Top Banner

of 26

1 Pem Maturitas

Jul 18, 2015

Download

Documents

erikayulita
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

TUGAS KELOMPOK

DOSEN PENGAMPU : PROF. dr. HIDAYAT WIJAYANEGARA, SPOG(K)

OLEH : KELOMPOK I 1.ARIFA RAHMI 2.IDAH AYU WULANDARI 3.KHARISMA VIRGINIA 4.LISA RAHMAWATI 5.MUTIARA RACHMAWATI S 6.NI WAYAN ARMINI

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNPAD 2009

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah Pemeriksaan Maturitas Paru Janin ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat matrikulasi untuk mata kuliah Obsteri Perinatal Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Dalam penulisan makalah ini penulis telah didukung oleh beberapa pihak yang telah membantu. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Hidayat Wijayanegara, dr. SpOG (K) sebagai pengampu mata kuliah Obstetri Perinatal yang telah banyak memberi masukan 2. Teman-teman angkatan IV Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung yang telah setia menemani 3. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi semua orang yang membacanya.

Bandung, Agustus 20009 Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

I.

LATAR BELAKANG Kelahiran seorang bayi sehat merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap orang tua, karena dengan kelahiran bayi dapat memberikan arti baru dalam sebuah keluarga. Akan tetapi tidak semua bayi dapat lahir dengan sehat seperti harapan semua orang tua. Beberapa kasus dapat menyebabkan permasalahan pada bayi, diantaranya adalah asfiksia dimana penyebab utamanya adalah kurang matangnya paru-paru janin. Saat bayi dilahirkan dan sirkulasi fetoplasenta berhenti berfungsi, bayi tersebut mengalami perubahan fisiologi yang besar sekali dan cepat. Dalam beberapa menit setelah lahir, sistem pernapasan harus mampu memberikan oksigen dan mengeliminasi karbondioksida kalau neonatus itu hendak bertahan hidup. Kelangsungan hidup bayi tersebut tegantung pada cepat dan teraturnya pertukaran oksigen dan korbondioksida antara lingkungan barunya dan sirkulasi paru-paru yang terisi cairan harus diisi dengan udara, udara harus dipertukarkan dengan gerakan pernapasan yang tepat, dan mikrosirkulasi yang kuat harus diciptakan di sekitar alveoli tersebut. Dalam mengantisipasi hal tersebut saat ini dapat dilakukan analisis terhadap cairan amnion. Penggunaan analisis terhadap cairan amnion untuk memprediksi maturitas paru- paru janin telah diterima secara luas. Hasil analisis ini telah dimanfaatkan untuk menentukan saat yang tepat unutuk melakukan terminasi kehamilan secara elektif, misalnya pada kasus seksio sesarea yang berulang dan merupakan faktor yang penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus gestosis, diabetes militus, perdarahan antepartum, inkopabilitas rhesus dan komplikasikomplikasi lain kehamilan. Apabila karena sesuatu keadaan, kehamilan harus diakhiri atau menunda suatu persalinan, menjadi suatu persoalan untuk menentukan dengan tepat maturitas paru-paru janin. Maturitas paru-paru janin ini sangat erat hubungannya dengan terjadinya Sindroma Gawat Napas (SGN). Pada SGN terdapat gangguan produksi dan sekresi bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh pneumosit tipe II. Produksi bahan tersebut yang sangat cepat

meningkat sesudah usia kehamilan 35 minggu. Surfaktan akan menurunkan tekanan pada permukaan alveoli, sehingga kolaps alveoli tidak akan terjadi Pemeriksaan maturitas paru sangat bermanfaat, untuk memprediksi terjadinya SGN pada bayi-bayi baru lahir. Di Amerika Serikat, berdasarkan hasil pemeriksaan maturitas paru secara luas, SGN telah diprediksi terjadinya pada 40.000 bayi-bayi yang baru lahir setiap tahun. SGN mortalitasnya cukup tinggi yaitu sebesar 30% dan dalam jangka panjang dihubungkan dengan resiko yang bermakna untuk timbulnya gejala sisa, baik neurologis maupun pulmonologis.1 Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan pematangan paru janin sangat penting untuk menentukan keadaan janin setelah lahir, karena keadaan bayi saat dilahirkan sangat menentukan kondisi perkembangan selanjutnya. II. PERMASALAHAN Kehamilan yang harus diakhiri dengan persalinan pada umur kehamilan yang belum matur sering menimbulkan suatu dilema terkait dengan pematangan paru janin. Perlu pemeriksaan yang tepat untuk menentukan kematangan paru janin karena terkait dengan penanganan bayi setelah lahir. Maturitas paru-paru janin ini sangat erat hubungannya dengan terjadinya Sindroma Gawat Napas (SGN) yang sering kali menjadi penyebab utama kematian bayi. III. TUJUAN Pada penulisan makalah ini diharapkan dapat mengetahui : 1. Cara pemeriksaan pematangan paru janin 2. Indikasi pemeriksaaan pematangan paru janin 3. Interpretasi hasil pemeriksaan pematangan paru janin 4. Waktu pemeriksaan pematangan paru janin

BAB II

PEMBAHASAN

I.

PEMERIKSAAN MATURITAS PARU JANIN Pertumbuhan sistem pernafasan janin telah dimulai sejak minggu ke 4 kehamilan (hari ke-24) di mana celah laryngotracheal muncul di dasar faryng lama kelamaan semakin dalam membentuk divertikulum laryngotracheal. Dalam pertumbuhannya kea rah kaudal lipatan longitudinal mesenchyme berfungsi membentuk tracheoesophageal, yang memisahkan laryngotracheal tube (diventral)dengan esophagus di dorsal. Laryngotracheal tube bertumbuh menjadi larynx dan trachea. Tunas paru berkembang dari ujung kaudal tube ini dan segera bercabang menjadi 2 buah tunas bronchopulmonary (tunas paru) . dari setiap percabangan ini terbentuk saluran udara/pernafasan yaitu bronchus dan broncheolus. Jaringan pernafasan-broncheolus-duktus dan sacus elveolaris dan alveoli-berkembang dari ujung terminal broncheolus dan terus berkembang sampai periode postnatal. Sel epitelnya berasal dari endodermal.2

II. PERKEMBANGAN ANATOMIK PARU JANIN Pada hari ke 26 sampai ke 28 bronchus primer terbentuk, perkembangan selanjutnya terjadi pada 4 fase yang overlapping yaitu : 1. Fase Glandular (hari ke 28 sampai minggu ke 16) Disebut fase glandular karena secara histologist terlihat gambaran glandula yang dilapisi oleh epitel cuboid pada bagian terminalnya yang terjadi proses perkembangan percabangan bronchus. Demikian pula dengan arteri pulmonalis yang bertumbuh mengikuti percabangan bronchus. Pembuluh kapiler masih terpisah jauh dari terminal saluran nafas oleh jaringan interstisial. Kehidupan ekstra uterine belum memungkinkan pada tahap ini karena kapasitas pertukaran gas yang masih terbatas antara kapiler dan saluran nafas.

2.

Fase Canalicular (minggu ke 13 sampai minggu ke 25)

Pada saat ini terjadi kanalisasi saluran nafas. Setiap bronchus memunculkan 2 atau lebih broncheolus respiratorius dan setiap broncheolus respiratorius terbagi menjadi 3 sampai 6 duktus alveolaris. Epitel menjadi lebih tipis. Kapiler semakin dekat dengan epitel pernafasan dan potensi pertukaran gas semakin terbatas. 3. Fase Terminal Sac (dari 24 minggu sampai lahir) Duktus alveolaris tumbuh menjadi alveoli primitive. Epitel berdiferensiasi menjadi tipe1 dan tipe II. Sel alveolar tipe I menutupi lebih kurang 95% alveoli. Jumlah kapiler semakin bertambah dan semakin dekat dengan sel tipe I sehingga memungkinkan pertukaran gas yang lebih baik. Sel tipe II berperan dalam mensitesa, menyimpan dan mensekresikan surfaktan.4.

Fase alveolar( mulai pada fase akhir kehidupan dalam kandungan

berlangsung terus sampai 8 tahun) Alveolarisasi yang sebenarnya dimulai kira-kira pada 34 sampai 36 minggu. Pada saat kelahiran alveoli dewasa baru didapatkan sekitar 1/8 sampai dengan 1/6. Jumlah alveoli terus bertambah sampai terbentuk alveoli dewasa seluruhnya setelah 8 tahun. Paru terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda. Sel yang melapisi alveoli terutama terdiri dari 2 tipe selyaitu pneumosit tipe I dan tipe II. Tipe I sebagai sel utama alveoli merupakan epitel yang tipis melapisi dinding alveoli dan berkontak erat dengan sel endotel kapiler yang memungkinkan pertukaran gas bisa terjadi. Sel tipe II yang lebih kecil dari tipe I terletak di sudut-sudut alveoli, berbentuk cuboid dan mengandung lamellar inclusion spesifik bila dilihat di bawah mikroskop electron. Lamellar body adalah tempat penyimpanan surfaktan intraselluler. Dengan analisa biokemik ternyata lamellar body mengandung surfaktan sejenis fosfolipid. 2 Sel tipe II menangkap precursor pembentuk fosfolipid dan fosfor. Sintesa terjadi dalam endoplasmic reticulum. Setelah dimodifikasi dalam golgi apparatus komponen surfaktan dibawa dan disimpan dalam lamellar body. Lamellar body ini disekresikan dengan cara eksositosis dan dibuka diluar sel membentuk tubular myelin.Dari sini dihasilkan surfactant monolayer, ynag diabsorpsi ke air liquid interface. Dengan mikroskop electron tubular myelin

terlihat seperti kisi-kisi berbentuk tabung segi empat. Selain itu sel tipe II juga berfungsi untuk proliferasi sebagai respon erhadap trauma. Setelah mengalami traupe sel tipe I terkelupas dari dinding alveoli dan sel tipe II berproliferasi untuk memperbaiki dinding alveoli kemudian berkembang menjadi sel tipe I.2 III. FISIOLOGI PERNAPASAN PADA NEONATUS Saat bayi dilahirkan dan sirkulasi fetoplasenta berhenti berfungsi, bayi tersebut mengalami perubahan fisiologi yang besar sekali dan cepat. Dalam beberapa menit setelah lahir, sistem pernapasan harus mampu memberikan oksigen dan mengeliminasi karbondioksida kalau neonatus itu hendak bertahan hidup. Kelangsungan hidup bayitersebut tegantung pada cepat dan teraturnya pertukaran oksigen dan korbondioksida antara lingkungan barunya dan sirkulasi paru-paru yang terisi cairan harus diisi dengan udara, udara harus dipertukarkan dengan gerakan pernapasan yang tepat, dan mikrosirkulasi yang kuat harus diciptakan di sekitar alveoli tersebut.1 Segera setelah lahir, pola pernapasan bergeser dari satu inspirasi episodik dangkal, yang khas pada pernapasan janin, menjadi pola inhalasi lebih dalam dan teratur. Sekarang jelas bahwa aerasi paru-paru neonatus bukan inflasi dari suatu struktur yang kolaps, melainkan pergantian cepat cairan bronkhial dan alveoli dengan air. Pada biri-biri, dan diperkirakan pada bayi manusia, cairan alveoli yang tersisa setelah kelahiran dibersihkan melalui sirkulasi paru dan pada tingkat yang lebih kecil, melalui sistem limfatik paru. Karena cairan digantikan dengan udara, terdapat pengurangan cukup besar kompresi vaskuler paru dan selanjut, menurunkan tahanan aliran darah. Dengan menurunnya aliran cairan darah arteri pulmonalis, duktus arteiosus normalnya menutup. Penutupan foramen ovale lebih variabel.2 Tekanan negatif pada toraks yang tinggi diperlukan untuk menghasilkan pemasukan udara pertama kali ke dalam alveoli yang penuh terisi air. Normalnya, dari pernapasan pertama setelah lahir ini, secara progresif lebih banyak udara residual berkumpul di dalam paru-paru, dan setiap pernapasan berikutnya, diperlukan tekanan pembukaan paru-paru, yang lebih rendah.1

Berhasilnya pengisian paru-paru dengan udara dan cepatnya pembentukan pola fisiologi perubahan tekanan volume pada inspirasi dan ekspirasi memerlukan adanya bahan permukaan aktif yang akan merendahkan tegangan permukaan di dalam alveoli dan karena itu mencegah kolapsnya paru-paru pada setiap ekspirasi. Tidak cukupnya surfaktan akan menyebabkan timbulnya sindroma gawat napas dengan cepat.1 Pada tahun 1929, Von Neergard membandingkan kurva-kurva tekanan volume paru-paru yang dikembangkan dengan udara, dengan paru-paru yang dikembangkan dengan suatu larutan gum Arab. Dari hasil penelitian ini, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yang meningkatkan deflasi atau kolapsnya paru-paru yang mengandung udara adalah kekuatan yang terutama dihasilkan oleh tegangan permukaan pada sekat udara saringan pada alveolus. Clements pada tahun 1957, menemukan bahwa suatu bahan yang menghasilkan tegangan permukaan terdapat di dalam ekstraks-ekstraks salin dari bahan cucian paru. Kemudian ditemukan bahwa sifat-sifat permukaan aktif dari alveoli dapat dihubungkan dengan komponen-komponen suatu kompleks lipoprotein, yaitu surfektan.1 Klaus dan rekan (1961) menetapkan bahwa koponen pemukaan aktif surfektan yang penting ada hubungannya dengan suatu lesitin spesifik, yaitu diplamitoilfostidilkolin.1 Avery dan Mead (1959) adalah yang pertama kali menunjukan bahwa sindrom gawat napas disebabkan oleh defisiensi biosintesis surfaktan dalam paru-paru janin dan neonatus. Berikutnya , beberapa peneliti telah memperlihatkan pertambahan sintesis surfektan, normalnya tampak pada paruparu janin menurut jadual perjalanan waktu perkembangannya; dan, diketahui bahwa dari 40 tipe sel paru, surfaktan dibentuk khususnya pada pneumosit tipe II ini ditandai dengan badan-badan multiveskuler, progenitor seluler dari badan lamellar disekresi dari paru-paru. Dalam kehidupan janin lebih lanjut, pada saat alveolusnya ditandai dengan suatu interface air ke jaringan, badan-badan lamelar utuh disapu ke dalam cairan amnion dengan gerakan-gerakan semacam pernapasan, yaitu pernapasan janin. 1

Ini merupakan cirri yang sangat penting dari kehamilan manusia, karena surfaktan di dalam cairan amnion menunjukan mulainya pematangan fungsional paru-paru. Pada spesies lain, secret-sekret paru tidak perlu masuk ke cairan amnion; misalnya, pada janin biri-biri, interface air ke jaringan diproduksi dalam alveolus paru bayi baru lahir. Hal ini memungkinkan penguraian surfaktan dari bahan lamelar dan penurunan tegangan permukaan ini kemudian menyebar ke lapisan alveolus, dank arena itu mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi. Dengan demikian, kemampuan paru-paru janin untuk memproduksi surfaktan inilah, dan bukan meletakkan badan lamellar ini in-utero, yang menandai kematangan paru sebelum lahir.1 IV. KOMPOSISI SURFAKTAN Surfaktan adalah kompleks antara fosfolipid dan protein di mana 85 90% adalah fosfolipid dan 10 % protein komposisi lipid/fosfolipid dari surfaktan terutama terdiri dari saturated palmitic acid. Komposisi surfaktan adalah seperti tabel berikut : Protein Phospolipid Phospatidyl choline (PC) Disaturated phospatidyl choline Phospatidyl glycerol Phospatidyl etahanolamine Phospatidyl insitol Sphingomyeline % Total weight protein 10 15 85 90 % of Total Phospolipid 80 85 45 50 6 11 35 2 2

Sintesa asam lemak dan fosfolipid terjadi De Novo dalam sel tipe II, yang bahan-bahannya diambil dari sirkulasi darah. Sumber energi diambilkan dari glikogen. Kadar glikogen dalam paru janin meningkat pada saat awal perkembangan paru yang mencapai puncaknya pada saat awal perkembangan paru yang mencapai puncaknya pada saat akhir kehamilan. Kemudian menurun dengan cepat bersamaan dengan peningkatan sintesa fosfolipid. Pada saat

peningkatan sintesa phospatidyl choline, aktifitas enzim choline phospatidyl transverase juga meningkat pada saat akahir kehamilan. Demikian juga peningkatan sintesa asam lemak paralel dengan peningkatan enzim asam lemak. Selain komponen fosfolipid juga terdapat kompinen protein. Surfaktan protein A (SP-A) merupakan highly glycocilated protein yang berperan dalam sekresi protein yang berperan dalam sekresi surfaktan dan reuptake oleh sel tipe II. Juga berperan penting dalam pembentukan tubular myelin. Komponen lain SP-B dan SP-C berperan dalam aktifitas permukaan surfaktan.2 Sejumlah rangsangan fisik, biokemik dan hormonal dapat mempengaruhi perkembangan paru serta sintesa dan sekresi fosfolipid. Insiden RDS lebih rendah daripada bayi yang dilahirkan setelah proses persalinan baik pervaginam maupun dengan seksio sesarea dibandingkan dengan yang lahir tanpa diawali proses persalinan pada usia kehamilan yang sama. Persalinan diduga mempercepat sekresi surfaktan dan tidak mempengaruhi sintesa. Perbedaan jenis kelamin ternyata bayi laki-laki lebih sering dikenai RDS dibandingkan dengan bayi perempuan. Perbedaan kadar fosfolipid dalam cairan ketuban memperlihatkan bahwa maturasi paru perempuan lebih cepat terjadi satu minggu. Diduga hal ini disebabkan peningkatan sekresi dan bukan peningkatan sintesa. Ibu dengan DM juga mempengaruhi pematangan paru,dimana RDS lebih sering didapatkan pada bayi dengan ibu menderita DM. Tidak jelas faktor apa yang menyebabkan terlambatnya maturasi paru, apakah hipoglikemia, hiperinsulinemia, gangguan metabolism, asam lemak atau kombinasi faktor-faktor tersebut.2 Sintesa surfaktan juga distimulasi oleh beberapa hormon seperti glucocorticoid hormon thyroid, TRH dan prolactin oleh growth faktor seperti, Epidermal Growth Factor (EGF). Dari faktor tersebut, pengaruh glucocorticoid sangat banyak diteliti. Pemberian glukokortikoid kepada janin menyebabkan sejumlah perubahan morfologi, yang menandakan percepatan maturasi paru, pembesaran alveoli, penapisan inter alveolar septum, peningkatan jumlah sel tipe II dan peningkatan lammelar body dalam sel tipe II. Glikokortikoid juga meningkatkan sintesa fosfolipid paru dan protein surfaktan. Secara klinis

ternyata pemberian steroid antenatal mempercepat maturasi paru. Sekresi surfaktan juga dirangsang oleh sejumlah zat, termasuk B adrenergic-agonist (seperti terbutalin) dan perinoceptor agonist (seperti adenosine) dan Camp.2V. RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)

Menurut ),

Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS dengan terapi oksigen, penurunan

bila daya

didapatkan sesak napas berat (dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea sianosis yang menetap pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sedangkan menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non pulmonar. Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila onset akut, ada infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal 18mmHg dan tidak ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2:FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS . Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinis yang timbul

yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu : Stadium 1. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara, Stadium 2. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru, Stadium 3. Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas, Stadium 4. Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.2 Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome Faktor2 yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial

sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD). Gambaran radiologi tampak adanya retikulogranular karena atelektasis dan air bronchogram. Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah : Takipnea diatas 60x/menit Grunting ekspiratoar Subcostal dan interkostal retraksi Cyanosis Nasal flaring

Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangat rendah) mungkin dapat berlanjut apnuea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam dan sembuh pada akhir minggu pertama.2

VI. PEMERIKSAAN MATURITAS PARU JANIN

Surfaktan merupakan suatu senyawa yang kompleks yang terdiri dari protein dan fosfolipid.Telah diterima secara luas bahwa kadar fosfolipid dalam cairan amnion akan meningkat sesuai dengan usia kehamilan dan mempunyai korelasi dengan resiko terjadinya sindroma gawat napas. Tidak ada pemeriksaan cairan amnion yang betul-betul reliable, mudah dilakukan, dan secara universal dapat dilakukan untuk memprediksi maturitas paru-paru janin. Sebagai konsekuensinya. Dikembangkan banyak macam pemeriksaan meturitas paru janin yang telah dilakukan oleh peneliti.1

Pilihan teknik pemeriksaan kematangan paru janin yaitu dengan pemeriksaan :1.

Quantitation of Pulmonary Surfactant (Kuantitas/jumlah cairan

surfaktan). Dari pemeriksaan jumlah cairan surfaktan metode yang dapat digunakan untuk pemeriksaan maturitas janin adalah : a. b.c.

L/S Rasio Test For PG Microviscosimeter TDX Test

d.2.

Measurement of Surfactant Function (Penilaian melalui fungsi untuk

cairan surfaktan). Metode yang digunakan pada penilaian dari fungsi surfaktan pemeriksaan maturitas janin adalah : a. b. c.3.

Shake test Foam Stability Index Tap Test

Evaluation of Amniotic Fluid Turbidity (Melalui evaluasi dari

tekanan pada cairan amnion). Metode yang digunakan pada evaluasi dari tekanan pada cairan amnion untuk pemeriksaan maturitas janin adalah : a. b. c.4.

Visual Inspection Optical Density Lamellar Body Counts

Appropriate use of Ultrasonography (Pemeriksaan USG dengan

tepat).3 A. L/S RASIO Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan,

sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion. Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio Lesithin dibandingkan Sfingomyelin ditentukan dengan thin-layer chromatography (TLC). Cairan amnion disentrifus dan dipisahkan dengan pelarut organik, ditentukan dengan chromatography dua dimensi; titik lipid dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur atau kontak dengan uap iodine. Kemudian dihitung rasio lesithin dibandingkan sfingomyelin dengan menentukan fosfor organik dari lesithin dan sfingomyelin.18,19 Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal adalah < 0,5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap pada level 1 pada usia gestasi 32 minggu. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2. Beberapa penulis telah melakukan pemeriksaan rasio L/S dengan hasil yang sama. Suatu studi yang bertujuan untuk mengevaluasi harga absolut rasio L/S bayi immatur dapat memprediksi perjalanan klinis dari neonatus tersebut dimana rasio L/S merupakan prediktor untuk kebutuhan dan lamanya pemberian bantuan pernapasan. Dengan melihat umur gestasi, ada korelasi terbalik yang signifikan antara rasio L/S dan lamanya hari pemberian bantuan pernapasan. Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang dilakukan telah menemukan bahwa mekonium tidak mengandung lesithin atau sfingomyelin, tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya mirip lesithin, sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu.3B. TEST FOR PG (PhosphatidylGlycerol) 1.

Tes ini mengukur tingkat PhosphatidylGlycerol pada cairan amnion.

2.

Tes ini digunakan untuk menilai dan mengelola kematangan paru-

paru, atau seberapa baik-paru-paru yang dikembangkan, dari bayi yg belum lahir dan pada kehamilan berisiko tinggi untuk membantu memprediksi keadaan kematangan paru janin. 3. Fosfatidilgliserol belum ditemukan di dalam darah, mekonium, atau secret vagina, karena itu kontaminan-kontaminan ini tidak akan mengacaukan interpretasi. 4. Uji aglutinasi iminologi cepat (dalam 15 menit) (Amniostat-FLM) untuk mendeteksi fosfatidilgliserol dalam sampel cairan amnion, mempunyai keakuratan yang tinggi, dan dengan demikian dapat dipakai untuk menemukan ketidakmungkinan neonatus akan mengalami sindroma gawat napas.5.

Gliserin Phosphatidyl biasanya dapat didteksi dalam cairan amnion

sekitar usia kehamilan 35 36 minggu. Terdapatnya phosphatidyl glycerol pada cairan amnion umumnya menunjukkan ada risiko minimal untuk RDS pada neonatus.6.

Untuk

mengukur

tingkat

gliserin

phosphatidyl

dibutuhkan

pemeriksaan amniocintesis. 7. Hasil uji laboratorium dapat bervariasi, tergantung pada usia, jenis kelamin, kesehatan, riwayat penyakit, metode yang digunakan untuk pengujian, dan berbagai faktor lainnya. Berikut ini adalah hasil :o

Ibu hamil trimester 3 : - Kromatografi lapisan tipis Absen : paru janin belum matang - Slide-agglutination tes Negatif : 2/3 1 ml Alkohol 95% O,5 ml NaCl 0,9% 0,5 ml cairan lambung Intermediate gelembung 1/3- 2/3 Negatif gelembung < 2/3

Kocok 15 detik

Diamkan tegak lurus 15 menit

F. TAP TEST 1. Metode pemerksaan ini hasilnya cepat, tidak mahal, dan hanya memerlukan 1 ml sampel cairan amnion.

2.

Cairan amnion didapatkan melalui amniosentesis atau dari vaginal Jika dalam cairan amnion terkontaminasi oleh darah, mekonium atau Tap test dilakukan denga cara mencampurkan kurang lebih 1 ml

pool. 3.4.

cairan vagina maka sebelum dilakukan tes harus disentrifuskan. sampel cairan amnion dengan 1 tetes 6N hidrocloric acid (konsentrasi hidrocloric acid diencerkan 1:1) dan kemudian ditambahkan kurang lebih 1,5 ml diethyl ether. Campuran ini kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi, kemudian di-tapped tiga atau empat kali, dimana akan dihasilkan kira-kira 200-300 gelembung busa di lapisan lainnya. Pada cairan amnion dari janin yang matur, gelembung busa tersebut dengan cepat timbul dipermukaan dan pecah; pada cairan amnion dari janin yang immatur, gelembung busa tersebut stabil atau pecah dan lambat. Jika tidak dari gelembung busa yang tinggal di lapisan lainnya, hasil tes dinyatakan matur.5. 6.

Hasil tap test dievaluasi pada 2,5 dan 10 menit. Kemampuan tap test untuk memprediksi maturitas paru-paru janin

adalah sebanding dengan phospholipid profile. 3,4,6 G. LAMELLAR BODY COUNTS Lamellar body terdapat di dalam cairan surfaktan. Tes ini membutuhkan < 1ml cairan amnion dan waktu 15 menit untuk memperlihatkan hasilnya.- Jumlah lamellar body > 30.000/ml yang tinggi mempredikdikan

maturitas janin - Sedangkan < 10.000 /ml menunjukkan menunjukkan risiko tinggi terjadinya RDS - Baik mekoneum maupun darah mempunyai efek terhadap jumlah lamellar body

H. ULTRASONOGRAFI (USG) Klasifikasi plasenta, dibuat mulai dari Derajat 0 sampai dengan Derajat III. Derajat 0 : chorionic plate tampak halus, dan dengan jelas tampak sebagai

garis rata. Gambaran ini akan terlihat pada kehamilan kira-kira 12 minggu. Substansi plasenta tampak homogen dan tidak tampak area ekhogenik. Lapisan basal juga tampak homogen dan tekstur yang sama seperti substansi plasenta. Fase ini tampak pada trimester I dan II. Derajat I : Plasenta menunjukan perubahan paling awal dari proses maturasi-nya, yaitu chorionic plate tampak sebagai garis yang rata tetapi dengan beberapa undulasi. Beberapa ekhogenik area tampak pada substansi plasenta, sehingga tidak lagi tampak homogen. Tidak ada densitas yang terlihat di lapisan basal. Fase ini biasanya didapatkan mulai dari kehamilan 30-32 minggu dan terus sampai kehamilan aterm. Derajat II : perubahan terjadi pada tiga zona, yaitu chorionic plate lebih banyak tanda-tanda identitas. Substansi plasenta tampak terpisah dan tidak kompit oleh gambaran linear echogenic atau comma like echgenic densities. Pada fase ini linear echogenic densities tidak mencapai lapisan basal. Area ekhogenik dalam substansi plasenta tampak bertambah jumlahnya dan ukurannya lebih besar dari Grade I. Derajat III : merupakan gambaran plasenta yang matur. Chorionic plate tampak terputus-putus oleh identitas, dimana memanjang kelapisan basal dan mungkin memperlihatkan septa inter-kotiledon. Substansi plasenta menjadi terpisah dalam beberapa kompartemen yang mungkin adalah batas kotiledon. Bagian tengah dari kompertemen ini menunjukan area kosong, padat, bentuk tidak teratur, area ekhogenik tampak dekat ke chorionic plate. Area ekhogenik pada lapisan basal menjadi lebih besar, lebih padat, dan menyatu. Pada plasenta derajat 3 dengan kehamilan normal maka menunjukkan bahwa sudah terjadi pematangan paru. Teori ini tidak berlaku pada ibu hamil dengan komplikasi seperti Hipertensi, IUGR, dan RH isomunisasi. Pada pemeriksaan BPD paling tidak 9,2 cm dengan kehamilan normal maka dapat diprediksikan tidak terdapat RDS pada janin. Pemeriksaan USG dengan tepat pada kehamilan tanpa komplikasi dapat mendeteksi secara dini kelainan pada janin termasuk pematangan paru janin sehingga penanganan persalinan dapat dilakukan dengan aman.1,4 I. INDIKASI PEMERIKSAAN PEMATANGAN PARU

Pada suatu keadaan dimana kehamilan harus diakhiri atau harus menunda persalinan, maka sangat penting untuk menentukan dengan tepat maturitas paru-paru janin. Maturitas paru-paru janin sangat erat kaitannya dengan terjadinya sindroma gawat napas.1.

Penyakit Membran Hialin (PMH) Penyakit membran hialin merupakan salah satu penyebab gangguan

pernapasan pada bayi baru lahir yang sering terjadi pada kehamilan kurang bulan. Perbaikan surfaktan paru yang belum sempurna dapat memperbaiki keadaan sindrom gangguan pernapasan idiopatik (SGPI). Risiko penyakit membran hialin akan meninggi pada ibu menderita DM dengan kehamilan < 37 minggu, lahir dengan bedah Caesar, perdarahan antepartum, asfiksi, serta riwayat sehelumnya dengan penyakit membran hialin. Pemberian deksametason intravena pada ibu dengan bayi kurang bulan bermanfaat mencegah PMH. Faktor yang mempermudah terjadinya PMH adalah persalinan kurang bulan, asfiksia intra uterin, tindakan sectio caesaria, diabetes mellitus dan ibu dengan riwayat persalinan kurang bulan sebelumnya, kelahiran yang dipercepat setelah perdarahan.82.

Pre-eklampsi berat (kehamilan < 37 minggu) Aliran darah menurun ke plasenta menyebabkan gangguan plasenta,

sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada pre-eklampsi dan eklampsi sering terjadi bahwa tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan meningkat maka terjadilah partus prematurus. Jika janin belum menunjukkan tanda-tanda maturitas paru-paru, dengan pemeriksaan shake dan rasio L/S maka penanganannya adalah sebagai berikut: Berikan suntikan sulfas magnesikus dosis 8 gr intramuskuler, kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr intramuskuler setiap 4 jam (selama tidak ada kontra-indikasi).

-

Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas

magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria preeklampsi ringan (kecuali jika ada kontra-indikasi). Selanjutnya wanita dirawat diperiksa dan janin dimonitor, penimbangan berat badan seperti pre-eklampsi ringan sambil mengawastii mbul lagi gejala.-

Jika dengan terapi di atas tidak ada perbaikan, dilakukan

terminasi kehamilan : induksi partus atau cara tindakan lain, melihat keadaan.7 3. Perdarahan antepartum Pada kasus perdarahan antepartum dapat meningkatkan kejadian

prematuritas. Keadaan bayi pada kelahiran premature cairan surfaktannya kurang sehingga terjadi hambatan pada penurunan tegangan permukaan paru kemudian menyebar ke lapisan alveolus, dan oleh karena itu terjadi kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.4 4. Diabetes Mellitus Pada ibu yang menderita penyakit diabetes, terjadi hiperinsulinemia janin yang menghampat produksi surfaktan. Hiperinsulinemia juga menggangu pengaruh pematang paru dari kortisol. Hal inilah yang sering menjadi penyebab pada ibu dengan diabetes sering terjadi sindroma gawat nafas (SGN). Dalam usaha pencegahan terjadinya SGN adalah kontrol metabolisme glukosa dengan hati-hati, persalinan spontan saat aterm, persalinan pervaginam dan monitor janin selama kehamilan lebih awal (misalnya karena retardasi pertumbuhan, gawat janin) memungkinkan dan paru-paru belum matang pada uji cairan amnion, maka pemberian kortikosteroid, TRH (Thyroid Releasing Hormone) atau tiroksin intraamnion dapat memerlukan pengawasan ketat terhadap glukosa meternal dan adanya hiperinsulinemia 5. PROM Pada kasus Premature Rupture Of Membrane (PROM) dapat meningkatkan kejadian prematuritas. Keadaan bayi pada kelahiran premature cairan surfaktannya kurang sehingga terjadi hambatan pada

penurunan tegangan permukaan paru kemudian menyebar ke lapisan alveolus, dan oleh karena itu terjadi kolaps alveolus pada waktu ekspirasi J. WAKTU PEMERIKSAAN Pemeriksaan Kematangan paru janin dianjurkan pada saat : -

Sebelum induksi elektif pada persalinan atau sebelum dilakukan Sebelum terjadinya persalinan pada pasien dengan janin yang belum

section secarea aterm dan ibu hamil dengan DM.4 K. KORTIKOSTEROID DAN MATURITAS PARU Penelitian tentang pengaruh glukokortikoid terhadap pematangan paru telah banyak dilakukan, baik maupun vitro steroid ini mempercepat maturitas paru baik dari segi anatomic, biokemik maupun fisiologik-glukokortikoid bekerja pada paru melalui mekanisme reseptor steroid klasik. Steroid masuk ke dalam sel dan berikan dengan spesifik sitoplasmik reseptor kompleks steroid reseptor ini kemudian ditranslokasi ke nucleus dimana dia berinteraksi dengan bagian tertentu dari DNA, menghasilkan trankripsi RNA, RNA ini kemudian ditranslasi dalam sitoplasma menjadi glukokotikoid, meningkatkan surfaktan protein A,B,C beserta RNA nya.sebagaimana fatty acid synthase, structural protein kolagen dan elastin. Steroid berperan dalam mengatur sintesa surfaktan tapi tidak berperan dalam memulainya. Penelitian terhadap binatang menunjukkan bahwa steroid mempercepat maturasi paru dan memperbaiki viabilitas bayi prematur. Berdasarkan ini trial klinis dilakukan dengan pemberian steroid pada antenatal. Hamper semua penelitian menunjukkan penurunan insidensi RDS tapi dengan hasil yang terbatas. Penelitian-penelitian terakhir memperlihatkan kemungkinan steroid dapat meningkatkan fungsi paru postnatal dan peningkatan proses kognitif. Secara umum steroid antenatal sangat efektifbila diberikan sebelum usia kehamilan sebelum usia kehamilan 32 minggu. Hasil yang optimal didapatkan bila bayi dilahirkan paling sedkit 2-3 hari dan paling lambat dalam 7-10 hari setelah mulainya pemberian obat. Tampaknya pemverian obat pada bayi laki-

laki kurang berhasil dibandingkan dengan bayi perempuan. Pemberian steroid tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan penibgkatan risiko infeksi neonatal,khorioamnionitis,penurunan berat lahir,neonatal adrenal suppression, neonatal sepsis maupun neonatal death,tapi terdapat sedikit peningkatan infeksi maternal. Meskipun dengan pemberian steroid secara optimal, kejadian RDS tidak bisa dicegah sama sekali, dimana masih didapatkan 10% bayi menderiat RDS bila usia kehamilan diatas 30 minggu dan 35% bila dibawah 30 minggu. Kombinasi dengan hormone thyroid membantu dalam mengurangi kejadian RDS dan menurunkan insiden penyakit paru kronis. Bagaimana mekanismenya masih dalam taraf penelitian. Penelitian terhadap perkembangan paru masih tetap berlangsung. Peranan gen dalam produksi surfactant,manipulasi hormonal terhadap surfactant dan elemen struktur paru masih dalam penelitian dan kemungkinan memberikan efek terapi yang lebih baik dimasa datang.2

REFERENSI1.

Firmansyah.

Pemeriksaan

Untuk

Memprediksikan

Maturitas Paru Janin. (Online). http://www.digilid.unsri.ac.id/download. (18 Agustus 2009)2.

Hariadi. P. 2004. Jilid 1. Himpunan Kedokteran

Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Surabaya : Universitas Airlangga.3.

Kenneth F. Trafatter. Assessing Fetal Lung Maturitas 3

L/S Ratios and Phosphatidylglycerol. (Online). http://www.norfordisk.com. (18 Agustus 2009)4.

Ashraf Fawzy Nabhan. Assessment of Fetal Lung Maturity. . DR.. Ain Shams University. Cairo. Egypt . (Online)

(Online).

http://www.obgyn.net/english/pubs/feature/presentation/nabhan02/fetallungmat urity. (18 agustus 2009)5.

Nur A Risa Etika. et. al. Pemberian Surfaktan pada Bayi Anak FK Unair. Surabaya. (Online)

Prematur dengan Respiratory Distress Syndrome. Bulletin. SMF Ilmu Kesehatan http://www.pediatrik.com/buletin/06224113905-76 sial.com. (18 Agustus 2009)

6.

Phosphatidyl glycerol(PG). Amniotic Fluid. (Online)

http://www.mayomedicallaboratories.com/testcatalog/print.php?unitcode=300451. (22 Agustus 2009)7.

Preeklamsia

/

Eklamsia.

(Online)

http://www.obstetri/preeklamsia-eklamsia.html.8.

(21 Agustus 2009)

Nuchsan Umar Lubis. 2008. Penyakit Membran Hialin.

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Langsa Aceh Timur. (Online) http://www.obstetri/penyakitpembranehialin/121.html. (21 Agustus 2009)