optimal proses

pembelajaran, maka akan semakin optimal pula hasil belajarnya.

Reigeluth dan Merrill (2003) menyatakan bahwa perbaikan sistem pembelajaran harus

berdasarkan pada teori pembelajaran. Teori pembelajaran bisa dilihat secara deskriptif dan

preskriptif. Teori pembelajaran deskriptif bersifat memerikan hasil dengan menempatkan

variabel metode dan kondisi sebagai variabel bebas, dan variabel hasil sebagai variabel terikat.

Teori pembelajaran preskriptif bersifat mencapai tujuan dengan menempatkan variabel hasil dan

kondisi sebagai variabel bebas, dan variabel metode sebagai variabel terikat.

Karakteristik dari sistem pembelajaran yang optimal adalah keterlibatan pebelajar sebagai subjek

belajar. Pemikiran itu perlu dijadikan titik tolak untuk mencari jawaban atas pertanyaan “apa

yang harus dikerjakan oleh teknolog pembelajaran agar pebelajar terdorong untuk terlibat dalam

peristiwa belajar”. Jawaban atas pertanyaan itu akan membawa implikasi terhadap desain,

pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran karena terkandung suatu pemikiran pembaharuan

Page 3: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

tentang bagaimana memperlakukan siswa sebagai subjek belajar—bukan objek belajar—dan apa

yang harus disediakan untuknya agar terjadi peristiwa belajar dalam dirinya.

Sistem pembelajaran mesti didesain sedemikian rupa agar pebelajar dapat bekerja secara

kolaboratif dalam memecahkan masalah nyata kehidupan masa kini (Boud & Feletti,1991).

Sistem pembelajaran harus didesain agar pebelajar mampu berpikir kritis, memecahkan masalah,

mandiri (Barrows & Kelson, 2004). Pengembangan kemandirian, kemampuan mengolah

informasi, dan kemampuan untuk terus mengembangkan diri akan lebih optimal bila dilakukan

secara kolaborasi.

B. Pembahasan

1. Pengertian

Dalam pandangan masyarakat umum, pengertian collaborative learning (CBL) sering disamakan

dengan cooperative learning (CPL). Definisi pembelajaran kooperatif digambarkan sebagai

suatu “tatanan” dalam proses bermasyarakat yang saling membantu dan saling berhubungan

dalam rangka memenuhi mencapai suatu tujuan. CPL lebih direktif dibanding sistem CBL. CPL

lebih dikendalikan oleh pembelajar, sedangkan CBL oleh pebelajar. Dalam CPL banyak

mekanisme analisis tim dan introspeksi berpusat pada pembelajar sedangkan dalam CBL lebih

berpusat pada pebelajar (Panitz,1996). Kagan (1990) mendefinisikan CPL sebagai suatu

pendekatan struktural yang berdasarkan pada penciptaan, analisis dan aplikasi struktur yang

sistematis, atau mengorganisir interaksi sosial di dalam kelas . Struktur pada umumnya

melibatkan satu rangkaian langkah-langkah. Kata kunci penting pendekatan ini adalah

pembedaan antara " struktur" dan " aktivitas".

Yohanes Myers (1991) menyatakan bahwa cooperative berarti memusatkan pada proses bekerja

bersama. CPL berasal dari Amerika dan sebagian besar dari tulisan filosofis Yohanes Dewey

yang menekankan belajar sosial secara alami dan berdasarkan pada ilmu dinamika kelompok dari

Kurt Lewin. Pembelajaran kolaboratif mempunyai akar dari Britania, berdasar pada pekerjaan

para guru Bahasa Inggris yang menyelidiki jalan untuk membantu para pebelajar bereaksi

terhadap literatur dengan suatu peran yang lebih aktif di dalam pelajaran mereka sendiri. Tradisi

pembelajaran kooperatif cenderung menggunakan metode kuantitatif dengan memperhatikan

prestasi, yaitu hasil belajar. Tradisi pembelajaran kolaboratif mengambil suatu pendekatan yang

lebih kualitatif, pebelajar melakukan penelitian suatu topik sebagai jawaban atas suatu potongan

literatur (artikel) atau suatu sumber utama, misalnya masalah sosial .

Dalam CBL, pembelajar memindahkan semua otoritas kepada tim, sementara CPL tidak

melakukan hal seperti ini. Kerja kolaboratif sungguh-sungguh memberikan kuasa kepada

pebelajar dan harus berani mengambil semua resiko seseuai yang telah disepakati. Sebagai

contoh, hasil kerja tim atau individu kurang disetujui, atau dalam suatu posisi yang tak

meyakinkan, atau terlalu sederhana, atau menghasilkan suatu solusi tidak sesuai dengan milik

pembelajar. Hal ini didasarkan pada suatu pandangan yang menyatakan bahwa tiap-tiap orang

memiliki pegangan, kontribusi kosa kata interpretative, sejarah, nilai-nilai, konvensi dan minat.

Pembelajar mungkin “tidak memiliki persepsi yang sama” dengan pebelajar, sehingga ia tidak

bisa membantu para pebelajar belajar untuk merundingkan batasan-batasan pengetahuan yang

Page 4: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

telah dimiliki masyakarat, meskipun mungkin secara akademis menguasai. Tiap-tiap

pengetahuan masyarakat mempunyai suatu inti pengetahuan bahwa dirinya adalah anggota

masyakarat yang perlu mendapatkan peran (tetapi tidak harus absolut). Untuk berfungsi dengan

bebas di dalam suatu masyarakat, pebelajar harus menguasai bahan cukup untuk menjadi lebih

mengenal masyarakat.

2. Karakteristik

Myers (1991) memandang collaborative learning sebagai pembelajaran yang berorientasi

"transaksi" ditinjau dari sisi metodologi. Orientasi itu memandang pembelajaran sebagai

dialogue antara pebelajar dengan pebelajar, pebelajar dengan pembelajar, pebelajar dengan

masyarakat dan lingkungannya. Para pebelajar dipandang sebagai pemecah masalah. Perspektif

ini memandang mengajar sebagai " percakapan" di mana para pembelajar dan para pebelajar

belajar bersama-sama melalui suatu proses negosiasi. Proses negosiasi dalam pola belajar

kolaborasi memiliki 6 karakteristik, yakni (1) tim berbagi tugas untuk mencapai tujuan

pembelajaran, (2) diantara anggota tim saling memberi masukan untuk lebih memahami masalah

yang dihadapi, (3) para anggota tim saling menanyakan untuk lebih mengerti secara mendalam,

(4) tiap anggota tim menguasakan kepada anggota lain untuk berbicara dan memberi masukan,

(5) kerja tim dipertanggungjawabkan ke (orang) yang lain, dan dipertanggung-jawabkan kepada

dirinya sendiri, dan (6) diantara anggota tim ada saling ketergantungan

Ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan dalam pola belajar kolaboratif, yakni peran

pebelajar dan peran pembelajar (Panitz,1996). Peran pebelajar yang harus dikembangkan adalah

(1) mengarahkan, yaitu menyusun rencana yang akan dilaksanakan dan mengajukan alternatif

pemecahan masalah yang dihadapi, (2) menerangkan, yaitu memberikan penjelasan atau

kesimpulan-kesimpulan pada anggota kelompok yang lain, (3) bertanya, yaitu mengajukan

pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan informasi yang ingin diketahui, (4) mengkritik,

yaitu mengajukan sanggahan dan mempertanyakan alasan dari usulan/ pendapat/pernyataan yang

diajukan, (5) merangkum, yaitu membuat kesimpulan dari hasil diskusi atau penjelasan yang

diberikan, (6) mencatat, yaitu membuat catatan tentang segala sesuatu yang terjadi dan diperoleh

kelompok, dan (7) penengah, yaitu meredakan konflik dan mencoba meminimalkan ketegangan

yang terjadi antara anggota kelompok.

Dalam kerja kolaboratif, pebelajar berbagi tanggung-jawab yang digambarkan dan yang disetujui

oleh tiap anggota. Persetujuan itu meliputi (1) kesanggupan untuk menghadiri, kesiapan dan

tepat waktu untuk memenuhi kerja tim, (2) diskusi dan perselisihan paham memusatkan pada

masalah yang dipecahkan dengan menghindarkan kritik pribadi, dan (3) ada tanggung jawab

tugas dan menyelesaikannya tepat waktu. Pebelajar boleh melaksanakan tugas, sesuai dengan

pengalaman mereka sendiri meskipun sedikit pengalaman dibanding anggota lainnya yang

penting dapat berpikir jernih/baik sesuai dengan kapabilitasnya.

Peran-peran yang harus dihindari oleh pebelajar adalah (1) free-rider, yaitu membiarkan teman-

temannya melakukan tugas tim, tanpa berusaha ikut serta memberikan kontribusi dalam proses

kolaborasi, (2) sucker, yaitu tidak ikut serta memberikan kontribusinya karena tidak bersedia

membagi pengetahuan yang dimilikinya, (3) mendominasi, yaitu menguasai jalannya proses

penyelesaian tugas, sehingga kontribusi anggotatim yang lain tidak optimal, (4) ganging up on

Page 5: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

task, yaitu cenderung menghindari tugas dan hanya menunjukkan sedikit usaha untuk

menyelesaikannya

Dalam pembelajaran kolaborasi, pembelajar tidak lagi memberikan ceramah di depan kelas, tapi

dapat berperan seperti (1) fasilitator, dengan menyediakan sarana yang memperlancar proses

belajar; mengatur lingkungan fisik, memberikan atau menunjukkan sumber-sumber informasi,

menciptakan iklim kondusif yang dapat mendorong pebelajar memiliki sikap dan tingkah laku

tertentu, dan merancang tugas; (2) model, secara aktif berupaya menjadi contoh dalam

melakukan kegiatan belajar efektif, seperti mencontohkan penggunaan strategi belajar atau cara

mengungkapkan pemikiran secara verbal (think aloud) yang dapat membantu proses konstruksi

pengetahuan; (3) pelatih (coach), memberikan petunjuk, umpan balik, dan pengarahan terhadap

upaya belajar pebelajar. Pebelajar tetap mencoba memecahkan masalahnya sebelum memperoleh

masukan pengajar.

3. Peranan dan Pentingnya Tim dalam Pembelajaran Kolaborasii

McCahon & Lavelle, (1998) menyarankan agar dalam collaborative learning, kelas dibagi ke

dalam beberapa tim dan tiap tim ditugasi untuk melakukan riset sederhana, kemudian dievaluasi

dan didiskusikan kembali di dalam kelas. Tim yang dimaksud adalah: “a group of two to five

students who are tied together by a common purpose to complete a task and to include every

group member” (Dishon dan O‟Leary, 1994). Dalam konteks ini, Benne and Seats (1991)

menegaskan bahwa premis mayor dalam suatu tim adalah bahwa setiap orang dalam tim tersebut

harus berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif dan produktif untuk menuju tercapainya hasil

yang diinginkan. Dengan sangat menekankan pentingnya kohesivitas, Duin, Jorn, DeBower, dan

Johnson (1994) mendefinisikan “collaboration” sebagai suatu proses di mana dua orang atau

lebih merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kegiatan bersama.

Konsep “tim” dengan segala aspeknya ini harus benar-benar dipahami oleh pebelajar.

Kurangnya pemahaman tentang konsep ini dapat berakibat kurangnya kesadaran akan

pentingnya kerjasama, tidak dapat memprioritaskan tujuan tim daripada tujuan individu, dan

pada gilirannya dapat berakibat berbuat kesalahan dalam menyelenggarakan pertemuan,

mengabaikan batas waktu penyelesaian pekerjaan tim, kurang penuh dalam bertanggungjawab,

serta kurang dapat bekerja secara efisien (Ravenscroft dan Buckless,1995).

Dalam pembentukan tim, jumlah anggota, sifat, dan kompleksitas pekerjaan merupakan faktor

kunci. Mengenai berapa orang sebaiknya jumlah anggota dalam ternyata ada berbagai pendapat.

Secara umum, para ahli merekomendasikan agar pembentukan tim dalam kelas sebaiknya terdiri

dari tiga sampai dengan lima orang (Howard, 1999). Namun, ia menegaskan bahwa untuk

permulaan latihan pengembangan keterampilan kolaborasi sebaiknya para pembelajar

memperkenalkannya dengan kelompok kecil lebih dulu, sekitar dua sampai tiga orang dalam satu

kelompok. Tujuan utamanya agar pebelajar familiar bekerja/belajar secara kolaborasi dengan

orang lain. Untuk kegiatan semacam riset/investigasi yang ditindaklanjuti dengan pembuatan

laporan dan menyajikannya di kelas, Howard (1999) menyarankan sebaiknya tim terdiri dari tiga

sampai dengan lima orang agar dapat bekerja secara efektif. Ia juga menyarankan jumlah

anggota sebaiknya gasal, jangan genap agar kalau suatu saat terjadi konflik dapat diatasi dengan

voting dalam penyelesaiannya.

Page 6: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

Selain jumlah pebelajar yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan suatu tim, Bowen

(1998) mengingatkan bahwa keragaman latar belakang pebelajar juga perlu diperhatikan dan

latar belakang mana yang akan lebih diberikan tekanan. Misalnya, kualitas perspektif pebelajar

dalam memandang berbagai persoalan, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Namun, Bowen

(1998) menekankan bahwa tujuan kegiatan merupakan faktor utama untuk mempertimbangkan

pembentukan tim. Untuk kegiatan jangka pendek, seperti kegiatan di kelas bagi pebelajar yang

tujuan utamanya adalah latihan bekerja secara kolaboratif dalam tim, pemilihan anggota tim

cukup dilakukan secara acak. Sebaliknya, jika tujuan tim dimaksudkan untuk menelusuri

kesempatan karir di berbagai instansi atau perusahaan, maka pemilihan anggota tim akan lebih

tepat didasarkan atas minat karir yang sejenis.

Setiap tim harus memiliki seorang ketua untuk memimpin pertemuan atau rapat, menjadi

penghubung antara tim dengan pembelajar, dan melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan

lainnya. Ketua tim juga harus bekerjasama dengan pembelajar untuk menangani setiap masalah

yang muncul dan memerlukan bantuan pembelajar. Sangat boleh jadi suatu tim menghadapi

suatu konflik atau masalah yang tidak dapat diatasi sendiri oleh anggota timnya sehingga

terpaksa harus melibatkan pembelajar dalam memecahkannya. Namun demikian, menurut

Bowen (1998) penting untuk ditekankan bahwa apa sebenarnya inti konflik atau masalah yang

dihadapi, mengapa hal itu bisa terjadi, dan bagaimana mengatasinya, sebaiknya didiskusikan

oleh anggota tim lebih dahulu tanpa buru-buru mengundang campur tangan pembelajar agar

pebelajar terbiasa mengenali dengan cermat dan mampu mengatasi secara efektif setiap masalah

atau konflik yang dihadapi oleh timnya.

Bisa jadi anggota tim lupa terhadap detail pekerjaan penting yang harus ditanganinya. Oleh

sebab itu, akan sangat berguna jika pembelajar memberikannya dalam bentuk tulisan semacam

handout dalam membimbing pebelajar melakukan kegiatan-kegiatan tim secara kolaboratif.

Berikut sejumlah strategi yang diajukan oleh Howard (1999) untuk membantu tim memfokuskan

pada tugas pokok yang harus dikerjakannya:

1. Membagikan secara tertulis petunjuk pelaksanaan kegiatan yang dikerjakan oleh tim.

Petunjuk itu dibuat detail agar pebelajar tidak mengalami kebingungan dalam

melaksanakannya. Dengan cara demikian, pebelajar tidak hanya menyandarkan pada

ingatan semata atau catatan-catatan yang dibuat tiap anggota tim.

2. Membuat schedule untuk penyelesaian tugas sementara yang di dalamnya meliputi:

tanggal penyelesaian kegiatan, kartu catatan, dan garis besar penyusunan laporan. Jika

schedule telah disusun, misalnya untuk melaksanakan riset perpustakaan, melakukan

berbagai keterampilan di kelas yang berbeda bersama pembelajar dari disiplin ilmu yang

berbeda, atau melakukan pertemuan di tempat lain di luar kelas, semua itu harus

dicantumkan di dalam schedule.

3. Mendiskusikan dengan pebelajar dan memberikan fotokopi lembaran evaluasi yang dapat

digunakan untuk menilai aspek-aspek kegiatan tim. Ini berguna untuk membantu

pebelajar memahami bagaimana menyelesaikan kegiatannya dengan baik dan benar.

4. Mengusahakan setiap anggota tim memiliki buku catatan kegiatan yang dibagi ke dalam

bagian-bagian guna mengorganisasikan kegiatan yang harus diselesaikan. Lembaran

tugas, petunjuk pelaksanaan kegiatan, dan schedule kegiatan harus dilekatkan di bagian

depan buku catatan pebelajar

Page 7: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

Pembagian tanggungjawab yang dilakukan oleh pembelajar secara kurang bijaksana dapat

mengurangi keberhasilan pola kerja kolaborasi. Seringkali orang berpendapat bahwa pembagian

kerja anggota tim sebaiknya didasarkan pada penguasaan keterampilan yang telah dimiliki

sebelumnya. Misalnya, suatu tim yang beranggotakan tiga orang, di mana satu orang mahir

dalam mengoperasikan komputer, satu orang lagi memiliki kelebihan dalam melakukan riset, dan

seorang lagi memiliki kelebihan dalam menyusun laporan kegiatan. Kedengarannya memang

ideal jika pembagian tugas disesuaikan dengan penguasaan yang telah dimiliki tiap anggota tim

tersebut.

Menurut Davis dan Miller (1996), pembagian tugas semacam itu sesungguhnya mengandung

kelemahan serius karena pebelajar tidak terlatih menguasai dan menyelesaikan pekerjaan dalam

lingkup yang lebih luas yang sebenarnya dituntut secara kompetitif manakala nanti sudah

memasuki dunia kerja. Akibatnya, pebelajar menyimpan kelemahan dan keterbatasan

kesempatan untuk memperoleh atau meningkatkan kompetensi lainnya yang juga penting. Atas

dasar itu, Davis dan Miller (1996) menyarankan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dalam

bekerja secara kolaboratif seharusnya setiap anggota tim menerima tanggungjawab tidak hanya

pada tugas-tugas yang mereka sudah memiliki keterampilan atau penguasaan, melainkan juga

pada tugas-tugas yang belum mereka kuasai sambil belajar dan meningkatkan keterampilannya

selama menyelesaikan kegiatan dengan anggota timnya.

Lingkungan dunia kerja modern memerlukan orang-orang yang mampu menghargai pentingnya

tanggungjawab, bukan saja dari tim secara keseluruhan melainkan juga dari tiap-tiap personel

dalam tim tersebut. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting penghargaan terhadap tanggungjawab

tersebut untuk dikembangkan secara maksimal kepada pebelajar sebagai persiapan sebelum

memasuki dunia kerja. Pengembangan tanggungjawab ini, menurut Bowen (1998), dapat

dirancang dan dikembangkan secara langsung oleh pembelajar atau melalui kesepakatan tim atau

bisa juga melalui konsensus antara pembelajar dengan pebelajar. Hal terpenting adalah apapun

bentuk proses yang ditempuh dalam membangun tanggung jawab itu, para anggota tim harus

memahami betul bahwa mereka bertanggungjawab terhadap semua pertemuan yang

diselenggarakan oleh tim, memberikan sumbangan terhadap kegiatan diskusi dalam tim, dan

menyelesaikan tugas-tugas tim secara baik dan tepat waktu.

Jika seorang pebelajar terpaksa tidak dapat hadir dalam suatu pertemuan tim, maka dia

berkewajiban memberitahu ketua tim atau anggota tim lainnya tentang penyebab

ketidakhadirannya itu. Cara ini harus dibiasakan agar tetap terjaga rasa tanggungjawab terhadap

tim (Alexander & Stone,1997). Bahkan, jika memungkinkan, meskipun seorang pebelajar tidak

dapat hadir dalam pertemuan tim, tetapi harus mengirimkan gagasan-gagasannya secara tertulis,

laporan tertulis, dan/atau tugas-tugas yang telah diselesaikannya sehingga dapat dibahas dalam

pertemuan tim. Setelah pertemuan tim selesai, pebelajar yang tidak hadir tersebut juga harus

mengontak lagi ketua tim atau anggota tim lainnya untuk mendapatkan informasi tentang hasil

diskusi selama pertemuan tim atau barangkali ada kertas kerja atau tulisan yang dapat di

(McCahon & Lavelle, 1998).

4. Peranan dan Pentingnya Pencatatan Pembelajaran Kolaborasi

Page 8: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

CBL sangat memberikan perhatian atas pentingnya pencatatan tugas-tugas belajar dalam tim—

umumnya dalam bentuk lembar tugas—dalam suatu format yang disepakati. Dengan lembar

tugas itu dapat membantu tim untuk tetap memfokuskan pada upaya penyelesaian kegiatan-

kegiatan secara benar, efisien, dan tepat waktu. Lebih dari itu, kata Bowen (1998), proses

pengisian format pencatatan dapat mendorong pebelajar untuk mengembangkan dan

meningkatkan keterampilan organisasional mereka yang nantinya akan sangat berguna tidak

hanya selama menempuh studi melainkan juga setelah mereka memasuki dunia kerja, kegiatan-

kegiatan sosial, dan berbagai situasi lainnya.

Dalam konteks ini, Davis & Miller (1996) menyatakan bahwa pembelajar menekankan pada tim

untuk tetap bekerjasama dalam mengisi format pencatatan itu, dan setiap anggota tim harus

memegang satu fotokopi dari format pencatatan yang telah selesai dikerjakan. Ketua tim secara

cepat dan tepat menyampaikan fotokopi dari format pencatatan yang telah dikerjakan itu kepada

pembelajar agar dapat digunakan untuk melakukan monitoring secara kontinyu kegiatan-

kegiatan tim dan sesegera mungkin memberikan umpan balik kepada tim Berikut ini diuraiakn

ebeberapa format pencatatan lembar tugas yang bisa dipakai oleh tim CBL.

1. Roster Komunikasi. Jika suatu tim sudah terbentuk, maka anggota tim itu harus

senantiasa saling bertukar informasi sehingga memungkinkan mereka tetap saling

berkomunikasi. Bagi anggota tim yang memiliki “e-mail” akan memudahkan untuk

saling berkomunikasi secara cepat dan sekaligus hasil komunikasi tersebut terekam serta

dapat dicetak. Untuk mendapatkan e-mail gratis, dapat diakses Yahoo dengan situs:

http://www.yahoo.com dan di sana dapat dibuat e-mail tanpa harus membayar; misalnya:

[email protected]. Roster komunikasi ini akan sangat berguna jika anggota tim

menemukan sesuatu yang penting, tetapi tidak memungkinkan untuk segera melakukan

pertemuan atau anggota tim tersebut tidak dapat hadir dalam pertemuan yang

diselenggarakan oleh tim. Dengan alat ini anggota tim tetap akan dapat melakukan

komunikasi dengan anggota tim lainnya. Dengan cara demikian, setiap anggota tim tetap

akan memelihara tanggungjawab terhadap kekohesifan timnya.

2. Lembar Tugas. Setelah tim mendiskusikan kegiatan yang akan dilakukan dan tugas yang

akan menjadi tanggungjawab tiap anggota telah ditentukan, maka pebelajar sebagai

anggota tim membuat catatan-catatan tertulis mengenai berbagai informasi bekenaan

dengan tugas dan tanggungjawabnya, termasuk di dalamnya batas waktu penyelesaian

tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Lembar tugas, menurut Hart (1997), dapat

membantu pebelajar untuk (1) menghindarkan diri dari terjadinya duplikasi yang tidak

diinginkan (2) terjadinya pemborosan waktu yang dapat disebabkan oleh adanya dua

orang atau lebih anggota tim mengerjakan pekerjaan yang sama karena adanya

kebingungan tanggungjawab dan (3) menghindarkan diri dari pengabaian tugas dan

tanggungjawabnya.

Untuk mengoptimalkan penggunaan lembar tugas ini, umpan balik dari pembelajar

sangat diperlukan. Jika pembelajar memberikan umpan balik yang tepat terhadap isi

lembaran tugas ini dengan cara memeriksa kelengkapan dan kualitasnya yang kemudian

dikomunikasikan kepada pebelajar, maka pembelajar akan dapat: (1) menentukan apakah

tugas-tugas penting yang harus dikerjakan pebelajar sudah tercakup di dalamnya, (2)

apakah tanggungjawab anggota tim telah didistribusikan secara adil, dan (3) apakah batas

Page 9: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

waktu yang ditentukan itu fisibel. Apabila ternyata perlu perubahan batas waktu dapat

segera dilakukan dan diinformasikan kepada anggota tim.

3. Jadwal Pertemuan. Tugas penting yang juga harus dipersiapkan oleh anggota tim pada

awal pelaksanaan kegiatan adalah menyusun jadwal pertemuan yang akan

diselenggarakan di luar jam pembelajaran tatap muka guna mendiskusikan gagasan-

gagasan anggota, bertukar informasi, penyesuaian rencana kerja, dan tugas-tugas penting

lainnya dalam rangka penyelesaian kegiatan tim. Ada kemungkinan suatu tim menyusun

schedul pertemuannya bersama-sama pembelajar di kelas ketika tidak ada pembelajaran,

sedangkan tim lain mungkin lebih senang memilih menyusunnya di perpustakaan, di

rumah salah seorang anggota tim, di asrama, atau di tempat lain yang lebih cocok.

Dengan adanya format jadwal pertemuan ini akan sangat memudahkan tim untuk

mencatat informasi penting serta penggunaannya.

4. d. Agenda Pertemuan. Agar pertemuan tim dapat berjalan lancar dan jelas topik yang

akan dibahas, maka setiap anggota tim harus memiliki agenda pertemuan yang akan

didiskusikan bersama pada setiap pertemuan. Jika tidak, maka pertemuan tim akan

menjadi tak tentu arah atau bahkan tidak ada bahan yang akan didiskusikan. Pada akhir

pertemuan, anggota tim merumuskan agenda pertemuan yang akan datang dan bila

rencana kegiatan yang akan datang itu telah disepakati, hal itu dituangkan ke dalam

lembar agenda pertemuan yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap anggota dapat

selalu mengecek rencana agenda pertemuan berikutnya sehingga tiap dapat menyiapkan

diri untuk menentukan apa agenda yang akan dibawa ke dalam pertemuan tim berikutnya.

Dengan cara demikian, dapat dihindarkan kemungkinan ketiadaan bahan untuk

didiskusikan pada pertemuan berikutnya.

5. Evaluasi Pertemuan. Davis dan Miller (1996) menegaskan bahwa untuk

memaksimalkan kesempatan belajar dari keterlibatan dalam kegiatan tim, pebelajar

mendiskusikan dan mengevaluasi pengalaman-pengalaman kegiatan dalam timnya.

Lembar evaluasi pertemuan ini diisi oleh setiap anggota tim pada akhir dari setiap

pertemuan. Cara demikian akan dapat membantu memfasilitasi proses maksimalisasi

kesempatan belajar bagi setiap anggota tim sekaligus mengevaluasi kinerja tim.

Kehadiran anggota tim, penyelesaian tugas setiap anggota, kontribusi setiap anggota

dalam diskusi, keterampilan interpersonal, dan faktor-faktor lain yang akan dievaluasi

harus dicatat di dalam lembaran evaluasi pertemuan tersebut. Cara demikian dapat juga

digunakan sebagai evaluasi sejawat dan sekaligus evaluasi-diri para anggota tim. Dalam

pada itu, tim juga dapat menggunakan lembaran evaluasi pertemuan ini untuk menilai

kemajuan mereka dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tim.

6. Evaluasi akhir keseluruhan kegiatan. Sebagaimana penilaian yang dilakukan pada

setiap pertemuan, evaluasi pada akhir keseluruhan kegiatan juga merupakan cara yang

sangat efektif bagi pebelajar untuk belajar dari pengalaman-pengalaman kegiatan tim

secara keseluruhan. Catatan-catatan secara rinci yang telah dibuat pada lembaran evaluasi

setiap pertemuan yang telah lalu akan sangat penting bagi pebelajar untuk dapat

melakukan evaluasi sejawat dan evaluasi diri pada akhir keseluruhan kegiatan secara

akurat dan teruji berdasarkan bukti-bukti yang kuat

Peranan evaluasi sejawat dan evaluasi diri untuk menilai kegiatan tim masih merupakan sesuatu

yang kontroversial. Beberapa peneliti dan ahli pendidikan berkeyakinan bahwa konsep bekerja

secara tim mengandung makna bahwa keseluruhan tim harus berbagi nilai secara sama. Namun,

Page 10: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

sebagian yang lain berpendapat bahwa pendekatan seperti itu dapat menyebabkan sebagian

anggota tim kurang dapat bertanggungjawab terhadap keseluruhan kegiatan timnya karena

merasa akhirnya akan mendapatkan nilai yang sama dengan anggota lain yang aktif dan penuh

tanggungjawab (Kagan, 1995; Holt, 1997). Untuk mengatasi isu ini, diperlukan kearifan

pembelajar; bahkan banyak ahli pendidikan yang bersikeras agar masukan-masukan dari

pebelajar tetap harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

5. Domain Kemampuan Berkolaborasi

Kemampuan berkolaborasi bukan warisan, tetapi sesuatu yang dapat dipelajari. Kemampuan

berkolaborasi dapat dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan seperti observasi dan mengerjakan

proyek tertentu. Ada empat domain kemampuan berkolaborasi yang dibutuhkan pebelajar dalam

memecahkan suatu masalah, yakni (1) kemampuan membentuk tim, (2) bekerja /belajar secara

kolaborasi, (3) melaksanakan pemecahan masalah secara kolaborasi, dan (4) mengatur perbedaan

dalam tim (Hill & Tim, 1993). Berikut diuraikan keempat kemampuan tersebut

a. Kemampuan Membentuk Tim

Pada umumnya para pebelajar sangat mudah bekerja dalam tim, apalagi bila anggota tim tersebut

merupakan teman-teman dekatnya. Namun demikian, kadang-kadang di antara mereka sering

terjadi konflik yang berkepanjangan dalam membentuk tim kolaboratif. Konflik terjadi karena

adanya perbedaan-perbedaan pandangan, pola pikir, latar belakang, status, tujuan dan

sebagainya. Dalam pembelajaran, perbedaan tersebut perlu diakomodasi (Slavin, 1997) karena

amat penting dalam membangun perdamaian.

Ada beberapa keuntungan dalam tim yang anggotanya berlatar belakang beragam. Keuntungan

tersebut, di antaranya adalah mereka akan memperoleh sesuatu yang lebih dari pebelajar yang

lainnya, dengan jenis kelamin yang berbeda, latar belakang yang berbeda, dan kemampuan yang

berbeda pula. Tiap pebelajar memiliki kelebihan tertentu, yang mungkin tidak dimiliki oleh

pebelajar yang lainnya. Menurut Hill & Tim ( 1993) beberapa kemampuan pebelajar yang

kemungkinan diperlukan pada tahap pembentukan tim, yakni (1) memberikan ruang bagi orang

lain, (2) membuat pasangan/lingkaran, (3) melakukan kontak mata, (4) tetap berada ditimnya, (5)

menggunakan suara lembut/pelan, (6) menggunakan nama-nama orang, (7) tidak putus asa/cepat

menyerah, (8) bergiliran, (9) menggunakan pikiran sendiri/tidak menggunakan tangan orang lain,

(10) membentuk kelompok tanpa mengganggu orang lain, (11) mengijinkan teman lain untuk

berbicara, dan (12) mendengarkan secara aktif

b. Kemampuan Bekerja/Belajar dalam Tim

Setelah membentuk tim, ada beberapa cara untuk meningkatkan kinerja tim, yakni (1) membuat

tugas dan (2) membentuk organisasi tim, misalnya ketua, sekretaris, yang mengerjakan tugas 1,

tugas 2, dan seterusnya. Cara itu tepat untuk menjadikan tim agar lebih bisa mandiri, efektif, dan

efisien. Adanya pemimpin atau juru bicara dalam suatu tim akan memberikan keuntungan dalam

menyelesaikan berbagai tugas/masalah. Setiap peran di dalam tim memacu kinerja menjadi lebih

efektif dan efisien (Hill & Tim, 1993). Peran-peran tersebut mencakup (1) mengamati (2)

Page 11: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

mencatat, (3) bertanya, (4) meringkas, (5) mendorong untuk berkontribusi, (6) memberikan

penjelasan lebih lanjut, (7) mengoranisasikan penyelesaian, dan (8) pengaturan waktu.

c. Kemampuan Memecahkan Masalah dalam Tim

Ada beberapa kemampuan yang perlu dimiliki oleh pebelajar agar dapat bekerja secara efektif

dalam tim untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan mendaftar ide/gagasan dan alternatif

pemecahan masalah dapat diterapkan dalam memulai diskusi. Mereka dapat melanjutkan

menulis berdasarkan kesepakatan diantara mereka serta dapat diulang-ulang secara terus menerus

sampai tahap akhir. Kemampuan membangun perdebatan tentang penyelesaian alternatif

pemecahan, kemudian menyetujui satu pemecahan masalah adalah bagian terpenting dari tim

pemecah masalah. Ketika disibukkan dalam pemecahan masalah, pebelajar dapat menjelaskan

ide-ide atau gagasan mereka atau posisi mereka. Diskusi ini merangsang berpikir dan

meningkatkan belajar (Hill & Tim, 1993).

d. Kemampuan mengatur perbedaan dalam tim

Tiap individu pebelajar hakekatnya berbeda. Perbedaan itu di antaranya kelihatan dari aspek (1)

perkembangan intelektual, beberapa pebelajar dapat belajar lebih cepat dan lebih abstrak dari

pada yang lain, (2) kemampuan berbahasa, beberapa pebelajar dapat lebih mudah mempelajari

bahan pembelajaran yang bersifat verbal dan disajikan secara verbal pula, (3) latar belakang

pengalaman, beberapa pebelajar lebih mudah belajar bahan-bahan pembelajaran yang ada

hubungannya dengan pengalaman masa lalunya, (4) cara dan gaya belajar, beberapa pebelajar

lebih mudah menyesuaikan diri dengan kegiatan pembelajaran dan alat pembelajaran yang

dipergunakan dari pada pebelajar yang lain, (5) bakat dan minat, beberapa pebelajar lebih

bergairah dan tidak menemui kesulitan mengikuti beberapa mata pelajaran dibanding dengan

teman-teman lainnya, dan (6) kepribadian, kepribadian ini menyebabkan pebelajar berbeda-beda

reaksi dan tanggapannya terhadap tingkah laku/ sikap dan cara pengajar.

Untuk mengatur perbedaan tersebut diperlukan kemampuan tertentu yang sangat penting baik

pada saat mengikuti kegiatan pembelajaran maupun untuk masa depannya. Melihat masalah dari

sudut berbeda, belajar berorganisasi, dan menjadi penengah ketika konflik memanas adalah

kemampuan amat berharga bagi kehidupan seseorang sehari-hari dan masa depan. ( Hill & Tim,

1993). Kemampuan yang diperlukan untuk mengatur perbedaan itu diantaranya: (1) mengatur

posisi, (2) melihat masalah dari sudut pandang lainya, (3) negosiasi, (4) memediasi, dan (5)

menentukan kesepakatan

6. Mendesain dan Mengembangkan Pembelajaran Kolaborasi

Salah satu model pengembangan pembelajaran yang relevan untuk mendesain dan

mengembangkan pembelajaran kolaborasi adalah adalah model Constructivist Instructional

Design (C-ID) dari Willis (1995; 2000). C-ID adalah suatu model pengembangan pembelajaran

dengan pendekatan konstruktivistik dengan pola kerja R2D2 (Reflective, Recursive, Design,

andDevelopment). Struktur model C-ID itu terdiri dari 4 tahap, yakni (1) difine, (2) design, (3)

development, dan (4) dissemination.

Page 12: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

Pengembangan model pembelajaran yang berpijak pada pandangan konstruktivisme berbeda

dengan pandangan behaviorisme (misalnya model Dick dan Carey). Model pengembangan

pembelajaran yang konstruktivis memiliki beberapa karakteristik, diantaranya (1) proses

pengembangan pembelajaran bersifat recursive, non-linier, dan tidak ada kepastian(chaos), (2)

desain bersifat reflektif dan kolaboratif, (3) tujuan muncul dari pekerjaan desain dan

pengembangan, (4) pembelajaran menekankan pada belajar dalam konteks yang bermakna, (5)

evaluasi formatif menentukan, dan (6) data subyektif lebih bernilai. Berikut disajikan secara rinci

pengembangan model pembelajaran yang berpijak pada C-ID.

1. Proses ID bersifat recursive, non-linier, dan kadang-kadang semrawut (chaos).

Pengembangan bersifat recursive, yakni berpijak pada masalah nyata pembelajaran dan

masalah itu terus berkembang yang kini menjadi fokus perhatian para pembelajar,

pebelajar, dan para pengelola pembelajaran. Masalah itu bersifat konteks, artinya terjadi

di kampus atau sekolah itu saja yang penyelesainya juga kontekstual. Proses

pengembangan tidak linier, tidak berurutan, pemecahannya tidak cukup melibatkan satu

keahlian saja, dan tidak beorientasi pada pencapaian tujuan tertentu yang terikat dalam

kurikulum.

2. Proses desain dan pengembangan terus berkembang, reflektif, dan kolaboratif.

Kegiatan pengembangan dimulai dari desain yang kurang jelas, namun terus dilakukan

kegiatan pengembangan sambil terus melakukan perbaikan. Pengembangan bersifat

kolaboratif, artinya melibatkan beberapa pihak, termasuk pengguna produk hasil

pengembangan. Pengembangan seperti itu, dengan pengembangan pembelajaran yang

behavioristik. Dalam pengembangan pembelajaran yang behavioristik kegiatan desain

dimulai dari perencanaan yang sistematik, rapi, dan jelas, termasuk tujuan

pembelajarannya.

3. Tujuan pembelajaran muncul dari desain dan pengembangan kinerja. Tujuan

pengembangan bukan pijakan dalam melakukan proses pengembangan. Selama proses

pengembangan secara kolaboratif, tujuan muncul dan terkesan “kasar” atau kurang jelas ,

kemudian menjadi lebih jelas. Dalam pengembangan pembelajaran dengan pijakan

behavioristik, rumusan tujuan pembelajaran yang opeasional sangat penting dan menjadi

acuan dalam pengembangan produk pembelajaran.

4. Ahli ID umum tidak perlu ada. Dalam pandangan konstruktivisme, generalis ahli ID

yang dapat bekerja dengan bidang keahlian dari berbagai disiplin adalah mitos.

Pengembang perlu lebih dulu memahami “proses pengembangan” pembelajaran sebelum

melakukan kegiatan pengembangan pembelajaran. Jika pengembang melibatkan tenaga

ahli, maka diutamakan mereka yang memahami hal-hal berikut, yakni (1) menguasai isi

bidang studi, (2) memahami kontek pengembangan, (3) memiliki keterampilan dalam

mendesain dan mengembangkan pembelajaran, dan (4) memiliki kewenangan untuk

mengabil keputusan dalam bidang pembelajaran. Dalam pengembangan pembelajaran

yang berpijak pada teori behaviristik, ahli yang memiliki pengetahuan khusus, sangat

diperlukan untuk mengembangan pembelajaran.

5. Pembelajaran lebih ditekankan pada kontek dan pemahamam individu yang lebih

bermakna (meaningful). Agar pebelajar dapat memahami isi lebih bermakna, maka

disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada masalah.

Pebelajar difasilitasi untuk dapat mengakses berbagai informasi (pengetahuan,

ketrampilan, dan sikap) dalam rangka menyelesaikan masalah. Penyelesaian masalah

Page 13: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

tersebut menggunakan berbagai sumber daya informasi, misalnya media cetak, media

audio, media audio visual, multimedia, internet, dan teknologi terpadu. Hal ini berbeda

dengan pengembangan pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik,

pengembangan pembelajaran diarahkan pada penyelesaian tugas atau penguasaan

pengetahuan secara sistematik (bagian demi bagian secara terpisah). Teori Behavioristik

menekankan pada subskill yang diajarkan.

6. Menekankan pada penilian formatif. Dalam pembelajaran yang berpijak pada teori

konstruktivistik, penilaian formatif dianggap penting. Penilaian itu untuk mengumpulkan

sejumlah informasi dalam rangka perbaikan kualitas proses dan hasil pembelajaran.

Dalam pembelajaran yang behaviristik, yang dipandang penting adalah penilaian sumatif,

karena kegiatan pembelajaran lebih diarahkan ke penguasaan pengetahuan yang telah

diajarkan.

7. Data kualitatif mungkin lebih berharga. Penganut teori konstruktvistik meyakini

bahwa sesuatu dapat ditunjukkan atau diamati, tetapi tidak selalu dapat diukur. Untuk itu

disarankan menggunakan penilaian authentik, portofolio, kinerja, proyek, produk, dan

ethnografi. Selama proses pembelajaran, pengembang disarankan menggunakan lembar

observasi, melakukan wawancara, fokus group, kritik ahli, dan sebagainya. Dalam

pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, lebih banyak menggunakan data

kuantitatif, misalnya menggunakan instrumen penilaian melalui ujian pilihan ganda. Data

kuantitatif digunakan untuk mengukur kebehasilan pembelajaran dengan mengacu pada

rumusan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Ketercapaian tujuan itu diukur

dengan menggunakan pretes dan postes.

Prosedur pengembangan model pembelajaran dengan model C-ID terdiri 5 tahap, yakni (1) tahap

identifikasi, (2) tahap desan, (3) tahap pengembangan, (4) tahap uji coba, dan (5) tahap

desimininasi. Berikut diuraikan secara singkat kelima tapan tersebut secara berturut-turut

(Mustaji, 2009)

Pada tahap identifikasi ada 3 kegiatan yang dilakukan, yakni (1) melakukan kajian teoritis

melalui studi pustaka atau literatur, (2) melakukan kajian empiris melalui observasi di kelas, dan

(3) menuliskan kondisi nyata di kelas/lapangan berdasarkan kegiatan point 1 dan 2.

Pada tahap desain, ada 4 kegiatan yang dilakukan, yakni (1) mengidentifikasi kemampuan

awal, (2) merumuskan tujuan pembelajaran, (3) mengorganisasikan isi bidang studi, dan (4)

melakukan studi kelayakan. Pada tahap desain ini, Willis (2000) mengajurkan agar pengembang

membentuk tim partisipasi (team partisipatory). Tugas tim sedikitnya ada 3 yaitu (1)

menciptakan dan mendukung tim pengembang, (2) melakukan pemecahan masalah secara

progresif, dan (3) mengembangkan pronesis atau pemahaman konstekstual.

Pada tahap pengembangan, dilakukan penerjemahan spesifikasi desain ke dalam bentuk

fisik/produk (Seels & Richey, 1994). Produk pengembangan itu berupa prototipa perangkat

pembelajaran yang terdiri dari silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, bahan

pembelajaran, lembar tugas, dan lembar penilaian pembelajaran

Tahap uji coba terdiri dari 3 tahapan, yakni (1) uji individu, (2) uji kelompok, dan (3) uji

lapangan. Ketiga tahap tersebut selalu diawali dengan review oleh ahli, yakni (1) ahli

Page 14: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

pembelajaran, (2) ahli isi bidang studi, dan (3) ahli media pembelajaran. Ahli isi bidang studi,

diharapkan dapat memberikan masukan tentang kebenaran isi, kekinian, dan organisasi isi

bidang studi.

Pada tahap desiminasi dilakukan penyusunan laporan hasil kegiatan pengembangan. Laporan

tersebut diseminarkan yang dihadiri oleh para ahli isi bidang studi sosiologi, teknisi

pembelajaran, teknolog pembelajaran, teknolog pembelajaran, dan ahli penilaian pembelajaran,

dan para pengambil kebijakan dalam bidang pembelajaran. Kegiatan lain adalah menyajikan

hasil pengembangan dalam suatu jurnal pendidikan.

Namun perlu ditegaskan di sini bahwa produk perangkat pembelajaran yang dikembangkan,

kemungkinan hanya sesuai diimplementasikan pada konteks lokal, dimana latar pengembangan

ini didesain dan dikembangkan. Lokal dalam pengertian kontekstual (ruang, waktu, kasus,

masalah, isi bidang studi), sehingga produk model hasil pengembangan tidak dapat

digeneralisasikan untuk semua latar. Yang penting produk model yang dikembangkan itu (1)

didasarkan pada masalah dalam pembelajaran, (2) menggunakan hasil penelitian yang relevan

untuk mengembangkan produk, (3) melakukan uji coba produk dan uji lapangan, (4) melakukan

revisi sesuai kriteria dan tujuan yang telah ditentukan--tidak menguji teori, namun

mengembangkan dan menyempurnakan produk, dan (5) produk yang dihasilkan bermanfaat

untuk perbaikan/peningkatan kualitas pembelajaran

7. Prosedur Pembelajaran Kolaborasi

Mata kuliah yang diselenggarakan dengan menggunakan CBL dalam pelaksanaannya mengikuti

mengikuti 5 tahap, yakni (1) konsep dasar, (2) pendefinisian masalah, (3) pembelajaran mandiri

atau kolaborasi, (4) pertukaran pengetahuan, dan (5) penilaian (Barrow,1980; Sudarman, 2007).

a.Konsep Dasar (Basic Concep)

Dalam CBL, jika dipandang perlu pembelajar memberikan konsep dasar, petunjuk, referensi,

atau link dan skill yang diperlukan dalam pembelajaran. Hal itu dimaksudkan agar pebelajar

lebih cepat masuk dalam atmosfir pembelajaran dan mendapatkan “peta” tentang arah dan tujuan

pembelajaran. Lebih dari itu, untuk memastikan pebelajar mendapatkan kunci utama materi

pembelajaran. Konsep yang diberikan tidak perlu detail, diutamakan dalam bentuk garis besar

saja sehingga pebelajar dapat mengembangkan secara mandiri dan secara mendalam.

Kegiatan pada tahap ini tidak dalam bentuk paparan konsep dasar materi oleh pembelajar,

melainkan kegiatan penggalian teori pendukung yang dibutuhkan untuk mendasari pemahaman

dalam mata kuliah. Untuk memastikan pebelajar bisa mengikuti tahap ini, dianjurkan dalam

pembelajaran dengan CBL menggunakan lembar tugas atau petunjuk pembelajaran.

b. Pendefinisian Masalah

Pada tahap ini, pembelajar menyampaikan permasalahan dalam tim belajar yang memungkinkan

mereka melakukan berbagai aktivitas belajar. Ada 3 hal yang penting dilakukan pada tahap ini.

Pertama, tim melakukan brainstorming. Dengan brainstorming, setiap anggota tim belajar dapat

Page 15: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap permasalahan secara bebas sehingga

akan mmuncul berbagai macam alternative pendapat. Setiap anggota tim memiliki hak yang

sama dalam memberikan dan menyampaikan ide dalam diskusi serta mendukumentasikan secara

tertulis pendapatnya dalam kertas kerja. Selain itu, setiap kelompok mencari istilah yang kurang

dikenal dalam scenario/masalah tersebut dan berusaha mendiskusikan maksud dan artinya. Jika

ada pebelajar yang mengetahui artinya, segera menjelaskan kepada teman-temannya. Jika ada

bagian yang belum dapat dipecahkan dalam tim tersebut, ditulis isu dalam permasalahan tim.

Kedua, melakukan seleksi alternative untuk memilih pendapat yang lebih focus. Ketiga,

menentukan permasalahan dan melakukan pembagian tugas dalam tim untuk mencari referensi

penyelesaian dari isu permasalahan yang didapat. Pembelajar menvalidasi pilihan-pilihan yang

diambil pebelajar. Jika ada tujuan pembelajaran yang belum disinggung oleh pebelajar,

pembelajar mengusulkannya dengan memberikan alasan-alasan yang cukup.

Pada akhir tahap ini pebelajar diharapkan memiliki gambaran yang jelas tentang apa saja yang

mereka ketahui, apa saja yang mereka tidak ketahui, dan pengetahuan apa saja yang diperlukan

untuk “menjembataninya”.

c. Pembelajaran Mandiri dan atau Kolaborasi

Setelah mengetahui tugasnya, setiap anggota tim secara mandiri dan atau kolaborasi mencari

berbagai sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang diinvestigasi. Sumber yang dimaksud

bisa dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan dalam perpustakaan, halaman web, atau bahkan

pakar dalam bidang yang relevan. Kegiatan investigasi memiliki 2 tujuan, yakni (1) agar

pebelajar mencari informasi dan mengembangkan pemahaman yang relevan dengan

permasalahan yang telah didiskusikan di kelas, dan (2) informasi dikumpulkan dengan satu

tujuan yaitu dipresentasikan di kelas dan informasi tersebut haruslah relevan dan dapat dipahami.

Di luar pertemuan dengan pembelajar, pebelajar bebas untuk mengadakan pertemuan dan

melakukan berbagai kegiatan. Dalam pertemuan tersebut pebelajar saling bertukar informasi

yang telah dikumpulkannya dan pengetahuan yang telah mereka bangun. Pebelajar juga harus

mengorganisasikan informasi yang didiskusikan sehingga anggota tim lain dapat memahami

relevansi terhadap permasalahan yang dihadapi.

Pada tahap ini, proses pembelajaran dapat dimulai bila seleksi alternatif dan pembagian tugas

sudah dilakukan. Setiap pebelajar dapat melakukan pendalaman materi sesuai dengan pembagian

tugas dalam tim masing-masing. Pendalaman materi dapat dilakukan melelaui referensi (buku,

jurnal, majalah, browsing internet, dan informasi dari ahli).

d. Pertukaran Pengetahuan

Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah pembelajaran

mandiri dan atau kolaborasi, selanjutnya pada pertemuan berikutnya pebelajar berdiskusi dalam

timnya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari permasalahan tim.

Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara pebelajar berkumpul sesuai dengan tim

dan pembelajar atau asisten pembelajarnya.

Page 16: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

Tiap tim menetukan ketua diskusi dan tiap anggota tim menyampaikan hasil kerja/belajarnya

dengan cara mengintegrasikan hasil belajarnya untuk mendapatkan kesimpulan. Langkah

selanjutnya presentasi hasil dalam pleno (kelas besar) dengan mengakomodasi masukan dari

pleno, menentukan kesimpulan akhir, dan dukumentasi akhir.

e. Penilaian

Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek, yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Penilaian terhadap hasil konstruksi pengetahuan dapat dilakukan dengan ujian, dukumen, atau

laporan. Penilaian terhadap keterampilan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran

baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian. Sedangkan penilaian

terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam

tim, keterampilan bekerja secara kolaborasi, dan kehadiran dalam perkuliahan. Bobot ketiga

aspek tersebut ditentukan oleh pembelajar yang bersangkutan

Untuk mengetahui keefektifan pembelajaran dengan menggunakan CBL perlu dilakukan

evaluasi. Evaluasi itu untuk mendapatkan 2 informasi penting, yakni (1) tingkat keberhasilan

pelaksanaan pembelajaran, meliputi keluaran pembelajaran, manfaat bagi pebelajar, relevansinya

dengan kemampuan lulusan, dan (2) kendala atau masalah yang timbul, meliputi fasilitas

penunjang pembelajaran dengan PBM, resistensi pembelajar, resistensi pebelajar, dan informasi

yang diperoleh dilakukan untuk melakukan perbaikan dari sisi perencanaan, pelaksanaan, dan

penilaian pembelajaran.

8. Hasil Pengujian Model Pembelajaran Kolaborasi

Gokhale (1995), menemukan bahwa kelompok pebelajar yang belajar dengan pola belajar

kolaborasi lebih tinggi prestasi belajarnya dibanding kelompok pebelajar yang belajar secara

kompetitif. Berdasarkan analisisstatistik menunjukkan bahwa para pebelajar yang belajar secara

kolaboratif memiliki kemampuan yang baik dalam hal “berpikir kritis” dibanding mereka yang

belajar secara kompetitif. Ini sesuai dengan teori pembelajaran yang diusulkan oleh penganjur

pembelajaran kolaboratif.

Selanjutnya ia menyarankan agar pembelajaran kolaboratif lebih efektif, pembelajar harus

memandang pembelajaran sebagai proses untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan

pebelajar untuk belajar. Peran Pembelajar bukanlah untuk memancarkan informasi, tetapi untuk

bertindak sebagai suatu fasilitator untuk belajar. Belajar adalah kegiatan menciptakan, mengelola

pengalaman belajar dan merangsang pemikiran pebelajar melalui permasalahan dunia nyata.

Saran lain yang diajukan Gokhale (1995), kepada para peneliti pembelajaran berikutnya agar

melakukan penelitian pembelajaran yang menyelidiki efek dari variabel yang berbeda seperti

komposisi kelompok, heterogen melawan homogen, pemilihan kelompok dan ukuran, struktur

dari pembelajaran kolaboratif, jumlah intervensi pengajar di dalam proses pembelajaran, jenis

kelamin dan etnis, dan gaya belajar yang berbeda.

Arnseth dan Ludvigsen (2000) dalam penelitiannya tentang komputer pembelajaran

menghasilkan temuan bahwa peralatan teknologi modern (komputer) mempengaruhi pemikiran,

Page 17: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

pemecahan masalah, pemahaman konseptual, dan penerapan strategi pemecahan masalah, dan

proses kolaborasi dibandingkan dengan penggunaan teknologi peradaban kuno. Ia menyarankan

agar penelitian yang akan datang menguji bagaimana teknologi benar-benar menonjolkan

aktivitas sosial, bagaimana orang bisa “menjadi lebih sosial” dengan menggunakan teknologi

modern, karena ada asumsi bahwa “teknologi dehumanisasi” atau menjadikan manusia lebih

individual. Topik psikologis, seperti persepsi, pemecahan masalah, ingatan dan pemikiran perlu

dikaji dengan menggunakan pendekatan dengan tindakan sosial, dan pengaturan interaksi sosial.

Kedua ilmuwan pembelajaran ini juga menemukan bahwa penggunakaan teknologi informasi

dapat meningkatkan aktivitas kolaborasi secara terus menerus. Para pebelajar „dapat belajar‟

secara jarah jauh atau telelearning untuk merundingkan struktur masalah, proses pemecahan

masalah, pemahaman tugas, dan perbedaan peran mereka dalam tim. Proses kolaborasi dapat

membangun bingkai pemahaman atas masalah, kejelasan tugas tim dalam memecahkan masalah,

meningkatkan kemampuan interaksi sosial, dan dapat meenghasilkan kerja yang lebih dapat

dipertanggungjawabkan.

Mustaji (2009) menemukan bahwa penggunaan pembelajaran kolaborasi pada mata kuliah

masalah sosial dapat meningkatkan hasil belajar. Hal ini bisa dilihat dari beberapa aspek,

diantaranya (1) hasil belajar pebelajar yang mencapai ketuntasan 82.3%, (2) pebelajar lebih

bergairah untuk bekerja/belajar, (3) produktifitas pebelajar dilihat dari sisi portofolio

pembelajaran lebih meningkat, (4) tugas-tugas proyek pemecahan masalah dapat dilaksanakan

secara optimal, (5) pebelajar memiliki sikap yang positif terhadap proses pembelajaran, materi,

pembelajar, dan norma yang berkaitan dengan materi pembelajaran, (6) dan pebelajar lebih

memiliki keterampilan berkolaborasi.

Penggunaan model pembelajaran kolaborasi dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal ini

bisa dilihat dari tanggapan pebelajar yang menyatakan bahwa penggunanan pembelajaran

kolaborasi dapat menciptakan terhadap suasana pembelajaran yang interaktif, pebelajar lebih

aktif untuk belajar/bekerja, dan menyenangkan. Peran pembelajar sebagai fasilitator, motivator,

konsultan pembelajaran, dan mitra pebelajar. Pebelajar dapat memilih tujuan belajar,

mengkonstruksi pengetahuan, kesungguhan untuk belajar, dan belajar berkolaborasi. Ini

menunjukan bahwa pembelajaran kolaborasi adalah suatu model pembelajaran yang berpusat

pada pebelajar.

C. Penutup

Keterampilan berkolaborasi sangat diperlukan dalam kehidupan masa kini. Kini, keberhasilan

bukanlah buah dari kompetisi, tetapi dari kolaborasi. Paradigma keberhasilan proses

pembelajaran berbasis kompetisi (competition) perlu digeser ke paradigma proses pembelajaran

berbasis kolaborasi (collaboration). Paradigma kehidupan sekarang yang paling tinggi adalah

interdependensi (saling ketergantungan), bukan independensi(individualisasi). Pergeseran

paradigma seperti itu penting untuk dipahami oleh para pembelajar karena semakin

terspesialisasikannya bidang-bidang ilmu sehingga untuk menghasilkan suatu produk harus

mampu mengkolaborasikan secara serasi antar spesialisasi bidang ilmu. Sehubungan dengan itu

para pembelajar juga perlu mengembangkan pola kerja/be;lajar kolaborasi daripada kompetensi.

Page 18: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

Jika kompetisi yang dikembangkan, maka akan mengarahkan pada pikiran dan perasaan untuk

menyerang orang lain.

Keterampilan berkolaborasi merupakan keterampilan yang sangat diperlukan untuk memasuki

dunia kerja. Dengan bekerja/belajar secara kolaborasi, pebelajar menjadi lebih sukses sebagai

bagian dari anggota tim dan kinerja menjadi lebih berkualitas. Sukses sebagai bagian dari tim

dan kinerja yang berkualitas, merupakan keterampilan yang sangat penting ketika nanti mereka

sudah memasuki dunia kerja.

Bagaimana pendapat Anda ?

DAFTAR RUJUKAN

Arnseth, H.C dan Sten Ludvigsen. 2000. Collaboration and Problem Solving in

Distributed Collaborative Learning.University of Oslo Barbara Wasson, Anders Mørch

University of Bergen: http://www.ll.unimaas.nl/euro-cscl/Papers/8.doc. Diakses 8

Desember 2006

Bowen, D.D 1998. “Team Frames: The Multiple Realities of The Team.” Journal of

Management Education, 22, (1), 95-103.

Covey, S.R. 1989. The Seven Habits of Highly Effective People.” New York: A Fireside

Book.

Davis, B.D. & Miller, T.R. 1996. “Job Preparation for The 21st Century: A Group

Project.” Journal of Education for Business, 72, (2), 69-73.

Duin, J.S. et al., 1994. “Collaborative Processes.” Dalam Dishon D. & O‟Leary, W. P.

(1994). A Guidebook For Cooperative Learning: A Technique For Creating More

Effective Schools. Holmes Beach, FL: Learning

Gaspersz. 1998. Manajemen Produktivitas Total: Strategi Peningkatan Produktivitas

Bisnis Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Gaspersz. 2007. Team Oriented Problem Solving. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Gokhale, A A. 1995. Collaborative Learning Enhances Critical Thingking.

http://scolar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/jte-v7n1/gokhale.jte-v7n11,html. diakses 20

Nopember 2006

Graham, R.A. & Graham, B.L. 1997. “Cooperative Learning: The Benefit of

Participatory Examinations in Principles of Marketing Classes.” Journal of Education for

Business, 72, (3), 149-152.

Greening, Tony.1998. Scaffolding for Success in Problem Base Learning,

http://www.med-ed-online.org?f0000012.htm. diakses tanggal 10 Desember 2006

Hill, Susan & Hill, Tim. 1993. The Collaborative Classrom: a guide co-operaative

learning. Australia. Eleanor Curtain Publisshing.

Howard, S.A. 1999. “Guiding Collaborative Teamwork In The Classroom”. Effective

Teaching, 10, (5), 11-27.

Joni, T.R. 2000. Rasional Pembelajaran Terpadu. Makalah disajikan dalam Seminar

Regional: Implementasi Pembelajaran Terpadu dalam Menyongsong Era Indonesia Baru:

PPS Universitas Negeri Malang, 20 Mei 2000

Page 19: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

Jorn, L.A.& Duin, A.H. 1992. “Information Technology and The Collaborative Writing

Process in The Classroom.” Bulletin of The Assosiation for Business Communication, 55,

(4), 13-20.

Kirschner, P A. 2005. Technology-Based Collaborative Learning: A Europian

Perspektive. Journal Educational Technology/ September-Oktober 2005, p 5-7

Kirschner, P A. 2005. Technology-Based Collaborative Learning: A Europian

Perspektive. Journal Educational Technology/ September-Oktober 2005, p 5-7

Lookatch, R.P. 1996. “Collaborative Learning and Multimedia: Are Two Heads Still

Better, http://www.studygs.net/cooplearn.htm. diakses tanggal 29 Nopember 2006

Ludvigsen, A R & Morch A I. 2005. Situating Collaborative Learning: Educational

Technology in the Wild. Journal Educational Technology/ September-Oktober 2005, 39-

43

McCahon, C.S. & Lavelle, J.P. 1998. “Implementation for Cross-Disciplinary Teams for

Business and Engineering Students for Quality Improvement Projects. Journal of

Education for Business, 73, (3) 150-157.

Mustaji, 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pola

Kolaborasi dalam Mata Kuliah Masalah Sosial. Disertasi. Malang: Program Pascasarjana

UIniversitas Negeri Malang

Qin, Z, Johnson, D.W, dan Johnson, R.T. 1995. Cooperative versus Competitive efforts

and problem solving. Reviewof Educational Research, 65 (2) p. 129-143

Panitz,T (1996). A Definition of Collaborative vs Cooperative Learning:

http://www.city.londonmet.ac.uk/deliberations/collab.learning/panitz2.htm

l. diakses 18 Nopember 2006 Ravenscroft, S.P. & Buckless, F.A. 1995.“Incentives in Student Team Learning: An

Experiment in Cooperative Group Learning.” Issues in Accounting Education, 10, (1),

97-109.

Sharan, Y. and Sharan, S.(1992). Expanding cooperative learning through group

investigation. New York: Teachers College Press.

Mann, S.T , 2003. Study Guides and Strategies; Cooperative & Collaborative Learning.

http://www.studygs.net/cooplearn.htm. diakses tanggal 29 Nopember 2006

Xaviery, 2004. Strategi Pembelajaran Sosiologi Tingkat SMA. http://artikel.us/xaviery6-

04.html. diakses tanggal 27 Agustus 2007

Education

Pendidikan Bagi Kita Semua

Kamis, 15 November 2012

Model Pembelajaran Ekspositori

Page 20: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

Model pembelajaran ekspositori adalah model pembelajaran yang menekankan kepada proses

penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa

dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Roy Killen menamankan model ekspositori ini dengan

istilah model pembelajaran langsung (dirrect intruction), karena dalam model ini materi pelajaran

disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu.1[1] Model

ekspositori sama seperti model ceramah. Kedua model ini menjadikan guru sebagai pemberi informasi

(bahan pelajaran).

Dominasi guru dalam kegiatan belajar-mengajar model ceramah lebih terpusat pada guru dari

pada model ekspositori. Pada model ekspositori siswa lebih aktif dari pada model ceramah. Siswa

mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin juga saling bertanya dan mengerjakan bersama dengan siswa

lain, atau disuruh membuatnya dipapan tulis.2[2] Metode Ekspositori adalah cara penyampaian pelajaran

dari seorang guru kepada siswa di dalam kelas dengan cara berbicara di awal pelajaran, menerangkan

materi dan contoh soal disertai tanya jawab. Guru dapat memeriksa pekerjaan siswa secara individual,

menerangkan lagi kepada siswa apabila dirasakan banyak siswa yang belum paham mengenai materi.

Kegiatan siswa tidak hanya mendengar dan mencatat, tetapi siswa juga menyelesaikan latihan soal dan

bertanya bila belum mengerti.

Beberapa karakteristik model ekspositori, diantaranya: 3[3]

a. model ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur

secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan model ini., oleh karena itu sering mengidentikanya

dengan ceramah;

1[1] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:

Kencana, 2006), hlm. 179.

2[2] Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia, 2001), hlm. 171.

3[3] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:

Kencana, 2006), hlm. 179.

Page 21: 125603102 Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi

b. materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta,

konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehinga tidak menuntut siswa untuk bertutur ulang;

c. tujuan utama pembelajaran dalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya, setelah proses

pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahaminya dengan benar dengan cara dapat

mengungkapkan kembali materi yang sudah diuraikan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran ekspositori adalah suatu model

pembelajaran yang cara penyampaian materinya secara langsung oleh guru kepada siswa dengan tujuan

siswa dapat menguasai materi secara optimal. Materi yang pelajaran yang disampaikan oleh guru dalam

model pembelajaran ekspositori biasanya materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta,

konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehinga tidak menuntut siswa untuk bertutur ulang.

Diposkan oleh Andi "Ghothenx" El-Faraby di 11:41:00 AM