-
SENAPAN KOROKU
BEBERAPA mil dari Kiyosu, kurang dari sepuluh mil di sebelah
barat Nagoya, terletak Desa Hachisuka. Begitu memasuki desa itu,
sebuah bukit berbentuk topi terlihat dari hampir semua arah. Pada
siang hari hanya suara jangkrik yang terdengar di hutan kecil yang
lebat; pada malam hari, bayangan kelelawar-kelelawar besar melintas
di depan bulan.
"Yo!" "Yo!" terdengar sahutannya, seperti gema, dari dalam
hutan. Parit yang mengambil airnya dari Sungai Kanie melewati
tebing-tebing
dan pohon-pohon besar di atas bukit. Kalau tidak diamati dengan
cermat, takkan ada yang memperhatikan bahwa airnya penuh ganggang
biru yang sering ditemukan dalam kolam alami. Ganggang-ganggang
melekat pada benteng batu dan tembok tanah yang telah melindungi
kawasan itu selama seratus tahun, sekaligus melindungi keturunan
para penguasa daerah itu, berikut kekuasaan dan mata pencaharian
mereka.
Dari luar, hampir mustahil untuk menebak berapa ribu atau bahkan
puluh ribu ekar tanah pemukiman yang berada di atas bukit. Rumah
besar itu milik sebuah marga yang amat berkuasa dari Desa
Hachisuka, dan para pemimpinnya telah menggunakan nama kanak-kanak
Koroku selama beberapa generasi. Pemimpin yang sedang memegang
kekuasaan dijuluki Hachisuka Koroku.
"Yo! Buka gerbang!" Suara empat atau lima laki-laki terdengar
dari seberang parit. Salah satunya Koroku.
Sebenarnya, baik Koroku maupun para leluhurnya tidak mempunyai
asal-usul yang mereka banggakan, dan mereka juga tidak berhak atas
tanah yang mereka duduki. Mereka marga pedesaan yang kuat, tak
lebih dari itu. Meskipun Koroku dikenal sebagai bangsawan, dan
orang-orang yang me-nyertainya merupakan pengikutnya, rumah
tangganya berkesan kasar. Sampai
62
a
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
[email protected]
MR. Collection's
-
tingkat tertentu, wajar saja kalau terjalin keakraban antara
seorang kepala rumah tangga dan para pembantunya, tapi hubungan
antara Koroku dan orang-orang itu lebih menyerupai hubungan antara
kepala geng dan anak buahnya.
"Sedang apa dia?" Koroku bergumam. "Penjaga gerbang, kenapa kau
begitu lama?" seru salah seorang pengikut-
nya, bukan untuk pertama kali. "Yooo!" Kali ini mereka mendengar
tanggapan si penjaga gerbang, dan gerbang
kayu itu membuka, diiringi bunyi gedebuk. "Siapa itu?" Mereka
dicegat dari kiri-kanan oleh orang-orang yang
membawa lentera mirip lonceng, yang dipasang di ujung sebuah
tongkat. Lentera-lentera seperti itu bisa dibawa ke medan
pertempuran atau pada waktu hujan.
"Aku Koroku!" ia menjawab, bermandikan cahaya lampu. "Selamat
datang di rumah." Orang-orang yang lain menyebutkan nama
masing-masing ketika melewati
gerbang. "Inada Oinosuke." "Aoyama Shinshichi." "Nagai Hannojo."
"Matsubara Takumi." Dengan langkah berat mereka menyusuri koridor
lebar dan gelap, lalu
masuk ke dalam rumah. Sepanjang koridor, wajah-wajah para
pelayan, kaum perempuan, para istri dan anakorang-orang yang
membentuk keluarga besar itumenyambut si pemimpin marga yang
kembali dari dunia luar. Koroku membalas sambutan mereka, menatap
semuanya, walau hanya sekejap, dan setelah tiba di ruang utama, ia
duduk di sebuah tikar jerami bundar. Cahaya dari sebuah lampu kecil
menerangi garis-garis wajahnya. Apakah dia sedang kesal? Para
perempuan bertanya-tanya dengan cemas ketika mereka membawakan air,
teh, dan kue kacang hitam.
"Oinosuke," ujar Koroku setelah beberapa saat, sambil berpaling
pada pengikutnya yang duduk paling berjauhan. "Malam ini kita semua
dipermalu-kan, bukan begitu?"
"Betul," Oinosuke sependapat. Keempat laki-laki yang duduk
bersama Koroku tampak geram. Koroku
sendiri seakan-akan tak dapat melampiaskan kekesalannya.
"Takumi, Hannojo. Apa pendapat kalian?"
"Mengenai apa?" "Mengenai aib yang kita terima malam ini!
Bukankah nama marga
Hachisuka telah tercemar secara memalukan?" Keempat laki-laki
itu kembali membisu. Udara malam terasa gerah,
tanpa angin sama sekali. Asap obat nyamuk membuat pedih mata
mereka.
63
-
Sebelumnya, Koroku telah menerima undangan dari seorang pembantu
utama Oda, untuk menghadiri upacara minum teh. la tak pernah
menyukai acara seperti itu, tapi tamu-tamu yang lain semuanya orang
terkemuka di Owari, dan ini kesempatan baik untuk bertemu dengan
mereka. Kalau ia menolak undangan itu, ia akan menjadi bahan
tertawaan. Orang-orang akan bergunjing, "Sombong sekali mereka,
bertingkah seperti itu. Padahal dia tak lebih dari pemimpin
gerombolan ronin. Paling-paling dia takut kebodohannya terbongkar
dalam upacara minum teh."
Koroku dan empat pengikutnya menghadiri acara itu sambil
bersikap penuh wibawa. Dalam upacara minum teh, sebuah kendi akae
menarik perhatian salah seorang tamu, dan ketika mengobrol, secara
tak sengaja sebuah komentar terlontar olehnya.
"Aneh sekali," katanya. "Aku yakin pernah melihat kendi ini di
rumah Sutejiro, si saudagar tembikar. Bukankah ini kendi akae
terkenal yang dirampas oleh gerombolan penjahat?"
Sang tuan rumah, yang sangat menyukai kendi itu, tentu saja
terkejut. Tidak masuk akal! Belum lama ini kami membelinya di
sebuah toko di
Sakai, dengan harga hampir seribu keping emas." Ia bahkan
menunjukkan tanda terimanya.
Namun tamu tadi tetap bersikeras, "Rupanya para pencuri
menjualnya pada seorang pedagang di Sakai, dan setelah pindah
tangan beberapa kali, kendi itu akhirnya sampai di sini. Orang yang
mencurinya dari rumah si saudagar tembikar adalah Watanabe Tenzo
dari Mikuriya."
Para undangan tiba-tiba terdiam. Jelas bahwa orang yang
berbicara begitu lantang itu tidak tahu apa-apa mengenai silsilah
keluarga seseorang yang juga hadir, Hachisuka Koroku. Namun si tuan
rumah dan beberapa tamu lainnya menyadari bahwa Watanabe Tenzo
adalah keponakan Koroku dan salah satu sekutu utamanya. Sebelum
pergi, Koroku bersumpah untuk menyelidiki kejadian itu sampai
tuntas. Kehormatannya bagai diinjak-injak, dan ia kembali ke
rumahnya dengan memendam perasaan marah dan malu. Tak seorang pun
sanak saudaranya dapat mengusulkan sesuatu. Seandainya masalah itu
menimpa keluarga mereka sendiri atau keluarga salah seorang
pengikut, mereka pasti sanggup mengatasinya, tapi persoalan ini
menyangkut Tenzo, keponakan Koroku. Rumah tangga Tenzo di Mikuriya
merupakan pecahan dari rumah tangga di Hachisuka, dan ia selalu
menampung dua puluh sampai tiga puluh ronin.
Koroku semakin gusar, karena ia bersaudara dengan Tenzo. "Ini
keter-laluan," ia menggeram sambil menyumpahi kebusukan Tenzo. "Aku
telah bertindak bodoh dengan tidak memperhatikan kelakuan Tenzo
akhir-akhir ini. Dia mulai gemar berpakaian mewah, dan selalu
dikelilingi sejumlah perempuan. Dia merusak nama baik keluarga.
Kita harus menyingkirkannya. Kalau begini terus, marga Hachisuka
akan dianggap kawanan pencuri atau gerombolan ronin yang tak tahu
malu. Ini amat menyedihkan bagi sebuah
64
"
-
keluarga yang sejak dulu dipandang sebagai salah satu marga
terkemuka di pedesaan. Bahkan aku sendiri, Hachisuka Koroku, acap
kali mendengar bisikan-bisikan di tempat umum bahwa aku pemimpin
bandit."
Hannojo dan Oinosuke menundukkan kepala. Mereka malu karena
tiba-tiba melihat air mata kesedihan di mata Koroku.
"Dengar semua!" Koroku menatap anak buahnya. "Genting-genting
rumah ini menampilkan lambang salib manji. Walau sekarang tertutup
lumut, lambang itu diwariskan turun-temurun dari leluhurku,
Minamoto Yorimasa, yang memperolehnya dari Pangeran Takakura atas
jasanya mengerahkan pasukan yang setia pada sang pangeran. Dulu
keluarga kita mengabdi pada para shogun, tapi sejak masa Hachisuka
Taro, kita kehilangan pengaruh. Jadi, sekarang kita tak lebih dari
sebuah marga pedesaan biasa. Tentu saja kita tak mungkin hidup
merana terus tanpa melakukan apa-apa. Tidak, aku, Hachisuka Koroku,
telah bersumpah bahwa waktunya sudah tiba! Sudah lama kutunggu
kesempatan untuk memulihkan nama besar keluarga kita, sekaligus
memberi pelajaran pada dunia."
"Dari dulu selalu itu yang kami dengar." "Aku sudah sering
mengatakan bahwa kita harus berpikir sebelum
bertindak, dan melindungi yang lemah. Watak keponakanku tidak
bertambah baik. Dia menyusup ke rumah seorang saudagar dan
melakukan pekerjaan pencuri di malam hari." Sambil menggigit-gigit
bibir, Koroku menyadari bahwa urusan itu harus diselesaikan.
"Oinosuke, Shinshichi. Malam ini juga kalian berdua berangkat ke
Mikuriya. Bawa Tenzo ke sini, tapi jangan beritahukan alasannya.
Dia selalu ditemani sejumlah orang bersenjata. Dia bukan orang yang
bisa ditangkap dengan mudah."
Fajar berikutnya tiba dengan diiringi kicauan burung di
bukit-bukit berhutan. Satu rumah di dekat tembok pertahanan lebih
dulu terkena sinar matahari.
"Matsu, Matsu!" "Matsunami, istri Koroku, mengintip ke kamar
tidur. Koroku sudah
terjaga, berbaring miring di bawah kelambu. "Orang-orang yang
kukirim ke Mikuriya, mereka sudah kembali?" "Belum." "Hmm," Koroku
menggerutu. Wajahnya tampak cemas. Meskipun ke-
ponakannya bajingan yang hanya berbuat jahat, ia memiliki naluri
tajam. Dalam keadaan genting, apakah ia akan mencium bahaya yang
mengancam-nya, lalu berusaha melarikan diri? Mereka agak terlambat,
Koroko kembali berkata dalam hati.
Istrinya menyibakkan kelambu. Anak mereka, Kameichi, yang sedang
bermain di pinggir jaring, belum genap berusia dua tahun.
"Hei! Ke sinilah." Koroku memeluk putranya, lalu memegangnya
agak jauh. Gendut seperti anak-anak dalam lukisan Cina, anak itu
terasa berat, bahkan di tangan ayahnya.
65
-
"Ada apa? Kelopak matamu merah dan bengkak." Koroku menjilat
mata Kameichi. Anak itu menjadi gelisah dan menarik-narik serta
mencakar wajah ayahnya.
"Mungkin dia digigit nyamuk," ujar ibunya. "Kalau hanya nyamuk,
tak ada yang perlu dikhawatirkan." "Dia selalu resah, walaupun
sedang tidur. Setiap kali dia menyelinap
keluar dari kelambu." "Jangan biarkan dia kedinginan kalau
tidur." "Tentu saja tidak." "Dan hati-hati terhadap cacar." "Jangan
singgung-singgung soal itu." "Dia anak pertama kita. Bisa dibilang,
dia buah usaha kita yang
pertama." Koroku muda dan kekar. la melepaskan kebahagiaan saat
itu dan
melangkah ke luar ruangan, seperti orang yang ingin mencapai
tujuan besar. la bukan orang yang bisa duduk-duduk di dalam sambil
menghirup teh dengan santai. Setelah berganti pakaian dan mencuci
muka, ia pergi ke pekarangan. Dengan langkah panjang ia menuju ke
arah suara palu.
Di salah satu sisi sebuah jalan setapak sempit terdapat dua
bengkel pandai besi yang didirikan di bekas tempat pohon-pohon
besar pernah berdiri. Daerah itu berada di tengah-tengah hutan, di
mana sampai sekarang pohon-pohon tak tersentuh kapak sejak masa
para leluhur Koroku.
Si pembuat senjata, Kuniyoshi, yang diam-diam didatangkan dari
kota Sakai oleh Koroku, sedang bekerja bersama para
pembantunya.
"Bagaimana kemajuannya?" tanya Koroku. Kuniyoshi dan anak-anak
buahnya terduduk letih di lantai tanah. "Belum* beruntung, heh?
Kalian belum berhasil meniru senjata api yang kalian gunakan
sebagai contoh?"
"Kami telah mencoba ini dan itu. Kami bekerja tanpa makan dan
tidur, tapi..."
Koroku mengangguk. Tiba-tiba seorang bawahannya menghampirinya
dan berkata, "Tuanku, kedua orang yang tuanku kirim ke Mikuriya
baru saja kembali."
"Mereka sudah kembali?" "Ya, tuanku." "Apakah mereka membawa
Tenzo?" "Ya, tuanku." "Bagus." Koroku mengangguk-angguk. "Suruh dia
menunggu." "Di dalam?" "Ya, aku akan segera ke sana." Koroku
merupakan penyusun strategi yang cukup andalseluruh marga
tergantung pada kemampuannya itutapi ada sisi lain dalam
wataknya: ia cenderung bersikap terlalu lembek. Ia bisa tegas, tapi
ia pun mudah dipengaruhi air mata, terutama jika darah dagingnya
sendiri ikut terlibat.
66
-
Namun kali ini ia telah membulatkan tekad. Ia harus
menyingkirkan keponakannya pagi ini. Tapi kelihatannya ia masih
ragu-ragu, dan ia menghabiskan beberapa waktu dengan mengamati
Kuniyoshi bekerja.
"Ini tidak aneh," katanya. "Bagaimanapun, senjata api baru tiba
di sini tujuh atau delapan tahun lalu. Sejak itu, para samurai dan
marga-marga berkuasa telah berlomba-lomba menghasilkan senapan,
atau membelinya dari kapal orang-orang barbar dari Eropa. Di sini,
di Owari, kita mempunyai keuntungan taktis. Banyak samurai pedesaan
di utara dan barat belum pernah melihat senjata api. Kau pun belum
pernah merakit senjata seperti itu, jadi jangan terburu-buru dan
bekerjalah dengan teliti. Kalau kau sanggup membuat satu, kau
sanggup membuat seratus, dan kita bisa menggunakannya di kemudian
hari."
"Tuanku!" Pembantu tadi kembali dan berlutut di tanah yang
dibasahi embun. "Mereka menunggu tuanku."
Koroku berpaling ke arahnya. "Sebentar lagi aku ke sana. Biar
mereka menunggu sedikit lebih lama."
Meski Koroku telah bertekad menghukum keponakannya demi
keadilan, ia juga terombang-ambing antara apa yang ia anggap benar
dan perasaannya sendiri. Ketika hendak beranjak, ia berkata pada
Kuniyoshi, "Dalam tahun ini kau sanggup membuat sepuluh atau dua
puluh senjata yang siap pakai, bukan?"
"Ya," ujar si pembuat senjata yang menyadari tanggung jawabnya,
mimik-nya serius. "Kalau hamba bisa membuat satu yang hamba rasa
memenuhi syarat, hamba bisa membuat empat puluh atau bahkan
seratus."
"Yang pertamalah yang paling sulit, ya?" "Tuanku sudah
menghabiskan banyak uang untuk hamba." "Jangan pikirkan itu."
"Terima kasih, tuanku." "Kelihatannya perang belum akan berakhir
tahun depan, tahun berikut,
atau tahun-tahun setelahnya.... Kalau rumput di tanah ini
menjadi layu dan pucuk-pucuk mulai keluar lagi... hmm, lakukanlah
yang terbaik, agar pekerjaanmu selesai secepatnya."
"Hamba akan mengerahkan segala daya." "Ingat, rahasia ini tak
boleh bocor." "Ya, tuanku." "Bunyi palumu agak terlalu keras.
Bisakah kau bekerja tanpa terdengar
dari seberang parit?" "Hamba akan berhati-hati." Ketika
meninggalkan bengkel, Koroku melihat sepucuk senapan tersandar
di samping embusan. "Dan itu?" ia bertanya sambil menunjuk.
"Apakah itu contohnya, atau buatanmu?"
"Senapan itu baru selesai hamba kerjakan." "Hmm, coba kulihat
dulu."
67
-
"Hamba rasa senapan itu belum siap untuk diperiksa oleh tuanku."
"Jangan khawatir. Aku punya sasaran yang cocok. Apakah sudah
bisa
ditembakkan?" "Bola besinya melesat keluar, tapi entah kenapa,
hamba belum sanggup
meniru mekanisme pengokang yang asli. Hamba akan berusaha lebih
keras lagi untuk mencari jalan keluar."
"Pengujian juga penting. Biar kubawa dulu." Setelah mengambilnya
dari tangan Kuniyoshi, Koroku meletakkan laras
senapan pada lengannya yang ditekukkan, lalu berpura-pura
membidik sebuah sasaran. Pada saat itu, Inada Oinosuke muncul di
pintu bengkel.
"Oh, rupanya belum selesai." Koroku berpaling pada Oinosuke
dengan gagang senapan menempel di
tulang iga. "Bagaimana?" "Pvasanya kita harus segera ke sana.
Kami berhasil membujuk Tenzo
untuk ikut dengan kami, tapi kelihatannya dia curiga, dan mulai
gelisah. Bisa-bisa dia bertindak seperti harimau yang berusaha
mendobrak kerang-kengnya."
"Baiklah, aku segera datang." la mengembalikan senapan pada
Oinosuke, lalu menyusuri jalan setapak
dengan langkah-langkah panjang. Watanabe Tenzo sedang duduk di
depan ruang baca, sambil memikirkan
ada apa sebenarnya. Kenapa ia dibawa ke sini? Aoyama Shinshichi,
Nagai Hannojo, Matsubara Takumi, dan Inada Oinosukepara pembantu
ke-percayaan marga Hachisukaduduk di sekitarnya. Mereka mengamati
setiap gerakannya dengan saksama. Begitu tiba, Tenzo langsung
merasa gelisah. Ia sedang mencari-cari alasan untuk pergi, ketika
ia melihat Koroku di pekarangan.
"Ah, Paman." Sapaan Tenzo diiringi senyum terpaksa. Koroku
menatap keponakannya dengan tenang. Oinosuke meletakkan
gagang senapan di lantai. "Tenzo, coba ke pekarangan," ujar
Koroku. Penampilannya tidak berbeda
dari biasanya. Kecemasan Tenzo agak berkurang. "Mereka
menyuruhku segera kemari, mereka bilang ada urusan penting
yang harus diselesaikan." "Betul." "Urusan apa?" "Hmm, ke sini
dulu." Tenzo memakai sandal jeraminya dan keluar ke pekarangan.
Hannojo
dan Takumi mengikutinya. "Berdiri di sana," Koroku memerintah
sambil duduk di atas batu besar
dan mengangkat senapan. Tenzo langsung menyadari bahwa dirinya
akan dijadikan sasaran oleh pamannya, tapi tak ada yang dapat ia
perbuat. Yang
68
-
lain berdiri di sekelilingnya, tak bergerak seperti batu di atas
papan go. Si pemimpin para bandit dari Mikuriya telah tertangkap.
Wajahnya menjadi pucat kelabu. Kemarahan yang amat sangat terpancar
dari wajah Koroku. Ekspresi wajahnya memberitahu Tenzo bahwa
kata-kata takkan berguna.
"Tenzo!" "Ya?" "Tentu kau belum melupakan pesan-pesan yang telah
berulang kali
kusampaikan padamu?" "Aku masih ingat semuanya." "Kau dilahirkan
sebagai manusia di dunia yang kacau. Hal-hal yang
paling memalukan adalah kesombongan dalam berpakaian,
kesombongan dalam memilih makanan, dan menindas rakyat jelata yang
cinta damai. Marga-marga pedesaan yang katanya tersohor melakukan
hal-hal seperti itu, begitu juga para ronin. Keluarga Hachisuka
Koroku tidak seperti mereka, dan kurasa aku sudah memperingatkanmu
mengenai ini."
"Ya, Paman sudah memperingatkanku." "Hanya keluarga kita yang
berikrar untuk menyimpan harapan besar dan
untuk memenuhi harapan itu. Kita telah bersumpah tidak akan
menindas para petani, tidak bertindak seperti pencuri, dan jika
kita menjadi penguasa provinsi, kita akan memastikan semua orang
bisa merasakan kemakmuran."
"Ya, itulah janji kita." "Siapa yang melanggar ikrar itu?" tanya
Koroku. Tenzo membisu. "Tenzo!
Kau telah menyalahgunakan kekuatan militer yang kupercayakan
padamu. Kau memanfaatkannya untuk tujuan busuk, melakukan pekerjaan
pencuri di malam hari. Kaulah yang menyusup ke toko tembikar di
Shinkawa dan mencuri kendi akae itu, bukan?"
Tenzo tampak seolah-olah siap melarikan diri. Koroku berdiri,
suaranya menggelegar, "Babi kau! Duduk! Kau mau
kabur?" "Aku... aku takkan lari." Suara Tenzo gemetar. la
merosot ke rumput
dan duduk seakan-akan terpaku di tanah. "Ikat dia!" Koroku
berseru kepada para pembantunya. Seketika Matsubara
Takumi dan Aoyama Shinshichi menerjang Tenzo. Mereka menarik
tangannya ke belakang, lalu mengikatnya dengan tali penahan
pedangnya sendiri. Ketika Tenzo menyadari bahwa kejahatannya telah
terbongkar dan bahwa ia terancam bahaya, raut wajahnya yang pucat
menjadi agak lebih tegas dan menantang.
"Pa... Paman, apa yang akan Paman lakukan terhadapku? Aku tahu
aku berhadapan dengan pamanku, tapi ini tidak masuk akal."
"Diam!" "Siapa yang menceritakan itu pada Paman?" "Kau mau diam
atau tidak?" "Paman... Paman adalah pamanku, kan? Kalau memang ada
gunjingan
seperti itu, bukankah Paman bisa menanyakannya dulu padaku?"
69
-
"Jangan cari-cari alasan." "Tapi pemimpin sebuah marga besar
yang bertindak berdasarkan gunjingan
tanpa menyelidiki..." Tak perlu dijelaskan, segala rengekan itu
tak mempan terhadap Koroku.
la mengangkat senapan dan menahannya dengan lekuk siku.
"Bajingan! Kaulah sasaran hidup yang kuperlukan untuk mencoba
senjata
baru yang dibuat Kuniyoshi untukku. Kalian berdua, bawa dia ke
pagar dan ikat ke pohon."
Shinshichi dan Takumi mendorong Tenzo dan mencengkeram
tengkuknya. Mereka menggiringnya sampai ke ujung pekarangan yang
jauh, cukup jauh sehingga panah yang dilepaskan seorang pemanah
yang tidak mahir takkan dapat menempuh seluruh jaraknya.
Paman! Ada yang perlu kukatakan. Dengarkan aku, kali ini saja!"
Tenzo berseru. Suaranya, serta keputusasaan yang terkandung di
dalamnya, terdengar jelas oleh semua yang hadir. Koroku tak peduli.
Oinosuke telah membawa sumbu. Koroku mengambilnya, dan setelah
memasukkan bola besi ke dalam senapan, membidik keponakannya yang
berteriak-teriak ketakutan.
"Aku bersalah! Semuanya kuakui! Tolong dengarkan aku!" Sama tak
terkesan seperti majikan mereka, para pengikut Koroku berdiri
membisu sambil memperhatikan adegan yang sedang berlangsung di
depan mata mereka. Setelah beberapa menit, Tenzo terdiam. Kepalanya
tertunduk. Barangkali ia merenungkan kematiannya yang telah berada
di depan mata. Atau mungkin juga ia sudah putus asa.
"Percuma saja!" Koroku bergumam. Ia melepaskan matanya dari
sasaran. "Biarpun aku menarik picu, bola besinya tidak mau keluar.
Oinosuke, lari ke bengkel dan panggil Kuniyoshi."
Pada waktu si pandai besi muncul, Koroku menyodorkan senapannya
dan berkata, "Aku mencoba menembak, tapi gagal. Betulkan sekarang
juga."
Kuniyoshi memeriksa senjata api itu. "Kerusakannya tidak mudah
diper-baiki."
"Berapa lama yang kauperlukan?" "Mungkin hamba selesai menjelang
malam nanti." "Tidak bisa lebih cepat dari itu? Sasaran hidup yang
kupakai sebagai
batu uji masih menunggu." Baru sekarang si pandai besi menyadari
bahwa Tenzo-lah yang dijadikan
sasaran. "Keponakan... keponakan tuanku?" Koroku tidak
menanggapi komentar itu. "Kau sudah jadi pembuat
senapan sekarang. Ada baiknya kalau kaucurahkan tenagamu untuk
membuat senapan. Kalau kau bisa menyelesaikan satu hari lebih cepat
dari yang direncanakan, itu bagus sekali. Tenzo orang jahat, tapi
dia juga saudara, dan daripada mati seperti anjing, lebih baik dia
digunakan sebagai sasaran untuk menguji senapan ini. Sekarang
lanjutkan pekerjaanmu."
"Ya, tuanku."
70
-
"Apa lagi yang kautunggu?" Mata Koroku menyerupai api isyarat.
Tanpa mengangkat kepala pun Kuniyoshi dapat merasakan panasnya. la
mengambil senapan itu dan bergegas ke bengkelnya.
"Takumi, beri sedikit air pada sasaran hidup kita," Koroku
memberi perintah. "Dan pastikan dia dijaga paling tidak tiga orang,
sampai senapannya diperbaiki." Kemudian ia kembali ke rumah induk
untuk sarapan.
Takumi, Oinosuke, dan Shinshichi juga meninggalkan pekarangan.
Nagai Hannojo akan pulang ke rumahnya sendiri hari itu, dan ia
segera mohon diri. Kira-kira pada waktu yang sama, Matsubara Takumi
pergi untuk menjalankan sebuah tugas, jadi tinggal Inada Oinosuke
dan Aoyama Shinshichi yang masih berada di rumah di atas bukit.
Matahari semakin tinggi. Udara bertambah gerah.
Jangkrik-jangkrik ber-dengung, dan makhluk hidup yang bergerak
dalam panas menyengat itu hanyalah semut-semut yang merayap di
batu-batu injak di pekarangan. Berkali-kali bunyi palu terdengar
seperti letusan dari bengkel pandai besi. Entah bagaimana bunyi itu
terdengar di telinga Tenzo.
"Senapan itu belum siap juga?" Setiap kali suara keras itu
terdengar dari kamar Koroku, Aoyama Shinshichi berlari ke bengkel,
menembus panas yang membakar. Setiap kali ia kembali ke serambi
sambil berkata, "Sebentar lagi," lalu melaporkan
perkembangannya.
Koroku tidur siang dengan resah, lengan dan kakinya terjulur.
Shinshichi pun lelah akibat ketegangan pada hari sebelumnya, dan
akhirnya tertidur.
Mereka terjaga karena suara salah seorang penjaga yang berseru,
"Dia kabur!"
"Tuan Shinshichi! Dia kabur! Cepat datang!" Bertelanjang kaki
Shinshichi berlari ke pekarangan. "Keponakan tuanku Koroku membunuh
dua penjaga dan melarikan
diri!" Warna wajah orang itu persis seperti tanah liat.
Shinshichi berlari mengikuti si penjaga, sambil berseru ke
belakang,
"Tenzo membunuh dua penjaga dan melarikan diri!" "Apa?" seru
Koroku, tiba-tiba terbangun dari tidur siangnya. Dengungan
jangkrik terus berlanjut. Dengan satu gerakan ia melompat
berdiri dan mengenakan pedang yang selalu berada di sisinya ketika
ia tidur. Setelah melompat dari serambi, ia segera menyusul
Shinshichi dan si penjaga.
Ketika mereka sampai di pohon tadi, Tenzo tidak kelihatan lagi.
Di kaki pohon tergeletak sepotong tali rami. Kira-kira sepuluh
langkah dari sana, sesosok mayat tergeletak telungkup. Mereka
menemukan penjaga satunya bersandar pada kaki tembok, kepalanya
terbelah seperti buah delima yang telah matang. Kedua mayat itu
bermandikan darah, seakan-akan ada yang menyiramkannya ke atas
mereka. Panasnya udara membuat darah di rumput segera mengering,
mengubah warnanya menjadi hitam, baunya mengundang kawanan
lalat.
71
"Penjaga!"
-
"Ya, tuanku." Orang itu melemparkan dirinya ke depan kaki
Koroku. "Kedua tangan Tenzo diikat, dan dia diikat ke pohon dengan
tali rami.
Bagaimana cara dia membebaskan diri? Kelihatannya tali itu tidak
dipotong." "Ya, ehm... kami melepaskan ikatannya." "Siapa?" "Salah
satu penjaga yang mati." "Kenapa ikatannya dibuka? Dan siapa yang
mengizinkannya?" "Mula-mula kami tidak mendengarkan dia, tapi
keponakan tuanku bilang
dia ingin buang air. Dia bilang dia tidak tahan lagi, dan..."
"Dungu!" Koroku membentak si penjaga. la harus memaksakan diri
untuk tidak mengentakkan kaki ke tanah. "Bagaimana kalian bisa
terkecoh oleh tipuan kuno itu? Dasar tolol!"
"Tuanku, ampunilah hamba. Keponakan tuanku bilang tuanku berhati
emas, dan bertanya apakah kami betul-betul percaya bahwa tuanku
akan membunuh keponakan sendiri. Dia bilang dia dihukum sekadar
untuk memberi contoh, dan karena tuanku akan melancarkan
penyelidikan menye-luruh, dia akan diampuni menjelang malam. Lalu
dia mengancam, kalau kami tidak mendengarkannya, kami akan menerima
ganjaran karena mem-buatnya begitu menderita. Akhirnya salah satu
dari mereka melepaskan ikatannya dan mengawalnya bersama penjaga
yang satu lagi, supaya dia bisa buang air di bawah pohon-pohon di
sebelah sana."
"Lalu?" "Kemudian hamba mendengar teriakan. Dia membunuh
kedua-duanya,
dan hamba berlari ke rumah untuk memberitahu tuanku apa yang
terjadi." "Ke arah mana dia kabur?" "Terakhir kali hamba melihat
dia, tangannya sedang memegang ujung
tombak, jadi hamba pilar dia memanjatnya. Rasanya hamba
mendengar sesuatu jatuh ke air di parit."
"Shinshichi, kejar dia. Tempatkan beberapa penjaga di jalan
menuju desa malam ini." Setelah memberikan perintah itu, Koroku
sendiri bergegas ke arah gerbang depan.
Kuniyoshi, bermandikan keringat, tak menyadari apa yang telah
terjadi dan tidak memperhatikan waktu. Tak ada yang menyita
perhatiannya selain senapan yang sedang ia kerjakan. Bunga api dari
tempaan besi beterbangan di sekitarnya. Akhirnya ia berhasil
membuat bagian-bagian yang diperlukan-nya dari serbuk besi. Lega
karena tugasnya telah selesai, ia memeluk senapan itu dengan kedua
tangannya. Tapi ia belum yakin sepenuhnya bahwa peluru akan melesat
dari laras. Ia membidikkan senapan yang tak terisi ke tombak dan
mencobanya. Ketika menarik picu, ia mendengar bunyi klik.
Ah, semuanya beres, ia berkata dalam hati. Tapi akan memalukan
sekali jika ia menyerahkannya pada Koroku, dan kemudian Koroku
menemukan kerusakan lain. Ia memasukkan bubuk mesiu ke dalam laras,
mengisi
72
-
peluru, membidikkan senapan ke lantai, lalu menembak. Diiringi
bunyi keras, bola besi itu menghasilkan lubang kecil di lantai.
Aku berhasil! Teringat Koroku, ia kembali mengisi senapan, lalu
bergegas keluar dari
pondok dan menyusuri jalan setapak yang membelah pepohonan lebat
dan menuju pekarangan.
"Hei!" seru seorang laki-laki yang setengah bersembunyi di
bayang-bayang sebatang pohon.
Kuniyoshi berhenti. "Siapa itu?" ia bertanya. "Aku." Siapa?"
"Watanabe Tenzo." "Hah? Keponakan Tuan Koroku?" "Jangan kaget
begitu, meski aku mengerti sebabnya. Tadi pagi aku diikat
ke sebatang pohon, siap digunakan sebagai sasaran untuk mencoba
sepucuk senapan. Dan sekarang aku berdiri di sini."
"Apa yang terjadi?" "Bukan urusanmu. Itu masalah antara paman
dan keponakan. Aku
dimarahi habis-habisan." "Begitu?" "Dengar, beberapa petani dan
sejumlah samurai dari sekitar sedang
bertengkar di kolam Shirahata di desa. Pamanku, Oinosuke,
Shinshichi, dan anak buah mereka pergi ke sana. Aku disuruh segera
menyusul. Kau sudah selesai memperbaiki senapan itu?"
"Ya." "Berikan padaku." "Apakah ini perintah dari Tuan Koroku?"
"Ya. Cepat serahkan padaku. Kalau musuh sampai lolos, kita
kehilangan
kesempatan untuk mencobanya." Tenzo merebut senapan itu dari
tangan Kuniyoshi dan menghilang di
hutan. "Ini aneh," pikir si pandai besi. Ia mulai mengejar Tenzo
yang sedang
menyusup di antara pohon-pohon di sepanjang tembok luar. Ia
melihatnya memanjat tembok dan melompat, hampir mencapai sisi
seberang parit. Terendam sampai ke dada, Tenzo tidak membuang-buang
waktu dan membelah air bagaikan hewan liar.
"Ah! Dia lari! Tolong! Di sini!" Kuniyoshi berteriak sekuat
tenaga dari atas tembok.
Tenzo merangkak keluar dari air. Ia tampak seperti tikus got. Ia
berbalik ke arah Kuniyoshi, membidikkan senapan, dan menarik
picu.
Senapan itu mengeluarkan bunyi mengerikan. Tubuh Kuniyoshi jatuh
terguling-guling. Tenzo berlari melintasi ladang, melompat-lompat
bagaikan macan kumbang.
73
"
-
"Berkumpul!" Pemberitahuan itu diedarkan dengan tanda tangan
sang Pemimpin Marga,
Hachisuka Koroku. Menjelang malam, rumahnya dipenuhi samurai,
baik di dalam maupun di luar gerbang.
"Ada pertempuran?" "Menurutmu apa yang telah terjadi?" mereka
bertanya, menggebu-gebu
karena ada kemungkinan bertempur. Meskipun mereka biasanya
membajak ladang, menjual kepompong ulat sutra, beternak kuda, dan
pergi ke pasar seperti petani dan pedagang biasa, pada dasarnya
mereka sangat berbeda dari orang-orang itu. Mereka bangga akan
darah prajurit mereka dan tidak puas dengan nasib mereka. Kalau ada
kesempatan, mereka tidak ragu-ragu mengangkat senjata untuk
menantang takdir dan menciptakan badai. Orang-orang seperti itu
telah menjadi pendukung marga selama beberapa generasi.
Oinosuke dan Shinshichi berdiri di luar tembok, memberi
pengarahan. "Pergi ke pekarangan." "Jangan terlalu ribut." "Lewati
gerbang utama." Semua orang itu mempersenjatai diri dengan
pedang panjang, namun sebagai anggota marga pedesaan, mereka
tidak mengenakan baju tempur lengkap, melainkan hanya memakai
sarung tangan dan pelindung tulang kering.
"Kita akan maju ke medan laga," salah seorang menebak.
Batas-batas daerah kekuasaan Hachisuka tidak ditetapkan secara
jelas.
Orang-orang itu bukan penghuni benteng tertentu, dan mereka tak
pernah mengucapkan sumpah setia pada penguasa mana pun. Mereka
tidak memiliki sekutu maupun musuh yang pasti. Tapi sekali-sekali
mereka akan turut berperang jika tanah marga diserbu, atau jika
marga bersekutu dengan adipati setempat, atau jika marga menyewakan
orang-orang sebagai tentara bayaran atau penghasut kepada para
pengusaha di provinsi-provinsi yang jauh. Beberapa pemimpin marga
mengerahkan pasukan masing-masing demi uang, tapi Koroku tak pernah
tergoda oleh keuntungan pribadi. Marga Oda, yang bertetangga
dengannya, menyadari hal tersebut, begitu juga marga Tokugawa dari
Mikawa dan marga Imagawa dari Suruga. Marga Hachisuka hanya salah
satu di antara beberapa marga pedesaan yang kuat, tapi cukup
disegani, sehingga tanahnya tidak terancam oleh marga lain.
Pemberitahuan sudah diedarkan, dan seluruh marga langsung
muncul. Berkumpul di pekarangan luas, mereka menatap pemimpin
mereka. la berdiri di atas bukit buatan, membisu seperti patung
batu, di bawah bulan yang tergantung di langit senja. Baju tempumya
terbuat dari kulit berwarna hitam, dan sebilah pedang panjang
tergantung di pinggangnya. Meski perlengkapannya tampak ringan, tak
ada yang meragukan wibawanya sebagai pemimpin marga prajurit.
74
***
-
Kepada hampir dua ratus orang yang telah berkumpul, Koroku
meng-umumkan bahwa mulai hari itu Watanabe Tenzo tidak lagi menjadi
anggota marga mereka. Setelah menjelaskan alasannya, ia mohon maaf
atas ketidakmampuannya. "Kesulitan yang kita alami sekarang adalah
akibat dari kelalaianku. Karena melarikan diri, Tenzo harus dihukum
dengan kematian. Kita tak boleh tinggal diam. Kalau kita
membiarkannya tetap hidup, marga Hachisuka akan dicap sebagai
pencuri selama seratus tahun. Demi ke-hormatan kita, demi leluhur
dan keturunan kita, kita harus mengejar Tenzo. Jangan pandang dia
sebagai keponakanku. Dia pengkhianat!"
Ketika Koroku mengakhiri pidatonya, seorang pengintai kembali
dengan berlari sekuat tenaga. "Tenzo dan anak buahnya ada di
Mikuriya," ia melaporkan. "Mereka bersiap-siap diserang dan sedang
memperkuat per-tahanan desa."
Saat mengetahui bahwa musuh mereka ternyata Watanabe Tenzo,
orang-orang agak kehilangan semangat, tapi setelah mendengar alasan
yang di-kemukakan Koroku, mereka bersatu untuk mengembalikan
kehormatan marga. Dengan langkah pasti mereka menuju gudang senjata
yang me-nyimpan aneka macam perlengkapan tempur. Di masa lampau,
senjata dan baju perang sering kali ditinggalkan di medan laga
seusai pertempuran. Kini, berhubung tak ada tanda-tanda bahwa
perang saudara akan berakhir, dan karena seluruh negeri diliputi
kegelapan dan ketidakstabilan, senjata-senjata telah menjadi milik
berharga. Senjata bisa ditemukan di rumah setiap petani, dan, hanya
dikalahkan oleh bahan pangan, sebuah tombak atau sebilah pedang
bisa dijual untuk memperoleh uang tunai.
Sejak marga Hachisuka didirikan, gudang senjatanya selalu cukup
lengkap, dan jumlah senjata semakin bertambah di masa Koroku, tapi
sampai sekarang belum ada senjata api. Kenyataan bahwa Tenzo
membawa lari satu-satunya senapan yang mereka miliki membuat Koroku
begitu geram, sehingga hanya tindakan yang bisa meredakan
amarahnya. Koroku mengang-gap keponakannya sebagai
binatangdicincang pun masih terlalu baik untuknya. Ia bersumpah
tidak akan melepaskan baju tempur ataupun memejamkan mata sebelum
memperoleh kepala Tenzo.
Koroku memimpin pasukannya ke Mikuriya. Ketika mereka mendekati
tujuan, barisan itu berhenti. Seorang pengintai
diutus. Ia kembali dan melaporkan bahwa cahaya merah di langit
malam disebabkan oleh kebakaran akibat ulah Tenzo dan anak buahnya
yang sedang menjarah desa. Pada waktu mereka maju lagi, mereka
berpapasan dengan para warga desa yang lari menyelamatkan diri
sambil menggendong anak, orang sakit, dan barang-barang rumah
tangga, serta menuntun hewan piaraan. Begitu melihat orang-orang
Hachisuka, mereka semakin ketakutan.
Aoyama Shinshichi menenangkan mereka. "Kami tidak datang untuk
menjarah," katanya. "Kami datang untuk menghukum Watanabe Tenzo dan
para bajingan yang ikut bersamanya."
75
-
Kecemasan para penduduk desa mereda, dan mereka melepaskan
ke-marahan mereka terhadap kekejian Tenzo. Kejahatannya tidak
berhenti dengan mencuri kendi dari Sutejiro. Di samping menagih
pajak tanah tahunan untuk sang penguasa provinsi, ia juga membuat
aturan sendiri dan memungut pajak tambahan yang disebutnya "uang
keamanan" untuk sawah dan ladang. Ia mengambil alih dam-dam di
danau-danau dan sungai-sungai, lalu menuntut yang disebutnya "uang
air". Kalau ada yang berani menyuarakan ketidakpuasannya, Tenzo
mengirim orang-orang untuk me-morak-porandakan sawah dan ladang
orang yang bersangkutan. Selain itu, dengan mengancam untuk
membinasakan seluruh keluarga mereka, ia bisa mencegah orang-orang
yang berniat mengadukannya diam-diam pada pe-nguasa provinsi. Lagi
pula sang penguasa terlalu disibukkan oleh urusan militer, sehingga
tak sempat memikirkan masalah-masalah sepele seperti keamanan dan
ketertiban.
Tenzo dan sekutu-sekutunya bertindak sesuka hati. Mereka
berjudi, memotong dan makan sapi dan ayam di pekarangan tempat
suci, main perempuan, dan mengubah tempat suci jadi gudang
senjata.
"Apa yang dikerjakan gerombolan Tenzo malam ini?" tanya
Shinshichi. Para penduduk desa serempak angkat bicara. Ternyata
pengacau-pengacau
itu mula-mula mengambil lembing dari tempat suci. Mereka sedang
minum sake dan berteriak-teriak mengenai bertempur sampai mad, lalu
tiba-tiba mulai menjarah dan membakar rumah-rumah. Akhirnya mereka
berkumpul kembali, lalu kabur sambil membawa senjata, makanan, apa
saja yang berharga. Kelihatannya mereka berharap bisa menggertak
para pengejar mereka dengan ribut-ribut tentang pertempuran sampai
titik darah peng-habisan.
Apakah aku disiasati? pikir Koroku. Ia mengentakkan kaki di
tanah dan memerintahkan para penduduk desa untuk kembali. Anak
buahnya menyusul, dan bahu-membahu mereka berusaha menguasai api.
Koroku memperbaiki tempat suci yang telah dinodai, dan menjelang
subuh, membungkuk rendah-rendah untuk berdoa.
"Walaupun Tenzo hanya mewakili salah satu cabang keluarga kita,
perbuatan busuknya telah menjadi kejahatan seluruh marga Hachisuka.
Aku mohon ampun, dan aku bersumpah bahwa dia akan membayar dengan
nyawanya, bahwa penduduk-penduduk desa ini akan ditenteramkan, dan
bahwa aku akan memberikan persembahan pada dewa-dewa di tempat suci
ini."
Sementara ia berdoa, pasukannya berdiri tak bersuara di kedua
sisi. "Mungkinkah ini pemimpin gerombolan bandit?" para penduduk
desa
saling bertanya. Mereka bingung dan curiga, dan kebingungan
serta ke-curigaan ini sangat beralasan, sebab Watanabe Tenzo telah
melakukan banyak kejahatan atas nama marga Hachisuka. Karena ia
keponakan Koroku, mereka menganggap Koroku, sebagai pimpinan Tenzo,
sama saja dengan
76
-
bajingan itu. Sebaliknya, Koroku sadar bahwa jika dewa-dewa dan
rakyat tidak berada di pihaknya, ia pasti gagal.
Akhirnya orang-orang yang disuruh mengikuti Tenzo kembali.
"Kekuatan pasukan Tenzo sekitar tujuh puluh orang," mereka
melaporkan. "Jejak mereka menunjukkan bahwa mereka pergi ke
gunung-gunung di Higashi Kasugai, dan berusaha mencapai jalan
Mino."
Koroku segera mengeluarkan perintah, "Setengah dari kalian
kembali untuk menjaga Hachisuka. Setengah dari yang tersisa tinggal
di sini untuk membantu penduduk dan menjaga ketertiban umum.
Selebihnya ikut denganku."
Akibat membagi-bagi pasukannya, ia hanya memiliki empat puluh
atau lima puluh orang untuk memburu Tenzo. Setelah melewati Komaki
dan Kuboshiki, mereka berhasil mengejar sebagian gerombolan bandit.
Tenzo menempatkan pengintai-pengintai di beberapa jalan, dan ketika
mereka mengetahui bahwa mereka diikuti, anak buahnya segera
mengambil jalan memutar. Beberapa laporan mengatakan bahwa mereka
menuruni puncak Seto, ke arah Desa Asuke.
Menjelang siang pada hari keempat setelah pembakaran Mikuriya.
Udara terasa panas. Mereka melalui jalan-jalan yang curam, dan anak
buah Tenzo harus terus memakai baju tempur. Kelihatan jelas bahwa
gerombolan itu sudah lelah melarikan diri. Sepanjang jalan mereka
meninggalkan barang dan kuda, berangsur-angsur meringankan beban
yang harus mereka pikul, dan pada saat mencapai jurang Sungai
Dozuki, mereka lapar sekali, letih, dan bermandikan keringat.
Ketika mereka sedang memuaskan dahaga, pasukan Koroku menuruni
kedua tepi jurang untuk melakukan serangan menjepit. Batu kecil dan
besar menghujani para buronan, dan dalam sekejap air sungai berubah
menjadi merah karena darah. Beberapa orang dihabisi dengan pedang,
beberapa dipukul sampai mati, beberapa dilempar ke dalam sungai.
Orang-orang itu biasanya mempunyai hubungan baik satu sama lain,
dan garis pertalian darahpaman dan keponakan, sepupu dan
sepuputidak membedakan kawan maupun lawan. Serangan itu merupakan
serangan marga terhadap dirinya sendiri, tapi memang tak
terelakkan. Sebenarnya mereka merupakan satu kesatuan, dan karena
itu akar-akar kejahatan harus diberantas.
Koroku, dengan keberaniannya yang tanpa tanding, bermandikan
darah kerabatnya yang baru terbunuh. Ia memanggil-manggil Tenzo
agar mem-perlihatkan diri, namun sia-sia. Sepuluh anak buahnya
gugur, tapi pihak lawan nyaris terbantai habis. Namun Tenzo tidak
ditemukan di antara mereka yang mati. Sepertinya ia meninggalkan
para pengikutnya, dan berhasil lolos dengan menyusuri jalan-jalan
setapak di gunung.
Babi! pikir Koroku sambil mengertakkan gigi. Ia menuju Kai.
Koroku sedang berdiri di atas salah satu puncak ketika entah dari
mana
77
-
terdengar letusan senapan, yang kemudian memantul dan menggema
dari gunung ke gunung. Letusan senapan itu seakan-akan mengejek
Koroku. Air mata membasahi pipinya. Pada saat itu ia teringat bahwa
bagaimanapun, ia dan keponakannyayang tak lebih dari jelmaan
kebusukanmasih sedarah. Air matanya merupakan air mata penyesalan
atas ketidakmampuannya. Getir dan patah semangat, ia berusaha
merenungkan masalahnya dan menyadari bahwa masih sangat jauh
harapannya untuk bisa beranjak dari kedudukannya sebagai pemimpin
marga menjadi penguasa provinsi. Ia terpaksa mengakui bahwa ia tak
sanggup. Kalau mengawasi sanak saudara sendiri pun aku tak mampu...
Kekuatan saja belum cukup, tanpa peraturan atau disiplin keras. Di
luar dugaan, seulas senyum getir menembus air matanya. Bajingan itu
ternyata memberi pelajaran padaku, katanya dalam hati. Lalu ia
memberi perintah untuk mundur.
Pasukannya, yang kini hanya berjumlah sekitar tiga puluh orang,
mem-bentuk barisan dan turun dari jurang Dozuki ke Koromo. Mereka
berkemah di luar batas kota, dan keesokan harinya mengirim kurir ke
kota benteng Okazaki. Mereka mendapat izin melintas, tapi karena
hari sudah sore ketika mereka berangkat, mereka baru mencapai
Okazaki menjelang tengah malam. Di sepanjang jalan raya menuju
rumah terdapat benteng-benteng dan tembok pertahanan yang saling
berdekatan. Juga ada pos-pos pemeriksaan di lokasi strategis yang
tak bisa dilewati barisan bersenjata. Perjalanan lewat darat akan
menghabiskan waktu berhari-hari, sehingga mereka memutuskan untuk
naik perahu menyusuri Sungai Yahagi, kemudian dari Ohama ke Handa.
Dari Tokoname, sekali lagi mereka naik perahu melintasi perairan
terbuka, lalu menyusuri Sungai Kanie sampai ke Hachisuka.
Tengah malam mereka tiba di tepi Sungai Yahagi, dan tak satu
perahu pun terlihat. Arusnya deras dan sungainya lebar. Dengan
kesal Koroku dan anak buahnya berhenti di bawah pepohonan. Beberapa
orang mengemukakan pendapat masing-masing,
"Kalau tidak ada perahu, kita bisa naik perahu tambang dan
menyusuri tepi sebelah sana."
"Sudah terlalu malam. Lebih baik tunggu sampai pagi, nanti pasti
ada perahu."
Yang paling mengganggu pikiran Koroku adalah bahwa agar bisa
ber-kemah di sini, mereka harus kembali ke Benteng Okazaki untuk
minta izin.
"Cari perahu tambang," ia memerintah. "Kalau kita bisa menemukan
satu saja untuk menyeberangi sungai ini, subuh nanti kita sudah
menempuh jarak yang sama dengan yang bisa kita tempuh jika kita
berlayar."
"Tapi, tuanku, di sekitar sini tidak ada perahu tambang."
"Dungu! Pasti ada perahu di sekitar sini, paling tidak satu.
Bagaimana
lagi orang bisa menyeberang sungai selebar ini pada siang hari?
Lagi pula, mestinya ada perahu pengintai bersembunyi di tengah
alang-alang. Atau
78
-
perahu yang dipakai pada waktu ada pertempuran. Buka mata
lebar-lebar dan carilah!"
Orang-orang dibagi menjadi dua kelompok, satu mencari ke arah
hulu, satu lagi ke arah hilir.
"Ah! Di sini ada satu!" salah seorang berseru dari arah hulu. Di
sebuah titik di tepi sungai, tempat tanah terkikis akibat
banjir,
pohon-pohon dengan akar tersingkap tampak membungkuk rendah di
atas permukaan air. Airnya tenang dan gelap, seperti kolam yang
dalam. Sebuah perahu tertambat dalam bayang-bayang di bawah
pepohonan.
"Dan bisa dipakai!" Orang itu meloncat turun, dengan niat untuk
membawa perahu itu ke
arah hilir. Ia menjangkau ke bawah untuk melepaskan tali yang
melingkar pada akar pohon. Tapi lalu tangannya terhenti dan ia
menatap tajam ke dalam perahu tersebut. Perahu itu kecil dan biasa
digunakan untuk membawa barang. Benda itu sudah nyaris pecah,
lembap karena lumut, dan miring sekali. Meski demikian, perahu itu
bisa digunakan untuk menyeberang. Yang menarik perhatian si
prajurit adalah seorang laki-laki yang tertidur nyenyak sambil
mendengkur di bawah tikar usang. Pakaiannya ganjil. Baik lengan
baju maupun kaki celananya pendek, dan di bawah bajunya yang putih
kusam ia memakai pembalut kaki dan tangan. Kakinya yang telanjang
dilindungi sandal jerami. Tampaknya ia bukan lagi anak kecil, tapi
juga belum dewasa benar. Ia tidur telentang di bawah langit
terbuka, embun malam menempel pada alis dan bulu matanya. Tidurnya
tampak begitu damai.
"Hei, kau!" Si prajurit berusaha membangunkannya, namun karena
orang itu tidak bereaksi sama sekali, ia kembali menegur dan
mendorong dada orang itu dengan gagang tombak.
"Hei, kau, bangun!" Hiyoshi membuka mata, menggenggam gagang
tombak itu sambil me-
lepaskan seruan tertahan, dan membalas tatapan si prajurit. Air
yang berputar-putar di sekeliling perahu hampir bisa dianggap
sebagai cerminan kehidupan Hiyoshi saat itu. Pada malam dingin
di bulan pertama tahun sebelumnya, ketika ia meninggalkan ibu dan
kakaknya, ia berpesan pada mereka bahwa ia akan kembali setelah
menjadi orang besar. Ia tidak berminat untuk berpindah-pindah dari
satu pekerjaan ke pekerjaan berikutnya, magang di tempat saudagar
dan pengrajin seperti yang dilakukan-nya selama ini. Yang paling
diinginkannya adalah mengabdi pada seorang samurai. Tapi
penampilannya tidak mendukung, dan ia tidak memiliki bukti mengenai
kelahiran maupun garis keturunan.
Kiyosu, Nagoya, Sumpu, Odawarasemuanya sudah ia kunjungi.
Kadang-kadang ia mengerahkan segenap keberaniannya dan berdiri di
depan pintu kediaman seorang samurai, tapi setiap kali
permohonannya ditampik dengan tawa dan cemooh. Suatu kali ia bahkan
diusir dengan sapu. Persediaan
79
-
uangnya menipis dengan cepat, dan ia menyadari bahwa dunia
ternyata persis seperti yang digambarkan bibinya di Yabuyama. Meski
demikian, ia menolak untuk melepaskan impiannya, dan tetap percaya
bahwa cita-citanya masuk akal. Ia tidak malu untuk menceritakan
ambisinya pada siapa pun, walau harus bermalam di tempat terbuka,
di rumput, atau, seperti malam ini, dengan air sebagai alas tidur.
Bagaimana membuat ibunya, yang ia anggap orang paling tidak bahagia
di dunia, menjadi orang vang paling bahagiaitulah yang mendorong
semangatnya. Dan bagaimana ia dapat melakukan sesuatu untuk
kakaknya yang malang, yang berpendapat bahwa ia takkan pernah bisa
menikah?
Ia sendiri juga menyimpan berbagai keinginan. Perutnya tak
pernah terasa penuh, tak peduli seberapa banyak ia makan. Melihat
rumah-rumah besar, ia ingin hidup di tempat-tempat seperti itu, dan
setiap samurai gagah yang dilihatnya membuatnya tersadar akan
penampilannya sendiri; melihat wanita-wanita cantik, ia terpesona
oleh minyak wangi mereka. Sebenarnya prioritasnya belum berubah.
Kebahagiaan ibunya tetap menduduki urutan teratas. Kepentingannya
sendiri bisa diselesaikan belakangan. Untuk sementara ia cukup
gembira dengan berkelana dari satu tempat ke tempat lain, tak
memedulikan rasa lapar, dan terus mempelajari hal-hal barumengenai
perputaran dunia, nafsu manusia, adat kebiasaan di berbagai daerah.
Ia berusaha memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi di
sekitarnya, mem-bandingkan kekuatan militer berbagai provinsi, dan
mengamati cara hidup para petani dan penduduk kota.
Sejak permulaan perang saudara menjelang akhir abad lalu, banyak
orang telah berlatih ilmu bela diri. Ini berarti hidup penuh
penderitaan, dan selama satu setengah tahun Hiyoshi mengikuti cara
hidup para pendekar. Tapi ia tidak membawa-bawa pedang panjang
untuk menyempurnakan kemampuan bela diri. Dengan sisa uangnya, ia
malah membeli jarum-jarum dari seorang grosir dan menjadi pedagang
keliling. Ia berjalan jauh sampai ke Kai dan Hokuetsu, selalu siap
menawarkan dagangannya. "Butuh jarum? Belilah jarum jahit dari
Kyoto. Kalau tidak beli, rugi sendiri. Jarum untuk katun, jarum
untuk sutra. Jarum jahit dari Kyoto." Penghasilannya amat kecil,
hanya cukup untuk menyambung hidup seadanya. Namun pikirannya tidak
menjadi picik, berbeda dengan para pedagang pada umumnya, yang
memandang dunia hanya dari sudut barang dagangan mereka.
Marga Hojo di Odawara, marga Takeda di Kai, marga Imagawa di
Suruga. Ketika mengunjungi kota-kota benteng di utara, ia merasakan
bahwa dunia sedang bergejolak, mengalami perubahan besar. Ia
menarik kesimpulan bahwa kejadian-kejadian di masa mendatang akan
berbeda dari penempuran-pertempuran kecil yang sampai sekarang
menjadi ciri perselisihan dalam negeri. Bakal terjadi perang besar
yang akan mengobati seluruh luka yang diderita negeri ini. Dan
kalau memang begitu, ia berkata dalam hati sambil menjajakan
dagangannya, aku pun... Dunia sudah mulai jemu
80
-
dengan rezim Ashikaga yang jompo. Di mana-mana terjadi
kekacauan, dan dunia sedang menunggu kita yang masih muda.
Selama menempuh perjalanan dari provinsi-provinsi di utara ke
Kyoto dan Omi, ia telah belajar sedikit mengenai kehidupan. la
melintas ke Owari dan tiba di Okazaki, karena mendengar bahwa
saudara ayahnya tinggal di kota benteng itu. Ia tidak biasa
mendatangi sanak saudara atau kenalan untuk minta makanan dan
pakaian, tapi di awal musim panas itu badannya menjadi lemah, dan
ia menderita keracunan makanan yang cukup parah. Ia juga ingin
mendengar kabar mengenai keadaan di rumah-nya.
Selama dua hari ia berjalan di bawah terik matahari, tapi belum
berhasil menemukan orang yang dicarinya. Setelah makan mentimun
mentah dan minum air dari sebuah sumur, ia merasakan nyeri yang
menusuk-nusuk di lambung. Pada malam harinya ia menyusuri tepi
Sungai Yahagi, sampai menemukan sebuah perahu. Perutnya keroncongan
dan terasa sakit. Mungkin karena menderita demam ringan, mulutnya
kering dan serasa penuh duri. Dalam keadaan seperti ini pun ia
teringat ibunya, dan ibunya muncul dalam mimpinya. Kemudian ia
tertidur pulas, dan segala sesuatubaik ibunya, nyeri di lambungnya,
maupun langit dan bumiseakan-akan lenyap. Sampai kemudian si
prajurit mulai mendorong-dorong dadanya dengan tombak.
Seruan Hiyoshi saat terjaga tidak sebanding dengan ukuran
tubuhnya. Secara naluri ia meraih gagang tombak. Di masa itu, dada
seseorang dianggap sebagai tempat jiwanya, dan seolah-olah
merupakan tempat suci di dalam tubuh.
"Hei, kerdil, bangun!" Si prajurit berusaha menarik tombaknya.
Hiyoshi tetap menggenggamnya,
lalu duduk tegak. "Bangun? Aku sudah bangun." Si prajurit,
setelah merasakan kekuatan genggaman Hiyoshi, melotot dan
berkata, "Keluar dari perahu!" "Keluar?" "Ya, sekarang juga!
Kami butuh perahu itu, jadi menyingkirlah. Pergi
dari sini!" Dengan kesal Hiyoshi duduk lagi. "Bagaimana kalau
aku tidak mau?"
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" "Apa maksudmu?" "Aku tidak mau
keluar dari perahu." "Bajingan cilik!" "Siapa sebenarnya yang
bajingan? Membangunkan orang yang sedang
tidur lelap dengan gagang tombak, lalu menyuruhnya keluar dan
pergi?" "Kurang ajar! Jaga mulutmu. Kaupikir aku siapa?"
81
"Apa?"
-
"Seorang laki-laki." "Itu sudah jelas." "Kau sendiri yang
tanya." "Hei, kerdil, lancang betul mulutmu! Tapi sedetik lagi
mulutmu mungkin
mengkerut. Kami orang-orang Hachisuka. Pemimpin kami Hachisuka
Koroku. Kami tiba di sini tengah malam, dan kami butuh perahu untuk
menyeberangi sungai."
"Kau melihat perahu, tapi tidak melihat orang di dalamnya. Lagi
pula, aku sedang memakai perahu ini!"
"Aku melihatmu dan membangunkanmu. Sekarang keluar dan pergi
dari sini."
"Kau memang menjengkelkan." "Coba ulangi?" "Terserah kau
sajalah. Aku tidak mau keluar. Aku takkan menyerahkan
perahu ini." Si prajurit menyentakkan tombaknya agar Hiyoshi
tertarik ke tepi.
Memilih saat yang tepat, Hiyoshi melepaskan genggamannya. Tombak
itu membabat daun-daun pepohonan, dan si prajurit terhuyung-huyung
ke belakang. la membalikkan tombak dan melemparkannya ke arah
Hiyoshi. Papan-papan kayu lapuk, sebuah ember, serta tikar
alang-alang beterbangan.
"Dungu!" Hiyoshi mengejek. Prajurit-prajurit lain berdatangan.
"Berhenti! Ada apa ini?" ujar salah satu dari mereka. "Siapa itu?"
tanya yang lain. Mereka berkerumun, ribut-ribut, dan tak lama
kemudian Koroku dan
sisa anak buahnya muncul. "Kalian berhasil menemukan perahu?"
Koroku bertanya. "Di sini ada perahu, tapi..." Tanpa berkata
apa-apa, Koroku melangkah maju. Hiyoshi segera sadar
bahwa orang ini pemimpin para prajurit. la duduk sedikit lebih
tegak dan menatap wajah Koroku. Pandangan Koroku terpaku pada
Hiyoshi. Kedua-duanya tidak berbicara. Koroku tak sempat
memperhatikan penampilan Hiyoshi yang aneh. la terlalu terkesan
oleh cara Hiyoshi memandang tepat ke matanya. Dia lebih berani dari
yang kuduga, pikir Koroku. Semakin lama mereka saling memandang,
mata Hiyoshi semakin menyerupai mata binatang malam, bercahaya
dalam gelap. Akhirnya Koroku memalingkan wajah.
"Cuma anak kecil," ia berkata dengan tenang. Hiyoshi tidak
menjawab. Matanya yang tajam masih tetap terarah pada
wajah Koroku. "Dia cuma anak kecil," Koroku berkata lagi. "Kau
bicara tentang aku?" tanya Hiyoshi sambil merengut. "Tentu saja.
Memangnya ada orang selain kau di bawah sana?"
82
-
Hiyoshi membidangkan bahunya sedikit. "Aku bukan anak kecil. Aku
sudah melewati upacara akil balig."
"Oh, begitu?" Kedua bahu Koroku terguncang-guncang karena
tertawa. "Kalau kau sudah dewasa, aku akan memperlakukanmu seperti
orang dewasa."
"Setelah berhasil mengepungkuyang cuma sendiriandengan
sekelom-pok orang, apa yang akan kaulakukan terhadapku? Kurasa
kalian ronin."
"Kau lucu sekali." "Sama sekali tidak. Aku sedang tidur lelap
tadi. Lagi pula perutku sakit.
Dan aku tak peduli siapa kalian. Aku takkan pindah." "Hmm,
perutmu sakit?"
"Ada apa rupanya?" "Keracunan makanan, mungkin, atau sengatan
matahari." "Dari mana kau berasal?" "Nakamura di Owari." "Nakamura?
Hmm, hmm. Siapa nama keluargamu?" "Aku takkan memberitahukan nama
keluargaku padamu, tapi aku diberi
nama Hiyoshi. Tapi tunggu dulu, apa-apaan ini, membangunkan
orang dari tidur lalu bertanya tentang orangtua? Asalmu dari mana,
dan bagaimana garis keturunanmu?"
"Seperti kau, aku pun berasal dari Owari, dari Desa Hachisuka.
Namaku Hachisuka Koroku. Aku tidak tahu ada orang seperti kau di
dekat desa kami. Apa pekerjaanmu?"
Hiyoshi bukannya menjawab, malah berkata, "Ah, kau dari daerah
Kaito? Itu tidak jauh dari desaku." Tiba-tiba sikapnya lebih
bersahabat. Inilah kesempatan untuk menanyakan berita mengenai
Nakamura. "Hmm, karena kita berasal dari daerah yang sama, aku
berubah pikiran. Kau boleh ambil perahu ini."
la meraih buntalan barang dagangan yang digunakannya sebagai
bantal, menyandangnya ke bahu, dan naik ke tepian. Tanpa berkata
apa-apa, Koroku mengamati setiap gerakannya. Yang pertama menarik
perhatiannya adalah lagak pedagang jalanan yang ditampilkan
Hiyoshi, serta jawaban-jawaban spontannya sebagai remaja yang
berkelana ke sana kemari seorang diri. Hiyoshi menerima nasibnya,
mendesah, dan dengan berat hati mulai melangkahkan kaki.
"Tunggu, Hiyoshi. Hendak ke mana kau sekarang?" "Perahuku sudah
diambil alih, jadi aku tak punya tempat untuk tidur.
Kalau aku tidur di rumput, aku akan basah karena embun, dan
perutku semakin sakit. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku akan
berputar-putar sampai subuh."
"Kalau mau, kau bisa ikut denganku." "Ke mana?"
83
"Ya."
-
"Hachisuka. Tinggallah di tempatku. Kami akan memberimu makan
dan merawatmu sampai sembuh."
"Terima kasih." Hiyoshi membungkuk perlahan. Sambil menatap
kakinya, ia memikirkan langkah selanjutnya. "Apakah itu berarti aku
boleh tinggal di sana dan bekerja untukmu?"
"Aku suka pembawaanmu. Kau punya masa depan. Kalau kau mau
bekerja untukku, aku akan menerimamu."
"Aku tidak mau." Ia mengucapkannya dengan regas, dengan kepala
terangkat tinggi. "Cita-ciraku adalah mengabdi pada seorang
samurai, dan aku telah membanding-bandingkan para samurai dan
penguasa provinsi di banyak provinsi. Aku sampai pada kesimpulan
bahwa jika ingin mengabdi pada seorang samurai, yang paling penting
adalah memilih samurai yang tepat. Kita tidak boleh sembarangan
memilih majikan."
"Ha ha! Ini semakin menarik saja. Apakah aku, Koroku, kurang
pantas menjadi majikanmu?"
"Aku takkan tahu sampai aku mulai bekerja untukmu, tapi nama
marga Hachisuka tidak terlalu harum di desaku. Dan pemilik rumah
tempat aku bekerja sebelum ini dirampok oleh seseorang yang
kabarnya anggota marga Hachisuka. Ibuku akan sakit hati kalau aku
bekerja untuk pencuri, jadi aku tak bisa pergi ke rumah orang
seperti itu dan mengabdi padanya."
"Hmm, kutebak kau sempat bekerja untuk si saudagar tembikar,
Sutejiro." "Dari mana kau tahu itu?" "Tadinya Watanabe Tenzo memang
anggota marga Hachisuka. Tapi aku
sendiri telah mencoret bajingan itu dari antara kerabat kami.
Dia lolos, tapi kami mengalahkan gerombolannya, dan kini kami dalam
perjalanan pulang. Apakah fitnah mengenai nama Hachisuka juga sudah
sampai ke telingamu?"
"Hmm. Kelihatannya kau tidak seperti dia." Hiyoshi mengatakannya
dengan terus terang, sambil menatap wajah Koroku. Kemudian,
seakan-akan baru teringat sesuatu, ia berkata, "Apa aku boleh ikut
sampai ke Hachisuka, tanpa ikatan, tentunya? Aku ingin mengunjungi
saudaraku di Futatsudera."
"Futatsudera terletak persis di sebelah Hachisuka. Siapa yang
kaukenal di sana?
"Si pembuat kandang ayam Shinzaemon merupakan saudara dari pihak
ibuku."
"Shinzaemon berdarah samurai. Hmm, kalau begitu ibumu juga
keturunan samurai."
"Sekarang ini aku memang pedagang, tapi ayahku samurai."
Orang-orang telah menaiki perahu dan memasang tongkat, dan kini
menunggu Koroku menyusul. Koroku merangkul bahu Hiyoshi dan
berdua mereka naik ke perahu.
"Hiyoshi, kalau kau mau pergi ke Futatsudera, pergilah ke
Futatsudera. Kalau kau mau tinggal di Hachisuka, itu pun boleh
saja."
84
-
Karena tubuhnya kecil, Hiyoshi tersembunyi di tengah orang-orang
dan tombak-tombak mereka yang rapat bagaikan hutan. Perahu itu
menyeberangi sungai yang lebar dan berarus deras, sehingga
penyeberangan itu makan waktu. Hiyoshi mulai bosan. Tiba-tiba ia
melihat kunang-kunang di pung-gung salah seorang prajurit Koroku.
Sambil melengkungkan telapak tangan, ia menangkapnya dan
mengamatinya berkedap-kedip.
85