Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Pemikiran penrose (1959) yang menggagas teori resource-based view of the firm (Nelson
and winter,1982; barney 1991) implementasinya relevan saat persaingan ekonomi berbasis
industri dengan menggunakan sumberdaya organisasi untuk meningkatkan daya saing
(Alchian and Demsetz, 1972; Grant, 1996: Pemberton and Stonehouse, 2000; Miller
2003).Namun,ketika organisasi dewasa ini menghadapi persaingan ekonomi berbasis
pengetahuan, pendekatan yang memposisikan organisasi secara strategis tidak lagi hanya
mengandalkan sumber daya organisasi semata, tetapi seharusnya mampu mengintegrasikan
sumber daya pengetahuan yang dimiliki organisasi yang dikenal knowledge based view of the
firm (Grant,1991; Spender, 1994; Spender and Grant,1996; Chesbrough H.W., 2003;
Zaytseva A., Shuvalova O., 2011; Guinet J., Meissner D., 2012).Implementasi knowledge
based view of the firm pada organisasi berdasarkan keunikan sumber daya pengetahuan dan
kapabilitas unggul yang tidak dapat ditiru oerganisasi lain dengan mengembangkan model
bisnis organisasi berbasis pengetahuan (Shapira C and Varian,1999; Zack,1999;Connor,2002;
Miller,2003).
Model bisnis organisasi berbasis pengetahuan merupakan kritik terhadap pemikiran
model bisnis five forces Porter yang lebih menekankan keunggulan industri dari pada
keunggulan organisasi (Mansfield and fourie,2004; Aldi, B.Enath,2005; Teece,2010).Keadaan
persaingan saat ekonomi berbasis industri tergantung pada lima kekuatan persaingan pokok
yang disebut Porter merupakan strategi yang cukup komprehensif untuk menciptakan
keunggulan konpetitif.Lima kekuatan itu adalah ancaman yang ditimbulkan oleh persaingan
yang kompetitif,kekuatan tawar menawar pembeli,kekuatan tawar menawar pemasok,potensi
pendatang baru,dan produk pengganti (Kirchner, 20015).Model bisnis Porter membentuk
struktur dari semua industri, menetapkan aturan kompetisi dan berfungsi meningkatkan profit
perusahaan.
Sedangkan model bisnis oraganisasi berbasis pengetahuan terdiri dari individu organisasi
yang memiliki kualifikasi pengetahuan yang di butuhkan oragnisasi untuk menciptakan
keunggulan bersaing (Blacker, 1995; Karreman et al, 2002). Model bisnis organisasi berbasis
1
Page 2
pengetahuan juga merupakan kritik terhadap implementasi pengelolaan organisasi secara
birokratik, yang menjunjung standar operating prosedur, hirarki pekerjaan dan division of
labour (Drucker, 1993; Wikstrom et al., 1993), dan mengesampingkan peran sumberdaya
pengetahuan yang dimiliki individu organisasi. Padahal Starbuck (1992) mengungkapkan
bahwa dalam model bisnis organisasi berbasis pengetahuan mengindikasikan pentingnya
pengetahuan individu organisasi dibandingkan dengan sumberdaya organisasi lainnya
(Alvesson, 2004). Kemunculan model bisnis organisasi berbasis pengetahuan tidak lepas dari
ketidakmampuan pengelolaan organisasi birokratik dalam merespon kecepatan perubahan
selera pasar, persaingan global dalam era ekonomi berbasis pengetahuan. Karakteristik model
bisnis organisasi berbasis pengetahuan dapat ditunjukkan dari pekerjaan organisasi yang
kompleks dan sulit untuk distandarisasi, sehingga membutuhkan individu dengan kualifikasi
mampu mengelola aktivitas organisasi berbasis pengetahuan (Karreman et al., 2002; Robertson
and Swan, 2003).
2. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan organisasi berbasis pengetahuan?
b. Apakah yang dimaksud dengan resource based theory?
c. Apakah yang dimaksud dengan knowledge based theory?
d. Apakah yang dimaksud model bisnis
e. Bagaimana cara harmonisasi kompetensi individu dengan core competence organisasi?
f. Bagaimana cara memanfaatkan pekerja pengetahuan sebagai sumber keunggulan
kompetitif?
g. Bagaimana cara mengelola pekerja pengetahuan?
h. Bagaimana cara memprediksi perilaku knowledge sharing para karyawan?
3. Tujuan Penelitian
a. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji konsep model bisnis organisasi
berbasis pengetahuan.
2
Page 3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Organisasi Berbasis Pengetahuan
Banyak organisai mulai mengelola pengetahuan organisasi (Meso & Smith, 2000; De
Tienne & Jackson, 2001; Staples et al., 2001 Grant, 2002; heesok & byounggu, 2003; Sharp,
2003; Lee & Sukoco, 2007) dalam rangka memperoleh sustaining competitive advantage. Hal
tersebut terjadi karena keunggulan kompetitif di abad ini ditandai oleh “knowing how to do
things“, bukan sekedar memiliki akses tertentu pada sumber daya dan pasar. Temuan Darroch
(2005) terhadap 443 perusahaan Selandia Baru memperlihatkan bahwa implementasi
pengelolaan dalam organisasi akan meningkatkan efisiensi inovasi dan kinerja organisasi.
Pengetahuan juga sering disebut sebagai modal intelektual (Civi, 2000; Meso & Smith, 2000;
Ngah & Ibrahim, 2011). Modal intelektual jauh lebih penting daripada tanah, tenaga kerja,
dan modal finansial ( Rastogi, 2000; Housel & Bell, 2001; Staples et al., 2001; Sharp, 2003).
Modal intelektual merupakan sebuah kunci sumber daya dan pengaruh dari kinerja organisasi
dan value creation (Marr el al., 2004). Pengetahuan memiliki nilai strategis, melebihi brand
name dan asset fisik (Civi 2000). Menurut Tapscott (1996), modal hanyalah fungsi dari
pengetahuan. Melalui penggunaan yang sistematis, pengetahuan merupakan infinite economic
goods yang dapat menghasilkan kenaikan retutrns (Kim & Mauborgne, 2001). Badaracco
(1991) berkata “Dalam ekonomi klaksik, sumber dari kesejahteraan adalah tanah, tenaga
kerja, dan modal … Tetapi sekarang mesin pembangkit kesejahteraan yang lain adalah ada
dalam pekerjaan itu sendiri. Bentuknya berupa: teknologi, inovasi, sains, know-how,
kreativitas, dan informasi. Dalam satu kata, semua itu bisa disebut sebagai pengetahuan”.
Paten dan berbagai tipe keahlian tidak akan membawa pada keunggulan kompetitif langgeng
Banyak dari pengetahuan yang kita miliki hanya merupakan sebuah transient
competitive advantage dimana pesaing dengan mudah akan melakukan reverse engineer
terhadap produk yang kita miliki, meng-copy best practices kita, dan mengembangkan
teknologi yang paralel (bahkan lebih unggul) dengan teknologi yang kita miliki. Oleh
karenanya, pengetahuan dan modal intelektual menjadi basis pertama dari core competence
dan kunci kina-j;i superior yang lebih hakiki (Rastogi, 2000; Lubit, 2001; Staples et al., 2001)
3
Page 4
Selain itu, 'know how' -yang mengalir dari tacit knowledge individu _ merupakan aset
organisasi yang sulit ditiru oleh pesaing (Lubit, 2001; Droege & Hobbler, 2003). Dengan
perkataan lain, pengetahuan yang bersifat tasit akan memperkokoh core competence
organisasi. Oleh karenanya, manajemen pengetahuan telah menjadi "mantra baru” dari
organisasi modern yang ingin menjadi pemenang (GalluPe, 2001) dalam iklim kompetisi yang
semakin hiper-kompetitif (D'Aveni, 1994), turbulent, chaotic, serta menantang (Kanter dalam
Hagan 1996; Rastogi, 2000). Manajemen pengetahuan tidak saja menjadi topik hangat untuk
diperbincangkan, lebih dari itu, telah menjadi kunci utama dalam bisnis dan industri (Lahti &
Beyerlein, 2000; Staples et. al., 2001; Ngah & Ibrahim, 2011). Munculnya manajemen
pengetahuan sering dikatakan sebagai 'paradigma shift’ dalam pengelolaan bisnis (Gourlay,
2001; Housel & Bell, 2001). Menurut Sharp (2003), ada tiga kekuatan utama yang menjadi
sebuah kombinasi yang menarik bagi organisasi untuk mengimplementasikan manajemen
pengetahuan, yaitu: peningkatan dominasi pengetahuan sebagai basis bagi pencapaian
efektivitas organisasi, kegagalan model finansial dalam merepresentasikan dinamika
pengetahuan, dan kegagalan teknologi informasi dalam mencapai manfaat yang substansial
bagi organisasi. Hasil survei mengindikasikan bahwa implementasi manajemen pengetahuan
telah berhasil meningkatkan efektivitas organisasi, memberikan value pada pelanggan,
meningkatkan inovasi produk, meningkatkan kepuasan kerja karyawan, menekan retensi, dan
meningkatkan keunggulan kompetitif di pasar (Sharp, 2003). Hasil survei Ernst & Young or
Business Innovation and Business Intelligence melaporkan inisiatif pengadopsian manajemen
pengetahuan menghasilkan manfaat dalam peningkatan: pengambilan keputusan, respon
kepada pelanggan, efisiensi staf dan operasi, inovasi, serta produk/jasa (dalam Housel & Bell,
2001). Oleh karena itu, penerapan manajemen pengetahuan merupakan salah satu alternatif
terbaik untuk menghasilkan organisasi yang selalu siap untuk menjadi pemimpin pasar. Hal
itu dapat dicapai dengan cara memperluas pasar yang sudah ada, bahkan menciptakan pasar
baru (Kim & Mauborgne, 2001). Konsekuensinya, organisasi (yang memiliki kemampuan
untuk menciptakan pasar baru) tidak takut dan tidak perlu lagi berkompetisi. Posisi organisasi
yang sudah sedemikian kuat menjadikan kompetisi menjadi tidak relevan lagi (Kim &
Mauborgne, 2004). Organisasi seperti ini tidak sekedar memahami masa depan, tetapi juga
menciptakan masa depan (Higgins, 1995). Organisasi tersebut memiliki posisi yang sangat
kuat. Metaforanya, seekor buaya tentu saja tidak perlu kuatir dengan seribu katak, demikian
ucap Winnetou ketua suku Apache kepada Sansear dalam fiksi karya Karl May. Dalam iklim
bisnis yang turbulen, dimana satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian, maka hanya ada
satu sumber daya yang secara pasti bisa melanggengkan keunggulan kompetitif, yaitu:
4
Page 5
pengetahuan (Rastogi, 2000; Birkinshaw, 2001). Pengetahuan adalah 'pembeda' antara
kesuksesan dan kegagalan (Marquardt, 2002). Para praktisi dan akademisi mulai tertarik
untuk memperlakukan pengetahuan sebagai sumber daya organisasi yang signifikan (Alavi &
Leidner, 1999), sebagai ” the only true strategic asset”(Meso & Smith, 2000). Penjelajahan
kesempatan di masa yang akan datang dan menciptakan masa depan dapat dicapai melalui
manajemen pengetahuan yang efektif (Higgins, 1995; Wiklund & Shepherd, 2003). Dengan
mengelola pengetahuan sebagai proses yang kontinyu, organisasi bisa memenuhi
kebutuhannya di masa kini dan masa depan, mengidentifikasi pengetahuan, mengeksploitasi
pengetahuan organisasi, serta mendapatkan manfaat dari aset pengetahuan, yang pada
akhirnya berguna untuk mengembangkan kesempatan baru (Lee & Sukoco, 2007). Jadi,
mengapa harus menunggu untuk mewujudkan organisasi yang berbasis pengetahuan
(knowledge-based organization).
2. Resource Based Theory
Konsep daya saing berdasarkan kompetensi dikembangkan oleh Penrose (1959) yang
dianggap memberikan kontribusi terhadap teori modern yang didasarkan pada sumber daya
(resource based theory). Pendukung teori ini melihat bahwa organisasi merupakan kumpulan
sumberdaya individu yang unik yang kemudian meningkatkan daya saing organisasi (Nelson
and Winter, 1982; Barney, 1991).
3. Knowledge Based Theory
Knowledge organisasi merupakan dasar membangun strategi organisasi dan menjadi
sumberdaya penting profitabilitas organisasi (Grant, 1991; Spender, 1994; Spender and Grant,
1996), untuk memperkuat dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Knowldege
merupakan campuran dari pengalaman, nilai, informasi kontekstual, pandangan pakar dan
intuisi mendasar yang memberikan lingkungan dan kerangka untuk mengevaluasi dan
menyatukan pengalaman baru dan informasi. Dua jenis knowledge, yaitu: a). Tacit knowledge
merupakan knowledge yang tidak mudah dilihat dan dinyatakan, bersifat sangat pribadi, sulit
diformulasikan dan dikodifikasikan, serta tersimpan di otak manusia, sehingga sulit
dikomunikasikan dan dibagi ke orang lain. b) Explicit Knowledge merupakan sesuatu yang
formal dan sistematis, dapat dinyatakan dalam kata maupun angka, dan mudah
dikomunikasikan dalam berbagai bentuk.
4. Model Bisnis
5
Page 6
Konsep model bisnis menjadi terkenal seiring dengan perkembangan teknologi
informasi dan globalisasi. Model bisnis dikaji oleh banyak penulis dengan konsep berbeda
(Linder and Cantrell, 2000), dan tidak ada literatur yang secara spesifik menggambarkan
konsep model bisnis (Mansfield and Fourie, 2004). Magretta (2003) menjelaskan gagasan
sederhana berkaitan dengan model bisnis yaitu merupakan kerangka konsep bagaimana
keterkaitan sumberdaya organisasi bekerja (Peterovic, 2001; Mansfield and Fourie, 2004;
Osterwalder, 2004; Osterwalder et al., 2005), berhubungan dengan elemen lingkungan
organisasi untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan keuntungan secara berkelanjutan
(Timmers, 1998; Weil and Vitale, 2001; Stähler, 2002; Afuah, 2004). Sebuah model bisnis
yang baik memotivasi karyawan untuk menciptakan dan meraih keunggulan (Magretta, 2003).
Model bisnis membantu pimpinan organisasi menciptakan, memahami, mengkomunikasikan,
merancang, menganalisis dan melakukan perubahan aktivitas bisnis dan keunggulan bersaing
dalam menghadapi persaingan masa depan (Afuah, A. and Tucci, C.L. 2001; Afuah, 2004;
Osterwalder et al., 2005; Zott et al, 2010). Model bisnis sebagai sumber segala keunggulan
kompetitif yang dimiliki oleh sebuah organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain
(Giorgetti, 1998). Chesborough (2003) menyatakan model bisnis sebagai struktur rantai nilai
(an activity based value chain concept), menciptakan value dengan serangkaian aktivitas dari
bahan baku sampai ke pelanggan akhir, dimana value ditambahkan dalam keseluruhan
aktivitas tersebut (Timmer, 1998). Tapscott et al. (2000) mendiskusikan model bisnis yakni
menentukan kembali value proposition yang 43 baru, mentransformasi aturan kompetisi, dan
memobilisasi sumberdaya organisasi untuk menghasilkan tingkat kinerja yang maksimal
(Kraemer et al., 2000). Persaingan dan ketidakpastian lingkungan ekonomi menciptakan kecepatan
perubahan keputusan strategi bisnis bertambah komplek dan sulit. Untuk menghadapi kompleksitas
lingkungan persaingan, dibutuhkan kemampuan organisasi dalam mengeksplorasi pengetahuan dan
memanfaatkannya secara efektif agar menjadi sumber utama keunggulan bersaing organisasi (Lei et
al, 1996; Katzy and Blindow, 2003; Aldi, B. Elnath, 2005). Organisasi dituntut mengembangkan
sumberdaya pengetahuan secara intensif (N. Sheehan and C. Stabell, 2007; J. Wang and J. Xaio,
2009), sebagai aset agar mampu menghadapi persaingan (Caniero, 2000; Lee, 2001; Rowley, 1999).
Pengetahuan sebagai kekuatan strategis internal organisasi, tidak dapat diadaptasi oleh pesaing dan
dapat membentuk organisasi inovatif, kompetitif dan menghasilkan daya saing (Barney, 1991; Nonaka
and Takeuchi, 1995; Caniero, 2000; Priem and Butler, 2001). Pengaruh dinamika persaingan dan
ketidakpastian lingkungan ekonomi juga membuat model bisnis yang ada menjadi tidak layak
dan membutuhkan penyesuaian dan pengembangan (Johnson, and Suskewics, 2009;
Gambardella, and 44 McGahan, 2010; Zaytseva A., Shuvalova O., 2011; Hajiheydari et. al.,
6
Page 7
2012). Oleh karena, organisasi dituntut merancang kembali konsep model bisnis guna
memfasilitasi para pengelola dalam menjalankan strategi bisnis (Morris, et al. 2005), untuk
memahami elemen bisnis yang perlu dinilai, diukur, dikomunikasikan dan diperbaiki agar
organisai tetap mampu bersaing (Chesbrough, 2003; N. Sheehan and C. Stabell, 2007;
Johnson, et al., 2008; Teece, 2010). Model bisnis menggambarkan metode organisasi
menjalankan strategi bisnis dengan mengurangi kompleksitas persaingan organisasi (Rajala et
al. 2003; Morris et al. 2005; Osterwalder, 2004; 2005; Calia, et al., 2007; Teece, 2010).
Sehingga harusnya model bisnis dirancang dengan melibatkan sumber keunggulan bersaing
organisasi yang langka, sulit ditiru dan dapat dipergunakan terus menerus. Dalam beberapa
tahun terakhir ini, model bisnis telah menarik perhatian besar dari berbagai kalangan baik
akademisi maupun praktisi. Sejak tahun 1995 sudah banyak jurnal dan artikel ilmiah dengan
fokus utama pembahasan berbagai ide dan gagasan tentang model bisnis telah diterbitkan
(Zott, et al, 2010). Meskipun sudah banyak literatur, diskusi panel seminar dan pertemuan
ilmiah yang membahas tentang model bisnis, belum ada satu definisi umum yang dapat
diterima secara luas oleh semua kalangan.
Secara tradisional organisasi berusaha untuk menarik pelanggan baru dan
mempertahankan pelanggan lama dengan kepekaan merespon perubahan pola konsumsi dan
aktivitas permintaan pelanggan (Zang et. al., 2009). Namun, saat ini aktivitas organisasi
tersebut dilakukan dengan basis pengetahuan pada media online, sehingga organisasi
membutuhkan pengelolaan knowledge sebagai pendorong organisasi dalam merancang
pengembangan model bisnis berbasis pengetahuan untuk memenuhi permintaan pelanggan di
masa depan dan menghasilkan profit yang diinginkan. Pengembangan model bisnis organisasi
berbasis pengetahuan dapat menciptakan keunggulan bersaing organisasi melalui pemahaman
dan alokasi aktivitas bisnis untuk menghasilkan keuntungan, meningkatkan kinerja aktivitas
bisnis, meningkatkan perencanaan dan implementasi aktivitas bisnis sesuai dengan strategi
organisasi, meningkatkan inovasi dan keunggulan masa depan organisasi, memegang peran
penting dalam proses e-business organisasi (Osterwalder, 2004). Model bisnis organisasi
berbasis pengetahuan adalah integrasi lingkungan persaingan, perubahan lingkungan internal
organisasi dan perkembangan infrastruktur teknologi informasi (Sethi and King, 1998).
Lingkungan persaingan bersumber dari meningkatnya permintaan dalam pasar persaingan
goblal, yang menuntut organisasi lebih inovatif dan efisien dengan menggunakan teknologi
informasi dalam merespon kecepatan perubahan selera pasar (Lobontiu and Big, 2006).
7
Page 8
Dampaknya akan terjadi perubahan internal organisasi untuk mentransformasi proses dan
menyesuaikan model bisnis untuk mempertahankan daya saing organisasi (Grover and
Malholtra, 1997). Model bisnis yang dikembangkan Porter (1980) lebih terfokus pada
kemampuan organisasi menganalisis kekuatan lingkungan eksternal organisasi yang dapat
memunculkan kesempatan dan peluang. Padahal sumberdaya yang sangat potensial untuk
memenangkan persaingan dan menciptakan keunggulan organisasi dewasa ini adalah dari
sumberdaya pengetahuan yang dimiliki organisasi. Oleh karena, perlu 45 dikembangkan
model bisnis organisasi berbasis pengetahuan untuk mencapai keunggulan bersaing.
8
Page 9
5. Harmonisasi Kompetensi Individu dengan Core Competence Organisasi
Dalam lingkungan bisnis yang sangat kompetitif, setiap organisasi bisnis perlu memastikan
bahwa keunggulan kompetitif mereka selalu langgeng (Agha at (11., 2012). Salah satu faktor
yang mampu menentukan keberhasilan/kegagalan suatu organisasi adalah faktor sumber daya
manusia (SDM). Keunggulan bersaing suatu organisasi sangat ditentukan oleh mutu SDM-
nya. Olen karenanya, penanganan SDM harus dilakukan secara menyeluruh dalam kerangka
sistem pengelolaan SDM yang bersifat strategis, integrated, interrelated, clan unity (Assauri,
2000). Efektif tidaknya program SDM dapat dilihat dari tingkatan dukungan SDM pada
tujuan-tujuuan bisnis secara keseluruhan (Ulrich dalam Hagan, 1996; Schuler & Jackson,
1997; Chlavenato, 2001). Sistem sumber daya manusia yang tidak harmoniss dengan strategi
organisasi bisa menghancurkan keunggulan kompetitif organisasi tersebut (Lindgren et (11.,
2004). SDM sebagai aktor utama orgamsasi tidak saja diharapkan mampu membawa
organisasi agar tetap survive, tetapi juga bertahan lama (Schuler 8: Jackson, 1997). Terlebih
lagi di era hiperkompetisi (D‘Aveni, 1994) yang semakin turbulent, chaotic, dan menantang
(Kant-er dalam Hagan 1996). Banyak tindakan telah dilakukan oleh organisasi agar mampu
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Misalnya: penggunaan teknologi informasi,
total quality management, redesign proses kreteria, membuat struktur organisasi yang
flattening atau hun'zontalization, atau bahkan secara ekstrim melakukan perubahan radikal
secara menyeluruh (business transfonnation). Akan tetapi, untuk melakukan ha} tersebut
dengan baik, organisasi tidak bisa sekedar meng~copy tiara-cam sukse’s organisasi lain.
Organisasi juga harus meningkatkan perhatian pada “value mereka sendiri”, pada "core
competences" yang harus dikembangkan sepanjang waktu (Bergenhenegouwen at at, 1997).
Menurut Collin clan Forms (dalam Morabito et (11., 1999), untuk memiliki kompetensi yang
mendalam, organisasi tergantung pada "organizatzon’s vision framework”; ini merupakan
sebuah core ideologi (terdiri dari core value dan purpose.) dan masa depan yang diimpikan
organisasi. Jadi, tanpa adanya value, core competences tidak akan tumbuh dengan subur di
organisasi tersebut.
Konsep core competence menurut Hamel dan Prahalad (1994) adalah suatu pengetahuan dan
kapabilitas yang melekat pada organisasi; merupakan penentu utama dari daya kompetitif
organisasi dan memiliki relasi dengan customer value, konsep ini memiliki resistensi pada
imitasi dan mampu memperluas aplikasi bisnis baru.
9
Page 10
Core competence setiap organisasi bersifat khas untuk organisasi itu sendiri, disediakan agar
dapat digunakan secara efektlf, dan dipastikan mampu menjawab tantangan dari para pesaing
dengan lebih baik. Dengam demikian, apabila organisasi mulai mengonsentrasikan diri pada
core competence, maka organisasi tersebut harus memberi perhatian yang lebih banyak pada
kompetensi dari karyawannya (Bergenhenegouwen et (11., 1997’). Sebab salah satu variabel
pembentuk core competence organisasi adalah kompetensi individu/karyawan (Zwell, 2000;
Lindgren at 111., 2004; Chen 8: Chang, 2011). Para ahli mengenali kompetensi karyawan
merupakan cornerstone yang membentuk fondasi dari organisasi yang sukses (Zweil, 2000).
Selanjutnya, apabila kompetensi individu selaras dengan core competence . organisasi, maka
akan tercipta competence based organization yang menjamin organisaai untuk menciptakan
keunggulan kompetitif.
6. PEKERJA PENGETAHUAN (KNOWLEDGE WORKER) SEBAGAI SUMBER
KEUNGGULAN KOMPETITIF
Pada saat ini, menurut Drucker (1993; juga Sveiby, 1997), dunia bergerak dari era
pasca-industri menuju ke era ekonomi berbasis pengetahuan. Hasil survey yang dilakukan
oleh journal of Knowledge Management (dalam Chase, 1997) menyatakan bahwa 92% dari
para eksekutif mengindikasikan bahwa mereka bekerja dalam organisasi yang menggunakan
pengetahuan secara intensif. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pengetahuan,
pekerja pengetahuan, dan manajemen pengetahuan menjadi topik yang banyak
diperbincangkan dalam berbagai disiplin ilmu (Ives et al., 1998).
Hasilnya, banyak klaim menyatakan bahwa pengetahuan akan menjadi komoditas
bernilai tinggi dalam aktivitas ekonomi modern dan menjadi embrio dari munculnya ekonomi
berbasis pengetahuan] knowledge-based economy (Nonaka & Takeuchi, 1995). Dalam
masyarakat pasca-industri, pengetahuan dalam organisasi berkali-kali telah di identifikasi
sebagai sumber daya utama untuk memperoleh keunggulan kompetitif (Prahalad dan Hamel,
1990; Nonaka, 1994; Nonaka dan Takeuchi, 1995). Drucker (1999 dalam Kelloway & Bar-
ling, 2000) menyatakan bahwa kemampuan perusahaan dalam mengenali dan mengelola
pengetahuan akan menjadi satu-satunya penentu terpenting dari eksistensi perusahaan.
Perekonomian tidak akan lagi bergantung pada tiga faktor produksi tradisional, yaitu: tanah,
pekerja, dan modal, tetapi pada soft factors seperti ide-ide, informasi, dan pengetahuan
(Waters & Beruvides, 2009). Abad 21 lebih memerlukan hadirnya pengetahuan dan modal
10
Page 11
intelektual daripada aset-aset tangible (Guthrie; 2001). Pengetahuan, berpasangan dengan
potensi untuk mentransformasikan pengetahuan menjadi "improve actions", akan
menciptakan organisasi yang memiliki keunggulan kompetitif (Drueker, 1964 &: de (Sens,
1997 dalam Lee-Kelley et al., 2007).
Dalam masyarakat berbasis pengetahuan (bukan lagi masyarakat berbasis pertanian atau
industri), praktik-praktik manajemen dan cara kerja cara lama sudah tidak memadai. Dunia
kerja telah mengalami perubahan. Dalam masyarakat pertanian, waktu adalah bekerja, dan
bekerja dipengaruhi oleh musim. Sedangkan dalam masyarakat industri, waktu adalah uang,
sebab modal adalah nilai (value) yang utama. Dalam era pengetahuan, waktu adalah hidup;
dan kita hidup tidak untuk bekerja, kita bekerja supaya bisa hidup. Intinya, saat ini perusahaan
harus mengadopsi paradigma baru agar bisa membangun relasi baru dengan pekerjaan, waktu,
dan dengan nilai-nilai. Dengan perkataan lain, bukan lagi aktivitas dan jumlah pekerjaan
untuk mencipta nilai-nilai baru, tetapi pengetahuan dan aplikasi pengetahuan merupakan
aktivitas utama perusahaan. Pengetahuan tidak lagi tergantung pada waktu (Raich, 2002),
modal intelektual merupakan norma utama perusahaan yang berbasis pengetahuan
(knowledge-based organization). Seperti yang dikatakan oleh Wiig (1997), eksistensi modal
intelektual telah dikenali sebagai kesuksesan organisasi di abad 21.
Situasi tersebut menyebabkan organisasi yang berbasis pengetahuan (knowledge-
based organization) diyakini para pemikir dan praktisi sebagai dasar dari pencapaian kinerja
organisasi yang unggul. Manajemen pengetahuan merupakan esensi kritis untuk berkompetisi
dalam ”new environment (Tuchman dan Nadler, 1986 dalam Kubo & Saka, 2002). Fakta
membuktikan, industri yang tumbuh dan perusahaan yang profitable adalah perusahaan yang
memiliki populasi pekerja pengetahuan yang besar dan pekerjaan pengetahuan yang
berkualitas dan berlevel tinggi (Waters & Beruvides, 2009). Reich (1991 dalam Kubo & Saka,
2002) berargumentasi, saat ini perusahaan semakin tergantung pada pekerja pengetahuan
(knmeiedgc workers). Perusahaan akan semakin kompetitif melalui know how dari pekerja
mereka. Salah satu contoh klasiknya adalah, nilai pasar dari Microsoft yang berlipat 11,2 kali
dari nilai aset tangible di tahun 19%, dan 13,3 kali di kuartal kedua pada tahun fiskal 2000.
(Dzinkon ski, 2000). Perbedaan pertumbuhan nilai dari aset tangible dan nilai pasar
menjelaskan adanya nilai dari modal intelektual (seperti pengetahuan, keahlian, dan relasi
dengan pelanggan) yang melekat pada karyawan Microsoft (Longtord, 1999). Hal ini akan
berimplikasi bahwa organisasi harus mengarahkan kebutuhan mereka terhadap pekerja
11
Page 12
pengetahuan dalam upaya untuk mempertahankan sumber daya utama agar memperoleh
keunggulan kompetitif.
Dengan demikian, peran dari pekerja pengetahuan dalam kerangka organisasi berbasis
pengetahuan memiliki relevansi yang sangat tinggi dengan kinerja organisasi secara
keseluruhan. Artinya, efektivitas manajemen pengetahuan dari para pekerja akan memainkan
peran krusial dalam pencapaian keunggulan kompetitif organisasi (Kubo & Saka, 2002). Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Kelloway dan Barling (2000:2288) yang menyatakan bahwa
mengelola "siapa pemilik pengetahuan" adalah inti dari manajemen pengetahuan. Organisasi
akan berhasil mengelola orang-orang yang bekerja di dalamnya ketika para karyawan
memiliki kemampuan, motivasi dan kesempatan untuk terlibat secara mendalam dalam
pekerjaan pengetahuan. "Knowledge is fundamentally about people”, demikian kata
Dougherty (1999).
Saat ini, di negara maju, jumlah pekerja pengetahuan memiliki persentase yang lebih
besar dalam keseluruhan tenaga kerja. Diperkirakan dua perlima dari tenaga kerja yang ada
adalah para pekerja pengetahuan (Drucker, 2002 dalam Waters & Beruvides, 2009: 323).
Khusus untuk tenaga kerja di Amerika, diyakini jumlah pekerja pengetahuan antara 25% s.d
50% dari total semua tenaga kerja (Davenport, 2005 dalam Waters & Beruvides, 2009: 323).
Di awal abad 20, jumlah tenaga kerja tidak terampil meliputi 90% dari jumlah tenaga kerja
yang ada. Sekarang, jumlah tersebut telah merosot menjadi sekitar 20%, sebaliknya jumlah
pekerja pengetahuan semakin bertambah (Spitz-x, 2005 dalam Waters & Beruvides, 2009:
32%).
7. MENGELOLA PEKERJA PENGETAHUAN (KNOWLEDGE WORKER)
Sejak Galbraith (1967 dalam Blackler, 1995) menyarankan bahwa munculnya kelas
baru, terdiri dari para ahli teknik-ilmuwan, yang sangat power serta akan mengakibatkan
pengetahuan menjadi fitur utama dari masyarakat era pasca-industri, maka para praktisi dan
ilmuwan banyak mengarahkan perhatian mereka pada pengetahuan (Bladder, 1995).
Termasuk di dalamnya, pendayagunaan pengetahuan dalam organisasi atau perusahaan.
Sebab, keunggulan kompetitif tidak lagi tergantung pada aset tangible dan sumber daya alam,
tetapi pada seberapa efektif organisasi mengelola pengetahuan (Lee & Sukoco, 2007). Tidak
12
Page 13
mengherankan apabila pengetahuan dipertimbangkan sebagai sumber daya utama untuk
menciptakan core capabilities organisasi dan menjadi basis dari profitabilitas yang langgeng
(Grant, 1996). Pengetahuan menjadi sumber daya yang dikelola untuk memperoleh manfaat
dari kompetensi organisasi (Muhammed et al., 2009). Pengetahuan organisasi secara luas
dapat didefinisikan sebagai “informasi kredibel yang memiliki potensi nilai bagi suatu
organisasi (Halt, 2003 dalam Wang et al., 2009). Menurut Grant (1996 dalam Wang et al.,
2009) potensi itu dapat diberdayakan untuk meningkatkan kapabilitas organisasi sehingga
bisa bertindak secara efektif. Signifikansi pengetahuan sebagai sumber daya vital bagi
perekonomian dunia dikatakan karena kemampuan pengetahuan yang dapat digunakan
sebagai base» dari inovasi dan kesuksesan ekonomi (Davenport & Prusak, 1998; Nonaka &
Takeuchi, 1995), Dalam buku Post Capitalist Society, Drueker (1993) menyebutkan bahwa
dalam masyarakat baru factor-faktor produksi yang dominan dan menentukan bukan lagi
modal, tanah, atau tenaga kerja, tetapi pengetahuan. Oleh karena itu, kapabilitas untuk
mencipta, menyimpan. “ manyebarkan, mengelola, dan mengendalikan akses pada
pengetahuan
keahlian, dan relasi dengan pelanggan) yang melekat pada karyawan Microsoft
(Longtord, 1999). Hal ini akan berimplikasi bahwa organisasi harus mengarahkan kebutuhan
mereka terhadap pekerja pengetahuan dalam upaya untuk mempertahankan sumber daya
utama agar memperoleh keunggulan kompetitif. Dengan demikian, peran dari pekerja
pengetahuan dalam kerangka organisasi berbasis pengetahuan memiliki relevansi yang sangat
tinggi dengan kinerja organisasi secara keseluruhan. Artinya, efektivitas manajemen
pengetahuan dari para pekerja akan memainkan peran krusial dalam pencapaian keunggulan
kompetitif organisasi (Kubo & Saka, 2002). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kelloway
dan Barling (2000:2288) yang menyatakan bahwa mengelola "siapa pemilik pengetahuan"
adalah inti dari manajemen pengetahuan. Organisasi akan berhasil mengelola orang-orang
yang bekerja di dalamnya ketika para karyawan memiliki kemampuan, motivasi dan
kesempatan untuk terlibat secara mendalam dalam pekerjaan pengetahuan. "Knowledge is
fundamentally about people”, demikian kata Dougherty (1999).
Saat ini, di negara maju, jumlah pekerja pengetahuan memiliki persentase yang lebih besar
dalam keseluruhan tenaga kerja. Diperkirakan dua perlima dari tenaga kerja yang ada adalah
para pekerja pengetahuan (Drucker, 2002 dalam Waters & Beruvides, 2009: 323). Khusus
13
Page 14
untuk tenaga kerja di Amerika, diyakini jumlah pekerja pengetahuan antara 25% s.d 50% dari
total semua tenaga kerja (Davenport, 2005 dalam Waters & Beruvides, 2009: 323). Di awal
abad 20, jumlah tenaga kerja tidak terampil meliputi 90% dari jumlah tenaga kerja yang ada.
Sekarang, jumlah tersebut telah merosot menjadi sekitar 20%, sebaliknya jumlah pekerja
pengetahuan semakin bertambah (Spitz-x, 2005 dalam Waters & Beruvides, 2009: 32%).
akan menjadi sesuatu yang krusial bagi kinerja bisnis (Davenport et al., 1998 dalam
Adelstein, 2007). Tidak mengherankan apabila banyak organisasi mulai mengelola
pengetahuan agar bisa memperoleh keunggulan kompetitif. Banyak akademisi dan praktisi
yang semakin yakin bahwa pengetahuan akan menjadi senjata penting untuk mencapai
kesuksesan organisasi (Lee & Byounggu, 2003 dalam Wang et al., 2009). Pengelolaan
pengetahuan fokus pada pengorganisasian dan membuat agar pengetahuan yang penting
selalu ada kapan saja dan dimana saja dibutuhkan.
Secara khusus, perspektif organisasi berbasis pengetahuan melukiskan sebuah organisasi
sebagai sebuah institusi yang mengintegrasikan pengetahuan (Grant, 1996: 109 dalam Wang
et al., 2009). Artinya, pengetahuan dilihat sebagai sumber daya strategis yang bisa dimiliki
oleh organisasi. Pandangan resource-based dan perpanjangannya, pandangan knowledge-
based, menyediakan penjelasan mengapa pengetahuan bisa menjadi sumber daya strategis
organisasi. Pengetahuan memenuhi syarat untuk menjadi sumber daya strategis yang bisa
menghasilkan keunggulan kompetitif, yaitu: berharga, jarang, sulit untuk ditiru, dan sulit
dicari penggantinya (Barney, 1991 dalam Wang et al., 2009). Kogut dan Zander (1992 dalam
Wang et al., 2009) menyatakan bahwa transfer dan berbagi pengetahuan tasit dan
kebijaksanaan eksplisit dari individu dan kelompok dalam sebuah perusahaan akan
meningkatkan sumber daya strategis, dan selanjutnya akan memampukan perusahaan tersebut
untuk berkinerja lebih baik daripada pesaing.
Dalam era ekonomi berbasis pengetahuan, termasuk di dalamnya knowledge-based
organization, bakat dan kreativitas akan menjadi motor penggerak perekonomian. Saat ini,
kesejahteraan tidak lagi tergantung pada akses sumber daya fisik, akan tetapi lebih tergantung
pada kemampuan untuk mencipta ide-ide baru. Dengan perkataan lain, peran pekerja yang ada
dalam sebuah organisasi yang berbasis pengetahuan, disebut sebagai pekerja pengetahuan,
memainkan peran yang strategis dan bernilai (Florida, 2005 dalam Yigitcanlar et al., 2007).
Literatur membuktikan bahwa pekerjaan pengetahuan (knowledge work) dan pekerja
14
Page 15
pengetahuan (knowledge worker) merupakan mesin dari pertumbuhan (Raspe dan Van Dari,
2006 dalam Yigitcanlar et al., 2007)
8. MEMPREDIKSI PERILAKU KNOWLEDGE SHARING PARA KARYAWAN
Pengetahuan semakin diyakini oleh para praktisi dan akademisi sebagai sumber terbaik bagi
organisasi untuk mendapatkan keunggulan kompetitif (Haapalainen & Pusa, 2012; Wu &
Zhu, 2012; Davenport & Prusak, 1998; Grant, 1996). Tidak salah bila Drucker (2001)
menyatakan pengetahuan sebagai ”only meaning full resource". Pengetahuan dapat dipandang
sebagai ”a fluid mix of framed experience, values, contextual information and expert insights
that provides a framework for valuating and incorporating new experience and
information"(Davenport & Prusak, 1998: 5). Dalam perspektif resource-based view,
pengetahuan memenuhi persyaratan sebagai aset intangible yang unik, sulit ditiru, dan tidak
bisa disubstitusi (Grant, 1991). Tidak mengherankan apabila knowledge management banyak
dipertimbangkan sebagai salah satu kunci untuk menciptakan keunggulan kompetitif (Issa &
Haddad, 2008: 182). Pengetahuan merupakan pencetus dari inovasi (lpe, 2003). Padahal
inovasi merupakan salah satu elemen yang memberi dampak sangat besar pada kinerja
organisasi (Kasemsap, 2014). Agar organisasi bisa mengelola pengetahuan secara efektif dan
efisien, maka organisasi perlu meng-inisiasi knowledge management. Kemampuan untuk
mengelola pengetahuan merupakan prasyarat untuk sukses dan inovatif (Widen wulff &
Suomi, 2009: 146). Sebab; pengetahuan akan menjadi kekuatan ketika individu dalam
organisasi cenderung menggunakan pengetahuan dengan tepat dan cara yang benar (Aris,
2013: 5’17). Artinya, knowledge management adalah tentang mengelola pengetahuan yang
dimiliki oleh para karyawan (Widen Wulf & Suomi, 2009: 147). '
Kebutuhan pelanggan yang berubah dengan cepat, siklus hidup produk yang semakin
pendek, dan biaya pertumbuhan untuk adopsi teknologi merupakan pendorong organisasi
untuk berinvestasi dalam knowledge management (Wang & Noe, 2010). Tujuan umum dari
knowledge management adalah meningkatkan Penanganan pengetahuan dan pengetahuan
potensial secara sistematik dalam suatu organisasi (Kasemsap, 2014). Knowledge
management terdiri dari proses-proses yang terpisah-pisah tetapi saling membutuhkan dari
15
Page 16
knowledge creation, knowledge storage dan retrieval, knowledge transfer, dan knowledge
application (Alavi & Leidner, 2001). Haapalainen & Pusa (2012) menyatakan proses
knowledge management terdiri dari: knowledge creation, knowledge storing, knowledge
sharing, dan penggunaan knowledge.
Knowledge sharing (berbagi pengetahuan) merupakan salah satu fase penting dari proses
knowledge management (Y esil & Hirlak, 2013140; Issa & Hadda, 2008: 182; Alavi &
Leidner, 2001). Knowledge sharing merupakan esensi dari knowledge management (Aris,
2013: 517). Faktanya, 94% dari 260 responden dari perusahaan multi-nasional di Eropa
percaya bahwa knowledge management membutuhkan individu untuk membagi apa yang
mereka ketahui dengan individu yang lain dalam organisasi (Financial Times, 1999 dalam
Bock & Kim, 2003: 221). Oleh karenanya, Quigley et al. (2007) menyatakan bahwa
knowledge sharing semakin dipandang sebagai faktor kritis untuk mencapai efektivitas
organisasi. Hal ini bisa terjadi karena knowledge sharing di antara para karyawan akan
meningkatkan kinerja karyawan secara signifikan, baik di sektor publik maupun sektor privat
(Silvi & Cuganesan, 2006). Knowledge sharing merupakan aktivitas yang bisa meningkatkan
kompetensi karyawan yang terlibat dalam aktivitas tersebut (Nonaka & Takeuchi, 1995).
Knowledge sharing bisa mengurangi ketidakpastian (Bennet & Bennet, 2007), meningkatkan
efektivitas dan efisiensi (Reid, 2003), serta pembelajaran individu (Yu et al., 2010; Nonaka &
Takeuchi, 1995).
Melalui knowledge sharing, karyawan bisa berkontribusi pada aplikasi pengetahuan,
inovasi, dan yang paling penting bisa kumpulkan keunggulan kompetitif organisasi
(Damodaran &: Olpert, 2000).. Aktivitas knowledge sharing diantara para karyawan
merupakan wahana. untuk melakukan eksploitasi dan kapitalisasi sumber-sumber knowledge-
based (Cabrera & Cabrera, 2005). Aktivitas knowledge sharing berbuka bisa mengurangi
biaya produksi, mempercepat proyek Pengembangan produk baru, meningkatkan kinerja tim,
meningkatkan kapabilitas inovasi organisasi, meningkatkan pertumbuhan peniualan serta
meningkatkan pendapatan dari produk dan layanan baru (Wang & Noe, 2010).Oleh
karenanya, Felin dan Hosted) (2007) menyatakan, 1 bahwa knowledge sharing menempati
posisi penting dalam organisasi, karena bisa menghasilkan keunggulan kompetitif.
Knowledge sharing secara langsung memiliki relasi dengan keunggulan kompetitif organisasi
karena pengetahuan yang tidak dibagikan akan memperlambat perbaikan-perbaikan dalam
organisasi (Issa & Haddad, 2008: 183). Knowledge sharing merupakan sebuah rel-asi
minimal diantara dua pihak, pihak pemilik dan pihak penerima pengetahuan. Pemilik
16
Page 17
pengetahuan membagikan pengetahuan melalui proses yang diberi label sebagai
eksternalisasi, sedangkan penerima pengetahuan melakukan proses internalisasi (Issa &
Haddad, 2008: 183). Akan tetapi, implementasi knowledge sharing di organisasi merupakan
aktivitas yang sangat menantang (Yesti & Hirlak, 2013; Amayah, 2013: 454; lssa & Haddad,
2008: 183; Kogut & Zander, 1992; Szulanski, 1996). Alasannya, pertama: salah satu bentuk
pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan, yaitu: tacit knowledge, secara alamiah adalah
sulit untuk ditransfer (Amayah, 2013: 454; Issa & Haddad, 2008: 183). Jadi, ketika individu
meninggalkan organisasi, maka pengetahuan tacit juga akan pergi bersama individu tersebut
(Tsoukas, 1996), sebab pengetahuan taat tidak pernah meninggalkan otak mereka (Issa &
Haddad, 2008: 183). Situasi ini dinarasikan oleh Connelly et al. (2012: 64) sebagai: organisasi
tidak "memiliki” aset intelektual dari karyawan mereka. Pengetahuan dimiliki oleh karyawan,
bukan organisasi (HaldinHerrgard, 2000). Kedua, secara tipikal knowledge sharing bersifat
sukarela (Lin et al., 2008; Gibbert & Krause, 2002). Artinya, organisasi hanya dapat
mengelola sumber pengetahuan secara lebih efektif apabila karywan memiliki keinginan
untuk membagi pengetahuan yang mereka miliki, kepada rekannya (Amayah, 2013: 454).
Karyawan tidak bisa dipaksa untuk berbagi pengetahuan,oleh karena itu, penting sekali untuk
mengidentikkan faktor faktor yang mmnpengaruhi karyawan untuk berbagi pengetahuan
(Amayab, 2013456, ”fohidinia & Mosakhani, 2939)
17
Page 18
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan literatur yang didapatkan, Model bisnis organisasi berbasis pengetahuan
dapat menciptakan keunggulan bersaing organisasi melalui pemahaman dan alokasi aktivitas
bisnis untuk menghasilkan keuntungan, meningkatkan kinerja aktivitas bisnis, meningkatkan
perencanaan dan implementasi aktivitas bisnis sesuai dengan strategi organisasi,
meningkatkan inovasi dan keunggulan masa depan organisasi, memegang peran penting
dalam proses e-business organisasi. Model bisnis organisasi berbasis pengetahuan adalah
integrasi lingkungan persaingan, perubahan lingkungan internal organisasi dan perkembangan
infrastruktur teknologi informasi. Lingkungan persaingan bersumber dari meningkatnya
permintaan dalam pasar persaingan goblal, yang menuntut organisasi lebih inovatif dan
efisien dengan menggunakan teknologi informasi dalam merespon kecepatan perubahan
selera pasar. Dampaknya akan terjadi perubahan internal organisasi untuk mentransformasi
proses dan menyesuaikan model bisnis untuk mempertahankan daya saing organisasi.
18
Page 19
DAFTAR PUSTAKA
Agha, Sabah; Alrubaiee, Laith; & Jamhour, Manar. 2012. Effect of core competence on
competitive advantage and organizational performance. International journal of Business and
Management, Vol. 7, No. 1, January, pp. 192-204.
Assauri, Sofjan. 2000. Strategi Manajemen Sumber Daya Manusia (SUM) Usahawan, Vol.
26, 10, Oktober, h. 53-55.
Baladi, P. 1999. Knowledge and competence management: Ericsson Business Consulting.
Business Strategy Review, Vol. 10, No. 4, pp. 20-28. Barney, LB. 1991. Firm resources and
sustained competitive advantage~ journal of Management, Vol. 17, No. 1, pp. 99-120.
Bartlett, CA. and Ghoshal, S. 1989. Managing Across Borders: the transnational solution.
Cambridge, MA: Harvard Business School Press.
Baumane-Vitolina, llona. 2014. Conceptualizing the resource based View for innovation
research and measurement in small and medium enterprises. Humanities and Social Sciences:
Latvia, Vol. 22, Issue 1, Spring-Sumner, pp. 4-19.
Bergenhenegouwen, G. J. 1996. Competence development ~ a challenge for HRM
professionals: core competences of organizations as guidelines for the development of
employees. Iournal of European Industrial Training, Vol. 20, Issue 9, pp. 29~35.
Bergenhenegouwen, G.].; Horn, H.F.K.; Mooijman, E.A.M. 1997. Competence Development
A Challenge for Human Resource Professionals: core competences of organizations as
guidelines for the development of employees. Ioumal European Industrial and Commercial
Training, Vol. 20, No.9, pp. 29-35. BI‘OOkS. Ian. 2003. Organizational Behaviour:
individual, groups and organization. London: Prentice Hall. Chen, Hai Ming 8: Chang, Wen
Yen. 2011. Core competence: from a strategic human resource management perspective.
African Iaumal of Business Management, July, 18 Vol. 5, No. 14, pp. 5?38‘ 5745.
http://jp.feb.unsoed.ac.id/index.php/sca-1/article/viewFile/892/pdf_123
19