1
Laporan Kasus :
Post Traumatic Panhypopituitarism (Diabetes Insipidus, Hipogonadisme dan Defisiensi Growth Hormone)
Maya Kusumawati, Nanny NM Soetedjo, Hikmat Permana, Augusta YL Arifin, Sri Hartini KS Kariadi
Divisi Endokrinologi, Metabolisme dan Diabetes, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Bandung Abstrak
Pendahuluan
Hilangnya fungsi kelenjar pituitari dapat disebabkan cedera kepala yang
dapat terjadi secara akut ataupun kronik. Disfungsi hipofisis akibat cedera kepala
pada umumnya mengenai salah satu hormon yang disekresikan oleh pituitari dan
jarang terjadi dalam bentuk panhipopituitarisme. Keterlambatan pengenalan dan
tatalaksana disfungsi hipofisis dapat menurunkun kualitas hidup pasien.
Laporan Kasus
Laki-laki, 27 tahun datang dengan keluhan poliuria (> 6 liter/hari) disertai
polidipsia sejak 13 tahun yang lalu. Pasien menyadari perkembangan seksualnya
tidak normal. Suara dan payudara seperti perempuan. Rambut pada ketiak dan
kemaluan tidak tumbuh serta ukuran penis menjadi lebih kecil. Pasien pernah
mengalami mimpi basah. Pasien mempunyai riwayat sering terjatuh dari tempat
tidur saat kecil dan jatuh dari motor saat usia 14 tahun. Berat badan 63 kg, tinggi
badan 165 cm, indeks massa tubuh 22.21 kg/m² Tanda vital dalam batas normal.
Didapatkan ginekomastia stadium 1. Tidak didapatkan rambut axilla maupun
rambut pubis dengan testis kecil dan mikropenis sesuai tanner stage 1.
Natrium urin 10 meq/L dengan osmolalitas urin 24 jam 56 mOsm/kgH20
lebih rendah dari osmolalitas plasma 323 mOsm/kgH20. Follicle Stimulating
Hormon (FSH) 0.54 (1-7uIU/mL), Lutenizing Hormon (LH) <0.5 (1.5 12.4
mIU/mL), Testosteron < 2.5 (249 – 836 ng/dL), Arginine Vasopressin (AVP)
<1.0 (1.0-13.3), Insulin Growth Factors 1 (IGF1) 49 )117 – 329 ng/mL), Hormon
tiroid dan prolactin normal. Pemeriksaan bone age sesuai usia 17 tahun, MRI
kepala normal dan pemeriksaan genetik tidak didapatkan ada kelainan.
2
Pasien didiagnosis dengan posttraumatic panhypopituitarism dan mendapatkan
terapi sulih hormon. Pasien mengalami perbaikan secara klinis.
Diskusi
Dilakukan pendekatan klinis poliuri, hipogonadisme dan short stature berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang bahwa panhipopituitarisme pada
psien ini diakibatkan cedera kepala ringan. Hipotpituitarisme pada cedera kepala
dapat terjadi secara akut maupun kronis dan seringkali tidak terdeteksi karena
gejala yang tidak spesifik.
Kesimpulan
Hipopituitarisme pada cedera kepala harus menjadi salah satu perhatian karena
dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Pengelolaan yang baik dengan
memberikan terapi sulih hormon pada pasien dengan hipopituitarisme dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.
3
Pendahuluan
Hipopituitarisme merupakan kondisi penurunan kadar hormon pituitari
karena kelenjar hipofisis tidak mampu memproduksi atau tidak cukup melepaskan
satu atau lebih hormon. Hilangnya fungsi kelenjar pituitari dapat disebabkan
cedera kepala yang dapat terjadi secara akut ataupun kronik. Disfungsi hipofisis
akibat cedera kepala pada umumnya mengenai salah satu hormon yang
disekresikan oleh pituitari dan jarang terjadi dalam bentuk panhipopituitarisme.
Keterlambatan pengenalan dan tatalaksana disfungsi hipofisis dapat menurunkun
kualitas hidup pasien. Kasus ini menarik untuk dibahas karena merupakan kasus
jarang pada pasien dengan riwayat cedera kepala ringan mengalami
endokrinopati berat
Laporan Kasus
Laki-laki, 27 tahun datang dengan keluhan poliuria (> 6 liter/hari) disertai
polidipsia sejak 13 tahun yang lalu. Pasien menyadari perkembangan seksualnya
tidak normal. Suara dan payudara seperti perempuan. Rambut pada ketiak dan
kemaluan tidak tumbuh serta ukuran penis menjadi lebih kecil. Pasien pernah
mengalami mimpi basah. Pasien mempunyai riwayat sering terjatuh dari tempat
tidur saat kecil dan jatuh dari motor saat usia 14 tahun.
Berat badan 63 kg, tinggi badan 165 cm, indeks massa tubuh 22.21 kg/m²
Tanda vital dalam batas normal. Didapatkan ginekomastia stadium 1. Tidak
didapatkan rambut axilla maupun rambut pubis dengan testis kecil dan mikropenis
sesuai tanner stage 1. Tabel 1. Data Hasil Laboratorium
4
Gambar 1. Bone Age & Pemeriksaan MRI kepala
Pemeriksaan Bone age sesuai dengan usia 17 tahun dan tidak ditemukan kelainan
pada MRI kepala.
Pemeriksaan Hasil Laboratorium Hb 15,1 g/dL 13 – 16 Ht 45.6 % 40 – 48 L 10.400/uL 5.000 – 10.000 Tr 286.000/uL 150.000 – 400.000 GDS 153 mg/dL < 140 GDP 93 mg/dL 70 – 100 GD2PP 187 mg/dL < 140 Kol. Total 246 mg/dL < 200 HDL 39 mg/dL 60 LDL 188 mg/dL <100 TG 201 mg/dL < 150 Natrium 146 mg/dL 135 - 155 Kalium 4.5 mg/dL 3.5 -5.1 Cl 109 mg/dL 98 – 109 Calcium 5.09 mg/dL 4.5 -5.6 Magnesium 2.4 mg/dL 1.8 – 2.4 Natrium urin 24 jam 10 meq/L 54 – 150 Osmolalitas urin 24 jam 56 mOsm/kgH2O 54 – 150 Osmolalitas plasma 323 mOsm/kgH2O 280 -395 TSHs 1.7 uIU/mL 0.3 – 5 fT4 1.1pmol/L 0.8 – 1.7 Follicle Stimulating Hormon FSH
0.54 uIU/mL 1 – 7
Lutenizing Hormon (LH) < 0.5 mIU/mL 1.5 – 12.4 Testosteron < 2.5 ng/dL 249 -836 Prolactin 6.95 ng/mL 3.46 – 19.40 Arginine Vasopressin (AVP) < 1.0 1.0 – 13.3 Insulin Growth Factors 1 (IGF1)
49 ng/mL 117 - 329
5
Pasien dibuat diagnosis Post Traumatic Panhypopituitarism (diabetes
insipidus, hipogonadisme dan insufisiensi growth hormone) dan mendapatkan
terapi sulih hormon.
Diskusi
Pendekatan diagnosis pada kasus ini berdasarkan gejala klinis berupa
poliuri dan polidipsi yang merupakan gejala dominan diabetes insipidus,
gangguan perkembangan seks sekunder dan gangguan pertumbuhan.
Pendekatan Diagnosis Diabetes Insipidus
Dua mekanisme dasar diabetes insipidus adalah gangguan pelepasan ADH
oleh hipotalamus atau hipofisis (sentral) dan gangguan respons terhadap ADH
oleh ginjal (nefrogenik). Dilakukan pendekatan diagnosis (gambar 2) berdasarkan
hasil laboratorium dengan hasil arginin vasopressin yang rendah, elektrolit
normal, osmolaritas < 300 dan ureum, kreatinin normal.
Gambar 2. Pendekatan diagnosis diabetes insipidus (dikutip dari: Kaira S,dkk)
Pendekatan Diagnosis Gangguan Seks Sekunder
6
Perkembangan seks sekunder dan libido diatur oleh testosteron yang
dihasilkan dari sel-sel Leydig pada testis. Efek dari testosteron diantaranya adalah
pertumbuhan skeletal, perkembangan pubertas (massa otot, ukuran penis,
perubahan suara) dan distribusi rambut tubuh pada pria. Regulasinya berdasarkan
Hypothalamo-Pituitary-Testicular Axis, terjadi proses feed back mechanism
dimana hipotalamus menghasilkan gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang
akan menstimulasi pituitari anterior untuk mensekresikan luteinizing hormone
(LH) dan follicle stimulating hormone (FSH). LH akan merangsang sel-sel Leydig
untuk menghasilkan testosteron sedangkan FSH bekerja di tubulus seminiferus
dalam proses spermatogenesis.
Hipogonadisme ditandai dengan kegagalan testis memproduksi
spermatozoa dan/ atau testosteron. Manifestasi dari hypogonadism dapat berupa
defisiensi testosteron dan atau infertlitas. Gangguan pada testosteron dapat
berasal dari gangguan pada gonad, pituitari ataupun hipotalamus. Untuk
menentukan hipogonadisme dapat dilakukan pemeriksaan FSH, LH, testosteron
dan prolaktin. Dari pemeriksaan hormon tersebut dapat disimpulkan bahwa :
o Bila kadar testosteron rendah dan FSH serta LH meningkat
kemungkinan suatu hipogonadisme primer (hypergonadotropic
hypogonadism)
o Bila kadar testosteron rendah dan FSH serta LH normal/rendah
kemungkinan suatu hipogonadisme sekunder (hypogonadortopic
hypogonadism)
o Bila kadar testosteron/LH/FSH dan prolaktin normal dapat
menyingkirkan hipogonadisme sekunder karena kelainan endokrin.
Hypogonadotropic hypogonadism (secondary hypogonadism) merupakan
suatu sindroma klinis akibat kegagalan gonad yang disebabkan oleh kadar
gonadotropin yang abnormal. Penyebab hypogonadotropic hypogonadism :
1. Kongenital
Insidensi 1-10 : 100.000 kelahiran. Terdiri atas :
a. Normosmic (Idiopatic hypogonadism)
b. Anosmik (Kallmann’s syndrome)
7
2. Didapat
- Tumor : prolactinoma, Rathke’s pouch cyst, craniopharyngioma,
germinoma, teratoma, meningioma, glioma, astrocytoma, metastatis
kanker (payudara, paru, prostat)
- Defisiensi gonadotropin fungsional: penyakit kronik sistemik, penyakit
akut, malnutrisi, hipotiroidisme primer, hyperprolactinemia, obesitas,
diabetes mellitus, sindroma Cushing, anorexia nervosa, bulimia, penyakit
autoimun, sindrom nefrotik, sickle cell disease, thalassemia, alkoholik
- Penyakit infiltratif : hemochromatosis, sarcoidosis, penyakit
granulomatous, histiocytosis, lymphocytic hypophysitis
- Infeksi : tuberkulosis, HIV/AIDS, sifilis, jamur
- Trauma : kontusio serebri, hypophysectomy
- Vaskular : iskemia, Sheehan’s syndrome, pituitary apoplexy
- Obat-obatan : opioid, anabolic steroids, kortikoteroids, narkotika
Pendekatan Defisiensi Growth Hormone pada cedera kepala
Defisiensi GH merupakan defisiensi hormon yang paling sering ditemukan
pada pasien dengan riwayat cedera kepala. Pasien dengan riwayat cedera kepala
dan tinggi badan tidak sesuai dengan mid-parental heihgt dapat dilakukan
pendekatan diagnosis sesuai gambar 5.
Apabila IGF-I normal untuk usianya, maka kemungkinan defisiensi GH
klasik atau malnutrisi dapat disingkirkan; bila IGF-I rendah, maka perlu
dipertimbangkan usia tulang, status nutrisi, dan kondisi kesehatan sebelum
menginterpretasikan nilai ini. Apabila defisiensi GH atau gangguan hypothalamic-
pituitary lain ditemukan, MRI diindikasikan terutama untuk meyingkirkan
gangguan kongenital atau neoplasma pada area hypothalamic-pituitary. Adanya
lokasi ektopik dari pituitari posterior pada MRI sering ditemukan pada defisiensi
GH kongenital, dan juga penurunan volume pituitary atau gangguan pituitary
stalk.
Diagnosis growth hormon deficiency (GHD) pada dewasa sebagai standar
8
baku emas membutuhkan Insulin Tolerance Test (ITT) dan GHRH-arginine test.
Apabila kedua tes ini tidak praktis atau terdapat kontraindikasi pada pasien, maka
tes stimulasi glukagon dapat dilakukan. Namun apabila tes ini pun sulit untuk
dilakukan, hasil IGF-1 yang rendah dengan adanya lesi struktural atau defisiensi
hormon multipel tanda adanya kondisi katabolik seperti diabetes yang sulit
dikontrol, gangguan liver, dan terapi estrogen adalah bukti kuat untuk GHD.
Talaksana yang diberikan pada panhipopituitarisme yang diakibatkan
cedera kepala bersifat simptomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal
yang dapat dilakukan adalah pemberian terapi pengganti hormon.
Terapi diabetes insipidus sentral pilihan utama adalah desmopressin , analog
ADH buatan memiliki masa kerja long acting dan potensi antidiuretik dua kali
ADH. Tersedia dalam bentuk subkutan, intravena, intranasal dan oral. Pemberaina
awal pada malam hari untuk mengurang gejala nokturia, sedangkan pagi dan sore
hari sesuai kebutuhan dan saat munculnya gejala. Dosis awal oral adala 2x0.05
mg dapat ditingkakan hingga 3x0.4 mg. Preparat nasal(100 mcg/ml) dapat dimulai
dengan dosis 0.05-0.1 ml tiap12-24 jam selanjutnya sesuai kebutuhan individu.
Pemberian terapi pengganti hormon bertujuan untuk memperbaiki
perkembangan seks sekunder dan yang dapat dipilih pada pasien ini adalah :
a. Testosteron.
Pemberian testosteron merupakan terapi klasik untuk hipogonadism, bertujuan
untuk mengoptimalkan perkembangan seks sekunder dan fungsi seksual. Dari
beberapa penelitian didapatkan efek lain dari pemberian testosteron adalah
retensi natrium sehingga diharapkan juga dapat memberbaiki gangguan
elektrolit pada pasien ini. Testosteron tidak boleh diberikan pada pasien
dengan kanker prostat atau kadar prostate-specific antigen lebih dari 4 ng/mL
atau lebih dari 3 ng/mL pada laki-laki yang memiliki resiko tinggi terkena
kanker prostat, hematokrit lebih dari 50%, obstructive sleep apnea berat,
ataupun gagal jantung dengan NYHA class IV.
Beberapa preparat testosteron yang telah disetujui oleh FDA untuk
penggunaan klinis antara lain :
9
• Long-acting intramuscular
Testosteron intra muscular kerja panjang ini merupakan suatu ester
testosteron
(testosterone cypionate or enanthate) yang paling sering digunakan. Pada
remaja untuk menginduksi pubertas diberikan dosis inisial 50–75
mg/bulan dan secara bertahap ditingkatkan tiap 6 bulan hingga 100–150
mg/bulan. Pada dewasa diberikan dosis maintenance 200–250 mg im
setiap 2–3 minggu atau 1000 mg testosterone undecanoate setiap 3 bulan.
Pada pasien ini awalnya mendapatkan testosteron undecanoate (® Nebido)
750 mg im dan diulang dengan dosis yang sama pada empat minggu
berikutnya, setelah itu diberikan dosis maintenance 750 mg setiap 3 bulan.
• Transdermal testosterone hydroalcoholic gel dioleskan pada kulit non-
genital setiap malam hari. Terdiri atas dua sediaan 2.5 G (mengandung 25
mg testosteron) dan 5 G (mengandung 50 mg testosteron). Kadar
testosteron akan menetap selama 24 jam setelah penggunaan. Efeknya
berupa peningkatan libido dan mood setelah 30 hari terapi, serta
peningkatan massa dan kekuatan otot setelah 90-180 hari terapi diberikan.
Gel lebih dapat ditoleransi dan iritasi kulit lebih minimal dibandingkan
testosterone patches.
• Scrotal patch testosterone. Tersedia dalam ukuran 40 cm2 and 60 cm2,
mengandung 4 dan 6 mg testosteron. Cara pemakaiannya ditempel pada
kulit scrotum setiap pagi. Patch ini tidak efektif digunakan bila skrotum
kecil dan terdapat kelainan pada kulit skrotum.
• Testosteron oral. Tidak dianjurkan karena cepat dimetabolisme di hati
sehingga kadarnya dalam darah rendah, selain itu terdapat banyak efek
samping dari penggunaannya.
Pada pasien yang mendapatkan terapi testosteron harus dilakukan follow up
pada bulan ke 3, 6 dan 12 setelah pemberian terapi., diantaranya nilai hematokrit,
pemeriksaan fisik prostat dan kadar PSA. Terapi dihentikan bila hematokrit >
54% atau terdapat peningkatan nilai PSA yang signifikan.
10
Pilihan lain terapi hormon selain testosteron pada pasien hypogonadotropic
hypogonadism dengan pituitari yang intak adalah dengan pemberian GnRH
(gonadotropin releasing hormone). GnRH dapat diberikan secara subcutan
dengan infuse pump setiap 2 jam. Monitoring LH, FSH dan testosteron setiap 2
minggu hingga kadarnya normal dan setelah itu monitoring dapat dilakukan setiap
2 bulan. GnRH dapat meningkatkan ukuran testis dan menginisiasi
spermatogenesis pada pasien dengan hypogonadotropic hypogonadism.
b. GnRH (Gonadotropic Releasing Hormone)
Fertilitas pada pasien dengan hypogonadotropic hypogonadism hanya
menurun dikarenakan kurangnya stimulus pada sel-sel Sertoli untuk
spermatogenesis dan hal ini dapat dikembalikan dengan pemberian terapi
hormonal. GnRH diberikan jika kelainan berasal dari hipotalamus, biasanya
dengan penggunaan gonadotropin. Prediktor keberhasilan terapi tergantung
pada volume awal testis, tidak ada riwayat kriptorkismus, maturasi seksual
dan riwayat penggunaan terapi pengganti testosteron sebelumnya.
Cara pemberian GnRH adalah dengan infus subkutan pada dinding perut
setiap 2 jam dengan dosis 100-400 ng/kg. Terapi diberikan selama 4 bulan
dan biasanya lebih singkat dibandingkan dengan gonadotropin. Namun
demikian preparat GnRH ini sangat terbatas, harganya sangat mahal serta
cara pemberiannya dapat mengganggu kehidupan pasien.
c. Gonadotropin
Terapi ini dapat diberikan untuk semua kasus hipogonadisme sekunder
dan harus diberikan pada kasus dengan lesi pada pituitari atau kerusakan
reseptor GnRH. Terapi gonadotropin dapat dimulai dengan memberikan hCG
1.000-2.500 IU dua kali seminggu selama 8-12 minggu. Pada beberapa kasus,
pemberian hCG saja dapat menginduksi spermatogenesis tetapi pada individu
yang tidak memiliki FSH endogen yang cukup, terapi dapat ditambahkan
dengan hMG (human menopausal gonadotropins) 75-150 IU tiga kali
seminggu selama delapan belas bulan. Kombinasi terapi ini dapat
menimbulkan pertumbuhan testis dan terjadinya spermatogenesis pada 90%
11
pasien. Penggunaan gonadotropin ini sangat membutuhkan disiplin yang
ketat, waktu yang lama serta biaya yang sangat mahal.
Pasien dewasa dengan defisiensi GH dapat diberikan terapi sulih GH
dengan selalu malakukan evaluasi berkala
Gambar 3. Terapi sulih GH pada Adult Growth Hormone Deficiency
Sumber: Boguszewski
Kesimpulan
Disfungsi hipofisis akibat cedera kepala merupakan kejadian yang sering
terjadi namun seringkali tidak terdeteksi karena Posttraumatic
TerapisulihGH
Dosisinisial(injeksis.c.sebelumtidur):Dewasamudapria:0.2mg/hari
Dewasamudawanita:0.3mg/hariUsiatuaL0.1mg/hari
Titrasidosis
Interval1-2bulan:Pemeriksaanklinis(BMI,lingkarpanggul),
QoL,efeksamping,IGF-1
Dosisrumatan
Interval6-12bulan:Pemeriksaanklinis(BMI,lingkarpanggul),QoL,efeksamping,IGF-1,profillipid,
guladarah
Interval12bulan:Antropometrimudah,DXA(massaotot,massa
lemak)
Interval24bulan:DXA(BMD)
12
Panhypophituitarism dapat muncul secara akut maupun kronis setelah terjadi
trauma. Gejala hipopituitari akibat trauma dapat muncul secara tidak spesifik
sehingga seringkali hipopituitarisme tidak terdeteksi. Gangguan fungsi hipofisis
akibat cedera kepala diatasi dengan terapi sulih hormon untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien .
Daftar Pustaka
1. Kalra S, Zargar AH, ,Jain SM, Sethi B, Chowdhury S, Singh AK, et al. Diabetes insipidus: The other diabetes. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism. 2016. 20:9-21
2. Sarma RSVN. Algorithmic Approach for the Diagnosis of Polyuria. Dalam: Munjal YP. API Text Book of Medicine Tenth edition. Mumbai. The Association of Physician of India. 2105. 311-313.
3. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Diabetes Insipidus. NIH Publication. 2008. No. 08-04620.
4. Christ-Crain M, Fenske W. Copeptin in the diagnosis of vasopressin-de- pendent disorders of fluid homeostasis. Nat Rev Endocrinol. 2016;12(3):168–76 . �
5. Styne D. Puberty. Dalam: Shoback D, Gardner DG. Greenspan�s Basic & Clinical Endocrinology 10th Edition. San Fransisco. McGraw-Hill. 2018. 547-573.
6. Viswanathan V1, Eugster EA. Etiology and Treatment of Hypogonadism in Adolescents. Pediatr Clin North Am. 2011. Oct ;58(5):1181-200.
7. Bhasin S, Cunningham GR, Hayes FJ, Matsumoto AM, Snyder PJ, et al. Testosterone Therapy in Men with Androgen Deficiency Syndromes: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2010 Jun;95(6):2536-59.
8. Styne Dennis. Growth. Dalam: Shoback D, Gardner DG. Greenspan�s Basic & Clinical Endocrinology 10th Edition. San Fransisco. McGraw-Hill. 2018. 137-171.
9. Molitch ME, Clemmons DR, Malozowski S, Merriam GR, Vance ML. Evaluation and Treatment of Adult Growth Hormone Deficiency: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2011 Jun;96(6):1587-609.
10. Boguszewski CL. Growth Hormone Deficiency (GHD) in Adults: To Treat or Not To Treat? Revista Argentina de Endocrinología y Metabolismo. 2010. Vol 4l 477. No 3
13
Makroadenoma Hipofisis dengan Gigantisme
Dinda Aprilia* , Eva Decroli*,Asman Manaf, Syafril Syahbuddin* *Subbagian endokrin dan metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
kedokteran Universitas Andalas /RSUP Dr.M.Djamil Padang
ABSTRAK Latar Belakang: Makroadenoma hipofisis merupakan tumor jinak dari sel kelenjar hipofisis yang berukuran >10 mm.1 Gigantisme adalah keadaan jarang yang ditandai dengan ukuran fisik dan perawakan besar secara ekstrim. Kelainan ini muncul pada saat epiphyseal growth plate masih terbuka (bayi, kanak-kanak, dewasa muda), sehingga pertumbuhan linear masih dimungkinkan. Kelainan ini disebabkan oleh hipersekresi kronis dari growth hormone (GH) dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1).2 Penyebabnya, mulai dari adenoma hipofisis yang mensekresi GH, tumor hipotalamus yang mensekresi growth hormone releasing hormone, dan yang sangat jarang adalah GH yang berasal dari fokus ektopik. Insiden adenoma hipofisis berkisar 20 kasus per 1 juta orang per tahun, dengan adenoma yang mensekresi GH (somatotroph) sekitar 3 kasus per juta per tahun.3
Metode: Laporan Kasus. Hasil: Laki-laki 45 tahun mengeluhkan lemah letih yang meningkat sejak 1 minggu yang lalu, mual muntah sejak 2 hari yang lalu. Pasien merasa tinggi dan ukuran badan pasien sangat besar sejak 28 tahun yang lalu, dan terjadi pertumbuhan tinggi yang jauh melebihi usia sebayanya, serta ukuran alas kaki pasien bertambah secara tidak wajar. Benjolan di leher sejak 5 tahun yang lalu dan nyeri sendi. Pemeriksaan fisik menunjukkan tinggi badan 225 cm, ukuran tangan dan kaki yang besar, macrognathia, maloklusi rahang dan nyeri sendi lutut ketika digerakkan. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan IGF-1 sebesar 462 ng/mL, GH >120 ng/mL. MRI Kepala memperlihatkan pembesaran hipofisis sebesar 3,3 x 2,8 x 3,6 cm. USG tiroid dengan kesan tumor tiroid dan sonografi ginjal menunjukkan adanya kista multipel serta gambaran ginjal kronik. Pasien didiagnosis sebagai gigantisme ec makroadenoma hipofisis, tumor tiroid, chronic kidney disease (CKD) stage V, serta menjalani hemodialisis sebagai terapi pengganti ginjal. Diskusi: Pasien didiagnosis dengan gigantisme berdasarkan pemeriksaan fisik tinggi badan 225 cm, pertumbuhan tinggi yang berlebihan sejak berumur 17 tahun, dimana diduga epiphyseal growth plate masih terbuka. Studi mengatakan complete fusion (penutupan sempurna) dari growth plate terjadi pada umur 19 tahun pada laki-laki.4 Akromegali berdasarkan abnormalitas profil wajah, yaitu rahang besar (macrognathia) dengan maloklusi. Serta ukuran ekstremitas yang bertambah besar, diketahui dari bertambahnya ukuran alas kaki pasien pada masa dewasa. Diagnosis dikonfirmasi dengan peningkatan IGF-1 dan GH yang menandakan hipersekresi kedua hormon tersebut.5 Brain MRI mengkonfirmasi makroadenoma hipofisis. Pasien direncanakan pembedahan debulking hipofisis, dilanjutkan dengan terapi analog somatostatin, namun pasien menolak untuk dilakukan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut. Kata kunci: makroadenoma hipofisis, gigantisme, akromegali.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Grattan, DR. The hypothalamo-prolactin axis. Journal of Endocrinology. Dunedin. 2015; 226, T101-T122
2. Shmouni, FH. Genetics of Gigantism and Acromegaly. Growth Hormone & IGF Research. 2016, 30-31, 37-41
3. Dineen, R. Stewart, PM. Sherlock, M. Acromegaly. Oxford University Press. 2017; 411-420
4. Crowder, C. Age ranges of epiphyseal fusion in the distal tibia and fibula of contemporary males and females. Journal of Forensic Sciences. 2005; 50(5):1001-7
5. Lugo G, Pena L, Cordido F. Clinical Manifestatations and Diagnosis of Acromegaly. International Journal of Endocrinology. 2012: 540398
15
ABSTRAK
SINDROMA MENYERUPAI DIABETES INSIPIDUS PADA PASIEN DENGAN CEDERA TULANG BELAKANG
Agustia Sukri Ekadamayanti1, Sarah Firdausa2, Hendra Zufry2, Krishna W Sucipto2 1Peserta program studi Sp2 Ilmu Penyakit Dalam peminatan endokrin metabolik & diabetes 2Divisi Endokrin Metabolik & Diabetes
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala-RSU Pendidikan dr. Zainoel Abidin Banda Aceh-Indonesia
Pendahuluan : Poliuria didefinisikan sebagai peningkatan jumlah urine output yang secara relative tidak sesuai terhadap volume darah arteri efektif dan natrium serum. Pada orang dewasa, polyuria secara objektif dikatakan sebagai volume urin lebih dari 3 - 3,5 L per hari dengan osmolalitas urin yang rendah (<300 mmol / kg). Poliuria dan polidipsia bukan merupakan gangguan yang dikenali secara baik pada pasien dengan cedera medulla spinalis, tetapi dokter harus mengetahui metode yang tepat untuk mengevaluasi kondisi polyuria sehingga dapat menentukan diagnosis yang tepat pula. Laporan Kasus : Seorang wanita, 23 tahun, datang ke rumah sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dengan keluhan buang air kecil (BAK) yang berlebih sejak Februari 2019. Frekuensi buang air kecilnya sekitar 10-15 kali / hari, frekuensinya sama antara pagi dan malam hari. Tidak ada keluhan nyeri dan rasa tidak lampias pada saat BAK. Dia juga merasa haus berlebihan karena sering buang air kecil. Jumlah air yang diminum pasien sekitar 10 L / hari. Pada waktu yang hampir bersamaan, pasien juga mengeluh cegukan, yang terasa sepanjang hari. Sejak setahun lalu pasien juga mengeluhkan air liur berlebihan. Tidak ada keluhan rasa sakit di tenggorokan atau kesulitan menelan. Dari pemeriksaan fisik, sensorium compos mentis, tekanan darah 120/70 mmHg. Nadi 88 x / menit, RR 20 x / menit, T 36,80C. Ditemukan adanya bekas luka operasi di leher. Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan kepala, dada, jantung, perut, dan ekstremitas. Pasien ini dikonsulkan dari departemen ortopedi. Pada akhir Januari 2019, pasien menjalani operasi stabilisasi anterior dengan fusi pada tulang cervical dikarenakan adanya destruksi pada vertebrae cervikalis 4-6. Pasien dengan riwayat penggunaan narkotika, alkohol, dan seks bebas, sehingga diperkirakan bahwa kerusakan tulang belakangnya disebabkan oleh infeksi TBC. Namun kami tidak melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mencari penyebab destruksi tersebut, tetapi fokus pada gejala poliuria dan polidipsia-nya. Kami melakukan pengumpulan urin 24 jam dan didapatkan volume urin 0f 6000 ml. Pemeriksaan lebih lanjut menemukan kadar natrium plasma 145 mmol / L; potasium 4,5 mmol / L; klorida 109 mmol / L; glukosa darah acak 104 mg / dL, Ureum 6 mg / dL, dan Creatinin 0,58 mg / dL. Osmolalitas plasma 296,78 mOsm / kg. Dari analisis urin kami menemukan bahwa berat jenis urin adalah 1.010; pH 6,0; protein (+); dan glukosa (-). Kami tidak melakukan pemeriksaan osmolalitas urin dan water depriviation test karena sumber daya kami yang minimal. Kami juga tidak mengukur Anti Diuretic Hormone (ADH) karena tidak ada cedera pada otak. Diskusi: Penelitian pada 59 pasien yang mengalami cedera tulang cervical, didapatkan bahwa semuanya mengalami polydipsia dan poliuria, sehingga disimpulkan bahwa dikarenakan sistem hipotalamus dan hipofisis nya utuh, maka mekanisme terjadinya polyuria dan polydipsia hanya dapat dijelaskan karena kegagalan pengiriman impuls saraf dari pusat neuron yang bertanggung jawab terhadap regulasi air di hipotalamus untuk melewati bagian tulang yang mengalami cedera (cervical). Teori lain adalah karena pada cedera tulang belakang terdapat gangguan sirkulasi hipofisis posterior karena gumpalan lemak, trombus, dan hipovolemia yang mengakibatkan hipoksia dan nekrosis jaringan, dan bahwa setelah trauma tulang belakang, tonus simpatis menjadi terganggu dan menyebabkan pelebaran pembuluh darah. yang mengarah ke hipotensi. Kedua kondisi tersebut dapat mengganggu produksi dan sekresi ADH. Penyebab yang sama dapat diterapkan pada operasi tulang belakang besar di mana sering terjadi kehilangan darah dan hipotensi yang signifikan, yang dapat menyebabkan hipoperfusi hipofisis posterior, nekrosis jaringan, dan menyebabkan DI. Meskipun CDI biasanya diinduksi oleh cedera kraniocerebral, kondisi ini dapat disebabkan oleh cedera tulang belakang jika terjadi hipoperfusi dan hipoksia neurohipofisis dan median eminensia, dengan atau tanpa disertai syok hemoragik.
Kata Kunci : Diabetes Insipidus, cedera tulang belakang, cedera tulang cervical
16
Pendahuluan
Poliuria didefinisikan sebagai peningkatan jumlah urine output yang secara relative tidak
sesuai terhadap volume darah arteri efektif dan natrium serum. Pada orang dewasa, polyuria
secara objektif dikatakan sebagai volume urin lebih dari 3 - 3,5 L per hari dengan osmolalitas
urin yang rendah (<300 mmol / kg)(1). Poliuria merupakan suatu kondisi yang dapat mengganggu
aktifitas sehari-hari dan jadwal tidur pasien(2).
Poliuria dan polidipsia bukan merupakan gangguan yang dapat dikenali secara baik pada
pasien dengan cedera tulang belakang, tetapi dokter harus mengetahui metode yang tepat untuk
mengevaluasi kondisi polyuria sehingga dapat menentukan diagnosis yang tepat pula(3).
Kami akan menyajikan sebuah laporan kasus seorang wanita dengan polyuria dan
polydipsia setelah cedera tulang belakang.
Laporan Kasus
Seorang perempuan berusia 23 tahun datang ke rumah sakit dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh dengan keluhan buang air kecil (BAK) yang berlebih sejak Februari 2019. Frekuensi buang
air kecilnya sekitar 10-15 kali / hari, frekuensinya sama antara pagi dan malam hari. Tidak ada
keluhan nyeri dan rasa tidak lampias pada saat BAK. Dia juga merasa haus berlebihan karena
sering buang air kecil. Jumlah air yang diminum pasien sekitar 10 L / hari. Pada waktu yang
hampir bersamaan, pasien juga mengeluh cegukan, yang terasa sepanjang hari. Sejak setahun
lalu pasien juga mengeluhkan air liur berlebihan. Tidak ada keluhan rasa sakit di tenggorokan
atau kesulitan menelan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan sensorium compos mentis, tekanan darah 120/70
mmHg. Nadi 88 x / menit, RR 20 x / menit, T 36,80C. Ditemukan adanya bekas luka operasi di
leher. Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan kepala, dada,jantung , perut, dan ekstremitas.
Pasien ini dikonsulkan dari departemen ortopedi. Pada akhir Januari 2019, pasien menjalani
operasi stabilisasi anterior dengan fusi pada tulang cervical dikarenakan adanya destruksi pada
vertebrae cervikalis 4-6. Pasien dengan riwayat penggunaan narkotika, alkohol, dan seks bebas,
17
sehingga diperkirakan bahwa destruksi tulang belakangnya disebabkan oleh infeksi TBC. Namun
kami tidak melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mencari penyebab destruksi tersebut,
tetapi fokus pada gejala poliuria dan polidipsia-nya.
Kami melakukan pengumpulan urin 24 jam dan didapatkan volume urin 0f 6000 ml.
Pemeriksaan lebih lanjut menemukan kadar natrium plasma 145 mmol / L; potasium 4,5 mmol /
L; klorida 109 mmol / L; glukosa darah acak 104 mg / dL, Ureum 6 mg / dL, dan Creatinin 0,58
mg / dL. Osmolalitas plasma 296,78 mOsm / kg. Dari analisis urin kami menemukan bahwa
berat jenis urin adalah 1.010; pH 6,0; protein (+); dan glukosa (-). Kami tidak melakukan
pemeriksaan osmolalitas urin dan water depriviation test karena sumber daya kami yang
minimal. Kami juga tidak mengukur Anti Diuretic Hormone (ADH) karena tidak ada cedera pada
otak.
Gambar dibawah ini merupakan pemeriksaan radiologi pada saat rawatan sebelumnya :
BeforeSurgery AfterSurgery
18
Karena keluhan polyuria dan polidipsi pasien muncul tidak lama setelah dilakukan
operasi, kami memikirkan bahwa keluhan tersebut berhubungan dengan terjadinya cedera pada
tulang belakang karena tindakan operasi. Karenanya, otak pasien tetap utuh dan tidak terganggu,
oleh karena itu tidak terjadi gangguan pada produksi dan sekresi ADH. Kami mendiagnosa
gejala polyuria dan polydipsia pasien dengan sindroma menyerupai diabetes insipidus karena
adanya cedera pada tulang belakang.
Pasien di terapi dengan pemberian desmopresin asetat 3 x 0,1 mg dan baclofen 1 x 1 mg.
Pasien berespon baik dengan pemberian terapi, terdapat perbaikan pada keluhan polyuria dan
polidipsi nya dan pasien dapat dipulangkan dalam 3 hari.
Pasien kemudian masuk opname kembali di rumah sakit satu bulan setelah dipulangkan
dengan keluhan yang sama dikarenakan pasien tidak mengkonsumsi obatnya selama 2 minggu.
Setelah pasien mengkonsusmsi kembali obat seperti yang diberikan sebelumnya, respon nya
sangat baik. Frekuensi BAK nya berkurang dan volume urin 24 jam nya menurun.
Diskusi
Sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh Dr. L. J. Pollock, yang pertama kali
menggunakan istilah sindroma menyerupai diabetes insipidus (diabetes insipidus like syndrome)
untuk menjelaskan pasien yang mengalami poliuria dan polydipsia namun tidak mengalami
cedera otak. Para ilmuwan ini tertarik pada efek dari cedera tulang belakang pada fungsi otonom
seperti metabolisme air. Mereka memiliki kesempatan untuk melakukan penelitian pada
sekelompok veteran yang mengalami cedera pada sumsum tulang belakang. Lima puluh
Sembilan (59) veteran mengalami cedera pada bagian servikal dari tulang belakang, baik karena
penetrasi kanal tulang belakang oleh proyektil atau oleh cedera tertutup yang mengakibatkan
dislokasi atau fraktur dari tulang belakang. Semua pasien yang mereka teliti mengalami
polydipsia dan poliuria. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa karena pasien mereka
mengalami cedera pada cervical tulang belakang, sistem hipotalamus dan hipofisis masih tetap
utuh, sehingga sekresi hormon oleh hipofisis posterior dapat berlanjut tanpa gangguan dan
impulse neuron pada kedua struktur ini adalah normal, sehingga mekanisme untuk keadaan
poliuria dan polydipsia ini hanya dapat dijelaskan karena terjadinya kegagalan pengiriman
19
impuls saraf dari pusat neuron yang bertanggung jawab terhadap regulasi air di hipotalamus
untuk melewati bagian tulang cervical yang mengalami cedera. Mereka percaya bahwa
gangguan pada level cervical dari jalur sistem saraf menyebabkan impuls dari level yang lebih
tinggi tidak dapat turun ke level neuron yang lebih bawah neuron yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya sindrom menyerupai diabetes insipidus ini (4).
Cedera pada nervus vagus juga dianggap sebagai etiologi diabetes insipidus (DI). Cedera
nervus vagus secara klasik ditandai dengan suara serak, disfagia, kelumpuhan otot konstriktor,
dan hilangnya sensasi dari saraf laring superior, dan deviasi uvula ke sisi kontralateral karena
tarikan otot palatal, serta palatal drop pada sisi ipsilateral lesi(5). Pasien ini tidak memiliki
kesulitan menelan atau rasa sakit di tenggorokannya, meskipun pasien ini mengalami
hipersalivasi, yang berbeda dari pasien lain yang mengalami polyuria dimana biasanya memiliki
sedikit air liur atau mulut yang menjadi kering. Studi pada hewan oleh Towbids melaporkan
bahwa vagotomi bilateral pada anjing hanya menghasilkan sedikit peningkatan jumlah air yang
dikonsumsi. Dragsted, yang telah melakukan banyak vagotomi ganda pada manusia, melaporkan
bahwa tidak ada poliuria atau polidipsia yang mengikuti prosedur ini (4).
Teori lain adalah karena pada cedera tulang belakang terdapat dapat terjadi gangguan
sirkulasi hipofisis posterior karena gumpalan lemak, trombus, dan hipovolemia yang
mengakibatkan hipoksia dan nekrosis jaringan (6). Dan teori lainnya adalah bahwa setelah trauma
tulang belakang, tonus simpatis menjadi terganggu dan menyebabkan pelebaran pembuluh darah.
Yang akan menyebabkan terjadinya hipotensi, kedua kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya
perubahan aliran darah pada neurohypophysis dan median eminence yang akan menyebabkan
terjadinya gangguan pada produksi dan sekresi ADH yang akan mencetuskan terjadinya DI(7).
Penyebab yang sama dapat diterapkan pada operasi besar tulang belakang di mana sering
terjadi kehilangan darah dan hipotensi yang signifikan, sehingga dapat mengakibatkan
hipoperfusi hipofisis posterior, nekrosis jaringan, dan menghasilkan DI(5). Meskipun diabetes
insipidus sentral (DIS) biasanya diinduksi oleh cedera craniocerebral, kondisi ini dapat
disebabkan oleh cedera tulang belakang jika terjadi hipoperfusi dan hipoksia dari
neurohypophysis dan median eminence, dengan atau tanpa disertai syok hemoragik(7).
Kesimpulan
20
Telah dilaporkan seorang perempuan berusia 23 tahun dengan polyuria dan polydipsia
setelah terjadinya destruksi pada vertebra cervikalis 4-6 dan menjalani operasi stabilisasi anterior
dengan fusi. Yang didiagnosis sebagai sindroma menyerupai diabetes insipidus akibat cedera
tulang belakang. Mekanisme terjadinya polydipsia dan poliuria ini diduga karena gangguan pada
tingkat vertebra cervical, sehingga impuls dari tingkat yang lebih tinggi dalam sistem saraf, tidak
dapat turun ke titik-titik neuron yang bersangkutan dalam regulasi metabolisme air. Hipotesa lain
adalah karena hipoperfusi dan hipoksia pada neurohypophysis dan median eminence yang dapat
mengganggu produksi dan sekresi ADH yang dapat menyebabkan DI.
21
Daftar Pustaka
1. Lithgow K, Corenblum B. Polyuria : A pathophysiologic approach. Canadian Journal of General Internal Medicine. 2017;12(2):36-39
2. Bhasin B, Velez JCQ. Evaluation of polyuria : The roles of solute loading and water diuresis. Am J Kidney Dis. 2016;67(3):507-511
3. Oz B, Olmez N, Memis A, Oruk G. Differential diagnosis of polyuria and polydipsia in a patient with spinal cord injury: A case report. Am J Phys Med Rehabil 2005;84:817–820
4. Brown M, Pyzik S, Finkle JR. Causes of polyuria and polydipsia in patients with injuries of the cervical spinal cord. Neurology. 1959;9(12):877-882
5. Erman AB, Kejner AE, Hogikyan ND, Felman EL. Disorders of Cranial Nerves IX and X. Semin Neurol. 2009;29(1):85-92
6. Rosenbaum BP, Steinmetz MP. Central diabetes insipidus after staged spinal surgery: case report. Global Spine J. 2013;3:257-260
7. Kuzeyli K, çakir E, Baykal S, Karaarslan G. Diabetes insipidus secondary to penetrating spinal cord trauma: case report and literature review. Spine. 2001;26(21):E510-511
22
ABSTRAK PROBLEM DIAGNOSIS HYPERPARATIROID PRIMER dan
PENATALAKSANAAN PASCA OPERASI
Libriansyah, Christian Jonatan, Dananti Kusumawindani, Sony Wibisono
Pendahuluan:
Karsinoma Paratiroid adalah malignansi endokrin yang sangat jarang terjadi. Pembedahan adalah moda utama terapi. Pada pasien yang dilakukan operasi paratiroidektomi akan terjadi hipokalsemia. Hungry Bone Syndrome adalah suatu keadaan hipokalsemia berat yang berkepanjangan disertai hipofosfatemia dan hipomagnesemia yang terjadi setelah paratiroidektomi. Kasus:
Seorang lelaki, 46 tahun, rujukan RS lain dengan diagnosis Faktur Humerus Dextra dan Subtrachonter Femur Sinistra. Anamnesis : tangan dan kaki sakit dan tidak dapat digerakkan setelah jatuh terpeleset. Pasien tidak mempunyai keluhan atau riwayat penyakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik : pada ekstremitas didapat deformitas regio brachii dextra dan femur sinistra. Laboratorium, didapatkan serum kreatinin 2,23 mg/dL; natrium 132,5 mmol/L; kalium 4,37 mmol/L dan Calsium 15,3 mg/dL. Bone Survey, didapati fraktur, disertai multiple lesi litik, gambaran Multiple Myeloma atau Metastatic Bone Disease. Diagnosis kerja Multiple Myeloma, selanjutnya : terjadi peningkatan kadar Calsium, alkali fospatase, ekskresi Calsium melalui urin 1.086 mg/24jam 50-400); hormone paratiroid intak 4.063 pg/mL (15-65), USG abdomen: Nefrolithiasis bilateral; USG colli: kelenjar parathyroid tidak tervisualisasi; USG thyroid: Moderat suspicious lobus kiri (TIRADS 4); FNAB: kelenjar thyroid lobus kiri, dengan hasil nodular koloid goiter dengan sel-sel atipikal; BMA: normal. Didiagnosis sebagai Hyperparatiroid primer dengan kecurigaan tumor paratiroid intra thyroid.
Tanggal 30 April dilakukan lobektomi kelenjar tiroid kiri dan total paratiroidektomi dilanjutkan dengan vries coupe, hasil pemeriksaan histologi patologi anatomi : Invasive parathyroid carcinoma. Diagnosis pasca operasi: Karsinoma paratiroid.
Sejak minggu Pertama pasca operasi: mulai ditemui tanda Chvostek dan Trousseau, laboratorium memperlihatkan penurunan fungsi tiroid, terjadi hipocalsemia berat, hipofastfatemia dan hipomagnesemia. Didiagnosis sebagai Hungry Bone Syndrome dan Hypothyroidism. Pengobatan secara intravena: MgSO4 (IV dalam bentuk drip) dan pemberian pump Ca Glukonas titrasi hingga 8000mg per 24 jam; sedangkan terapi peroral: Levothyroxine, Posphat oral, Calcitriol dan Antasida Doen. Direncanakan operasi fiksasi tulang yang fraktur.
Tanggal 25 Mei 2019, keluhan terhadap kram dan kejang sudah tidak ada lagi, Laboratorium : PTH intact 26,74 pg/mL (15-65); Ca 8,2; K 3,7; Na 138; Ft4 2,02; TSH 4,85; albumin 3,5. Karena operasi fiksasi ditunda menyesuaikan jadwal orthoped, pasien pulang dengan diagnosis akhir : Hungry Bone Syndrome pasca operasi Ca Parathyroid dengan hypothyroidism + fraktur os humerus kanan dan os femur kiri. Diterapi dengan Diet TKTP ekstra Calsium + Euthyrax 2x100 mcg + CaVit D3 3x1 capsul + Calsium tablet 3x1 + Antasida Doen tablet 3x1 + konsumsi air minimal 2500 cc/24 jam.
Pembahasan:
Hiperparatiroid primer didefinisikan sebagai keadaan terdapatnya kadar kalsium serum yang tinggi dengan kadar hormon paratiroid yang tidak tersupresi (tinggi atau inappropriately normal). Sekitar 80% kasus hiperparatiroid disebabkan single adenoma, sedangkan 10 – 11% disebabkan oleh multipel adenoma dan kurang dari 10% disebabkan karena hiperplasia. Karsinoma paratiroid menyebabkan kurang dari 1% kasus hiperparatiroid primer. Pilihan terapi adalah Paratiroidektomi. Pasca paratiroidektomi akan terjadi hipokalsemia. Hipokalsemia yang berat dan berkepanjangan disertai hipofosfatemia dan hypomagnesemia dikenal sebagai Hungry Bone Syndrome. Terapi terbaik adalah pemberian hormone parathyroid continuos. Penanganan hipokalsemia berat dan akut dilakukan secara intravena dan kontinu. Kesimpulan: Telah dilaporkan seorang pasien dengan hyperparatiroid primer karena karsinoma paratiroid beserta permasalahan penegakkan diagnosis dan permasalahan penanganan pasca operasi.
23
LAPORAN KASUS
PROBLEM DIAGNOSIS HIPERPARATIROID PRIMER dan PENATALAKSANAAN PASCA OPERASI
Libriansyah, Sony Wibisono, Christian Jonatan, Dananti Kusumawindani PENDAHULUAN
Hiperparatiroid primer didefinisikan sebagai keadaan dimana terdapat kadar kalsium
serum tinggi dengan kadar hormon paratiroid yang tidak tersupresi. Hiperparatiroid primer,
dapat disebabkan oleh adenoma (> 90%), kurang dari 10% nya disebabkan oleh hiperplasia
dan kurang dari 1%nya karena karsinoma (Insogna, 2018) atau 0,2-0,5% dari semua
malignant endocrine tumors (Ohe et al, 2012)
Penyebab karsinoma paratiroid belum sepenuhnya terbuka. Adanya laporan kejadian
karsinoma paratiroid baik bentuk familial dan sporadik, dikaitkan dengan berbagai mutasi
pada gen HRPT2 pada kromosom 1q25-1q32, menunjukkan bahwa HRPT2 bertindak sebagai
gen penekan tumor (Ohe et al, 2012). Diagnosis ditegakkan melaui kombinasi pemeriksaan
intra-operatif dan histopatologis (Wei and Hahari, 2012). Kadar hormon paratiroid dan
Kalsium serum yang tinggi, dapat digunakan sebagai indikator penyakit ganas. Kadar hormon
lebih dari 300 pg/mL merupakan satu indikator karsinoma paratiroid (Digonnet et al, 2011).
Pembedahan adalah moda terapi utama, reseksi lengkap dengan margin negatif secara
mikroskopis adalah pengobatan yang direkomendasikan dan menawarkan peluang terbaik
untuk sembuh (Wei and Harari, 2012; Khan et al, 2017). Pasien yang dilakukan operasi
paratiroidektomi akan terjadi hipokalsemia (Ohe et al, 2012). Keadaan hipokalsemia berat
yang berkepanjangan, diikuti dengan hipofosfatemia dan hipomagnesemia setelah
paratiroidektomi, dikenal sebagai hungry bone syndrome (Witteveen et al, 2013). KASUS Seorang lelaki, SPD/46 tahun, pekerjaan tukang serabutan, Masuk RS Soetomo tanggal 7
maret 2019, rujukan salah satu RSUD dengan Fraktur Humerus Dextra dan Subtrachonter
Femur sinistra. Anamnesis : Keluhan utama tangan dan kaki nyeri tidak dapat digerakkan. Sejak dua bulan
SMRS, penderita sering mengeluh nyeri dan lemas pada lengan dan kaki. Tanggal 28 Februari,
24
pasien jatuh terpeleset, tangan kanan dan paha kiri sakit sekali dan tidak dapat digerakkan
lagi. Masuk RS Kabupaten dirawat satu minggu oleh orthopedic, dilakukan rontgen, didapati
Faktur Humerus Dextra dan Subtrachonter Femur Sinistra, direncanakan operasi. Minggu pertama perawatan, pada laboratorium, didapatkan hemoglobin 7,2 g/dl; serum
Kreatinin 2,23 mg/dL; Natrium 132,5 mmol/L; Kalium 4,37 mmol/L dan Kalsium 15,3
mg/dL. Pasien ditransfusi PRC dan Analgetik. Kemudian pasien dirujuk dan dirawat di bedah
orthopedic RS Soetomo. Pemeriksaan lanjutan didapatkan, Bone Survey : Multiple litic lesion kecil-kecil, difuse, di
calvaria, dapat merupakan gambaran Multiple Myeloma. Faktur komplit di 1/3 tengah os
humerus kanan dan fraktur komplit di 1/3 proksimal os femur kiri, disertai multiple lesi litik
di pelvis, os femur, os tibia et fibula, dapat merupakan Metastatic Bone Disease. Incidental
finding tampak multiple bayangan opaque yang terproyeksi setinggi VL1-2, Vth11-12 dan
VL1-2. Tanggal 29 Maret dikonsulkan ke Hematologi-onkologi-medik, dengan Fraktur Patologi
suspek Multiple Myeloma dan Anemia dengan diagnosis banding Metastatic bone disease. Tanggal 4 April, hasil pemeriksaan: Protein bence-jones negatif; ekskresi kalsium melalui
urin 1.086 mg/24jam; Haemoglobin 10,7 g/dL, SGOT/SGPT 17/10 IU/L; Albumin 3,55 g/dL;
Kalium 3,1 mmol/L; Fosfat 3,1 mg/dL; LDH 210 IU/L; Kalsium 12,9 mmol/L; Alkali
fosfatase 491; Bone Marrow Aspirasi normal. Diagnosis Multiple Myeloma disingkirkan.
Pasien mendapat Biphosphonate (zoledronic acid 3,5mg); KSR 600mg tiap 8 jam; Injeksi
Dexametason 5mg tiap 6 jam dan Ranitidine 50mg tiap 12 jam. Tanggal 14 April dikonsulkan ke Divisi Endokrinologi, direncanakan periksaan kadar hormon parathiroid. Tanggal 17 April, Kadar Kalsium menjadi 15,2 mmol/L, Kadar Natrium 139 mmol/L, Hormon
paratiroid intak 4.063 pg/dL, dengan rasio kalsium dibanding bersihan kreatinin sebesar 0,37;
USG abdomen: Nefrolithiasis bilateral. USG colli: kelenjar parathyroid tidak tervisualisai dan
terdapat nodul; pada lobus kiri kelenjar tiroid dengan kecurigaan jinak. USG thyroid: Moderat
suspicious lobus kiri (TIRADS 4), thyroid kanan tidak tampak kelainan, nonsuspicious
subcentimeter lymphonode di submandibular kanan, selanjutnya dilakukan FNAB kelenjar tiroid
lobus kiri: nodular koloid goiter dengan sel-sel atipikal. Dilakukan biopsy aspirasi pada close
fraktur regio femur: tidak didapatkan sel-sel ganas. Diagnosis banding metastase tulang
disingkirkan. Penderita didiagnosis sebagai Hyperparathyroid primer dengan kecurigaan
25
tumor parathyroid intra thyroid dengan Hiperkalsemia berat, hipokalemia, anemia, AKI,
nephrolitiasis bilateral dan fraktur tertutup humerus kanan et femur kiri. Pasien mendapat terapi
koreksi KCl dan asam zoledronate 3,5mg. Dexamethason di Taffering off cepat, direncanakan
lobektomi kelenjar tiroid kiri disertai isthmusektomi dan total parathyroidektomi. Tanggal 30 April 2019, dilakukan lobektomi kelenjar tiroid kiri disertai isthmusektomi dan
total paratiroidektomi dilanjutkan dengan vries coupe, dilanjutkan pemerikasaan histologi
patologi anatomi, hasil:
1. Nodul terbesar, VC: Ganas, mencurigakan parathyroid carcinoma.
2. Nodul kedua, VC: Hyperplasia nodul. Non Invasive follicular thyroid neoplasm with
papillary-like nuclear feature. Invasive parathyroid carcinoma.
3. Nodul terkecil, Area kalsifikasi. Pasien didiagnosis: Hyperparathyroid primer ec carcinoma parathyroid dengan
Hiperkalsemia berat refrakter, hypokalemia, AKI, nephrolitiasis bilateral dan fraktur patologis
tertutup humerus kanan et femur kiri . Pada perawatan post operasi, dilakukan evaluasi. Didapatkan hasil Hb 8,7 g/dL; WBC
24.770/uL; neut 93,9%; Plt 232000/uL; FT4 0,73 pmol/L; TsH 1,652 UIU/mL; K 4,4 mmol/L;
Na 135 mmol/L; Ca 8,2 mg/dL; Fosfat 4,1mg/dL; Mg 1,7 mg/dL. Diagnosis : Hypoparathyroid dengan Hypocalsemia + hypothyroid + Anemia + Sepsis
Diberikan kalk tablet 3x1, Eutyrax 2x100 dan Transfusi PRC sampai HB >10 g/dL;
pemberian antibiotic. Tgl 5/5/2019: K 4,7 mmol/L; Na 137 mmol/L; Cl 10; Ca 6,1 mg/dL. Diberikan injeksi Ca
Gluconas 3x1gr dalam NS 100cc selama 30 menit Tgl 6/5/2019 pasien direncanakan operasi fiksasi untuk fraktur humerus dan femur, dilakukan
evaluasi terhadap serum elektrolit. Tgl 6/5/19: Ca 6,6 mg/L. Operasi dibatalkan untuk perbaikan keadaan umum, karena resiko
operasi dengan hipokalsemia besar. Diberikan terapi Ca glukonas 3x1000 mg, calcitriol 2x1,
euthyrax 2x100. Tgl 9/5/19: Albumin 2,7; Ca 5,9 mmol/L. Tgl 10/5/19: Pasien mengeluh kaki dan tangan kaku, hasil laboratorium : Ca 5,7 mg/dL; Fosfat 2,1
mg/dL; Mg 1,2 mg/dL; K 3,6 mmol/L; Na 141 mmol/L; Cl 101mmol/L; Alb 2,6g/dL; BUN 13
mg/dL; Serum Kreatinin 1,29 mg/dL; Hb10,2 g/dL; WBC 10460 /uL; plt 201000/uL. Pasien
26
didiagnosis sebagai Hungry Bone Syndrome. Terapi ditambahkan MGSO4 40% dalam 500 pz
dalam 24 jam. Diberikan Ca glukonas 4x1000mg, osfit 3x1, antsida doen 3x1 tablet, euthyrax
2x100, Albumin Capsul 3x1, phosphate oral 4x200; Calcitriol 2x0,5mcg. Diberi terapi
motivasi dan latihan adaptasi terhadap kadar Calsium yang rendah. Evaluasi terhadap kadar Calsium dilakukan setiap hari, kadar Natrium, Kalium, Fosfat,
Magnesium dan fungsi tiroid dilakukan setiap minggu. Tanggal 25 Mei 2019, keluhan terhadap kram dan kejang sudah tidak ada lagi, Laboratorium:
PTH intact 26,74 pg/mL; Ca 8,2 mg/dL; K 3,7 mmol/L; Na 138 mmol/L; FT4 2,02 pmol/L;
TsH 4,85 UIU/mL; Albumin 3,5 gr/dL. Karena operasi fiksasi ditunda untuk menyesuaikan jadwal orthoped, pasien pulang dengan
diagnosis akhir: Hungry Bone Syndrome pasca operasi Ca Paratiroid dan tiroid dengan
Hipotiroid + fraktur tertutup os humerus dekstra et femur sinistra. Terapi saat pulang, Diet
TKTP ekstra Kalsium sesuai hasil konsul gizi + Tiroxin2x100mcg + CaVit D3 3x1 capsul +
Calsium tablet 3x1 + Antasidoen tablet 3x1 + konsumsi air minimal 2500cc/24 jam. Kontak 10 hari setelah KRS, keluhan pasien nyeri di seluruh tubuh, terutama lengan kanan
dan paha kiri. Kadar Kalium 4,8 mmol/L; Na 136mmol/L; Calsium 8,1 mg/dL. Terapi
sewaktu KRS dilanjutklan dan di RSUD kabupaten, tiap dua hari dilakukan pemberian Ca
Glukonas 1000mg injeksi.
DISKUSI
Hiperparatiroid primer didefinisikan sebagai keadaan terdapatnya kadar kalsium serum
yang tinggi dengan kadar hormon paratiroid yang tidak tersupresi (tinggi atau inappropriately
normal). Prevalensi hiperparatiroid primer di Amerika Serikat adalah 23 kasus dalam 10.000
perempuan dan 8 kasus dalam 10.000 laki – laki, sedangkan insidennya sebesar 66 kasus baru
dalam 100.000 perempuan setiap tahun dan 25 kasus baru dalam 100.000 laki – laki setiap tahun.
Di negara maju, 85% pasien hiperparatiroid primer dalam keadaan tidak bergejala. Hal ini
disebabkan karena pemeriksaan laboratorium skrining rutin dilaksanakan. Hanya 20% yang
datang dengan gejala. Gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan hiperparatiroid primer
adalah gejala akibat terdapat komplikasi baik pada ginjal (batu ginjal), maupun pada tulang
(fraktur, osteitis fibrosa cystica, nyeri tulang) atau gejala akibat hiperkalsemia. Sedangkan di
negara sedang berkembang, mayoritas pasien datang dalam keadaan bergejala (Insogna, 2018).
Pasien dirujuk dengan patah tulang tangan kanan dan kaki kiri. Pasien jatuh saat hendak
27
naik sepeda motor. Pasien jatuh karena tangan kanan dan kaki kiri dirasakan lemah. Pasien
juga mengeluhkan nyeri pada tangan kanan dan kaki kiri sejak 2 bulan sebelumnya. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan deformitas pada regio brachii dextra dan femur sinistra. Pada
foto humerus kanan dan femur kiri didapatkan fraktur komplit di 1/3 tengah os humerus
kanan dan fraktur komplit di 1/3 proximal os femur kiri.
Evaluasi pada penyakit ini meliputi kadar serum kalsium, hormon paratiroid intak,
bersihan kreatinin, ekskresi kalsium urin selama 24 jam, densitas tulang, dan pemeriksaan
radiologis untuk mengevaluasi batu saluran kemih (Insogna, 2018). Tabel 1. Diagnosis Banding Hiperkalsemia (Pallan, Rahman, & Khan, 2012)
Diagnosis Banding Hiperkalsemia Parathyroid hormone mediated
Hiperparatiroid primer Familial hypocalciuric hypercalcemia Hiperparatiroid tersier Produksi hormon paratiroid ektopik oleh tumor
Parathyroid hormone independent Kanker Penyakit granulomatosa Intoksikasi vitamin D Obat (thiazide, lithium) Milk alkali syndrome Insufisiensi adrenal Hipertiroidism Imobilisasi Toksiksitas vitamin A Penyakit ginjal kronik
Langkah untuk menegakkan diagnosis hiperparatiroid primer dapat menggunakan alur
diagnosis hiperkalsemia. Pada pasien dengan kadar serum kalsium yang tinggi (kadar serum
kalsium diatas 10,5 mg/dL) dapat dilakukan pemeriksaan hormon paratiroid intak. Kadar hormon
paratiroid yang rendah dapat ditemukan pada penyakit keganasan, granulomatosa (tuberkulosis,
sarkoidosis) dan keadaan dimana terdapat lisis tulang yang berlebih (kanker metastasis, multiple
mieloma), sedangkan kadar hormon paratiroid yang tinggi dapat ditemukan pada familial
hypocalciuric hypercalcemia (FHH) dan hiperparatiroid baik primer dan tersier. Untuk
membedakan FHH dengan hiperparatiroid dapat melalui ekskresi kalsium urin selama 24 jam dan
rasio kalsium dibanding bersihan kreatinin. Pada FHH, ekskresi kalsium urin rendah. Selain itu,
rasio kalsium dibanding bersihan kreatinin pada FHH juga rendah, yaitu kurang dari 0,02.
Sebagian besar pasien FHH (80%), mempunyai rasio kurang dari 0,01. Pada FHH juga dapat
ditemukan riwayat penyakit yang sama pada keluarga. Berbeda dengan FHH, pada hiperparatiroid
primer dan tersier ekskresi kalsium urin dan rasio kalsium dibandingkan
28
bersihan kreatinin tinggi. Hiperparatiroid tersier disebabkan karena kadar fosfat serum yang
tinggi dan vitamin D yang rendah berkepanjangan. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
sekresi hormon paratiroid yang pada akhirnya menyebabkan hiperkalsemia.
Hiperparatiroid tersier dapat ditemukan pada penyakit ginjal kronik. Berbeda dengan
hiperparatiroid tersier, pada hiperparatiroid primer kadar fosfat serum normal (Reagan, Pani,
& Rosner, 2014).
Pasien dengan Hiperkalsemia
(Total Calcium > 10,5 mg/dL)
Hormon Paratiroid Intak
Normal atau Tinggi Rendah
Sekresi Kalsium PTHrp meningkat 1,25 Vitamin D Alkali Fosfatase Urin Dalam 24 Jam meningkat meningkat
Penyakit
Rendah Normal atau Tinggi Kanker granulomatosa Lisis tulang (kanker (tuberkulosis, metastasis)
sarkoidosis)
Hiperparatiroid
FHH
primer/tersier
Gambar 1. Alur Diagnosis Hiperkalsemia (McMahon, 2010)
Hiperparatiroid primer dapat disebabkan oleh adenoma, hiperplasia, atau karsinoma
pada kelenjar paratiroid. Sekitar 80% kasus hiperparatiroid disebabkan single adenoma,
sedangkan 10 – 11% disebabkan oleh lebih dari satu adenoma, dan kurang dari 10%
disebabkan karena hiperplasia. Karsinoma paratiroid menyebabkan kurang dari 1% kasus
hiperparatiroid primer (Insogna, 2018).
29
Tabel 2. Karakteristik Berbagai Jenis Hiperparatiroid (Insogna, 2018)
Primary Normocalcemic Secondary Tertiary FHH Hyperpara- Hyperpara- Hyperpara- Hyperpara- thyroidism thyroidism thyroidism thyroidism
Family history of No No No No Yes; sometimes with a hypercalcemia history of unsuccessful
parathyroid surgery
Lifelong No No No No Yes hypercalcemia Parathyroid High High High High Normal to high-normal hormone level (approximately 75%) or high
(approximately 25%)
Calcium High Normal Low or low- High Normal or high normal
Phosphorus Normal or Normal or low- Variable; can Usually high Normal low-normal normal be high owing to with renal renal failure insufficiency
25- Normal Normal Normal or Normal Normal hydroxyvitamin more often D low,
depending on cause (e.g., <20 ng/ml in vitamin D deficiency)
1,25- Often high Variable but not Variable; Low Normal dihydroxyvitamin or high- low often low in D normal renal
insufficiency high in calcium malabsorptio n
Bone mineral Can be low, Can be low, Can be low Often low, Normal density particularly particularly at with long- particularly at
at cortical cortical sites standing cortical sites disease
sites
24-hr urine Normal or Normal or high Very often Low Low, with calcium:creatinine calcium high low clearance ratio <0.010
Karsinoma paratiroid sulit untuk didiagnosis sebelum dilakukan pembedahan karena
memiliki karakteristik klinis yang mirip dengan adenoma. Diagnosis karsinoma paratiroid
ditegakkan melalui kombinasi pemeriksaan intra-operatif dan pemeriksaan histopatologis kecuali
jika terdapat metastasis (Wei & Harari, 2012). FNAB tidak direkomendasikan untuk
menegakkan diagnosis karsinoma paratiroid karena memiliki kemungkinan besar untuk negatif
palsu dan mengakibatkan gangguan pada kapsul tumor sehingga menyebabkan penyebaran tumor
(Fernandes, Paiva, Correia, Polónia, & Moreira da Costa, 2018). Kadar hormon paratiroid dan
kalsium serum yang tinggi dapat digunakan sebagai indikator penyakit ganas. Kadar hormon
paratiroid lebih dari 300 pg/mL merupakan salah satu indikator karsinoma
30
paratiroid. USG leher pada karsinoma paratiroid memiliki karakteristik massa hypoechoic, irreguler, batas tidak tegas, dengan invasi struktur di sekitar. Pada beberapa pasien dengan
karsinoma paratiroid tidak memiliki karakteristik USG demikian (Digonnet et al., 2011).
Tabel 3. Perbedaan karakteristik klinik antara hiperparatiroid primer jinak dan ganas
(Marcocci et al., 2008)
Benign Malignant
Female : male ratio 3-4:1 1:1
Average age (years) 55 48
Serum calcium (mg/dL) ≤11,2 >14
Serum PTHP Mildly elevated Markedly elevated
Palpable cervical mass Rare Common
Concomitant bone and Rare Common
renal involvement
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan ginjal
sebelumnya. Pada pemeriksaan darah didapatkan serum kreatinin 2,23 mg/dL, kalsium serum
15,3 mg/dL, fosfat serum 3,1 mg/dL, hormon paratiroid intak 4.063 pg/mL. Pada
pemeriksaan urin didapatkan kalsium urin 1.086 mg/24 jam. Rasio kalsium dibanding
bersihan kreatinin adalah sebesar 0,37. Penderita didiagnosis sebagai hiperparatiroid primer
dengan dugaan karena tumor paratiroid intra-tiroid curiga ganas disertai komplikasi berupa
hiperkalsemia berat refrakter, hipokalemia, anemia, AKI, fraktur tertutup pada humerus
kanan et femur kiri, dan nephrolithiasis bilateral.
Pada umumnya, organ yang sering mengalami komplikasi akibat hiperparatiroid primer adalah ginjal dan tulang (A. A. Khan et al., 2017).
Pada tulang, hormon paratiroid merangsang pelepasan kalsium melalui aktivitas
osteoklas yang menyebabkan resorpsi tulang. Sebelum aktivitas osteoklas, hormon paratiroid
secara langsung menstimulasi osteoblast untuk meningkatkan ekspresi RANKL (receptor
activator of nuclear factor-kappa B ligand) sehingga terjadi diferensiasi osteoblas menjadi
osteoklas. Hormon paratiroid juga menghambat sekresi osteoprotegerin, menyebabkan
diferensiasi sebagian besar sel menjadi osteoklas. Osteoprotegerin secara kompetitif berikatan
dengan RANKL sehingga menghambat pembentukan osteoklas. Osteoklas memiliki
31
kemampuan untuk merombak tulang (resorpsi) dengan mendegradasi hidroksiapatit dan bahan
organik lainnya sehingga terjadi pelepasan kalsium ke dalam darah (M. Khan & Sharma, 2018). Hal ini menyebabkan penurunan densitas tulang terutama pada tulang dengan daerah kortikal
yang lebih banyak seperti lengan dan panggul, dibandingkan dengan tulang yang
mengandung lebih banyak trabekula seperti tulang belakang (Fuleihan & Silverberg, 2017).
Selain itu, terdapat peningkatan resiko semua fraktur termasuk fraktur vertebra dan resiko
fraktur akan menurun setelah dilakukan paratiroidektomi (A. A. Khan et al., 2017).
Batu ginjal adalah komplikasi utama hiperparatiroid primer di ginjal. Faktor resiko
terbentuknya batu ginjal pada hiperparatiroid primer adalah hiperkalsiuria. Paratiroidektomi
akan menurunkan resiko batu ginjal. Oleh karena itu terdapatnya hiperkalsiuria termasuk
sebagai salah satu indikasi untuk dilakukan operasi. Penurunan estimasi laju filtrasi
glomerulus berbanding terbalik dengan kadar hormon paratiroid intak. Berkurangnya fungsi
ginjal dihubungkan dengan dampak yang lebih berat pada kekuatan tulang dan penurunan
densitas tulang. Hal ini mendukung rekomendasi untuk dilakukan paratiroidektomi pada
pasien dengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 mL/mnt. Paratiroidektomi juga akan
mencegah penurunan fungsi ginjal pada hiperparatiroid primer dengan penyakit ginjal kronis
(A. A. Khan et al., 2017).
Pasien datang dengan keluhan utama patah pada tulang tangan kanan dan kaki kiri. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan deformitas pada regio brachii dextra dan femur sinistra. Pada
pemeriksaan radiologis humerus kanan dan femur kiri didapatkan fraktur komplit di 1/3 tengah
os humerus kanan dan fraktur komplit di 1/3 proximal os femur kiri. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan BUN 23 mg/dL, kreatinin serum 2,23 mg/dL, dan estimasi laju filtrasi
glomelurus 30 mL/menit. USG abdomen menunjukkan nefrolitiasis bilateral.
Terdapat 2 tatalaksana untuk hiperparatiroid primer, yaitu medikamentosa dan
pembedahan. Pembedahan merupakan tatalaksana definitif untuk hiperparatiroid primer
(Insogna, 2018). Pasien dengan hiperparatiroid primer yang memiliki gejala merupakan indikasi
untuk dilakukan paratiroidektomi (A. A. Khan et al., 2017). Berdasarkan 4th
International
Guidelines for the Management of Asymptomatic Primary Hyperparatiroidism, paratiroidektomi
direkomendasikan pada pasien yang tidak memiliki gejala dengan usia kurang dari 50 tahun,
kalsium serum lebih dari 1 mg/dL diatas batas normal, skor T BMD kurang dari atau sama
dengan -2,5 di tulang lumbal, leher femur, pinggul, atau 1/3 tulang radius untuk perempuan yang
sudah menopause atau laki laki lebih dari 50 tahun, dan estimasi laju filtrasi
32
glomelurus kurang dari 60 mL/menit. Selain itu, jika terdapat batu saluran kemih atau resiko tinggi untuk terbentuknya batu saluran kemih maka pembedahan juga direkomendasikan
(Bilezikian et al., 2014). Paratiroidektomi akan menurunkan resiko fraktur dan pembentukan
batu ginjal. Paratiroidektomi tetap dapat dipertimbangkan pada hiperparatiroid primer yang
tidak memenuhi kriteria tersebut dan memilih untuk dilakukan pembedahan (A. A. Khan et
al., 2017). Tabel 4. Indikasi Paratiroidektomi Pada Hiperparatiroid Primer (A. A. Khan et al., 2017)
Indications for surgery for the treatment of primary hyperparathyroidism.
1. Age <50 years.
2. Serum calcium > 1 mg/dL or >0.25 mmol/L of the upper limit of the reference interval for
total calcium and >0.12 mmol/L for Ca2+.
3. BMD T-score ≤−2.5 at the lumbar spine, femoral neck, the total hip, or the 1/3 radius for
postmenopausal women or males >50 yrs. A prevalent low-energy fracture (i.e., in the
spine) is also considered an indication for surgery, which requires a routine X-ray of the
thoracic and lumbar spine (or vertebral fracture assessment by DXA).
4. A glomerular filtration rate (GFR) of <60 ml/min. Further evaluation of asymptomatic
patients with renal imaging (X-ray, CT or ultrasound) in order to detect silent kidney stones
or nephrocalcinosis is advised. A complete urinary stone risk profile should be performed
in those individuals whose urinary calcium excretion is > 400 mg/day. If stone(s),
nephrocalcinosis, or high stone risk is determined, surgery should be recommended.
Pada pasien yang tidak mempunyai gejala dan tidak memenuhi kriteria dapat dilakukan
pemantauan selama 8 hingga 10 tahun. Penilaian densitas tulang setiap 1 sampai 2 tahun dan
pemeriksaan biokimia setiap tahun direkomendasikan (A. A. Khan et al., 2017). Asupan kalsium
tidak direkomendasikan untuk dibatasi pada pasien yang tidak mendapatkan tindakan
pembedahan (Marcocci, Bollerslev, Khan, & Shoback, 2014). Diet rendah kalsium akan
meningkatkan resorpsi tulang dan mengakibatkan osteoporosis (Jorde, Szumlas, Haug, &
Sundsfjord, 2002). Pasien dengan kadar 1,25 dihidroksi vitamin D yang normal dapat
mendapatkan asupan kalsium yang bebas tanpa mengalami efek samping, baik pada kadar
hormon paratiroid, kalsium serum, fosfat, vitamin D, ekskresi kalsium urin, dan densitas tulang.
Pada pasien dengan kadar 1,25 dihidroksi vitamin D yang tinggi direkomendasikan untuk
membatasi asupan kalsium untuk mencegah hiperkalsiuria (Locker, Silverberg, & Bilezikian,
1997). Pasien dengan kadar 25 hidroksi vitamin D yang rendah harus mendapatkan
33
suplementasi vitamin D dengan target minimal 50 nmol/L (20 ng/mL) dan target rekomendasi 75
nmol/L (30 ng/mL). Terapi farmakologi direkomendasikan untuk menurunkan kadar kalsium
serum dan meningkatkan densitas tulang. Pemberian kombinasi cinacalcet dan bifosfoat direkomendasikan. Cinacalcet merupakan rekomendasi obat untuk mengatasi
hiperkalsemia. Dalam banyak kasus, cinacalcet dapat menurunkan kadar kalsium serum
menjadi normal, sedangkan efek penurunan kadar hormon paratiroid hanya sedikit.
Cinacalcet tidak memiliki efek terhadap densitas tulang. Bifosfonat ditujukan untuk
meningkatkan densitas tulang (Marcocci et al., 2014). Gambar 2. Approach to the acute patient with hypocalcaemia after thyroid surgery
(Mejia MG et al, 2018)
Sejak minggu pertama pasca operasi, mulai ditemui tanda Chvostek dan Trousseau,
laboratorium memperlihatkan penurunan fungsi tiroid, terjadi hipocalsemia berat, hipofosfatemia
dan hypomagnesemia. Pasien didiagnosis sebagai Hungry Bone Syndrome pasca operasi Ca
Paratiroid dan tiroid dengan Hipotiroid + Fraktur tertutup os humerus dekstra
34
et femur sinistra.
Penatalaksanaan hipokalsemia dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu penatalaksanaan pada kondisi akut dan kronis. Pada kondisi akut, dimana pasien datang dengan kejang, penurunan kesadaran, spasme otot, kegawatan sistim pernapasan dan kardiovaskular, walaupun hipokalsemia yang terjadi bersifat ringan (7- 8 mg/dL) maka penatalaksanaan hipokalsemia harus dilakukan secara agresif dengan kalsium glukonas intravena (Skugor et al, 2008). Kalsium glukonas intravena diberikan sebagai berikut, 1 sampai 2 ampul (90-180 elemental kalsium) dilarutkan dalam 50-100 mL larutan dextrose 5%, yang kemudian diberikan dalam 10 menit. Larutan kalsium tidak boleh mengandung bikarbonat atau fosfat, karena dapat membentuk garam kalsium yang tidak mudah larut. Sediaan ini dapat diulang sampai gejala klinis membaik. Pada keadaan hipokalsemia persisten, pemberian kalsium glukonas dalam waktu yang lebih lama dimungkinkan. Target koreksi kalsium di sini adalah untuk meningkatkan konsentrasi kalsium serum 2-3 mg/dL dengan pemberian 15 mg/kg elemental calcium dalam waktu 4-6 jam. Kalsium serum selanjutnya harus dipertahankan dalam batas normalnya, dengan infus 0,5-1,5 mg/kg berat badan/jam selama 24-48 jam dan diikuti oleh suplementasi kalsium per oral, dimulai dari 1-2 gram elemental kalsium dan bila
memungkinkan, bersama 1,25-OH2 D3 (Hardy R, 2008;Sciume C et al, 2006). Preparat oral
sebagai terapi awal diindikasikan pada hipokalsemia ringan (7,5-8 mg/dL dengan gejala ringan).
Kalsium harus dimonitoring setidaknya setiap 12 jam atau lebih sering jika total
kalsium <7 mg/dL, kalsium terionisasi < 1 mmol/L. atau jika gejala dari hipokalsemia (baal di
daerah perioral/kesemutan, Chvostek positif atau Trousseau positif , atau spasme karpopedal).
Biasanya diperlukan 1-3 gram elemental kalsium per oral sudah mencukupi. Kalsium
karbonat (40% kalsium elemental), atau kalsium sitrat (21% kalsium elemental) adalah
kalsium yang paling banyak digunakan dan harus dimimun dengan makanan. Kelarutan dari
kalsium karbonat tergantung dengan keasaman, dan aklorida dapat mengurangi absorpsi
(Hansen KE et al, 2010). Pasien yang sedang menggunakan proton pump inhibitor atau pasien
tua dengan aklorida seharusnya diterapi dengan kalsium sitrat yang tidak terpengaruh
terhadapap keasaman untuk absorpsi.
35
Gambar 3. Management of postoperative hypoparathyroidism ( Stack BC et al, 2015)
BID = bis in die (2 times/day); D/C = discharge; IV = intravenous; LLN = lower limit of normal; Mg = magnesium; PO = per orem; PTH = parathyroid hormone; TID = ter in die (3 times/day).
36
Jika kalsium dalam keadaan stabil tetapi masih < 7 mg/dL dapat ditambahkan
kalsitriol (0,5 mcg dua kali sehari). PTH post operasi dibawah batas normal dan serum
kalsium yang rendah dapat diberikan terapi awal dengan 1000 mg kalsium elemental 3 kali
sehari dan kalsitriol (0,5 mg/dL 2 kali sehari). Jika magnesium serum < 1,6 mg/dL tanpa
kelainan ginjal, suplementasi magnesium dapat diberikan untuk membantu status kalsium
dengan magnesium oxide (400 mg 2 kali sehari).
Pasien hipokalsemia harus dimonitoring secara ketat dengan mengukur kalsium dan
magnesium. Jika hipokalsemia disertai dengan gejala, kalsium secara intravena harus
diberikan secara bolus, 1 sampai 2 g of kalsium glukonas (9% kalsium elemental) dalam 50
mL normal salin atau 5% dekstrosa dalam 20 menit. Atau 11 gram kalsium glukonas
dilarutkan dalam normal salin tau 5% dektrosa dengan total volume 1000 mL dijalankan 50
ml/hour (50 mg/dL) dan diatur sehingga kalsium dalam batas normal rendah. Dosis yang lebih
tinggi kalsium per oral (3 – 4 gram) dapat dimulai sesegera mungkin ketika pasien dapat
menelan obat secara oral. Analog vitamin D seperti kalsitriol dapat diberikan tetapi memakan
waktu hingga 72 jam agar efektif. Gambar 4. Management of post-operative hypocalcemia (MarcocciC,2018)
37
Kalsitriol meningkatkan absorpsi kalsium di usus dan melepaskan kalsium dari tulang.
Kalsitriol mempunyai waktu paruh 5 – 8 jam, tetapi bisa dua kali lipat pada pasien dengan
gagal ginjal. Sementara itu kolekasiferol (vitamin D3) waktu paruh dapat bermingu-minggu
bahkan berbulan- bulan (Marcus R, 1996). Maka dari itu toksisitas dari kelebihan kalsitriol
dapat kembali dalam beberapa hari sedangkan vitamin D3 dapat bertahan hingga berminggu-
minggu. Dosis kalsitriol dapat dinaikkan dalam dosis terbagi. Setelah keluar rumah sakit,
kalsium seharusnya dimonitoring paling tidak 2 minggu sekali, untuk mengantisispasi
berkurangnya kalsitriol setelah mencapai steady state dalam waktu kira-kira 1 minggu.
Hipomagnesia akan menghasilkan resisten terhadap PTH, dan magnesium harus diberikan
untuk mengkoreksi kalsium.
Tabel 5. Vitamin D and its activeted forms in the management of chronic hypocalcemiaa
(MarcocciC,2018).
Medication Calcitriol [1,25(OH)2D]
Alfacalcidiol b [1α(OH)D]
Dihydrotachysterol b
Vitamin D2 (ergocalciferol) or vitamin D3
(cholecalciferol) c
Time to onset of Time to offset of Typical daily dose action action 0.25–2.0 µg once or 1–2 days 2–3 days twice 0.5–4 µg once 1–2 days 5–7 days 0.3–1.0 mg once 4–7 days 7–21 days 25,000–200,000 IU 10–14 days 14–75 days
aDerived from Shoback [1] bThis compound is rapidly activated in the liver to 25(OH) dihydrotachysterol cThese compound could be used in a setting where activated vitamin D is not available and/or too expensive
Kebanyakan pasien yang mengalami hipokalsemia berat dikarenakan hungry bone
sebelumnya memiliki hiperparatiroid atau Graves disease atau hiperparatiroid sekunder.
Radiografi dari tulang sebelum operasi dapat berguna untuk mengidentifikasi pasien dengan
lesi litik, brown tumor, erosi subperiosteal, atau osteitis sistik fibrosis. Faktor resiko untuk
berkembangnya hungry bone adalah umur, kalsium dan PTH yang tinggi saat sebelum
operasi, defisiensi vitamin D kronik dan ukuran kelenjar paratiroid yang tereseksi (Brasier AR
and Nussbaum SR, 1988; Borot S et al, 2010). Pasien seperti ini memerlukan suplementasi
kalsium dan vitamin D yang lebih awal dan agresif dan monitoring yang ketat.
38
Tidak ada guideline tertentu untuk manajemen hipoparatiroid yang berkepanjangan.
Target manajemennya adalah untuk mempertahankan serum kalsium dalam batas agar pasien
tidak memiliki gejala dan untuk menghindari hipo atau hiperkalsemia yang signifikan. Untuk
mengurangi gejala seperti batu ginjal, kalsifikasi jaringan lunak, direkomendasikan untuk
mempertahankan kalsium dan fosfor dalam batas normal. Beberapa merekomendasikan
menjaga 24 jam eksresi kalsium urin < 7,5 mmol/hari (JP Bilezekian et al, 2011). Produk
kalsium dan fosfor yang tinggi adalah resiko untuk terjadinya kalsifikasi.
Kalsium yang tersedia biasanya kalsium karbonat atau kalsium sitrat. Rentang dosis
dari 9450 mg per hari, dengan kebanyakan pasien memerlukan 1500 mg elemental kasium per
hari. dosis terbagi dalam dua atau tiga untuk mengoptimalkan absorpsi. Kalsitriol
meningkatkan absorpsi oleh usus. Rentang dosis dari kalsitriol adalah 0,125 mcg sampai 4
mcg/hari, dengan kebanyakan pasien memerlukan 0,25 mcg/hari. Dosis diberikan terbagi
apabila dosis yang diberikan adalah 1 mcg atau lebih per harinya. Vitamin D2 (ergokalsiferol)
atau vitamin D3 (kolekalsiferol) kadang diberikan bersamaan dengan pemberian vitamin D
aktif (kalsitriol) dan dapat membantu mempertahan kalsium.
Target koreksi hipokalsemia adalah :
1. Terkontrolnya gejala klinis 2. Jumlah kalsium urin per 24 jam dibawah 300mg/24 jam 3. Produksi Kasium-Fosfat dibawah 5% 4. Mempertahankan konsentrasi kalsium serum pada kisaran normal (8-8,5 mg/dL).
Pilihan terapi terbaru adalah rekombinan PTH. Rekombinan PTH dalam REPLACE trial
(Mannstadt M et al, 2013), ketika disuntikan secara subkutan di paha sekali sehari, 53% pasien
dapt mengurangi kebutuhan kalsium dan vitamin D lebih dari 50%, dan 43% dapat mencapai
kebutuhan vitamin D dan mengurangi kalsium < 500 mg per hari (Leiker AJ,. Selain itu kalsium
urun dan phosphor serum dapat berkurag juga. Hal ini dapat mengurangi kejadian kalkuli dari
ginjal. Rekombinan PTH juga menormalkan metabolismne tulang dan memperbaiki
mikroarkitektur dari tulang (Cusano et al, 2013). Obat tersebut dipasarkan dengan nama Natpara.
Obat ini hanya diindikasikan pada pasien yang tidak dapat terkontrol dengan suplementasi
kalsium dan vitamin D aktif. Obat ini belum diteliti untuk pasien yang mengalami hipokalsemia
akut setelah operasi. Di dalam label obat tersebut menyebutkan peringatan untuk risiko potensial
osteosarkoma, walaupun hal ini hanya didapatkan di tikus yang medapatkan obat ini dalam dosis
lebih tinggi daripada dosis yang diberikan pada manusia. Dosis inisial
39
adalah 50 mcg sekali sehari dan dapat dititrasi dari 25, 50,75, atau 100 mcg. Serum kalsium
harus dimonitor dalam 3 sampai 7 hari setelah pemberian obat. Kesimpulan: Telah dilaporkan seorang pasien dengan hyperparatiroid primer karena karsinoma paratiroid beserta permasalahan penegakkan diagnosis dan permasalahan penanganan pasca operasi.
Daftar Pustaka Bilezekian JP et al, 2011. Hypoparathyroid in the adult: Epidemiology, diagnosis,
pathophysiology, target-organ involvement, treatment, and challenges for future research. Journal of Bone and Minera Research. 26(10):2317-2337. DOI:10.1002/.jbmr.483
Bilezikian, J. P., Brandi, M. L., Eastell, R., Silverberg, S. J., Udelsman, R., Marcocci, C., &
Potts, J. T. (2014). Guidelines for the management of asymptomatic primary hyperparathyroidism: Summary statement from the fourth international workshop. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, 99(10), 3561–3569. https://doi.org/10.1210/jc.2014-1413
Borot S et al, 2010. Results of cryopreserved parathyroid autografts: a retrospective multicentre
study. Surgery. 147: 529-535. Brasier AR and Nussbaum SR, 1988. Hungry bone syndrome: clinical and biochemical
predictors of its occurrence after parathyroid surgery. Am J Med. 84: 654-660 Cheng SP dkk, 2009. Prolonged Hospital Stay After Parathyroidectomy for secondary
Hyperparatiroidism. World Journal of Surgery 33:72-79 Cusano et al, 2013. The effect of PTH on quality of life in hypoparathyroidism. J Clin
Endocrinol Metab. (98): 2356-236 Digonnet, A., Carlier, A., Willemse, E., Quiriny, M., Dekeyser, C., de Saint Aubain, N., …
Andry, G. (2011). Parathyroid carcinoma: A review with three illustrative cases. Journal of Cancer, 2(1), 532–537. https://doi.org/10.7150/jca.2.532
Fernandes, J. M. P., Paiva, C., Correia, R., Polónia, J., & Moreira da Costa, A. (2018).
Parathyroid carcinoma: From a case report to a review of the literature. International Journal of Surgery Case Reports, 42, 214–217. https://doi.org/10.1016/ j.ijscr.2017.11.030
Fuleihan, G. E.-H., & Silverberg, Mphs. J. (2017). Primary hyperparathyroidism: Diagnosis,
differential diagnosis, and evaluation. Hansen KE et al, 2010. Do proton inhibitors decrease calcium absorption?. Journal of Bone
and Mineral Research. 25(12): 2786-2795. Doi: 10.1002/jbmr.166
40
Hardy R, 2008. Disorders of calcium metabolism. Avail- able at: www.emedicine.com.
Accessed Sept 11th
Insogna, K. L. (2018). Primary Hyperparathyroidism. New England Journal of Medicine, 379(11), 1050–1059. https://doi.org/10.1056/NEJMcp1714213
Jorde, R., Szumlas, K., Haug, E., & Sundsfjord, J. (2002). The effects of calcium
supplementation to patients with primary hyperparathyroidism and a low calcium intake. European Journal of Nutrition, 41(6), 258–263. https://doi.org/10.1007/s00394-002-0383-1
Khan, A. A., Hanley, D. A., Rizzoli, R., Bollerslev, J., Young, J. E. M., Rejnmark, L., …
Bilezikian, J. P. (2017). Primary hyperparathyroidism: review and recommendations on evaluation, diagnosis, and management. A Canadian and international consensus. Osteoporosis International, 28(1), 1–19. https://doi.org/10.1007/s00198-016-3716-2
Khan, M., & Sharma, S. (2018). Physiology, Parathyroid Hormone (PTH). StatPearls.
StatPearls Publishing. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29763115 Leiker AJ et al, 2013. Factors that influence parathyroid hormone half-life: determining if new
intraoperative criteria are needed. JAMA Surg. (148): 602-606 Locker, F. G., Silverberg, S. J., & Bilezikian, J. P. (1997). Optimal dietary calcium intake in
primary hyperparathyroidism. The American Journal of Medicine, 102(6), 543–550. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9217669
Mannstadt et al, 2013. Efficacy and safety of recombinant human parathyroid hormone in
hypoparathyroid (REPLACE): a double-blind, placebo-controlled, randomized, phase 3 study. Lancet Diabetes Endocrinol. (1):275-283
Marcocci, C., Bollerslev, J., Khan, A. A., & Shoback, D. M. (2014). Medical management of
primary hyperparathyroidism: Proceedings of the fourth international workshop on the management of asymptomatic primary hyperparathyroidism. In Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism (Vol. 99, pp. 3607–3618). https://doi.org/10.1210/jc.2014-1417
Marcocci, C., Cetani, F., Rubin, M. R., Silverberg, S. J., Pinchera, A., & Bilezikian, J. P.
(2008). Parathyroid carcinoma. Journal of Bone and Mineral Research : The Official Journal of the American Society for Bone and Mineral Research, 23(12), 1869–1880. https://doi.org/10.1359/jbmr.081018
Marcus R, 1996. Agents affecting calcification and bone turnover. In: Hardman JG, Limbird
LE, eds. Goodman and Gilman’s the Pharmacological Basis of Therapeutics, 9th ed. New York: McGraw-Hill, p
41
McMahon, G. T. (2010). Hypercalcemia. In S. B. Mushlin & H. L. Greene (Eds.), Decision
Making in Medicine: An Algorithmic Approach (3rd ed., pp. 134–135). Philadelphia: Elsevier.
Ohe MN, 2012. Parathyroid Carcinoma and Hungry Bone Syndrome. Arq Bras Endocrinol.
57(1):79-86 Pallan, S., Rahman, M. O., & Khan, A. A. (2012). Diagnosis and management of primary
hyperparathyroidism. BMJ, 344, e1013. https://doi.org/10.1136/BMJ.E1013 Pradeep et al, 2007. Safety and efficacy of surgical management of hyperthyroidism. World
Journal of Surgery, 306(12) Reagan, P., Pani, A., & Rosner, M. H. (2014). Approach to diagnosis and treatment of
hypercalcemia in a patient with malignancy. American Journal of Kidney Diseases, 63(1), 141–147. https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2013.06.025
Sciume C, et al, 2006. Complications in thyroid surgery: symptomatic post-operative
hypoparathyroidism incidence, surgical technique, and treatment. Annals of Italian Chir, 77(2):115-22
Skugor, et al, 2008. Hypocalcemia. Available at: www.cleveland clinic. Accessed Sept 11th
Wei CH dan Harari A, 2012. Parathyroid Carcinoma: Update and Guidelines for Management.
Doi: 10.1007/s11864-011-0171-3 Wei, C. H., & Harari, A. (2012). Parathyroid carcinoma: Update and guidelines for
management. Current Treatment Options in Oncology, 13(1), 11–23. https://doi.org/10.1007/s11864-011-0171-3
Witteeveen dkk, 2013. Hungry Bone Syndrome: still a challenge in the post-operative
management of primary hyperparathyroidism: a systematic review of the literature. European Journal of Endocrinology. doi: 10.1530/EJE-12-0528
42
ABSTRAK PANKREATITIS AKUT SEBAGAI MANIFESTASI
HIPERPARATIROIDISME PRIMER PADA KARSINOMA PARATIROID
Dian Anindita Lubis1, Agnes Stephanie2, Em Yunir1 1Divisi Endokrin, Metabolik & Diabetes, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSCM
2Departemen Patologi Anatomi, RSUPN Cipto Mangunkusumo
Pendahuluan Primary hyperparathyroidism (pHPT) merupakan kelainan endokrin, yang ditandai dengan sekresi hormon paratiroid berlebih dari satu atau lebih kelenjar paratiroid. Kurang dari 1% pHPT disebabkan oleh karsinoma paratiroid. Pasien dengan karsinoma paratiroid umumnya memiliki tanda dan gejala hiperkalsemia. Hiperkalsemia dianggap sebagai penyebab pankreatitis yang jarang, dan pHPT sendiri telah dihubungkan dengan berbagai tipe pankreatitis. Beberapa pasien mengalami serangan pankreatitis sebanyak 2 kali atau lebih sebelum pHPT ditegakkan.1 Kami melaporkan sebuah kasus karsinoma paratiroid dengan manifestasi pankreatitis akut sebagai manifestasi awal penyakit. Ilustrasis Kasus Seorang wanita 24 tahun, dengan keluhan mual muntah kehijauan disertai nyeri tulang belakang. Pasien dalam 1 tahun ini sudah 4 kali mengalami keluhan serupa, didiagnosis dengan pankreatitis akut berulang, namun belum pernah dilakukan endoscopic ultrasound (EUS) karena riwayat hamil. Pasien juga memiliki keluhan benjolan di leher sejak 7 tahun ini, tidak ada keluhan berdebar-debar, sulit menelan, nyeri leher, namun terdapat penurunan berat badan. Dari pemeriksaan fisik teraba benjolan di leher dan nyeri epigastrium, laboratorium didapati kadar kalsium, PTH intact, amilase dan lipase yang meningkat. Dari pemeriksaan Sestambi didapati tangkapan pada paratiroid. Hasil EUS kesan pankreatitis. Pasien menjalani operasi parathyroidectomy sinistra dan isthmulobectomy sinistra, dengan hasil PA karsinoma paratiroid. Setelah operasi, keluhan mual muntah kehijauan tidak dijumpai lagi. Saat ini pasien dalam substitusi kalsium dan tiroid.
Pembahasan Prevalensi pankreatitis akut pada pasien pHPT dilaporkan terjadi pada 1,5% kasus. Tiga mekanisme patofisiologis pankreatitis akut akibat hiperkalsemia pada pHPT; 1) Deposisi kalsium di ductus pankreatikus; 2) Hiperkalsemia mengakibatkan perubahan trypsinogen menjadi tripsin sehingga mencetuskan autodigesti pancreas; 3) Varian genetik SPINK 1. Karsinoma paratiroid merupakan keganasan endokrin dengan insidensi <1/1.000.000, dengan gambaran klinis yang umum dijumpai adalah hiperkalsemia. Setelah parathyroidectomy, terapi defenitif pHPT, level PTH dan kalsium diharapkan normal dan akan mengakibatkan tidak terjadi aktivasi prematur tripsinogen menjadi tripsin sehingga mencegah pankreatitis selanjutnya. Kesimpulan Meskipun pankreatitis akut akibat pHPT termasuk jarang, kemungkinan pHPT harus dipertimbangkan ketika hiperkalsemia terjadi pada pasien dengan pankreatitis. Pada pasien ini, pankreatitis akut berhasil ditangani setelah masalah hiperkalsemia teratasi. Kata kunci Pankreatitis akut, karsinoma paratiroid, hiperparatiroidisme primer.
43
Pendahuluan Primary hyperparathyroidism (pHPT) merupakan kelainan endokrin, yang
ditandai dengan sekresi hormon paratiroid berlebih dari satu atau lebih kelenjar
paratiroid. Kurang dari 1% pHPT disebabkan oleh karsinoma paratiroid. Pasien
dengan karsinoma paratiroid umumnya memiliki tanda dan gejala hiperkalsemia.
Hiperkalsemia dianggap sebagai penyebab pankreatitis yang jarang, dan pHPT
sendiri telah dihubungkan dengan berbagai tipe pankreatitis. Beberapa pasien
mengalami serangan pankreatitis sebanyak 2 kali atau lebih sebelum pHPT
ditegakkan.1
Kami melaporkan sebuah kasus karsinoma paratiroid dengan manifestasi
pankreatitis akut sebagai manifestasi awal penyakit.
Ilustrasi Kasus Seorang wanita, 24 tahun, memiliki keluhan benjolan di leher sejak + 8 tahun ini.
Benjolan tidak nyeri, keluhan berdebar-debar, sulit menelan, penurunan berat
badan tidak ada. Pada bulan agustus 2017, saat itu pasien sedang hamil anak
pertama dengan usia kandungan 4 bulan, pasien mengalami mual muntah
kehijauan disertai nyeri perut. Saat itu pasien didiagnosis pankreatitis di RS luar.
Keluhan kembali berulang pada bulan Oktober 2017, pasien didiagnosis dengan
pankreatitis, namun karena pasien sedang hamil, tidak dilakukan pemeriksaan
endoscopic ultrasound (EUS). Pada bulan Januari 2018, mual muntah kehijauan
terjadi lagi, dengan klinis dan laboratorium amilase lipase yang meningkat,
pasien didiagnosis sebagai pankreatitis berulang.
Pada bulan April 2018 untuk ke-4 kali nya pasien mengeluhkan mual
muntah kehijauan. Saat itu pasien juga mengeluhkan nyeri pada tulang
punggung, pasien dirawat di RSCM. Selama 7 tahun ini, keluhan benjolan di leher
tetap sama, tidak ada keluhan berdebar-debar, sulit menelan. Hanya ditemukan
adanya penurunan berat badan.
Evaluasi saat rawatan, pasien tampak sakit sedang, Tanda vital TD
132/72 mmHg, BB 40 kg, TB 156 cm, IMT 16,44 kg/m2 (underweight). Mata
konjungtiva tampak pucat. Leher teraba massa membesar dengan diameter 5
cm, konsistensi keras, terfiksir, batas tegas, ikut dengan gerakan menelan, bruit
negatif, tidak teraba pembesaran KGB. Abdomen supel, bising usus normal, nyeri
tekan epigastrium dan hipokondrium kiri. Hasil laboratorium menunjukkan Hb 8,8
44
g/dL, Ht 26,9%, leukosit 7.800/uL, trombosit 368.000/uL, kalsium darah 14,3
mg/dL (normal 8,4-10,2), ureum 14,6 mg/dL, kreatinin 0,6 mg/dL, albumin 3,43
mg/dL, TSHs 3,81 IU/mL, amilasi 761 U/L (normal <53), lipase 1162 U/L
(normal <60). Hasil USG abdomen kesan multiple cholelithiasis. Endoscopic
ultrasound tampak kesan chronic cholesistitis, susp autoimmune pancreatitis.
USG tiroid tampak nodul ukuran 2,94 x 3,72 cm, nodul kombinasi solid kistik
hipoekoik, mikrokalsifikasi, batas jelas, vaskularisasi intranodul <50%, tidak
tampak halo, tidak ada tanda taller than wide. CT scan abdomen kesan fat
stranding pada peripankreas disertai dengan multiple kalsifikasi dan KGB
peripankreas dan paraaorta, DD pankreatitis. Nefrolitiasis multiple ginjal bilateral,
dengan ukuran terbesar 0,4 x 0,3 x 0,3 cm. Osteoporotik dengan penipisan
korteks dan multiple lesi litik, suspek metabolic bone disease.
Jadi masalah yang dijumpai pada pasien saat ini pankreatitis berulang,
kolelitiasis, nefrolitiasis bilateral, nodul tiroid, hiperkalsemia, dan bone pain ec
metabolic bone disease. Pasien mendapat IVFD NaCl 0,9% 500 ml/3 jam,
Zometa 4 mg/100 ml, drip morfin 10 mg/24 jam, Lasix 2 x 40 mg iv,
metoklopramid 3 x 10 mg iv, ranitidine 2 x 50 mg iv. Pasien direncanakan untuk
dilakukan FNAB tiroid, pemeriksaan kalsium urin 24 jam, kalsium serial, dan PTH
intact.
Pada pemeriksaan FNAB tiroid kiri didapati hasil sitologi suspicioius for
malignancy. Dengan total kalsium 14,2 mg/dL, pasien dilanjutkan pemeriksaan
PTH intact, dengan hasil 2799 pg/mL (normal 15-65), kalsium urin 24 jam 180
mg/24 jam (normal 100-320). Pada pemeriksaan Tc-99m Sestamibi didapati
kesan sugestif gambaran adenoma paratiroid di lobus inferior sinistra. CT scan
leher 4D dengan kesimpulan massa paratiroid kiri berukuran + 3,05 x 2,61 x
2,47 cm yang mencapai intratorakal setinggi vertebra Th 1-2 DD/struma nodosa
tiroid kiri.
Pasien menjalani operasi parathyroidectomy sinistra dan isthmulobectomy
sinistra pada tanggal 14 Agustus 2018. Dari laporan operasi tampak massa tiroid
ukuran 5 x 3 cm dengan konsistensi keras. Massa paratiroid sulit dikenal karena
melekat ke tiroid. Kesimpulan gambaran PA histologik sesuai dengan karsinoma
paratiroid. Ditemukan invasi perineural dan limfovaskular.
2 hari pasca operasi pasien mengeluhkan kesemutan pada kedua kaki.
Pemeriksaan Chovstek sign negatif. Ca darah 6,5 mg/dL, PTH intact 82,51
45
pg/mL (normal 15-65), TSHs 5,52 IU/mL. Daftar masalah pasien menjadi
hipokalsemia ec hunger bone syndrome, Ca parathyroid post parathyroidectomy
sinistra, hipotiroidisme post isthmulobectomy thyroid sinistra. Pasien mendapat
terapi Ca gluconas 3 x 2000 mg iv drip, CaCO3 3 x 1000 mg PO, kolkatriol 2 x
0,5 mcg PO, L-thyroxine 1 x 50 mcg PO. Enam bulan pasca operasi, pasien tidak
pernah mengeluhkan lagi mual muntah kehijauan. Kalsium darah 8,2 mg/dL.
Terapi CaCO3 3 x 500mg, kolkatriol 2 x 0,5 mcg PO dan L-thyroxine 1 x 100 mcg
dilanjutkan. Pasien direncanakan untuk diperiksa BMD dan PTH intact ulangan.
Pembahasan Hubungan antara pHPT dengan pankreatitis akut pertama dilaporkan oleh
Erdheim pada tahun 1903.2 Prevalensi pankreatitis akut pada pasien pHPT
dilaporkan terjadi pada 1,5% kasus.1 Terdapat 3 kemungkinan mekanisme
patofisiologis terjadinya pankreatitis akut akibat hiperkalsemia pada pHPT: 1)
Deposisi kalsium di ductus pankreatikus yang menyebabkan obstruksi duktus
pankreatikus; 2) Hiperkalsemia mengakibatkan perubahan trypsinogen menjadi
tripsin di dalam parenkim pankreas, yang akan mencetuskan autodigesti
pankreas; 3) Varian genetik SPINK 1 (Serine protease inhibitor Kazal type 1) dan
CFTR (cystic fibrosis transmembrane conductance regulator) dapat meningkatkan
risiko terjadinya pankreatitis akut pada pasien pHPT.3
Singh dkk, menyatakan bahwa pasien dengan krisis hiperkalsemia akibat
hiperpatatiroid (tanda dan gejala toksisitas kalsium akut dengan level koreksi
kalsium >14-15 mg/dL) memiliki angka pankreatitis lebih tinggi dibanding pasien
nonkrisis (13,5% vs 5,7%).4 Karsinoma paratiroid merupakan keganasan
endokrin yang jarang, dengan insidensi tahunan <1/1.000.000.5 Gambaran
karsinoma paratiroid umumnya merupakan akibat dari pHPT. Gambaran yang
sering dijumpai termasuk tanda dan gejala hiperkalsemia, penyakit tulang
hiperparatiroid, keterlibatan ginjal, seperti nefrolitiasis atau nefrokalsinosis.6
Petunjuk terdapatnya karsinoma paratiroid meliputi: 1) Level PTH yang tinggi
(umumnya >5 kali nilai batas normal); 2) Massa leher yang teraba; 3)
Keterlibatan saraf laringeal.7
Diaconescu dkk menunjukkan bahwa setelah parathyroidectomy, yang
merupakan terapi defenitif pHPT, level PTH akan mencapai normal dalam 30
jam, sedangkan nilai kalsium serum mencapai titik terendahnya dalam 24-36
46
jam. Dengan menormalkan level kalsium serum, tidak terdapat aktivasi prematur
tripsinogen menjadi tripsin pada sel asinar pankreas, sehingga dapat mencegah
serangan pankreatitis selanjutnya.8
Kesimpulan Meskipun pankreatitis akut akibat pHPT termasuk jarang, kemungkinan pHPT
harus dipertimbangkan ketika hiperkalsemia terjadi pada pasien dengan
pankreatitis. Pada pasien ini, pankreatitis akut berhasil ditangani setelah masalah
hiperkalsemia teratasi.
Referensi
1. Khoo TK, Vege SS, Abu-Lebdeh HS, Ryu E, Nadeem S, Wermers RA. Acute pancreatitis in primary hyperparathyroidism: a population-based study. J Clin Endocrinol Metab 2009;94:2115-8.
2. Biondi A, Persiani R, Marchese M, dkk. Acute pancreatitis associated with primary hyperparathyroidism. Update Surg;63:135-8.
3. Lenz JI, Jacobs JM, Op de Beeck B, dkk. Acute necrotizing pancreatitis as first manifestation of primary hyperparathyroidism. World J Gastroenterol 2010;16:2959-62.
4. Singh DN, Gupta SK, Kumari N, dkk. Primary hyperparathyroidism presenting as hypercalcemic crisis: twenty-year experience. Indian J Endocrinol MEtab 2015;19:100-5.
5. Lee PK, Jarosek SL, Virnig BA, dkk. Trends in the incidence and treatment of parathyroid cancer in the United States. Cancer 2007;109:1736-41.
6. Shane E. Clinical review 122: parathyroid carcinoma. J Clin Endocrinol Metabl 2001;86:485-93.
7. Non-funcitonal parathyroid carcinoma: a review of the literature and report of a case requiring extensive surgery. Head Neck Pathol 2009;3:140-9.
8. Aslam M, Talukdar R, Jagtap M, Rao GV, Pradeep R, Rao U, dkk. Clinical profile and outcome of parathyroid adenoma-associated pancreatitis. Saudi J Med Med Sci 2018;6:95-9.
47
ABSTRAK
Karsinoma Sel Hürthle Tiroid dengan Metastasis Perikardium Pleura dan Otak
Brama Ihsan Sazli, Tri Juli Edi Tarigan
Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Pendahuluan Karsinoma Sel Hürthle (KSH) adalah varian dari karsinoma sel folikuler tiroid. Karsinoma ini dapat hadir sebagai tumor dengan tingkat agresifitas rendah atau sebagai tipe yang lebih agresif. Laporan Kasus Sebuah kasus KSH pada wanita usia 34 tahun dengan riwayat benjolan di leher. Setelah tindakan total tiroidektomi dijumpai suatu metastasis luas pada perikardium, pleura dan otak. Penanganan multidisiplin dilakukan pada pasien dengan perawatan inap yang cukup lama. Pasien dipersiapkan rawat jalan seetlah tindakan tendan radioiodine ablasi dengan supresi TSH, suplementsi kalsium dan simptomatik lainnya. Diskusi KSH dapat hadir sebagai tumor invasif minimal atau sebagai tumor invasif luas. KSH umumnya memiliki perilaku klinis yang lebih agresif dibandingkan dengan kanker tiroid lain yang berbeda, dan dikaitkan dengan tingkat metastasis jauh yang lebih tinggi. Pembedahan merupakan terapi utama. Data terbaru telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dengan penggunaan RAI pada pasien dengan KSH >2 cm dan dengan metastasis nodal dan jauh. Pasien dengan penyakit yang resisten dengan RAI dan bukan kandidat dengan pendekatan observasi dapat diobati dengan terapi lokal dan terapi sistemik seperti pada pasien dengan KSH progresif, metastasis luas.
Kesimpulan Dilaporkan seorang wanita dengan KSH tiroid dengan metastasis ke perikard, pleura dan otak. Diagnosis berdasarkan histopatologi. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan pola penyakit, terapi dan prognostic terhadap KSH tiroid ini. Keyword: Karsinoma Sel Hürthle, tiroid, metastasis
48
Pendahuluan
.Karsinoma Sel Hürthle (KSH) adalah varian dari karsinoma sel folikuler tiroid.
Karsinoma ini dapat hadir sebagai tumor dengan tingkat agresifitas rendah atau sebagai tipe
yang lebih agresif. Prevalensi sekitar <5% dari semua keganasan tiroid. Sel hürthle ditandai
oleh sitoplasma eosinofilik dengan pola pertumbuhan trabekuler / folikel. Prognosis
tergantung pada usia pasien, ukuran tumor, tingkat invasi dan nodal awal ataupun ada
tidaknya metastasis jauh. 1-3
Sel hürthle dapat diamati pada kondisi kelenjar tiroid yang jinak dan ganas.
Mekanisme penyebab perbedahan sifat mitokondria dalam kondisi ini tidak sepenuhnya
dipahami. Sel hürthle yang dapat mewakili adenoma sel Hürthle jinak atau karsinoma sel
Hürthle yang ganas. Perbedaan histologis antara adenoma dan karsinoma umumnya hanya
dapat dibuat secara definitif pada pemeriksaan histologis spesimen dari reseksi.
Laporan Kasus
Seorang wanita usia 34 tahun dengan pada Agustus 2018 keluhan benjolan di leher
sejak 1 bulan, awalnya curiga suatu limfadenopati. Konsumsi antibiotik hingga 1 bulan
benjolan tidak mengecil , sehingga dilakukan biopsi jarum halus. Hasil citologi menunjukkan
sediaan yang terdiri atas el-sel limfoid, cluster epitel besar, inti besar kromatin granuler,
citoplasma sedikit dan beberapa sel dengan inti lebih dari satu yang disimpulkan curiga suatu
metastasis keganasan. Pemeriksaan USG menunjukkan multiplenodul pada tiroid,Pasien
kemudian dirujuk ke bagian bedah onkologi untuk selanjutnya dilakukan tindakan
tiroidektomi total.
49
Hasil histopatologi jaringan massa tumor membentuk struktur papiler, trabekuler
sebagian kecil solid terdiri atas sel-sel besar inti pleomorfik, vesikuler, kromatin kasar, anak
inti prominen disentral,hiperkromatik, sitoplasma eosinofilik bergranular, dan masih dijumpai
folikel-folikellimfoid ukuran kecil besar dilapisi epitel kuboid selapis dengan lumen berisi
massa amorf eosinofilik dan dijumpai invasi ke kapsul jaringan ikat fibrokolagen dan
pembuluh darah. Hal ini disimpulkan sebagain KArsinoma Sel Hurthle dengan invasi kapsul
dan pembuluh darah.
Penatalaksanaan selanjutnya pada pasien adalah tindakan Radioiodine ablasi. Namun
tindakan ini tidak bisa langsung dilakukan oleh karena adanya keterbatasan saran prasaran
dan penjadwalan yang baru bisa dilakukan beberapa bulan kemudian. Terapi supresi TSH
dengan L-thyroxyn dan suplementsi calcium diberikan kepada pasien. 1 bulan setelah operasi
pasien mengeluhkan sesak nafas Pemeriksaan fisik dan penunjang seperti foto thoraks dengan
hasil kardiomegali menunjukkan suatu efusi perikardium dan juga efusi pada pleura. Pasien
kemudian dilakukan rawat inap untuk tindakan pericardiosintesis dan evakuasi cairan pleura.
Selama perawatan di rumah sakit dijumpai keluhan baru berupa kelemahan anggota gerak
bagian kanan. Hasil CT scan kepala menunjukkan adanya massa slight hiperdens dengan
kalsifikasi pada oksipital kiri ukuran 2 cm dengan edema cerebri. Pasien kemudian di rujuk
ke RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk perawatan lanjutan.
2.a 2.b
Gambar 1. USG Leher Kesimpulan: Nodul padat multipel di lobus kanan-kiri dan isthmus thyroid sebagian memiliki komponen kistik dan kalsifikasi disertai limfadenopati di colli bilateral dan supraklavikula kiri.
50
Gambara 2. a. Foto Thoraks menunjukkan gambaran kardiomegali yang memungkinkan
suatu efusi pericard. b. CT scan kepala menunjukkan adanya massa slight hiperdens dengan
kalsifikasi pada oksipital kiri ukuran 2 cm dengan edema cerebri
Selama perawatan hasil analisis cairan efusi menunjukkan suatu metastasis
carcinoma. Dimana cairan efusi cukup produktif sehingga dipasang thoraks drain pada
pasien. Untuk metastasis di otak dengan edema serebri , diterapi dengan steroid dosis tinggi
yang kemudian dilakukan tappering. Pasien juga dikonsul ke bagian radioterapi untuk
dilakukan radiasi terhadap massa. Dilakukan radiasi hingga 10x selama perawatan. Klinis
sakit kepala dan parese dijumpai perbaikan setelah radioterapi.
Setelah lebih 1 bulan perawatan klinis pasien membaik dimana tidak dijumpai lagi
cairan pada perikardium dan efusi yang minimal pada pleura. Klinis parese juga dijumpai
perbaikan. Pasien dipersiapkan untuk rawat jalan dimana sebelum pulang dilakukan Whole
body Scanning (WBS) dengan NaI-131, dengan hasil adanya residu jaringan tiroid di tiroid
bed, dan kecurigaan metastasis di hemithoraks kanan. Oleh karena pertimbangan adanya
riwayat parese dengan massa dan edema cerebri pada pasien, dilakukan terapi radioiodine
ablasi dengan Nai-131 dosis hanya 30 mCi. Selanjutnya direncanakan ablasi dengan dosis
yang sama secara berkala setiap 3 bulan dimulai dengan WBS yang diikuti dengan
pemantauan klinis dan laboratorium seperti Tyroglobulin, TSH dan ATA. Pasien rawat jalan
dengan L-thyroxyn 1x 100mcg untuk supresi TSH (target TSH <0,1 mIU/ml) , suplementasi
kalsium dan terapi simptomatiklain.
51
Gambar 3. Whole body scanning pasca terapi paska ablasi dengan Radiofarmaka
NaI-131dijumpai adanya residu di jaringan tiroid dan metastasis pada hemithoraks kanan.
DISKUSI
KSH pertama kali dijelaskan oleh Ewing pada tahun 1928; berjumlah sekitar 3% dari
semua kanker tiroid dan saat ini diklasifikasikan sebagai varian dari karsinoma folikuler
menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 4 KSH dibagi berdasarkan histologi menjadi
subkelompok invasif minimal atau invasif luas. Karsinoma invasif minimal adalah tumor
yang sepenuhnya terdapat didalam kapsuldengan fokus yang dapat diidentifikasi secara
mikroskopis tidak ditemukan invasi keluar kapsul tiroid atau pembuluh darah (<4 fokus),
kontradiksi dengan tumor invasif luas, yang memiliki invasi vaskular yang luas (>4 fokus)
dan invasi ekstrathyroidal. 5
Salah satu hambatan mendasar untuk mempercepat pengobatan adalah
ketidakmampuan kita untuk menegakkan diagnosis KSH sebelum operasi, baik secara
radiologis atau dengan sitologi berdasarkan aspirasi jarum halus . Dengan tidak dijumpainya
tanda-tanda invasif atau metastasis yang dapat diidentifikasi pada studi pencitraan, biasanya
tidak mungkin untuk membedakan apakah proses sel Hürthle tersebut jinak ataupun yang
ganas; untuk alasan ini, evaluasi histologis berdasarkan spesimen bedah umumnya
diperlukan. Ultrasound saja tidak dapat membedakan KSH dari varian histologis lainnya,
karena secara klinis dapat menunjukkan spektrum temuan sonografi dari hypoechogenicity ke
hyperechogenicity.. 6
KSH saat ini ditunjuk oleh WHO sebagai varian histopatologis dari karsinoma
folikuler, dan ini disebutkan dalam pedoman pengobatan American Thyroid Association
(ATA) dan National Comprehensive Cancer Network (NCCN), dengan KSH mengikuti
stratifikasi risiko yang sama seperti karsinoma folikuler. Pada ATA, tumor dengan
enkapsulasi intrathyroidal dengan invasi kapsular ataupun vaskular yang minor (<4 fokus)
atau <5 kelenjar getah bening metastasis di mana fokus metastasis < 0,2 cm dianggap suatu
risiko rendah. Risiko rekurensi intermediate didefinisikan dengan adanya invasi vaskular dan
atau ekstensi ekstrathyroidal yang minimal, atau >5 kelenjar getah bening metastasis (uk 0,2-
3 cm). Pasien dengan risiko tinggi termasuk dengan ekstensi makroskopik ekstrathyroidal,
reseksi tumor yang tidak lengkap, metastasis jauh, atau kelenjar getah bening metastatik
ukuran > 3 cm.5,7
52
Perawatan utama untuk semua kanker tiroid yang adalah dengan reseksi bedah, dan
tidak terkecuali pada KSH. Memang, karena aviditas yang relatif berkurang dari KSH dengan
radioaktif yodium (RAI) sehingga mempengaruhi efikasi pengobatan, reseksi bedah dengan
lengkap dan total sangatlah penting. Karena tidak mungkin untuk membuat diagnosis
sitologis KSH sebelum operasi, 2 poin keputusan utama dalam manajemen bedah adalah
perencanaan tingkat awal operasi dan apakah reseksi bedah lebih lanjut ( tiroidektomi secara
komplit) diperlukan setelah diagnosis KSH dikonfirmasi secara histologis. Dalam kasus KSH
invasif luas, risiko kekambuhan adalah 73%, dan karena itu, harus ditempatkan dalam
kategori risiko intermediate atau risiko tinggi menurut ATA., melanjutkan pengobatan
tambahan dengan RAI. Untuk pasien-pasien ini, tindakan dengan tiroidektomi total
merupakan pilihan pertama.7
Sel-sel kanker tiroid yang berdiferensiasi baik mengekspresikan reseptor Thyroid
Stimulating Hormone (TSH) dan ikatan TSH dengan resptornya ini mempromosikan
pembelahan sel dan pertumbuhan tumor. Menggunakan dosis supra-fisiologis levothyroxine
dapat menekan kadar TSH, berpotensi mengurangi risiko kekambuhan. Besarnya tingkat
penekanan TSH setelah operasi ditentukan oleh level risiko kekambuhan pasien secara
keseluruhan, menggabungkan respons pasien terhadap terapi serta kondisi komorbiditas lain
yang dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi akibat penekanan TSH yang
berkepanjangan. KSH invasif minimal sepenuhnya dikategorikan oleh ATA dan NCCN
sebagai risiko rendah, dan tidak memerlukan terapi supresif TSH; serum TSH dapat
dipertahankan dalam kisaran referensi rendah-normal (0,5-2 mU / L). Pada pasien dengan
respons terapi yang tidak lengkapyangdianggap risiko kekambuhan tinggi, serum TSH harus
dijaga di bawah 0,1 mU / L dengan batas waktu tertentu, kecuali jika ada kontraindikasi.5
Secara keseluruhan, pengobatan dengan RAI tidak direkomendasikan secara rutin
pada pasien dengan risiko kekambuhan yang rendah; RAI lebih baik dipersiapkan untuk
pasien dengan risiko kambuh sedang atau tinggi. Ada kontroversi sehubungan dengan
aviditas RAI pada KSH dan efek pengobatan RAI pada kelangsungan hidup pasien dengan
KSH. Sebagian besar studi yang telah mengevaluasi kemanjuran RAI untuk KSH adalah
merupakan penelitian seri kecil, retrospektif, tunggal-institusional, mungkin disebabkan
karena kelangkaan KSH. Bebrapa literatur menyimpulkan bahwa RAI diindikasikan pada
pasien KSH yang memiliki tumor >2 cm dan dengan/ atau nodus dan metastasis jauh.8
Terapi target pada pasien dengan kanker tiroid lanjut adalah modalitas yang berharga
untuk mengatasi fokus ganas yang muncul di lokasi kritis lain pada tubuh yang berisiko
tinggi menyebabkan morbiditas atau mortalitas yang signifikan sekunder karena infiltrasi
53
tumor ataupun kompresi struktur vital jika tidak segera diobati. Lokasi kritis tersebut
termasuk otak, tulang belakang, dan tulang (berisiko patah tulang patologis). Penyakit
metastasis pada daerah servikal dan mediastinum dapat menganggu struktur jalan napas
utama (misalnya, trakea, laring, bronkus mayor), begitu juga metastasis pada saluran
pencernaan dan pembuluh darah besar, yang dapat menyebabkan obstruksi atau hambatan.
lesi mungkin memerlukan perawatan sebelum terapi RAI untuk mencegah morbiditas terkait
pembengkakan yang dapat terjadi pada beberapa fokus metastasis ini. Pilihan terapi spesifik
target tergantung pada ukuran dan lokasi tumor, preferensi pasien, dan diskusi antara semua
anggota tim manajemen penyakit antar disiplin ilmu. Secara keseluruhan, metastasis otak
jarang terjadi; biasanya ditemukan dalam keadaan penyakit metastasis luas dan berhubungan
dengan prognosis yang buruk. Glukokortikoid dosis tinggi dapat direkomendasikan untuk
mengurangi edema serebri yang dijumpai pada metastasis otak. Reseksi bedah merupakan
pilihan pertama terapi, kecuali jika lesi sangat kecil dan / atau mutifocal. Radiasi stereotactic
bisa efektif jika, terdapat <3-5 lesi kecil, dan radiasi seluruh otak diperlukan ketika ada lesi
yang dijumpai lebih banyak.9
Terapi sistemik harus dipertimbangkan dalam keadaan -keadaan berikut: ketika
pasien memiliki gejala penurunan berat badan, pengecilan otot, ataupun kelelemahan, atau
gejala konstitusional lainnya yang disebabkan oleh beban penyakit yang signifikan. ketika
laju perkembangan penyakit struktural cukup cepat sehingga penyakit cenderung
menyebabkan morbiditas dan atau ketika dijumpai fokus metastasis tambahan. Saat ini, hanya
sorafenib dan lenvatinib golongan Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI) yang sudah disetujui oleh
US Food and Drug Administration untuk kanker tiroid yang refrakter dengan RAI.
KSH dikaitkan dengan perilaku klinis yang lebih agresif dibandingkan dengan kanker
tiroid diferensiasi baik lainnya, contohnya saja lebih sering terlihat dengan tingkat metastasis
yang lebih jauh dan tinggi. Dalam sebuah penelitian retrospektif dari 32 pasien dengan KSH
metastasis, Besic dkk melaporkan perkiraan tingkat kelangsungan hidup sakibat penyakit
dalam 5 dan 10 tahun masing-masing sebesar 81% dan 60%. 7,10
KESIMPULAN
Dilaporkan seorang wanita dengan karsinoma sel hurthle tiroid dengan metastasis ke
perikard, pleura dan otak. Diagnosis berdasarkan histopatologi. Diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk menentukan pola penyakit, terapi dan prognostic terhadap KSH tiroid ini.
54
REFERENSI
1. 1. Baloch ZW, Mandel S, LiVolsi VA: Combined tall cell carcinoma and Hürthle cell carcinoma (collision tumour) of the thyroid. Arch Pathol Lab Med 2001, 125:541-543.
2. Rosai J, Carcangui ML, DeLellis RA: Tumours of thyroid gland. Atlas of tumour pathology. Series 3, Fasicle 5. Washington, DC: Armed Forces Institute of Pathology 1992
3. Hanief M.R, Igali L,Grama D. Hürthle cell carcinoma: diagnostic and therapeutic implications. World Journal of Surgical Oncology 2004, 2:27
4. DeLellis RA, Lloyd RV, Heitz PU, Eng C, editors. Pathology and Genetics of Tumors of the Endocrine Organs. Lyon: IARC Press; 2004.
5. Haugen BR, Alexander EK, Bible KC, et al. 2015 American Thyroid Association management guidelines for adult patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer: the American Thyroid Association Guidelines Task Force on Thyroid Nodules and Differentiated Thyroid Cancer. Thyroid. 2016;26(1):1–133.
6. Maizlin ZV, Wiseman SM, Vora P, et al. Hurthle cell neoplasms of the thyroid: sonographic appearance and histologic characteristics. J Ultrasound Med. 2008;27(5):751–757; quiz 759
7. Ahmadi S, Stang M, Jiang X, Sosa J.A. Hürthle cell carcinoma: current perspectives OncoTargets and Therapy 2016:9 6873–6884
8. illard CL, Youngwirth L, Scheri RP, Roman S, Sosa JA. Radioactive iodine treatment is associated with improved survival for patients with Hurthle cell carcinoma. Thyroid. 2016;26(7):959–964.
9. Bernad DM, Sperduto PW, Souhami L, Jensen AW, Roberge D. Stereotactic radiosurgery in the management of brain metastasiss from primary thyroid cancers. J Neurooncol. 2010;98(2):249–252
10. Besic N, Schwarzbartl-Pevec A, Vidergar-Kralj B, Crnic T, Gazic B, Marolt Music M. Treatment and outcome of 32 patients with distant metastasiss of Hurthle cell thyroid carcinoma: a single-institution experience. BMC Cancer. 2016;16:162.
55
Seorang Penderita Addison’s Disease Dengan Dugaan Autoimmune Polyglandular Syndrome Type 2
Deasy Ardiany, Sony Wibisono, Agung Pranoto
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
ABSTRAK
Pendahuluan
Primary adrenal insufficiency (PAI), atau Addison’s disease, merupakan penyakit yang
jarang dijumpai. Kebanyakan kasus Addison’s disease dikarenakan proses autoimun destruksi
kortek adrenal. Karena itu, pasien Addison’s disease berisiko menjadi penyakit autoimun lainnya.
Kombinasi ini diklasifikasikan menjadi beberapa sindroma poliendokrin. Autoimmune
polyglandular syndrome type 2 (APS-2), merupakan penyakit dengan karakteristik adanya
Addison's disease dengan thyroid autoimmune disease dan/atau type 1 diabetes mellitus. Diagnosis
Addison’s disease sering terlambat dan kebanyakan pasien datang dengan keluhan insufisiensi
adrenal akut. Krisis adrenal akut merupakan kondisi yang mengancam jiwa, memerlukan
pengobatan segera. Karena Addison’s disease merupakan kasus jarang maka diperlukan diagnosis
yang tepat dan tatalaksana komprehensif oleh Endokrinologist.
Kasus
Seorang Wanita, 51 tahun dengan keluhan mual dan muntah. Bibir, lidah, wajah, kuku kaki
dan tangan mulai menghitam sejak 10 hari sebelum datang ke RSUD Dr. Soetomo. Pasien
memiliki riwayat kulit menghitam 5 tahun yang lalu dengan hasil ACTH yang meningkat dan
mendapatkan pengobatan rutin di RS swasta dengan prednisone 5 mg/24 jam, riwayat DMT2 sejak
15 tahun dengan terapi glimepiride 2 mg/24 jam dan metformin 500 mg/8 jam. Hasil laboratorium
didapatkan kadar kortisol pagi rendah dan ACTH meningkat. Kadar HbA1c 10% dengan C-peptide
normal. Pemeriksaan kadar FT4 meningkat, kadar TSH rendah dengan TRAb positif. Pemeriksaan
EKG didapatkan AF rapid dan hasil CT scan abdomen didapatkan ukuran adrenal gland kanan kiri
teridentifikasi sangat kecil. Pasien didiagnosis sebagai Addison’s Disease dengan Graves’ Disease
dan DM tipe 2. Pengobatan di RS pasien mendapatkan injeksi hidrokortison 100 mg tiap 8 jam,
kontrol glukosa darah menggunakan insulin glargine dan aspart, sedangkan pengobatan hipertiroid
dengan thyrozol 20 mg/12 jam dan propanolol 20 mg/8 jam. Selama perawatan keluhan mual
muntah membaik dan hiperpigmentasi kulit berkurang. Pasien selanjutnya direncanakan perawatan
poliklinis dengan mendapatkan terapi hidrokortison 20 mg/8 jam, insulin glargine dan aspart,
thyrozol 20 mg/12 jam dan propanolol 20 mg/8 jam.
56
Diskusi
Primary adrenal insufficiency atau Addison’s disease didefinisikan sebagai
ketidakmampuan korteks adrenal memproduksi glukokortikoid dan/atau mineralokortikoid dalam
jumlah yang cukup. Tanda dan gejala PAI terutama akibat kekurangan gluko dan
mineralokortikoid dan mengakibatkan penurunan berat badan, hipotensi ortostatik akibat dehidrasi,
hiponatremia, hiperkalemia, perubahan sel darah (anemia, eusinofilia, limfositosis) dan
hipoglikemia. Peningkatan sekresi ACTH dan pro-opiomelanocortin peptide lainnya sering
mengakibatkan hiperpigmentasi pada kulit dan membran mukosa. Addison’s disease dapat
merupakan bagian dari autoimmune polyglandular syndromes (type 1 and 2). Autoimmune
polyendocrine syndrome type-2 (APS-2) merupakan sekelompok penyakit autoimun organ spesifik
dengan pola pewarisan yang kompleks dan kebanyakan kasus meliputi PAI dengan hipotiroidisme
primer. Spektrum kondisi ini termasuk hipertiroidisme akibat Graves’ disease, gastritis autoimun
dengan defisiensi vitamin B12 dan diabetes tipe 1. Pasien dengan PAI memerlukan terapi steroid
jangka panjang, baik berupa glukokortikoid dan mineralokortikoid. Keterlambatan pemberian
hidrokortison pada kondisi gawat atau stres dapat berakibat fatal. Pada kondisi sedang sakit ataupun
sebelum prosedur operasi perlu pemberian stress-dose glukokortikoid untuk mencegah krisis
adrenal. Penatalaksanaan pasien Addison’s disease meliputi pemeriksaan medis rutin untuk
mengevaluasi kondisi biologis pasien, dosis terapi pengganti hormon dan kualitas hidup. Target
pengobatan adalah mendapatkan selera makan yang baik, berat badan stabil, aktivitas profesional
dan rumah tangga penuh dan aktivitas seksual normal.
Kesimpulan
Telah dilaporkan seorang wanita 51 tahun dengan Addison’s disease, hipertiroidisme dan
DM tipe 2. Pasien diduga merupakan Autoimmune polyglandular syndrome type 2 (APS-2), yang
merupakan penyakit jarang dengan karakteristik adanya Addison's disease dengan autoimmune
thyroid disease (ATD) dan/atau type 1 diabetes mellitus. Selama perawatan di RS pasien
mendapatkan injeksi hidrokortison 100 mg tiga kali sehari, insulin aspart dan glargine serta thyrozol
dan propanolol. Selama perawatan kondisi pasien membaik, keluhan mual, muntah dan kulit
menghitam berkurang. Pasien dipulangkan dan selanjutnya kontrol di poli rawat jalan dengan
mendapat terapi hidrokortison 20 mg tiga kali sehari, insulin aspart dan glargine serta thyrozol dan
propanolol.
Kata kunci
Addison’s Disease, Primary Adrenal Insufficiency, Graves’ Disease, DM tipe 2, Autoimmune
Polyglandular Syndrome type 2.
57
Seorang Penderita Addison’s Disease Dengan Dugaan Autoimmune Polyglandular Syndrome Type 2
Deasy Ardiany, Sony Wibisono, Agung Pranoto
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
PENDAHULUAN
Primary adrenal insufficiency (PAI), atau Addison’s disease, merupakan penyakit yang
jarang dijumpai, berpotensi mengancam jiwa akibat kegagalan adrenal akut, infeksi dan kematian
mendadak tetapi merupakan penyakit yang dapat diobati. Kebanyakan kasus Addison’s disease
dikarenakan proses autoimun destruksi kortek adrenal. Karena itu, pasien Addison’s disease
berisiko menjadi penyakit autoimun lainnya. Kombinasi ini diklasifikasikan menjadi beberapa
sindroma poliendokrin (1). Autoimmune polyglandular syndrome type 2 (APS-2), merupakan
penyakit yang jarang dengan karakteristik adanya Addison's disease dengan autoimmune thyroid
disease (ATD) dan/atau type 1 diabetes mellitus. Angka kejadian ATD pada pasien dengan PAI
dilaporkan 24% dari 148 pasien di Polandia, 47% dari 664 pasien di Norwegia dan 10 dari 3.286
pasien (0,3%) di UK (2). Diagnosis Addison’s disease sering terlambat dan kebanyakan pasien
datang dengan keluhan insufisiensi adrenal akut. Krisis adrenal akut merupakan kondisi yang
mengancam jiwa yang memerlukan pengobatan segera. Karena Addison’s disease merupakan kasus
jarang maka diperlukan diagnosis yang tepat dan tatalaksana komprehensif oleh Endokrinologist.
ILUSTRASI KASUS
Seorang wanita usia 51 tahun, bertempat tinggal di Surabaya, beragama Islam, bekerja
sebagai pembantu perawat di RS Swasta di Surabaya, MRS di Ruang Kemuning 2 RSUD dr.
Soetomo dengan keluhan badan lemah, mual dan muntah disertai bibir menghitam.
Mual dan muntah setiap kali makan dan minum disertai nyeri perut dan badan lemah sejak 1
minggu sebelum masuk RS. Didapatkan penurunan nafsu makan 10 hari terakhir. Bibir, lidah,
wajah, kuku kaki dan tangan mulai menghitam sejak 10 hari sebelum datang ke RSUD Dr.
Soetomo.Pasien juga merasa nyeri dan lemah di kedua kaki, namun menghilang bila istirahat. BAB
lembek 5 kali/hari warna cokelat, BAK normal. Penurunan berat badan sejak 2 bulan lalu sebanyak
6 kg. Didapatkan keluhan batuk 2 hari terakhir tanpa dahak,tidak ada demam.
Pada riwayat penyakit dahulu, pasien MRS di RS swasta Surabaya dengan Addison’s
disease dengan mual, muntah dan nyeri perut sebelum dirujuk di RSUD Dr. Soetomo. Pasien
58
menjalani rawat jalan di RS swasta tersebut selama 5 tahun saat diketahui menderita Addison’s
disease. Pasien merasakan kulit menghitam dan badan mudah lelah. Hasil laboratorium kadar
ACTH yang tinggi (ACTH: 4126 pg/mL pada tahun 2013) dan kadar kortisol yang turun. Pasien
menjalani pengobatan rutin dengan terapi prednisone 5 mg /24 jam. Pasien menderita diabetes
melitus sejak 15 tahun yang lalu dan rutin kontrol dengan terapi glimepiride 2 mg/24 jam dan
metformin 500 mg/8 jam. Pasien sudah tidak menstruasi sejak 10 tahun yang lalu. Pasien tidak
memiliki riwayat hipertensi, penyakit Hepatitis B, stroke, jantung, tumor dan TBC sebelumnya.
Pada riwayat sosial, pasien merupakan anak ke-4 dari 5 bersaudara. Tidak didapatkan sakit
seperti ini pada keluarganya. Riwayat ayah pasien meninggal karena penyakit kencing manis.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan keadaan umum lemah, kesadaran kompos
mentis, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 104x/menit reguler, pernapasan 20x/menit, suhu axiler
37°C. Berat badan 50 kg, tinggi badan 155 cm. Pada pemeriksaan kepala dan leher tidak
didapatkan anemis, ikterus, sianosis, maupun dispneu. Pada pipi, mukosa oral, bibir, gusi dan faring
didapatkan hiperpigmentasi. Tidak didapatkan peningkatan JVP, tidak didapatkan pembesaran
kelenjar getah bening leher dan tidak ada nodul tiroid. Pemeriksaan thoraks pergerakan simetris,
tidak didapatkan retraksi. Pada pemeriksaan jantung didapatkan S1 dan S2 tunggal, teratur, tidak
didapatkan suara bising jantung maupun irama gallop. Pada pemeriksaan paru suara napas
vesikular, tidak didapatkan ronkhi maupun wheezing di kedua lapang paru. Pada abdomen
didapatkan striae, suara bising usus normal dengan palpasi supel, tidak ada nyeri tekan, perkusi
timpani, hepar dan lien tidak teraba. Pemeriksaan ektremitas didapatkan akral hangat, didapatkan
hiperpigmentasi pada ujung manus dan pedis. Pemeriksaan saturasi oksigen perifer pada
ekstremitas superior dan inferior 97% udara bebas.
Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium pada tanggal 02 Desember
2018 didapatkan hasil: GDA 271 mg/dL, BUN 16 U/L, serum kreatinin 0,76 mg/L, natrium 133
mmol/L, kalium 4,4 mmol/L, klorida 92 mmol/L, hemoglobin 13,2, lekosit 4.550, neutrophil 49%,
limfosit 35,3%, trombosit 263.000, SGOT 30 U/L, SGPT 43 U/L, albumin 3,35 g/dL, total bilirubin
0,92 mg/dL, bilirubin direk 0,36 mg/dL. Pemeriksaan urine lengkap didapatkan hasil: pH 5,0 ,
protein (-), urobilin (-), nitrit (-), leukosit (-), glukosa 4+, bilirubin (-), keton (-), eritrosit 0-2/ lp,
leukosit 2-5/lp, epitelsedang/ lp.
Hasilpemeriksaanlaboratoriumtanggal03Desember2018:GDA155mg/dL,HbA1c10%,
kalsium10,1mg/dL,fosfat7,5mg/dL,kolesteroltotal85mg/dL,trigliserida207mg/dL,HDL20
mg/dL,LDL46mg/dL,fT49,85ng/dl,TSH0,024uIU/ml,kortisol0,50µg/dL.Hasilrontgenthorax
cor dan pulmo tak tampak kelainan. Foto rontgen pedis kanan AP/oblique didapatkan hasil
normal. Hasil pemeriksaan elektrokardiogram didapatkan irama sinus takikardi 105 kali/menit.
Pasien membawa hasil pemeriksaan dari RS sebelumnya dengan hasil: Echocardiogram (10
59
September 2013): Normal Resting Trans Thoracal Echocardiogram EF 70.7%, USG Abdomen (21
September2013)Kesimpulan: secaraultrasonography tak tampakgambaranmassadi suprarenal,
fatty liver, cholelitiasis multiple disertai cholecystitis kronis. CT Scan Kepala (tanpa kontras) 23
September2013:Kesimpulan:CTScankepalasaatininormal.MRIKepalairisanaxialT1FSE,T2FRFSE,
FLAIR, Diffusion, irisan coronal dan sagital T2FRFSE (15 Agustus 2014)Kesimpulan: Tak tampakmassa
hypophysisdanhypothalamus.Postdynamickontrastidakmenunjukkanabnormalcontrastenhancement
ataupundelayedenhancednodule.MSCTAbdomen(20Agustus2014)Kesimpulan:cholelitiasismultiple
disertaicholecystitiskronis,tidaktampakgambaranmassadisuprarenal,myomaUteri.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, penderita
didiagnosis sebagai adrenal insufisiensi curiga Addison’s disease + Hipertiroid + DM tipe 2. Pasien
direncanakan CT scan abdomen dengan kontras fokus adrenal, kortisolpagi, ACTH, GDP, G2JPP,
HbA1c, profil lipid, serum elektrolit, asam urat, c-peptide, hidroksi 25 OH (vit D), PTH, TRAb ,
anti TPO, kalium dan natrium urine. Terapi awal: diet B 1900 kkal/hari, inf. NaCl 0.9% 1500 cc/24
jam, inj. hidrocortison 100 mg/8 jam iv, inj. insulin aspart 6 unit sc 15 menit sebelum makan, inj.
glargine 8 unit sc malam, inj. ranitidin 50 mg/12 jam iv, inj. metoclopramide 10 mg/8 jam iv.
Hari ke-2 perawatan: pasien masih mengeluh mual disertai badan terasa lemas. Nyeri-nyeri
pada sendi juga masih dirasakan pasien. Keadaan umum GCS 456. Tekanan darah 110/70 mmHg,
nadi 110x/ menit, pernapasan 20x/menit, suhu axilla 370 C, TSH 0,024 uIU/mL (0,55-4,78
uIU/mL), FT4 9.85 ng/dL (0,89-1,76 ng/dL), cortisol 0.50 ug/dl (pagi: 4,30-22,40 ug/dl), kalium
4,8 mmol/l, natrium 128 mmol/l, klorida 95,0 mmol/l.
Hari ke-4 perawatan: keluhan mual sudah membaik, namun pasien masih mengeluh nyeri-
nyeri pada seluruh badan. Keadaan umum GCS 456, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 90x/ menit,
pernapasan 20x/menit, suhu axilla 37 0C. Pemeriksaan laboratorium: cortisol 3.14 µg/dL, ACTH
62,9 pg/mL (normal ACTH < 46 pg/mL), GDP 184 mg/dL, GD2JPP 279 mg/dL, kalium 3,4
mmol/l, natrium 130 mmol/l, klorida 97 mmol/l, kalsium 8,3 mg/dl, hemoglobin 11,3 g/dl, lekosit
3230/ul, trombosit 212.000/ul, TSH 0,012 uIU/mL, FT4 11,47 ng/dL. Pasien direncanakan
dilakukan pemeriksaan glukosa darah serial, CT scan dengan kontras fokus adrenal, C-peptide,
hidroksi 25 OH (vit D), PTH, TRAb, dan anti TPO. Terapi insulin glargine dinaikkan menjadi 12
IU.
Hari ke-8 perawatan: Pasien mengeluh dada berdebar dan kepala terasa pusing. Kondisi
umum pasien lemah. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 110x/ menit irreguler, pernapasan
24x/menit, suhu axilla 37.40C. Didapatkan hasil lab C-peptide 2,99 ng/mL (normal 1,1 – 4,4
ng/mL) , PTH 21,59 pg/mL ( normal 15-65 pg/mL) ,Vit D 25 OH 12,9 ng/mL (defisiensi< 20
ng/mL), GDP 240 mg/dL, GD2JPP 200 mg/dL, kalium 3,6 mmol/l, natrium 135 mmol/l, klorida
96 mmol/l, hemoglobin 12,7 g/dl , lekosit 8.280/ul , trombosit 192.000/ul, TSH <0,004 uIU/mL,
60
FT4 117,6 ng/dL. Pasien mendapat tambahan terapi thyrozol 20 mg/12 jam, propanolol 20 mg/8
jam.
Hari ke-10 perawatan : Keluhan dada berdebar pada pasien sudah membaik. Keluhan kulit
menghitam juga sudah berkurang. Kondisi umum pasien cukup. Tekanan darah 120/60 mmHg, nadi
98 x/ menit reguler, pernapasan 20x/menit, suhu axilla 37.40C. Didapatkan GDP 170 mg/dL,
GD2JPP 180 mg/dL, hemoglobin 11,3 g/dl , lekosit 9.670/ul , trombosit 196.000/ul, TSH <0,004
uIU/mL FT4 10,84 ng/dL. Dari hasil CT scan abdomen dengan kontras focus adrenal didapatkan
ukuran adrenal gland kanan kiri teridentifikasi sangat kecil yaitu dengan ukuran kanan: body
+/- 4,5 mm, limb +/- 2,3 mm dan ukuran kiri: body +/- 4 mm, limb +/- 2,7 mm. Kesan: adrenal
gland kanan kiri yang teridentifikasi ukuran kecil curiga hypoplasia adrenal gland bilateral,
cholelitiasis dengan sludge GB dengan cholecystitis, KGB subcentimeter di parailiaca kanan kiri
dan inguinal kanan kiri.
Hari ke-15 perawatan: pasien saat ini tidak didapatkan keluhan. Badan lemas membaik.
Kondisi umum pasien cukup. Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 84x/ menit reguler, pernapasan
20x/menit. Didapatkan hasil lab anti TPO 21,7 IU/mL (negatif< 50 IU/mL), TRAb 2,73 IU/L
(negatif bila < 1,75 IU/L), GDP 135 mg/dL, GD2JPP 160 mg/dL, hemoglobin 11,6 g/dl, lekosit
11.020/ul , trombosit 213.000/ul, kalium 2,7 mmol/l, natrium 143mmol/l, klorida 99mmol/l,
kalsium 7,7 mg/dL. Pasien mendapat tambahan terapi infus KN2 1000 cc/24 jam, potassium
chloride tab 600mg/12 jam, kalsium tab/8 jam, hidrokortison 20 mg tablet/8 jam.
Hari ke-19 perawatan: Pasien saat ini tidak didapatkan keluhan. Pasien kami pulangkan dan
kontrol rawat jalan. Kondisi umum pasien cukup. Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 84 x/ menit
reguler, pernapasan 20 x/menit. GDA 180 mg/dL, kalium 4,3 mmol/l, natrium 130 mmol/l, klorida
96mmol/l, kalsium 8,6 mg/dL. Diagnosis pasien dengan Addison’s disease + hipertiroid + DMT2.
Terapi: insulin aspart 6 IU - 6 IU - 6 IU sc sebelum makan, insulin glargine 18 IU jam 21.00,
thyrozol 20 mg/12 jam, propanolol 20 mg/8 jam, hidrokortison 20 mg tablet/8 jam.
PEMBAHASAN
Primary adrenal insufficiency atau Addison’s disease didefinisikan sebagai
ketidakmampuan korteks adrenal memproduksi glukokortikoid dan/atau mineralokortikoid dalam
jumlah yang cukup. PAI merupakan kondisi yang berat dan berpotensial mengancam jiwa akibat
peranan penting hormon ini dalam keseimbangan energi, garam, dan cairan. PAI pertama kali
diutarakan oleh Thomas Addison sehingga disebut Addison’s disease (3). Autoimmune adrenalitis
merupakan penyebab tersering PAI di Amerika Serikat, penyebab lain yaitu infeksi, perdarahan,
kenker metastase, penggunaan obat-obatan, dan adrenoleukodystrophy. Autoimmune adrenalitis
merupakan kelainan dimana terdapat kerusakan korteks adrenal mengakibatkan kehilangan hormon
61
mineralokortikoid, glukukortikoid dan androgen adrenal (5). Kekurangan kortisol mengakibatkan
umpan balik aksis hypothalamic-pituitary dan selanjutnya meningkatkan stimulasi kortek adrenal
dengan peningkatan kadar ACTH plasma. Akibat gangguan sintesis mineralokortikoid adrenal,
renin dilepaskan oleh sel juxtaglomerular ginjal meningkat (3). Tanda dan gejala PAI terutama
akibat kekurangan gluko dan mineralokortikoid dan mengakibatkan penurunan berat badan,
hipotensi ortostatik akibat dehidrasi, hiponatremia, hiperkalemia, perubahan sel darah (anemia,
eusinofilia, limfositosis) dan hipoglikemia. Peningkatan sekresi ACTH dan pro-opiomelanocortin
peptide lainnya sering mengakibatkan hiperpigmentasi pada kulit dan membran mukosa. Pada
wanita, kehilangan androgen adrenal mengakibatkan kehilangan rambut aksiler dan pubis. Selain itu
dapat dijumpai gejala yang tidak spesifik seperti kelemahan, mudah lelah, nyeri muskuloskeletal,
penurunan berat badan, nyeri perut, depresi dan ansietas. Akibatnya diagnosis PAI sering terlambat,
pasien datang dengan presentasi klinis krisis adrenal yang mengancam jiwa (3).
Pada pasien ini didapatkan keluhan mual, muntah, nyeri perut dan penurunan berat badan.
Pada bibir, lidah, wajah, kuku kaki dan tangan menghitam. Didapatkan riwayat Addison’s disease
sejak 5 tahun yang lalu dan rutin mengkonsumsi prednison 5 mg/24 jam.
Endocrine Society Guideline merekomendasikan tes konfirmasi dengan corticotropin
stimulation test pada pasien dengan tanda dan gejala kecurigaan PAI. Jika corticotropin stimulation
test tidak tersedia, maka disarankan menggunakan pemeriksaan kortisol pagi < 140 nmol/L
(5µg/dL) dikombinasikan dengan ACTH sebagai tes pendahuluan kecurigaan insufisiensi adrenal
(3).
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ACTH 62,9 pg/mL (normal
ACTH < 46 pg/mL) dan kadar kortisol pagi 0,50 µg/dL sehingga menyokong diagnosis Addison’s
disease.
Addison’s disease dapat merupakan bagian dari autoimmune polyglandular syndromes (type
1 and 2). Sekitar setengah dari pasien PAI memiliki penyakit autoimun lainnya seperti penyakit
tiroid autoimun, gastritis autoimun dengan defisiensi vitamin B12 dan diabetes mellitus tipe 1.
Autoimmune polyendocrine syndrome type-1 (APS-1) diakibatkan mutasi autoimmune regulator
(AIRE) gene dan didefinisikan atas 2 dari 3 komponen yaitu PAI, hipoparatiroidisme dan
kandidiasis mukokutaneus kronis. Autoimmune polyendocrine syndrome type-2 (APS-2) merupakan
sekelompok penyakit autoimun organ spesifik dengan pola pewarisan yang kompleks dan
kebanyakan kasus meliputi PAI dengan hipotiroidisme primer. Spektrum kondisi ini termasuk
hipertiroidisme akibat Graves’ disease, gastritis autoimun dengan defisiensi vitamin B12 dan
diabetes tipe 1 (1). Prevalensi PAI sekitar 4-5 per 100.000 orang. Wanita berisiko 3 kali lebih
dibandingkan laki-laki dan sering didapatkan pada usia 20-60 tahun, kebanyakan pada dekade
ketiga atau keempat (4).
62
Pasien merupakan wanita usia 51 tahun, selain didapatkan gejala dan tanda Addison’s
disease dari hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hipertiroidisme dengan TRAb positif.
Pasien memiliki riwayat DM sebelumnya, tetapi hasil pemeriksaan C-peptide normal.
Graves’ disease dengan intoleransi glukosa dan koinsiden dengan diabetes sekitar 3% kasus.
Hipertiroidisme dapat dicetuskan oleh ketidakseimbangan akut Addison’s disease (4).
Pada pasien didapatkan Addison’s disease dengan DMT2 dan hipertiroid dengan
komplikasi fibrilasi atrial saat perawatan.
Diagnosis PAI memerlukan dua tahapan. Pertama, menilai fungsi korteks adrenal. Saat
diagnosis PAI ditegakkan dan kedua menentukan etiologinya karena etiologi dapat mempengaruhi
keputusan pengobatan dan tindak lanjut. Di Eropa Barat, autoimmunity didapatkan sekitar 85%
penyebab PAI setelah diagnosis congenital adrenal hyperplasia disingkirkan. Diagnosis autoimun
penyebab PAI dengan pemeriksaan 21OH-Ab sirkulasi. Selain itu penyebab PAI bisa karena
tuberkulosis, perdarahan adrenal dan kelainan genetik (1).
Pada pasien ini tidak didapatkan gejala dan tanda tuberkulosis, perdarahan adrenal dan
kelainan genetik. Untuk penyebab autoimun dengan pemeriksaan 21OH-Ab tidak dapat dilakukan
karena pemeriksaan tidak tersedia.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan hiponatremia pada 90 % kasus baru, tetapi kombinasi
hiponatremia dan hiperkalemia bukan merupakan penanda yang dapat diandalkan karena kadar
serum natrium seringkali menurun, sedangkan kadar serum kalium hanya meningkat pada setengah
pasien saat diagnosis ditegakkan. Hiponatremia terjadi akibat kehilangan natrium dari urine dan
peningatan pada vasopresin dan angiotensin II plasma yang mengganggu free water clearance.
Hiperkalemia diakibatkan defisiensi aldosteron, gangguan filtrasi glomerular dan asidosis.
Seringkali timbul gejala muntah hebat, hipokalemia dan alkalosis. Sekitar 10-20% pasien
mengalami hiperkalsemia ringan atau sedang. Anemia dengan eosinofilia ringan, limfositosis dan
peningkatan transaminase hati mungkin juga tampak (1).
Pada pasien ini didapatkan kadar awal kalium, natrium dan kalsium yang masih normal.
Selama perawatan didapatkan gejala muntah hebat sehingga kadar kalium, natrium dan kalsium
mengalami penurunan. Sedangkan kadar transaminase hati masih dalam batas normal.
Pencitraan radiografi dapat membantu menetukan penyebab Addison’s disease, tetapi tidak
spesifik pada pasien dengan destruksi autoimun. Computed tomography menunjukkan kelenjar
adrenal yang mengecil pada pasien destruksi adrenal autoimun. Pada kasus Addison’s disease lain,
CT dapat menunjukkan perdarahan, kalsifikasi akibat infeksi tuberkulosis, atau massa di adrenal
(5).
Hasil pemeriksaan CT Scan pada pasien didapatkan ukuran kelenjar adrenal kanan dan kiri
yang teridentifikasi ukuran kecil curiga hypoplasia adrenal gland bilateral.
63
Pasien dengan PAI memerlukan terapi steroid jangka panjang, baik berupa glukokortikoid
dan mineralokortikoid. Keterlambatan pemberian hidrokortison pada kondisi gawat atau stres dapat
berakibat fatal (1). Pada kondisi sedang sakit ataupun sebelum prossedur operasi perlu pemberian
stress-dose glukokortikoid akibat kerusakan dari kelenjar adrenal sehingga dapat mencegah respon
fisiologis yang kurang terhadap kondisi stres. Pada kondisi sakit ringan seperti infeksi influenza
atau gastroenteritis virus, pasien dapat meningkatkan dosis steroid tiga kali sehari selama sakit dan
kembali ke dosis normal setelah keluhan membaik. Pada kondisi mual, muntah atau kondisi lain
yang tidak memungkinkan pemberian peroral, glukokortikoid dapat diberikan secara injeksi (5).
Pada pasien didapatkan kondisi saat awal MRS dengan mual, muntah sehingga tidak
memungkinkan pemberian glukokortikoid secara peroral. Pada pasien ini diberikan injeksi
hidrokortison 100 mg tiga kali sehari. Gejala muntah membaik pada hari ke-10 perawatan, dan
pemberian hidrokortison diberikan secara peroral.
Sekitar 50% pasien dengan Addison’s disease akibat autoimmune adrenalitis dapat menjadi
gangguan autoimun lain sehingga diperlukan pengamatan berkelanjutan terhadap kelainan autoimun
(1,5). Adanya autoantibodi tiroid yang mengakibatkan hipotiroid sering dijumpai dan kasus
tirotoksikosis juga dapat terjadi. Sehingga monitoring fungsi tiroid setiap 12 bulan diperlukan
termasuk disini pemeriksaan TSH, FT4 dan TPO-Ab serum. Skrining tahunan juga meliputi kadar
glukosa plasma, HbA1c dan darah lengkap untuk penapisan diabetes mellitus dan anemia (1).
Pada pasien didapatkan keluhan berdebar dan dari hasil pemeriksaan fungsi tiroid
didapatkan kadar TSH rendah, kadar FT4 tinggi dan TRAb positif. Pasien diberikan pengobatan
terhadap kondisi hipertiroid dengan thyrozol 20 mg/12 jam, propanolol 20 mg/8 jam. Selama
perawatan di ruangan pasien mendapatkan suntikan insulin basal bolus dengan insulin aspart 6 IU
- 6 IU - 6 IU sc sebelum makan, insulin glargine 12 IU dan kadar glukosa darah terkontrol.
Penatalaksanaan pasien Addison’s disease meliputi pemeriksaan medis rutin untuk
mengevaluasi kondisi biologis pasien, dosis terapi pengganti hormon dan kualitas hidup. Target
pengobatan adalah mendapatkan selera makan yang baik, berat badan stabil, aktivitas profesional
dan rumah tangga penuh dan aktivitas seksual normal. Pada pemeriksaan fisik perlu dicari kondisi
fisik yang tidak seimbang. Warna kulit normal didapatkan pada sebagian pasien yang cukup terapi
pengganti hormon. Tekanan darah normal. Hipotensi postural menandakan kekurangan terapi
mineralokortikoid dan/atau asupan garam rendah. Penurunan berat badan merupakan gejala penting
kekurangan dosis kortikosteroid, kondisi stres, atau penyakit endokrin lain (tirotoksikosis) atau
penyakit nonendokrin (celiac disease). Pemeriksaan laboratotium rutin termasuk kalium, natrium
serum, kortisol serum dan urine (1).
64
Saat ini pasien rutin kontrol ke poli endokrin RSUD Dr. Soetomo setiap bulan. Pada kontrol
terakhir bulan Juni 2019 tidak didapatkan keluhan kulit menghitam, mual dan muntah dengan
berat badan stabil. Hasil pemeriksaan TSH 0,0003 uIU/mL, FT4 2,14 ng/dl dan cortisol <0,5µg/dL.
Kesimpulan
Telah dilaporkan seorang wanita 51 tahun dengan Addison’s disease, hipertiroidisme dan
DM tipe 2. Pasien diduga merupakan Autoimmune polyglandular syndrome type 2 (APS-2), yang
merupakan penyakit jarang dengan karakteristik adanya Addison's disease dengan autoimmune
thyroid disease (ATD) dan/atau type 1 diabetes mellitus. Selama perawatan di RS pasien
mendapatkan injeksi hidrokortison 100 mg tiga kali sehari, insulin aspart dan glargine serta thyrozol
dan propanolol. Selama perawatan kondisi pasien membaik, keluhan mual, muntah dan kulit
menghitam berkurang. Pasien dipulangkan dan selanjutnya kontrol di poli rawat jalan dengan
mendapat terapi hidrokortison 20 mg tiga kali sehari, insulin aspart dan glargine serta thyrozol dan
propanolol.
Daftar Pustaka
1. Husebye ES, Allolio B, Ant W, Badenhoop K, Benjing S, Bettale C, Falorni A, et al. Consensus
Statement on the diagnosis, treatment and follow-up of patients with primary adrenal
insufficiency. Journal of Internal Medicine, 2014; 273:104-115.
2. Yamamoto T. Comorbid Latent Adrenal Insufficiency with autoimmune thyroid disease. Eur
Thyroid J, 2015; 4:201-206.
3. Bornstein SR, Allolio B, Arlt W, Barthel A, Don-Wauchone A, Hammer GD, Husebye ES, et al.
Diagnosis and treatment of primary adrenal insufficiency: An Endocrine Society Clinical Practice
Guideline. J Clin Endocrinol Metab, 2016; 101(2):364-389.
4. Wemeau JL, Proust-Lemoine E, Ryndak A, Vanhove L. Thyroid autoimmunity and
polyglandular endocrine syndromes. Hormones, 2013; 12(1):39-45.
5. Michels A, Michels N. Addison Disease: Early Detection and Treatment Principles. AAFP, 2014;
89(7):515.
65
SEORANG PASIEN DENGAN KECURIGAAN TYPE IIIA
POLYGLANDULAR AUTOIMMUNE SYNDROME
Andreas Nuho Fernandez Lewai*, Ketut Suastika**, Wira Gotera**, AAG Budhiarta**,Made Ratna Saraswati**, I Made Pande Dwipayana** *Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar **Bagian Ilmu Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrin FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Pendahuluan Polyglandular autoimmune syndrome (PAS) merupakan suatu kumpulan penyakit autoimun dari kelenjar endokrin. Sindrom ini mengakibatkan kegagalan suatu kelenjar untuk memproduksi hormon. Kelainan kelenjar dari sistem endokrin cendrung terjadi secara bersamaan. PAS dikenal 4 tipe yaitu PAS tipe I, II,III dan IV. Berbeda dengan PAS tipe I dan II, PAS tipe III tidak melibatkan korteks adrenal. Pada PAS tipe III, tiroiditis autoimun terjadi bersamaan dengan penyakit autoimun yang lain, PAS tipe III selanjutnya dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: a. PAS IIIA dengan adanya suatu penyakit tiroiditis autoimun dengan immune mediated diabetes mellitus (IMD) (yang juga diketahui sebagai PAS tipe 3 varian), b. PAS IIIB dengan adanya penyakit tiroiditis autoimun dengan pernicious anemia (PA), c. PAS IIIC dengan adanya penyakit tiroiditis autoimun dengan vitiligo dan/atau alopesia dan/atau penyakit autoimun spesifik organ yang lainnya
Kasus Seorang wanita 20 tahun keluhan nyeri perut disertai mual dan muntah. Sebelumnya ada riwayat dalam 3 bulan, berat badan menurun, berkeringat, mata menonjol, juga sering kencing, cepat haus dan lapar. Timbul benjolan di leher 3 tahun lalu. Pemeriksaan tampak sakit berat BMI 18,75 kg/m2 Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 130/80 mmhg, nadi 118x/menit, laju nafas 22 x/menit dan suhu aksila 38.3▫C.mata eksoftalmus, konjungtiva tidak ditemukan anemis. leher ditemukan pembesaran kelenjar tiroid. diffusely, tidak nyeri tekan, dan bergerak saat menelan. Pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen didapatkan tidak distensi, bising usus normal, nyeri tekan. ekstrimitas tremor Pemeriksaan laboratorium Glukosa darah sewaktu 446 mg/dl, TSHs <0,005 IU/mL, FT4 53,64 mmol/L, Natrium serum 122 mmol/L, Kalium serum 3,9 mmol/L. Analisa Gas Darah (AGD) pH 7,066, pO2 103,0 mmHg, BE -22,7 mmol/L, TCO2 6,2 mm/L, pCO2 20,2 mmHg, HCO3- 5,5 mmol/L, SO2c 95,5%. Pemeriksaan urinalisis didapatkan berat jenis 1,025, kuning keruh, pH 5,5, leukosit negatif, nitrit negatif, glukosa (1+), keton (2+), protein (+1), darah negatif, urobilinogen normal, bilirubin negatif, sedimen leukosit 8-10, sedimen eritrosit 4-8, kristal negatif, silinder sedimen negatif, lain-lain: bakteri. USG tiroid dengan hasil kesan tiroiditis bilateral. Kadar C-peptide <0,1 ng/mL, TRAb : 4,43 IU/L, Anti-TPO : 353,07 IU/mL. Pasien kemudian didiagnosa dengan suspek type IIIA polyglandular autoimmune syndrome.
Hasil Pasien diterapi sebagai ketoasidosis diabetik dan krisis tiroid dgn pemberian pemberian normal salin, insulin, antibiotika, juga diberikan obat anti tiroid PTU 3 x 300 mg, propranolol 3 x40 mg, dexametason 3 x10 mg dan larutan lugol 8 tetes tiap 6 jam dan perkembangan klinis dan laboratorium membaik
Kesimpulan Telah dilaporkan kasus wanita 20 tahun dengan kecurigaan type IIIA Polyglandular autoimmune syndrome yaitu dengan manifestasi tiroiditis autoimun dan immune mediated diabetes
Kata kunci : type IIIA Polyglandular autoimmune syndrome, tiroiditis autoimun, immune mediated diabetes
66
PENDAHULUAN
Polyglandular autoimmune syndrome (PAS) merupakan suatu kumpulan penyakit
autoimun dari kelenjar endokrin. Sindrom ini mengakibatkan kegagalan suatu
kelenjar untuk memproduksi hormon. Kelainan kelenjar dari sistem endokrin
cendrung terjadi secara bersamaan; karena itu lebih dari 25% pasien dengan
penurunan fungsi pada satu kelenjar terbukti memiliki penyakit endokrin lainnya.
Awalnya terdapat 2 kategori untuk PAS yaitu PAS tipe I dan II, namun saat ini
dikenal juga PAS tipe III dan IV. Berbeda dengan PAS tipe I dan II, PAS tipe III
tidak melibatkan korteks adrenal. Pada PAS tipe III, tiroiditis autoimun terjadi
bersamaan dengan penyakit autoimun yang lain, tapi sindrom ini tidak bisa
diklasifikasikan menjadi PAS tipe I dan II.1
PAS tipe III selanjutnya dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: a. PAS IIIA
dengan adanya suatu penyakit tiroiditis autoimun dengan immune mediated
diabetes mellitus (IMD) (yang juga diketahui sebagai PAS tipe 3 varian), b. PAS
IIIB dengan adanya penyakit tiroiditis autoimun dengan pernicious anemia (PA),
c. PAS IIIC dengan adanya penyakit tiroiditis autoimun dengan vitiligo dan/atau
alopesia dan/atau penyakit autoimun spesifik organ yang lainnya. Sekitar 30%
pasien dengan thyroid autoimmune disease dipengaruhi oleh PAS tipe 3. PAS
tipe 3 adalah PAS yang paling umum terjadi, terdapat pada sekitar 5% populasi
wanita dan 1,5% pria.2,3
Berikut ini kami laporkan sebuah kasus seorang wanita usia muda dengan
kecurigaan PAS tipe IIIA datang dengan keluhan berdebar disertai gejala atau
tanda dari ketoasidosis diabetik. Pasien dirawat, dan pada hari ke 5 pasien
poliklinis, dan selanjutnya kontrol poliklinik endokrin untuk penegakan diagnosis
lebih lanjut. Laporan kasus ini diangkat untuk mengetahui bahwa pada suatu
pasien dengan kelainan satu kelenjar endokrin, cendrung memiliki kelainan pada
kelenjar endokrin lainnya. Dengan begitu, diharapkan penanganan terhadap pasien
lebih komprehensif sehingga mengurangi terjadinya komplikasi dari penyakit.
67
ILUSTRASI KASUS
Seorang wanita 20 tahun datang dengan keluhan berdebar sejak kurang lebih 3
bulan yang lalu. Berdebar terasa lebih berat saat pasien beraktifitas. Keluhan
berdebar tetap dirasakan walaupun pasien istirahat. Awalnya pasien mengeluh
adanya benjolan pada leher yang diketahui sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu.
Benjolan dikatakan ukurannya sama dan tidak nyeri. Mata dikatakan menonjol
sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Sering berkeringat juga dirasakan pasien
disertai jari-jari gemetar walaupun saat istirahat. Berat badan dikatakan turun,
namun tidak diketahui berapa kilogram. Pasien juga mengeluhkan cepat haus dan
lapar sejak 3 bulan terakhir disertai sering kencing. Selain keluhan tersebut, pasien
juga mengeluh nyeri perut sejak 2 hari yang lalu, nyeri dirasakan diseluruh perut
disertai mual, muntah dan demam hilang timbul, sampai pasien berobat ke
puskesmas, namun akhirnya pasien dirujuk ke rumah sakit daerah dengan
kecurigaan usus buntu. Setelah di rumah sakit daerah, ketika hendak dioperasi
pasien tiba-tiba syok dan akhirnya mendapat perawatan di ICU selama 2 hari, dan
akhirnya dirujuk ke RSUP Sanglah. Keluhan nyeri sendi, bengkak di kaki, rambut
rontok, sakit kulit, disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit diabetes, tiroid,
hipertensi, jantung, ginjal disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit keluarga
seperti diabetes, tiroid, hipertensi, jantung, ginjal juga disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesan umum sakit berat dengan status
gizi cukup (BB 48 kg, TB 160 cm, BMI 18,75 kg/m2). Kesadaran kompos mentis,
tekanan darah 130/80 mmhg, nadi 118x/menit, laju nafas 22 x/menit dan suhu
aksila 38.3▫C. Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan kelainan, mata
didapatkan eksoftalmus, konjungtiva tidak ditemukan anemis. Pada pemeriksaan
leher ditemukan pembesaran kelenjar tiroid. diffusely, tidak nyeri tekan, dan
bergerak saat menelan. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening pada
leher, aksila, dan inguinal. JVP PR + 0 cmH2O. Pada pemeriksaan fisik paru,
didapatkan inspeksi tampak simetris aktif dan pasif. Pada palpasi tidak ditemukan
peningkatan taktil vokal fremitus, pada perkusi ditemukan sonor, auskultasi
ditemukan suara nafas vesikuler, tidak ditemukan ronki maupun wheezing. Pada
pemeriksaan fisik jantung iktus kordis tidak tampak dari inspeksi, pada perkusi
68
ditemukan batas jantung kanan 1 cm lateral parasternal kanan, serta batas kiri
jantung 1 cm medial garis midklavikula kiri, pada auskultasi ditemukan
takikardia, suara jantung I dan II normal, denyut regular dan tidak ditemukan
adanya murmur. Pemeriksaan abdomen didapatkan tidak distensi, bising usus
normal, nyeri tekan ada khususnya di kuadran kanan bawah, hepar tidak teraba,
lien tidak teraba, tidak ditemukan ballottement, perkusi suara timpani. Pada
keempat ekstrimitas teraba hangat serta tidak ditemukan edema.
Gambar 1. Leher Pasien.
Gambar 2. Mata Pasien Sebelum Sakit (Kiri) dan Setelah Sakit (Kanan).
Pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC 32,1 x 103/µl, neutrophil 29,4
x 103/µl, limfosit 1,3 x 103/µl, RBC 5,83 x 106/ µl, Hb 15,1 gr/dl, HCT 44,7%,
MCV 76,6 fL, MCH 25,9 g/dL, PLT 314 x 103/ µl, SGOT 19 U/L, SGPT 27 U/L,
Ureum 53 mg/dL, Kreatinin 1 mg/dL, Glukosa darah sewaktu 446 mg/dl, TSHs
<0,005 IU/mL, FT4 53,64 mmol/L, Natrium serum 122 mmol/L, Kalium serum
3,9 mmol/L. Analisa Gas Darah (AGD) pH 7,066, pO2 103,0 mmHg, BE -22,7
mmol/L, TCO2 6,2 mm/L, pCO2 20,2 mmHg, HCO3- 5,5 mmol/L, SO2c 95,5%.
69
Pemeriksaan urinalisis didapatkan berat jenis 1,025, kuning keruh, pH 5,5,
leukosit negatif, nitrit negatif, glukosa (1+), keton (2+), protein (+1), darah
negatif, urobilinogen normal, bilirubin negatif, sedimen leukosit 8-10, sedimen
eritrosit 4-8, kristal negatif, silinder sedimen negatif, lain-lain: bakteri. Dari
gambaran EKG ditemukan adanya normal sinus rhythm, dengan heart rate
118x/menit dan axis normal, gelombang P normal, PR interval 0,14, QRS 0,08,
R/S di V1<1, RV5 + SV2 <35, ST T change (-), T inversi di V1-V5. Kesan EKG:
irama sinus 118x/menit + iskemia anterior.
Gambar 3. Hasil EKG Pasien
Pada foto Thorax AP, ditemukan jantung normal dengan CTR 46%, paru
normal. hasil USG abdomen didapatkan hidronefrosis kanan ringan, tak tampak
gambaran appendiks yang edematous, tetapi belum dapat menyingkirkan adanya
appendiks retrocaecal
Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas pasien awalnya didiagnosa dengan
krisis tiroid ec suspek grave’s disease, ketoasidosis ec suspek Diabetes melitus
tipe 1, peritonitis generalisata ec suspek appendiks perforasi, penyakit jantung
koroner dengan iskemia anterior wall
Pasien diterapi dengan oksigen 2 liter/menit dengan nasal kanul, drip KCL
25meq dalam NaCl 0.9% 500 cc 20 tpm, drip insulin sesuai protokol ketoasidosis,
PTU 300mg tiap 6 jam intra oral, propranolol 40 mg tiap 8 jam intra oral,
deksametason 10 mg tiap 8 jam intravena, lugol 8 tetes tiap 6 jam intra oral,
sefoperason 1 gram tiap 12 jam intravena, metronidasol 500 mg tiap 8 jam
intravena.
Hasil evaluasi dari bagian bedah kemungkinan suatu periapendikular
infiltrat dan diterapi secara konservatif.
70
Hasil evaluasi bidang kardiologi suspek CAD dengan iskemia inferior,
RWMA (+)/EF 61% dan diberi terapi aspilet 1x80 mg, simvastatin 1x20 mg,
kaptopril 3x6,25 mg dan propranolol
Evaluasi secara klinis dan laboratorium selama perawatan didapatkan
keluhan nyeri abdomen, juga mual dan muntah berkurang , hasil laboratorium
WBC 5,86 x 103/µl, neutrophil 3,73 x 103/µl, limfosit 1,36 x 103/µl, monosit 0,01
x 103/µl, basofil 0.05 x 103/µl, RBC 5,32 x 106/ µl, Hb 12,11 gr/dl, HCT 40,12%,
MCV 75,37 fL, MCH 22,74 g/dL, PLT 184,10 x 103/ µl, SGOT 32 U/L, SGPT
34,90 U/L, BUN 8,30 mg/dL, Kreatinin 0,26mg/dL, Glukosa darah sewaktu 183
mg/dl, HbA1c 12,6%, TSHs 0,01 µIU/mL, FT4 2,74 ng/dL, Natrium serum 134
mmol/L, Kalium serum 2,91 mmol/L. Analisa Gas Darah (AGD) pH 7,37, pO2
130,10 mmHg, BE -5,80 mmol/L, TCO2 20,50 mm/L, pCO2 34,2 mmHg, HCO3-
19,50 mmol/L, SO2c 98,6%. USG tiroid dengan hasil kesan tiroiditis bilateral
Pasien kemudian dipulangkan dan kontrol secara poliklinik dengan obat
saat tirozol 10 mg tiap 8 jam, propranolol 10 mg tiap 8 jam, lantus 1x14 unit
subkutan, novorapid 3x12unit subkutan. Kadar C-peptide <0,1 ng/mL, TRAb :
4,43 IU/L, Anti-TPO : 353,07 IU/mL. Pasien kemudian didiagnosa dengan suspek
type IIIA polyglandular autoimmune syndrome.
DISKUSI
Polyglandular autoimmune syndrome (PAS) III terkait dengan penyakit berikut:
1. Penyakit autoimun spesifik organ yang meliputi: penyakit celiac,
hipogonadism, dan myastenia gravis, 2. Penyakit autoimun sistemik atau
nonspesifik organ meliputi: sarkoidosis, sindrom Sjogren, dan artritis reumatoid,
3. Penyakit lain yaitu gastric carcinoid tumour dan malabsorpsi yang
berhubungan dengan defisiensi eksokrin pankreas. Patofisiologi dari PAS III
meliputi 3 faktor utama yaitu faktor autoimunitas, lingkungan dan genetik.1,2,4
1. Faktor autoimunitas
Penyakit autoimun yang mempengaruhi satu kelenjar endokrin sering diikuti oleh
gangguan dari kelenjar lain, yang menghasilkan kegagalan pada banyak kelenjar
endokrin. Identifikasi autoantibodi spesifik organ yang bersirkulasi memberikan
71
bukti paling awal dan terkuat untuk patogenesis autoimun dari PAS.
Autoimunitas endokrin dikaitkan dengan autoantibodi yang bereaksi terhadap
antigen spesifik. Autoimunitas seluler juga penting dalam patogenesis PAS.
Pemeriksaan histologis kelenjar yang terkena (misalnya, tiroid, paratiroid,
ovarium, pankreas, mukosa lambung) telah menunjukkan hasil yang sama, yaitu,
infiltrat mononuklear yang sebagian besar terdiri dari limfosit, makrofag, sel-sel
natural killer (NK), dan sel plasma. Ketika penyakit berkembang, atrofi dan
fibrosis mendominasi.3
2. Faktor lingkungan
Infeksi virus dapat meningkatkan respon imun yang sedang berlangsung dan
memicu kegagalan kelenjar, meskipun tidak ada studi epidemiologi manusia yang
menunjukkan infeksi yang memicu autoimunitas poliglandular. Kaitan antara
infeksi rubela kongenital, diabetes melitus tipe 1, dan hipotiroidisme sudah
banyak diketahui. Infeksi reovirus tipe I pada tikus yang rentan menyebabkan
diabetes melitus tipe 1 dan kegagalan pertumbuhan.3,4
Perbandingan internasional menunjukkan korelasi positif antara
prevalensi diabetes melitus tipe 1 dan konsumsi susu sapi. Autoantibodi yang
bersirkulasi terhadap peptida yang homolog terhadap serum albumin sapi dan
protein permukaan sel islet manusia telah diamati pada pasien IMD. Terjadinya
PAS III setelah terapi interferon-alfa untuk hepatitis C telah dijelaskan,
meningkatkan kemungkinan ekspresi major histocompatibility complex yang
ditingkatkan oleh interferon, yang mengawali timbulnya autoantibodi spesifik
organ dan manifestasi klinis penyakit autoimun.1,5
3. Faktor genetik
PAS III dikaitkan dengan gen HLA kelas II. Gen non-HLA yang mendasari PAS
III tetap harus didefinisikan lebih lanjut secara genetik. PAS III sering terjadi pada
individu dalam keluarga yang sama, menunjukkan bahwa warisannya
menunjukkan sifat dominan autosomal. HLA-
DRB1*04/DQA1*0301/DQB1*0302 adalah haplotipe HLA dominan yang terkait
dengan kerentanan pada IMD. Menariknya, alel HLA-DQB1*0602 justru
mencegah terjadinya IMD, bahkan jika gen kerentanan HLA-DQB1*0301 atau
72
DQB1*0302 hadir. HLA-DQB1*0301 adalah haplotipe HLA yang sering
dikaitkan dengan tiroiditis autoimun. HLA-DRB1*13 dikaitkan dengan vitiligo.
Alopecia areata sangat terkait dengan DQB1*03 dan DRB1*1104, yang
tampaknya menjadi penanda kerentanan umum terhadap alopecia areata. Selain
itu, frekuensi HLA-DRB1 * 0401 dan DQB1 * 0301 sangat meningkat di antara
pasien dengan alopecia totalis dan alopecia universalis, bentuk kondisi yang
paling luas. Keterlibatan multigenetik dalam perkembangan komponen PAS III
telah terbukti. Sebagai contoh, IMD dihubungkan ke beberapa lokus di daerah
genom non-HLA. Lebih lanjut, tiroiditis autoimun juga bersifat poligenik.
Penelitian pada keluarga dan populasi menunjukkan bahwa PAS IIIA memiliki
latar belakang genetik yang kuat. Beberapa variasi gen yang ada pada tiroiditis
autoimun dan IMD telah diidentifikasi oleh seluruh genom. Gen yang paling
penting adalah HLA (kromosom 6), antigen terkait cytotoxic T-lymphocyte
(kromosom 2), protein tyrosine phosphatase nonreceptor type 22 (kromosom 1),
forkhead box P3 (kromosom X), dan interleukin 2 receptor alpha/CD25 gene
region (kromosom 10).7
PAS III lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki (terdapat
pada sekitar 5% populasi wanita dan 1,5% pria). Tidak ada perbedaan ras atau
etnis dalam frekuensi PAS III yang telah dilaporkan. Morbiditas dan mortalitas
PAS III ditentukan oleh komponen sindrom itu sendiri. Ciri khas dari PAS III
adalah tidak adanya insufisiensi adrenal. PAS III adalah PAS II tanpa keterlibatan
adrenokortikal. Keterlibatan beberapa kelenjar mungkin terlihat pada saat
presentasi awal penyakit, namun lebih umum berkembang secara berurutan.
Gejala klinis
Gejala klinis PAS III tergantung dari organ endokrin yang terlibat.3
1. Tiroiditis autoimun
Tiroiditis autoimun adalah karakteristik semua subkategori PAS III. Gejala yang
muncul adalah gondok, yang disebabkan oleh hipotiroidisme. Kadang-kadang,
kerusakan kelenjar pada awal proses menimbulkan pelepasan hormon tiroid,
menciptakan keadaan hipertiroid sementara (yaitu, hashitoxicosis). Ketika proses
73
ini selesai, hipotiroidisme menjadi jelas. Kelelahan dan depresi adalah gejala
utama pada banyak pasien dengan tiroiditis autoimun. Berat badan meningkat,
intoleransi dingin, sembelit, rambut kering, kelesuan, mengantuk, suara serak, dan
menoragia juga merupakan gejala klinis utama. Meskipun beberapa pasien
melaporkan sensasi sesak di leher, nyeri biasanya bukan gejala yang
menonjol.2,12,14
2. Immune Mediated Diabetes (IMD)
Gejala klasik IMD adalah poliuria, polidipsia, dan polifagia. Poliuria adalah
sekunder dari diuresis osmotik yang disebabkan oleh hiperglikemia. Polidipsia
adalah sekunder dari hiperosmolalitas. Polifagia adalah sekunder akibat
kurangnya pemanfaatan glukosa dalam sel-sel inti ventromedial hipotalamus.
Berat badan menurun meskipun polifagia. Penglihatan kabur sering terjadi dan
juga sekunder akibat hiperosmolalitas. Parestesia ekstremitas mungkin terjadi
pada pasien meskipun biasanya reversibel dengan kontrol glikemik yang lebih
baik. Parestesia dianggap sekunder akibat gangguan fungsi saraf sensorik perifer
yang disebabkan oleh hiperglikemia. Defisiensi insulin yang cepat, biasanya
dipicu oleh infeksi atau bentuk stres lainnya, yang dapat menyebabkan
ketoasidosis diabetik (diabetic ketoacidosis/DKA) sebagai presentasi awal
diabetes melitus tipe 1. Nyeri perut, mual, dan muntah sering terjadi pada DKA,
bersama dengan gejala di atas. Status mental yang berubah dan pernapasan cepat
adalah gejala yang terkait dengan DKA yang berat.8-10
3. Anemia pernisiosa
Gejala yang biasanya muncul yaitu kelelahan, kelemahan, sakit kepala, vertigo,
tinitus, dan berdebar akibat anemia. Gejala gastrointestinal yang tidak jelas,
seperti anoreksia atau diare. Nyeri pada lidah dan kesemutan pada ekstremitas
juga sering dirasakan pasien.1,5
4. Vitiligo
Vitiligo dikaitkan dengan banyak endokrinopati autoimun. Hilangnya pigmentasi
kulit pada vitiligo dikaitkan dengan penghancuran autoimun dari melanosit oleh
antibodi antimelanosit dan antitirosinase. Gejala utama adalah hilangnya
pigmentasi kulit, yang lebih terlihat di sekitar mulut, mata, hidung, puting susu,
74
umbilikus, atau anus. Trauma pada kulit menyebabkan hilangnya pigmentasi lebih
lanjut (fenomena Koebner).1,6
5. Alopesia
Alopesia autoimun (alopecia areata) memiliki tingkat keparahan mulai dari
rambut rontok yang tumbuh kembali secara spontan hingga hilangnya semua
rambut kulit kepala (alopecia totalis) termasuk bulu mata, alis, rambut ketiak, dan
rambut kemaluan (alopecia universalis). sinus dari partikel asing di udara. Remisi
spontan dan rekurensi sering terjadi.1,6
Pada pasien, didapatkan gejala berdebar, tremor, benjolan di leher yang
tidak nyeri, dan mata yang dikatakan menonjol. Gejala ini sesuai dengan gejala
tiroiditis autoimun pada fase awal, yaitu dimana terjadi kerusakan kelenjar pada
awal proses menimbulkan pelepasan hormon tiroid, menciptakan keadaan
hipertiroid sementara (yaitu, hashitoxicosis). Ketika proses ini selesai,
hipotiroidisme menjadi jelas. Selain itu, pasien juga menunjukkan gejala trias
diabetes melitus yaitu poliuria, polidipsia, polipagia serta penurunan berat badan.
Gejala ini sesuai dengan gejala diabetes melitus yang disebabkan oleh autoimun
karena onset cendrung pada pada wanita usia muda. Tidak ditemukan gejala
anemia, vitiligo ataupun alopesia pada pasien.
Pemeriksaan fisik
1. Tiroiditis autoimun
Temuan fisik pada tiroiditis autoimun adalah gondok, hipotiroidisme, atau
keduanya. Kelenjar tiroid membesar pada classic goitrous autoimmune
thyroiditis (penyakit Hashimoto). Tanda-tanda ekstratiroidal dari tiroiditis
autoimun dan hipotiroidisme meliputi wajah pucat, bradikardia, hipertensi, dan
edema non-pitting (myxedema) pada kulit tangan, kaki, dan kelopak mata.1,2
2. Immune-mediated diabetes
Kulit dan membran mukosa yang kering diakibatkan oleh kehilangan cairan
karena diuresis osmotik. Dehidrasi atau DKA yang berat dapat menyebabkan
hipotensi.1,3
75
Pasien dirujuk dari RS daerah setelah terhidrasi dan kondisi stabil. Saat
di RS daerah pasien sempat dirawat di ICU dengan tanda dan gejala dehidrasi.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis PAS III meliputi: tes serologis
untuk autoantibodi, penilaian fungsi organ, dan tes genetik.1,13
1. Tes serologis untuk autoantibodi
Beberapa ahli berpendapat bahwa pengukuran kadar antibodi yang bersirkulasi
mungkin tidak terlalu berguna, karena banyak orang memiliki antibodi ini tanpa
manifestasi klinis. Dalam sebuah studi oleh Hunger-Battefeld et al yang
melibatkan 139 pasien IMD, 63% pasien didapati memiliki 1 atau lebih titer
antibodi yang meningkat secara patologis terkait dengan penyakit endokrin
autoimun selain diabetes, namun hanya 31% pasien yang menunjukkan gejala
penyakit lainnya. Dalam studi tersebut, tiropati adalah penyakit autoimun yang
paling umum menyertai IMD. Beberapa ahli merekomendasikan bahwa pasien
dengan IMD perlu diskrining untuk penyakit endokrin autoimun lainnya. 1,12,13
Pada tiroiditis autoimun, autoantibodi yang terdeteksi adalah
antithyroglobulin antibodies, antithyroid microsomal antibodies/antithyroid
peroxidase antibodies (antibodi Anti-TPO). Di antara pasien dengan penyakit
tiroid autoimun, hampir 80% pasien memiliki kemungkinan tiroiditis Hashimoto.
Hampir 70% pasien dengan APS3a menunjukkan hasil positif untuk antibodi anti-
TPO. Hampir 20% dari pasien APS 3a memiliki kemungkinan Grave’s disease,
dan 83% pasien dengan kemungkinan Grave’s disease menunjukkan overt
Grave’s disease. Pada pasien dengan kemungkinan Grave’s disease, tingkat
positif anti-TR ab mencapai 100%. Pada IMD, autoantibodi yang terdeksi adalah
anti – islet cell antibodies and antibodies to glutamic acid decarboxylase. Pada
PA, terdapat antibodi sel antiparietal dan antibodi faktor intrinsik. Pada vitiligo
terdeteksi adanya antibodi anti melanosit.1,3,15
2. Penilaian fungsi organ
Tiroiditis autoimun
76
Konsentrasi serum tirotropin yang meningkat cukup untuk mengkonfirmasi
diagnosis hipotiroidisme. Serum tiroksin rendah pada overt hypothyroidism dan
normal pada hipotiroidisme subklinis. Kelainan laboratorium lainnya termasuk
peningkatan kreatin kinase, kolesterol, trigliserida, dan kadar LDH, serta
penurunan kadar natrium serum dan anemia.1,2
Immune mediated diabetes
Kadar glukosa darah puasa lebih dari 125 mg/dL, glukosa darah acak lebih dari
200 mg/dL dengan adanya gejala klasik diabetes mellitus, atau glukosa darah 2
jam postprandial lebih dari 200 mg/dL pada tes toleransi glukosa oral merupakan
diagnostik diabetes melitus. Glycosylated hemoglobin level lebih berguna untuk
memantau perkembangan penyakit daripada untuk tujuan diagnostik.9,10
Anemia pernisiosa
Pemeriksaan darah lengkap adalah salah satu tes diagnostik yang paling penting.
Anemia makrositik (mean cell volume > 100 fL) dengan ditandai
anisopoikilositosis dan neutrofil hipersegmentasi. Kadar vitamin B-12 serum
sangat rendah. Temuan laboratorium lainnya termasuk sumsum tulang
megaloblastik dan uji absorpsi vitamin B-12 yang abnormal (tes Schilling),
dikoreksi dengan penambahan faktor intrinsik.1,5
Vitiligo
Biopsi kulit pada daerah yang terkena menunjukkan tidak adanya melanosit dan
terdapat infiltrat sel inflamasi yang ringan.1,11
3. Genetic testing
Mutasi pada gen HLAD harus dianalisis pada pasien dengan PAS III dan pada
saudara kandung yang menunjukkan gejala penyakit PAS III. Pemeriksaan HLA-
DR oligotyping dan HLA-DQ oligotyping dengan polymerase chain reaction serta
pemeriksaan HLA-DR typing of loci 1 and loci 2 juga diperlukan jika tersedia.7
Prosedur dan temuan histologis
Biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy) pada kelenjar tiroid
dilakukan untuk menyingkirkan keganasan jika terdapat nodul atau jika gondok
tumbuh dengan cepat. Histopatologi kelenjar endokrin yang terlibat pada PAS III
77
menunjukkan infiltrasi limfositik. Untuk tiroiditis autoimun, terdapat gumpalan
sel folikel tiroid oksifilik yang dikelilingi oleh limfosit (struma lymphomatosa).
Untuk vitiligo, melanosit tidak ditemukan dan terdapat sedikit infiltrat
limfositik.1,2
Pada pasien didapatkan data penunjang yaitu: USG tiroid dengan hasil
kesan tiroiditis bilateral, kadar C-peptide <0,1 ng/mL (mendukung suatu penyakit
diabetes melitus tipe 1), kadar TRAb : 4,43 IU/L, dan Anti-TPO : 353,07 IU/mL
(menandakan hipertiroid yang terjadi pada pasien dipicu oleh autoimun. Kadar
anti-TPO yang sangat tinggi, perlu diperhatikan karena jika proses kerusakan
kelenjar ini selesai, hipotiroidisme menjadi jelas). Dengan data yang ada, maka
pasien dicurigai menderita PAS tipe IIIA.
Penanganan
Perawatan medis pasien dengan PAS III meliputi pemantauan fungsi kelenjar
untuk deteksi dini kegagalan kelenjar, terapi pengganti hormon seumur hidup, dan
skrining keluarga.2,3,11
1. Tiroiditis autoimun
Pasien dengan hipotiroidisme memerlukan terapi tiroksin seumur hidup. Kadar
tirotropin harus dipantau dengan menggunakan tes yang sangat sensitif untuk
mempertahankan keadaan eutiroid. Terapi pengganti hormon yang berlebih
dengan tiroksin dapat menyebabkan osteoporosis dan peningkatan risiko fibrilasi
atrium.12
2. Immune mediated diabetes
Terapi utama IMD adalah insulin eksogen (terapi insulin intensif). Pantau
perkembangan penyakit dengan pemeriksaan retina berkala, pemeriksaan kaki,
dan pengukuran kadar HbA1C dan perbandingan mikroalbumin urin dengan
kreatinin. Transplantasi pankreas menjadi pilihan tetapi biasanya dicadangkan
untuk pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir yang sudah membutuhkan
transplantasi ginjal. Terapi spesifik yang bertujuan menekan respon imun dari
pancreatic islet cells sedang diteliti.9
78
Pada pasien diterapi dengan Insulin intensif untuk mengontrol glukosa
darah, tirozol untuk mengontrol hormon tiroid, serta propranolol untuk
mengontrol gejala seperti berdebar. Pada pasien direncanakan untuk memantau
fungsi hormon tiroid yaitu FT4 dan TSHs secara berkala, disamping pemeriksaan
glukosa darah secara teratur, karena PAS tipe IIIA cendrung akan mengalami
hipofungsi kelenjar yaitu hipotiroid jika proses kerusakan kelenjar pada fase awal
telah selesai.
RINGKASAN
Telah dilaporkan kasus wanita 20 tahun dengan kecurigaan type IIIA
Polyglandular autoimmune syndrome yaitu dengan manifestasi tiroiditis
autoimun dan immune mediated diabetes. Pada pasien masih diperlukan
pemeriksaan laboratorium lanjutan untuk menegakkan diagnosis penyakit secara
pasti. Disamping itu, pemantauan secara klinis dan laboratorium sangat diperlukan
untuk mengetahui perjalanan klinis penyakit dan untuk menghindari komplikasi
yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aung K, Khardori R. Type III Polyglandular Autoimmune Syndrome.
Medscape [serial online] 2017 sep (diakses 20 Desember 2018); 1 [1]: [8
screen]. Diunduh dari:URL: http://reference.medscape.com/article/124398
?src=medscapeappandroid&ref=email.
2. Betterle C, Garelli S, Coco G, Burra P. A rare combination of type 3
autoimmune polyendocrine syndrome (APS-3) or multiple autoimmune
syndrome (MAS-3). Aut Hig J. 2014;5:27-31.
3. Moriyama S, Yoshikawa R, Katsuyama H, Hamasaki H, Adachi H, Yanai
H. Clinical, Endocrinological and Immunological Characteristics of
Japanese Patients with Autoimmune Polyglandular Syndrome Type 3a. J
Endo Met. 2016;6(2):46-51.
79
4. Husebye ES, Anderson MS, Kampe O. Autoimmune Polyendocrine
Syndromes. N Engl J Med. 2018;378:1132-4.
5. Kahaly GJ, Frommer L. Polyglandular autoimmune syndromes. J Endo
Inv. 2017;1:1-8.
6. Peterson P, Husebye ES. Polyendocrine Syndromes. Dalam: Rose N,
Mackay L, penyunting: The Autoimmune Diseases. Edisi ke-5. Norway:
Elsevier Inc;2014. H. 605-618.
7. Flesch BK, Matheis N, Alt T, Weinstock C, Bux J, Kahaly J. HLA Class II
Haplotypes Differentiate Between the Adult Autoimmune Polyglandular
Syndrome Types II and III. J Clin Endo Met. 2014;99(1):177-182.
8. Hansen MP, Matheis N, Kahaly GJ. Type 1 diabetes and polyglandular
autoimmune syndrome: A review. Worl J Diab. 2015;6(1):67-79.
9. Kahaly GJ, Hansen MP. Type 1 diabetes associated autoimmunity. J Auto
Rev. 2016;15(7):644-648.
10. Masuda S, Mori M, Hamada S, Masuda H, Usawa A, Kuwabara S. Type 1
diabetes associated autoimmunity. J Clin Exp Neu. 2015;6(3):299-303.
11. Innico G, Frassetti N, Coppola B, Mariotti A. Autoimmune polyglandular
syndrome in a woman of 51 years. J Eur Rev Med Phar Sci.
2014;18:1717-1719.
12. Merril SJ, Mu J. Thyroid autoimmunity as a window to autoimmunity: An
explanation for sex differences in the prevalence of thyroid autoimmunity.
J Theo Bio. 2015;375:95-100.
13. Morran MP, Vonberg A, Khadra A, Pietropaolo M. Immunogenetics of
type 1 diabetes mellitus. J Mol Asp Med. 2015;42:42-60.
14. Jonsdottir B, Larsson C, Carlsson A, Forsander G, Ivarsson SA, et al.
Thyroid and Islet Autoantibodies Predict Autoimmune Thyroid Disease at
Type 1 Diabetes Diagnosis. J Clin Endo Met. 2017;102(4):1277-1285.
15. Smith TJ, Hegedus L. Grave’s Disease. N Engl J Med. 2016;375:1552-6
80
ABSTRAK
Struma Multinodosa dengan Krisis Tiroid pada pasien Autoimmune Polyendocrine Syndrome dan Short Stature
Luse Loe, Nanny NM Soetedjo, Hikmat Permana
Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, Indonesia
ILUSTRASI KASUS
Seorang wanita berusia 32 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran, demam
dan diare. Pasien diketahui menderita sakit hipertiroid sejak 3 bulan SMRS. Sejak 2 tahun yang
lalu pasien merasakan benjolan di leher tanpa gejala hipertiroid. Pasien dirujuk ke RSHS untuk
rencana ablasi nuklir. Tiga hari SMRS pasien berhenti minum obat karena mual dan muntah.
Saat diperiksa di UGD didapatkan skor Burch Wartofsky 50, sehingga pasien didiagnosis dengan
krisis tiroid.
Pasien memiliki postur yang kecil dibandingkan sebayanya serta memiliki keterlambatan
pertumbuhan dan intelektual. Pasien lahir dengan usia cukup bulan dengan berat badan lahir
kurang, Pasien bisa menstruasi hanya tidak teratur setiap bulannya. Pasien kemudian didiagnosis
struma multinodosa dengan krisis tiroid pada short stature, imun trombositopenia sekunder,
periodontitis kronis, osteoporosis, dengan infeksi saluran kemih.
Kasus ini sangat menarik untuk dibahas karena seorang wanita 32 tahun dengan struma
multinodosa toksik dan short stature datang dengan krisis tiroid yang sulit diatasi. Perjalanan
penyakit pasien ini berbeda dengan kondisi klasik Morbus Plummer dimana terjadi pada usia tua
diatas 50 tahun dengan riwayat nodul tiroid yang lama serta gejala hipertiroid yang biasanya
lebih ringan. Kondisi hiperfungsi autonom dari nodul tiroid pada pasien ini dicurigai akibat dari
Autoimmune Polyendocrine Syndrome (APS) tipe IV yang masih didiagnosis banding dengan
Multiple Endocrine Neoplasia Syndrome. Kami belum menemukan kasus lain dengan
manifestasi klinis seperti ini. 1,2,3
Kata Kunci: Struma Multinodosa Toksik, Krisis Tiroid, Autoimmune Polyendocrine Syndrome,
short stature.
81
PENDAHULUAN
Struma nodosa toksik adalah suatu kondisi hiperfungsi autonom dari nodul tiroid. Nodul
tiroid toksik atau Morbus Plummer merupakan suatu nodular yang awalnya non toksik dalam
jangka waktu antara 15-20 tahun dapat menjadi struma nodular toksik, sering terjadi pada usia
tua dengan gejala hiperfungsi tiroid yang lebih ringan dari Graves.
Kasus ini sangat menarik untuk dibahas karena seorang wanita 32 tahun dengan struma
multinodosa toksik dan short stature datang dengan krisis tiroid yang sulit diatasi. Pasien baru
diketahui hipertiroid 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Perjalanan penyakit pasien ini berbeda
dengan kondisi klasik Morbus Plummer dimana terjadi pada usia tua diatas 50 tahun dengan
riwayat nodul tiroid yang lama. Kondisi hiperfungsi autonom dari nodul tiroid pada pasien ini
dicurigai akibat dari Autoimmune Polyendocrine Syndrome (APS) tipe IV. Kondisi short stature
dapat ditemukan bersamaan dengan kondisi APS.
ILUSTRASI KASUS
Seorang wanita berusia 32 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran serta
buang air besar cair disertai muntah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi
lebih dari 10 kali per hari disertai dengan panas badan. Karena keluhan buang air besar cair dan
muntah pasien berhenti minum obat rutin yaitu thyrozol 1x20 mg dan propranolol 3x10mg po.
Pasien juga mengeluhkan gigi goyang pada rahang atas dan bawah, terasa nyeri dan ngilu serta
nyeri buang air kecil. Pasien diketahui memiliki hipertiroid sejak 3 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Sejak 2 tahun yang lalu pasien merasakan benjolan di leher tanpa kondisi tirotoksikosis.
Pasien dirujuk ke RSHS untuk rencana ablasi nuklir.
Pasien memiliki postur yang kecil dibandingkan sebayanya. Pasien memiliki
keterlambatan pertumbuhan dan intelektual. Pasien belum bisa berjalan sampai dengan usia 1
tahun dan serta pasien tidak bersekolah. Pasien lahir dengan usia cukup bulan, berat badan lahir
kurang, Pasien bisa menstruasi hanya tidak teratur setiap bulannya. Riwayat infeksi saat dalam
kandungan ibu tidak diketahui. Tidak ada riwayat ibu mengkonsumsi alkohol, merokok ataupun
obat-obatan selama kehamilan. Tidak ada keluarga yang mengalami cacat bawaan serta postur
tubuh seperti pasien.
82
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen, sakit berat dengan tekanan darah
110/70 mmHg, detak jantung 180 x/menit, laju napas 24x/ menit S: 390C. Pada pemeriksaan fisik
lainnya didapatkan tinggi badan: 134 cm dengan berat badan 20 kilogram dengan Arm span/
height ratio = 1.052, konjungtiva anemis, tidak ada exoftalmus, mukosa bibir dan lidah kering pada rongga gigi dan mulut ditemukan periodontitis kronis disertai mobility grade III pada gigi
14, 13, 12, 22, 22, 23, 34, 33,32, 42, 43, 45 tiroid teraba membesar ukuran 6 cm x 4 cm,
multiple, tidak ada bruit dan nyeri tekan, perkembangan seks sekunder Tanner stage III, serta
pada ekstremitas ditemukan genu vargus.
Pemeriksaan laboratorium Hb 6.8 sampai 12.0 mg/dl, leukosit 7.000 sampai 17.510,
trombosit 7.000 hingga 82.000, GDS 101 mg/dl, ureum 85.0 mg/dl, kreatinin 1.19 mg/dl, kalium
1.8 sampai 4.3 mEq/L, kalsium 4.37 mg/dl (normal: 4.5-5.6 mg/dl), magnesium 1.9 mg/dl (1.8-
2.4 mg/dl) Alkali phosphatase : 66 U/L, kultur urin didapatkan kuman e coli dengan jumlah
koloni > 105.
Gambar 1. Foto tampak depan pasien
TSHS <0.02 (N: 0.8-2 ng/ml), fT4 5.3 ng/ml (N: 0,8 – 1,7 ng/mL), T3 3,6 (N: 0.3-5
uIu/ml). TrAb< 0.90 (≤1.75 IU/L), Anti-TPO < 0.5 IU/ml, PTH intact 148.9 pg/ml (15-65
pg/ml). Sidik tiroid ditemukan struma difusa toksik dan sidik paratiroid tidak ditemukan adanya
adenoma paratiroid. Hasil USG tiroid ditemukan nodul solid tanpa kalsifikasi pada isthmus
moderately suspicious (TIRADS 4). Nodul solid multiple tanpa kalsifikasi pada tiroid kanan
83
(TIRADS 4). Nodul semi solid tanpa kalsifikasi pada tiroid kiri (TIRADS 3). Tidak tampak
pembesaran pembesaran KGB colli, submandibula, dan supraclavicula bilateral.
Manus kiri AP dan lateral, genu serta pedis bilateral: penurunan densitas tulang-tulang
pembentuk (osteoporosis) dan ditemukan deformitas phalang medial dengan penyempitan sendi
metatarsalphalangeal digiti 3.4.5 pedis bilateral. Bone Age manus bilateral: densitas tulang
pembentuk manus kanan dan kiri menurun. Metacarpal digiti 4 dan 5 manus kanan kiri terlihat
lebih pendek. Kesan: Menyokong suatu metabolic bone disease. Jumlah carpalia sesuai dengan
usia lebih dari 18 tahun (8 buah) menurut metode Greulich- Pyle.
Gambar 2. USG Tiroid: Nodul Tiroid
Gambar 3. Sidik kelenjar tiroid: Struma difusa toksik
84
Gambar 4. Sidik paratiroid
Saat pasien datang ke IGD RSHS dengan skor Burch Wartofsky 50 sehingga didiagnosis
krisis tiroid dengan struma nodosa toksik pada short stature, periodontitis kronis, osteoporosis
generalisata, dengan trombositopenia imun dd/obat-obatan Pasien diberikan terapi sebagai krisis
tiroid dengan PTU, lugol, dexamethasone serta propranolol. Pasien juga diberikan antibiotika
serta koreksi kalium secara intravena. Dua belas jam kemudian pasien mengalami perbaikan
klinis, pasien menjadi sadar serta panas badan menurun. Karena kondisi klinis pasien perbaikan
dilakukan titrasi turun lugol dan dexamethasone. Hari perawatan ke 5 kondisi pasien mengalami
perburukan dengan penurunan kesadaran dan panas badan kembali, pasien dibuat diagnosis
tambahan dengan cathether associated urinary tract infection. Pasien kemudian ditatalaksana
krisis tiroid sehingga lugol dan dexamethasone diberikan kembali.
Masalah lain yang terjadi ada trombosit pasien semakin bertambah turun hingga
mencapai 7 ribu. Kondisi ini diperkirakan diperberat karena kondisi infeksi ditambah dengan
penggunaan antibiotika ciprofloksasin. Dari hasil kultur urin didapatkan E Coli yang masih
sensitif terhadap gentamisin, amikasin, ceftazidime, cefepime, tigecyline, ertapenam,
meropenem, resisten terhadap ampicillin sulbactam, ceftriaxone, ampicillin, cefotaxime,
ciprofloxacin, cotrimoxazole, aztreonam. Antibiotika kemudian diganti menjadi amikasin.
Kondisi trombositopenia pasien dibantu dengan tranfusi trombosit serta diputuskan
pemberian steroid lanjutan prednisone 1 mg/kgbb setelah pemberian dexamethasone iv.
Pemberian prednisone direncanakan selama 21 hari setelah itu rencana titrasi turun. Pasien juga
direncanakan tindakan ablasi tiroid dan aspirasi jarum halus menunggu kondisi trombositopenia
perbaikan. Pasien pulang dengan kondisi infeksi perbaikan, serta kondisi trombosit naik
mencapai nilai 27 ribu sehingga pada hari rawat ke 23 pasien diputuskan rawat jalan.
85
PEMBAHASAN
Tirotoksikosis adalah kumpulan gejala karena adanya kadar hormon tiroid yang berlebihan
di jaringan dan sirkulasi. Etiologi tirotoksikosis disebabkan karena tidak terkendalinya produksi
hormon tiroid seperti pada penyakit Graves, struma multinodular toksik, adenoma autonom,
adenoma penghasil TSHs di pituitari, mola atau choriocarcinoma, hyperemesis gravidarum,
karsinoma atau jaringan tiroid ektopik, destruksi kelenjar tiroid sehingga hormon keluar pada
kondisi tiroiditis atau post radiasi kelenjar atau kondisi yang berasal dari luar tubuh seperti
terlalu banyak menggunakan hormon tiroid ataupun bahan yodium. Kondisi ini jika disebabkan
oleh hiperfungsi kelenjar tiroid disebut sebagai hipertiroidisme. Penyebab tersering dari
tirotoksikosis adalah penyakit Graves sebesar 80-90% diikuti tiroiditis (15%) dan sekitar 5%
karena struma nodosa toksik.
Nodul tiroid toksik atau penyakit Plummer ditemukan pertama kali tahun 1913 oleh Henry
Plummer. Morbus Plummer merupakan gangguan kelenjar tiroid dan pertama kali dibedakan dari
Morbus Graves oleh Plummer. Pada permulaan gangguan tidak timbul gejala-gejala hiperfungsi
tetapi mulai usia dewasa muda, akan muncul sebagai suatu struma yang non toksik. Bila tidak
diobati, dalam jangka waktu 15-20 tahun dapat menjadi toksik.
Morbus Plummer merupakan suatu noduler yang non toksik dalam jangka waktu antara 15-
20 tahun dapat menjadi struma noduler toksik dengan keluhan seperti sukar menelan, batuk,
gangguan pernafasan, dan suara serak. Hal ini dapat terjadi mungkin karena pengaruh nodul tiba-
tiba menjadi otonom sendiri, sesudah operasi, karsinoma, pemberian hormon tiroid atau yodium
dari luar atau pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan. Gejala hiperfungsi yang bersifat
lebih ringan dari Graves.
Krisis tiroid merupakan komplikasi dari tirotoksikosis yang amat membahayakan, hampir
semua kasus diawali oleh penyakit atau faktor pencetus. Faktor pencetus pada pasien ini
diperkirakan karena kondisi infeksi gigi ditambah dengan penghentian tiba-tiba obat anti tiroid
pada pasien yang mempunyai kondisi tiroid yang imun.
Kondisi krisis tiroid tidak cocok dengan perjalanan penyakit Plummer. Pada kondisi struma
multinodular toksik (penyakit Plummer) sering terjadi pada usia diatas 50 tahun dengan kondisi
non toksik selama bertahun-tahun sebelumnya. Kondisi toksik pada usia muda bisa disebabkan
86
oleh adenoma toksik, akan tetapi kondisi ini tidak cocok dengan kondisi pasien dimana pada
adenoma toksik biasa nodul soliter. Kondisi tiroid autoimun sering terjadi pada usia 20 sampai
40 tahun.
Kondisi autoimmune polyendocrine syndrome tipe IV didefinisikan sebagai adanya kondisi
autoimun tiroid dan penyakit autoimmune lainnya yang tidak termasuk dengan kategori lainnya
atau penyakit Addison. Pada tahun 1980 Neufeld dan Blizzard memperkenalkan klasifikasi dari
APS yang terdiri dari 4 tipe.
APS -1 atau APECED (autoimmune
polyendcrine-candidiasis-ectodermal-
dystrophy)
Kandidiasis mukokutan yang kronis
Hipoparatiroidisme kronis
Penyakit Addison (setidaknya dua dari tiga)
APS-2 atau sindroma Schmidt’s Penyakit Addison + Penyakit tiroid autoimun
dan atau DM tipe 1
APS-3 adalah penyakit tiroid autoimun
(eksklusi dari penyakit Addison)
Jika ditambah dengan:
DM tipe 1= Tipe 3A
Gastritis atropi kronis atau anemia
pernisiosa= Tipe 3 B
Vitiligo, alopesia atau miastenia gravis: Tipe
3C
APS-4 Penyakit autoimun lainnya
Tabel 1. Klasifikasi Autoimmune Polyendocrine Syndrome
Pada pasien ini diperkirakan adanya kondisi autoimun mengingat usia muda dengan
kondisi short stature dengan trombositopenia imun sekunder. Dari beberapa laporan kasus
kondisi autoimun APS tipe 1, Juvenile Rheumatoid Arthritis bersamaan dengan kondisi short
stature. Kasus lain ditemukan kondisi diabetes, autoimun tiroid serta bisitopenia imun dengan
kondisi short stature.
Jika kondisi autoimun dicurigai diperlukan pemeriksaan petanda autoantibodi terhadap
tiroid yaitu anti tiroid peroksidase (anti TPO) dan anti Trab pada kasus ini diperiksa hasilnya
negatif. Titer antibodi seperti anti Trab ditemukan positif pada 20-50% kasus automimun tiroid.
87
Anti TPO ditemukan positif pada 88% pasien dengan Tiroditis Hashimoto, 53% positif pada
penyakit Graves. Pada kasus ini ditemukan negatif terhadap kedua anti TPO dan anti Trab.
Pada pasien ditemukan nilai PTH yang tinggi PTH intact 148.9 pg/ml (15-65 pg/ml)
dengan sedikit hipokalsemia kalsium 4.37 mg/dl (normal: 4.5-5.6 mg/dl) dengan kondisi
osteoporosis. Telah diperiksakan sidik paratiroid dan tidak ditemukan adanya kondisi adenoma
paratiroid. Pada pasien diperlukan resistensi hormone paratiroid (pseudohypoparathyroidism).
Kondisi ini bisa ditemukan bersamaan dengan kondisi penyakit automimun lain seperti contoh
DM tipe 1 dan autoimmune polyglandular syndrome.
Masih diperlukan lanjutan pemeriksaan genetika dan pemeriksaan autoantigen lain dan
deteksi autominun pada gonad. Pasien mengalami oligomenorhoe sehingga perlu dievaluasi
kadar 17-OH dan CYP450scc yang merupakan marker kondisi primary ovarian insufficiency
(POI)
Nodul tiroid perlu dievaluasi kearah keganasan tiroid. Pada pasien ditemukan dari USG
nodul solid tanpa kalsifikasi pada isthmus moderately suspicious (TIRADS 4). Pada tiroid kanan
nodul solid multiple tanpa kalsifikasi serta nodul semi solid tanpa kalsifikasi pada tiroid kiri
(TIRADS 3). Hasil sidik tiroid didapatkan kondisi struma difusa toksik hal ini bisa terjadi
walaupun secara anatomis kondisi pasien nodul bukan struma difusa dikarenakan hiperfungsi
menyeluruh. Kondisi keganasan sangat jarang terjadi pada kasus dengan struma yang toksik
walaupun bukti pasti melalui aspirasi jarum halus pada pasien ini belum dilakukan menunggu
kondisi trombositopenia pasien perbaikan.
KESIMPULAN
Kasus ini merupakan kasus struma multinodosa dengan krisis tiroid pada pasien dengan
kondisi short stature serta trombositopenia imun sekunder. Diperkirakan kondisi hiperfungsi
autonom pada pasien merupakan bagian dari Autoimmune Polyendocrine Syndrome (APS) tipe
IV. Kami belum menemukan kasus lain yang seunik kondisi klinis pada pasien ini.
88
REFERENSI
1. Jameson JL, Mandel SJ, Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland. Harrison’s
Endocrinology. 4 th ed. 2017. USA: Mc Graw Hill Companies. p 97-98.
2. Eisenbarth GS and Rewers M. Autoimmune Endocrine Syndromes. Manual of
Endocrinology and Metabolism. 5 th ed. 2019. USA: Wolters Kluwer. p 1025-1029.
3. Orlander PR, Chiu CB, Davis AB. Toxic Nodular Goiter. Available from
https://emedicine.medscape.com/article/120497-overview
4. Pun T and Chandurkar V. Growth Hormone Deficiency, Short Stature, and Juvenile
Rheumatoid Arthritis in a Patient with Autoimmune Polyglandular Syndrome Type 1: Case
Report and Brief Review of the Literature. ISRN Endocrinology Volume 2011, Article ID
462759, doi:10.5402/2011/462759.
5. Sediva H, et al. Short Stature in a Boy with Multiple Early Onset Autoimmune Conditions
due to STAT3 Activating Mutation: Could Intracellular Growth Hormone Signalling be
Compromised?. Horm Res Paediatr. 2017, doi: 10.1159/000456544.
6. Engler H, Riesen WF, and Keller B. Anti-thyroid peroxidase (anti-TPO) antibodies in thyroid
diseases, non thyroidal illness and controls. Clinical validity of a new commercial method for
detection of anti TPO ( thyroid microsomal) autoantibodies. Clinical Chimica Acta 225.
1994. 123-136.
7. Mukherjee S, Bhadada SK, Bhansali A. Association of Pseudohypoparathyroidism and
Autoimmumne Polyglandular Syndrome: Causal or Coincidental?. Ind J Clin Biochem. 2018,
doi: 10.1007/s12291-018-0802-6.
89
SEORANG WANITA MUDA DENGAN HIPERTENSI ENDOKRIN TERKAIT ADRENAL : SINDROM CONN / HIPERALDOSTERONISME PRIMER
DAN FEOKROMOSITOMA
Dewi Catur Wulandari, Ketut Suastika, AAG Budhiarta, Wira Gotera, Made Ratna Saraswati, I Made Pande Dwipayana
Program Pendidikan Dokter Penyakit Dalam Sub Spesialis Endokrinologi Metabolik dan Diabetes FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar
Abstrak Pendahuluan. Hipertensi karena penyebab endokrin terkait adrenal jarang ditemukan. Penyebab tersering adalah hiperaldosteronisme primer (sindrom Conn) dengan angka kejadian 3%-20%. Sedangkan feokromositoma ditemukan 0,05%-0,1% dari populasi hipertensi. Hanya sedikit laporan kasus koeksistensi hiperaldosteronisme primer dan feokromositoma Ilustrasi Kasus. Seorang wanita usia 37 tahun dikonsulkan dari divisi Nefrologi dengan hipertensi dan kecurigaan hiperaldosteronisme primer. Riwayat HT sejak 2015. Kadang-kadang disertai dengan nyeri kepala, berdebar dan berkeringat. Rawat inap dua kali karena lemas. Data penunjang menunjukkan hipokalemia dan alkalosis metabolik. Penderita mendapatkan terapi ramipril 5 mg, amlodipin 5 mg, spironolakton 50 mg dan suplementasi kalium. Selanjutnya dilakukan CT Scan abdomen dengan kontras dan didapatkan massa solid daerah suprarenal kanan ukuran 1,9 x 2,6 x 2,2 cm. Hasil pemeriksaan aldosteron serum (posisi tegak) 53,8 ng/dl (2,52-39,2). Berdasarkan data tersebut penderita didiagnosis dengan hipertensi endokrin terkait adrenal suspek hiperaldosteronisme primer, diagnosis banding feokromositoma. Penderita menjalani laparoskopi adrenalektomi dengan hasil histopatologi cenderung suatu feokromositoma. Pasca tindakan, pasien tidak ada keluhan, tekanan darah dan kadar kalium normal, obat anti hipertensi dan tablet kalium dihentikan. Pembahasan. Hiperaldosteronisme primer merupakan sindrom yang disebabkan oleh sekresi aldosteron berlebihan dari korteks adrenal yang mengalami hiperplasia atau adenoma. Klinis ditandai dengan trias hipertensi, hipokalemia dan alkalosis metabolik. Pemeriksaan penunjang adalah plasma aldosteron concentration (PAC) dan plasma renin activity (PRA). Rasio antara PAC dengan PRA disebut adosteron renin ratio (ARR) dan bila nilainya > 100 merupakan diagnostik bermakna untuk hiperaldosteronisme. Feokromositoma adalah neoplasma yang berasal dari jaringan kromafin medula adrenal dan memproduksi hormon katekolamin seperti dopamine, norepinefrin, epinefrin yang mengakibatkan gejala hipertensi paroksismal, nyeri kepala, hiperhidrosis, takikardia. Pemeriksaan penunjang adalah metanefrin, katekolamin urine 24 jam. Pada pasien ini didapatkan gejala dan klinis yang mengarah kepada sindrom Conn maupun feokromositoma. Trias hipertensi, hipokalemia dan alkalosis metabolik serta kadar aldosteron yang tinggi menunjukan kondisi hiperaldosteronisme primer. Keluhan sakit kepala, berdebar dan berkeringat kadang-kadang dialami pasien dan hasil histopatologi kelenjar adrenal cenderung suatu feokromositoma. Karena keterbatasan fasilitas, beberapa pemeriksaan penunjang seperti PRA, metanefrin, katekolamin urine tidak dapat dilakukan. Kesimpulan. Telah dilaporkan seorang wanita muda dengan hipertensi sekunder karena koeksistensi hiperaldosteronisme primer dan feokromositoma. Pasca operasi adrenalektomi, pasien dalam kondisi stabil dan tidak memerlukan terapi lagi. Kata kunci : hipertensi endokrin terkait adrenal, hiperaldosteronisme primer / sindrom Conn, feokromositoma, adrenalektomi
90
Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Barrier Filtrasi Glomerulus dan Fungsi Sel β Pankreas Pada Tikus Diabetes Melitus
Yensuari, Aywar Zamri, Lindawati, Putu Moda Arsana, Achmad Rudijanto.
Bagian Penyakit Dalam Divisi Endokrinologi dan Metabolik RS. Saiful Anwar / FK Universitas Brawijaya Malang
Pendahuluan.
Penderita diabetes melitus tersebar diseluruh dunia dan saat ini diperkirakan mencapai hampir 425 juta (8.8 % jumlah penduduk dunia) usia dewasa 20 - 79 tahun, sebagian besar (79 %) berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Estimasi jumlah penderita diabetes ini akan bertambah pada tahun 2045 menjadi 625 juta.1 Seiring dengan hasil tersebut jumlah komplikasi makro dan mikrovaskuler diperkirakan juga akan meningkat. Sekitar 40 % penderita diabetes mengalami proteinuria berupa mikroalbuminuria yang merupakan petanda progresifitas terjadinya penyakit ginjal kronik. Tanpa intervensi khusus 20 - 40 % penderita dengan mikroalbuminuria akan berkembang menjadi overt nepropathy dan sekitar 20 % setelah 20 tahun onset overt nepropathy tersebut akan menjadi penyakit ginjal kronik tahap akhir (CKD = Chronic kidney disease).2
Albuminuria pada hiperglikemia atau diabetes terjadi akibat kebocoran barrier sistem filtrasi glomerulus melalui mekanisme aktivasi pathway polyol dan hexosamine, peningkatan advance glycation end-product (AGE), aktivasi protein kinase C (PKC) yang akan berakibat inflamasi derajat rendah kronik dan peningkatan matrik ektraseluer oleh sel mesangial glomerulus dan cidera podosit, sehingga terjadi hiperfiltrasi glomerulus, dan peningkatan permeabilitas vaskuler.3 Keadaan lain penyebab albuminuria adalah resistensi insulin, obese, hipertensi, dan dislipidemia, secara sendiri atau bersamaan dan sinergis dapat menyebabkan kerusakan glomerulus ginjal.4,5
Latihan fisik merupakan salah satu pilar pengendalian kadar glukosa darah pada diabetes namun dapat mendorong terjadi proteinuria.6,7 Latihan fisik intensitas ringan dan sedang pada penderita diabetes melitus akan menurunkan tingkat albuminuria, namun mekanismenya masih belum jelas. Perbaikan tersebut kemungkinan karena latihan fisik intensitas ringan sampai sedang pada penderita diabetes melitus menghambat progresifitas diabetik neprofati tanpa mempengaruhi aliran darah ginjal seperti tidak terjadinya proses iskemia. Perbaikan tersebut ditandai dengan menurunnya ekskresi albumin yang paralel dengan terkontrolnya parameter metabolik (ditandai dengan perbaikan resistensi insulin dan fungsi sel β pancreas), menurunnya tingkat inflamasi dan stress oksidatif, serta membaiknya struktur morfologi glomerulus ginjal.8 Diduga latihan fisik pada diabetes mempengaruhi perubahan hemodinamik ginjal dan perubahan tekanan negatif pada dinding kapiler glomerulus, dan berdampak pada terpeliharanya sistem barrier filtrasi glomerulus.9,10
Albuminuria terjadi akibat gangguan barrier sistem filtrasi glomerulus yang memiliki tiga komponen berupa lapisan endotelium dengan fenestra, membran basalis, dan podosit, yang membentuk filter yang selektif. Cidera podosit sebagai bagian barrier filtrasi glomerulus berperan penting dalam pathogenesis terjadinya albuminuria.11 Individu normal biasanya hanya mengeluarkan sejumlah kecil protein dalam urin, adanya peningkatan ekskresi albumin (> 30 mg) dalam sehari dianggap sebagai penanda kerusakan ginjal.12 Secara garis besar mekanisme albuminuria adalah akibat gangguan glomerulus, dimana terjadi perubahan permeabilitas glomerulus disertai peningkatan filtrasi protein plasma normal dan gangguan reabsorbsi sel epitel tubulus proksimal.13
91
Albuminuria yang menetap (persisten) merupakan salah satu faktor resiko tinggi untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler pada diabetes mellitus.14,15 Albuminuria dapat dikendalikan dan dihambat dengan terapi farmakologi angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin II receptor blocker (ARB).13
Saat ini pemeriksaan rasio kadar albumin kreatinin urine di rekomendasikan sebagai petanda kerusakan barrier sistem filtrasi glomerulus.12,16 Sesungguhnya sebelum terjadinya albuminuria didahului terjadinya podosituria akibat kerusakan podosit glomerulus yang merupakan salah satu komponen barrier glomerulus filtrasi.17 Protein - protein pembentuk podosit seperti nephrine, sinaptopodin, podocalyxin (PCX) dan podocin dalam urine dapat dijadikan petanda adanya kerusakan atau cidera podosit. PCX sebagai salah satu protein pembentuk podosit dapat digunakan sebagai marker awal kerusakan podosit yang dapat dideteksi keberadaannya di urine.11,18 Belum adanya penelitian yang mengukur kadar PCX dalam urine sebagai marker kerusakan podosit sebagai deteksi dini sebelum terjadinya albuminuria setelah latihan fisik pada tikus diabetes, untuk itu kami lakukan penelitian ini dengan tujuan untuk melihat dampak latihan fisik terhadap kerusakan barrier sistem filtrasi glomerulus dengan mengukur kadar albumin dan PCX dalam urine. Metode Penelitian.
Tikus wistar jantan sebanyak 10 ekor, usia 6-8 minggu dengan berat badan 150 – 300 gram, adaptasi selama 7 hari. Selama adaptasi diberikan pakan standar dan tikus dimasukkan 1 ekor dalam satu kandang. Temperatur ruangan 22 – 25 0C, dan diberikan penerangan cahaya selama 12 jam bergantian 12 jam dalam keadaan gelap. Tikus dijadikan diabetes dengan induksi pemberian diet tinggi lemak (high-fat diet) selama dua minggu, kemudian injeksi streptozotosine (STZ) 30 mg/kgBB (0,1 M citrate buffer, pH 4,5) intraperitoneal (IP) setiap minggu, selama 2 minggu.19 Diet tinggi lemak tetap diberikan sampai 4 minggu setelah injeksi STZ terakhir, dan malam harinya tikus dipuasakan 8 – 12 jam, sampel darah diambil melalui vena orbita untuk dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa. Test toleransi glukosa oral (TTGO) dengan memberikan beban cairan glukosa 2 gram/kgBB, kadar glukosa darah diperiksa melalui darah dari ekor tikus yang dipotong ujungnya pada 0, 30, 60 dan 120 menit setelah pemberian beban. Diabetes ditegakkan berdasarkan hasil kadar glukosa darah puasa ≥ 140 mg/dl dan atau kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl atau kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl setelah TTGO.20,21,22 Tikus diabetes di bagi dua kelompok yaitu : 5 ekor kelompok tikus diabetes sedentari dan 5 ekor kelompok tikus diabetes latihan fisik.
Perlakuan sedentari, tikus tetap dibiarkan dalam kandang sedangkan perlakuan latihan fisik dengan menggunakan alat khusus berupa treadmill tikus (rodent-treadmill) produksi IDEAS Industry of Electronic and Software Bandung Indonesia, terdiri dari chamber display acrylic transparan 2 line, motor penggerak, pengatur sudut kemiringan manual 0 - 450
, pengatur kecepatan 0 - 50 meter/menit, pangatur waktu 0 - 999 menit dan electric shock grid area untuk memberikan kejut listrik agar tikus tidak diam.
Latihan fisik 6 hari dalam seminggu selama 10 minggu (kronik) dan intensitas sedang, diawali dengan kecepatan 10 meter permenit selama 10 menit perhari. Kecepatan dan lama latihan fisik ditingkatkan secara bertahap setiap 2 minggu sampai mencapai lama latihan fisik 1 jam perhari dengan kecepatan 27 meter permenit.23 Dengan kadang metabolik (metabolic cage) urine dikumpulkan selama 24 jam sebelum (pre) dan sesudah (post) latihan fisik. Kadar albumin dan podocalyxin (PCX) dalam urine 24 jam diukur dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) (ELISA kit QAYEE-BIO. For Life Science). Kadar glukosa darah puasa diukur dengan metode fluorometrik, (Glucose Assay Kit, Colorimetric / Fluorometric, ab65333), dan kadar insulin darah puasa diukur dengan metode ELISA (ELISA kit QAYEE-BIO. For Life Science). HOMA IR di hitung dengan, kadar insulin darah puasa (mU/L) x kadar glukosa darah puasa (mmol/L) / 22.5.24 HOM B di hitung
92
dengan, 20 x kadar insulin puasa (mU/L) / kadar glukosa darah puasa (mmol/L) – 3,5 %.25,26 Uji hipotesis menggunakan t test berpasangan, data di tampilkan rerata ± SD dengan p = < 0,05 bermakna.
Hasil. Data analisa nilai rata-rata kadar PCX dan albumin urine 24 jam serta nilai HOMA IR dan HOMA B ditampilkan dalam table 1. Tabel 1. Data Analisa setiap kelompok. Sebelum
(Mean ± SD) Sesudah
(Mean ± SD) p
Diabetes Sedentari - 24-hour urine PCX (ng). - 24-hour urine albumin (mg). - HOMA IR. - HOMA B.
Diabetes Latihan Fisik.
- 24-hour urine PCX (ng). - 24-hour urine albumin (mg). - HOMA IR. - HOMA B.
1,01 ± 0,13 0,69 ± 0,10 0,86 ± 0,40
94,83 ± 22,01
1,31 ± 0,40 1,76 ± 0,52 1,04 ± 0,34
47,06 ± 10,05
1,23 ± 0,52 0,88 ± 0,29 1,03 ± 0,31
61,05 ± 19,36
1,06 ± 0,39 1,69 ± 0,51 0,98 ± 0,43 65,86 ± 4,11
0,47 0,27 0,45 0,03
0,32 0,71 0,84 0,005
Kadar PCX (ng) sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok diabetes sedentari
meningkat tidak bermakna 1,01 ± 0,13 vs 1,23 ± 0,52 (p = 0,47), sedangkan pada kelompok diabetes latihan fisik menurun tidak bermakna 1,76 ± 0,52 vs 1,69 ± 0,51 (p = 0,71). (Grafik 1)
Kadar albumin (mg) sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok diabetes sedentari meningkat tidak bermakna 0,69 ± 0,10 vs 0,88 ± 0,29 (p = 0,27), sedangkan pada kelompok diabetes latihan fisik menurun tidak bermakna 1.31 ± 0.40 vs 1.06 ± 0.39 (p = 0.32). (Grafik 2)
Grafik 1: Perbandingan kadar PCX urine 24 Jam Grafik 2: Perbandingan kadar albumin urine 24 Jam
Nilai HOMA IR sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok diabetes sedentari meningkat tidak bermakna 0,86 ± 0,40 vs 1,03 ± 0,31 (p = 0,45), sedangkan pada kelompok
93
diabetes latihan fisik menurun tidak bermakna 1,04 ± 0,34 vs 0,98 ± 0,43 (p = 0,84). (Grafik 3)
Nilai HOMA B (%) sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok diabetes sedentari menurun bermakna 94,83 ± 22,01vs 61,05 ± 19,36 (p = 0,03), sedangkan pada kelompok diabetes latihan fisik meningkat bermakna 47,06 ± 10,05 vs 65,86 ± 4,11 (p = 0,005). (Grafik 4)
Grafik 3: Perbandingan nilai HOMA IR Grafik 4: Perbandingan nilai HOMA B Diskusi.
Kadar albumin pada kelompok tikus diabetes sedentari terjadi kecenderung meningkat setelah perlakuan sedentari, demikian juga kadar PCX urine terjadi kecenderung meningkat pada kelompok tikus diabetes sedentari setelah perlakuan setara dengan kecenderungan meningkatnya HOMA IR dan menurunnya HOMA B. Sedangkan kadar albumin pada kelompok tikus diabetes latihan fisik terjadi kecenderung menurun setelah perlakuan, demikian juga kadar PCX urine terjadi kecenderung menurun pada kelompok tikus diabetes latihan fisik setelah perlakuan setara dengan kecenderungan menurunnya HOMA IR dan meningkatnya HOMA B.
Dari seluruh data yang ada, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa latihan fisik berpengaruh pada kelompok tikus diabetes, di tandai dengan perbaikan pada sistem barrier filtrasi glomerulus setelah perlakuan yang di nilai dengan keberadaan PCX dan albumin dalam urine yang cenderung menurun bersamaan dengan perbaikan parameter metabolik yang dinilai dengan nilai HOMA IR dan HOMA B. Penurunan kadar glukosa darah dan insulin darah yang merupakan komponen nilai HOMA IR, akan memperbaiki tingkat inflamasi dan stress oksidatif, akan diikuti dengan membaiknya struktur morfologi glomerulus ginjal, sehingga terjadi perubahan hemodinamik ginjal dan perubahan tekanan negatif pada dinding kapiler glomerulus.8
Dengan demikian dapat disarankan bahwa latihan fisik kronik dengan intensitas sedang, dapat mengurangi progresifitas kerusakan barrier sistem filtrasi glomerulus pada penderita diabetes. Pemilihan intensitas dan durasi latihan fisik yang selektif diperlukan untuk menghindari kerusakan barrier sistem filtrasi glomerulus baik pada individu normal maupun individu yang mempunyai penyakit dengan kecendrungan komplikasi pada ginjal seperti diabetes.
Karena adanya korelasi antara PCX dan albumin dalam urine, keberadaan PCX dalam urine juga dapat di jadikan deteksi dini terjadinya diabetik nepropati sebelum terjadinya albuminuria pada diabetes. Walaupun podosituria dapat dijadikan sebagai petanda awal kerusakan barrier glomerulus filtrasi, pemeriksaan albumin urine masih sebagai pemeriksaan yang direkomendasikan.27 Terutama pemeriksaan rasio albumin kreatinin urine,
94
selain murah dan mudah dalam pengumpulan urine acak sesaat (random) sebagai sampel juga menggambarkan sejauh mana albumin diekresikan di dalam urine,28 di banding pemeriksaan PCX urine yang memerlukan koleksi urine selama 24 jam.
Kesimpulan.
Latihan fisik pada tikus diabetes berpengaruh terhadap perbaikan nilai albumin urine, PCX urine, nilai HOMA-IR dan HOMA B. Latihan fisik cenderung menurunkan kadar albuminuria dan PCX, bersamaan dengan kecendrungan perbaikan resistensi insulin dan perbaikan fungsi sel β pankreas pada tikus diabetes. Kepustakaan.
1. Website of the International Diabetes Federation: IDF Diabetes Atlas - 8th Edition. 2017. [http://www.idf.org/diabetesatlas/previouseditions].
2. American diabetes association. Nephropathy in diabetes; Diabetes care 2004; 27: S79- 83.
3. Dronavalli S, Duka I, Bakris GL. The pathogenesis of diabetic nephropathy. Nat Clin Pract Endocrinol Metab 2008; 4: 444–52.
4. Tucker BJ, Anderson CM, Thies RC, Collins RC, Blantz RC: Glomerular hemodynamic alterations during acute hyperinsulinemia in normal and diabetic rats. Kidney Int 1992; 42: 1160 - 68
5. De Cosmo S, Menzaghi C, Prudente S, Trischitta V. Role of insulin resistance in kidney dysfunction: insights into the mechanism and epidemiological evidence Nephrol Dial Transplant 2013; 28: 29–36.
6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesis. Konsensus Pengendalian danPencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2015.
7. Poortmans JR. Exercise and renal function. Sport Med 1984;1:125-53. 8. Ishikawa Y, Gohda T, Tanimoto M, Omote K, Furukawa M, Yamaguchi S, et al.
Efecct of exercise on kidney function, oxidative stress, and inflamation in type 2 diabetic KK-Ay mice. Exper Diab Res 2012: 1-10.
9. Ala-Houhala I. Effect of exercise on glomerular passage of macromolecules in patients with diabetic nephropathy and in healthy subjects. Scandinavian Journal of Clinical and Laboratory Investigation 1990; 50: 27-33.
10. Boor P, Celec P, Behuliak M, Grancik P, Kebis A, Kulkan N et al. Regular moderate exercise reduces advanced glycation and ameliorates early diabetic nephropathy in obese Zucker rats. Metabolism 2009; 58: 1669-77.
11. Pavenstadt H, Kriz W, Kretzler M. Cell biology of the glomerular podocyte. Physiol Rev 2003; 83: 253-307.
12. Viswanathan G, Upadhyay A. Assessment of Proteinuria Advances in Chronic Kidney Disease. 2011; 18: 243-8.
13. Toblli JE, Bevione P, Gennaro FD, Madalena L, Cao G, Angerosa M. Understanding the mechanisms of proteinuria : therapeutic implication. Int Journal of Nephrology 2012; 1-13.
14. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes 2017. 15. Gerstein HC, Mann JF, Yi Q, et al. Albuminuria and risk of cardiovascular events,
death, and heart failure in diabetic and nondiabetic individuals. JAMA 2001; 286 : 421- 26.
16. Eshøj O, Feldt-RasmussenB, LarsenML,et al. Comparison of overnight, morning and 24-hour urine collections in the assessment of diabetic microalbuminuria. Diabet Med 1987; 4: 531-3.
95
17. Estivi P, Urbino R, Tetta C. Uninay protein excreation induced by exercise: effect of a mountain agonistic foottrace in helthy subjects. Renal function and mountain foottrace. J Sports Med Phys Fitness 1992;32:196-200.
18. Sassetti C, Tangemann K, Singer MS, Kershaw DB, Rosen SD. Identification of podocalyxin like protein as a high endothelial venule ligand for L-selectin: parallels to CD34. J Exp Med 1998;187:1965-75.
19. Zhang M, Yan X, Li J, Xu ZG, Chen L. The characterization of high-fat diet and multiple low-dose streptozocin induced type 2 diabetes rat model. Hindawi Publishing Corporation Experimental Diabetes Research 2008; 2008: 1-9
20. Wilson RD, Islam MS. Fructose-fed streptozotocin-injected rat : an alternative model for type 2 diabetes. Pharmacological Reports 2012; 64: 129-39.
21. Etuk EU. Animal model for studying diabetes mellitus. Agric. Biol. J. N. Am 2010;2: 130-4.
22. Yokokawa H, Kinoshita I, Hashiguchi T, Kako M, Sasaki K, Tamura A, et al. Enhanced exercise-induced muscle damage and muscle protein degradation in streptozotocin-induced type 2 diabetic rats. Journal of Diabetes Investigation;6:423-28.
23. Osborn BA, Daar JT, Laddaga RA, Romano FD, Paulson DJ. Exercise training increases sarcolemmal GLUT-4 protein and mRNA content in diabetic heart. J Appl. Physiol 1997; 82: 828-34.
24. Antunes LC, Elkfury JL, Jornada MN, Foletto KC, Bertoluci MC. Validation of HOMA-IR in a model of insulin-resistance induced by a high-fat diet in Wistar rats. Arch Endocrinol Metab. 2016; 60: 138-42
25. Bird SR, Hawley JA. Update on the effects of physical activity on insulin sensitivity in humans. BMJ Open Sport Exerc Med. 2017; 2:1-26.
26. Matthews DR, Hosker JP, Rudenski AS, Naylor BA, Treacher DF TR. Homeostasis model assessment: insulin resistance and beta-cell function from fasting plasma glucose and insulin concentrations in man. Diabetologia. 1985;28(7):412 - 19.
27. Hara M, Yamagata K, Tomino Y, Saito A, Hirayama Y , Ogasawara S, et al. Urinary podocalyxin is an early marker for podocyte injury in patients with diabetes: establishment of a highly sensitive ELISA to detect urinary podocalyxin. Diabetologia 2012; 55: 2913-19.
28. Gerstein HC, Mann JFE, Yi Q, Zinman B, MD, Dinneen SF, Hoogwerf B, Halle JP, et al. Albuminuria and Risk of Cardiovascular Events, Death, and Heart Failure in Diabetic and Nondiabetic Individuals JAMA. 2001; 286: 421-26
96
PENGARUH PENAMBAHAN WARFARIN TERHADAP PENURUNAN KADAR MATRIX METALLOPROTEINASE-9 PADA PENDERITA ULKUS PEDIS
DIABETIKUM YANG MENDAPAT CILOSTAZOL DI RSMH
Ratna MD, Alwi S, Mediarty S
Abstrak Latar Belakang. Ulkus diabetikum merupakan manifestasi komplikasi kronik yang sering terjadi pada penyandang diabetes dan menjadi penyebab hospitalisasi. Penatalaksanaan yang holistik dan integratif diperlukan untuk upaya penyembuhan termasuk tatalaksana gangguan hemostasis primer dan sekunder pada ulkus pedis diabetikum yang disertai dengan Penyakit Arteri Perifer (PAP). Cilostazol dengan sifat antitrombotik dan vasodilatornya telah menjadi terapi standar. Tata laksana kelainan hemostasis sekunder yang terjadi pada penyandang diabetes disertai ulkus pedis karena penyebab iskemi dengan menggunakan warfarin belum banyak dilakukan. Tujuan. Megukur pangaruh penambahan warfarin terhadap penurunanan kadar MMP-9 pada kelompok ulkus pedis diabetikum yang diberi cilostazol dan warfarin. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinik tersamar ganda antara kelompok perlakuan (cilostazol + warfarin) dan kelompok plasebo (cilostazol+plasebo) selama 3 minggu. Pemeriksaan kadar MMP-9 serum sebelum dan sesudah perlakuan, dan evaluai perubahan luas ulkus pedis diabetikum sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil. Nilai rerata kadar MMP-9 awal pada kelompok perlakuan 1222,60±757,53 pg/ml cenderung lebih tinggi dari kelompok plasebo 981,34±506,74 pg/m (p=0,314). Hal yang sama dengan kadar MMP-9 akhir kelompok perlakuan 1228,47±555,48 cenderung lebih tinggi dari kelompok plasebo 1221,20±601,79 pg/ml tetapi perbedaannya tidak signifikan. Terdapat penurunan persentasi kadar MMP-9 kelompok perlakuan-4,06+2,50 pg/ml, kelompok plasebo -224,65+14,59 pg/ml (p=0,006). Persentasi pengurangan luas ulkus kelompok perlakuan 39,52 % dan placebo 25,82 % (p=0,71) Kesimpulan. Penelitian ini tidak mendapatkan bukti adanya penurunan kadar MMP-9 serum dan terdapat pengurangan persentasi luas Ulkus Pedis Diabetikum yang mendapat cilstazol ditambah warfarin. Kata Kunci. Ulkus pedis diabetikum, cilostazol,warfarin, MMP-9 serum.
97
THE EFFECT OF WARFARIN ADDITION IN DECREASING MMP-9 VALUE IN DIABETIC FOOT PATIENTS RECEIVING CILOSTAZOL IN RSMH
Ratna MD, Alwi S, Mediarty S
Abstract.
Background. Diabetic Foot ulcer in one of the most frequent chronic complication of diabetes and is one of the most common causses of hospitalization. The treatment urges integrative and holisyic approach, including treatment of hemostatic distrubances which is common in diabetic patients. Cilostazol with its antitrombotic and vasodilatory effect has been standardized therapy for diabetic foot ulcer with pheripheral artery disease. But till today, there has been less interest and attention in treating secondary hemostatic disorder using warfarin in diabetic foot ulcer.
Aim. To analyze the difference in the decreasing of MMP-9 value, as a marker of wound healling in diabetic foot ulcer patients who get cilostazol and warfarin to those who only get cilostazol therapy.
Metode. This is a double blind randomized clinicl trial, between the group that receives cilostazol and warfarin and the group that receives cilostazol and placebo. MMP-9 sample is taken from peripheral vein accses before and after treatment. Evaluation of the diabetic foot ulcer with TEXAS criteria were also done before and after treatment.
Result. MMP-9 value at baseline and after 3 weeks were performence 30 patients. The delta MMP-9 median in warfarin group -4,06 + 2,50 pg/ml, and median in placebo -224,65 + 14,59 pg/ml (p=0,006). There is no significance reduction of ulcer area in booth groups, warfarin group 43,05 ± 30,19 % and placebo 42,60±40,61 %. There is no statistically significant difference of ulcer area reduction between the two groups (p=0,71).
Conclusion. This study found, no evidence of a decrease in serum MMP-9 levels and a reduction in the percentage extent of the foot Diabetic Ulcer that received cilstazol plus warfarin.
Keywords :diabetic foot ulcer – cilostazol - warfarin – MMP-9
98
ABSTRAK
Efek Suplementasi Susu Kedelai Sub Kronis pada Kadar Luteinizing Hormone (LH), Follicle Stimulating Hormone (FSH), Ekspresi Reseptor Estrogen α (ER-α) dan Reseptor Estrogen β (ER-β) di Testis dan
Epididimis dan, kadar Testosteron pada Tikus Sprague Dawley (SD) Jantan
Leny Puspitasari, Achmad Rudijanto, Laksmi Sasiarini Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Sub Bagian Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/ RS dr. Saiful Anwar
Latar belakang. Fitoestrogen merupakan bahan yang dapat menimbulkan gangguan fertilitas pada laki-laki. Susu kedelai merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi dan merupakan sumber fitoestrogen pada makanan. Kandungan fitoestrogen utama pada susu kedelai adalah genistein. Tujuan. Mengetahui pengaruh paparan susu kedelai berbagai dosis terhadap LH dan FSH, ekspresi ER-α dan ER-β di testis dan epididymis dan kadar testosteron pada tikus sprague dawley jantan. Metode. Susu kedelai dosis rendah, sedang, dan tinggi (0,8 ml, 1,6 ml, dan 3,2 ml) diberikan peroral pada tikus Sprague dawley jantan berumur 6-8 minggu, selama 60 hari. Kontrol yang digunakan adalah tikus tanpa perlakuan, dan tikus yang diberikan genistein dosis rendah, sedang, dan tinggi (20 mg/hari, 40 mg/hari, dan 80 mg/hari). Pada hari ke-61 dilakukan pengorbanan tikus, diambil darah untuk serum dan pengambilan testis dan epididimis. Diperiksa LH, FSH, dan testosteron serum menggunakan metode ELISA. Dibuat preparat histologi organ testis dan epididymis dan dilakukan pengecatan immunohistokimia untuk ER-α dan ER-β. Masing-masing slide histologi dilakukan pembacaan pada 5 area dengan menggunakan software immunoratio. Uji hipotesis dilakukan dengan one-way ANOVA. Hasil. Paparan subkronis susu kedelai menurunkan kadar serum LH dan testosteron, dan meningkatkan kadar serum FSH tetapi tidak bermakna. Penurunan kadar LH berbeda dengankelompok genistein. Perubahan kadar serum FSH dan testosteron memiliki profil yang sama dengan penambahan genistein sehingga hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan genistein. Terjadi penurunan ekspresi ER-β yang bermakna pada testis dengan pemberian susu kedelai dosis rendah dan sedang. Terjadi peningkatan ekspresi ER-α dan ER-β di epididimis pada pemberian susu kedelai dosis sedang dan tinggi. Profil ekspresi ER-α dan ER-β di testis dan epididimis menunjukkan perbedaan bila dibandingkan dengan kelompok genistein. Menunjukkan bahwa peran genistein tidak dominan. Kesimpulan.Paparan susu kedelai subkronis dosis rendah dan sedang menurunkan ekspresi ER-β di testis. Paparan susu kedelai dosis sedang dan tinggi meningkatkan ekspresi ER-α dan ER-β di epididimis. Profil ekspresi ER berbeda dengan pemberian genistein sehingga perlu diteliti kandungan lain pada susu kedelai berkaitan dengan ER. Kata kunci: susu kedelai, genistein, LH, FSH, testosteron, reseptor estrogen
99
ProporsiResistansiInsulinpadaPasienHIVDewasadalamTerapiAntiretroviralLiniKeduadanHubungannyadenganDurasiTerapi,Lipodistrofi,danKadarAsamLemakBebas–Studicross-sectional
Nenfiati,HarbuwonoDS,YunihastutiE,SetiatiS
DepartemenIlmuPenyakitDalam,FakultasKedokteran,UniversitasIndonesia,RumahSakitCiptoMangunkusumo
E-mail:[email protected]
AbstrakTerapiantiretroviral (ARV), khususnya linidua,dapatmeningkatkan risiko terjadinya resistansi insulin.Terdapat perbedaan hasil dari studi terdahulu di negara dan ras yang bervariasi, mengenai proporsikejadianresistansi insulinpadapasienHIVdalamterapiARV liniduadanhubungannyadengandurasiterapi, lipodistrofi, dankadar FFA.Penelitian inimerupakan studipotong lintangyangdilakukanpada111 pasien HIV dalam terapi ARV lini dua. Subjek dinyatakan mengalami resistansi insulin denganmenghitung indeksHomeostaticModelAssessmentfor InsulinResistance (HOMA-IR).Nilai titikpotongHOMA-IRditentukandalampenelitian ini dengan tambahandata sekunder, padapopulasi pasienHIVdalamterapiARV.Medianusiasubjekadalah39 tahun (19-58)dan82%nyaadalah laki-laki.MediandurasiPIadalah52(0,5–178)bulan,durasiNRTI121(19-238)bulan.Terdapat9subjekdenganlipodistrofi.MediankadarFFA adalah 2,38 (0,28-40,38). Durasi PI (p=0,015) dan durasi NRTI (p=0,027) berhubungan bermaknadengan resistansi insulin. Sebaliknya, lipodistrofi dan kadar FFA tidakberhubunganbermaknadenganresistansi insulin. Obesitas sentral (p=0,002), durasi PI (p=0,002), dan durasi NRTI (0,049) memilikihubunganbermaknadenganresistansiinsulin.ProporsiresistansiinsulinpadapasienHIVdalamterapiARVlinikeduaadalah55%.DalampenelitianinidurasiterapiNRTIdanPI,berhubungandenganterjadinyaresistansiinsulinpadasubjek.Sementaraitu,ditemukan perbedaan tidak bermakna secara statistis antara kadar FFA, dan ada lipodistrofi denganresistansiinsulinpadapasienHIVdalamterapiARVlinikedua.Katakunci:freefattyacid;lipodistrofi;NRTI;PI;resistensiinsulin
Pendahuluan
SeringdilaporkanefeksampingmetabolisdaripemberianARVpadapasienHIV
terutamakejadianresistansiinsulin.1Resistansiinsulinadalahsuatukondisipenurunan
sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin. Hal ini sebenarnya dapat terjadi akibat
infeksiHIVitusendiri,tetapidapatjugadisebabkanolehjenisobatARVyangdidapat
pasien,yaitugolonganNRTIdanPI.1,2
Komplikasi resistansi insulin yang ditakuti antara lain keberlanjutan penyakit
menjadi diabetes melitus (DM) dan komplikasi lanjutnya antara lain aterosklerosis,
gagal ginjal, dan komplikasimikrovaskular lainnya. Saat ini belum ada skrining yang
direkomendasikan untuk menilai resistansi insulin pada pasien HIV yang menerima
100
ARV. Diperlukan deteksi lebih awal sehingga memungkinkan untuk melakukan
tindakanpencegahanatauintervensiagartidakberkembangmenjadiDM.1,2
Dari studi yang ada hingga saat ini, diketahui beberapa cara untuk menilai
resistansiinsulin,salahsatunyaadalahpengukuranHomeostaticModelAssessmentfor
InsulinResistance (HOMA-IR).Resistansi insulinseringkali dikaitkandengansindrom
lipodistrofi dan peningkatan kadar FFA.3-6 Sindrom lipodistrofi sendiri secara klinis
ditandai dengan lipoatrofi, yaitu kehilangan lemak perifer, dan lipohipertrofi, yaitu
akumulasi lemak viseral yang terlokalisasi di abdomen, paha, dan punggung.3, 4, 7
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan korelasi positif antara terapi ARV dan
kejadianmetabolis,khususnyaresistansiinsulin,kebanyakansubjekpenelitianberasal
darikelompokraskaukasoiddannegroid.Selainitu,masihditemukanperbedaanhasil
penelitian mengenai hubungan antara terapi ARV, khususnya golongan PI, dengan
resistansiinsulin.2,3,5
Studipotonglintangdipilihsebagaidesainstudiinikarenalebihmampu.Desain
kohort belum dapat digunakan karena belum ada data dasar penelitian mengenai
hubunganterapiARVlinikeduadenganresistansiinsulinpadapasienHIVdiIndonesia.
Oleh karena itu, dalam penelitian kali ini dengan desain potong lintang, kami ingin
mengetahuiproporsikejadianresistansiinsulinpadapasienHIVyangmendapatterapi
ARVlinikeduasertahubungannyadengandurasiterapiPI,NRTI,lipodistrofi,dankadar
FFA, di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan nasional di
Indonesia.
TinjauanTeoritis
SejakerapenggunaanHAART,lebihbanyakstudiyangmelaporkanefeksamping
metabolik,terutamaresistensiinsulinpasienHIV.StudiolehBergersendkk.8pada357
subyekHIVpositif diNorwegiamenyatakanbahwaprevalensi resistensi insulinpada
pasienHIVdalamterapiARVlebihtinggidibandingkanpadapasienbelumterapiARV,
yaitu45,4%dibandingkan19%.8StudiolehDada,dkk.pada266pasienterinfeksiHIVdi
Nigeria jugamenunjukkan hasil prevalensi resistensi insulin yang serupa, yaitu lebih
tinggi pada pasien dengan HAART (25,8%) dibandingkan pada pasien yang belum
mendapatkan terapi (10%).9 Jenis ARV yang dapat menyebabkan resistensi insulin
utamanyaadalahARVdarikelasNRTIdanPI.7,9
101
Durasi pemberian terapiARVdiketahuimemiliki hubungan terhadap kejadian
resistensi insulin. NRTI yang termasuk dalam regimen terapi ARV lini pertama yang
dilaporkan dapatmenimbulkan resistensi insulin dan lipoatrofi jika digunakan dalam
jangkawaktu yang lama.7 Sebuah studi kohort yang dilakukan Abraham dkk.10 yang
mengikutipenggunaterapiARVlinipertama,NRTIdanNNRTI(pasienwanitadiAfrika),
selama16bulandandiikutisampai82bulankemudian,ditemukanadanyalipoatrofi,
peningkatan tekanan darah, dan peningkatan kadar gula darah.10 Studi lain yang
dilakukanolehMbunkahdkk.11membandingkanantarapasienHIVbelumterapiARV,
pasienHIVdengan terapiARV linipertama,pasienHIVdengan terapiARV lini kedua
dan kontrol HIV negatif, menemukan bahwa prevalensi hiperglikemia dan resistensi
insulin tertinggi dijumpai pada pasien HIV dengan terapi ARV golongan NRTI, yaitu
kombinasi obat lamivudin/stavudin/nevirapin. Studi oleh Guillen dkk.7 melaporkan
bahwa 81% subyek dengan resistensi insulin, yang mayoritas dalam terapi ARV
golonganNRTI,telahmenjalaniterapiselamalebihdari1tahun.
Penggunaan ARV golongan PI jangka waktu yang tidak lama ternyata sudah
dapat menimbulkan resistensi insulin.12 Semenjak PI dikenalkan sebagai bagian dari
HAART,diabetesnewonsetdilaporkanterjadipalingcepat2minggudanpalinglama
12 bulan setelah terapi PI dan perbaikan diabetes pada sebagian pasien setelah
penghentian terapi PI selama kurang lebih 6 minggu.13 Hiperglikemia dan DM telah
dilaporkansebagaiefeksampingdaripenggunaanPI,denganfrekuensikejadian0,67%
sampai9,4%yangmunculpadabeberapabulanpertamapengobatan.14Ujiklinisyang
dilakukan oleh Lee, dkk pada orang dengan HIV negatif, menguji pemberian
lopinavir/ritonavir selama4minggu,menunjukkanpenurunan sekresi insulin saat 30
menittestoleransiglukosaoral(TTGO),sehinggaterdapatkemungkinanadanyadefek
pada sekresi insulin oleh karena pemberian lopinavir/ritonavir.15 Kelainan
metabolismeglukosalainnyadijumpaipadaterapiPIyaitupadaujiklinisorangsehat
yangdiberikanindinavirselama4minggu,mengalamipeningkatankadargulapuasa.16
Terapi ARV, khususnya NRTI dan PI, dapat menyebabkan resistensi insulin
dengan dua mekanisme utama, yaitu mekanisme secara langsung dengan
mengintervensi jalur pensinyalan insulin tingkat seluler dan secara tidak langsung
sebagai konsekuensi dari defek metabolisme lipid pada pasien dengan sindrom
102
lipodistrofi.7Secararingkasnya,mekanismeARVdalammenyebabkanresistensiinsulin
padagambar1berikut.
Gambar1.PatogenesisresistensiinsulinpadapasienHIV17
MetodeDesainpenelitian
Studi ini menggunakan desain potong lintang analitis. Maksud serta tujuan
penelitian terlebih dahulu dijelaskan secara detail kepada subjek penelitian.
Persetujuan tertulis dimintakan sebelum subjek penelitian mengikuti penelitian ini.
Semuadata yang digunakan akan dijaga kerahasiaannya. Izin penelitian berdasarkan
persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran Kesehatan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia untuk kemudian ditindaklanjuti dengan memperoleh
persetujuan izin lokasi penelitian dari RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan
nomor:LB.02/2.2.1/0865/2018.
Partisipan
Pemilihansampelpenelitiandilakukandengansamplingkonsekutif/berurutan.Kriteria
inklusi antara lain pasien HIV/AIDS berusia >18 tahun dalam terapi ARV lini kedua,
pernahmendapatterapiARVlinipertamatetapigagalterapi.Pasiendatangberobatdi
Unit Pelayanan Terpadu HIV RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dan tidak
dalamterapi infeksioportunistis.KriteriaeksklusiadalahyangsudahterdiagnosisDM
sebelumataupadasaat terdiagnosisHIV/AIDS,pasienwastingsyndrome,danpasien
dengankomorbidsirosishati.
103
NilaiPotongHOMA-IR
Nilai titik potong HOMA-IR ditetapkan berdasarkan kurva receiver operating
characteristic (ROC) dengan titik potong optimal. Kurva ROC dibuat dengan indeks
HOMA-IR dari populasi pasien HIV dalam terapi ARV. Titik potong HOMA-IR dalam
penelitian ini adalah 2,705, yaitu titik potong dari nilai sensitivitas serta spesifisitas
yang optimal dari nilai HOMA–IR pada populasi penelitian. Sensitivitasnya dan
spesifisitasnyamasing-masing69,1%dan67,9%.
Analisisdata
Analisis data penelitian dihitung dengan menggunakan perangkat SPSS versi
20.0, lalu disajikan dalam bentuk persentase (%), rerata (± simpang baku), median
(rentanginterkuartil).Variabelnumerikdengandistribusitidaknormaldisajikandalam
median(nilaiminimum-nilaimaksimum).Variabelnumerikdengandistribusinormal
disajikandalamrerata±simpangbaku.Variabelkategorisdisajikandalamn(%).Untuk
melihathubunganantaradurasiPI,durasiNRTI,sertakadarFFAdanresistansiinsulin.
Olehkarenadatavariabelnumerik,kamimenggunakananalisisujittidakberpasangan
jika distribusi normal, atau menggunakan ujiMann Whitney U jika distribusi tidak
normal.Untukmelihat hubungan lipodistrofi dengan resistansi insulin, digunakan uji
chi square. Selain empat variabel utama itu , juga dilakukan analisis kemaknaan
statististerhadapvariabelindependenlainnyadandilakukananalisismultivariatpada
variabelyangberhubunganbermaknadenganresistansiinsulin.
Hasil
PenelitiandilakukandaribulanAgustus2018hinggaJanuari2019.Selamaperiodeitu,
terdapat135pasienHIVdalamterapiARVlinikedua.Darijumlahitu,didapatsebanyak
111 subjek yang memenuhi kriteria inklusi, tidak termasuk kriteria eksklusi, dan
menyetujuiinformedconsent.Karakteristiksubjekpenelitiandapatdilihatpadatabel1
dibawahini.
104
Tabel1.KarakteristikSubjekPenelitian
Karakteristik n=111Demografis Usia(tahun),median(min-maks) 39(19,00–58,00)
15–24,n(%) 1(0,9)25–34,n(%) 12(10,8)35–44,n(%) 75(67,6)45–54,n(%) 20(18,0)55–64,n(%) 3(2,7)
Jeniskelamin,n(%) Laki-laki 91(82,0)Perempuan 20(18,0)
Klinis DurasiHIV(bulan),median(min-maks) 131,00(20,00-240,00)
0–60,n(%) 12(10,8)61–120,n(%) 36(32,4)121–180,n(%) 63(56,8)
DurasiPI(bulan),median(min-maks) 52,00(0,5–178,00)0–60,n(%) 65(58,6)61–120,n(%) 41(36,9)121–180,n(%) 5(4,5)
DurasiNRTI 121,00(19,00-238,00)0–60,n(%) 16(14,4)61–120,n(%) 38(34,2)121–180,n(%) 56(50,5)181–240,n(%) 1(0,9)
Riwayathepatitis,n(%) HepatitisB 4(3,6)HepatitisC 51(45,9)HepatitisBdanC 4(3,6)TidakHepatitisBdanC 52(46,8)
PemeriksaanFisik IMT(kg/m2),mean(SD) 22,91(3,90)
Beratbadankurang,n(%) 15(13,5)Normal,n(%) 42(37,8)Pre-obesitas,n(%)Obesitas1,n(%)Obesitas2,n(%)
20(18,0)30(27,0)4(3,6)
Lipodistrofi,n(%) Ya 9(8,1)
Lingkarperut(cm),mean(SD)Obesitassentral,n(%)
Ya
82,88(SD10,25)
33(29,7)Tidak
Tekanandarahsistolik(mmHg),median(min-maks)Tekanandarahdiastolik(mmHg),median(min-maks)Hipertensi,n(%)YaTidak
78(70,3)117,00(77,00-180)75,00(53-110)
26(23,4)85(76,6)
PemeriksaanLaboratorium
Guladarahpuasa(mg/dL),median(min-maks) 85,00(66,00-192,00)Insulinpuasa(mIU/L),median(min-maks) 13,60(1,92–112,43)KadarFFA(nmol/uL),median(min-maks)Kadartrigliserida(mg/dL),median(min-maks)KadarHDL(mg/dL),median(min-maks)
2,34(0,28-40,38)179,00(55,00-600,00)36,00(10,00-62,00)
Dalam penelitian ini, hanya 9 subjek mengalami lipoatrofi dari anamnesa dan
pengamatanklinis.Dalampemeriksaanlipatankulitdenganalatkaliperdanhasilperhitungan
105
sesuai dengan rumus untuk menentukan lipohipertrofi, tidak ditemukan lipohipertrofi pada
semuasubjekpasienHIVdalamterapiARVlinikedua.Lipodistrofiadalahsuatukeadaanyang
ditandai dengan lipoatrofi dan/atau lipohipertrofi sehingga dalam penelitian ini didapat 9
subjekpenelitianyangmengalamilipodistrofi.
Setelahdilakukananalisischisquareantaravariabel lipodistrofidanresistansi insulin,
didapat nilai p=0,510, artinya secara statistis tidak ada perbedaan bermakna antara
lipodistrofidanresistansiinsulin.Selanjutnya,dilakukananalisisuntukhubunganantaradurasi
PI,durasiNRTI,sertakadarFFAdanresistansiinsulindenganmenggunakanujiMann-Whitney
Umengingatdistribusitidaknormal.(Tabel2)
Tabel2.HubungandurasiPI,durasiNRTI,kadarFFAsertalipodistrofidanresistansiinsulin
ResistansiInsulin Nilaip
Ya(n=61) Tidak(n=50)
DurasiPI(bulan)* 60,00(1,00-178,00) 38,00(0,50-125,00) 0,015
DurasiNRTI(bulan)* 129,00(19,00-238,00) 97,00(19,00-176,00) 0,027
KadarFFA(nmol/uL)* 2,34(0,28-25,40) 2,51(0,33-40,38) 0,707
Lipodistrofin(%)
Ya 6(66,7) 3(33,3) 0,510
Tidak 55(53,9) 47(46,1)
*median(min-maks)UjiMannWhitheyU
Padadata karakteristik subjek, terdapat beberapa variabel independen selain empat
variabel utama yangditeliti dalampenelitian ini. Berikut ini hasil analisis bivariat hubungan
variabelitu,yangtelahdikonversimenjadivariabelkategorik,denganresistansiinsulin.
Tabel3.Hubunganusia,jeniskelamin,IMT,durasiHIV,hepatitisCdankomponendiagnosis
sindrommetabolisdanresistansiinsulin
KarakteristikResistansiInsulin
NilaipYa,n(%) Tidak,n(%)
Usia(tahun) 15–24 0(0) 1(100) 0,16825–34 5(41,7) 7(58,3) 35–44 43(57,3) 32(42,7) 45–54 13(65,0) 7(35,0) 55–64 0(0) 3(100)
Jeniskelamin Lakilaki 52(57,1) 39(42,9) 0,323Perempuan 9(45,0) 11(55,0)
106
IMT Beratbadankurang 4(26,7) 11(73,3) 0,016Normal 20(47,6) 22(52,4) Pre-obesitas 11(55,0) 9(45,0) Obesitas 26(76,5) 8(23,5) DurasiHIV(bulan) 0-60 5(41,7) 7(58,3) 0,27661-120 18(50,0) 18(50,0) 121-180 25(40,3) 37(59,7) 181-240 1(100) 0(0) HepatitisC Ya 32(58,2) 23(41,8) 0,498Tidak 29(51,8) 27(48,2) Obesitassentral
Ya 25(75,8) 8(24,2) 0,004Tidak 36(46,2) 42(54,8) Guladarahpuasa Normal 9(50,0) 9(50,0) 0,644Tidaknormal 52(55,9) 41(44,1) HDL Normal 16(59,2) 11(40,1) 0,605Tidaknormal 45(53,6) 39(46.4) Trigliserida Normal 24(54,5) 20(45,5) 0,395Tidaknormal 37(55,2) 30(44,7)
Dari hasil analisis bivariat variabel independen dengan resistansi insulin dalam studi ini,
variabeldengannilaip<0,250dianalisislebihlanjutkemodelmultivariatregresilogistiksampai
diperolehp<0,05,denganhasilsebagaiberikut.
Tabel4.Hasilanalisismultivariatujiregresilogistik
Variabelp ORIK(95%)
ObesitasSentral 0,002 5,248(1,882-14,634)
DurasiPI 0,002 1,019(1,007-1,032)
DurasiNRTI 0,049 1,011(1,00-1,021)
Diskusi
KarakteristikSubjekPenelitian
Terdapatpersamaankarakteristiksubjekpenelitianpadasubjekinidenganpenelitian
terdahulu,antaralainpadakarakteristikdistribusiusia(nilaimedian39tahun,67,6%
107
subjekrentang35–44tahun)2,3,18-20,jeniskelamin(67,1%laki-laki)2,18,lingkarperut,
danIMT(rerataIMT22,91kg/m2)dengan37,8%memilikiIMTnormal2,3,18.Hampir
separuhdarisubjekpenelitianmemilikikomorbidhepatitisC(45,9%)
HubunganTerapiARVdenganResistansiInsulin
Dalam penelitian ini, secara statistis ditemukan hubungan yang bermakna
antaradurasiterapiARVlinikeduadanresistansiinsulin,baikdurasiNRTI(p=0,027)
maupun durasi PI (p = 0,015). Studi Guilen dkk.9 menyatakan tidak ada perbedaan
yangsignifikansecarastatistisantaradurasiterapiHAART/ARVantarasubjekdengan
dan tanpa resistansi insulin. Tidak ditemukan pula perbedaan prevalensi resistansi
insulinyangsignifikanantaradurasiterapikurangdanlebihdari1tahun.9Meskipun
demikian, studi Guilen dkk.9 menyatakan bahwa 81% dari subjek dengan resistansi
insulin telah menjalani terapi selama lebih dari 1 tahun, dengan regimen ARV-nya
mayoritas golongan bukan PI, yaitu golongan NRTI. Terdapat kemiripan durasi PI
dalam studi ini dengan Lo dkk.21, tetapi dengan durasi NRTI yang lebih lama dalam
penelitian ini. Lo dkk. menemukan korelasi positif antara durasi NRTI dan indeks
HOMA-IR.21
HubunganLipodistrofidenganResistansiInsulin
Dalam studi ini, ditemukan 9 dari 111 subjek penelitianmengalami lipoatrofi
padabagianwajah.Lipoatrofiiniditemukandaripengamatanklinissehingga9subjek
penelitian itu dikategorikansebagai lipodistrofimeskipuntidakdidapat satusubjek
pun yang mengalami lipohipertrofi. Sebagian besar subjek penelitian ini berjenis
kelaminlaki-laki(82%).Dalampenelitianini,diperolehnilaimediandurasiNRTIyang
lebih lama, yaitu 121 bulan, tetapi tidak ditemukan subjek yang mengalami
lipodistrofi.Minimnyatemuanlipohipertrofidalamstudi inisesuaidenganpenelitian
Pujari, dkk.22 Sementara itu, dalam studiGrievsen, dkk.23 subjek penelitiannya lebih
banyak perempuan dan didapat lebih banyak yang mengalami lipoatrofi, artinya
perempuan lebih berisiko untukmengalami lipodistrofi dalam penggunaan ARV lini
pertama dibandingkan laki-laki.24,25 Namun, bila diperhatikan dalam penelitian ini,
pada9subjekyangmengalamilipodistrofi,didapatproporsikejadianresistansiinsulin
108
yanglebihbesar,yaitu66,7%.Dibandingkankelompoksubjekyangtidakmengalami
lipodistrofi,didapatproporsiresistansiinsulinsebesar53,9%.
Perbedaan temuan sebagai hasil penelitian ini dengan penelitian lain dapat
disebabkan oleh perbedaan cara dan alat ukur yang digunakan untuk menilai
lipodistrofi. Dalam studi ini, lipodistrofi ditentukan dari pengamatan klinis dan
parameter pemeriksaan fisik, sedangkan Carr dkk.26 dan Podzamczer dkk.27
menggunakan dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA ) scan untuk menilai lemak
subkutan ataupun viseral sehingga temuan kasus lipodistrofi dapat lebih bermakna.
Selain itu, perbedaan hasil penelitian ini dapat juga disebabkan oleh perbedaan
karakteristik subjekpenelitian.Dalampenelitian ini,mayoritas subjekpenelitian ini
adalah laki-laki, artinya berbeda dengan studi Abrahams dkk.10 yang semua subjek
penelitiannyaadalahperempuan.
HubunganKadarFFAdenganResistansiInsulin
Dalamstudiini,secarastatististidakdidapathubunganyangbermaknaantara
kadarFFAdanresistansiinsulin,denganp=0,707.HasilstudiMeiningerdkk.28,yang
menggunakan rentang normal FFA puasa 0.1 - 0.6 nmol/uL, menunjukkan
peningkatan kadar FFA puasa pada 71,9% subjek dengan HIV dan lipodistrofi, 50%
subjek HIV tanpa lipodistrofi, dan 40,6% pada subjek kontrol HIV negatif. Tidak
terdapat perbedaan bermakna antara subjek kontrol HIV negatif dan subjek HIV
positif tanpa lipodistrofi. Dalam beberapa studi, ditemukan bahwa pasien HIV yang
mengalami lipodistrofiakanmengalamipeningkatankadarFFAdankeduanyasaling
berkaitan dalam menyebabkan resistansi insulin.8,29 Kecilnya jumlah subjek yang
mengalamilipodistrofidalampenelitianinimenjadisalahsatufaktorsehinggasecara
statistis tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar FFA dan resistansi
insulin.
AnalisisMultivariatFaktoryangMemengaruhiResistansiInsulin
Setelah dilakukan analisis multivariat, terdapat tiga variabel yang berhubungan bermakna
denganresistansiinsulin,yaituobesitassentral(p=0,002),durasiPI(p=0,002),dandurasiNRTI
(0,049).Kekuatanhubunganantaravariabel itu jikadiurutkandari yangpalingbesarhingga
yang paling kecil, adalah obesitas sentral (OR = 5,248 (1,882-14,634)), durasi PI (OR = 1,019
109
(1,007-1,032)), diikuti durasi NRTI (OR = 1,011 (1,00-1,021)). Obesitas sentral merupakan
faktor yang paling memengaruhi resistansi insulin, artinya meningkatkan risiko terjadinya
resistansi insulin hingga enam kali lipat. Hasil ini secara tidak langsung sejalan dengan studi
Grunfeld dkk.30 dan studi Araujo dkk.31 yang mendapati hubungan bermakna antara lemak
viseral yang berada pada tertil atas dan resistansi insulin (p <0.001). Studi Noumegni dkk.18
juga menemukan bahwa obesitas sentral/abdominal adalah satu-satunya variabel yang
merupakan faktor risiko dari resistansi insulin. Lo dkk.21 memaparkan bahwa durasi NRTI
berhubungansignifikandenganresistansiinsulindarianalisismultivariatdengannilaip=0,047.
Namun,hasilanalisismultivariatstudiNoumegnidkk18tidakmenemukanhubunganbermakna
antaradurasiterapiPIsertaNRTIdanresistansiinsulin.
Kesimpulan
Proporsi resistensi insulin padapasienHIV yangmendapatkan terapiARV lini
keduaadalahsebesar55%.Padastudiini,ditemukanhubunganyangbermaknaantara
durasi terapiPIdanNRTIdenganresistensi insulin.Namun, tidak terdapathubungan
yangbermaknaantaralipodistrofidankadarFFAdenganresistensiinsulinpadapasien
HIVdalamterapiARVlinikedua.
Saran
Hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan skrining
resistensi insulin berupa pemeriksaan HOMA IR pada pasien HIV terutama dalam
terapi ARV lini kedua dan obesitas sentral, pada saat sebelum memulai terapi dan
dilanjutkan follow up selama pemakaian ARV tersebut. Sehingga, bila ditemukan
pasiendenganresistensiinsulindapatsegeradiedukasiuntukterapinonfarmakologis
berupaperubahandietdangayahidup,sertaterapifarmakologisbiladiperlukan.
110
DaftarReferensi
1. DitjenP2PdanPLKemenkesRI.LaporansituasiperkembanganHIV-AIDS&PIMS
diIndonesia.Jakarta:KemenkesRI;2016.
2. UNAIDS.World AIDS Day 2017 Fact Sheet: Global HIV statistics. South Africa:
UNAIDS;2017.
3. Lundgren JD, BattegayM, Behrens G, DeWit S, Guaraldi G, Katlama C, et al.
European AIDS Clinical Society (EACS) guidelines on the prevention and
managementofmetabolicdiseasesinHIV.HIVMed.2008;9:72–81.
4. DjoerbanZ,DjauziS.HIV-AIDSdiIndonesia.Dalam:SetiatiS,IdrusA,SudoyoA,
Setyohadi B, (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-VI. Jakarta:
InternaPublishing;2014.hal.887-97.
5. KementerianKesehatanRI.PedomannasionaltatalaksanaklinisinfeksiHIVdan
terapiantiretroviralpadaorangdewasa.Jakarta:KemenkesRI;2012.
6. LvZ,ChuY,WangY.HIVprotease inhibitors:a reviewofmolecular selectivity
andtoxicity.Dovepress.2015;7:95-104.
7. FeeneyER,MallonPWG. Insulin resistance in treatedHIV infection.BestPract
ResClinEndocrinolMetab.2011;25(3):443-58.
8. Bergersen BM, Schumacher A, Sandvik L, Bruun JN. Scandinavian journal of
infectious diseases important differences in components of the metabolic
syndrome between HIV-patients with and without highly active antiretroviral
therapyandhealthycontrols.ScandJInfectDis.2015;38(8):682-9.
9. GuillenMA,MejiaFA,VillenaJ,TurinCG,CarcamoCP,TicseR.insulinresistance
by homeostasis model assessment in HIV-infected patients on highly active
antiretroviral therapy: cross-sectional study. Diabetol Metab Syndr.
2015;7(1):49.
10. AbrahamsZ,DaveJA,MaartensG,LevittNS.Changesinbloodpressure,glucose
levels , insulin secretion and anthropometry after long term exposure to
antiretroviraltherapyinsouthafricanwomen.AIDSResTher.2015;12(24):1-6.
11. Mbunkah HA, Meriki HD, Kukwah AT, Nfor O, Nkuo-Akenji T. Prevalence of
metabolicsyndromeinhumanimmunodeficiencyvirus-infectedpatientsfrom
thesouth-westregionofcameroon,usingtheadulttreatmentpanelIIIcriteria.
111
DiabetolMetabSyndr.2014;6(92):1-7.
12. Dirajlal-Fargo S, Moser C, Brown TT, Kelesidis T, Dube MP, Stein JH, et al.
Changesininsulinresistanceafterinitiationofraltegravirorproteaseinhibitors
with tenofovir-emtricitabine: AIDS clinical trials group A5260s. IDSA OFID.
2016;10:1-7
13. Lee EC, Walmsley S, Fantus G. New-onset diabetes mellitus associated with
protease inhibitor therapy in an HIV-positve patient: case report and review.
CMAJ.1999;161:161-4.
14. Gomez-Vera J, Jime ME, Acosta D, Prados D, Viciana P. Hyperglycemia
associated with protease inhibitors in HIV-1-infected patients. Clin Microbiol
Infect.2000;6(7):6-9.
15. LeeG,SeneviratneT,Noor,M.EA.Themetaboliceffectsoflopinavir/ritonavir
inHIV-negativemen.Aids.2004;18(4):641–9.
16. NoorMA, Lo JC,Mulligan K, Schwarz J-M,Halvorsen RA.Metabolic EffectsOf
IndinavirInHealthyHIV-SeronegativeMen.AIDS.2001;15(7).
17. Abaid, Faten E Bashir. Cardio-metabolic effects of anti-retroviral treatment in
the cape winelands region of south africa. Stellenbosch University [Thesis].
2016;1-113.Availablefrom:https://scholar.sun.ac.za/handle/10019.1/98734
18. NoumegniSRN,NansseuJR,AmaVJM,BignaJJ,AssahFK,Guewo-FokengM,et
al.InsulinresistanceandassociatedfactorsamongHIV-infectedpatientsinsub-
saharan africa: a cross sectional study from cameroon. Lipids Health Dis.
2017;16(1):148.
19. Aboud M, Elgalib A, Kulasegaram R, Peters B. Insulin resistance and HIV
infection :areview.IntJClinPr.2007;61(3):463-72.
20. Walli R, Herfort O, Michl GM, Demant T. Treatment with pi associated with
peripheralinsulinresistanceandimpairedoralglucosetoleranceinHIVinfected
patients.LippincottWilliams&Wilkins.1998;12:167-73.
21. Lo JC, Kazemi MR, Hsue PY, Martin JN, Deeks SG, Schambelan M, et al. The
relationship between nucleoside analogue treatment duration, insulin
resistance, and fasting arterialized lactate level in patients with hiv infection.
ClinInfectDis.2005;41(9):1335-40.
22. Pujari SN, Naik E, Bhagat S, Tash K, Nadler JP, Sinnott JT. Lipodystrophy and
112
dyslipidemia among patients taking firstline, World Health Organization-
recommendedhighlyactiveantiretroviraltherapyregimens inWestern India. J
AcquirImmuneDeficSyndr.2005;39(2):199-202.
23. Griensven JV,Mushi T, Ubarijoro S, GashumbaD, Gazille C, Zachariah R. High
prevalence of lipoatrophy among patients on Stavudin-containing first-line
antiretroviral therapy regimens in Rwanda. Trans R Soc Trop Med Hyg.
2007;101(8):793-8.
24. Jan V, Cervera P, KimMJ, Vidal H, Bernard C. Altered fat differentiation and
adipocytokineexpressionareinter-relatedandlinkedtomorphologicalchanges
aalteredfatdifferentiationandadipocytokineexpressionareinter-relatedand
linked to morphological changes and insulin resistance. Int Med Case Rep J.
2004;9:555-64.
25. PetiA, JuhaszA,KenyeresP,VargaZ,Seres I,KovacsGL,etal.Relationshipof
adipokinesandnon-esterifiedfattyacidtotheinsulinresistanceinnon-diabetic
individuals.JEndocrinolInvest.2011;34(1):21-5.
26. CarrA,SamarasK,BurtonS,LawM,FreundJ,ChisholmDJ,etal.Asyndromeof
peripheral lipodystrophy, hyperlipidaemia and insulin resistance in patients
receivingHIVproteaseinhibitors.AIDS.1998;12:51-8.
27. Podzamczer D, Sanchez P, Gatell JM, CrespoM, Fisac C, LoncaM, et al. Less
LipoatrophyandBetterLipidProfilewithAbacavirasComparedtoStavudin,96-
Week Result of a Randomized Study. J Acquir Immune Defic Syndr.
2007;44(2):139-47.
28. MeiningerG,HadiganC, LaposataM,Brown J,Rabe J, Louca J, etal. Elevated
concentrationsoffreefattyacidsareassociatedwithincreasedinsulinresponse
to standard glucose challenge in human immunodeficiency virus-infected
subjectswithfatredistribution.Metabolism.2002;51(2):260-6.
29. Tang Q, Li X, Song P, Xu L.Optimal cut-off values for the homeostasismodel
assessment of insulin resistance (HOMA-IR) and pre-diabetes screening:
Developments in research and prospects for the future.Drug Discoveries &
Therapeutics.2015;9(6):380-5
30. Grunfeld, Carl. Insulin resistance in hiv infection: drugs, host responses, or
restorationtohealth?.TopHIVMed.2008;16(2):89-93