Top Banner
The JICA Study on Formulation of Spatial Planning for GERBANGKERTOSUSILA Zone Laporan Final (Ringkasan) 4-65 4.6 Telekomunikasi 4.6.1 Situasi saat ini Pembangunan telekomunikasi di Indonesia telah memasuki sebuah fase baru dengan cepat mengembangkan teknologi informasi. Cakupan pelayanan telepon mobil telah mencapai seluruh provinsi dan sebagian besar kabupaten / kota di Indonesia. Jasa telekomunikasi khususnya pelanggan telepon mobil semakin bertambah jumlahnya. Namun, tren fluktuatif dapat dilihat pada telepon kabel tetap dalam lima tahun terakhir sebagaimana telah mengalami peningkatan sedikit pada tahun 2006, kemudian menurun lagi sejak 2007, sedangkan telepon nirkabel tetap menunjukkan kecenderungan meningkat pesat. Jumlah pelanggan telepon tetap nirkabel pada tahun 2009 meningkat sekitar 5 kali lebih tinggi pada tahun 2004 dengan rata-rata peningkatan mencapai 97% per tahun. Peningkatan signifikan ini disebabkan oleh dua operator utama Telkom Flexi dan Bakrie Telecom dengan masing-masing kenaikan sebesar 87,1% dan 160,5% per tahun dalam lima tahun terakhir. Kenaikan pesat dalam jumlah pelanggan telepon tetap nirkabel tidak bisa juga dipisahkan dari persaingan yang ketat antara operator, dengan masing-masing berusaha untuk menarik pelanggan untuk memudahkan proses tersebut menjadi pelanggan dan mendapatkan perangkatnya. Di pasar telepon seluler, jumlah pelanggan telah meningkat sejak tahun 2005. Jumlah pelanggan telepon seluler mencapai lebih dari 140 juta pada bulan Maret 2009, dan terjadi peningkatan jumlah operator dari hanya 4 operator pada tahun 2004 menjadi 8 operator di tahun 2009 Sebagian besar pelanggan telepon seluler pengguna tipe prabayar, memberikan kontribusi sebesar 97,5% dari total pelanggan telepon seluler. Pertumbuhan pelanggan telepon seluler antara tahun 2005-2009 adalah 204,4% dengan rata-rata pertumbuhan 33,6% per tahun. Baru-baru ini, tampaknya tren peningkatan menjadi jenuh di pasar akibat kompetisi yang ketat antar operator dan sebagai akhir dari gelombang pertama dari proses pemasyarakatan. Meskipun pelayanan telepon yang terjadi di daerah perkotaan sangat cepat, beberapa wilayah desa belum dapat menikmati layanan telekomunikasi. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat di desa-desa, Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan program perbaikan untuk keterjangkauan layanan telekomunikasi bagi masyarakat perdesaan. Program ini merupakan implementasi dari kebijakan Telekomunikasi Pelayanan Universal (Universal Service Obligation / USO) sebagai perwujudan di Indonesia dalam melaksanakan Deklarasi Masyarakat Informasi ITU. Program ini dilaksanakan di desa dengan mengalokasikan wilayah pelayanan universal telekomunikasi (WPUT). Provinsi Jawa Timur memiliki WPUT XI dan 2.303 desa atau 28,7% dari jumlah desa di Jawa Timur yang ditunjuk sebagai daerah sasaran dalam WPUT XI. 4.6.2 Strategi Pembangunan Jasa telekomunikasi di Indonesia sudah diprivatisasi. Setiap operator menjajaki pasar dengan maksud untuk meningkatkan jumlah pelanggan dan memperluas cakupan layanan, dengan memperhatikan perkembangan kota dan rencana regional yang ada. Sektor telekomunikasi di Indonesia sudah sangat kompetitif dan masing-masing operator tidak mengungkapkan visi dan strategi pasar, dan menjaga hal-hal yang sangat rahasia. Kewenangan Pemerintah harus tetap hati-hati mengawasi pasar dari sudut pandang persaingan yang adil, dan memberikan beberapa intervensi jika diperlukan.
21

06_Ringkasan FR GKS-ISP_Chapter 4.6, 5.1, 5.2

Nov 07, 2015

Download

Documents

GKS Exum6
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • The JICA Study on Formulation of Spatial Planning for GERBANGKERTOSUSILA Zone Laporan Final (Ringkasan)

    4-65

    4.6 Telekomunikasi 4.6.1 Situasi saat ini Pembangunan telekomunikasi di Indonesia telah memasuki sebuah fase baru dengan cepat mengembangkan teknologi informasi. Cakupan pelayanan telepon mobil telah mencapai seluruh provinsi dan sebagian besar kabupaten / kota di Indonesia. Jasa telekomunikasi khususnya pelanggan telepon mobil semakin bertambah jumlahnya. Namun, tren fluktuatif dapat dilihat pada telepon kabel tetap dalam lima tahun terakhir sebagaimana telah mengalami peningkatan sedikit pada tahun 2006, kemudian menurun lagi sejak 2007, sedangkan telepon nirkabel tetap menunjukkan kecenderungan meningkat pesat. Jumlah pelanggan telepon tetap nirkabel pada tahun 2009 meningkat sekitar 5 kali lebih tinggi pada tahun 2004 dengan rata-rata peningkatan mencapai 97% per tahun.

    Peningkatan signifikan ini disebabkan oleh dua operator utama Telkom Flexi dan Bakrie Telecom dengan masing-masing kenaikan sebesar 87,1% dan 160,5% per tahun dalam lima tahun terakhir. Kenaikan pesat dalam jumlah pelanggan telepon tetap nirkabel tidak bisa juga dipisahkan dari persaingan yang ketat antara operator, dengan masing-masing berusaha untuk menarik pelanggan untuk memudahkan proses tersebut menjadi pelanggan dan mendapatkan perangkatnya.

    Di pasar telepon seluler, jumlah pelanggan telah meningkat sejak tahun 2005. Jumlah pelanggan telepon seluler mencapai lebih dari 140 juta pada bulan Maret 2009, dan terjadi peningkatan jumlah operator dari hanya 4 operator pada tahun 2004 menjadi 8 operator di tahun 2009 Sebagian besar pelanggan telepon seluler pengguna tipe prabayar, memberikan kontribusi sebesar 97,5% dari total pelanggan telepon seluler.

    Pertumbuhan pelanggan telepon seluler antara tahun 2005-2009 adalah 204,4% dengan rata-rata pertumbuhan 33,6% per tahun. Baru-baru ini, tampaknya tren peningkatan menjadi jenuh di pasar akibat kompetisi yang ketat antar operator dan sebagai akhir dari gelombang pertama dari proses pemasyarakatan.

    Meskipun pelayanan telepon yang terjadi di daerah perkotaan sangat cepat, beberapa wilayah desa belum dapat menikmati layanan telekomunikasi. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat di desa-desa, Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan program perbaikan untuk keterjangkauan layanan telekomunikasi bagi masyarakat perdesaan. Program ini merupakan implementasi dari kebijakan Telekomunikasi Pelayanan Universal (Universal Service Obligation / USO) sebagai perwujudan di Indonesia dalam melaksanakan Deklarasi Masyarakat Informasi ITU. Program ini dilaksanakan di desa dengan mengalokasikan wilayah pelayanan universal telekomunikasi (WPUT). Provinsi Jawa Timur memiliki WPUT XI dan 2.303 desa atau 28,7% dari jumlah desa di Jawa Timur yang ditunjuk sebagai daerah sasaran dalam WPUT XI.

    4.6.2 Strategi Pembangunan Jasa telekomunikasi di Indonesia sudah diprivatisasi. Setiap operator menjajaki pasar dengan maksud untuk meningkatkan jumlah pelanggan dan memperluas cakupan layanan, dengan memperhatikan perkembangan kota dan rencana regional yang ada. Sektor telekomunikasi di Indonesia sudah sangat kompetitif dan masing-masing operator tidak mengungkapkan visi dan strategi pasar, dan menjaga hal-hal yang sangat rahasia. Kewenangan Pemerintah harus tetap hati-hati mengawasi pasar dari sudut pandang persaingan yang adil, dan memberikan beberapa intervensi jika diperlukan.

  • The JICA Study on Formulation of Spatial Planning for GERBANGKERTOSUSILA Zone Bab 4

    4-66

    Gambar. 4.6.1 Jumlah Pelanggan Jasa Telepon

    020,000,00040,000,00060,000,00080,000,000

    100,000,000120,000,000140,000,000160,000,000

    2005 2006 2007 2008 2009*

    Fixed Wired Telephone Fixed Wireless Telephone Mobile Telephone

  • The JICA Study on Formulation of Spatial Planning for GERBANGKERTOSUSILA Zone Laporan Final (Ringkasan)

    4-67

    4.7 Manajemen Persampahan 4.7.1 Situasi Saat Ini (1) Timbulan dan Pengumpulan Sampah

    Dalam kawasan GKS, sampah yang dihasilkan pada tahun 2007 sekitar 3,5 juta ton, dimana 63% dari angka tersebut dihasilkan di daerah perkotaan dan sisanya di daerah pedesaan. Pelayanan persampahan di GKS terjadi hanya di daerah perkotaan pada tingkat pelayanan rata-rata 52,7% pada tahun 2008, bervariasi antara Kabupaten-kabupaten yang ada dengan pelayanan terendah sebesar 13,4% yang ada di Sidoarjo dan tertinggi sebesar 83,4% di Surabaya, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.7.1.

    (2) Pelatanan Persampahan pada TPA dan Pengomposan

    Persampahan yang dilayani (dikumpulkan) di daerah perkotaan dibuang di lokasi TPA atau dikomposkan. Pada tahun 2007, hampir semua sampah yang terkumpul, 99% diangkut ke TPA.

    (3) Kapasitas Eksisting TPA

    TPA terbatas dalam kapasitas, dan pemerintah daerah mengelola untuk mengembangkan TPA baru yang harus dijamin pengoperasiannya secara aman. TPA yang ada dan / atau sedang direncanakan disediakan di setiap kabupaten di kawasan GKS ditunjukkan pada Tabel 4.7.2. Instalasi TPA ini memenuhi permintaan untuk pembuangan sampah saat ini tetapi bukan untuk penanggulangan masa depan. Sebuah metode berkelanjutan untuk Pengelolaan Persampahan sangat akan dibutuhkan untuk masing-masing kota.1

    (4) Pengkomposan dan Pendaur Ulangan

    Sampah di GKS terdiri atas volume organik yang tinggi. Hal ini mengakibatkan sampah tersebut sangat cocok untuk di komposkan. Kota Surabaya telah menyediakan 10 tempat pendaur ulangan di 10 daerah. Aktivitas ini memberikan kontribusi kepada pengurangan sampah sampai ke TPA hingga 20%. Volume produksi kompos ditunjukkan pada Tabel 4.7.3.

    Tabel 4.7.1 Timbulan Sampah Saat Ini di GKS Pelayanan Perkotaan (ton)

    Kabupaten/Kota Jumlah (ton) Perkotaan

    Jumlah (ton)

    Perkotaan Tidak

    Terangkut Total TPA Pengomposan

    Rasio Pengumpulan (%)

    Perdesaan (ton)

    Kab Sidoarjo 695,959 590,173 511,090 79,083 79,083 0 13.4 105,786

    Kab Mojokerto 397,190 150,138 119,810 30,328 30,328 0 20.2 247,052

    Kab Lamongan 483,032 66,175 57,109 9,066 8,669 397 16.8 416,857

    Kab Gresik 432,257 199,703 119,822 79,881 77,027 2,854 40.0 232,554

    Kab Bangkalan 366,027 56,734 43,799 12,935 12,314 621 22.8 309,293

    Kota Mojokerto 45,548 45,548 7,607 37,941 37,320 621 83.3 0

    Kota Surabaya 1,093,076 1,093,076 181,451 911,625 902,876 8,749 83.4 0

    GKS 3,513,089 2,201,547 1,040,688 1,160,859 1,147,617 13,242 52.7 1,311,542 Sumber: Hasil Analisa Tim Study JICA berdasar data Prov Jatim dan Province Action Pan, Dinas PUCKTR, 2008

    1 Pemerintah daerah di kawasan GKS membutuhkan banyak TPA, namun mereka mencoba untuk mendapatkan lokasi penimbunan sampah yang diperlukan dalam 5 tahun kedepan rencana pengembangannya.

  • The JICA Study on Formulation of Spatial Planning for GERBANGKERTOSUSILA Zone Bab 4

    4-68

    Tabel 4.7.2 Kapasitas Eksisting TPA dan Rencana untuk Pengembangan yad.

    Kab / Kota Eksisting Rencana Jangka Menengah Rencana Jangka Panjang

    Kab Sidoarjo 7.66 ha (salah satu sdh ditutup; yg lain akan tutup th 2009) Perluasan 10 ha Penyediaan Fasilitas Komposting (100 unit)

    Kab Mojokerto 10.5ha (Tidak ada data berapa banyak tersedia) Manajemen TPA, tinggi 0.5~1.0 m

    Kab Lamongan 6.68ha (Tidak ada data berapa banyak tersedia) Perluasan 1.0 ha & Fasilitas Komposting Konstruksi Prasarana TPA

    Kab Gresik 6 ha Pengamanan lahan TPA 15 ha

    Kab Bangkalan 2.25 ha Pindah ke TPA baru Perbaikan prasarana

    Kota Mojokerto 3.5 ha (akan tutup tahun 2011) 2.8 ha (TPA baru dibuka tahun 2012) Perbaikan pengelolaan TPA

    Kota Surabaya 37.4 ha (penuh pd tahun 2012)

    Perluasan 15 ha (beroperasi sejak th 2012); Rencana baru utk TPA wilayah timur

    Tabel 4.7.3 Produksi Kompos

    Kota/Kab. Kapasitas Komposting (m3/hari) Produksi Kompos

    (m3/hari) Jumlah Lokasi Komposting

    Kab. Sidoarjo 28.0 14.0 3 Kab. Mojokerto 15.0 5.0 1 Kab. Lamongan 36.2 18.1 5 Kab. Gresik 59.0 25.1 3 Kab. Bangkalan 6.5 3.3 4 Kota. Mojokerto 5.0 2.5 2 Kota Surabaya 87.5 44.6 13

    Sumber: Interview oleh JICA Team dengan DKP 4.7.2 Rencana Kebutuhan Lahan TPA (1) Perkiraan Rencana Timbulan Sampah

    Diperkirakan bahwa sampah akan dihasilkan sebesar 5,35 juta ton pada tahun 2030, dibandingkan dengan 3,51 juta ton pada tahun 2007, seperti ditunjukkan pada Tabel 4.7.4, dan Gambar 4.7.1.

    Tabel 4.7.4 Perkiraan Masa Depan Timbulan Sampah di Kawasan GKS

    Kabupaten/Kota 2007 2010 2020 2030 Kab. Sidoarjo 695,959 758,487 994,860 1,212,730 Kab. Mojokerto 397,190 424,534 530,304 615,440 Kab. Lamongan 483,032 496,313 605,025 668,316 Kab. Gresik 432,257 455,881 583,580 711,316 Kab. Bangkalan 366,027 387,862 484,511 590,654 Kota. Mojokerto 45,548 47,878 58,377 71,147 Kota. Surabaya 1,093,076 1,119,799 1,299,575 1,478,756

    Total GKS 3,513,088 3,690,754 4,556,232 5,348,367

  • The JICA Study on Formulation of Spatial Planning for GERBANGKERTOSUSILA Zone Laporan Final (Ringkasan)

    4-69

    0

    1,000,000

    2,000,000

    3,000,000

    4,000,000

    5,000,000

    6,000,000

    2007 2010 2020 2030

    ton/y

    Surabaya

    Kota Mojokerto

    Bangkalan

    Gresik

    Lamongan

    Kab Mojokerto

    Sidoarjo

    Gambar. 4.7.1 Perkiraan Masa Depan Timbulan Sampah di Kawasan GKS

    (2) Pengurangan Sampah setelah melalui Pergerakan 3R

    Pengurangan jumlah timbulan sampah sangat penting dan sangat diperlukan bagi masyarakat di masa mendatang. Jadi proses 3R (Reuse Reduce Recycle Memakai Kembali, Mengurangi dan Daur Ulang) langkah-langkahnya harus difasilitasi dengan memobilisasi masyarakat.

    Melalui langkah-langkah 3R, jumlah sampah padat yang akan dilayani untuk TPA akan berkurang drastis dari 35,8 juta ton / tahun menjadi 1,63 juta ton / tahun pada tahun 2030, atau mengurangi separuh lahan TPA yang diperlukan.

    Tabel 4.7.5 Target dengan Penerapan 3R di GKS Tingkat Timbulan Sampah (Kg/Kapita/Hari) Kabupaten/

    Kota Rasio

    Komposting (%)

    Ratio Kemungkinan 3R (%) 2010 2020 2030

    Kab Sidoarjo 60 7 1.0 0.9 0.8

    Kab Gresik 50 30 1.0 0.9 0.8

    Kab Lamongan 70 13 1.0 0.9 0.8

    Kota Mojokerto 75 10 1.0 0.9 0.8

    Kota Surabaya 50 30 1.1 1.0 0.9 Sumber: Tim Study JICA

    (3) Lahan TPA yang Diperlukan dalam Pergerakan 3R

    Seperti terlihat pada Tabel 4.7.6, sebuah luasan lahan TPA yang besar akan dibutuhkan pada tahun 2030 di GKS, khususnya di Surabaya, Gresik dan Sidoarjo. Kabupaten berusaha untuk mengamankan daerah rencana TPA dalam rencana pembangunan jangka menengah. Namun, perhitungan kebutuhan jangka panjang tidak dipertimbangkan. Rencana tersebut harus mencakup sasaran jangka panjang untuk kebutuhan TPA.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan 3R (pengurangan, daur ulang, dan menggunakan kembali/pengomposan), harus didorong dengan upaya maksimal, jika tidak, wilayah yang luas, atau sekitar 1.200 ha, harus disiapkan untuk lokasi penimbunan sampah saniter (sanitary landfill) di kawasan GKS. Bahkan dengan langkah-langkah 3R yang kuat, 970 hektar lahan akan

  • The JICA Study on Formulation of Spatial Planning for GERBANGKERTOSUSILA Zone Bab 4

    4-70

    dibutuhkan di GKS, dari yang 645 ha untuk Surabaya saja diperlukan untuk menampung sampah yang semakin meningkat. TPA baru harus ditetapkan antara opsi-opsi berikut, dengan studi lingkungan yang cermat dan melalui kesepakatan stakeholder.

    Tabel 4.7.6 Kebutuhan TPA dengan Langkah Perhitungan Intensif 3R Sampah yang Terkumpul Th.

    2010 - 2030 (000 ton)

    Reduksi dg Penerapan 3R

    2010 - 2030 (000 ton)

    Jumlah Sampah setelah Penerapan

    3R 2010 - 2030 (000 ton)

    Kebutuhan Lahan TPA

    (ha)

    Tambahan Kapasitas (ha)

    Jangka Menengah

    Faktor Kebutuhan Kabupaten/

    Kota

    (A) (B) (A)-(B) (C) (D) (C)/(D)

    Kab Sidoarjo 3,505 670 2,835 95 10 9.5 Kab Mojkerto 1,374 166 1,208 40 5 8.0 Kab Lamongan 601 79 522 17 1 17.0 Kab Gresik 4,108 1,010 3,098 103 15 6.9 Kab Bangkalan 1,456 289 1,167 39 - - Kota Mojokerto 1,136 211 925 31 2.8 11.1 Kota Surabaya 23,611 4,267 19,344 645 15 43.0

    GKS 35,792 6,692 29,100 970 49 19.9 Sumber: Tim Study JICA

    1) Metode TPA baru di daerah rawa: Rawa akan baik digunakan untuk TPA. Daerah rawa di Kota Surabaya timur akan menjadi kandidat untuk tujuan tersebut. Setelah Keputih ditutup di wilayah timur Surabaya, TPA Benowo di sisi barat telah melayani untuk semua sampah di Kota Surabaya. Dalam rangka efisiensi pengumpulan dan pengangkutan sampah, TPA di wilayah timur Surabaya akan dibutuhkan.

    2) Reklamasi / Penggalian TPA: sampah di Kota Mojokerto, yang sudah dibuang direncanakan akan digali lagi bertujuan mengamankan TPA. Hal ini bisa direkomendasikan untuk kabupaten lainnya. Masalah yang timbul adalah berapa jumlah banyak yang bisa digunakan pabrik untuk pupuk dan kontribusi terhadap pengurangan limbah.

    (4) Adopsi Sistem Pembuangan Lintas-Regional

    Pengelolaan Persampahan pada prinsipnya menempatkan tanggung jawab pelaksanaan pada pemerintah daerah. Mengingat kompleksitas pengelolaan sampah di GKS sepertitimbulan sampah dan mengamankan lahan, untuk mengolah limbah bekerjasama dengan kabupaten tetangga lainnya adalah cara yang efisien. Metode ini diperkenalkan dalam banyak kasus di Jepang, dan juga membawa keuntungan dari operasional fasilitas yang konsisten dan berbagi anggaran.

    Di kawasan GKS, sebuah proyek akan mengadopsi sistem ini yaitu "Environmental Recycling Park" (ERP) yang sedang direncanakan, tetapi sedikit terhambat karena kesulitan dalam pembebasan tanah. Pembebasan tanah merupakan prioritas tertinggi untuk pembangunan baru fasilitas Pengelolaan Sampah Akhir. Proyek ini, yang diprakarsai oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, diharapkan dapat secara kolektif didukung oleh semua kabupaten di GKS, tidak hanya Kabupaten Gresik sebagai prototipe dari sistem pembuangan lintas daerah.

    (5) Skenario Privatisasi untuk Operasional Pengelolaan Sampah

    Ketika lahan pembuangan dapat diperoleh dengan biaya tertentu, dapat diusulkan skenario kemungkinan manajemen proyek oleh perusahaan swasta. Isu penting yang mendasari skenario ini adalah untuk mengatur pengaturan harga yang tepat untuk pelayanan ini, dengan

  • The JICA Study on Formulation of Spatial Planning for GERBANGKERTOSUSILA Zone Laporan Final (Ringkasan)

    4-71

    memperhitungkan biaya rekening tanah, biaya penjualan, biaya manajemen dan bunga pinjaman, dll. Misalnya, dihitung bahwa biaya pembuangan berkisar antara US $ 20/ton ~ US $ 38/ton akan sangat mungkin pengembangan TPA dan pengelolaan yang layak dilakukan oleh sektor swasta.

    KAB. LAMONGAN

    KAB.GRESIK

    KAB. BABGKALAN

    KAB. MOJOKERTO

    KAB. SIDOARJO

    KOTA SURABAYA

    TPA JABON

    TPA BENOWO

    TPA NGIPIK

    PROPOSED MSW TREATMENT PLANT, KEDAMEAN

    Existing TPA

    ISLF @GRESIK

    Waste flow to ISLF

    Initial Service Coverage Area

    Sumber: Dinas PUCKTR, Provinsi Jawa Timur

    Gambar. 4.7.2 Lokasi Rencana Lahan TPA 4.7.3 Strategi dan Prioritas Implementasi Pengelolaan Persampahan Berdasarkan temuan di atas, berikut strategi yang relevan dan harus dilakukan:

    1) Paradigma pergeseran dari metode pendekatan end-of-pipe ke motode 3R. - Memobilisasi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan kerjasama

    untuk Gerakan 3R 2) Peningkatan Kualitas dan Pelayanan Pengelolaan Persampahan.

    - Rehabilitasi infrastruktur, peningkatan regulasi dan kapasitas kelembagaan, dan manajemen kurikulum pendidikan

    3) Pengenalan Teknologi Tepat Guna bagi langkah-langkah 3R. - Daur ulang dan teknologi pengomposan pada khususnya

    4) Peningkatan Sistem Manajemen Data Pengelolaan Persampahan oleh pemerintah provinsi maupun masing-masing kabupaten.

    5) Peningkatan Kapasitas Kelembagaan - Memfasilitasi pengembangan kapasitas yang komprehensif, termasuk

    administrasi, pembiayaan, manajemen informasi dan pengembangan sumber daya manusia.

  • The JICA Study on Formulation of Spatial Planning for GERBANGKERTOSUSILA Zone Bab 4

    4-72

    - Mempromosikan pendekatan lintas-wilayah (antar-kabupaten) untuk solusi praktis untuk pembebasan lahan untuk sanitary landfill.

    - Mencarikan skema privatisasi yang tepat untuk pelayanan total Pengelolaan Persampahan.

    6) Pengenalan Teknologi Baru untuk pengurangan sampah, memperhitungkan TPA yang tersedia terbatas, termasuk teknologi insenerasi dalam jangka panjang Tabel 4.7.7 Implementasi Prioritas untuk Pengelolaan Sampah di GKS

    Prioritas Program Implementasi Instansi Pelaksana 1 Peningkatan Fasilitas

    dan Peralatan yang ada Melakukan survei dan perencanaan rehabilitasi

    fasilitas dan peralatan yang ada DKP

    2 Pengembangan Kapasitas Pembuangan

    Peningkatan Rencana 3R: Sistem pembuangan/pengumpulan; renovasi sistem pengolahan jangka menengah;

    Promosi Keperdulian Masyarakat: mobilisasi masyarakat untuk Gerakan 3R

    Rencana Teknologi Baru Pengurangan Sampah: pengenalan teknologi baru

    Rencana TPA Baru: Pengembangan metode pembuangan akhir

    BAPPEPROV BAPPEKO DKP Masyarakat

    3 Pengembangan Sistem Pembuangan lintas-daerah

    Memfasilitasi proyek yang sedang berlangsung dari "Environment Recycling Park (ERP)

    Mengatur sebuah komite kerjasama proyek untuk mencari pendekatan bersama untuk solusi Pengelolaan Persampahan

    BAPPEPROV BAPPEKO BAPPEDA

    4 Pengembangan Sistem Informasi Jaringan Pengelolaan Persampahan

    Membangun basis data Pengelolaan Persampahan di tingkat provinsi dengan upaya bersama kabupaten-kabupaten anggota GKS

    Memberikan dukungan teknis dan kerjasama hibah untuk Pemerintah Pusat

    BAPPEPRO PUCKTR DKP

    5 Pengembangan Kapasitas Kelembagaan

    Pengembangan kapasitas kelembagaan Program peningkatan kepedulian masyarakat

    BAPPEDA BAPPEKO

    Penyusunan Master Plan Pengelolaan Persampahan di GKS

    Meneliti solusi jangka panjang DKP BAPPEKO

  • Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan)

    5 - 1

    5.1 Evaluasi Penggunaan Lahan untuk Analisa Daya Dukung Tata Ruang

    5.1.1 Metodologi dan Tujuan dari Analisa

    Tujuan dari analisa evaluasi penggunaan lahan adalah untuk mengidentifikasi daya dukung tata ruang untuk memastikan keseimbangan dan kesesuaian pola penggunaan lahan di zone GKS sebagai satu kesatuan. Dalam analisa ini, wilayah dengan lingkungan yang sensitif diambil untuk konservasi dan/atau perlindungan sumber daya alam. Melalui analisa ini, keseimbangan penggunaan lahan antara pengembangan ekonomi dan perlindungan lingkungan secara teoritis dapat dikejar.

    5.1.2 Metodologi dari Analisa

    Analisa penggunaan lahan dilakukan, dengan menggunakan teknik GIS. Kriteria evaluasi digolongkan menjadi dua kelompok: satu adalah kelompok komponen lingkungan yang harus dilindungi, dilestarikan dan / atau disediakan terhadap kegiatan pembangunan perkotaan, dan yang lainnya adalah kelompok komponen pengembangan potensial yang mencakup aksesibilitas dan / atau ketersediaan dari layanan perkotaan seperti transportasi, pusat layanan dan infrastruktur. Kelompok yang pertama juga diakui sebagai faktor kendala terhadap pembangunan, sementara yang kedua, "potensi positif" untuk pengembangan.

    Kriteria dalam analisa tersebut di tunjukkan pada Tabel 5.1.1 untuk faktor-faktor kendala (atau komponen lingkungan) dan Tabel 5.1.2 untuk faktor-faktor potensi pembangunan. Tabel tersebut menunjukkan sejumlah peringkat skor untuk tiap kriteria yang tercermin dari tingkat kepentingannya.

    Secara teori, unit lahan (= suatu sel dengan luas 200m x 200m) memiliki dua macam nilai negatif dan positif, dan jumlah kedua adalah nilai asli yang diberikan kepada lahan. Jika lahan tersebut menghasilkan jumlah negative, itu berarti bahwa lahan tersebut harus dilindungi, meskipun lahan tersebut memiliki sejumlah tingkat tertentu dari potensi pengembangan dan demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, skor tiap sel dihitung dengan alogaritma berikut:

    Dimana,

    - LPi : Skor Total evaluasi penggunaan lahan dari i-cell: - PFi : Skor faktor potensial pengembangan dari i-cell - CFi : Skor faktor konservasi lingkungan dari i-cell - Dj : Bobot yang diberikan kepada faktor potensial pengembangan - Ek: Bobot yang diberikan kepada faktor konservasi lingkungan

    Gambar 5.1.1 menunjukkan metodologi penggunaan teknik GIS untuk evaluasi analisa penggunaan lahan seperti yang telah dibahas di atas. Seperti yang ditunjukkan pada gambar ini, pola faktor kendala saat ini (per 2009) adalah identik dengan yang berlaku di masa depan, 2030, hanya karena nilai-nilai lingkungan hidup tidak berkurang selama waktu tersebut . Di sisi lain, pola pembangunan yang potensial akan berubah secara drastis pada tahun 2030, dimana diberikan jaringan infrastruktur transportasi yang baru.

    5. POLA TATA RUANG DI KAWASAN GKS

  • Bab 5

    5 - 2

    Tabel 5.1.1 Faktor-Faktor Kendala untuk Evaluasi Lahan

    Kawasan Hutan Bakau Kawasan Hutan Bakau Eksisting + 1 km daerah jarak euclidean

    Kawasan Militer Kawasan Militer Eksisting + 1 km daerah jarak Euclidean

    Kawasan Banjir Lumpur Porong

    Kawasan Banjir Lumpur Porong +5 km daerah jarak euclidean

    Rawa-rawa/Kolam ikan Kawasan rawa-rawa/kolam ikan eksisting

    Pertanian Irigasi Kawasan irigasi pertanian eksisting

    Tempat Pembuangan Tempat pembuangan eksisting + 2 km daerah jarak Euclidean

    Hutan Kawasan hutan eksisting + 1 km daerah jarak euclidean

    Kawasan berpotensi banjir Daerah berpotensi banjir di Jatim

    Bandara Bandara + 5 km daerah jarak euclidean

    Hutan produksi Daerah hutan produksi di Jatim

    Hutan lindung Daerah hutan lindung di Jatim

    Kondisi tanah (erosi) Kondisi tanah di Jatim

    Stabilitas lahan Hasil analisa stabilitas lahan di GKS-ISP

    Tangkapan air Daerah tangkapan air di Jatim

    Kawasan konservasi Kawasan konservasi di Jatim Sumber: Tim Studi JICA

    Tabel 5.1.2 Faktor-faktor Potensi Pembangunan untuk Evaluasi Lahan Faktor-faktor analisa untuk tahun 2009 Faktor-faktor analisa untuk tahun 2030

    Jarak dari pusat kota Surabaya Jarak dari pusat daerah

    Jarak dari Gresik/ Sidoarjo Jarak dari pusat setingkat SMA

    Jarak dari Bangkalan/ Labang/ Menga/ Kerian Jarak dari pusat kabupaten GKS

    Aksesibilitas ke/dari Pusat Perkotaan

    Jarak dari Lamongan/ Mojokerto/ Gempol/ Babat

    Jarak dari sub-pusat GKS / sub-pusat SMA / sub-pusat kabupaten lainnya

    Jarak dari terminal bus (antar propinsi) Jarak dari terminal bus (antar propinsi)

    Jarak dari terminal bus (terminal bus tingkat 2)

    Jarak dari terminal bus (terminal bus tingkat 2)

    Jarak dari terminal bus (terminal bus tingkat 3)

    Jarak dari terminal bus (terminal bus tingkat 3)

    Jarak dari trayek bus Jarak dari trayek bus

    Aksesibilitas ke/dari Pelayanan Bus

    - Jarak dari sub-terminal bus Jarak dari Pelabuhan (Pelabuhan tingkat 1)

    Jarak dari Pelabuhan (Pelabuhan tingkat 1)

    Jarak dari Pelabuhan Jarak dari Pelabuhan (Pelabuhan tingkat 2)

    Jarak dari Pelabuhan (Pelabuhan tingkat 2)

    Aksesibilitas ke/dari Pelayanan KA Jarak dari Stasiun KA Jarak dari Stasiun KA

    Jarak ke/dari kawasan Jarak dari Kawasan Industri Jarak dari Kawasan Industri

  • Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan)

    5 - 3

    Faktor-faktor analisa untuk tahun 2009 Faktor-faktor analisa untuk tahun 2030 industri dan Terminal Kargo Jarak dari terminal angkutan barang Jarak dari terminal angkutan barang

    Jarak dari jalan arteri sekunder Jarak dari jalan arteri sekunder

    Jarak dari jalan tol Jarak dari jalan tol

    Jalan dari jalan kolektor Jalan dari jalan kolektor

    Jarak dari ramp Jarak dari ramp

    Jarak dari jalan lokal Jarak dari jalan lokal

    Aksesibilitas Jalan

    Jarak dari jalan arteri Jarak dari jalan arteri

    Jarak dari bandara Jarak dari bandara Jarak dari bandara

    Daerah waktu-jarak 60 menit Daerah waktu-jarak 60 menit Waktu-Jarak ke/dari Pusat Surabaya Daerah waktu-jarak 30 menit Daerah waktu-jarak 30 menit

    - Jarak dari proyek - Jarak dari koridor transit bus yang baru - Jarak dari stasiun transit bus yang baru

    Aksesibilitas ke/dari pelayanan lainnya

    - Jarak dari halte komuter Sumber: Tim Studi JICA

    Sumber: Tim Studi JICA

    Gambar 5.1.1 Teknik GIS untuk Keseluruhan Analisa Penggunaan Lahan

    5.1.3 Distribusi Lahan dengan Kendala (2009-2030)

    Teknik GIS mengungkapkan adanya pola distribusi lahan dengan kendala pembangunan yang tinggi, seperti digambarkan pada Gambar 5.1.2, yang menunjukkan gradasi yang mewakili adanya akumulasi nilai negatif. Lahan yang memiliki skor negatif yang lebih tinggi diwarnai dengan warna coklat yang lebih gelap, sedangkan lahan yang memiliki skor negatif yang lebih rendah diwarnai dengan warna hijau yang lebih gelap. Berdasarkan peta ini, daerah yang akan

  • Bab 5

    5 - 4

    diberikan perhatian secara lebih cermat terhadap masalah pembangunan perkotaan atau konversi lahan dapat dengan mudah diidentifikasikan di Kawasan GKS.

    5.1.4 Distribusi Lahan dengan Potensi Pengembangan Land (2009 dan 2030)

    Analisa GIS juga menggambarkan adanya pola distribusi potensi pembangunan pada tahun 2009 dan 2030, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1.3. daerah yang memiliki skor yang lebih tinggi diwarnai dengan warna coklat lebih gelap dalam skala gradasi yang menggambarkan akumulasi nilai positif. Sangat jelas bahwa potensi pengembangan lahan akan sangat berkembang bersama dengan jaringan angkutan di masa depan yang telah diusulkan. Perubahan yang dapat dicatat dalam hal perbandingan antara 2009 dan 2030 terjadi di daerah sub-urban barat Surabaya, daerah pantai utara sepanjang Gresik dan Lamongan, dan koridor Jembatan Suramadu di Bangkalan.

    5.1.5 Evaluasi Potensi Penggunaan Lahan Secara Keseluruhan

    Menggabungkan dua peta yang telah dikategorikan akan memberikan hasil evaluasi secara keseluruhan terhadap potensi pemanfaatan lahan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1.4, yang akan menjadi kondisi dasar yang harus dipertimbangkan untuk perencanaan tata guna lahan dan pembentukan kebijakan lingkungan.

    Pola distribusi wilayah lahan yang telah diberi skor ditabulasikan pada Tabel 5.1.3. Pada hasil analisa tersebut, dapat dinilai bahwa jika wilayah lahan dievaluasi pada skor negatif, maka wilayah tersebut harus dilestarikan atau dikonservasikan secara ketat, karena faktor negatif di daerah itu lebih kuat daripada faktor positif. Sedangkan jika diberikan nilai keseluruhan positif yang besar, maka wilayah tersebut dapat menerima sejumlah kegiatan pengembangan. Dalam pengertian ini, wilayah yang memiliki skor negative adalah sekitar 165.000 ha secara total, atau 26,0% dari seluruh Kawasan GKS pada tahun 2030. Di sisi lain, wilayah dengan skor positif adalah sekitar 470.000 ha, 74,0% dari seluruh Kawasan GKS pada tahun 2030. Perlu dicatat bahwa wilayah dengan skor positif adalah termasuk lahan pertanian.

    Tabel 5.1.3 Hasil Evaluasi Keseluruhan dari Potensi dan Kendala Penggunaan Lahan di Kawasan GKS

    less than -81 288 0.0% 520 0.1%-71 - -80 652 0.1% 424 0.1%-61 - -70 5,460 0.9% 8,424 1.3%-51 - -60 4,960 0.8% 4,272 0.7%-41 - -50 18,856 3.0% 23,880 3.8%-31 - -40 72,020 11.3% 71,448 11.3%-21 - -30 28,604 4.5% 21,068 3.3%-11 - -20 4,024 0.6% 5,952 0.9%-1 - -10 22,324 3.5% 28,904 4.6%

    0-10 Low Potential 50,028 7.9% 58,172 9.2%11-20 235,028 37.0% 197,956 31.2%21-30 111,012 17.5% 99,392 15.7%31-40 38,796 6.1% 46,148 7.3%41-50 18,820 3.0% 29,824 4.7%51-60 18,420 2.9% 24,252 3.8%

    more than 60 5,608 0.9% 14,264 2.2%634,900 100.0% 634,900 100.0% 634,900 100.0% 634,900 100.0%

    470,008

    26.0%

    74.0%

    Categorized Area Categorized Area

    HighPotential

    157,188

    477,712

    24.8%

    75.2%

    Y2009Attribute

    Area (ha) Area (ha)High

    Constained

    LowConstrained

    ScoreY2030

    164,892

    Sumber: Tim Studi JICA

  • Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan)

    5 - 5

    Gambar 5.1.2 Pola Distribusi Lahan dengan Kendala Pengembangan

  • Bab 5

    5 - 6

    Gambar 5.1.3 Pola Distribusi Lahan dengan Potensial Pengembangan (2009 dan 2030)

  • Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan)

    5 - 7

    Gambar 5.1.4 Evaluasi Keseluruhan dari Potensial Pengembangan Lahan (2009 dan 2030)

  • Bab 5

    5 - 8

    5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan

    5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

    Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan, dengan memperhatikan kesesuaian lahan, bencana alam dan kerentanan lingkungan dilihat dengan sudut pandang perlindungan lingkungan, konservasi dan rehabilitasi sesuai dengan undang-undang dan pedoman dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan lingkungan. Wilayah tersebut sangat penting untuk menjamin keamanan pangan, pengelolaan lingkungan sumber daya air dan pengelolaan bencana. Meskipun saat ini masyarakat membayar kesempatan tersebut, perlindungan dan konservasi tetap harus dilakukan, atau masyarakat harus membayar dampak sosial yang lebih besar oleh generasi berikutnya.

    Gambar 5.2.1 menunjukkan faktor evaluasi yang harus dilaksanakan terhadap pola tata ruang atau perencanaan penggunaan lahan. Selain itu, hasil analisa yang berasal dari bagian sebelumnya, 5.1 menyediakan dengan implikasi yang bermanfaat terhadap pembentukan kebijakan penggunaan lahan. Berikut ini adalah langkah-langkah pengendalian penggunaan lahan:

    (1) Wilayah Perlindungan Lingkungan

    Meskipun tidak ada kawasan perlindungan nasional di GKS, beberapa daerah perlindungan provinsi harus dibuat seperti taman alam yang bernama Taman Hutan Raya di daerah pegunungan Kabupaten Mojokerto.

    (2) Wilayah Perlindungan Hutan

    Beberapa jenis wilayah perlindungan hutan di GKS diantaranya adalah sebagai berikut:

    - Kawasan Hutan Lindung - Kawasan Hutan Produksi - Kawasan Hutan Konservasi

    Kawasan hutan lindung ini harus benar-benar dilestarikan untuk melindungi DAS, untuk mencegah erosi tanah dan untuk mencegah banjir. Hal ini diamanatkan oleh UU No 41 tahun 1999.

    Kawasan hutan lindung harus benar-benar dikelola sesuai dengan UU, sementara untuk kawasan hutan produksi dapat dimasukkan ke dalam kawasan konservasi di mana beberapa kegiatan sosial dan ekonomi diijinkan untuk dilaksanakan secara terkendali.

    (3) Peraturan Ruang Hijau dan Ruang Terbuka

    Menurut UU No 26 2007, pengelolaan tata ruang, setidaknya 30% daerah terbuka harus tersedia di DAS masing-masing. Daerah ini harus dilestarikan, dan pada saat yang sama, zona penyangga harus ditetapkan di daerah sekitarnya.

    (4) Perlindungan Sumber Mata Air dan Wilayah Tangkapan Air

    Hutan lindung sumber mata air dan daerah sumber daya air harus benar-benar dilindungi dengan penegakan hukum. Kebanyakan dari mereka adalah termasuk dalam "Kawasan Hutan Lindung" yang ditunjuk oleh UU No 41 tahun 1999. Namun, beberapa tetap tidak diatur oleh UU. Masyarakat harus dimobilisasi untuk menjaga daerah tersebut.

  • Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan)

    5 - 9

    (5) Lahan Pertanian Irigasi

    Departemen Pertanian Jawa Timur menyediakan kebijakan tentang lahan pertanian eksisting, dengan kebijakan bahwa lahan harus dipertahankan. Karena meningkatnya tekanan urbanisasi, lahan pertanian cenderung dikonversi menjadi perumahan dan / atau lahan industri. Namun, kecenderungan ini harus diminimalkan atau dikendalikan terutama di daerah lahan pertanian irigasi di mana investasi pertanian secara historis diakumulasikan untuk mengamankan produksi pangan, karena perubahan tersebut tidak dapat diubah selamanya. Kerugian ekonomi kadang-kadang lebih besar daripada manfaat ekonomi yang timbul dari konversi lahan.

    (6) Wilayah Pesisir Rawa dan Wilayah rawan banjir

    Daerah rawa yang luas tersebar di pesisir pantai timur dan utara. Daerah ini pada prinsipnya harus dilestarikan, karena keunikan ekologi dan pentingnya keanekaragaman hayati dan simbiosis dengan kegiatan perikanan.

    Wilayah yang rawan banjir besar di sepanjang Sungai Solo harus dilestarikan, sambil sekaligus mengontrol konversi penggunaan lahan untuk perumahan, industri dan tujuan komersial. Sebaliknya, penggunaan pertanian dapat dilakukan dengan tindakan rekayasa untuk drainase.

    (7) Wilayah Semburan Lumpur Lapindo

    Semburan lumpur Lapindo di Kab. Sidoarjo memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang cukup besar terhadap GKS, pemerintah Indonesia telah membentuk BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo). Badan ini memiliki misi: (a) upaya mitigasi terhadap semburan lumpur, (b) upaya penanganan genangan lumpur, (c) pengelolaan dampak sosial, dan (d) manajemen dampak terhadap infrastruktur.

    Wilayah lapindo harus dilestarikan untuk sementara waktu sampai dengan berhentinya fenomena tersebut dan terjaminnya stabilitas dilihat dari sudut pandang geologi. Di masa yang akan datang, daerah dapat dikembangkan untuk tujuan rekreasi dan pariwisata, apabila stabilitas geologis tanah sudah terjamin.

  • Bab 5

    5 - 10

    Gambar 5.2.1 Faktor Lingkungan yang harus Dipertimbangkan untuk Konservasi dan Preservasi

  • Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan)

    5 - 11

    5.2.2 Strategi-strategi Pengelolaan Lingkungan

    (1) Struktur Permasalahan Lingkungan di Kawasan GKS

    Struktur masalah lingkungan yang utama di Kawasan GKS ditunjukkan pada Gambar 5.2.2. Seperti yang diilustrasikan dalam gambar ini, masalah lingkungan di Kawasan GKS bergantung terutama pada kondisi topografi dan penggunaan lahan. Hal ini terutama ditandai oleh adanya masalah di daerah perbukitan, daerah pedesaan dan perkotaan. Di daerah perbukitan, misalnya, masalah yang terjadi berkaitan dengan konservasi hutan dan tanah, khususnya di Kab. Mojokerto. Di daerah perkotaan, masalah ini berkaitan dengan pertumbuhan penduduk, dan secara kolektif disebabkan oleh masalah industrialisasi, urbanisasi dan peningkatan populasi.

    Perlu dicatat bahwa sebagian besar tekanan pembangunan di Kawasan GKS telah datang dari hilir ke hulu. Manifestasi termasuk berkurangnya lahan pertanian yang diakibatkan oleh semakin banyaknya industri dan pemukiman dan perluasan perumahan. Wilayah tutupan hutan di daerah perbukitan, di sisi lain, diketahui menurun akibat konversi lahan ilegal di beberapa wilayah hutan untuk lahan pertanian. Dampak lingkungan ini berjalan berbeda dengan tekanan perkembangan dan pengaruh perkembangan yang terjadi dari hulu hingga hilir.

    Gambar 5.2.2 Struktur Permasalahan Lingkungan di Kawasan GKS

    (2) Kebutuhan terhadap Strategi Fungsional Pengelolaan Lingkungan

    Seperti yang terlihat di atas, perekonomian GKS telah berkembang pesat dalam dekade terakhir ini. Saat ini, pertumbuhan ekonomi tersebut telah menimbulkan masalah lingkungan akibat adanya industrialisasi dan urbanisasi. Di masa yang akan datang, ada kemungkinan bahwa kondisi lingkungan akan memburuk secara lebih serius jika tindakan yang diperlukan tidak diambil.

    Skenario di atas mungkin merupakan situasi umum yang terjadi di Indonesia, sehingga GKS harus menjadi model keberlanjutan pengembangan wilayah untuk Indonesia. Dalam rangka

  • Bab 5

    5 - 12

    mempertahankan dan memelihara posisi tertentu di Indonesia, Kawasan GKS harus mempromosikan pengembangan berkelanjutan wilayah yang memiliki unsur-unsur penting untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Isu-isu kebijakan lingkungan tersebut adalah:

    x Simbiosis dengan lingkungan untuk kemakmuran yang berkelanjutan x Menjamin lingkungan hidup dan memperbaiki kerusakan lingkungan x Memberikan kontribusi dalam isu-isu lingkungan global terutama perubahan iklim

    5.2.3 Pengelolaan Wilayah Lingkungan Sensitif

    (1) Identifikasi terhadap Wilayah Lingkungan Sensitif di Zona

    Pengenalan wilayah Lingkungan Sensitif / Environmentally Sensitive Area (ESA) merupakan pendekatan strategis untuk pengembangan wilayah yang berkelanjutan, dengan mempertimbangkan lanskap bernilai dan / atau rentan dan ekosistem dilihat dari sudut pandang lingkungan.

    Peta ESA, yang menunjukkan lokasi wilayah lingkungan yang sensitif, akan digambarkan sebagai salah satu peta zoning umum. Dari peta ESA, seseorang dapat mengidentifikasikan lokasi daerah mana harus dipelihara, dilestarikan dan dikembalikan dari sudut pandang lingkungan alam dan konservasi ekosistem seperti:

    - Untuk menjaga wilayah yang penting dan kritis, serta fitur-fitur uniknya; - Untuk melindungi habitat yang kritis, ekosistem dan proses ekologi; - Untuk memisahkan konflik kegiatan manusia; dan - Untuk meminimalisir dampak dari kegiatan manusia di wilayah daratan dan perairan pantai.

    (2) Implikasi Perencanaan Peta ESA

    Hal ini penting untuk memastikan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan, situasi sosial-ekonomi dan pelestarian lingkungan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebuah Peta ESA menunjukkan arah daerah yang harus dijaga, dilestarikan dan dipulihkan dari sudut pandang pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, peta ESA digunakan sebagai dasar untuk perencanaan tata guna lahan dan pembangunan infrastruktur dalam rangka mencapai pembangunan daerah yang berkelanjutan. Hal ini dapat digunakan dalam menetapkan pedoman bagi perencanaan

    tata ruang, pembangunan infrastruktur, dan studi penilaian dampak lingkungan.

    Secara khusus, tiga (3) ekosistem lingkungan yang harus dipertimbangkan dalam peta ESA adalah:

    x Stabilitas Lahan untuk perlindungan terhadap bencana seperti tanah longsor dan banjir

    x Ekosistem Hutan untuk melindungi habitat kritis dan proses ekologi x Ekosistem Hutan Bakau untuk melindungi sumber daya pantai

    Gambar 5.2.3 Peta ESA yang diusulkan berdasarkan pertimbangan diatas.

    Land Stability

    Forest Ecosystem

    Mangrove Ecosystem

    Environmental Policies for: Preservation Conservation Restoration

  • Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan)

    5 - 13

    Gambar 5.2.3 Peta Wilayah Lingkungan Sensitif di Kawasan GKS

    4. STRUKTUR RUANG KAWASAN GKS4.6 Telekomunikasi4.6.1 Situasi saat ini4.6.2 Strategi Pembangunan

    4.7 Manajemen Persampahan4.7.1 Situasi Saat Ini4.7.2 Rencana Kebutuhan Lahan TPA4.7.3 Strategi dan Prioritas Implementasi Pengelolaan Persampahan

    5. POLA TATA RUANG DI KAWASAN GKS5.1 Evaluasi Penggunaan Lahan untuk Analisa Daya Dukung Tata Ruang5.1.1 Metodologi dan Tujuan dari Analisa5.1.2 Metodologi dari Analisa5.1.3 Distribusi Lahan dengan Kendala (2009-2030)5.1.4 Distribusi Lahan dengan Potensi Pengembangan Land (2009 dan 2030)5.1.5 Evaluasi Potensi Penggunaan Lahan Secara Keseluruhan

    5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan5.2.2 Strategi-strategi Pengelolaan Lingkungan5.2.3 Pengelolaan Wilayah Lingkungan Sensitif