Top Banner
MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING) UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN Bab I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Saat ini sekitar 60% kemiskinan Indonesia berada di Pedesaan, dan lebih dari 70% kemiskikan di pedesaan tersebut terkait dengan pertanian. Perbaikan kondisi pertanian berupa strategi, regulasi, tataniaga, implementasi, manajemen, kelembagaan, teknologi, dll., akan memperbaiki seluruh aspek dan sendi kehidupan yang terlibat. Hal ini karena pertanian telah menjadi way of life dan sumber kehi-dupan bagi sebagian besar masyarakat kita. Namun demikian, masyarakat masih memiliki paradigma pola pikir lama yang memandang pertanian hanyalah urusan bercocok tanam yang sekedar menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi sendiri. Pada awalnya untuk menghasilkan lebih banyak pangan memerlukan luasan lahan budidaya, sehingga lahan merupakan sumberdaya pertanian yang utama. Dengan dimulainya revolusi hijau (intesifikasi pertanian), kepentingan nisbi lahan berkurang karena masukan pertanian ~ pupuk, mekanisasi, pestisida, irigasi, dan benih unggul ~ memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kenaikan produksi pangan. Sebagian kebutuhan lahan disulih oleh teknologi. Saat ini kebutuhan lahan kembali mencuat karena hasil panen yang semakin menurun sehubungan dengan penurunan produksi dan penyempitan lahan pertanian yang dialih- fungsikan, sedangkan kebutuhan pangan terus meningkat. Pulau Jawa setidaknya kehilangan 20.000 ha lahan pertanian setiap tahun akibat pemekaran kota di mana luasan lahan tersebut mampu menyediakan beras untuk 378.000 orang tiap tahun. Akibatnya lahan menjadi sumberdaya pertanian yang nilainya terus meningkat. Penurunan produktivitas lahan pertanian disebabkan oleh terdegradasinya fungsi hayati lahan, yaitu kemampuan/kapasitasnya mengubah hara menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan tanaman. Dengan pengertian ini, konsep kesuburan tanah harus dapat lebih mengedepankan sifat-sifat hayati tanah daripada sifat fisik-kimia tanah. Karena menyangkut kehidupan hayati tanah (edafon), maka istilah kesuburan tanah dalam konsep ini lebih tepat digunakan istilah kesehatan tanah. PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 1
30

001 Integrated Farming

Jul 30, 2015

Download

Documents

justviet79
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

Bab IPENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Saat ini sekitar 60% kemiskinan Indonesia berada di Pedesaan, dan lebih dari 70% kemiskikan di pedesaan tersebut terkait dengan pertanian. Perbaikan kondisi pertanian berupa strategi, regulasi, tataniaga, implementasi, manajemen, kelembagaan, teknologi, dll., akan memperbaiki seluruh aspek dan sendi kehidupan yang terlibat. Hal ini karena pertanian telah menjadi way of life dan sumber kehi-dupan bagi sebagian besar masyarakat kita. Namun demikian, masyarakat masih memiliki paradigma pola pikir lama yang memandang pertanian hanyalah urusan bercocok tanam yang sekedar menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi sendiri.

Pada awalnya untuk menghasilkan lebih banyak pangan memerlukan luasan lahan budidaya, sehingga lahan merupakan sumberdaya pertanian yang utama. Dengan dimulainya revolusi hijau (intesifikasi pertanian), kepentingan nisbi lahan berkurang karena masukan pertanian ~ pupuk, mekanisasi, pestisida, irigasi, dan benih unggul ~ memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kenaikan produksi pangan. Sebagian kebutuhan lahan disulih oleh teknologi.

Saat ini kebutuhan lahan kembali mencuat karena hasil panen yang semakin menurun sehubungan dengan penurunan produksi dan penyempitan lahan pertanian yang dialih-fungsikan, sedangkan kebutuhan pangan terus meningkat. Pulau Jawa setidaknya kehilangan 20.000 ha lahan pertanian setiap tahun akibat pemekaran kota di mana luasan lahan tersebut mampu menyediakan beras untuk 378.000 orang tiap tahun. Akibatnya lahan menjadi sumberdaya pertanian yang nilainya terus meningkat.

Penurunan produktivitas lahan pertanian disebabkan oleh terdegradasinya fungsi hayati lahan, yaitu kemampuan/kapasitasnya mengubah hara menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan tanaman. Dengan pengertian ini, konsep kesuburan tanah harus dapat lebih mengedepankan sifat-sifat hayati tanah daripada sifat fisik-kimia tanah. Karena menyangkut kehidupan hayati tanah (edafon), maka istilah kesuburan tanah dalam konsep ini lebih tepat digunakan istilah kesehatan tanah.

Revolusi hijau gencar disosialisasikan melalui sistem Bimas atau LAKU dan semacamnya ~ BIMAS (sejak 1963/1964), sistem LAKU (1976) sistem INSUS (1979) dan sistem SUPRA INSUS (1986), melalui inovasi teknologi Sapta Usaha Pertanian secara lengkap (Abbas, 1995). Awalnya, revolusi hijau di Indonesia mampu meningkatkan produksi pangan (khususnya padi) secara spektakuler. Namun sukses tersebut harus dibayar mahal. Berbagai masalah serius sekarang bermunculan akibat revolusi hijau: kerusakan lingkungan (ekosistem), marjinalisasi petani gurem dan buruh tani, rendahnya tingkat pendapatan petani, ketidakmandirian petani, dan ketidaksehatan produk yang dikonsumsi masyarakat. Peningkatan produktivitas lahan yang dicapai belum bisa mengangkat taraf kehidupan petani ke tingkat yang lebih baik. Masalah tersebut menunjukkan kekeliruan penerapan kebijakan revolusi hijau.

Selama dekade tahun 1970-an, diperkirakan Indonesia telah kehilangan produksi padi senilai lebih dari US$ 10 miliar akibat serangan hama wereng batang coklat (WBC), sedangkan pada tahun 1997, Indonesia telah kehilangan produksi

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 1

Page 2: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

padi sebesar 10 juta ton akibat serangan hama wereng batang coklat (Suara Pembaruan, 19 Juli 1998).

Pada bulan Januari 1988, Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Departement of Agriculture/USDA) telah mereformasi kebijakan pertaniannya. USDA mengeluarkan kebijakan bersejarah, yaitu Low-Input Sustainable Agriculture (LISA). LISA adalah suatu sistem pertanian terpadu yang merupakan kombinasi dari berbagai teknologi atau metode bertani yang dipadukan dalam suatu rencana manajemen yang utuh. Kombinasi tersebut terdiri atas berbagai macam metode bertani, seperti: pengendalian hama terpadu, kontrol biologis, dan pergiliran tanaman yang berbasiskan tanaman kacang-kacangan (legume).

1.2TUJUAN

Menentukan kebijakan dan strategi teknis yang mampu mengatasi kelemahan revolusi hijau, di antaranya yang dapat:

(1) Meningkatkan kesejahteraan petani terutama kelompok masyarakat yang mata pencahariannya berkaitan langsung dengan sumberdaya pertanian.

(2) Memanfaatkan kekosongan kegiatan pada waktu luang dan menguatkan cashflow usaha tani dengan melakukan diversivikasi horisontal pada usaha tani.

(3) Menerapkan LEISA (Low External Inputs for Sustainable Agriculture) sehingga tercapai efisiensi biaya yang akan menurunkan harga pokok produksi.

(4) Menerapkan prinsip 6-R (Rethinking-Reducing-Recovering-Reusing-Recycling-Responding) atau dalam pengelolaan biomass.

(5) Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif produk pertanian baik produk primer maupun olahan, sehingga memiliki daya saing yang kuat.

(6) Menjaga dan meningkatkan kualitas sumberdaya petani.

(7) Menuju ke arah pertanian organik sebagai persyaratan mutlak menuju era perdagangan bebas yang menginginkan produk pertanian dan olahannya yang sehat/aman untuk dikonsumsi.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 2

Page 3: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

Bab IIPRINSIP 6-R

Minimisasi limbah pertanian, merupakan cara pencegahan untuk mengatasi ragam dan jumlah limbah yang dihasilkan dari aktivitas usaha tani, mengingat jumlah limbah tidak mungkin berkurang. Pengelolaan limbah pertanian secara terintegrasi diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal bagi kegiatan minimisasi limbah.

Prinsip 6-R (Rethinking-Reducing-Recovering-Reusing-Recycling-Res-ponding) nampaknya dapat membantu upaya minimisasi limbah pertanian, dan oleh karena itu perlu disosialisasikan secara luas. Adapun Prinsip 6-R dapat dijelaskan dalam Sub-Bab 2.1 s/d Sub-Bab 2-6 di berikut ini.

2.1PRINSIP R-1: RETHINKING (BERFIKIR-ULANG)

Yang dimaksud dengan Rethinking (berpikir-ulang) adalah mengubah pola pikir dan cara pandang masyarakat terhadap limbah atau sampah, yakni dari ’limbah atau sampah sebagai barang tak berguna dan tak memiliki nilai lingkungan maupun nilai ekonomi’ menjadi ’limbah atau sampah sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan-ulang untuk memperoleh nilai manfaat bagi lingkungan dan nilai ekonomi yang cukup menjanjikan.’

Rethinking, dengan demikian, adalah pergeseran paradigma dalam penanganan limbah atau sampah, yang tidak lagi sekedar membuang limbah atau sampah, me-lainkan memanfaatkan-ulang limbah atau sampah dengan berbagai cara yang sesuai dengan karakteristik masing-masing jenis limbah atau sampah tersebut.

Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana cara memanfaatkan-ulang sampah atau limbah ini sehingga menghasilkan produk lain yang memiliki nilai ling-kungan dan nilai ekonomis. Jawabannya dapat dicermati secara ringkas dalam 3-R dari Prinsip 6R sebagai berikut:

(1) Recovering (mendapatkan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang ba-rang atau benda yang masih tersisa di dalam limbah – terutama limbah industri – karena proses produksi berlangsung kurang efisien, sehingga rendemen (out-turn = nisbah antara volume produk jadi terhadap volume bahan baku) rendah. Contohnya, sludge dari proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO (Crude Palm Oil) yang dibuang biasanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar, yaitu de-ngan cara memisahkan sisa-sisa CPO yang ikut terbuang bersama substrat limbah cair dan padat, untuk diproses lebih lanjut secara tradisional menjadi olein (minyak goreng).

(2) Reusing (penggunaan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang ’apa adanya’ sebagian atau seluruh sampah atau limbah atau barang-barang bekas lainnya untuk menghasilkan produk/barang lain atau untuk kebutuhan lain yang ber-manfaat. Contohnya adalah memanfaatkan botol bekas kemasan ’strawberry jam’

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 3

Page 4: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

atau ’peanut butter’ untuk wadah pemeliharaan ikan cupang (laga), wadah bumbu dapur; memanfaatkan karung bekas pupuk untuk tempat gabah, dsb.

(3) Recycling (mendaur-ulang) adalah tindakan mendaur-ulang sebagian atau seluruh sampah atau limbah untuk menghasilkan produk/barang lain yang lazimnya berbeda bentuk dan sifatnya dari produk/barang aslinya. Contohnya adalah pendaur-ulangan kertas-kertas bekas untuk menghasilkan kertas seni (artistic paper) atau kertas koran.

Efektivitas pelaksanaan minimisasi limbah hanya bisa dicapai apabila disertai dengan perubahan pola pikir masyarakat dalam memperlakukan limbah atau sampah. Peningkatan konsumsi masyarakat akan suatu produk barang – baik dalam ragam maupun jumlah – secara alamiah terjadi apabila taraf hidup masyarakat meningkat. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah pola konsumsi masya-rakat yang selama bertahun-tahun telah terbentuk akibat pengaruh propaganda barang konsumsi melalui berbagai media massa.

2.2PRINSIP R-2: REDUCING (MENGURANGI)

Reducing (mengurangi) adalah tindakan paling pokok dan paling efektif dalam pengelolaan limbah, yakni mengurangi potensi terjadinya limbah atau sampah di tempat lain (yakni selama transportasi, selama di pasaran, dan pada saat dikonsumsi) mulai dari tempat asal produk atau barang yang bersangkutan.

Tindakan pengurangan potensi terjadinya sampah atau limbah ini berlaku bagi barang-barang yang berkaitan dengan rumah tangga, industri, dan perniagaan, baik yang bersifat awet (durable) maupun tidak awet (indurable). Tindakan pengu-rangan potensi terjadinya sampah atau limbah bagi suatu produk atau barang ini lazimnya dapat

meningkatkan kualitas dan sanitasi produk atau barang yang bersangkutan. Beberapa contoh mengenai hal ini dapat disajikan sebagai berikut:

(1) Para tengkulak sayur di Cipanas, Pangalengan, dan Garut lazimnya mengang-kut kol (cabbage), kembang kol (cauliflower), dan wortel (carrot) bersama-sama dengan lembar-lembar daun yang sebenarnya tidak akan dikonsumsi. Tujuan-nya adalah untuk menjaga agar bagian-bagian sayur yang dapat dikonsumsi tidak mudah rusak selama transportasi atau muat-bongkar di pasar. Di tempat pemasaran, bagian-bagian sayur yang tidak akan dikonsumsi tersebut dikupas dan dibuang, dan demikian timbullah sampah pasar yang sebagian besar terdiri atas sisa-sisa sesayuran.

Lain halnya dengan yang dilakukan oleh pemasok sayuran ke supermarket. Mereka pada umumnya membersihkan sayuran di kebun atau di tempat pengum-pulan sayur. Kemudian sayuran yang sudah bersih dan dapat dikonsumsi se-luruhnya, dikemas rapih dan dimasukkan ke dalam wadah yang bersih. Kualitas dan sanitasi sayuran jauh lebih baik daripada sayuran yang dijelaskan di atas.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 4

Page 5: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

Sampai di tempat pemasaran, yakni di supermarket, sayuran ini tidak menghasil-kan sampah sedikit pun, melainkan langsung dipajang di lemari berpendingin.

Tindakan yang dilakukan oleh tengkulak sayur pertama belum menerapkan prin-sip Reducing, sedangkan yang dilakukan oleh pemasok supermarket telah mene-rapkan prinsip Reducing. Tengkulak sayur pertama menyebabkan Pasar Induk Kramatjati kumuh dan harga sayurnya relatif murah, sedangkan pemasok super-market membuat supermarket tetap bersih dan harga sayurnya pun lebih mahal.

Sisa-sisa sayuran yang ditinggalkan di kebun atau di tempat pengumpulan da-pat dimanfaatkan-ulang untuk pakan ternak atau pakan ikan gurame, atau didaur-ulang menjadi kompos yang dapat digunakan untuk memupuk tanaman sayuran pada musim tanam berikutnya. Sisa-sisa sayuran di Pasar Induk Kramatjati dan di pasar-pasar tradisional dibuang menjadi sampah, yang mem-buat lingkungan perkotaan menjadi kumuh. Akhirnya, sampah ini dibuang ke TPA, yang juga menimbulkan masalah sosial dan dampak lingkungan.

(2) Pergeseran gaya hidup memang telah memper-buruk cara pandang terhadap produk dan limbah. Kecenderungan untuk mendapatkan produk berkualitas lebih baik dan lebih praktis telah membuat ibu-ibu rumahtangga memilih produk-produk kemasan pabrik daripada produk-produk curah, misalnya gula, tepung terigu, minyak goreng, dsb. Padahal, plastik pembungkus gula dan tepung terigu serta botol plastik pengemas minyak goreng akhirnya menjadi limbah dan dibuang cuma-cuma. Seandainya teknologi produksi dan pengemasan produk tidak ‘secanggih’ sekarang dan gaya hidup masyarakat masih tetap ‘sederhana,’ maka limbah rumahtangga berupa berbagai jenis kemasan tidak akan terjadi.

(3) Ada perbedaan mencolok antara membeli makanan ‘jajan pasar’ yang dibung-kus dengan daun pisang, membeli nasi di warteg yang dibungkus dengan ‘ker-tas berlaminasi plastik,’ dan membeli makan siang di outlet franchise semacam Kentucky Fried Chicken atau Hoka Hoka Bento yang dikemas dalam lunch-box mewah. Limbah dari ‘jajan pasar’ berupa limbah organik yang mudah terurai; buangan pembungkus nasi warteg pada prinsipnya juga tidak terlalu sulit ter-urai, walaupun tidak dapat dikatakan penghematan hutan untuk membuat ker-tas; sedangkan limbah berupa lunch-box dari outlet waralaba jelas-jelas meru-pakan pemborosan sumberdaya hutan (bahan baku pulp & kertas), biaya cetak, dan rata-rata akhirnya dibuang begitu saja.

2.3PRINSIP R-3: RECOVERING (MENDAPATKAN-ULANG)

Seperti telah disinggung di muka, Recovering adalah tindakan memanfaatkan-ulang barang atau benda yang masih tersisa di dalam limbah karena proses produksi berlangsung kurang efisien, sehingga rendemen (out-turn = nisbah antara volume produk jadi terhadap volume bahan baku) rendah. Tindakan recovery nampaknya lebih sesuai bagi industri penghasil barang daripada bagi kehidupan rumahtangga.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 5

Page 6: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

Selain contoh dalam industri CPO di muka, berikut ini disajikan beberapa contoh mengenai penerapan prinsip Recovering, terutama yang berkaitan dengan ‘kesalahan’ kebijakan pembangunan industri nasional selama dasawarsa 1980-an, yakni ‘relokasi industri’ dari negara-negara yang industrinya telah lebih maju daripada Indonesia:

(1) Ketika pemerintah Indonesia melarang ekspor kayu bulat (log) dari hutan alam pada dasawarsa 1980-an dalam rangka memajukan industri pengolahan kayu dalam negeri, maka banyak industri kayu lapis (plywood) di Jepang, Taiwan, dan Korea yang membongkar instalasi mesin-mesinnya, kemudian menjualnya ke Indonesia. Ir. Hartarto (Menteri Perindustrian ketika itu) dan Ginandjar Kartasasmita (Ketua BKPM dan Menteri Negara Peningkatan Penggunaan Pro-duksi Dalam Negeri ketika itu) mencanangkan kebijakan ‘relokasi industri’ dan mem-beri izin puluhan industri pengolahan kayu untuk merelokasi mesin-mesin plywood bekas dari Jepang, Taiwan, dan Korea.

Mesin-mesin plywood bekas dari Jepang, Taiwan, dan Korea tersebut, khususnya mesin pengupas veneer (rotary), masih belum mampu meminimkan sisa kayu bulat (center-log), dan hanya mampu menyisakan center-log berdiameter 27 cm. Sisa center-log ini sebenarnya masih dapat menghasilkan satu lembar plywood 120 cm x 240 cm setebal 0,3 s/d 0,5 cm. Dalam kondisi seperti ini, rendemen industri plywood rata-rata kurang dari 50% (berkisar 45,5% s/d 48,5%), dan hal seperti ini berlangsung terus hingga kini.

Limbah industri plywood berupa veneer sobek dan center-log dimanfaatkan oleh penduduk sekitar pabrik. Veneer sobek dirangkai lagi dengan cara direkat menggunakan kertas-berperekat untuk mendapatkan veneer utuh, yang dijual ke pabrik plywood lain untuk diproses lebih lanjut menjadi plywood. Sisa veneer lainnya dimanfaatkan untuk membuat berbagai produk, termasuk komponen furniture, perlengkapan makan dari veneer, dsb. Center-log dirajang untuk dijadikan berbagai produk kayu yang bernilai tinggi, termasuk pinsil, tangkai sapu untuk diekspor, dan perlengkapan rumahtangga. Apa yang dilakukan oleh ‘pemulung’ limbah industri plywood termasuk tindakan recovery, dan mungkin tidak akan terjadi seandainya pemerintah ketika itu tidak mengambil kebijakan ’relokasi industri’ dengan mengimpor ’teknologi aus.’

(2) Sebuah pabrik pengolahan makanan di Cilegon – milik kelompok supermarket terbesar yang menguasai pangsa pasar makanan basah dalam kemasan di Indonesia – mengolah jagung menjadi berbagai produk makanan. Oleh karena efisiensi mesin untuk proses ekstraksi dan hidrolisis jagung sangat rendah, limbah dari proses produksi ini masih mengandung serat dan protein kasar cukup tinggi.

Setiap bulan rata-rata dihasilkan tidak kurang dari 700 ton limbah berupa substrat padat. Limbah ini dijual dengan harga Rp 100 – Rp 150 per kg kepada para ‘pemulung’ untuk diolah lagi menjadi pakan ternak. Pakan ternak dijual ke peternak peng-gemuk domba dan sapi, sedangkan limbah akhir (sisanya) diproses menjadi kompos. Apa yang dilakukan oleh ‘pemulung’ ini juga merupakan tindakan recovery, dan mungkin tidak akan terjadi seandainya pabrik

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 6

Page 7: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

pengolahan makanan tersebut menggunakan mesin-mesin berteknologi lebih mutakhir.

2.4PRINSIP R-4: REUSING (MENGGUNAKAN-ULANG)

Reusing (penggunaan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang ‘apa adanya’ sebagian atau seluruh sampah atau limbah atau barang-barang bekas lainnya untuk menghasilkan produk/barang lain atau untuk kebutuhan lain yang bermanfaat. Cukup banyak contoh penerapan prinsip Reusing ini yang dapat dilakukan di lingkungan rumah-tangga dan tempat kerja. Banyak produk kebutuhan rumahtangga yang dapat digunakan lebih dari satu kali. Produk-produk atau kemasan-kemasan produk yang dapat digunakan-ulang ini harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menghasilkan buangan limbah. Jika hal ini dapat dilakukan, maka kita secara langsung telah melakukan konservasi (penghematan) bahan dan sumberdaya. Beberapa di antaranya adalah:

(1) Sebagaimana telah disinggung di muka, botol bekas kemasan ‘strawberry jam’ dan ‘peanut butter’ dapat digunakan-ulang, sekurang-kurangnya untuk keperluan sebagaimana terlukis pada gambar berikut ini:

BERBAGAI ALTERNATIF PENGGUNAAN-ULANG BOTOL BEKAS KEMASAN ‘STRAWBERRY JAM’

(a) Dicuci dan disimpan, yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Jika sudah terlalu banyak, panggil pengumpul barang bekas, dan juallah kepadanya; atau jual ke peternak ikan hias agar dapat digunakan untuk memelihara ikan cupang (laga).

(b) Untuk wadah mainan anak-anak, misalnya kelereng.

(c) Untuk menyimpan sisa-sisa bahan, misalnya sisa minyak goreng (jelantah), dsb.

(d) Untuk mencampur berbagai macam juice, pasta, dsb.

(e) Dibawa ke warung untuk wadah barang-barang curah yang dibeli, misalnya minyak goreng, madu, dsb.

(f) Bagi yang mempunyai kegemaran memasak kue, cobalah botol bekas ini digunakan untuk men-cetak kue kering dengan berbagai ukuran.

(g) Bagi yang mempunyai kegemaran memancing, botol bekas juga dapat digunakan untuk wadah umpan.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 7

Page 8: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

(h) Botol bekas juga dapat digunakan sebagai jambangan (vas) bunga untuk menghias meja.

(i) Jika Anda mengumpulkan cukup banyak botol bekas dari merek produk sejenis, maka Anda da-pat menjualnya kepada pengumpul, untuk dijual ke pabrik jam yang bersangkutan.

Catatan: Mengenai penggunaan-ulang bekas kemasan, baik botol gelas ataupun plastik, kaleng, kar-dus berlapiskan aluminium foil, dan sejenisnya, jangan sekali-kali menggunakan-ulang be-kas kemasan oli, pestisida (penyemprot nyamuk, dsb.), cairan pengepel lantai, dan bahan-bahan beracun lainnya untuk wadah makanan atau wadah apa pun. Lebih baik Anda meng-ikuti petunjuk yang tertulis pada label kemasan; dan lebih baik Anda menguburkannya atau membuangnya ke tempat yang benar-benar aman.

(2) Di kantor ataupun d rumah, kita sering melakukan penggunaan-ulang cartridge tinta printer yang tintanya sudah habis dengan cara mengisi-ulang (refill) tintanya. Pengisian ulang ini sering dilakukan pada cartridge toner printer laser, toner fotokopi, dsb. Selain mengurangi buangan limbah berupa cartridge bekas, tin-dakan ini juga merupakan penghematan biaya operasional kantor atau urusan cetak-mencetak dengan printer di rumah.

(3) Setelah kita mengenal komputer pribadi (personal computer) dan printer sejak awal dasawarsa 1980-an, yang paling boros adalah penggunaan kertas. Ketika kita masih menggunakan mesin tik – baik mesin tik manual ataupun mesin tik elek-trik – setiap kesalahan ketik lazimnya kita hapus dengan cairan penghapus atau pita penghapus, lalu kata yang salah-ketik kita ketik-ulang. Hal ini tentu saja ti-dak dapat atau sangat sulit kita lakukan pada printer. Akhirnya, setiap terjadi salah-ketik satu huruf pun, kita akan mencetak-ulang lembar tadi setelah kesa-lahan kita perbaiki. Pengalaman menunjukkan, untuk membuat satu laporan pe-kerjaan setebal 100 halaman, kertas yang kita habiskan untuk cetak-mencetak bisa-bisa sampai satu rim lebih. Walau demikian, sebenarnya kita masih dapat memanfaatkan-ulang lembar-lembar kertas yang salah-cetak tadi, misalnya untuk mencetak draft untuk keperluan proef-reading sebelum dokumen kita cetak-akhir. Atau, kita dapat memanfaatkannya untuk membuat kliping koran pada halaman yang tidak tercetak.

(4) Selain di kantor dengan urusan komputer dan printer, pengisian-ulang dengan memanfaatkan-ulang kemasan aslinya juga dapat dilakukan pada berbagai jenis barang konsumsi rumahtangga, misalnya kopi instans, kremer, deterjen, pelem-but & pewangi cucian, cairan pel lantai, minyak goreng, lem/perekat, dsb. Produk-produk ini, selain tersedia di pasaran dalam kemasan aslinya (botol plastik atau botol gelas), juga tersedia dalam kemasan isi-ulang yang lebih murah.

(5) Bagi barang-barang yang tergolong awet (durable), misalnya le-mari es, kipas listrik, seterika listrik, dsb., jangan segan-segan me-reparasinya apabila suatu saat barang-barang tersebut rusak. Dengan cara ini, Anda telah melakukan penghematan dan tidak membuang barang bekas. Namun, untuk barang-barang elek-tronik, seperti printer, handphone, dsb., biaya mereparasi kadang-kadang lebih mahal daripada membeli barang sejenis yang baru, kecuali masih dalam jangka waktu berlakunya garansi. Namun, apa pun keputusan Anda untuk mereparasi barang yang rusak

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 8

Page 9: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

atau membeli barang sejenis yang baru, Anda harus tetap berpikir bahwa membuang barang bekas harus menjadi pilihan terakhir. Siapa tahu barang yang Anda anggap ‘bekas’ itu ternyata masih bermanfaat bagi orang lain?

2.5PRINSIP R-5: RECYCLING (MENDAUR-ULANG)

Recycling (mendaur-ulang) adalah tindakan mendaur-ulang sebagian atau seluruh sampah atau limbah untuk menghasilkan produk/barang lain, yang lazimnya berbeda bentuk dan sifatnya dari produk/barang aslinya.

Barang-barang bekas yang lazim didaur-ulang dengan cara pemrosesan-ulang di industri untuk menghasilkan produk baru adalah limbah yang tergolong anorganik, yakni yang terbuat dari kertas, plastik dan bahan-bahan sejenisnya, karet dan bahan-bahan sejenisnya, gelas/kaca, kaleng dan berbagai jenis logam lainnya. Barang-barang bekas lazimnya dikumpulkan oleh pemulung di tempat-tempat pengumpulan sampah, baik Tempat Pengumpulan Sementara (TPS) maupun Tempat Pembuangan Akhir (TPA); atau dikumpulkan langsung dari rumah ke rumah. Di TPA Bantargebang, misalnya, terdapat tidak kurang 64 jenis bahan yang dikumpulkan oleh para pemulung, mulai dari gelas, plastik, dan kaleng hingga obat-obat kedaluarsa dan bulu ayam…!

Beberapa contoh pendaur-ulangan limbah anorganik dan permasalahan yang diha-dapi dapat disajikan sebagai berikut:

(1) Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pada awal 1990-an pernah melak-sanakan proyek pendaur-ulangan kertas untuk memproduksi kertas tulis (HVS). Bahkan, pada dasawarsa 1980-an, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup sempat menggunakan kertas surat resmi yang di-buat dari eceng gondok (Eichornia crassi-pes). Permasalahan yang dihadapi adalah harga jual kertas daur-ulang ini relatif lebih mahal daripada kertas sejenis yang asli, dan kualitasnya pun tidak lebih baik. Kasus yang sama juga dialami oleh pabrik kertas koran daur-ulang di Merak, Banten, yang kualitas hasil kertasnya tidak lebih baik daripada kualitas kertas koran asli, dan biaya produksi daur-ulang ternyata tidak lebih murah dari-pada biaya produksi kertas asli. Kertas ko-ran daur-ulang tidak diterima oleh penerbit koran terkenal, melainkan hanya dipakai oleh penerbit koran, tabloid, dan majalah skala kecil dan murahan.

(2) Industri plastic-ware (barang-barang dari plastik) yang mendaur-ulang limbah plas-tik dan PVC (polyvinyl chloride) juga mengalami hal yang sama. Kualitas ember anti-pecah yang dibuat dari campuran limbah karet dan PVC ternyata tidak lebih baik daripada kualitas ember plastik asli. Demikian pula halnya dengan produk-produk daur-ulang plastik lainnya. Selain warnanya yang tidak homogen,

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 9

Page 10: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

kualitas-nya kurang baik, kekuatannya rendah, harga penjualannya tidak selalu mampu bersaing dengan hara penjualan produk plastik asli.

(3) Hingga kini tidak ada produk branded yang dikemas dalam botol gelas yang meng-gunakan botol daur-ulang, baik produk farmasi, minuman, ataupun makanan. Cor-porate image menjadi lebih penting dari-pada penghematan bahan kemasan pro-duknya. Yang banyak dilakukan hanya terbatas pada penggunaan-ulang botol kemasan, misalnya botol berbagai merek minuman ringan (soft drink) terkenal. Botol kemasan hasil daur-ulang lazimnya digunakan untuk mengemas produk-produk yang produsennya tidak terlalu mementingkan corporate image, misalnya produk minyak angin, essence, dsb.

Limbah yang tergolong organik, termasuk sisa-sisa sayuran, dedaunan, dsb., pada umumnya tidak dipulung, melainkan langsung dibuang ke TPA. Limbah padat organik ini dinilai sebagai ‘mudah terurai secara biologis’ (bio-degradable easily), sehingga retensinya di lingkungan relatif singkat. Namun, penanganan sampah padat organik di TPA yang menerapkan sistem bala press system masih menjadi perdebatan antar-pakar. Pernah ditemukan, bahwa sisa-sisa sayuran (kacang buncis, kol, lettuce, dan wortel) yang diperlakukan dalam bala press system (dikempa dan dibungkus dalam kemasan kedap-air dan kedap-udara, lalu ditimbun) ternyata masih belum rusak (belum terurai) setelah ’tertimbun’ selama 30 tahun.

Bagi limbah padat organik, pendaur-ulangan yang di-nilai paling sesuai dan justeru dapat memberi nilai tambah ekonomis terhadap limbah tersebut adalah pengom-posan (composting). Di samping itu, pengomposan juga mempunyai nilai tambah terhadap lingkungan, yakni sangat membantu pencegahan pencemaran lingkungan oleh dampak pembusukan bahan organik secara anaerobik dan tak terkendali.

Disadari ataupun tidak, penanganan sampah padat organik di TPA dengan metode open dumping ataupun sanitary landfill yang tidak sempurna akan menyebabkan proses pembusukan bahan organik secara anaerobik, yang menghasilkan emisi gas methane (CH4). Gas methane adalah salah satu bahan cemaran udara yang tergolong sebagai ‘gas rumah kaca,’ yang secara akumulatif dan global dapat memberi kontribusi terhadap ‘pemanasan global’ (global warming).

2.6PRINSIP R-6: RESPONDING (SIKAP TANGGAP)

Responding (sikap tanggap) adalah menyikapi dilema limbah atau sampah dengan mempertimbangkan-ulang penanganan kegiatan produksi dalam industri atau kegiatan rumahtangga dengan hasil limbah yang ada dan menggantikannya

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 10

Page 11: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

dengan proses produksi atau kegiatan yang mengha-silkan lebih sedikit limbah (least waste).

Bagi industri yang menghasilkan limbah, penerapan prin-sip Responding pada hakikatnya sama dengan upaya me-ningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku dan bahan pen-dukung, yakni meningkatkan rendemen (out-turn). Beberapa hal penting yang dapat dilakukan adalah:

(1) Bagi industri yang mesin-mesinnya sudah aus (teknologinya sudah ketinggalan zaman), peningkatan rendemen dalam upaya mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi produksi adalah dengan reinvestasi mesin-mesin baru yang lebih efisien dan menghasilkan limbah lebih sedikit (least-waste). Untuk itu, perlu perhitungan yang cermat mengenai perimbangan antara ‘biaya investasi untuk pengganti mesin’ dengan ‘nilai tambah produksi karena pe-ningkatan efisiensi.’ Mengenai hal ini, ada kasus yang sangat menarik dalam indus-tri pulp & kertas di Indonesia, yakni:

(a) Ada sebuah skenario global sehubungan dengan asset recovery pada sektor industri pengolahan kayu yang bermasalah. Dari sekitar Rp 12,4 trilion non-performance loans (kredit macet) sektor kehutanan, sekitar Rp 2,5 trilion di antaranya terjadi pada proyek industri pulp & kertas PT. Kiani Kertas (Group Bob Hasan) di Kalimantan Timur. Perlu diketahui bersama, bahwa sekitar tahun 1995, harga pulp di pasaran internasional sangat baik dan sangat merangsang investor lokal untuk mengin-vestasikan dananya dalam bisnis pulp & kertas. Harga pulp di pasaran dunia ketika itu dapat mencapai US$ 640 per ton. Penyebab utamanya bukan karena adanya peningkatan permintaan riil akan pulp oleh pasar dunia, melainkan lebih disebabkan oleh kelangkaan pasokan. Langkanya pasokan pulp di pasaran dunia selama kurun waktu tersebut disebabkan oleh adanya kebijakan restrukturisasi dan reinvestasi pada industri pulp dan kertas di kawasan Skandinavia dan Amerika Utara (Kanada dan Amerika Serikat bagian utara). Di kedua kawasan penghasil utama pulp dunia tersebut dilakukan penggantian besar-besaran teknologi pengo-lahan pulp dengan teknologi yang menghasilkan limbah cair minimum (least liquid waste), sedangkan mesin-mesin dengan teknologi usang direlokasi ke negara-negara sedang berkembang, terutama Indonesia – yang sangat berambisi untuk tampil sebagai produsen pulp terbesar dunia me-lalui scheme HTI (Hutan Tanaman Industri).

(b) Syahdan, maraklah investasi di bidang industri pulp & kertas di Indonesia, terutama oleh empat raksasa pulp & kertas: Barito Pacific di Sumatera Selatan – milik Prayogo Pangestu, IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper) di Riau – milik Eka Tjipta Widjaja dari Sinar Mas Group, RAPP (Riau Andalan Pulp & Paper) di Riau – milik Sukanto Tanoto dari Raja Garuda Mas Group, dan Kiani Kertas di Kalimantan Timur milik Bob Hasan. Keempat raksasa pulp & kertas ini ternyata rontok bersama-sama dengan rontoknya bisnis perbankan dan industri manufaktur lainnya menjelang berakhirnya mile-nium kedua.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 11

Page 12: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

(c) Selama setahun, yang ternyata terjadi penurunan harga pulp di pasaran dunia, yakni menjadi US$ 420 per ton, US$ 380 per ton, dan terakhir kali – ketika akan dilakukan pelelangan asset Chandra Asri (‘saudara kandung’ Barito Pacific) dan Kiani Kertas tahun 2000, harga pulp anjlok menjadi Rp US$ 300 per ton, yakni sekitar US$ 60 di atas harga break even point pulp untuk skala industri pulp & kertas setara IKPP.

(d) Ada dua kemungkinan mengenai anjloknya harga pulp di pasaran dunia tersebut, yakni:

Pertama: Mulai tengah-tahun 2000, beberapa pabrik pulp & kertas di daratan Amerika bagian utara dan di beberapa negara Skandinavia telah mulai beroperasi lagi dengan teknologi barunya, dan produknya pun telah kembali membanjiri pasaran dunia. Kajian lebih lanjut mengenai fenomena ini menyimpulkan, bahwa investor industri pulp & kertas Indonesia ternyata telah tertipu oleh ‘prospek bisnis semu’ yang ditawarkan oleh pemasok mesin-mesin berteknologi usang, yang ternyata hanya berlangsung sementara.

Ke-Dua: Mungkin saja raja-raja pulp & kertas dunia berminat untuk membeli asset industri pulp & kertas yang ketika itu ada dalam penanganan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Mengapa mereka sangat berminat? Sejak tahun 1993, tujuh Negara Bagian Amerika Serikat bagian utara telah melarang penebangan hutan yang ada di dalam teritorinya. Untuk memasok industri perkayuan yang ada di negara-negara bagian ini, khususnya industri pulp & kertas, akhirnya didatangkan bahan baku berupa kayu bulat dan chipwood dari daratan Amerika Latin, terutama Brazil dan Guyana. Indonesia dinilai masih terlalu banyak memiliki bahan baku industri pulp & kertas, dan buangan limbah cair berbahaya & beracun dinilai masih belum mendapat perhatian serius dari Rakyat dan Pemerintah dibandingkan yang terjadi di negeri-negeri mereka. Anjloknya harga pulp di pasaran dunia merupakan strategi mereka untuk memperkuat posisi tawar-menawar mengenai ‘harga jual’ industri pulp & kertas bermasalah tersebut, yang ketika itu dianggap sebagai ‘asset nganggur dan bermasalah.’ Apalagi bagi Kiani Kertas, yang dalam masa trial run saja sudah mendatangkan bahan baku berupa chipwood dari daratan Australia, karena hutan tanaman yang dibangunnya ternyata gagal total.

(e) Dari analisis tersebut di atas, ternyata investor Indonesia di bidang industri pulp & kertas dan sekaligus BPPN dan Pemerintah Indonesia juga telah ‘dibohongi’ lagi oleh para investor asing. Kabarnya, Kiani Kertas tengah-tahun 2005 ini telah diincar oleh JP. Morgan, dedengkot perbankan Yahudi dan salah satu ‘sponsor pendirian’ dan ’pemegang saham’ Federal Reserve (Bank Sentral Amerika Serikat) pada tahun 1010. Padahal, pembangunan tiga dari empat pabrik pulp & kertas tersebut di

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 12

Page 13: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

muka dibiayai oleh ‘sindikasi bank/lembaga keuangan dari tujuh negara’ berupa ‘kredit ekspor,’ yang salah satunya adalah JP. Morgan.

(2) Belajar dari kasus industri pulp di muka, dan juga belajar dari pengalaman relo-kasi industri di masa lalu, perlu ditegaskan bahwa relokasi industri manufaktur dari negara-negara industri maju harus dicegah, walaupun biaya investasinya relatif lebih murah. Yang harus dibayar mahal pada akhirnya adalah ketidakmampuan industri kita untuk bersaing di pasar dunia, dan ‘harga pencemaran lingkungan yang harus dibayar mahal’ karena mesin-mesin industri relokasi pada umumnya menghasilkan banyak limbah.

(3) Industri yang instalasi penghasil tenaganya (power generating plant) dinilai boros bahan bakar, perlu melakukan penggantian mesin atau bahkan penggantian jenis bahan bakar alternatif.

Bagi kegiatan rumahtangga yang selama ini menghasilkan limbah, pene-rapan prinsip Responding pada hakikatnya sama dengan upaya pergeseran cara pandang atau paradigma seluruh anggota keluarga mengenai konsumsi barang kebutuhan rumahtangga. Dalam hal ini, beberapa hal pokok yang dapat dilakukan adalah:

(1) Tanpa harus mengorbankan kepentingan untuk kemudahan & kepraktisan hidup, dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari, setiap keluarga seyogianya memprioritaskan produk-produk yang tidak akan terlalu banyak menimbulkan limbah – baik limbah organik maupun anorganik, baik yang berasal dari kemasan ataupun dari barang-barang konsumsi itu sendiri.

(2) Menggunakan barang-barang kebutuhan rumahtangga secara lebih efisien, yakni tidak terlalu banyak meninggalkan sisa cair ataupun padat yang akhirnya terbuang sia-sia, antara lain limbah sayuran dan bebuahan, limbah buangan air cuci pakaian dan perlengkapan masak & makan, dan limbah kemasan.

(3) Mulai memilah pembuangan limbah basah (bahan organik) dari limbah kering (bahan anorganik) dan khusus bagi limbah bahan anorganik yang terbuat dari gelas, plastik, dan kaleng perlu diupayakan agar dapat dimanfaatkan-ulang, baik untuk di-reuse ataupun di-recycle.

(4) Setiap keluarga harus mengupayakan agar umur barang-barang rumahtangga yang awet dipertahankan cukup lama, sehingga tidak perlu sering mereparasi atau menggantinya dengan barang sejenis yang baru. Bagi barang-barang yang dinilai tidak layak pakai, seyogianya ditawarkan kepada orang lain atau kepada pengumpul barang bekas agar dapat tetap dimanfaatkan.

Seandainya setiap orang anggota masyarakat secara sadar menerapkan Prinsip 6-R sebagaimana yang dibahas di muka, maka pengurangan volume buangan limbah domestik ke lingkungan adalah suatu keniscayaan. Disadari, bahwa sebagian dari ke-enam prinsip tersebut telah dilaksanakan oleh banyak pihak. Namun, nampaknya jauh lebih banyak pihak yang belum melaksanakannya, sehingga keniscayaan tersebut masih tinggal sebagai harapan.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 13

Page 14: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

Bab IIIMODEL PERTANIAN TERPADU

Pertanian terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan per-tanian, peternakan, perikanan,kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan, sehingga diharapkan dapat sebagai salah satu solusi bagi pening-katan produktivitas lahan, program pembangunan dan konservasi lingkungan, serta

pengembangan desa secara ter-padu. Diharapkan kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang petani berupa pangan, sandang dan papan akan ter-cukupi dengan sistem pertanian ini.

Model pertanian terpa-du akan lebih produktif melalui Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanam-an Terpadu (PTT), Integrated Nutrient Management (INM) atau Pengelolaan Hara Terpa-du, Integrated Pest Manage-ment (IPM) atau Pengelolaan

Hama Terpadu (PHT), Integrated Soil Moisture Management (IMM) atau Pengelolan Air Terpadu (PAT), dan Integrated Veterineer Management (IVM) atau Pengelolaan Ternak Terpadu.

3.1PETERNAKAN SAPI RAKYAT

Sektor peternakan, di mana sumbangan protein hewani (daging, telur, dan susu) bagi kecerdasan anak bangsa merupakan program yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah tingkat konsumsi protein hewani suatu bangsa. Kini posisi Indonesia di Asia, lebih baik dari Bangladesh pada posisi nomor dua dari bawah dengan tingkat konsumsi protein hewani yang berasal dari ternak sekitar 4,7 gram/kapita/hari, masih di bawah norma gizi yang disarankan FAO 6 gram/kapita/hari. Artinya, ada korelasi positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan kesejahteraan bangsa di suatu negara.

Jumlah penduduk di negeri ini sekitar 220 juta orang. Menurut Dirjen Binprod Peternakan ternyata setiap orang baru mampu mengonsumsi daging sapi sekitar 1,7 kg/orang/tahun, maka setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tersebut telah dipotong sekitar 1,5 juta ekor sapi lokal untuk menghasilkan 350.000 ton daging sapi yang diproduksi di dalam negeri ditambah dengan mendatangkan sapi bakalan dari Australia tidak kurang dari 350.000 ekor dan impor daging sapi sekitar 30.000 ton.

Jika saja terjadi peningkatan populasi penduduk 2% per tahun dan pening-katan populasi sapi di dalam negeri sekitar 14% per tahun dengan kemampuan konsumsi daging (sapi) masyarakat hanya naik 1 gram/kapita/hari, di mana kondisi ini pun masih di bawah norma gizi. Maka dibutuhkan daging sekitar 1.265,8 ton/hari

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 14

Page 15: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

identik dengan 10.548 ekor sapi yang harus dipotong per hari atau 3,85 juta ekor per tahun. Jika saja 50% penduduk Indonesia tidak mampu membeli daging sapi artinya sekitar 100 juta orang masih memerlukan dan mampu membeli daging (Rohadi Thawaf, UNPAD).

Data ini menunjukkan kepada kita betapa negeri tercinta ini merupakan pasar yang sangat potensial, perlu dibina dan dikembangkan untuk meningkatkan produksi ternak di dalam negeri. Bukan sebaliknya malahan merupakan pasar yang dimanfaatkan oleh orang lain dan bahkan terjadi pengurasan populasi ternak di dalam negeri. Lihat saja, bagaimana Amerika Serikat, Cina, India, Thailand, Austra-lia, New Zealand dan beberapa negara lainnya memanfaatkan negeri ini sebagai target pasar produk peternakan karena jumlah penduduk kita yang besar.

Agar peternak di dalam negeri dapat menikmati potensi pasar dalam negeri yang besar maka harus terobosan dengan kebe-ranian untuk menggeser suplai sapi lokal ke arah pemenuhan kebutuhan yang selama ini diisi oleh daging dan sapi impor, tanpa kebijakan pemerintah yang tegas potensi dalam negeri ini tidak pernah bisa dinikmati peternak kita. Berbagai upaya untuk menuju ke arah ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas sapi lokal antara lain sebagai berikut:

Peningkatan efisiensi sistem pemotongan melalui standardisasi. Ketidaksera-gaman inilah merupakan faktor penyebab persaingan yang tidak sehat dalam bisnis daging di tingkat pengecer, sehingga yang diuntungkan adalah konsumen bukannya produsen;

Intensifikasi sapi lokal dengan program IB (inseminasi buatan) untuk memper-pendek siklus waktu beranak;

Pembinaan kelompok tani/ternak secara teratur guna peningkatan keterampilan SDM, introduksi teknologi pakan guna peningkatan produksi dan efisiensi harga pakan, perbaikan tatalaksana dapat mempersingkat pemeliharaan dan memper-cepat waktu jual.

Kondisi tersebut akan berubah bila bioteknologi diintroduksi sehingga akan terjadi pergeseran fungsi produksi. Artinya suplai akan bertambah diikuti dengan harga yang lebih murah. Pada kondisi inilah terjadi keunggulan kompetitif antara produk sapi lokal dengan impor. Artinya, peternak di dalam negeri pun akan menikmati surplus ekonomi yang lebih baik ketimbang bila dilakukan impor sapi bakalan. Hal ini akan berakibat pula pada kegairahan usaha ternak sapi potong lokal yang mampu bersaing di era global. Sasaran program pemerintah terhadap kecukupan daging sapi, dengan asumsi peningkatan kelahiran dari 18,1% menjadi 20,99% (Dirjen Binprod Peternakan), rasanya sangat mungkin akan dapat dicapai kalau Roadmap pemerintah menuju swasembada daging.

Banyak kendala yang banyak dialami oleh para peternak sapi lokal, di antaranya adalah rendahnya tingkat pertambahan bobot badan, tingkat pertumbuhan sapi, dan panjangnya jarak beranak sapi. Ketiga faktor tersebut antara lain dipenga-ruhi oleh efisiensi konversi pakan untuk tumbuh dan berkembang biak.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 15

Page 16: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

Kendala tersebut sekarang dapat diatasi dengan menerapkan Biosuplemen Pro-biotik dan Nutrimars Ikan & Ternak (sebagai prebiotik) ke dalam pakan konsentrat dan air minum. Probiotik adalah mikroba hidup dalam media pembawa yang menguntungkan ternak karena menciptakan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan sehingga mencipta-kan kondisi yang optimum untuk pencernaan pakan dan meningkatkan efisiensi konversi pa-kan sehingga memudahkan dalam proses pe-nyerapan zat nutrisi ternak, meningkatkan kesehatan ternak, mempercepat pertumbuhan, memperpendek jarak beranak, menurunkan kematian pedet, dan memproteksi dari penyakit pathogen tertentu sehingga dapat meningkatkan produksi susu atau daging.

Hasil kajian yang telah dilakukan pada ternak mampu menaikkan produksi daging 20 % dan produksi susu 15-20 %, sehingga menekan biaya produksi. Pengu-jian terhadap sapi potong di Jawa Barat dan Jawa Timur memberikan pertambahan kenaikan produksi daging mencapai 0,43 kg per ekor per hari pada sapi Brahman Cross. Sedangkan pada sapi perah memberikan kenaikan produksi susu mencapai 15 % dari produksi normal per ekor per hari pada sapi Holstein. (Laporan Penelitian MAI, 2008)

Pengujian Nutrimars Ikan & Ternak terhadap sapi potong di Jawa Barat memberikan kenaikan calving rate 50 % yaitu dari rata-rata 1,5 menjadi 1 per ekor per tahun atau dari rata-rata 2 ekor anakan dalam 3 tahun menjadi 3 ekor anakan dalam 3 tahun pada sapi jenis Peranakan Ongole.

Untuk memanfaatkan jerami dari hasil panen padi 2 kali setahun dan panen jagung sekali setahun maka

limbah pertanian tersebut bisa untuk menggemukkan sapi sebanyak 6 ekor dengan masa pemeliharaanya selama 3 bulan.

Rata-rata berat sapi setelah dipelihara selama 3 bulan yang semula berat-nya 200 kg ditargetkan bertambah bobot seberat (1,0 x 90) = 90 kg menjadi 290 kg, jadi total berat sapi yang akan dijual menjadi 6 x 290 kg = 1.740 kg. Bila harga jual Rp 21.000/kg maka hasil penjualan Rp 36.540.000. Keuntungan selama 3 bulan pelihara 6 ekor sapi adalah Rp 6.590.000/3 bulan = Rp 2.196.000 per bulan atau Rp 366.000 per ekor per bulan.

A. BIAYA INVESTASI

Kandang masa pakai 5 tahun ...................................................Rp 10.000.000

B. BIAYA OPERASIONAL

Bakalan sapi (@200 kg) 6 ekor x Rp 4.000.000 .......................Rp 24.000.000

Penyusutan Kandang ................................................................Rp 500.000

Sarana produksi ........................................................................Rp 500.000

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 16

Page 17: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

Pakan :

Dedak 5 kg x Rp 800 x 6 ekor x 90 hari ...............................Rp 2.160.000

Amoniasi jerami 10 kg x Rp 100 x 6 ekor x 90 hari .............Rp 540.000

Obat-obatan, Nutrimars & Probiotik .....................................Rp 750.000

Biaya lain-lain ......................................................................Rp 500.000

Rp 29.950.000

C. BIAYA PENERIMAAN

6 x 290 kg = 1.740 kg x Rp 21.000..........................................Rp 36.540.000

Keuntungan lain dari ternak sapi adalah tiap bulan dihasilkan kompos sebanyak 6 x 10 kg x 30 = 1,8 ton/bln atau 21 ton kompos per tahun mencukupi untuk budidaya padi sistem SRI untuk lahan seluas 1 ha dengan 3 kali pemupukan masing-masing 7 ton kompos.

3.2KOTORAN TERNAK SEBAGAI PUPUK DAN SUMBER ENERGI

3.2.1 Pupuk Organik dari Kotoran Sapi

Kotoran sapi merupakan limbah ternak yang dapat diproses menjadi pupuk kandang. Bahan organik dalam kotoran sapi dapat didekomposisi oleh bakteri indi-gen menjadi senyawa anorganik yang dapat diserap langsung oleh tanaman. Pem-buatan pupuk kandang matang dapat dilakukan dengan cara dekomposisi anaerob dan aerob dari kotoran sapi. Kedua proses dekomposisi tersebut menghasilkan pupuk yang berbeda kualitasnya.

Pupuk kandang yang terdekomposisi anaerob lebih cepat matang daripada pupuk kandang hasil de-komposisi aerob, terlihat dari penurunan rasio C/N. Setelah terdekomposisi anaerob selama 10 minggu, kotoran sapi sudah menjadi pupuk kandang matang dengan rasio C/N sebesar 19,73, sedangkan pupuk kandang hasil dekomposisi aerob mempunyai rasio C/N = 25,79.

Keuntungan dari proseses dekomposisi anaerob diperoleh hasil samping berupa gas methan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari juga kompos yang dihasilkan sebanyak 21 ton/tahun.

3.2.2 Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi

Permasalahan kebutuhan energi perdesaan dapat diatasi dengan menggu-nakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, murah, dan mudah diperoleh dari lingkungan sekitar dan bersifat dapat diperbaharui. Salah satu energi ramah lingkungan adalah gas bio yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik akibat aktivitas bakteri anaerob pada lingkungan tanpa oksigen bebas. Energi gas bio didominasi gas metan (60% - 70%), karbondioksida (40% - 30%) dan beberapa gas lain dalam jumlah lebih kecil.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 17

Page 18: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

Secara prinsip pembuatan gas bio sangat sederhana, yaitu memasukkan substrat (kotoran sapi) ke dalam unit pencerna (digester) yang anaerob. Dalam waktu tertentu gas bio akan terbentuk yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi, misalnya untuk kompor gas.

Sapi perah merupakan hewan yang umum dipelihara sebagai salah satu sumber mata pencaharian di perdesaan. Potensi kotoran sapi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan gas bio cukup besar, namun belum banyak dimanfa-atkan. Bahkan selama ini telah menim-bulkan masalah pencemaran dan kese-hatan lingkungan. Umumnya para peter-nak membuang kotoran sapi tersebut ke sungai.

Penggunaan biodigester dapat membantu pengembangan sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran hewan untuk memproduksi gas bio dan diperoleh hasil samping berupa pupuk organik dengan mutu yang baik. Selain itu, dengan pemanfaatan biodigester dapat mengurangi emisi gas metan (CH4) yang dihasilkan

pada dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari sektor perta-nian dan peternakan, karena ko-toran sapi tidak dibiarkan terde-komposisi secara terbuka mela-inkan difermentasi menjadi energi gas bio.

Penduduk perdesaan hanya me-miliki beberapa ekor sapi (3-5 ekor), sehingga diperlukan tipe digester alternatif yang lebih se-derhana dan mudah pengope-

rasiannya. Biaya untuk membangun 1 unit biogas berkisar Rp 2 juta. Potensi Gas yang dihasilkan setara dengan 2-3 liter minyak tanah per hari.

3.3BUDIDAYA PADI POLA SRI (SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION)

Pola tanam padi system SRI adalah pola budidaya baru dalam dunia perta-nian. Pertama tama diperkenalkan oleh seorang Missionaris bernama Henri de Laulanie di Madagaskar. Pola tanam ini sama sekali baru dengan 4 ciri khas:

Lahan sawah cukup lembab tapi tidak terge-nang, hemat air

Bibit padi dipindahkan ketika umur 7 hari dan ditanam satu per satu. Hebat bibit, biasanya 30 kg jadi hanya 7 kg.

Padi ditanam jarang-jarang tapi akhirnya mera-pat karena anaknya sangat banyak bisa sampai 80 anak.

Pupuknya cukup dengan pupuk kandang.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 18

Page 19: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

Pada semiloka SRI yang diikuti oleh 19 kelompok tani dari beberapa keca-matan di Kab. Ciamis, terungkap bahwa dengan pola SRI, rata-rata telah meng-hasilkan gabah kering untuk setiap panen 10 hingga 12 ton/ha. Padahal sebelumnya dengan menggunakan pupuk kimia, produksi hanya 4,5 ton/ha.

Petani dengan sendirinya mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Bila biaya produksi Rp 5 juta/ha dan panen 12 ton dengan harga gabah Rp 2.470 maka keutungan bisa mencapai Rp 24,64 juta/ha apalagi kalau berasnya berlabel padi organik dengan harga gabah Rp 3.000 maka keuntungan petani bisa mencapai Rp 31 juta/ha yang sangat jauh bila dibandingkan pertanian tradisional.

Sistem yang baru ini, petani tidak lagi tergantung ke pupuk kimia, karena seratus persen menggunakan pupuk alami (organik), lalu hemat benih, ramah lingkungan dan gabahnya dibeli dengan harga lebih tinggi.

Pola tanam padi model SRI adalah cara bertanam padi kembali ke alam. Artinya, petani tidak lagi menggunakan pupuk kimia, tapi memanfaatkan jerami, limbah geraji, sekam, pohon pisang, pupuk kandang yang diolah untuk pupuk tanahnya. Lalu, bibit yang disemai tidak lagi 20 hari, mela-inkan tujuh hari. Tempat persemaian sederhana seperti me-manfaatkan besek kecil.

Jika sebelumnya benih dibutuhkan 30 kg/ha, dengan pola SRI cukup 7 kg/ha. Setelah itu, ditanam di sawah dengan biji tunggal (satu biji benih) saat usia benih tujuh hari dengan jarak 30 cm x 30 cm. Tidak banyak diberi air, lalu penyiangan dilakukan empat kali, pemberian pupuk alami hingga enam kali, pengendalian hama terpadu, dan masa panen saat usia 100 hari atau lebih cepat 15 hari dengan pola biasa.

Menurut Kepala Dinas Pertanian Ciamis, Ir. Lukman, saat ini sudah 73 ha lahan yang memakai pola SRI. Rata-rata setiap panen mencapai 10 ton/ha dengan pola biasa hasil panen rata-rata hanya 4.5 ton/ha. Sung-guh kenaikan yang cukup signifikan terjadi lonjakan produksi padi dengan pola SRI hingga 100%. Ini artinya, ada peluang besar dalam meningkatkan produksi pertanian padi dan juga ramah lingkungan.

Bila setahun bisa 2 kali panen padi maka keuntungan yang bisa diperoleh dari budidaya padi dengan pola SRI sebesar 2 x Rp 19.700.000 = Rp 39.400.000 per tahun.

3.4POTENSI KEUNTUNGAN

Model pertanian terpadu dalam satu siklus biologi Bio Cyclo Farming yang tidak ada limbah, semua bermanfaat. Limbah pertanian untuk pakan ternak dan limbah peternakan diolah jadi biogas dan kompos sehingga impian membentuk masyarakat tani yang makmur dan mandiri terkonsep dengan jelas.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 19

Page 20: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

Bila pertanian terpadu yang diuraikan tersebut benar diwujudkan maka potensi keuntungan yang bisa diperoleh dari tanaman semusim dan ternak per tahun adalah Rp 74.860.000 dengan uraian sebagai berikut :

Potensi Keuntungan Budidaya Pertanian:

Padi.............................................................................................Rp 39.400.000

Jagung........................................................................................Rp 9.100.000

Potensi Keuntungan Peternakan Sapi Rp 15 Juta/th

Rp 6.590.000/3 bln x 4 daur........................................................Rp 26.360.000

Total... .Rp 74.860.000

Keuntungan lain yang diperoleh petani adalah pertambahan nilai gizi (kon-sumsi protein), biogas (setara dengan 3 liter minyak tanah per hari), POC (pupuk organik cair) yang dihasilkan dari digester biogas, kompos (dari hasil pengolahan biogas), menghasilkan produk pertanian organik/produk pertanian sehat, terjadinya keseimbangan ekologi yang mendukung usaha pertanian berkelanjutan.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 20

Page 21: 001 Integrated Farming

MODEL PERTANIAN TERPADU (INTEGRATED FARMING)UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI PERDESAAN

DAFTAR PUSTAKA

Budhiyono, Wahyu S., Budhiyono, Bambang E. Position Paper. Industri Terpadu Pengolahan Sampah Padat Organik Perkotaan. E-Grand Foundation. 1999.

Choliq, Achsin U., Hamdani, Moh. Pertanian Terpadu Untuk Meningkatkan Produk-tivitas Lahan Dan Kesejahteraan Petani. Balai Inkubator Teknologi - BPPT. 2008.

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Makalah. Didiskusikan Dengan Forum Dekan Fakultas Pertanian Se-Indonesia Pada Saat Seminar Dan Loka-karya Nasional “Neoliberalisme Sebagai Tantangan Kebijakan Pemba-ngunan Pertanian Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Petani”. 12 Maret 2005.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Pengelo-laan Tanaman Terpadu (PTT) Sawah Irigasi. 2007.

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 21