Top Banner

of 61

11. Bab i,II,III, IV, V

Jul 13, 2015

Download

Documents

Julaiha Qosim
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan dalam masalah klinik terutama muncul karena pemakaian obat. Penelitian terhadap masalah-masalah dalam terapi merupakan kajian yang menarik sekaligus menantang. Permasalahan dalam penggunaan obat yang potesial muncul dirumuskan sebagai Drug Related Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs) adalah suatu kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap perkembangan pasien yang diinginkan (1). Prevalensi kejadian Drug Related Problems (DRPs) di sebuah rumah sakit di USA, sebanyak 6.7% pasien mengalami adverse drug reactions (ADRs) yang bersifat serius dan sebanyak 0.32% mengalami ADRs yang bersifat fatal yang menyebabkan peningkatkan jumlah angka kematian (mortality). Bentuk DRPs yang sering ditemukan di rumah sakit adalah kesalahan peresepan, overdose, penyalahgunaan obat dan kegagalan terapi (2). Sebuah penelitian terbaru yang telah dilakukan selama tahun 1990 hingga 2005, tentang efek penggunaan antipsikotik atipikal terhadap resiko kesehatan jantung pada 93.300 orang yang yang menggunakan antipsikotik tipikal dan atipikal, yang menjalani perawatan di clinical center di Nashville. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa resiko terhadap kematian mendadak akibat kardiovaskular (sudden cardiac death) pada pasien yang menggunakan antipsikotik atipikal mempunyai resiko dua kali lipat daripada resiko kematian mendadak akibat kardiovaskular karena penggunaan antipsikotik tipikal. Resiko kematian mendadak akibat kardiovaskular akan meningkat sebanding dengan dosis yang diberikan (3). Selain dapat meningkatkan resiko kematian mendadak akibat kardiovaskular, antipsikotik atipikal ( terutama olanzapin) juga mempunyai efek samping peningkatan berat badan dan dapat meningkatkan kadar glukosa dan lemak dalam tubuh (4). Adanya prevalensi DRPs terkait pemberian antipsikotik pada terapi skizofrenia, menuntut perlu dilakukannya identifikasi permasalahan terkait

dengan pemberian antipsikotik pada pasien skizofrenia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan terkait penggunaan antipsikotik (Drug Related Problems) sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam memaksimalkan efek terapeutik antipsikotik untuk memberikan perawatan terbaik kepada pasien. Rumah sakit Grhasia merupakan rumah sakit pemerintah yang secara khusus menangani penyakit kejiwaan di provinsi DIY. Skizofrenia merupakan salah satu penyakit kejiwaan yang ditangani di rumah sakit tersebut, dan memiliki prevalensi lebih tinggi dibanding penyakit kejiwaan lain dan membutuhkan waktu pengobatan yang cukup lama, sehingga sangat mungkin dalam proses pengobatan dapat ditemukan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pemberian antipsikotik pada pasien skizofrenia. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian mengenai identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada penggunaan antipsikotik. Rumusan Masalah Bagaimana profil penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia periode 2007 - 2009 ? Bagaimana prevalensi DRPs (Drug Related Problems) pada penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia periode 2007 2009 ? Bagaimana perpandingan prevalensi DRPs (Drug Related Problems) pada penggunaan antipsikotik di Rumah Sakit Grhasia periode 2007, 2008, 2009 ?

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui profil penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia periode 2007 - 2009. Untuk mengetahui prevalensi DRPs penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia periode 2007 - 2009.

3

Untuk mengetahui perbandingan prevalensi DRPs penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia periode 2007, 2008, 2009.

Manfaat Penelitian. Bagi peneliti Sebagai sumber pengetahuan terkait DRPs penggunaan antipsikotik dan untuk menjawab permasalahan peneliti. Bagi rumah sakit Sebagai bahan evaluasi pada penggunaan antipsikotik dan tingkat kejadian DRPs terkait penggunaan antipsikotik. Bagi institusi pendidikan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut.

BAB II STUDI PUSTAKA Tinjauan Pustaka

Drug Related Problems (DRPs) Definisi Drug related problems (DRPs) adalah suatu kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap perkembangan pasien yang diinginkan (1). Suatu kejadian dapat disebut DRPs bila memenuhi dua komponen berikut : Adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien Kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosa penyakit, ketidakmampuan (disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur atau ekonomi. Adanya hubungan antara kejadian DRPs dengan terapi obat Bentuk hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat maupun kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun sebagai pencegahan.

5

Tipe-tipe DRPs Drug related problems (DRPs) dapat diklasifikasikan menjadi : indikasi tanpa obat Merupakan suatu kejadian ketika pasien menderita menyakit sekunder yang menyebabkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek sinergis terapi, dan terapi untuk tujuan profilaksis. obat tanpa indikasi Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. DRPs kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek samping yang membahayakan, pengobatan. (c) Pasien menerima regimen terapi yang salah, meliputi : Terapi multi obat (polifarmasi) Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan penulisan resep obat yang berlebihan oleh dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Frekuensi pemberian Durasi terapi (d) Pasien menerima obat dalam jumlah kecil dibandingkan dosis terapinya (subdose) Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi, sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresapan obat, frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan untuk

obat yang diterima lebih sedikit dari seharusnya. Penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian yang tidak benar juga dapat mempengaruhi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pasien. (e) Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya (overdose) Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan dapat meningkatkan kematian pada pasien. Penyebab pemberian obat dalam jumlah terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis dalam presepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat. (f) Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction) Adverse drug reaction (ADR) merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa maupun terapi. ADR dapat disebabkan karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari segi frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat obat tertentu. Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : Reaksi tipe A ADR tipe A merupakan ADR yang terjadi akibat adanya peningkatan efek farmakologi obat dan terkait dengan dosis yang digunakan. Reaksi tipe B ADR tipe B adalah ADR yang berupa reaksi idiosinkrasi yang tidak terkait dengan efek farmakologi obat dan sama sekali tidak terkait dengan dosis. Reaksi alergi mencakup tipe : Reaksi alergi anafilaksis Reaksi alergi sitotoksik Reaksi alergi serum Reaksi alergi tertunda Reaksi tipe C ADR tipe C merupakan efek yang tidak diharapkan akibat penggunaan obat

7

yang terkait dengan penggunaan jangka panjang.ADR ini terjadi karena adanya pemaparan obat secara terus-menerus terhadap suatu organ atau jaringan tubuh, dan dapat juga terjadi akumulasi obat dalam tubuh. Reaksi tipe D ADR tipe D merupakan efek yang tidak diharapkan akibat penggunaan obat yang sifat efeknya tertunda. Efek yang terjadi tidak selalu melibatkan adanya akumulasi obat dalam tubuh atau penggunaan obat jangka panjang. Contoh paling umum adalah efek teratogenik atau karsinogenik. (g) Ketidakpatuhan pasien Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku individu dengan nasehat medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : Persepsi pasien tentang kesehatan. Pengalaman mengobati sendiri. Pengalaman dengan terapi sebelumnya. Lingkungan. Adanya efek samping obat. Keadaan ekonomi. Interaksi dengan tenaga kesehatan. Akibat dari ketidakpatuhan pasien untuk mengikuti aturan selama pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan seolaholah diartikan akibat kelalaian pasien, dan hanya pasien yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya. Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya karena kelalaian pasien dalam mengikuti terapi yang ditentukan, namun banyak faktor pendorong, antara lain : Obat tidak tersedia. Regimen yang komplek. Usia lanjut.

Lamanya terapi. Hilangnya gejala. Takut akan efek samping. Rasa obat yang tidak enak. Tidak mampu membeli obat. Pasien lupa dalam pengobatan. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit (5) (h) Pemilihan obat yang tidak tepat Keptusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosa ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang tersedia. Banyak reaksi merugikan yang dapat dicegah, jika dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan bekerjasama dengan dokter dan apoteker untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan penyakitnya (5)

(i) Interaksi obat Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena adanya interaksi antar obat. Akibat yang tidak dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan, yakni menigkatkan efek toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang dikehendaki. Interaksi obat dapat terjadi sebagai berikut : Obat makanan Interaksi obat-makanan dapat menyebabkan perubahan pada fase farmakokinetik ( absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi), adanya perubahan pada fase farmakokinetik mengakibatkan perubahan dalam

9

efikasi obat (5). Obat obat Interaksi antar obat dapat berakibatkan merugikan atau menguntungkan, suatu interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas atau mengurangi efektifitas terapi, terutama yang menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (5). Obat penyakit Interaksi obat dengan penyakit, sering disebut sebagai kontraindikasi. Misalnya, penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan nefrotoksik (5). Secara garis besar drug related problems (DRPs) dapat dikategorikan menjadi 8 macam, yaitu : Indikasi tanpa obat. Obat tanpa indikasi. Subdose (obat diberikan dalam dosis dibawah dosis terapi). Overdose (obat diberikan dalam dosis diatas dosis terapi). Adanya reaksi obat yang tidak dikehendaki (Adverse Drug Reactions) dan efek samping obat. Adanya interaksi obat Pasien gagal menerima terapi. Pemberian obat kurang tepat (6). 2. Skizofrenia a. Definisi Skizofrenia merupakan penyakit psikiatrik yang menunjukan sindrom heterogen yang bersifat kronis, antara lain pikiran aneh dan tidak teratur, delusi, halusinasi, dan kegagalan fungsi psikososial (7). Skizofrenia adalah sebuah kata

yang berasal dari bahasa Yunani; schizein yang berarti terpisah atau pecah dan phrenia yang berarti jiwa. Arti dari kata-kata tersebut menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia, yaitu pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya. Gangguan skizofrenia tergolong pada gangguan psikotik (8). Skizofrenia dapat ditandai oleh gejala-gejala yang meliputi kelainan kepribadian, cara berpikir, emosi, tingkah laku, dan hubungan dengan orang lain serta terdapat kecenderungan untuk menarik diri dari realitas ke dalam dunianya sendiri (9). Epidemiologi Sebanyak 24 juta orang di seluruh dunia menderita gangguan skizofrenia dengan angka kejadian 7 per 1000 penduduk. Diperkirakan terdapat 4 -10% resiko kejadian bunuh diri sepanjang rentang kehidupan penderita skizofrenia, dan 40% angka percobaan bunuh diri. Angka prevalensi di dunia menunjukan 1% dari seluruh penduduk dunia, pada laki- laki dan wanita. Skizofrenia pada laki laki terjadi mulai umur 18 25 tahun sedang pada wanita biasanya mulai umur 26- 45 tahun, dan jarang muncul pada anak anak. Bila muncul pada anak-anak, biasanya mengenai 4-10 anak diantara 10.000 anak (7). Di Indonesia diperkirakan 1- 2% penduduk atau skitar 2 4 juta jiwa terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari 1 -2 juta yang terjangkit penyakit skizofrenia atau sekitar 700 ribu hingga 1.4 juta jiwa, kini sedang menjalani perawatan di rumah sakit jiwa (10). Prognosis untuk skizofrenia umumnya kurang begitu menggembirakan. Sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum munculnya gangguan tersebut). sekitar 25% tidak pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya, ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu singkat (11). Etiologi Penyebab skizofrenia telah diselidiki dan menghasilkan beraneka ragam pandangan, tetapi tetap merupakan masalah yang kontroversial. Umumnya para ahli mencari penyebab skizofrenia dengan mengajukan beberapa pendekatan,

11

diantaranya pendekatan secara fisiologis. Kemajuan ilmu dalam bidang biokimia memberikan dasar untuk penelitian yang luas yang menghubungkan faktor-faktor biokimia dengan skizofrenia (12). Penelitian yang telah dilakukan memberikan hasil bahwa penyebab terjadinya skizofrenia karena adanya abnormalitas pada struktur dan fungsi otak, peningkatan ukuran ventricular otak yang ditemukan pada penderita skizofrenia. Faktor genetik juga merupakan salah satu penyebab skizofrenia, risiko terjadinya skizofrenia pada populasi luas adalah 0.6 sampai 1.9%, resiko ini akan meningkat menjadi 10% pada individu yang mempunyai hubungan biologis, resiko untuk menjadi skizofrenia akan meningkat menjadi 40% pada individu yang kedua orangtuanya menderita skizofrenia (7).

Patofisiologi Teori dopamin Dopamin adalah neurotransmitter dalam otak yang berada pada sistem limbik, yang mengatur rangsangan emosional. Selain pada sistem limbik dopamin juga berada pada lobus frontalis yang sangat berperan dalam mengintegrasikan fungsi manusia. Teori dopamin tentang skizofrenia mengemukakan bahwa aktifitas dopamin yang tinggi menyebabkan aktifitas neurologis yang tinggi dalam daerah otak, aktifitas neurologis yang tinggi menyebabkan timbulnya gejala skizofrenia. Abnormalitas pada struktur otak Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan dengan MRI (magnetic resonance imaging) dan CT scan (computeriezed tomography scan) terhadap otak dari orang-orang penderita skizofrenia pada umumnya mengungkapkan tiga tipe abnormalitas struktural, yakni ventrikulus-ventrikulus yang membesar, atrofi kortikal, dan saimetri serebral yang terbalik. Ventrikulus yang membesar Ventrikulus adalah rongga atau saluran pada otak tempat cairan serebrospinal mengalir, dan diperkirakan ventrikulus- ventrikulus ini membesar 20 sampai 50% pada penderita skizofrenia. Atrofi kortikal

Merupakan suatu degenerasi progesif dari sel-sel saraf pada korteks. Kerusakan otak ini kelihatan sebesar 20 sampai 35% pada orang-orang yang menderita skizofrenia. Asimetri serebral yang terbalik (reverse serebral asimetry) Pada individu-individu yang normal, sisi kiri dari otak lebih besar dari sisi kanan, tetapi kadang -kadang hal ini terbalik pada orang-orang yang menderita skizofrenia. Faktor-faktor genetik Hasil dari penelitian-penelitian keluarga menunjukan bahwa faktor genetik sangat berperan dalam perkembangan skizofrenia. Semakin dekat hubungan biologis dengan individu yang sakit, maka akan semakin besar juga kemungkinan seseorang menderita skizofrenia (12). Gejala dan Tanda Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu primer dan sekunder. Gejala-gejala primer Gangguan proses pikiran Jalan pikiran pada skizofrenia sukar atau tidak dapat dimengerti, hal ini dinamakan inkoherensi. Pada inkoherensi sering tidak ada hubungan antara emosi dan pikiran. Pada pikiran melayang yang terdapat pada mania selalu ada eforia, pada inkoherensi biasanya jalan pikiran tidak dapat diikuti.

Gangguan afek dan emosi Gangguan ini dapat berupa kedangkalan afek dan emosi, misalnya penderita menjadi tidak peduli terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri. Hilangnya perasaan halus, adanya parathimi (apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah), paramimi (penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis). Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresi tidak

13

mempunyai kesatuan, emosi yang berlebihan, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik. Karena terpecah-pecahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan mungkin terdapat bersamasama, seperti mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Gangguan kemauan Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan. Gejala psikomotor Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau sikap dan kalimat, seperti menarik-narik rambutnya (12). Gejala-gejala sekunder Halusinasi Halusinasi merupakan gejala umum skizofrenia yang berbeda dengan delusi, yakni penderita yang berhalusinasi mengungkapkan pengalamannya tentang kenyataan secara salah dan sama sekali tidak tepat, mendengar, mencium, atau melihat segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi dapat berupa halusinasi pendengaran (auditory hallucination) adalah tipe halusinasi yang sangat umum ditemukan, halusinasi rasa (gustatory hallucination), halusinasi bau (olfactory hallucination), dan halusinasi penglihatan (visual hallucination). Delusi Delusi adalah tafsiran yang salah terhadap pengalaman yang sudah terungkap secara tepat pada pancaindera (13). Tabel I. Gejala-gejala pada pasien skizofrenia (14)Gejala gejala positif Delusi Halusinasi Gejala gejala negatif Avolition (apatis) Alogia (miskin bicara) Anhedonia Afek datar Disorganisasi Perilaku aneh (bizarre) Disorganisasi pembicaran

Asosialitas

Diagnosa Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus ada sedikitnya satu gejala yang telah disebutkan yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) dari gejala-gejala di bawah ini, yaitu : (1). a. Thought echo, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda. b. Thought insertion or withdrawal, yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya. c. Thought broadcasting, yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya. (2). a. Delusion of control, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar. b. Delusion of influecence, yaitu waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar. c. Delusion of passivity, yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap sesuatu kekuatan dari luar. (tentang dirinya = secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh atau anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus). Delusion perception, yaitu pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

(3). Halusinasi auditorik a. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien. b. Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai

15

suara yang berbicara). c. Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh. (4). Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasanya (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain). Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas : (5). Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang mupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over value ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus- menerus. (6). Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan, yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme. (7). Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh- gelisah, posisi tubuh tertentu, atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor. (8). Gejala-gejala negatif seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih ( tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial (15). Terapi Terapi yang komprehensif dan holistik atau terpadu dewasa ini sudah mulai dikembangkan sehingga peluang kesembuhan dan kualitas hidup pasien skizofrenia akan sangat besar, penderita skizofrenia tidak lagi mengalami

diskriminasi dalam pergaulan sosial masyarakat disekitar mereka. Terapi yang dimaksud meliputi terapi dengan obat obatan (terapi farmakologi) dan tanpa obat (non farmakologi). Terapi non farmakologi Terapi non farmakologi yang dimaksud adalah pendekatan psikososial terhadap pasien skizofrenia, dalam melakukan intervensi psikososial perlu untuk menentukan potensi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh dari suatu pendekatan. Termasuk dalam pendekatan psikososial ini adalah terapi individu, terapi kelompok, terapi keluarga, dan pelatihan keterampilan sosial. Terapi individu Dapat dilakukan dengan menggunakan terapi psikodinamik, atau Cognitive Behavior Therapy (CBT). Terapi keluarga Pada terapi ini dapat dilakukan beberapa hal lain : Memberikan pendidikan tentang skizofrenia, termasuk gejala dan tandatanda kekambuhan. Memberikan informasi tentang memonitor efek pengobatan dengan antipsikotik. Menghindari saling menyalahkan dalam keluarga. Meningkatkan komunikasi dan keterampilan pemecahan masalah dalam keluarga. Mendorong pasien dan keluarga untuk mengembangkan kontak sosial mereka, terutama berkaitan dengan jaringan pendukung. Meningkatkan harapan bahwa segala sesuatu akan membaik, dan pasien mungkin pasien tidak harus kembali ke rumah sakit. Terapi kelompok Pada dasarnya melalui terapi kelompok pasien skizofrenia diberi pelatihan kemampuan sosial, antara lain bagaimana memecahkan masalah sosial.

17

Pelatihan keterampilan sosial Terdapat 4 model social skills training bagi penderita skizofrenia, yaitu : Basic social skills model Social problems solving model Cognitive remediation Vocational rehabilitation (8). 2). Terapi farmakologi Terapi farmakologi yang diberikan adalah antipsikotik, yang menghambat reseptor dopamin subtipe D1 dan D2, atau jalur serotonin dalam susunan sistem syaraf pusat. Antipsikotik tersebut efektif menghilangkan gejala positif, namun efeknya terhadap gejala negatif lebih sedikit (16) a. Farmakoterapi Pemberian antipsikotik, yaitu obat yang menghambat reseptor dopamin subtipe D1 dan D2 dan atau jalur serotonin dalam susunan syaraf pusat. Obat-obat tersebut menghilangkan gejala positf dan gejala negatif (12). Terapi farmakologi dengan penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : Terapi pada episode akut skizofrenia Tujuan terapi 7 hari pertama: normalisasi pola tidur dan makan, mengurangi agitasi, hostility, agregasi, dan ansietas. Jika seorang pasien terkena serangan psikotik akut, lebih baik diatasi dengan meng - imobilisasi pasien terlebih dahulu dan mengajaknya bicara, kemudian diberi benzodiazepine untuk penenang dan atau suatu obat antipsikotik. Benzodiazepine (contoh: lorazepam 2 mg i.m setiap 30 menit) terbukti efektif mengurangi agitasi, sehingga mengurangi dosis antipsikotik yang dibutuhkan dan dapat mengurangi efek samping dari antipsikotik. Jika dibutuhkan antipsikotik untuk agitasi berat, obat potensi tinggi bisa

digunakan, contoh: ziprasodine 10 -20 mg i.m, olanzapine 2.5 10 mg i.m, haloperidol 2-5 mg i.m setiap 60 menit. Selanjutnya dapat diberikan antipsikotik lain sesuai algoritma. (b) Terapi stabilisasi (1) Terapi diberikan setelah 2- 3 minggu, hal ini bertujuan untuk meningkatkan sosialisasi dan perbaikan kebiasaan (self care habits) dan perasaan. (2) Mungkin perlu waktu 6-8 minggu untuk mendapatkan respon yang diharapkan. Pada pasien kronis membutuhkan waktu 3-6 bulan. (3) Pengobatan: 1) menggunakan obat antipsikotik tipikal, dosis ekivalen dengan klorpromazin 300-1000 mg dan dapat digunakan perhari. 2) menggunakan obat antipsikotik atipikal sebagai alternatif. (4) Dosis obat yang diberikan secara titrasi sampai diperoleh dosis yang tepat, sehingga dapat mencegah reaksi efek samping obat. (5) Terapi ini tidak dapat menyembuhkan tetapi hanya mengurangi gejala. (c) Terapi pemeliharaan Terapi ini dilakukan dalam jangka panjang yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Harus diberikan sedikitnya sampai setahun sejak sembuh dari episode akut. Bahkan untuk lebih berhasil perlu dilakukan terapi minimal 5 tahun, kemudian dosis diturunkan secara perlahan lahan. Terapi pemeliharaan dapat diberikan dalam dosis setengah dari dosis akut. Untuk pasien yang tidak patuh dalam penggunaan obat, dapat diberikan dalam bentuk sediaan depot. Yaitu pemberian obatnya dapat diberikan setiap 2-4 minggu sekali secara i.m. Tetapi formulasi depot ini hanya dapat diberikan jika pasien telah memiliki dosis efektif peroral yang stabil. Contoh: flufenazin

19

dekanoat atau haloperidol dekanoat. b. Terapi elektro- konvoulsi (TEK) Terapi elektro-konvulsi diberikan jika pasien tidak berespon terhadap terapi antipsikotik. Terapi elektro-konvulsi dapat memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita. Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang, tetapi lebih mudah diberikan, lebih murah dan tidak memerlukan tenaga khusus seperti pada terapi koma insulin.

c. Terapi koma insulin Meskipun pengobatan ini tidak khusus bila diberikan pada permulaan penyakit, hasilnya memuaskan. Persentasi kesembuhan lebih besar bila dimulai dalam waktu 6 bulan sesudah penderita jatuh sakit. Terapi koma insulin memberi hasil yang baik pada katatonia dan skizofrenia paranoid. (d). lobotomy prefrontal Yaitu merupakan terapi pembedahan otak pada pasien skizofrenia, dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila penderita sangat mengganggu lingkungan sekitarnya (13). 3. Antipsikotik Antipsikotik merupakan obat yang menghambat reseptor dopamin D1 dan D2 dan atau jalur serotonin dalam susunan syaraf pusat. Obat-obat tersebut menghilangkan gejala positif dan gejala negatif pada penyakit skizofrenia. Obatobat antipsikotik dapat dibagi atas 5 kelompok utama berdasarkan struktur kimiawi obat, yaitu: Golongan fenotiazin contohnya: klorpromazin, flufenazin, proklorperazin, prometazin, tioridazin. Golongan benzioksazol contohnya: risperidone. Golongan dibenzioksazol contohnya: klozapin. Golongan butirofenon contohnya: haloperidol

Golongan tioxantin contohnya: tiotiksen (17). Mekanisme kerja antipsikotik secara umum: Menghambat reseptor dopamine dalam otak Semua antipsikotik menghambat reseptor dopamin dalam otak dan perifer. Efikasi antipsikotik menghambat reseptor D2 dalam system mesolimbik otak. Kerja antipsikotik diantagoniskan oleh obat-obat yang menigkatkan konsentrasi dopamine, misalnya L- dopa dan amfetamin (17). Menghambat reseptor serotonin dalam otak Obat-obat yang lebih baru bekerja menghambat reseptor serotonin, klozapin mempunyai afinitas yang kuat untuk memblok reseptor D1, S2, reseptor muskarinik alfa-adrenergik, tetapi juga dapat memblok reseptor D2. Obat baru lain, risperidon menghambat reseptor S2 lebih kuat dari reseptor D2. Kedua obat ini menimbulkan efek antiekstrapiramidal yang lemah (17). Pemilihan antipsikotik adalah sebagai berikut : Bila resiko tidak diketahui atau tidak ada komplikasi yang diketahui sebelumnya maka pilihan jatuh pada fentiazin potensi tinggi. Bila kepatuhan pasien dalam menggunakan obat tidak terjamin, maka pilihan jatuh pada flufenazin oral. Bila penderita memiliki riwayat kardiovaskular maka pilihan jatuh pada haloperidol. Bila karena pertimbangan usia pilihan jatuh pada tiorizadin. Bila efek sedasi berat perlu dihindari, maka pilihan jatuh pada haloperidol. Bila penderita mempunyai kelainan hepar maka haloperidol merupakan obat yang paling aman pada stadium awal pengobatan. Pemilihan antipsikotik juga dipengaruhi oleh faktor pengalaman dokter, pertimbangan bagi kepentingan pasien, interaksi obat, harga obat dan sebagainya

21

(18). Banyaknya pasien skizofrenia yang dikembalikan ke komunitas. Hal menyebabkan peningkatan penggunaan suntikan depot kerja panjang untuk terapi (19). Antipsikotik pada pengobatan pasien skizofrenia, digunakan untuk memodulasi neurotransmitter yang terlibat sebagai penyebab terjadinya skizofrenia. Obat-obat antipsikotik dibagi menjadi 2, yaitu tipikal dan atipikal yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Tabel II. Perbedaan antipsikotik Tipikal dan Atipikal (7)Tipikal Generasi pertama/ lama. Dominan memblok receptor doapamin D2. Efek samping ekstrapiramidal besar Efektif untuk mengatasi gejala positif. Atipikal Generasi kedua/ baru. Memblok reseptor 5- HT2, blokade dopamin rendah. Efek samping ekstrapiramidal lebih kecil. Efektif untuk mengatasi gejala positif dan negatif.

a). Antipsikotik Generasi Pertama (APG I) Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamin pathways, oleh karena itu sering disebut juga antoagonis reseptor dopamin. Kerja dari APG I menurunkan hiperaktifitas dopamin di jalur mesolimbik sehingga efektif mengatasi gejala positif, tetapi APG I juga memblok reseptor D2 di mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundilar. Apabila APG I memblok reseptor D2 di mesokortikal dapat memperberat gejala positif dan gejala kognitif, APG I mempunyai peranan cepat dalam penurunan gejala positif seperti halusinasi dan delusi, tetapi cepat juga menyebabkan kekambuhan setelah penghentian pemberian APGI. Kerugian pemberian APG I antara lain: mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia, memperburuk gejala negatif dan kognitif, peningkatan kadar prolaktin

dan sering menyebabkan kekambuhan. Keuntungan pemberian APG I adalah jarang menyebabkan sindrom neuroleptik malignan (SNM) dan cepat menurunkan gejala positif (20). b) Antipsikotik Generasi Kedua (APG II) APG II sering disebut juga sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal. APG II yang dikenal saat ini adalah clozapin, risperidon, olazapin, quetiapin, ziprasodin, aripripazol. Saat ini antipsikotik ziprasodin belum tersedia di Indonesia. APG II dibandingkan APG I mempunyai keuntungan yaitu: APG II mempunyai efek samping lebih kecil, umumnya pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS. APG II dapat mengurangi gejala positif dan negatif dari skizofrenia dan tidak menyebabkan kekambuhan. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.

Antipsikotik yang digunakan sebagai terapi pilihan pertama adalah : risperidon, olanzapin, quetipain, ziprasodin, aripiprazol. Sedangkan pada pilihan kedua terapi yang biasa digunakan adalah clozapin. Tetapi menurut kenyataan yang ada di Rumah Sakit Grhasia, antipsikotik yang digunakan sebagai pilihan pertama terapi adalah antipsikotik tipikal karena adanya pertimbangan biaya yang lebih murah (20). Tabel III. Dosis dan Nama Obat Antipsikotik (21)Jenis Antipsikotik Tipikal Chlorpromazin Fluphenazine Cepezet Anatesol 25, 100 2.5, 5 50 2.5 Merk dagang Kekuatan sediaan (mg) Dosis minimum (mg/hari) Dosis maksimum (mg/hari) 2000 10

dak ada riwayat kegagalan terapi antipsikotik

Ada riwayat kegagalan terapi antipsikotik

23

Haloperidol Loxapine Molindone Mesoridazine Perphenazine Thioridazine

Haldol Loxitane Moban Serentil Trilafon Mellaril

1.5, 2, 5 10 10 50 2, 4, 8 50, 100 1, 5 15 25, 100 5, 10 25, 100, 200. 1, 2, 3.

1.5 10 10 50 16 100 2 15-30 12.5 10 50 2

15 250 225 500 64 600 Individual 30 900 20 800 6

Trifluoperazine Stelazine Antipsikotik Atipikal Aripripazole Clozapin Olanzapine Quetiapine Risperidone Abilify Clozaril Zyprexa Seroquel Risperdal

Tabel IV. Efek samping relative antipsikotik (7)Antipsikotik Klorpromazin Flufenazin Haloperidol Loksapin Perfenazin Tioridazin Tiotiksen Molindon Klozapin Olanzapin Quetiapin Risperidon Ziprasidon Sedasi ++++ + + +++ ++ ++++ + + ++++ ++ ++ + ++ Ektrapiramidal +++ ++++ ++++ +++ +++ +++ ++++ +++ +/++ + ++ ++ Antikolinergik Ortostatik +++ + + ++ ++ ++++ + ++ ++++ ++ + + + + + +++ ++ ++++ + ++ ++++ ++ ++ ++ ++ ++++

Keterangan : + (ringan), ++ ( ringan-sedang), +++ ( sedang-berat), ++++ (berat), +/- (hampir tidak ada).

Gunakan yang lain Gunakan yang lain Kombinasi atipikal + yang lain risperidon Olanzapin Gunakan tipikal, atau kombinasi tipikal, atau kombinasi atipikal, atau atipikal + ECT atau quetiapin tau Olanzapin atau quetiapin tau risperidon + obat pendukung (APtipikal/atipikal,mood stabilizer, ECT,antidepresan) Clozapin Haloperidol dekanoat atau flufenazin dekanoat Gunakan yang lain Gunakan antipsikotiklain Gunakan yang atipikal

Stage I

Stage II Stage III

Stage IV

Stage V Respon parsial Stage Va Tidak ada respon Stage Vb

Gambar 1. Algoritma tatalaksana terapi skizofrenia dengan antipsikotik (7). 4. Profil Rumah Sakit Grhasia Tanggal 20 Desember 2003 Rumah Sakit Jiwa Propinsi DIY berubah nama menjadi Rumah Sakit Grhasia yang mengacu pada paradigma baru dan paradigm sehat dengan meningkatan kesehatan jiwa individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungannya, beserta mendorong masyarakat untuk peduli terhadap kesehatan jiwa. Dalam kurun waktu mendatang telah disusun suatu rencana pengembangan yang berbasis pada kondisi rill yang dihadapi Rumah Sakit guna berpartisipasi bagi pelayanan kesehatan di tahun 2008 di propinsi DIY, khususnya dibidang gangguan kesehatan jiwa (mental disorder), yang meliputi antara lain penyalahgunaan NAPZA, gangguan dikarenakan stress psikososial, gangguan tumbuh kembang anak dan perkembangan remaja, gangguan kesehatan jiwa dewasa dan lanjut usia, penyakit jiwa berat (psikosis), penyakit jiwa moderat/ relatif ringan (neurosis), gangguan neuro-serebral maupun kelainan patologik lain (22). 5. Rekam Medik Kartu rekam medik (RM) merupakan salah satu sumber informasi

25Analisis data ;

sekaligus Persentase penggunaan antipsikotik sarana komunikasi yang dibutuhkan baik oleh penderita, maupun pemberi Persentase kesehatan parameter DRPs pelayanan DRPs per dan pihak terkait lainnya (klinis, manajemen, asuransi) untuk pertimbangan dalam menentukan suatu kebijakan tata laksanaUji ANOVA untuk perbandingan DRPs pada tahun 2007,2008,2009

terapi atau tindakan medik. RM merupakan dokumen milik rumah sakit tetapi data dan isinya adalah milik pasien. Kerahasiaan isi RM harus dijaga dan dilindungi oleh pihak rumah sakit. Rekam medik bersifat informatif dan setidaknya memuat informasi sebagai berikut : (a). Karakteristik demografi pasien (identitas, usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan sebagainya). (b). Tanggal kunjungan, tanggal rawat, dan selesai rawat. (c). Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya. (d).Catatan anmnesis, gejala klinik yang diobservasi, hasil pemeriksaan penunjang medik dan pemeriksaan fisik. (e). Catatan diagnosis. (f). Nama/ paraf dokter yang menangani dan petugas perekam data. Informasi yang ada dalam RM dapat digunakan sebagai data analisis DRPs, penelitian pola penggunaan obat, pemakaian obat generik, kajian obat dan hubungannya dengan harga atau farmakoekonomi. Oleh karena itu sebuah RM sangat penting artinya sebagai sebuah sumber informasi dan sumber data bagi farmasi klinik (23).

Kerangka Konsep

Profil penggunaan antipsikotik Tingkat DRPs di Rumah Sakit Grhasia periode 2007 - 2009

enia

Perbandingan DRPs tahun 2007, 2008, 2009

Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan yang signifikan terhadap prevalensi DRPs pada tahun 2007, 2008, dan 2009.

BAB III

27

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional deskriptif, dengan pengambilan data secara retrospektif melalui rekam medik pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia periode 2007 2009.

Tempat dan Waktu penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2010 di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Populasi target adalah pasien skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Grhasia. Populasi terjangkau adalah pasien skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Grhasia periode 2007 2009 dengan jumlah pasien sebanyak 2.472 jiwa. Menurut pendapat Gay banyaknya sampel yang dapat diterima berdasarkan pada desain penelitian. Pada penelitian yang bersifat deskriptif minimal jumlah sampel adalah 10 % dari jumlah populasi, maka banyak jumlah sampel yang diambil berdasarkan pendapat Gay adalah : 2.472 X 10 % = 247.2 (23). Dari perhitungan tersebut diperoleh jumlah minimal sampel yang harus diambil adalah 247. Kriteria inklusi kriteria inklusi dari penelitian ini adalah pasien dengan diagnosa utama skizofrenia. Kriteria eksklusi

Rekam medik yang tidak lengkap (tidak adanya dosis dan frekuensi penggunaan antipsikotik). Pasien skizofrenia yang tidak mendapatkan terapi antipsikotik. Cara Pengambilan Sampel Jumlah pasien skizofrenia periode 2007-2009 di RS Grhasia adalah 2.472 pasien. Pengambilan sampel dari total jumlah pasien skizofrenia periode 20072009 dilakukan dengan metode stratified sampling. Dalam tiap tahunnya diambil 100 pasien, total pasien yang diambil selama 3 tahun yaitu 300 pasien. Tabel V. Jumlah pasien dan jumlah sampel hasil penelitian tahun 2007Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total Jumlah pasien 75 62 59 85 51 57 65 81 72 61 84 62 814 Proporsi* 0,09 0,08 0,07 0,1 0,07 0,07 0,08 0,1 0,09 0,07 0,1 0,08 1 Jumlah sampel** 9 8 7 10 7 7 8 10 9 7 10 8 100

Tabel VI. Jumlah pasien dan jumlah sampel hasil penelitian tahun 2008Bulan 1 2 Jumlah pasien 79 73 Proporsi* Jumlah sampel** 0,1 0,09 10 9

29

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total

63 60 78 61 56 54 81 60 88 69 822

0,08 0,07 0,09 0,07 0,07 0,07 0,1 0,07 0,11 0,08 1

8 7 9 7 7 7 10 7 11 8 100

Tabel VII. Jumlah pasien dan jumlah sampel hasil penelitian tahun 2009Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jumlah pasien 72 68 71 73 72 68 62 76 61 65 65 Proporsi* 0,09 0,08 0,08 0,09 0,09 0,08 0,07 0,09 0,07 0,08 0,08 Jumlah sampel** 9 8 8 9 9 8 7 9 7 8 8

12 Total

83 836

0,1 1**proporsi X 100

10 100

Sumber : data rekam medik RS Grhasia. *jumlah pasien tiap bulan Total jumlah pasien

Batasan Operasional Variabel Drug Related Problems (DRPs) dalam penelitian ini adalah masalah-masalah yang terkait dengan penggunaan antipsikotik, meliputi indikasi tanpa obat, sub-terapi, dosis berlebih, efek samping obat, dan interaksi obat. Pemberian obat dikatakan sub-terapi atau dosis berlebih apabila antipsikotik yang diberikan kurang dari batas minimal atau melebihi batas maksimal dosis antipsikotik yang sesuai dengan literatur yaitu Daftar Obat Indonesia 2008. Efek samping obat adalah suatu respon yang tidak dikehendaki dan muncul akibat pemberian antipsikotik kepada pasien. Interaksi obat adalah interaksi antara antipsikotik dengan antipsikotik dan antipsikotik dengan obat lain dengan level signifikansi 1 dan 2. Didasarkan kepada literatur yang diacu Interaction Edisi Delapan. Pasien skizofrenia dalam penelitian ini adalah pasien yang mengalami skizofrenia sebagai diagnosa utama dan tertera dalam rekam medik periode 2007 - 2009. Antipsikotik dalam penelitian ini adalah antipsikotik yang digunakan dalam terapi pasien skizofrenia yang terdapat di rekam medik periode 2007 - 2009. Profil penggunaan antipsikotik dalam penelitian ini adalah jenis antipsikotik yang digunakan pada pasien skizofrenia pada periode 2007 2009. Rumah Sakit dalam penelitian ini adalah Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta. Rekam medik dalam penelitian ini catatan medis pasien skizofrenia dengan adalah Drug Interaction Fact atau Drug

Jumlah penggunaan antipsikotik x 100% Jumlah total penggunaan antipsikotik Jumlah pasien yang mendapatkan subdose x 100% Total pasien

31

diagnosa utama skizofrenia yang menggunakan antipsikotik pada periode 2007 2009. Cara Pengumpulan Data Data ditelusuri dari rekam medik pasien skizofrenia dengan diagnosa utama skizofrenia yang di rawat di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta periode 2007 2009. Data yang dikumpulkan meliputi : Karakteristik demografi pasien meliputi : Jenis kelamin, umur, pendidikan, status marital, dan status pasien. Profil penggunaan antipsikotik meliputi : Jenis, cara pemberian, golongan antipsikotik, dan jenis kombinasi antipsikotik. Karakteristik DRPs meliputi : Sub-terapi, dosis berlebih, interaksi obat, dan efek samping obat. Analis Hasil Data penggunaan antipsikotik dan drug related problems (DRPs) untuk pasien skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia pada tahun 2007-2009 yang diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis sebagai berikut : Persentase penggunaan antipsikotik yang diberikan pada pasien skizofrenia pada tahun 2007, 2008, dan 2009

Persentase DRPs per parameter DRPs. Persentase sub-terapi

Total pasien Jumlah pasien yang mendapatkan overdose x x 100% Jumlah pasien yang mendapatkan interaksi obat 100% Total pasien Total pasien

Persentase dosis berlebih

Persenatse efek samping

Persentase interaksi obat

Uji Hipotesis Dalam penelitian ini dilakukan uji hipotesis dengan one away ANOVA taraf kepercayaan 95% untuk perbandingan prevalensi DRPs pada tahun 2007, 2008, dan 2009. Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan : H0 : Prevalensi DRPs pada tahun 2007, 2008, dan 2009 tidak berbeda signifikan. H1 : Prevalensi DRPs pada tahun 2007, 2008, dan 2009 berbeda signifikan. Dengan kriteria pengambilan keputusan : Jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima Jika probabilitas < 0,05 maka H0 ditolak

Pembuatan proposal Identifikasi DRPsuntuk melakukan penelitian berdasarkan Pelaksanaan penelitian Permohonan izin laporan akhir rekam medik Penyusunan penelitian Pengumpulan data dari rekam medik Observasi di Rumah Sakit Grhasia 33 an antipsikotik,persentase dari tiap parameter DRPs, dan perbandingan DRPs pada tahun 2007,2008,2009 dengan uji one away ANO

Alur Penelitian Dalam penelitian ini ada beberapa tahap antara lain :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN penelitian ini bertujuan untuk menganalisa secara deskriptif gambaran pemberian antipsikotik pada pasien skizofrenia. Analisa ini meliputi karakteristik pasien, profil penggunaan antipsikotik, dan karakteristik DRPs yang dialami pasien. Dalam penelitian ini juga dilakukan uji one away ANOVA untuk membandingkan prevalensi DRPs pada tahun 2007, 2008, dan 2009. Jumlah pasien skizofrenia periode 2007-2009 di RS Grhasia adalah 2.472 pasien. Pengambilan sampel dari total jumlah pasien skizofrenia periode 2007-2009 dilakukan dengan metode stratified sampling. Dalam tiap tahunnya diambil 100 pasien, total pasien yang diambil selama 3 periode yaitu 300 pasien dengan kriteria inklusi sebanyak 299 pasien dan kriteria eksklusi sebanyak 1 pasien. Karakteristik Pasien Deskripsi mengenai karakteristik pasien yang dirawat di RS Grhasia Yogyakarta meliputi : jenis kelamin, umur, pendidikan, status pasien, dan status marital. Jenis Kelamin Pengelompokan pasien berdasarkan jenis kelamin dimaksudkan untuk mengetahui distribusi pasien skizofrenia berdasarkan jenis kelamin. Secara rinci persentase distribusi pasien skizofrenia tersaji pada tabel VIII. Tabel VIII. Distribusi pasien skizofrenia di RS Grhasia berdasarkan jenis kelaminTahun 2007 Jumlah pasien perempuan (%) 42 Jumlah pasien laki-laki (%) 58 Total 100

35

2008 2009

44 36

56 64

100 100

Dari data pada tabel VIII dapat diketahui bahwa pasien skizofrenia laki-laki lebih banyak daripada pasien skizofrenia perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang disampaikan oleh Jefrey yang menunjukan bahwa laki-laki cenderung memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk mengalami skizofrenia daripada perempuan dengan usia awal kemunculan gejala terjadi paling banyak antara usia 25 sampai pertengahan 30 tahun untuk perempuan dan usia 15 sampai 25 tahun pada laki-laki (24). Menurut penelitian yang disampaikan oleh Kaplan bahwa perempuan memiliki fungsi sosial yang baik jika dibandingkan dengan laki-laki, sehingga menyebabkan laki-laki cenderung lebih mudah mengalami skizofrenia. Pada umumnya, hasil terapi pasien skizofrenik perempuan adalah lebih baik daripada hasil terapi pasien skizofrenik laki-laki (25). Usia Distribusi usia pada penelitian ini dibagi menjadi 3 kelompok usia yaitu antara usia 10-30 tahun, usia 31-50 tahun, dan usia 51-80 tahun. Secara rinci distribusi pasien skizofrenia berdasarkan kelompok usia tersaji pada tabel IX. Tabel IX. Distribusi pasien skizofrenia di RS Grhasia berdasarkan kelompok usiaKelompok usia (tahun) 10-30 31-50 51-80 Total 2007 (%) 44 47 9 100 2008 (%) 41 50 9 100 2009 (%) 41 46 13 100

Kelompok terbanyak penyakit skizofrenia pada pada tahun 2007,2008, dan 2009 berusia antara 31-50 tahun, mencapai 50 persen. Pasien berusia 51-80 tahun, merupakan kelompok usia yang paling sedikit mengalami skizofrenia dengan persentase 9 %. Menurut penelitian yang disampaikan oleh Jefrey, onset kejadian

skizofrenia umumnya terjadi pada usia remaja, skizofrenia biasanya terdiagnosa pada masa remaja akhir atau dewasa awal, tepat saat orang mulai keluar dari keluarga. Skizofrenia jarang terjadi pada masa kanak-kanak. Gangguan ini biasanya berkembangan pada akhir masa remaja atau awal usia 20 tahun-an pada masa dimana otak sudah mencapai kemantangan yang penuh (24). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kelompok usia 31-50 tahun merupakan jumlah terbanyak pasien skizofrenia di RSUD Grhasia. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang telah disampaikan oleh Jefrey. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Kaplan, bahwasannya 90 persen pasien dalam pengobatan skizofrenia adalah antara usia 15-55 tahun (25).

Pendidikan Pada penelitian ini pendidikan pasien skizofrenia dikategorikan menjadi : tidak sekolah (TS), SD, SLTP, SLTA, dan Universitas (Perguruan Tinggi). Persentase pasien skizofrenia berdasarkan distribusi pendidikan dapat dilihat pada tabel X. Tabel X. Distribusi pasien skizofrenia di RS Grhasia berdasarkan tingkat pendidikanPendidikan Tidak sekolah (TS) SD SLTP SLTA Universitas Total 2007 (%) 1 25 24 46 4 100 2008 (%) 9 23 17 45 6 100 2009 (%) 6 17 32 45 0 100

Kelompok terbanyak pasien skizofrenia pada tahun 2007,2008, dan 2009 menurut kategori pendidikan adalah pada tingkat SLTA, sedangkan jumlah kelompok terendah pada tahun 2007 adalah ketegori yang tidak sekolah (TS). Pada tahun 2008 dan 2009 jumlah kelompok terendah adalah kategori pendidikan tingkat Universitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Videbeck yang

37

menunjukan bahwa pasien skizofrenia memiliki jaringan otak yang relatif lebih sedikit yang akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya, dimana berhubungan pada usia pertumbuhan atau remaja yang berpengaruh pada tingkat daya pikir pasien terutama ketika menuju lingkungan pendidikan (26). Oleh karena itu pendidikan pasien skizofrenia paling banyak pada penelitian ini adalah SLTA. Status marital Berdasarkan status marital, pasien skizofrenia dikategorikan menjadi : menikah, tidak menikah, janda, dan duda. Persentase pasien skizofrenia berdasarkan status marital dapat dilihat pada tabel XI. Tabel XI. Distribusi pasien skizofrenia di RS Grhasia berdasarkan status maritalStatus marital Menikah Tidak menikah Janda Duda Total 2007 (%) 32 64 3 1 100 2008 (%) 31 63 3 3 100 2009 (%) 27 70 3 0 100

Dari hasil penelitian persentase pasien skizofrenia dengan status marital tidak menikah, merupakan persentase terbanyak. Hal ini menunjukan kesesuaian antara hasil peneliti dengan pernyataan Durand dan Barlow yang memaparkan bahwa pasien skizofrenia cenderung tidak membangun atau mempertahankan hubungan signifikan. Kebanyakan orang dengan gangguan ini mengalami kesulitan untuk berfungsi di masyarakat. Kesulitan ini terutama berlaku bagi kemampuan mereka berhubungan dengan orang lain sehingga banyak dari pasien skizofrenia tidak pernah menikah atau mempunyai anak (27). Status pasien Pengelompokan pasien berdasarkan status pasien dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pasien skizofrenia berdasarkan dominasi status ekonomi pasien. Persentase jumlah pasien skizofrenia berdasarkan status pasien dapat

dilihat pada tabel XII. Tabel XII. Distribusi pasien skizofrenia di RS Grhasia berdasarkan status pasienTahun 2007 2008 2009 UMUM (%) 44 56 43 ASKES KIN (%) 53 43 52 ASKES (%) 3 1 5 Total 100 100 100

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa pasien skizofrenia dengan status ASKESKIN mempunyai persentase terbesar bila dibandingkan dengan pasien skizofrenia dengan status UMUM dan ASKES. Berdasarkan data epidemiologi secara umum memperlihatkan bahwa sebagian besar pasien skizofrenia berasal dari kelompok sosioekonomi yang rendah. Pengamatan tersebut telah dijelaskan oleh hipotesis pergeseran ke bawah (downward drift hypothesis), yang menyatakan bahwa orang yang terkena pergesaran ke kelompok sosioekonomi yang lebih rendah atau gagal keluar dari kelompok sosioekonomi rendah karena penyakitnya. Suatu penjelesan alternatif adalah hipotesis akibat sosial (social causation hypothesis), yang menyatakan bahwa stres yang dialami oleh anggota kelompok sosioekonomi rendah berperan dalam terjadinya skizofrenia (25). Dari kedua hipotesis tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalensi skizofrenia karena faktor ekonomi tampaknya meningkat di antara populasi negara ketiga (negara berkembang). Profil penggunaan antipsikotik. Deskripsi mengenai antipsikotik yang diberikan (Haloperidol, Klorpromazin, Trifluperazin, Klozapin, dan Risperidon) secara tunggal maupun kombinasi dalam terapi skizofrenia di RS Grhasia Yogyakarta. Penggunaan antipsikotik yang diberikan pada periode 2007 2009 disajikan pada tabel XIII, XIV, dan XV. Tabel XIII. Deskripsi penggunaan antipsikotik di RS Grhasia periode 2007Tunggal/ Golongan Jenis Cara Jumlah Persentase

39

kombinasi Tunggal Kombinasi Tipikal Tipikal + tipikal Tipikal + tipikal Tipikal + tipikal + tipikal Tipikal + tipikal + atipikal Tipikal + tipikal + atipikal Tipikal + tipikal + atipikal Tipikal + tipikal+ atipikal + atipikal Tipikal + tipikal + atipikal + atipikal Tipikal + tipikal + tipikal + atipikal + atipikal Atipikal + atipikal Haloperidol Klorpromazin + haloperidol Klorpromazin + trifluperazin Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin klorpromazin +haloperidol + risperidon Klorpromazin + haloperidol + klozapin Klorpromazin + trifluperazin + risperidon Klorpromazin + haloperidol + risperidon+ klozapin Klorpromazin + trifluperazin + risperidon + klozapin Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + risperidon + klozapin Klozapin + risperidon

pemberian Oral Oral + oral Oral + i.m Oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral + oral Oral + oral + oral + oral Oral + oral + oral + oral + oral Oral + oral

pasien 2 60 1 9 3 12 2 3

(%) 2 60 1 9 3 12 2 3

1

1

2

2

1

1

Tabel XIII. (lanjutan)Tunggal/ kombinasi Kombinasi Golongan Atipikal + tipikal Atipikal + atipikal + tipikal Tipikal + tipikal + tipikal + atipikal Jenis Klozapin + trifluperazin Klozapin + risperidon + trifluperazin Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + klozapin Cara pemberian Oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral +oral i.m + oral + oral +oral + oral Jumlah pasien 1 1 2 Persentase (%) 1 1 2

Tabel XIV. Deskripsi penggunaan antipsikotik di RS Grhasia periode 2008

Tunggal / kombinasi Tunggal

Golongan Tipikal Atipikal

Jenis Haloperidol Klozapin Klorpromazin + haloperidol Klorpromazin + trifluperazin Klorpromazin + klozapin Klorpromazin + risperidon Haloperidol + klozapin Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin Klorpromazin + haloperidol + klozapin Klorpromazin + haloperidol + risperidon Klorpromazin + trifluperazin + risperidon Klorpromazin + klozapin + risperidon Klozapin + haloperidol + trifluperazin Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + klozapin Jenis Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + risperidon

Cara pemberian Oral Oral Oral + oral Oral + i.m Oral + oral Oral + oral Oral + oral Oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral + oral

Jumlah pasien 2 1 70 1 1 1 3 4 3 4 3 1 2 3

Persentase (%) 2 1 70 1 1 1 3 4 3 4 3 1 2 3

Kombinasi

Tipikal + tipikal Tipikal + tipikal Tipikal + atipikal Tipikal + atipikal Tipikal + atipikal Tipikal + tipikal + tipikal Tipikal + tipikal + atipikal Tipikal + tipikal + atipikal Tipikal + tipikal + atipikal Tipikal + atipikal + atipikal Atipikal + tipikal + tipikal Tipikal + tipikal + tipikal + atipikal Golongan Tipikal + tipikal + tipikal + atipikal

Tabel XIV. (lanjutan)Tunggal / kombinasi Kombinasi Cara pemberian Oral + oral + oral + oral Jumlah pasien 1 Persentase (%) 1

Tabel XV. Deskripsi penggunaan antipsikotik di RS Grhasia periode 2009Tunggal / kombinasi Golongan Jenis Cara pemberian Jumlah pasien Persentase (%)

41

Tunggal

Tipikal Tipikal Atipikal

Klorpromazin Haloperidol Risperidon Klorpromazin + haloperidol Klorpromazin + trifluperazin Klorpromazin + risperidon Haloperidol + klozapin Haloperidol + risperidon Trifluperazin + klozapin Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin Klorpromazin + haloperidol + klozapin Klorpromazin + haloperidol + risperidon Haloperidol + klozapin + risperidon Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + klozapin Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + risperidon Klorpromazin + haloperidol + klozapin + risperidon

Oral Oral Oral Oral + oral Oral + oral Oral + oral Oral + oral i.m + oral Oral + oral Oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral Oral + oral + oral + oral Oral + oral + oral + oral Oral + oral + oral + oral

1 1 1 47 4 2 8 1 1 5 11 9 1 1

1 1 1 47 4 2 8 1 1 5 11 9 1 1

Kombinasi

Tipikal + tipikal Tipikal + tipikal Tipikal + atipikal Tipikal + atipikal Tipikal + atipikal Tipikal + atipikal Tipikal + tipikal + tipikal Tipikal + tipikal + atipikal Tipikal + tipikal + atipikal Tipikal + atipikal + atipikal Tipikal + tipikal + tipikal + atipikal Tipikal + tipikal + tipikal + atipikal Tipikal + tipikal + atipikal + atipikal

3

3

2

2

Tabel XV. (lanjutan)Tunggal / kombinasi Kombinasi Golongan Tipikal + tipikal + atipikal Jenis Klorpromazin + trifluperazin + risperidon Cara pemberian Oral + oral + oral Jumlah pasien 1 Persentase (%) 1

Kombinasi klorpromazin dan haloperidol merupakan antipsikotik yang paling banyak digunakan pada periode 2007-2009. Dari perbandingan persentase penggunaan antipsikotik untuk mengatasi skizofrenia, antipsikotik tipikal mempunyai persentase lebih tinggi dibandingkan dengan antipsikotik golongan atipikal, hal ini dikarenakan sebagian besar pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di RS.Grhasia berasal dari keluarga kurang mampu. Pada dasarnya semua obat antipsikotik mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping) yang ditimbulkan akibat pemberian antipsikotik. Pemilihan jenis antipsikotik harus mempertimbangkan gejala psikosis dan efek samping antipsikotik. Klorpromazin merupakan salah satu antipsikotik golongan tipikal yang mempunyai efek samping sedatif yang kuat yang diresepkan untuk penderita skizofrenia yang mengalami gejala psikosis berupa gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku. Selain itu klorpromazin diresepkan untuk mengatasi efek samping antipsikotik yang berupa insomnia (28). Haloperidol dan trifluperazin merupakan antipsikotik yang mempunyai efek sedatif lemah digunakan untuk mengatasi gejala apatis, menarik diri, perasaan tumpul, hipoaktif, waham, dan halusinasi. Apabila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pada pasien skizofrenia, pilihan obat antipsikotik atipikal perlu dipertimbangkan, khususnya pada pasien skizofrenia yang tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal. Antipsikotik atipikal selain dapat memblok reseptor dopamin pada sistem mesolimbik, juga dapat memblok reseptor serotinin pada sistem mesokortikal, sehingga memberikan efek penurunan gejala negatif. Klozapin merupakan antipsikotik atipikal yang diindikasikan untuk mengatasi pasien yang resistensi terhadap terapi antipsikotik, ketika antipsikotik lain tidak memberikan efek terapi. Pada saat ini antipsikotik atipikal lebih banyak direkomendasikan sebagai drug of choice untuk penanganan skizofrenia karena hampir tidak menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Namun, pada kenyataannya penanganan pasien skizofrenia di RS Grhasia masih banyak menggunakan antipsikotik tipikal, terutama klorpromazin dan haloperidol. Hal ini dikarenakan mayoritas pasien skizofrenia di RS Grhasia berasal dari kalangan kurang mampu, yang

43

dikhawatirkan tidak dapat membeli antipsikotik atipikal yang harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Berdasarkan faktor cara pemberian obat, antipsikotik yang diberikan paling banyak secara oral. Cara pemakaian obat secara oral adalah pemakaian yang umum, mudah digunakan bila diberikan pada pasien dan lebih murah dibandingkan dengan parenteral. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa skizofrenia banyak diderita dari kelas bawah dibandingkan kelas atas. Sudah lama diketahui bahwa angka-angka skizofrenia lebih tinggi di pusat kota yang menjadi tempat tinggal dari individu kelas bawah dan skizofrenia menimbulkan spekulasi bahwa stress lingkungan ada kaitannya dengan kehidupan dari kelas bawah yang menyebabkan (sekurang-kurangnya) terjadinya perkembangan skizofrenia. Oleh karena itu pasien skizofrenia banyak diberikan antipsikotik secara oral. Penggunaan antipsikotik secara parenteral menjadi pilihan yang lebih baik bila dibutuhkan efek yang segera, seperti dalam keadaan pasien yang sangat agresif atau menolak minum obat. Kelemahan dari pemakaian parenteral adalah faktor biaya yang lebih mahal karena tuntutan sterilitas yang tinggi bagi semua injeksi, dan memerlukan petugas terlatih untuk pengobatan. Kelemahan dan kelebihan dari masing-masing cara pemakaian obat dapat saling melengkapi sehingga pengobatan dikatakan efektif jika penggunaannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang dibuthkan untuk pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di RS. Grhasia. Karena pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di RS Grhasia banyak dari kalangan keluarga miskin, maka antipsikotik banyak diberikan secara oral.

Karakteristik Drug Related Problems (DRPs) Analisa DRPs Untuk menentukan kategori DRPs yang dialami, langkah awal yang dilakukan adalah mengklasifikan pasien yang termasuk dalam kategori inklusi subyek penelitian. Penelusuran data dilakukan melalui data rekam medik dan hasil pemeriksaan laboratorium sebagai data pendukungnya. Kategori DRPs yang

ditelusuri mencakup 5 hal yaitu indikasi tanpa obat, sub terapi, dosis berlebihan, efek samping, dan interaksi obat. Untuk memenuhi tujuan penelitian, yaitu mengetahui kategori dan persentase DRPs yang paling terjadi maka dilakukan perhitungan dengan metode persentase untuk setiap jenis DRPs yang terjadi. Persentase tiap jenis DRPs yang terjadi tahun 2007, 2008, dan 2009 dapat dilihat pada tabel XVI, XVII, dan XVIII. Tabel XVI. Persentase total DRPs penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2007No. 1 2 3 4 Jenis DRPs Sub-terapi Dosis berlebih Efek samping obat Interaksi obat Jumlah pasien 0 0 31 100 Presentase DRPs (%) 0 0 31 100

Tabel XVII. Persentase total DRPs penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2008No. 1 2 3 4 Jenis DRPs Sub-terapi Dosis berlebih Efek samping obat Interaksi obat Jumlah pasien 0 0 28 99 Persentase DRPs (%) 0 0 28 99

Tabel XVIII. Persentase total DRPs penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2009No. 1 2 3 4 Jenis DRPs Sub-terapi Dosis berlebih Efek samping obat Interaksi obat Jumlah pasien 0 0 14 96 Persentase DRPs (%) 0 0 14 96,97

Hasil penelitian menunjukan bahwa kejadian DRPs tahun 2007-2009 paling

45

banyak terjadi adalah kejadian interaksi obat yang mencapai 100% pada tahun 2007, 99% pada tahun 2008, dan 96.97% pada tahun 2009. Pasien skizofrenia umumnya mendapatkan terapi 3 item obat, tindakan polifarmasi inilah yang menjadi penyebab utama interaksi obat. Dalam penelitian ini, interaksi obat yang terjadi bersifat teoritis dan kejadiannya bersifat potensial. Interaksi obat yang dialami oleh pasien tidak sepenuhnya dihindari akan tetapi lebih memperhatikan kondisi dan kebutuhan pasien terhadap terapi obat.

Deskripsi Analisis DRPs Dosis sub-terapi Pasien dikatakan mengalami DRPs berupa sub-terapi apabila pada data rekam medik pasien terdapat dosis antipsikotik yang berada dibawah dosis terapi. Pemberian obat dibawah dosis terapi menyebabkan efek medis yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dari hasil penelitian menunjukan tidak adanya antipsikotik yang diberikan dibawah dosis terapi dalm pengobatan gejala psikosis. Pemberian klorpromazin dibawah dosis terapi (1 X 25 mg) untuk pasien skizofrenia bertujuan untuk memberikan efek sedasi yang tidak adiktif dalam mengatasi pasien skizofrenia yang mengalami kegaduhan, gelisah, dan insomnia. Klorpromazin merupakan salah satu antipsikotik golongan tipikal yang mempunyai efek samping sedatif yang kuat yang diresepkan untuk penderita skizofrenia yang mengalami gejala psikosis berupa gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku. Selain itu klorpromazin diresepkan untuk mengatasi efek samping antipsikotik yang berupa insomnia (28). Dosis berlebih Dosis yang berlebih adalah dosis yang terlalu besar, terjadi ketika dosis yang diberikan melebihi dosis maksimal sesuai dengan dosis standar. Pada penelitian ini tidak ditemukan DRPs dosis berlebih pemberian antipsikotik pada pasien skizofrenia periode 2007-2009, sehingga dapat disimpulkan persentase

kejadian DRPs dosis berlebih pada periode 2007-2009 mempuyai persentase 0 %. Pemberian antipsikotik pada dosis yang melebihi dosis maksimal dapat meningkatkan resiko toksisitas antipsikotik. Toksistas ringan dapat berupa peningkatan efek sedasi, hipotensi, dan miosis. Sedangkan toksisitas berat dapat berupa agitasi, delerium, kejang, aritmia jantung, peningkatan respiratori, dan bahkan dapat terjadi koma (7). Efek samping obat Seorang pasien dikatakan mengalami efek samping obat jika pasien mengalami keluhan yang bersifat subyektif ataupun objektif yang tidak dinginkan akibat pemakaian suatu obat pada dosis lazim. Uraian kejadian DRPs berupa efek samping obat periode 2007-2009 dapat dilihat pada tabel XX. Tabel XX. Uraian kejadian DRPs berupa efek samping antipsikotik pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2007-2009Tahun 2007 Efek samping yang terjadi Penurunan kadar limfosit Gejala EPS Mastalgia Kejang Hipotensi Hiperpigmentasi Tardive diskenesia Mual-muntah Anemia Peningkatan kadar gula Alergi pada kulit darah Dispepsia Peningkatan SGOT/SGPT Gejala EPS Hepatomegali ringan Hipotensi Takikardi Peningkatan SGOT/SGPT Sesak napas Hiperpigmentasi 2009 Gejala EPS Mual-muntah Peningkatan SGOT/SGPT Hipotensi Jumlah pasien 1 13 1 3 3 1 2 2 4 15 12 91 13 1 61 1 5 1 2 7 Antipsikotik yang di duga Haloperidol Haloperidol Haloperidol Klorpromazin / klozapin Klorpromazin Klorpromazin Haloperidol Haloperidol Klorpromazin Klozapin Klorpromazin Haloperidol Klorpromazin Haloperidol Klorpromazin Klorpromazin / klozapin Klorpromazin Klorpromazin Klozapin Klorpromazin Halopridol Haloperidol Klorpromazin Klorpromazin / klozapin

2008

47

Efek samping obat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu ADR tipe A dan ADR tipe B. ADR tipe A merupakan reaksi yang muncul secara berlebihan dan reaksi ini terkait dengan dosis obat yng diminum, efek yng muncul dapat diramalkan (berdasarkan pengetahuan farmakologi obat), morbiditas tinggi, mortalitas rendah dan dapat diatai dengan pengurangan dosis. ADR tipe B merupakan reaksi yang muncul dan tidak terkait dengan aksi farmakologis dan dosis obat, morbiditas rendah, mortalitas tinggi, penanganannya hanya dapat dilakukan dengan penghentian obat. Dalam penelitian ini, ADR yang banyak dialami adalah ADR tipe A. Dari hasil penelitian ini, efek samping yang paling banyak dialami oleh pasien skizofrenia berupa timbulnya gejala ekstrapiramidal, hipotensi, dan peningkatan enzim SGOT/SGPT. Prevalensi ekstrapiramidal akibat penggunaan antipsikotik potensi rendah adalah 2,3-10%, pada antipsikotik potensi tinggi prevalensi ekstrapiramidal mengalami peningkatan hingga 64%. Resiko terjadinya ekstrapiramidal akan meningkat jika diberikan pada pasien geriyatri (diatas 60 tahun), haloperidol merupakan antipsikotik yang mempunyai efek samping gejala ekstrapiramidal paling kuat jika dibandingkan dengan antipsikotik lainnya. Pemblokan reseptor dopamin oleh antipsikotik tipikal tidak hanya terjadi pada jalur mesolimbik yang berfungsi sebagai pengaturan memori, sikap, kesadaran, dan proses stimulus, tetapi pemblokan reseptor dopamin juga terjadi pada jalur nigrostriatal yang berfungsi sebagai pengatur sistem gerak. Pemblokan dopamin pada jalur nigrostriatal menyebabkan menurunnya jumlah dopamin, sehingga dapat terjadi gejala ekstrapiramidal (7). Sebagian besar pasien skizofrenia di rumah sakit Grhasia mendapatkan terapi antikolinergik untuk mengatasi gejala ekstrapiramidal yang timbul karena pemberian antipsikotik. Secara umum penggunaan obat antikolinergik tidak boleh melebihi dari 3 bulan, tidak dianjurkan pemberian antikolinergik profilaksis karena dapat mempengaruhi penyerapan atau absorpsi antipsikotik sehingga kadarnya dalam plasma rendah, dan dapat menghalangi manifestasi gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis antipsikotik agar tercapainya dosis efektif (28). Selain efek samping yang sering muncul berupa gejala ekstrapiramidal,

hipotensi merupakan efek samping yang paling banyak muncul setelah gejala ekstrapiramidal. Klorpromazin merupakan antipsikotik yang mempunyai efek hipotensi paling tinggi jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal lainnya. Hipotensi yang terjadi akibat pemberian antipsikotik adalah karena adanya blokade pada reseptor 1. Reseptor 1 mempunyai peran dalam kontraktilitas otot polos pada bebagai jaringan, termasuk kontraktilitas pada otot jantung (29). Pemblokan reseptor 1 pada otot polos jantung menyebabkan menurunnya tekanan darah (hipotensi). Untuk mengatasi efek dari hipotensi, pasien dianjurkan tidak segera berdiri setelah mengkonsumsi klorpromazin. Hampir semua pasien skizofrenia dapat mentoleransi efek hipotensi yang timbul akibat pemberian antipsikotik, namun jika dalam waktu 2-3 bulan terapi pasien tidak dapat mentoleransi efek hipotensi, maka sebaiknya dilakukan penurunan dosis klorpromazin atau digantikan dengan antipsikotik lain yang mempunyai efek hipotensi rendah seperti haloperidol, trifluperazin, dan risperidon (7). Peningkatan kadar enzim SGOT/SGPT merupakan efek samping yang paling banyak terjadi selain gejala ekstrapiramidal dan hipotensi. Peningkatan kadar enzim SGOT/SGPT merupakan efek samping dari klorpromazin (golongan fenotiazin) dengan prevalensi mencapai 50%. Hampir 2% dari pasien yang mengalami peningkatan kadar enzim SGOT/SGPT menjadi ikterus. Ikterus yang dialami oleh pasien biasanya bersifat ringan selama minggu kedua sampai keempat pengobatan. Terjadinya ikterus merupakan manifestasi hipersensitivitas, karena terjadinya infiltrasi eosinofilik pada hati dan juga terjadi eosinofilia, dan tidak ada kaitannya dengan dosis. Jika kadar enzim SGOT/SGPT tiga kali diatas nilai normal, maka pemberian antipsikotik harus dihentikan dan digantikan dengan antipsikotik dengan efek samping ikterus hampir tidak ada, seperti klozapin dan haloperidol (30). Kejadian efek samping obat yang dialami setiap orang berbeda, hal ini erat kaitannya dengan faktor genetik, usia, jenis kelamin, perubahan psikologi, faktor eksogen seperti diet, obat tanpa resep, dan penyakit. Para klinisi mengalami kesulitan dalam menentukan secara pasti apakah kejadian ADR disebabkan oleh penggunaan suatu obat. Progesifitas penyakit, penyakit penyerta yang dialami

49

pasien, dan penggunaan obat pada waktu yang bersamaan dapat menyebabkan terjadinya bias dalam penentuan ADR. Analisis secara hati-hati dapat membantu dalam menentukan kemungkinan terjadinya ADR akibat penggunaan suatu obat. Idealnya, penentuan ADR dilakukan menggunakan suatu metode untuk mengetahui apakah ADR yang terjadi disebabkan oleh suatu obat. Salah satu pendekatan yang telah diakui secara internasional dan sering digunakan dalam menentukan ADR adalah skala probabilitas ADR Naranjo. Penentuan ADR dengan metode ini dilakukan dengan cara menjawab beberapa pertanyaan terkait efek pemberian obat dan selanjutnya dihitung skor akhir yang diperoleh dan klasifikasi apakah kemungkinan ADR yang terjadi merupakan suatu kemungkinan yang dapat terjadi ataukah hanya merupakan suatu dugaan saja. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional noneksperimental dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif, sehingga peneliti tidak bisa menggunakan skala probabilitas naranjo dalam menentukan kejadian DRPs berupa ADR. Interaksi obat Interaksi obat adalah peristiwa yang dimana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan secara bersamaan. Interaksi dapat terjadi secara farmakokinetik dan farmakodinamik (31). Metode pengelompokan mekanisme interaksi didasarkan pada studi literatur, termasuk interaksi farmakokinetik bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun. Termasuk interaksi farmakodinamik bila dua obat atau lebih bekerja pada sisrem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek aditif, sinergis atau antagonis. Termasuk interaksi yang tidak diketahui bila interaksi yang terjadi karena interaksi tersebut tidak diketahui secara pasti mekanismenya atau tidak diketahui sama sekali mekanisme interaksinya menurut studi literatur (32). Peramalan interaksi farmakokinetik lebih sulit karena interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat

segolongan terdapat variasi fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya, sedangkan interaksi farmakodinamik seringkali diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu, kebanyakan interaksi farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, sehingga dapat dihindarkan bila dokter mengetahui mekanisme kerja obat yang bersangkutan (32). Interaksi obat dapat terjadi antara obat dengan obat, obat dengan makanan, obat dengan hasil uji laboratorium, dan obat dengan sediaan herbal. Interaksi obat yang terjadi dapat diperkirakan tingkat resikonya dengan klasifikasi dalam level signifikansi dibagi dari tingkat yang paling berbahaya ke tingkat yang kurang berbahaya, dimulai dari level 1,2,3,4, dan 5. Signifikansi interaksi obat ditinjau dari 3 faktor, yaitu onset (waktu yang dibutuhkan sehingga efek interaksi obat muncul), dokumentasi (jumlah dan kualitas literatur atau penelitian yang menerangkan interaksi tersebut), dan keparahan yang ditimbulkan oleh interaksi tersebut. Interaksi yang mempunyai level signifikansi 1,2, atau 3 adalah kejadian interaksi yang perlu diwaspadai (31). Secara rinci prevalensi DRPs berupa interaksi obat penggunaan antipsikotik pada pasien skizorenia di RS Grhasia periode 2007 2009 berdasarkan level signifikansi disajikan pada tabel XXI, XXII, dan XXIII. Tabel XXI. Uraian kejadian DRPs berupa interaksi obat penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2007No 1 Obat yang berinteraksi Litium karbonat + Haloperidol Jenis interaksi F. Dinamik Level 1 Keterangan Meningkat resiko demam, enselopati, dan EPS. Menurunkan efek terapeutik klorpromazin. Menurunkan konsentrasi haloperidol, memperburuk gejala

2

THP + Klorpromazin

F . Dinamik

2

3

THP + Haloperidol

F . Kinetik

2

51

skizofrenia. 4 THP + Trifluperazin F . Dinamik 2 Menurunkan efek terapeutik trifluperazin.

Tabel XXII. Uraian kejadian DRPs berupa interaksi obat penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2008No 1 Obat yang berinteraksi THP + Klorpromazin Jenis interaksi F. Dinamik Level 2 Keterangan Menurunkan efek terapeutik klorpromazin. Menurunkan konsentrasi haloperidol, memperburuk gejala skizofrenia. Menurunkan efek terapeutik trifluperazin.

2

THP + Haloperidol

F. Kinetik

2

3

THP + Trifluperazin

F . Dinamik

2

Tabel XXIII. Uraian kejadian DRPs berupa interaksi obat penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2009No 1 Obat yang berinteraksi THP + Klorpromazin Jenis interaksi F . dinamik Level 2 Keterangan Menurunkan efek terapeutik klorpromazin. Menurunkan konsentrasi haloperidol, memperburuk gejala skizofrenia. Menurunkan efek terapeutik trifluperazin.

2

THP + Haloperidol

F . Kinetik

2

3

THP + Trifluperazin

F . Dinamik

2

Kajian interaksi obat pada penelitian ini mencakup interaksi obat yang sifatnya potensial (teoritis) antara antipsikotik dengan antipsikotik dan antipsikotik dengan obat lain. Secara rinci gambaran penggunaan kombinasi antipsikotik dengan antipsikotik dan antipsikotik dengan obat lain yang mengalami interaksi obat pada pasien skizofrenia di RSUD Grhasia periode 2007 2009 disajikan dalam tabel XXIV, XXVI, dan XXVI.

Tabel XXIV. Gambaran penggunaan kombinasi antipsikotik yang mengalami interaksi obat pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2007Jenis kombinasi Haloperidol + THP Haloperidol + klorpromazin + THP Haloperidol + klorpromazin + THP + captopril Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + THP + klozapin + diazepam Klorpromazin + haloperidol + THP + klozapin + diazepam Klorpromazin + klozapin + diazepam + haloperidol + fenitoin + risperidon + THP Klorpromazin + klozapin + diazepam + risperidon + trifluperazin + THP Klorpromazin + klozapin + haloperidol + trifluperazin + risperidon + THP + diazepam Klorpromazin + haloperidol + fenobarbital + fenitoin + THP klozapin + klorpromazin + haloperidol + litium + risperidon + THP Klorpromazin + haloperidol + fenobarbital + THP Klorpromazin + risperidon + THP + haloperidol + divalproat.na + klozapin Klorpromazin + haloperidol + THP + litium + divalproat.na Trifluperazin + THP + klorpromazin + haloperidol Klorpromazin + clozapin + trifluperazin + THP Klorpromazin + trifluperazin + THP Jumlah pasien 2 59 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1 1 Persentase* (%) 2 59 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1 1

53

Klozapin + trifluperazin + THP Klorpromazin + risperidon + trifluperazin + THP Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + klozapin + THP Klorpromazin + haloperidol + klozapin + THP Klorpromazin + haloperidol + risperidon + THP

1 3 2 6 3

1 3 2 6 3

Total

100

100

Tabel XXV. Gambaran penggunaan kombinasi antipsikotik yang mengalami interaksi obat pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2008Jenis kombinasi Haloperidol + THP Haloperidol + klorpomazin + THP Klorpromazin + risperidon + klozapin + THP Klorpromazin + haloperidol + THP + captopril Klorpromazin + klozapin + THP + diazepam Trifluperazin + haloperidol + klozapin + THP + diazepam Klorpromazin + haloperidol + fenitoin + fenobarbital + THP Klorpromazin + haloperidol + klozapin + THP + divalproat.na Klozapin + haloperidol + trifluperazin + THP Klorpromazin + trifluperazin + THP Klorpromazin + klozapin + THP Jenis kombinasi Klorpromazin + risperidon + THP Haloperidol + klozapin + THP Klorpromazin + haloperidol + klozapin + THP Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + THP Klorpromazin + haloperidol + risperidon + THP Jumlah pasien 2 65 1 1 1 1 2 1 1 1 1 Jumlah pasien 1 3 3 4 4 Persentase* (%) 2 65 1 1 1 1 2 1 1 1 1 Persentase* (%) 1 3 3 4 4

Klorpromazin + trifluperazin + risperidon + THP Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + klozapin + THP Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + risperidon + THP Total

3 3 1 99

3 3 1 99

Tabel XXVI. Gambaran penggunaan kombinasi antipsikotik yang mengalami interaksi obat pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2009Jenis kombinasi Klorpromazin + THP + divalproat.na + litium karbonat Klorpromazin + haloperidol + klozapin + risperidon + THP + diazepam Klorpromazin + haloperidol + klozapin + risperidon + THP Haloperidol + klozapin + risperidon + THP + diazepam Haloperidol + klozapin + THP + diazepam Haloperidol + THP Haloperidol + klorpromazin + THP Klorpromazin + trifluperazin + THP Klorpromazin + risperidon + THP Haloperidol + klozapin THP Haloperidol + risperidon + THP Trifluperazin + klozapin + THP Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + THP Klorpromazin + haloperidol + klozapin + THP Klorpromazin + haloperidol + risperidon + THP Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + klozapin + THP Klorpromazin + haloperidol + trifluperazin + risperidon + THP Klorpromazin + trifluperazin + risperidon + THP Total Jumlah Pasien 1 1 1 1 2 1 47 4 2 6 1 1 5 9 9 1 3 1 96 Persentase** (%) 1 1 1 1 2 1 47 4 2 6 1 1 5 9 9 1 3 1 96.97

*jumlah pasien yang mengalami interaksi obat per jumlah total pasien (100) **jumlah pasien yang mengalami interaksi obat per jumlah total pasien (99)

Interaksi farmakokinetik berhubungan dengan nasib perjalanan obat dalam

55

tubuh yang meliputi tahap absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik berhubungan dengan kerja obat pada organ target atau tempat aksi yang sama. Mekanisme interaksi bersifat sinergisme, antagonisme, efek reseptor tidak langsung, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (31). Object drugs (OD) adalah obat yang dipengaruhi obat lain sehingga muncul interaksi obat. Precipitant drugs (PD) adalah obat yang mempengaruhi obat lain sehingga muncul interaksi obat. Uraian mekanisme kejadian interaksi obat penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia sebagai berikut : Triheksifenidil (THP) dan Trifluperazin (TFP) Triheksifenidil (THP) merupakan golongan antikolinergik penghambat asetilkolin yang bekerja sentral dengan menghambat kerja parasimpatetik pada sistem saraf pusat. Efek triheksilfenidil pada sistem saraf pusat bersifat antagonis terhadap efek antipsikotik tipikal (klorpromazin dan trifluperazin) pada sistem saraf pusat, karena pada sistem saraf pusat triheksilfenidil dapat menimbulkan terjadinya gelisah, agitasi, delusi, halusi, dan perubahan perubahan pikiran (33). Secara umum penggunaan obat antikolinergik tidak boleh melebihi dari 3 bulan, tidak dianjurkan pemberian antikolinergik profilaksis karena dapat mempengaruhi penyerapan atau absorpsi antipsikotik sehingga kadarnya dalam plasma rendah, dan dapat menghalangi manifestasi gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis antipsikotik agar tercapainya dosis efektif (28). Triheksifenidil (THP) dan Klorpromazin Triheksifenidil merupakan golongan antikolinergik penghambat asetilkolin yang bekerja sentral. Triheksifenidil bersifat antagonis terhadap antipsikotik tipikal golongan fenotiazin (klorpromazin dan trifluperazin). Klorpromazin dan triheksifenidil mempunyai target kerja pada sistem saraf pusat, tetapi efek yang ditimbulkan bersifat antagonis, efek triheksifenidil pada sistem saraf pusat menyebabkan terjadinya gelisah, agitasi, delusi, halusi, dan perubahan perubahan pikiran (34). Secara umum penggunaan obat antikolinergik tidak boleh melebihi dari 3 bulan, tidak dianjurkan pemberian antikolinergik profilaksis

karena dapat mempengaruhi penyerapan atau absorpsi antipsikotik sehingga kadarnya dalam plasma rendah, dan dapat menghalangi manifestasi gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis antipsikotik agar tercapainya dosis efektif (28). Efek samping ekstrapiramidal pada pasien tidak hanya diatasi dengan pemberian antikolinergik, tetapi dapat juga diatasi dengan pengurangan dosis antipsikotik atau dengan mengganti antipsikotik klorpromazin dengan antipsikotik atipikal yang mempunyai efek samping ekstrapiramidal lebih kecil daripada klorpromazin seperti risperidon (35). THP dan Haloperidol Pemberian triheksifenidil bersamaan dengan haloperidol dapat

menurunkan konsentrasi haloperidol dalam serum, sehingga akan mengurangi efek terapeutik haloperidol dan memperburuk gejala psikosis (33). Haloperidol mengalami metabolisme menjadi bentuk inaktif di hati dengan melibatkan aktifitas enzim CYP 3A4. Obat antikolinergik merupakan inducers yang bersifat efektif terhadap enzim CYP 3A4, sehingga meningkatkan keja enzim CYP 3A4 dalam memetabolisme halopridol menjadi inaktif. Meningkatnya konsentrasi haloperidol dalam bentuk inaktif dapat menyebabkan penurunan efek farmakologi haloperidol (36). Secara umum penggunaan obat antikolinergik tidak boleh melebihi dari 3 bulan, tidak dianjurkan pemberian antikolinergik profilaksis karena dapat mempengaruhi penyerapan atau absorpsi antipsikotik sehingga kadarnya dalam plasma rendah, dan dapat menghalangi manifestasi gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis antipsikotik agar tercapainya dosis efektif (28). Ketika haloperidol dikombinasikan dengan triheksifenidil, maka harus dilakukan penyesuaian dosis dan monitoring perkembangan gejala psikosis pasien. Jika terjadi peningkatan gejala psikosis maka sebaiknya pemberian triheksifenidil dihentikan atau digantikan dengan antikolinergik lain yang tidak mempunyai profil interaksi obat dengan haloperidol (33), antikolinergik yang tidak menyebabkan interaksi obat dengan haloperidol adalah difenhidramin. Difenhidramin merupaka antikolinergik golongan antihistamin yang cukup efektif mengatasi gejala akut ekstrapiramidal dengan rute pemberian secara

57

intramuskular (7). Secara farmakoekonomi harga dipenhidramin relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan triheksilfenidil. Karena alasan farmakoekonomi dipenhidramin jarang diberikan pada pasien skizofrenia di RS Grhasia, hal ini dikarenakan mayoritas pasien skizofrenia berasal dari kalangan ekonomi bawah. Dipenhidramin biasanya diberikan pada pasien skizofrenia jika pasien mengalami reaksi alergi yang berat. (4) Litium karbonat dan Haloperidol Litium merupakan obat dengan indeks terapeutik sempit, biasanya dindikasikan untuk mengatasi gejala akut mania. Selain itu litium merupakan salah satu jenis obat yang dikombinasikan dengan antipsikotik untuk mengatasi gejala psikosis yang tidak teratasi hanya dengan pemberian antipsikotik (37). Pemberian antipsikotik dan litum secara bersamaan dapat memperparah gejala ekstrapiramidal dan meningkatkan resiko neurotoksisitas, karena litium dan antipsikotik bekerja dengan meningkatkan kerja serotonin dan menghambat perkembangan supersensitifitas reseptor dopamin pada sistem saraf pusat, kedua obat tersebut bersifat sinergis sehingga akan meningkatkan resiko neurotoksisitas (34). Selain mempunyai mekanisme kerja meningkatkan kerja serotonin dan penghambatan supersensitifitas reseptor dopamin, litium juga mempunyai efek kolinergik sehingga dapat memperparah gejala ekstrapiramidal akibat penggunaan antipsikotik. Haloperidol merupakan antipsikotik yang mempunyai efek samping ekstrapiramidal paling tinggi dibandingkan dengan jenis antipsikotik lainnya (38). Ketika litum diberikan bersamaan dengan antipsikotik, dosis awal pemberian litum harus dimulai dari dosis terkecil dari dosis standar dan lakukan monitoring perkembangan klinis pasien dan keparahan gejala ekstrapiramidal yang dialami pasien. Jika pasien mengalami perburukan gejala maka lakukan penghentian salah satu dari kedua obat tersebut (32). Perbandingan prevalensi DRPs penggunaan antipsikotik. Perbandingan kejadian DRPs pada penggunaan antipsikotik bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan prevalensi kejadian DRPs pada

tahun 2007,2008, dan 2009. Prevalensi DPRs pada penggunaan antipsikotik dinyatakan dalam bentuk persentase DRPs, perbandingan prevalensi DRPs penggunaan antipsikotik dianalisis menggunakan uji ANOVA satu arah (One Away ANOVA). Uji ANOVA One Away atau analisis varian satu jalur digunakan untuk menguji perbedaan rata rata antara dua atau lebih kelompok data yang independen. Dasar pemilihan One Away ANOVA karena menggunakan satu variabel faktor yaitu variabel tahun (39). Tingkat kepercayaan dalam uji ANOVA satu arah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan tingkat kepercayaan 95 %, pemilihan tingkat kepercayaan 95 % didasarkan pada penelitian penelitian dalam bidang kesehatan yang biasanya menggunakan tingkat kepercayaan 95 % dan 99 %. Sebelum dilakukan analisis ANOVA satu arah dilakukan uji homogenitas dan distribusi normal data dengan analisis One-Sample KolmogorovSmirnov Test. Dari analisis uji homogenitas dan distribusi normal data diperoleh nilai signifikansi 0,365 (p>0,05) yang berarti data penelitian terdistribusi normal, maka analisis ANOVA satu arah dapat dilakukan dan didapat nilai signifikansi dari hasil uji ANOVA adalah 0,987 (p>0,05) (39). Hal ini berarti bahwa antara prevalensi DRPs penggunaan antipsikotik pada tahun 2007,2008, dan 2009 tidak berbeda signifikan, sehingga dapat disimpulkan dari tahun 2007 hingga tahun 2009 tidak terjadi penurunan prevalensi DRPs penggunaan antipsikotik yang signifikan, dan kurangnya peran farmasis dalam memonitoring terapi penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di RS Grhasia. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini adalah : Pengambilan data dilakukan secara retrospektif, sehingga sumber informasi yang didapat melalui rekam medik dan data laboratorium. Interaksi obat dalam penelitian ini bersifat teoritis karena tidak ada data pemantauan terhadap kadar obat dalam darah maupun pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang timbul akibat adanya interaksi obat, sehingga menyulitkan peneliti untuk menentukan apakah DRPs yang dialami pasien disebabkan adanya interaksi obat yang dialami pasien atau karena faktor lain.

59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : Klorpromazin dan haloperidol merupakan kombinasi antipsikotik yang paling banyak diberikan pada pasien skizofrenia di RS Grhasia periode 2007-2009. Pada periode 2007 dengan persentase 60 %, pada periode 2008 dengan persentase 70 %, dan pada periode 2009 dengan persentase 47%. Persentase prevalensi DRPs penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di RS Grhasia adalah : Persentase prevalensi DRPs penggunaan antipsikotik periode 2007 adalah : 0 % sub-terapi, 0 % dosis berlebih, 31 % efek